• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia dan lingkungan.1 Pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa di manapun di dunia ini kecuali jika negaranya benar-benar sekuler. Hukum Islam merupakan salah satu hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, sehingga negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri.2 Hukum Islam terus berkembang menjadi salah satu sumber hukum nasional sesuai kebutuhan masyarakat Islam Indonesia.

Saat ini di Indonesia, dorongan perkembangan hukum Islam di bidang hukum muamalah sangat pesat. Beberapa faktor dapat disebutkan sebagai penyebabnya, yaitu: Pertama, lahirnya beberapa institusi keuangan yang didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum perikatan dan muamalah Islam. Kedua, semakin berkembangnya bisnis umat Islam dan bersamaan dengan itu

1

Dendy Sugono (Pemimpin Tim Redaksi), 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat

Bahasa, Edisi Keempat, PT. Gramedia, Jakarta, hlm. 15.

2Yusril Ihzamahendra mengemukakan beberapa contoh, yaitu: Konstitusi India tegas

menyatakan bahwa India negara sekuler, tetapi Hukum Hindu mempengaruhi Hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Budhaisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Philipina melarang perceraian, sebagai pengaruh Hukum Katholik yang besar pengaruhnya di negara itu. Yusril Ihzamahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia,” http://www.yusril.ihzamahendra.com/ 2007/12/05/hukum-islam-dan-pengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia/ (12-12-2008).

(2)

muncul keinginan untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern dengan ketentuan agama/hukum Islam. Ketiga, pandangan orang Muslim sendiri tentang hukum Islam, yang dianggap sebagai ruang ekspresi pengalaman agama paling utama, karena menyangkut aspek kehidupan sehari-hari yang paling langsung.3

Menurut pengamatan penulis, ketiga faktor tersebut di atas, seharusnya tidak hanya mendukung hukum muamalah di bidang jasa perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah atau lainnya. Selain bidang jasa, terdapat kebutuhan umat Islam akan tersedianya produk yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Secara mendasar, konsumen Muslim memiliki kepentingan untuk memegang keyakinan perintah agama yaitu mentaati kewajiban selalu mengkonsumsi produk halal dan tayib (baik). Kedua standar tersebut merupakan syarat yang ditetapkan dalam al-Quran dan hadis Rasulullah saw. Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 88: 4



























Artinya: “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

3Anwar, 2007, Studi Hukum Islam Kontemporer, RM Books, Jakarta, hlm. 134.

4

Kementrian Agama RI, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat urusan Agama Islam dan pembinaan Syariah, 2010, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakaarta, PT. TEHAZED, hlm. 162 juga QS. al-Baqarah (2); 168, 172-173, QS. al-Maidah (5): 3, dan 90, QS. an-Nahl (16): 114, QS. al-A‟raf (7): 157.

(3)

Ayat al-Quran di atas menegaskan bahwa mentaati perintah Allah mengenai konsumsi halal dan tayib merupakan bentuk ketakwaan dan keimanan kepada Allah.

Menurut M. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, “Kata makan dalam ayat ini dimaksudkan sebagai segala aktivitas manusia. Pemilihan kata makan, disamping karena ia merupakan kebutuhan pokok manusia, juga karena makanan mendukung aktivitas manusia. Tanpa makan, manusia lemah dan tidak dapat melakukan aktivitas.”5 Oleh karena itu, ketentuan halal dan tayib tidak sebatas mengenai makanan saja, tetapi termasuk di dalamnya segala aktivitas manusia dalam produksi, perdagangan, dan konsumsi produk yang digunakan sehari-hari.

Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan dalam melakukan aktivitas dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, hendaknya mencari dan menggunakan yang halal dan tayib serta meninggalkan yang bersifat meragukan (subhat):

ِنْب ِناَمْعُّ نلا ُثْيِدَح

ِللا َلْوُسَر ُتْعَِسَ :َلاَق ,ٍْيِْشَب

ُلْوُقَ ي َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللا ىَّلَص

:

((

ِنَمَف ؛ِساَّنلا َنِم ٌرْ يِثَك اَهُمَلْعَ ي َلا ٌتاَهن بَشُم اَمُهَ نْ يَ بَو ,ٌنيَِّ ب ُماَرَْلْاَو ,ٌنيَِّ ب ُلَلاَْلَْا

ِهِضْرِعَو ِهِنْيِدِل َأَرْ بَتْسِا ِتاَهُ بُّشلا ىَقَّ تا

َلْوَح ىَعْرَ ي ْيِعاَرَك ِتاَهُ بُّشلا ِفِ َعَقَو ْنَمَو ,

ِهِضْرَأ ِْفِ ِللا ىَِحِ َّنِإ َلاَأ ,ىًِحِ ٍكِلَم نلُكِل َّنِإَو َلاَأ ؛ُهَعِقاَوُ ي ْنَأ ُكِشْوُ ي ىَمِْلْا

ُّلُك ُدَسَْلْا َحَلَص ْتَحَلَص اَذِإ ًةَغْضُم ِدَسَْلْا ِفِ َّنِإَو َلاَأ ,ُهَمِراََمَ

ْتَدَسَف اَذِإَو ,ُه

ُبْلَقْلا َيِهَو َلاَأ ,ُهُّلُك ُدَسَْلْا َدَسَف

))

.

5M. Quraish Shihab, 2000, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,

(4)

Artinya: An-Nu‟man bin Basyir ra. berkata: “Aku telah mendengar Rasulallah saw. bersabda: „Yang halal sudah jelas demikian pula yang haram sudah terang, dan di antara keduanya ada hal yang samar kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menghindari subhat selamat agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus dalam subhat, bagaikan pengembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang, mungkin masuk dalam larangan itu. Ingatlah tiap raja menentukan tempat-tempat terlarang, ingatlah bahwa larangan Allah di atas bumi ini ialah yang diharamkan. Ingatlah bahwa dalam jasad manusia ada sepotong daging (darah beku), jika baik maka baiklah semua jasadnya, dan bila rusak, rusaklah semua badannya. Ingatlah, itulah hati (jantung)‟” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menerangkan perintah bahwa sesuatu yang haram dan halal sudah jelas dan perintah untuk menjauhi hal-hal yang bersifat subhat (meragukan antara halal atau haram) sebagai upaya untuk menjaga keselamatan agama dan kehormatan diri. Oleh karena itu, setiap konsumen Muslim di Indonesia yang ingin melaksanakan tanggung jawab keagamaannya menghendaki agar produk yang akan dikonsumsi dan digunakan diproduksi dengan menerapkan prinsip halal dan tayib serta dijamin kehalalan dan ketayibanya.

Kepentingan konsumen Muslim tersebut menjadi urgen karena ada himbauan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar umat Muslim mewaspadai makanan, minuman, dan penggunaan alat-alat kosmetika yang diimpor dari luar negeri karena banyak yang mengandung bahan dari lemak babi.6 Selain itu MUI juga mengidentifikasi bahwa dewasa ini marak industri makanan dan wisata kuliner, yang terkadang tidak jelas bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan, serta pengolahannya. Menurut MUI, produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang belum jelas kehalalannya, wajib dihindari sampai ada kejelasan

6M. Hosen, 2007, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “ Majalah Hukum Forum

(5)

kehalalannya. Setiap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika yang dalam produksinya melalui proses teknologi hukum asalnya adalah subhat.7

Berkesesuaian dengan keputusan MUI di atas, Ibrahim Hosen menerangkan bahwa produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika dikategorikan ke dalam kelompok subhat, apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non-Muslim, sekalipun bahan bakunya berupa suci dan halal. Hal ini disebabkan tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam proses pengolahan tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci.8 Secara khusus berkaitan dengan produk pangan, Umar Santoso berpendapat bahwa secara umum produk pangan yang ada di pasaran dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu pangan yang jelas halal, jelas haram, dan tidak jelas statusnya atau subhat.9 Pada industri pangan, proses pengolahan pangan sangat kompleks karena melibatkan berbagai macam zat atau materi bahan baku pangan dan berbagai macam cara persiapan yang memungkinkan dapat membuat makanan tersebut menjadi tidak halal.10

7

MUI, “Keputusan Ijmak Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ketiga Tahun 2009 tentang Konsumsi Makanan Halal,” Ma‟ruf Amin, et. all., (Tim Penyusun), 2011, Himpunan Fatwa MUI

Sejak 1975, MUI, Jakarta, hlm. 916-917.

8Lukmanul Hakim, ”Sertifikasi Halal MUI sebagai Upaya Jaminan Produk Halal,” Tim

Materi Ijmak Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, 2009, Kumpulan Makalah Materi Ijmak

Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, MUI, Jakarta, hlm. 13-14.

9Menurut Umar Santoso, konsep makanan dalam Islam sebetulnya sederhana, tetapi karena

pengolahan dalam industri kompleks, maka untuk menentukan status kehalalan produk menjadi tidak mudah. Berbagai bahan tambahan pangan menjadi titik kritis penentuan status kehalalan. Untuk verifikasi status kehalalan suatu bahan, dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu dengan penelusuran asal usul bahan (tracing of origin), atau dengan autentikasi bahan melalui analisi kimia sejauh teknologi memungkinkan (technologically possible). Umar Santoso, 2009, “Peranan Ahli Pangan dalam Mendukung Keamanan dan Kehalalan Pangan,” Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar dalam Bidang Kimia Pangan dan Hasil Pertanian pada Fakutas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Febuari 2009, hlm. 14-15.

10Umar Santoso, 2008, “Kehalalan Produk Makanan dan Prosedur Memperoleh Sertifikat

(6)

Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa modernisasi teknologi produksi pangan, obat-obatan, dan kosmetika selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga memberikan akibat tidak semua konsumen Muslim dapat mengetahui dengan mudah dan pasti kehalalan produk yang akan dikonsumsi.11 Dulu, seorang Muslim lebih mudah mengidentifikasi produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang digunakan sebagai produk halal dan tayib yang tidak mengandung unsur-unsur haram menurut ajaran Islam. Contohnya pada masa lalu, pengolahan pangan masih sederhana dan komunikasi konsumen pada produsen masih dapat dilaksanakan secara langsung di pasar tradisional. Pada masa kini, pengolahan pangan menjadi sangat kompleks. Produsen menggunakan berbagai bentuk teknologi untuk melakukan produksi.12 Pangan yang berasal dari nabati maupun hewani diolah sedemikian rupa menjadi jutaan jenis pangan melalui proses produksi yang panjang dan massal. Mulai dari pengadaan bahan baku dan bahan tambahan, proses pengolahan, pengemasan, distribusi pengangkutan, dan penjualan. Akibatnya, akses komunikasi konsumen pada

Menuju Pangan yang Aman dan Halal, Kerjasama FTP Universitas Slamet Riyadi Surakarta dengan Badan POM RI, Surakarta, 14 Juni 2008, hlm. 5.

11

MUI, “Keputusan Ijmak Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III Tahun 2009 tentang Konsumsi Makanan Halal,” Ma‟ruf Amin, et. all., (Tim Penyusun), 2011, Op. Cit., hlm. 916.

12Reni Canda menerangkan bahwa seiring dengan kemajuan teknologi, teknologi pangan

kini mampu menciptakan berbagai produk pangan yang sangat beragam dengan kualitas dan rasa yang istimewa. Hanya saja, terkadang untuk mendapatkannya diperlukan bahan penolong atau bahan tambahan pangan (food additive) yang memiliki sifat khusus. Seringkali bahan-bahan ini diperoleh dari salah satu atau beberapa bagian dari tubuh babi. Secara ekonomi penggunaan bahan babi mampu memberikan banyak keuntungan, karena murah dan mudah didapat. Adapun secara kualitas sampai saat ini bahan dari babi merupakan pilihan terbaik sebagai bahan penolong atau bahan tambahan pangan. Bahan-bahan tersebut ketika sudah diolah menjadi produk pangan menjadi sangat sulit untuk dikenali. Hal inilah yang mendorong masyarakat Muslim untuk semakin meningkatkan kewaspadaan mereka agar jangan sampai produk pangan yang mereka konsumsi tercemar oleh unsur babi. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap berbagai kemungkinan penggunaan unsur babi perlu terus ditingkatkan. Reny Candra, “Mewaspadai Unsur Babi dalam Produk Pangan,” http://www.pipimmm.org/?ppilih=news&aksi=lihat&id=33 (12-12-2008).

(7)

produsen menjadi sangat jauh dan untuk mengetahui kehalalan suatu produk menjadi sangat sulit.

Praktek kebiasaan pelaku usaha untuk memberikan pernyataan sepihak tentang kehalalan produk yang dihasilkan dan mencantumkan label halal belum memberikan kepastian hukum dan perindungan hukum bagi konsumen. Ada beberapa contoh kasus yang telah sangat menyakiti konsumen Muslim di Indonesia, yaitu: kasus isu lemak babi (1988),13 kasus heboh daging babi di Palembang (1994) dan Jakarta (2000), kasus Ajinomoto (2001), kasus Kratingdaeng, kasus Dendeng Sapi Campur Babi di Jawa Barat dan Jawa Timur (2009), dan kasus Vaksin Meningitis jemaah haji yang mengandung enzim babi (2009).14 Berbagai kasus yang muncul di beberapa wilayah Indonesia pada akhirnya justru menimbulkan kerugian besar bagi pelaku usaha dan dunia usaha di Indonesia. Konsumen Muslim yang merasa dirugikan memboikot produk yang diketahui atau dinyatakan tidak halal sehingga pelaku usaha juga menderita kerugian besar.15

Kepentingan konsumen dan pelaku usaha Muslim harus dilindungi dengan cara peraturan dan pengaturan yang jelas, yang menjamin konsistensi dan

13Aisjah Girindra, 2005, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, LPPOM MUI, Jakarta, hlm.

38-40.

14

Thobieb Al Asyhar, 2003, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan

Kesucian Rohani, PT. Al-Mawardi Prima, Jakarta, hlm. 13-20. Pikiran Rakyat, “Waspadai

Dendeng Babi,” (http://www.halalguide.info/2009/03/27/waspadai-dendeng-babi/) (08-04-2009), Althaf, “MUI Jabar: Hati-hati Peredaran Dendeng Babi,” (http://www.arrahman.com/ index.php/news/read/3758/mui-jabar-hati-hati-peredaran-dendeng-babi), (08-042009) dan

Enk/Why, Dendeng Babi Asal Malang Beredar di Jatim,

(http://www.surya.co.id/2009/04/08/dendeng-babi-asAl-malang-beredar-di-jatim/) (08-042009).

(8)

kontinyuitas diterapkannya standar halal suatu produk.16 Menurut Bonne dan Verbeke, sebagian agama di dunia telah menggariskan beberapa batasan terhadap isu produk, sebagai contoh ajaran agama Islam dan Yahudi (Judaism) yang melarang mengkonsumsi produk-produk yang berasal dari hewan tertentu atau hewan yang tidak disembelih dengan sah mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh agama. Sebuah negara perlu membuat tindakan, peraturan, undang-undang, dan inisiatif dalam memastikan kepatuhan pelaku usaha terhadap standar untuk menjamin proses yang menghasilkan produk yang selamat dan berkualitas bagi konsumen.17

Standar produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang menjadi kebutuhan konsumen Muslim adalah yang memenuhi ketentuan ajaran agama Islam, yaitu halal dan tayib. Oleh karena teknologi produksi yang sangat modern dan berlakunya era pasar bebas, tidak mudah bagi setiap konsumen Muslim untuk memastikan kehalalan setiap produk yang akan dikonsumsinya dengan mudah dan cepat. Diperlukan adanya pihak ketiga sebagai lembaga sertifikasi yang mengkontrol pelaku usaha mematuhi ketentuan standar halal dalam setiap tahapan kegiatan produksi. Selanjutnya, konsumen Muslim dapat dengan mudah memperoleh informasi kehalalan suatu produk yang akan dikonsumsinya dengan melihat label halal pada setiap kemasan produk. Standardisasi, sertifikasi, dan

16Diana Candra Dewi, 2007, Rahasia di Balik Makanan Haram, UIN Malang Press,

Malang, hlm. 44.

17

K. Bonne dan W. Verbe, 2007, Muslim Consumer Trust in Halal Meat Status and Control

in Belgium, Meat Science, dalam Hayati, Habibah Abdul Talib, dan Khairul Anuar Mohd Ali,

2008, ”Aspek Kualiti, Keselamatan dan Kesihatan di Kalangan PKS Makanan: Satu Sorotan Kajian,” Jurnal Teknologi, 49 (E) Dis. 2008: 65-79, Universiti Teknologi Malaysia, hlm. 75.

(9)

labelisasi produk halal dan tayib dimaksudkan untuk menghindarkan konsumen Muslim dari produk yang non-halal (haram) dan non-tayib (tidak baik).

Dalam perspektif Islam, kewajiban mengkonsumsi produk halal dan tayib mengikat setiap individu yang beragama Islam untuk melaksanakannya. Implementasinya terbagi dalam dua perspektif, yaitu bahwa sebagai ibadah mahdlah maka tanpa campur tangan negara kecuali menyediakan fasilitas, sedangkan dalam konteks muamalah yang bersifat perdata atau publik maka melibatkan kekuasaan negara.18 Masyarakat Muslim tidak bebas tanpa kendali dalam memanfaatkan segala sumber daya alam, mengkonsumsinya atau memproduksi sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan. Mereka terikat dengan ketentuan akidah dan etika agama, di samping juga dengan hukum-hukum Islam secara umum. Untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata, peran pemerintah sangat diperlukan.19 Yusuf al Qardhawi menegaskan bahwa Pemerintah mempunyai peran penting dalam menerapkan norma dan etika di bidang muamalah. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan dan menjatuhkan sanksi kepada yang melanggarnya.20

Pemikiran mengenai produk halal dan tayib yang dulu bersumber pada kitab fiqh dan menjadi tanggung jawab setiap Muslim dan ulama saat ini telah berkembang dalam hukum positif dan menjadi tanggung jawab

18Tahir Azhari, 1999, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang No. 35 Tahun

1999: Perspektif Hukum Masa Datang, Ditbitbapera Islam-Fakultas Hukum UI-Pusat Pengkajian

Hukum Islam dan Masyarakat, Chasindo, Jakarta, hlm. 121.

19Masyhuri, 2005, “Peran Pemerintah dalam Perspektif Ekonomi Islam,” Jusmaliani

(Editor), 2005, Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana, Yohyakarta, hlm. 45-46.

(10)

pemerintah/negara.21 Beberapa ketentuan hukum positif yang terkait dengan produk halal dan tayib serta perlindungan konsumen disusun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945.

Penulis mengelompokkan beberapa undang-undang dalam penelitian ini dengan pedoman sebelum dan sesudah Tahun 2014, saat lahirnya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kelompok undang-undang, sebelum Tahun 2014 dibedakan menjadi dua dengan pedoman Tahun 1999 saat lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagai berikut:

1. Kelompok undang-undang sebelum tahun 2014:

1.1. Kelompok undang sebelum Tahun 1999, yakni kelompok undang-undang yang pernah berlaku, termasuk didalamnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

1.2. Kelompok undang setelah Tahun 1999, yakni kelompok undang-undang yang sedang berlaku, termasuk didalamnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Selain undang-undang, juga terdapat Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Keputusan Menteri Agama No. 518 tahun 2001 tentang Pedoman dan

21Imam Masykoer Alie (Ketua Penyunting), 2003 (d), Modul Pelatihan Auditor Internal

Halal, Bagian Proyek Sarana dan Prasaranaa Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan

(11)

Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal dan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang menjadi dasar eksistensi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut LPPOM MUI).

2. Kelompok undang-undang sesudah Tahun 2014, yakni Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian, dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Substansi Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, mengatur pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut BPJPH, Pasal 1 Angka (6) dan Pasal 6) dan tegas membuka peran serta masyarakat untuk mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal untuk membantu BPJPH melakukan pemeriksaan kehalalan produk (Pasal 12 Ayat (1-2)). BPJPH menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria jaminan produk halal (Pasal 1 Angka (5) dan Pasal 6 Butir (b) Undang-Undang Jaminan Produk Halal). Ketentuan peralihan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menetapkan bahwa:

a. Undang-Undang ini ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (Pasal 68).

b. Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jaminan produk halal dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini (Pasal 66).

c. MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang sertifikasi halal sampai dengan BPJPH dibentuk (Pasal 60).

d. BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan (Pasal 64).

(12)

e. Peraturan pelaksanaan undang-undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan (Pasal 65).

Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memerintahkan pada Pemerintah untuk menyusun 7 peraturan pemerintah dan 13 peraturan menteri. Masih terbuka kemungkinan pengaturan penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan pelaku usaha di Indonesia. Hal ini merupakan wujud dari sistem terbuka hukum perlindungan konsumen di Indonesia yang memberikan peluang lahirnya peraturan perundangan baru yang substansinya meningkatkan perlindungan pada konsumen dan dan pelaku usaha.

Hukum produk halal dan tayib yang bersumber dari ketentuan hukum Islam telah menjadi hukum positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Ghafur Anshori, yang menguraikan bahwa bila peraturan-peraturan ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang dalam hal ini pemerintah yang sah dan ditentukan menurut kriteria yang berlaku maka peraturan-peraturan tersebut bersifat sah atau legal dan mempunyai kekuatan yuridis (validity).22

Proses transformasi hukum Islam tentang jaminan produk halal ke dalam sistem hukum Indonesia, menurut pemerintah membawa konsekwensi formulasi substansi hukum Islam harus disesuaikan dengan bahasa perundang-undangan. Suatu undang-undang harus merumuskan tugas dan wewenang pemerintah dalam

22Abdul Ghafur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press,

(13)

menyelenggarakan suatu kewajiban hukum yang dibebankan oleh undang-undang.23

Berbeda dengan perspektif para ahli hukum Islam dalam Komisi Fatwa MUI;24 pemikiran mengenai hukum produk halal memiliki karakteriktik khusus karena materinya bersumber dari ketentuan hukum Islam yaitu, membutuhkan keterlibatan/peran ahli hukum Islam (ahli fiqh) dan menggunakan metode ushul fiqh (fatwa). Formalisasi dimaksudkan untuk meningkatkan kepastian hukum bagi konsumen dan memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.

Adapun masyarakat konsumen dan pelaku usaha menunjukkan sikap beragam. Sikap pro, kontra, dan netral masyarakat, lebih pada format (bentuk formal) dan substansi (isi, materi) dari rancangan peraturan tersebut. Pengalaman penolakan konsumen dan pelaku usaha di masa lalu, berawal dari pemberlakuan beberapa keputusan menteri agama yang substansinya dinilai dapat menimbulkan biaya tinggi (high cost) dan memperpanjang rantai birokrasi sehingga daya saing produk nasional tidak kompetitif dan membebani produsen.25

Menurut penulis, segala perbedaan pendapat dan persoalan di atas, bermuara pada persoalan transformasi bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib yang bersumber dari hukum Islam pada hukum

23Pemerintah Republik Indonesia, 2006, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Jaminan Produk Halal,” Jakarta, hlm. 52.

24

Imam Maskoer Alie (Ketua Penyunting), 2003 (c), Bunga Rampai Jaminan Produk Halal

di Negara Anggota MABIMS, Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat

Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, hlm. 260-263.

25Yusuf Shofie, 2008, “Perlukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dalam Kerangka

Sistem Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Kapita Selekta

Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.

(14)

perlindungan konsumen Indonesia. Hukum Islam memiliki prinsip, norma, dan nilai-nilai yang berlaku bagi Muslim. Hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan hadis membuka banyak pintu (ijtihad) bagi hukum bidang muamalah agar lebih sesuai dengan kebutuhan Muslim. Hukum perlindungan konsumen di Indonesia memiliki prinsip, norma, dan nilai-nilai yang berlaku bagi setiap WNI termasuk Muslim di Indonesia. Hukum perlindungan konsumen bersifat terbuka bagi adopsi prinsip, norma, dan nilai-nilai baru yang berkembang agar lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen dan pelaku usaha di Indonesia. Terdapat perbedaan antara hukum Islam dan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, sehingga tranformasi prinsip-prinsip hukum produk halal dan tayib dari hukum Islam ke dalam hukum perlindungan konsumen tentu memerlukan beberapa upaya harmonisasi formulasi substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.

Pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia yang memberikan perlindungan pada semua konsumen dan pelaku usaha mutlak diperlukan mengingat penduduk Indonesia dalam catatan statistik merupakan kelompok mayoritas Muslim, namun banyak pelaku usaha merupakan non-Muslim. Transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional tetap harus memperhatikan aspek heteroginitas bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama.26 Apalagi dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib terbuka kemungkinan adanya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha yang sama-sama beragama Islam atau salah satu pihak non-Muslim. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan bidang hukum lain

26Sirajuddin, 2008, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.

(15)

yang substansinya memuat materi hukum Islam dan diberlakukan bagi umat Muslim, misalnya materi hukum perkawinan atau hukum zakat. Prinsip-prinsip penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib substansi materi berasal dari hukum Islam dan diharapkan kepatuhan hukum pelaku usaha Muslim maupun non-Muslim yang menyediakan produknya bagi konsumen Muslim.

Jumlah konsumen Muslim, pelaku usaha, dan kegiatan produksi semakin maju dan dan berkembang meningkat setiap tahun. Hukum diharapkan dapat mengakomodasi setiap kepentingan dari para pihak dalam mencapai tujuannya masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan argumentasi rasional mengenai formulasi substansi hukum, struktur hukum, dan nilai-nilai kultur hukum dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib, daripada sekedar alasan perlindungan pada kelompok konsumen mayoritas di Indonesia. Penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib diharapkan tidak semata-mata memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum, keadilan, dan kemanfatan pada konsumen Muslim, namun juga bagi pelaku usaha, dan konsumen lainnya.

Perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia menjadi salah satu aspek dalam sistem hukum Indonesia. Perlindungan jaminan produk halal dan tayib bagi konsumen Muslim di Indonesia sangat diperlukan untuk mencegah dampak negatif perkembangan ekonomi dan industri. Hal ini sejalan dengan perubahan pola konstruksi hukum dalam hubungan produsen dan konsumen, yaitu hubungan yang dibangun atas prinsip caveat emptor (konsumen harus berhati-hati) menjadi prinsip caveat venditor

(16)

(kesadaran produsen untuk berhati-hati guna melindungi konsumen).27 Konsumen Muslim diwajibkan untuk mengkonsumsi produk halal dan tayib sehingga menjadikan pelaku usaha wajib peduli terhadap penerapan jaminan produk halal dan tayib sebagai upaya melindungi konsumen Muslim.

Pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaran jaminan produk halal dan tayib di Indonesia menjadi urgen karena Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduk Muslimnya paling besar perlu melakukan langkah-langkah sehingga dapat melindungi konsumen, pelaku usaha, dan perkembangan industri dalam negeri. Adanya tuntutan produk halal dan tayib bagi Muslim dapat menjadi alat untuk meningkatkan daya saing produk-produk lokal. Keadaan negara yang secara ekonomi membaik dengan jumlah penduduk besar, dapat memposisikan Indonesia sebagai global center untuk produksi dan distribusi produk halal di masa depan.28 Menurut Umar Santoso, untuk menangkap peluang ini maka industri produk harus memahami dasar agama dan ilmiah persyaratan halal. Untuk mengembangkan industri produk halal di Indonesia maka perlu kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha/industri, konsumen, dan ahli pangan29 serta ahli hukum/hukum Islam. Industri produk halal akan berkembang pesat seiring dengan meningkatnya jumlah konsumen Muslim setiap tahun di seluruh dunia. Oleh karena itu, instrumen hukum penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia akan sangat diperlukan jika negara ini

27Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 4.

28

Umar Santoso dan Tridjoko Wisnu Murti, 2006, “Industri Pangan Halal: Prospek dan Kendala-Kendalanya,” Prosiding PATPI, Sosial dan Ekonomi Pangan, Seminar Nasional PATPI, Yogyakarta, 2-3 Agustus 2006, hlm. 133.

(17)

ingin berkembang sebagai negara produsen produk halal dan tayib serta tidak sekedar menjadi negara konsumen produk halal dan tayib.

Perhatian negara lain di tingkat nasional mengenai produk halal dan tayib juga sangat besar. Perbandingan dapat dilakukan dengan Malaysia, yang sudah memiliki ketentuan berkaitan dengan produk halal dan tayib sejak tahun 1971 dengan keluarnya Surat Kenyataan Halal. Malaysia membentuk Bahagian Kajian Makanan dan Barangan Gunaan Islam, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan mulai menggunakan logo halal baru dengan tujuan untuk menyelaraskan logo halal di antara negeri-negeri di seluruh Malaysia. Dengan dukungan dan kesadaran penuh masyarakatnya untuk mengonsumsi atau menggunakan produk halal dan tayib sesuai standar halal Malaysia, sejak tahun 2005 Malaysia menetapkan diri sebagai pusat halal dunia (world halal hub).30 Saat ini banyak produk halal Malaysia yang beredar di Indonesia, yang mau tidak mau menjadi alternatif pilihan bagi konsumen Muslim Indonesia.

Masalah kehalalan dan ketayiban produk sudah mendapat perhatian dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen Muslim di seluruh dunia maupun sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi pemasaran produk. Perdagangan internasional telah mengintroduksi ketentuan pedoman halal dalam CODEX Alimentarius (1997) yang didukung oleh organisasi-organisasi internasional dan standard halal negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI melalui SMIIC (Standard and Metrology Institutes of Islamic Countries). Sejumlah organisasi perdagangan internasional telah mengakui bahwa tanda halal

30 Ibid., hlm. 5-6.

(18)

pada produk menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar dan memperkuat daya saing produk domestik di pasar internasional.31 Di tingkat regional terdapat ASEAN General Guidelines on Preparation and Handling of Halal Food dan kesepakatan Majelis Agama Brunai Darusalam, Indonesia, dan Malaysia (MABIMS). Pelaku usaha Indonesia diharuskan memenuhi standar halal tersebut untuk dapat menembus pasar halal regional dan internasional.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ingin menggali bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia. Penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib melalui sertifikasi serta labelisasi halal dan tayib sangat dibutuhkan oleh konsumen dan pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban religius dan memiliki potensi pasar halal yang luas. Namun sampai saat ini konsumen belum sadar halal dan jumlah pelaku usaha yang menerapkan jaminan produk halal masih sedikit.32 Pemerintah terus membangun upaya perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia, yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan pelaku usaha untuk produksi, perdagangan, serta konsumsi di Indonesia dan eksport di pasar halal dunia. Penelitian difokuskan pada aspek substansi hukum, struktur hukum, dan nilai-nilai hikmah hukum Islam serta berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia.

31

Pemerintah Republik Indonesia, 2006, Op. Cit., hlm. 4.

32Mashudi, 2011, “Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat tehadap Sertifikasi Produk

Halal (Studi Socio Legal terhadap LPPOM MUI),” Ringkasan Disertasi, FH UNDIP Semarang, hlm. xiv , http://eprints.undip.ac.id/40820, (18-010-2014).

(19)

Identifikasi Permasalahan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Pelaku usaha Produksi produk MUI/LPPOM Lembaga Sertifikasi Halal Konsumen Konsumsi produk

Sebelum lahirnya UU Jaminan Produk Halal 2014: UU Perlindungan

Konsumen, UU Pangan,UU Kesehatan & UU Peternakan

Hukum Islam:

Al-Quran, hadis, ijmak/ fatwa halal MUI

Problematika sertifikasi & labelisasi halal Akar Masalah: substansi hukum, struktur hukum, kultur hukum Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dan pelaku usaha Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dan pelaku usaha Pasca lahirnya UU Jaminan Produk Halal 2014, UU Dagang, UU Standarisasi CODEX, MABIMS, Kesepakatan Ulama Asean, SMIIC, TBT Agreement SPS Agreement

Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Kementrian Agama

Banyak Lembaga Pemeriksa

Halal dalam negeri

Banyak Lembaga Pemeriksa

Halal luar negeri Belum ada norma, standar, prosedur,

dan kriteria jaminan produk halal (Pasal 6 Butir (b) Undang-Undang

(20)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam dan sertifikasi halal MUI?

2. Bagaimana pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam instrumen hukum sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia? 3. Bagaimana formulasi pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam

penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menggali dan menemukan bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam dan sertifikasi halal MUI.

2. Untuk menggali dan menganalisa bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam instrumen hukum sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia.

3. Untuk memformulasikan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian D.1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia dan dapat menemukan kesamaan

(21)

persepsi dan upaya integrasi hukum antara hukum Islam dengan hukum perlindungan konsumen di Indonesia.

b. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan berpikir seputar khasanah keilmuan hukum Islam tentang produk halal dan tayib, perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib, dan hukum perlindungan konsumen sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan susbtansi disiplin ilmu hukum, khususnya mengadakan literatur tentang pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia.

D.2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian dapat menjadi alternatif penyelesaian persoalan konsumen dan pelaku usaha tentang penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib, yaitu dengan ditemukannya konsistensi penerapan bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam pada hukum perlindungan konsumen di Indonesia sehingga dapat memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan perlindungan hukum bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia.

b. Hasil penelitian yang dipublikasikan diharapkan bermanfaat bagi upaya menumbuhkan kesadaran bagi pelaku usaha dan konsumen untuk memproduksi dan mengkonsumsi produk halal dan tayib, sehingga dapat menunjang dan meningkatkan pengembangan perdagangan dalam negeri, memperbaiki kualitas impor produk halal dan tayib dari luar negeri, dan

(22)

mampu melakukan ekspor produk halal dan tayib Indonesia ke negara-negara Muslim lainnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil observasi kepustakaan yang dilakukan penulis pada beberapa perpustakaan diketahui bahwa ada beberapa penelitian yang sejenis atau terkait yang pernah dilakukan oleh orang lain dalam bentuk disertasi. Namun demikian, sepanjang pengetahuan peneliti belum ada peneliti lain yang meneliti tentang pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia.

Tabel 01: Daftar Perbandingan Keaslian Penelitian

No. Nama Judul dan Substansi

1. Sopa, Disertasi UIN Jakarta, 200833

Sertifikasi Halal MUI, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (1994-2005).

Fokus Penelitian

a. Mekanisme apa yang ditempuh oleh MUI dalam kegiatan sertifikasi halal untuk produk makanan, obat-obatan, dan kosmetika.

b. Kaidah apa saja yang digunakan oleh MUI dalam kegiatan sertifikasi halal dan mengapa kaidah tersebut digunakan.

c. Bagaimana kedudukan sertifikasi halal sebagai fatwa tertulis MUI.

Metode Pendekatan

Penelitian fatwa ulama ini merupakan penelitian pemikiran hukum Islam, kepustakaan, dan lapangan. Hasil

penelitian

a. MUI tidak mengikuti kaidah kehalalan yag telah dirumuskan oleh mazhab tertentu, tetapi mengikuti pendapat mazhab-mazhab yang dinilainya rajih dan sesuai dengan kemaslahatan dan pendapatnya sendiri sehingga menghasilkan fiqh baru dengan metode talfiq. b. Kaidah produk makanan MUI mengikuti mazhab Syafii

dan pendapat jumhur ulama selain Imam Malik.

33Sopa, 2013, Sertifikasi Halal MUI, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan,

(23)

Penyembelihan MUI mengikuti pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah yang menetapkan

persyaratan bacaan Bismillah dan pendapat Dawud al Zahiri, al –Laits bin Sa‟ad dan Muhammad bin Hasan yang mewajibkan pemotongan hulqum, mar’i, dan wajadain dalam proses penyembelihan hewan. Kaidah produk minuman, MUI mengikuti pendapat jumhur ulama dalam menetapkan kriteria khamar meliputi semua yang memabukkan dan pendapat jumhur ulama yang menajiskan alkohol

c. Sertifikasi halal yang dilakukan MUI sangat ketat dan teliti melalui tahapan audit bahan dan proses produksi, serta fatwa Komisi Fatwa MUI.

2. Ali Mustafa Yaqub,34 Disertasi Universitas Pakistan, 2008.

Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis

Fokus Penelitian

a. Bagaimana kriteria halal dan haram pangan obat dan kosmetika menurut al-Quran dan hadis?

b. Bagaimana mekanisme yang ditempuh oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal di beberapa negara mayoritas dan minoritas Muslim dalam menetapkan produk halal dan pengawasannya serta proses penerbitan sertifikasi kehalalannya?

Metode Penelitian

Secara umum menggabungkan antara kajian pustaka (fikih kitab) dengan kajian lapangan (fikih kehidupan). Metode fikih kitab dilakukan dengan menyebutkan beberapa pendapat ulama dari Empat Mazhab dan

mencantumkan secara langsung teks aslinya. Kajian fikih kehidupan dilakukan dengan melakukan inspeksi pada lembaga-lembaga sertifikasi halal dan melakukan wawancara serta diskusi ilmiah bersama pengurus lembaga mengenai penetapan halal untuk produk-produk yang telah mendapat sertifikat halal.

a. Kriteria halal untuk pangan, obat, dan kosmetika yang tidak disebutkan oleh al-Quran maupun hadis adalah tayib (baik). Tayib menurut para ulama sesuatu yang dirasakan enak (pendapat Imam Syafi‟i), halal dan suci atau tidak hajis (pendapat Imam Malik bin Anas dan Imam Thabarani) dan sesuatu yang membahayakan tubuh dan akal (pendapat Imam Ibn Katsir). Kriteria

34Ali Mustafa Yaqub, 2009, Kriteria Halal dan Haram untuk Pangan, Obat, dan

(24)

haram untuk pangan, obat, kosmetika dan hal-hal yang tidak disebut di dalam al-Quran dan hadis, ada lima; khabits (buruk), najis, berbahaya, memabukkan, dan anggota tubuh manusia.

b. Untuk memelihara kepentingan konsumen Muslim di dunia dan memperkenalkan kepada non-Muslim tentang urgensi kehalalan dalam masalah pangan, lembaga-lembaga sertifikasi halal di berbagai negara telah menetapkan produk-produk halal bagi kaum Muslimin. Peran ini dilaksanakan oleh pengelola lembaga-lembaga penjamin halal dengan membuat standar syariah yang diperlukan. Ditemukan adanya perbedaan diantara lembaga-lembaga sertifikasi halal dalam menetapkan hukum produk tersebut. Perbedaan ini menyulitkan upaya untuk menentukan hukum-hukum produk-produk pangan. Oleh karena itu, harus dibuat standar halal yang bersifat internasional (al halal al dauli) atau halal yang mendunia (al halal al alami). 3. Mashudi, 35

Disertasi FH UNDIP Semarang, 2011

Konstruksi Hukum dan Respon Masyarakat tehadap Sertifikasi Produk Halal (Studi Socio Legal terhadap LPPOM MUI)

Fokus Penelitian

a. Betulkah respon Masyarakat terhadap sertifikasi produk halal yang dilakukan LPPOM MUI rendah, mengapa?

b. Bagaimana upaya menemukan hukum ideal bagi LPPOM MUI mengenai respon masyarakat terhadap sertifikasi halal agar agar efektif dan ideal?

c. Bagaimana konstruksi hukum yang tepat mengenai sertifikasi produk halal agar memiliki kepastian hukum. Metode

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal dan jenis penelitian lapangan (field research) dan

kepustakaan. Hasil

penelitian

a. Respon produsen dan konsumen terhadap sertifikasi produk halal LPPOM MUI rendah.

b. Upaya hukum ideal LPPOM MUI terhadap sertifikasi halal agar efektif meningkatkan respon masyarakat adalah melakukan unifikasi hukum bagi pengaturan sertifikasi halal.

c. Konstruksi hukum yang ideal bagi pengaturan sertifikasi halal dibangun atas dasar asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

Kebaruan a. Pelaku usaha masih berorientasi bisnis, belum

(25)

Hasil Penelitian

mengutamakan kepentingan konsumen.

b. Pendidikan dan pengetahuan sebagian besar Umat Islam tentang produk halal rendah.

c. Regulasi yang melindungi konsumen harus mengutamakan nilai kepastian.

3. KN. Sofwan Hasan,36 Disertasi FH UNSRI, 2014

Studi Sertifikasi Halal Produk Pangan dalam Hukum Positif di Indonesia

Fokus Penelitian

Proses sertifikasi halal produk pangan sudah

dilaksanakan oleh LPPOM MUI. Namun sampai saat ini belum ada payung hukum yang mewajibkan pelaku usaha melakukan sertifikasi halal.

Metode Pendekatan

Sifat penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Sumber data kepustakaan dan undang-undang, diolah secara analisis kualitatif. Teori yang digunakan Teori Kodifikasi Hukum Islam, Teori Sociological Jurisprudence Roscou Pound, Teori Maslahah Mursalah, dan Gibiesleer.

Hasil penelitian

Sudah ada regulasi yang mengatur yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang-Undang-Undang Pangan 2012 tetapi masih bersifat sektoral dan parsial. Belum memberikan kepastian hukum kehalalan produk pangan. Sertifikasi masih bersifat sukarela dan belum merupakan kewajiban pelaku usaha

Kebaruan Hasil Penelitian

Jaminan halal produk pangan diwujudkan dengan

sertifikasi dan labelisasi halal. Kepastian hukum produk halal dapat terukur melalui bekerjanya hukum secara efektif. Perlu segera lahirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal.

4. Teti Indrawati Purnamasari

Pengaturan Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dan Tayib di Indonesia

Fokus Penelitian

Bagaimana formulasi pengaturan bentuk-bentuk

perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia?

Metode Pendekatan

Penelitian ini temasuk jenis penelitian hukum normatif, penelitian hukum Islam preskriptif, dan bersifat

deskriptif kualitatif. Jenis data yang digunakan data sekunder yang ditunjang oleh data primer. Penelitian dilaksanakan dengan cara penelitian pustaka (library research) dan wawancara pada narasumber yang

36KN. Sofyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, 2014, Aswaja Pressindo,

(26)

ditentukan secara purposive. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Sistem Hukum Friedman, Teori Maqashid Syariah (tujuan pensyariatan) asy-Syatibi, dan Teori Perlindungan Hukum bagi Konsumen Hasil

penelitian

Formulasi pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia, melalui:

a. Penguatan koneksi dan integrasi asas-asas jaminan produk halal dan tayib dengan asas-asas umum/khusus perlindungan konsumen di Indonesia.

b. Penyusunan norma-norma, standar, dan pedoman penyelenggaraan jaminanan produk halal dan tayib di Indonesia harus harmonis dengan prinsip-prinsip hukum Islam, hukum perlindungan konsumen Indonesia, dan hukum perdagangan internasional. c. Penguatan perlindungan konsumen melalui peran negara dan lembaga perlindungan konsumen yaitu pada bidang administrasi dan bidang pengawasan penyelenggaraan jaminanan produk halal.

f. Penguatan perlindungan konsumen melalui peran MUI dan LPPOM MUI yaitu pada bidang penetapan fatwa dan lembaga pemeriksa halal.

g. Penguatan perlindungan konsumen melalui peran serta masyarakat, yaitu: pemberdayaan konsumen melalui jalur pendidikan formal, informal, sosialiasasi, media massa, pengumuman publik, serta membentuk keluarga sadar halal dan tayib.

h. Penguatan perlindungan konsumen melalui penjabaran nilai-nilai hikmah perlindungan konsumen produk halal dan tayib dalam hukum Islam dalam

penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia. Penjabaran nilai-nilai hukum Islam

hendaknya dilakukan secara optimal dan komprehensif dengan membangun aspek religius hukum

perlindungan konsumen Indonesia. Konsumen dan pelaku usaha Muslim memiliki kepentingan perlindungan negara pada kewajiban religius; kepastian; keadilan; kemanfaatan; universal; kebaikan; kebersihan; keselamatan/keamanan; kesehatan; kejujuran/transparansi dan informasi; toleransi; ekonomis dan daya saing berdasarkan nilai-nilai hikmah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadis.

Kebaruan Hasil Penelitian

a. Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dan pelaku usaha dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib.

(27)

b. Bentuk-bentuk penguatan peran pemerintah, MUI, lembaga pemeriksa halal, dan peran serta masyarakat dalam upaya penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib.

c. Penguatan penjabaran nilai-nilai religius yang bersumber dari al-Quran dan hadis dalam bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam

penyelenggaraan jaminanan produk halal dan tayib sebagai usulan materi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri.

d. Usulan konsep materi bagi penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria jaminan produk halal (Pasal 6 Butir (b) Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal).

Apabila penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu, maka terdapat persamaan objek penelitian pada sertifikasi fatwa halal MUI. Selain itu terdapat perbedaan pada aspek fokus masalah, metode, dan teori yang digunakan dalam penelitian.

F. Metode Penelitian F.1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,37 karena metode ini mengungkapkan kaidah-kaidah normatif yang bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum Islam dan hukum perlindungan konsumen untuk menemukan prinsip-prinsip produk halal dan tayib dalam hukum Islam di Indonesia. Metode ini digunakan untuk mengetahui asas-asas dan nilai-nilai yang mendasari konsep hukum produk halal dan tayib dalam peraturan perundangan di bidang perlindungan konsumen, yang berfungsi memberikan penjelasan yang lebih

37

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum dokrinal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar

(28)

mendalam secara objektif, sistematik, dan general daripada sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks (contents analysis)38 yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.39

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena berusaha menemukan hukum in concreto40 dan mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek.41 Penelitian hukum in concreto dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peraturan perundang-undangan yang ada dapat diterapkan yaitu dengan menganalisa data sekunder dan meneliti taraf sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal peraturan hukum tertulis.42 Penelitian ini menguji taraf sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal peraturan perundangan di bidang perlindungan konsumen terkait dengan hukum produk halal dan tayib, untuk selanjutnya lebih jauh lagi digunakan untuk menentukan konsistensi materi hukum Islam tentang produk halal dan tayib yang masuk ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Materi hukum Islam yang dimaksud meliputi aspek substansi (isi) dan aspek prosedur (cara) penetapan jaminan produk halal melalui sertifikasi fatwa halal MUI.

Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum Islam preskriptif karena bertujuan menggali norma-norma hukum Islam dalam tataran das sollen, yaitu

38Soejono dan Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta,

hlm. 15.

39

Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 295.

40Roni Hanintjo Sumitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,

Jakarta, hlm. 12.

41

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 102.

42Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,

(29)

norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang lebih baik,43 khususnya bagi pelaku usaha, konsumen, dan pemerintah dalam melaksanakan perlindungan konsumen produk halal dan tayib. Penelitian ini bertujuan menemukan norma-norma hukum Islam untuk merespon berbagai permasalahan perlindungan konsumen yang diperlukan oleh pemerintah untuk mengatur dan melindungi kepentingan pelaku usaha dan konsumen dalam rangka mewujudkan bentuk-bentuk perlindungan konsumen produk halal dan tayib dari sudut pandang normatif. Kajian terhadap hukum Islam dimaksudkan untuk melakukan seleksi norma terhadap doktrin-doktrin yang dibentuk dan dikembangkan dalam berbagai kesepakatan para ulama di tingkat nasional/regional untuk diusulkan sebagai ketentuan hukum yang lebih baik. Dengan adanya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan perlindungan kepentingan para pihak maka penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib dapat berlangsung lebih baik.

F.2. Jenis data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang ditunjang oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kepustakaan yang mencakup dokumen, buku, jurnal, dan laporan penelitian. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, meliputi: al-Quran dan Terjemahannya, kitab-kitab kumpulan hadis, UUD 1945, Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang

(30)

No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian, Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, Keputusan Menteri Agama No. 11 Tahun 1981 tentang Pemberian Rekomendasi terhadap makanan dan Minuman Ditanggung Halal, Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Men. Kes/SKB/VIII Tahun 1985 dan No. 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan MUI tentang Pelaksanaan Pencantuman Tanda Halal pada Makanan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 82/Men. Kes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan dan Perubahannya No. 924/Men.Kes/SK/1996, Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, dan Keputusan Menteri Agama no. 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

(31)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku literatur mengenai hukum, hukum Islam, kumpulan fatwa MUI, filsafat hukum, filsafat hukum Islam, hukum ekonomi, hukum ekonomi Islam, fiqh ekonomi, hukum perlindungan konsumen, hukum perdagangan internasional, etika Islam, serta hasil penelitian hukum, tesis, dan disertasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Termasuk di dalamnya doktrin-doktrin yang telah tersusun dalam draff atau pedoman yang telah disepakati para ahli: Rancangan Peraturan Pemerintah Tahun 2003 tentang Jaminan Produk Halal Usulan Departemen Agama, Rancangan Undang-Undang Tahun 2006 tentang Jaminan Produk Halal Usulan Departemen Agama, Rancangan Undang-Undang Tahun 2011 tentang Jaminan Produk Halal Usulan DPR, Rancangan Undang-Undang Tahun 2012 tentang Jaminan Produk Halal Usulan MUI, Rancangan Undang-Undang Hasil Harmonisasi, Materi Rapat Dengar Pendapat Pembentukan Rancangan Undang-Undang Tahun 2011 tentang Jaminan Produk Halal, SPS Agreement, TBT Agreement, CODEX Alimentarius, General Guidelines for Use of The Term Halal, ASEAN General Guidelines on The Preparation and Handling of Halal Food, Keputusan Pertemuan Ulama Negara-negara ASEAN tentang Penyelarasaan Sistem dan Prosedur Fatwa Produk Halal, MABIMS, Ijmak MUI Komisi Fatwa Se-Indonesia III 2009, dan Pedoman Jaminan Produk Halal MUI.

c. Bahan hukum tersier, yaitu kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, kamus hukum Islam, ensiklopedia, eksiklopdia Islam, dan bahan-bahan lain yang

(32)

dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Data primer mengenai penelitian diperoleh dari pendapat atau pandangan narasumber. Para narasumber dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu mereka yang memiliki latar belakang sesuai dengan keahlian yang terlibat dalam jaminan produk halal, adalah:

a. Ahli hukum perlindungan konsumen: DR. Sofie Yusuf, SH., M. H. b. Ahli hukum Islam: Prof. DR. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

c. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen: Sudaryatmo, S.H.

d. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim: Bambang Irawan, S.H.

e. Ketua Subdit Pembinaan Pangan Halal Departemen Agama RI: DR. H. Muchtar Ali, MA.

F.3. Cara, alat, dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan cara penelitian pustaka (library research), yaitu mengumpulkan dan mengklarifikasikan bahan pustaka (literature) sebagai sumber data. Selanjutnya pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara pada narasumber.

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan alat studi dokumen, sedangkan data primer diperoleh dengan wawancara. Studi dokumen merupakan langkah awal setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.44 Studi dokumen penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data dari bahan pustaka berupa peraturan

44Ibid., hlm. 68.

(33)

perundangan, buku-buku literatur, hasil penelitian, laporan lembaga yang terkait dengan masalah penelitian. Selain itu juga digunakan alat browsing internet untuk mengakses layanan data jurnal ilmiah di dunia maya.45 Wawancara dilakukan dengan menggunakan alat pedoman wawancara yang diajukan pada narasumber.

Lokasi penelitian yang dikunjungi untuk memperoleh bahan hukum dan data/informasi yang diperlukan meliputi: Perpustakaan FH UGM Yogyakarta, Perpustakaan BPHN Jakarta, Kantor Pusat MUI dan LPPOM MUI Jakarta, Kantor dan Perpustakaan LPPOM MUI NTB, Kantor Imam Besar Masjid Istiqal Jakarta, Kantor Badan Perlindungan Konsumen Nasional Jakarta dan Universitas Yarsi Jakarta, Kantor dan Perpustakaan YLKI Jakarta, Kantor Kementrian Agama RI Jakarta, Kantor Komisi VIII Gedung DPR RI, dan Kantor Yayasan Konsumen Muslim (YLKM) di Jakarta.

F.4. Analisis data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif karena bertujuan menggambarkan secara terperinci pengaturan hukum Islam tentang produk halal dan tayib serta penerapannya ke dalam instrumen hukum sertifikasi dan labelisasi halal Indonesia dengan sifat data yang dikumpulkan tidak berupa angka.

Semua data yang diperoleh dan terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu dengan menggambarkan atau memaparkan teori yang ada dengan data yang diperoleh dari perpustakaan maupun informasi dari literatur yang menjelaskan seputar jaminan produk halal, dengan melakukan interpretasi

45Dyah Ochtorina Susanti dan A‟an Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research),

(34)

yakni memberikan makna pada analisis, menjelaskan pola atau kategori mencari hubungan antara berbagai konsep.46

Menganalisis data pada hakekatnya menemukan makna yang terkandung dalam temuan data. Makna tersebut bisa diperoleh dengan memberinya perspektif.47 Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini diberi perspektif hukum Islam dan hukum perlindungan konsumen. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif dengan lebih menekankan analisis pada proses penyimpulan deduktif dan induktif dengan menggunakan logika ilmiah sebagai usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.48

G. Definisi Operasional

Definisi opersional yang digunakan dalam penulisan disertasi ini ialah: 1. Pengaturan bentuk-bentuk perlindungan konsumen ialah wujud pengaturan

perlindungan konsumen, yaitu berupa prinsip atau asas, norma, dan nilai-nilai hikmah yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum perlindungan konsumen. Wujud pengaturan perlindungan konsumen meliputi pengaturan bahan halal dan tayib, alat dan proses produksi halal dan tayib, serta tahapan sertifikasi labelisasi halal dan tayib yang dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepastian produk halal dan tayib.

2. Perlindungan konsumen ialah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

46S. Nasution, 2003, Metode Penelitian Naturalistik Kuallitatif, Tarsito, Bandung, hlm.

126.

47M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm. 132.

(35)

3. Jaminan produk halal dan tayib ialah kepastian hukum terhadap kehalalan dan ketayiban suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan tayib. 4. Produk halal dan tayib ialah barang atau jasa yang sesuai dengan standar halal

dan tayib hukum Islam; yang diproduksi, diperdagangkan, dan dikonsumsi oleh pelaku usaha atau konsumen.

(36)

Skema 01: Alur Pikir Proses Penelitian P e n e l i t i a n Studi Pustaka Studi Lapangan Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Tersier Perpustakaan UGM Perpustakaan YLKI Perpustakaan BPHN Internet MUI/LPPOM Jakarta Kementrian Agama Komisis VIII DPR YLKI Jakarta YLKM Jakarta Al-Quran Hadis Ijma/Fatwa MUI UUD 1945 UU PP KMK, KMA, KMP RPP/RUU, Buku,

Tesis & Disertasi, Pedoman MUI, CODEX, MABIMS,

Kesepakatan Ulama Asean, SMIIC, TBT Agreement, SPS Agreement, Jurnal Halal Jurnal Hukum Jurnal Syariah Kamus Validasi data Interpretasi data Penulisan Ujian

(37)

Skema 02: Kerangka Pemikiran Pengaturan Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

dan TayibDi Indonesia

Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia

Hukum Islam Sertifikasi & labelisasi halal Hukum Perlindungan Konsumen Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam Al-Quran, hadis, ijma/fatwa MUI MUI LPPOM MUI Umat Islam Masyarakat Konsumen Pelaku Usaha Nilai-Nilai Hikmah Hukum Islam Substansi Hukum Struktur Hukum Kultur Hukum Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Pertanian, Keputusan

Menteri Kesehatan, Keputusan Menteri Agama.

Badan POM Kementrian Agama Masyarakat Konsumen Pelaku Usaha Nilai-Nilai Hukum Perlindungan Konsumen Permasalahan penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib

OUT PUT: konsep mengenai prinsip, norma, standar, prosedur, dan kriteria

jaminan produk halal (Pasal 6 Butir (b) Undang-Undang Jaminan Produk Halal) sebagai bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jaminan produk halal dan tayib di Indonesia

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, & Keputusan BPJPH

Teori Hukum Islam & Prinsip-Prinsip Hukum

Islam, CODEX, MABIMS, Kesepakatan

Ulama Asean, SMIIC

Teori hukum & prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen, Undang-Undang Jaminan Produk

Halal,Undang Standar, Halal, Undang-Undang Perdagangan, SPS Agreement, TBT Agreement

Gambar

Tabel 01: Daftar Perbandingan Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Username (kosong) Password (rezza) Sistem akan menolak dan menampilkan "Maaf, Username Anda masih kosong!" Sesuai Pengujia n Valid 4 Memasukan dengan kondisi

Soedarsono (1992), menyatakan pendapat yang diterima petani dari hasil produksi adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi,

Secara serentak peningkatan aggregate demand akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dan kapital yang akan meningkatkan semua variabel penting dalam pertumbuhan ekonomi

Penguatan Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Melalui Peran Negara/ Pemerintah Dan Lembaga Perlindungan Konsumen Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Dan Tayib

Disimpulkan dari penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri

(2) Dalam hal penyelenggaraan statistik sektoral tersebut dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah yang bersangkutan berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

• Escherichia coli pada transfer bakteri dari media Agar pada cawan petri (agar plate) ke Agar miring.. Bakteri ini sedikit tumbuh di atas permukaan media dengan warna putih

Sebelum kegiatan pengenalan diri peserta dikklat, yang terbaik dilakukan adalah mengenal ketua programlmanajer Diklaw dan diri Widyaiswara. Mengenal ketua program