• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG 2021"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PERANTARA

PENELITIAN TERAPAN PENGEMBANGAN NASIONAL

KREATIVITAS GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKALISME DAN INTOLERANSI BERBASIS NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH DAERAH

EKSOTIS PARIWISATA

TIM PENELITI

Ketua : Dr. Remiswal, S.Ag., M.Pd.

Anggota : Dr. Aprizal Ahmad, S.Ag., M.Pd.

: Arham Junaidi Firman, M.Pd.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2021

(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan kekayaan serta mempunyai keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama dan bahasa daerah. Meskipun penuh dengan keragaman, Indonesia tetap satu sesuai dengan semboyannya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.

Namun, dibalik semua keragaman yang ada ternyata masih memunculkan berbagai permasalahan, baik dibidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama. Kekecewaan terhadap Pemerintah yang dinilai gagal dalam mengatasi berbagai permasalahan tersebut, semakin memperbesar potensi masuknya ideologi-ideologi radikal dan kasus-kasus intoleransi. Karena pelaku teror akan sangat memungkinkan untuk bergerak melakukan upaya secara sembunyi- sembunyi di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Sebagai pemeluk agama yang membawa misi perdamaian, hendaknya tidak mudah terbawa arus oleh pihak-pihak yang mengajak untuk berbuat kejahatan yang berdasar pada ideologi radikal dan intoleransi. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin, hendaknya disebarkan dan diajarkan dengan cara yang damai. Membuat orang lain menyadari kesalahannya tidak harus dengan jalan kekerasan dan menjatuhkan. Islam sangat menganjurkan untuk saling menjalin silaturrahmi, yakni dengan mendekatkan yang jauh dan

(3)

2 mengeratkan yang dekat. Kasih sayang akan membuat seseorang menemukan jalan terbaik dalam kehidupannya.1

Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah mengecam terorisme dan kasus-kasus intoleransi.

Meski demikian, respon itu tidak hanya berhenti pada pernyataan sikap.

Diperlukan tindak lanjut nyata dalam mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkecil ruang gerak kelompok-kelompok teroris dan tindakan intoleransi dengan memberi pendidikan sebaik-baiknya kepada masyarakat.2

Banyak bukti tentang radikalisme dan intoleransi yang terjadi di negeri ini, termasuk daerah eksotis pariwisata. Jika menilik ke berbagai daerah eksotis pariwisata yang ada di Indonesia, maka dapat peneliti petakan daerahnya dari telaah literatur yang dilakukan, yaitu Lombok, Aceh, Jakarta, Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Malang Raya, Jawa Tengah dan Makassar. Pemetaan ini didasarkan kepada kategori daerah yang dinobatkan sebagai daerah eksotis pariwisata oleh Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019.3 Namun, dalam kegiatan penelitian ini, lokasi penelitian difokuskan pada dua daerah, yaitu Lombok dan Makassar.

Lombok merupakan sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan

1 Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisme: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme, (Jakarta: Kompas, 2016), h. 31-32

2 Misrawi Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 90

3 Dedy Darmawan Nasution, Ini 10 Destinasi Wisata Halal Terbaik Indonesia, dalam https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/ppmze1370/ini-10-destinasi-wisata-halal- terbaik-indonesia. Diakses 09 Agustus 2019.

(4)

3 Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997 dan krisis-krisis lain yang menyertainya, potensi pariwisata agak terlantarkan. Lalu pada awal tahun 2000 terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka terutama mengungsi ke pulau Bali. Namun selang beberapa lama kemudian situasi sudah menjadi kondusif dan mereka sudah kembali. Pada tahun 2007 sektor pariwisata adalah satu-satunya sektor di Lombok yang berkembang.4

Sementara itu, Makassar merupakan kota metropolitan terbesar di kawasan Indonesia Timur dan pada masa lalu pernah menjadi ibu kota Negara Indonesia Timur dan Provinsi Sulawesi. Makassar modern memiliki banyak tempat wisata yang digunakan untuk keperluan hiburan masyarakat Makassar maupun bagi wisatawan yang berasal dari kota maupun negara lain, diantaranya adalah Pantai Akarena, Pulau Lae-Lae, Pulau Khayangan dan lain sebagainya.5

Selain terkenal dengan destinasi wisatanya, Lombok dan Makassar juga terkenal dengan ragam budaya yang mereka miliki. Lombok memiliki ragam budaya seperti gendang beleq, bau nyale, slober, lomba memaos dan lain

4 Wikipedia, Pulau Lombok, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok. Diakses 09 Agustus 2019.

5 Wikipedia, Kota Makassar, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Makassar. Diakses 09 Agustus 2019.

(5)

4 sebagainya.6 Sedangkan Makassar terkenal dengan budayanya, yaitu maraga, mappadendang, tarian magis pepe-pepeki ri makka dan lain sebagainya.7

Fakta tersebut juga didukung oleh fenomena-fenomena yang muncul di lapangan, yaitu: 1) Sebanyak 7.120 mahasiswa baru Universitas Negeri Makassar (UNM) mendeklarasikan penolakan terhadap intoleransi dan paham radikalisme dalam kampus.8 2) Wali Kota Makassar Mohammad Ramdham Pomanto angkat suara mengenai survei Setara Institute seputar indeks kota toleran. Dalam survei tersebut, Makassar termasuk kota intoleran atau masuk daftar sepuluh kota dengan skor indeks toleran terendah.9 3) Nasib 24 penganut Ahmadiyah yang mengalami persekusi masih terkatung-katung. Setelah sempat dievakuasi di Kantor Polres Lombok Timur, kini mereka direlokasi di penampungan sementara.10

Budaya dalam kaitannya dengan pendidikan, dalam hal ini pendidikan agama Islam merupakan dua hal yang saling mengisi, mempengaruhi perilaku dan pola pikir masyarakat.11 Pendidikan melahirkan budaya dan kemudian budaya akan mempengaruhi proses pendidikan dalam membentuk perilaku

6 Wikipedia, Pulau Lombok, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok. Diakses 09 Agustus 2019.

7 Wikipedia, Kota Makassar, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Makassar. Diakses 09 Agustus 2019.

8 Alfian, 7.120 Mahasiswa Baru UNM Deklarasi Tolak Radikalisme, dalam https://makassar.tribunnews.com/2019/08/15/7120-mahasiswa-baru-unm-deklarasi-tolak-

radikalisme?page=2. Diakses 09 Agustus 2019.

9 Andi Aan Pranata, Wali Kota Makassar Ragukan Survei Indeks Kota Intoleran, dalam https://www.medcom.id/nasional/daerah/5b2qX9dN-wali-kota-makassar-ragukan-survei-indeks- kota-intoleran. Diakses 09 Agustus 2019.

10 BBC, Setelah diserang, nasib 24 penganut Ahmadiyah di Lombok Timur “terkatung- katung”, dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44208771. Diakses 09 Agustus 2019.

11 Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. xxiv

(6)

5 kebudayaan. Melihat hal demikian, kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata memiliki peranan yang sangat urgen dalam menciptakan perdamaian dan keharmonisan sosial, sehingga bisa mendatangkan kesejahteraan secara nyata dalam kehidupan peserta didik maupun masyarakat secara luas.

Oleh karena itu, hal yang sangat menarik untuk ditelusuri lebih spesifik, yaitu bagaimana kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Penelitian ini akan mengungkap lebih dalam seperti apa kreativtas guru Pendidikan Agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi yang pada tahap akhir diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi satuan pendidikan dalam hal mengembangkan kreativitas guru Pendidikan Agama Islam sehingga dapat menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal yang ada di sekolah daerah eksotis pariwisata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi dari latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perspektif guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata?

(7)

6 2. Bagaimana kebijakan guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata?

3. Bagaimana praktik guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengungkap kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Berdasarkan tujuan umum tersebut, dapat dirincikan tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui dan menelusuri lebih dalam tentang perspektif guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

2. Untuk mengetahui dan menelusuri lebih dalam tentang kebijakan guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

3. Untuk mengetahui dan menelusuri lebih dalam tentang praktik guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

(8)

7 D. Kontribusi Penelitian

Adapun kontribusi penelitian “Kreativitas Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Paham Radikalisme dan Intoleransi Berbasis Budaya Lokal di Sekolah Daerah Eksotis Pariwisata”, yaitu:

1. Secara Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran atau ide untuk mengembangkan kretivitas guru, khususnya yang berkaitan dengan upaya menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal.

b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi pelaksanaan penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

c. Penelitian kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata ini diharapkan dapat membawa perubahan mindset praktisi pendidikan tentang betapa pentingnya kreativitas guru dalam dunia pendidikan.

2. Secara Praktis

a. Bagi peneliti, menambah dan memperluas pengetahuan tentang kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

b. Bagi sekolah, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi masukan dalam pemilihan arah kebijakan pengembangan pendidikan tinggi

(9)

8 khususnya yang berkaitan dengan kreativitas guru pendidikan agama Islam.

c. Bagi Dinas Pendidikan, penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perbaikan kebijakan yang telah ada terkait dengan upaya menangkal paham radikalisme dan intoleransi.

E. Luaran Penelitian

Berdasarkan tujuan dan kontribusi dari penelitian yang dilaksanakan tentang kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata, maka rencana pencapaian kinerja utama dari penelitian ini, yaitu:

No Jenis Luaran

Indikator Capaian

TS** TS+1 TS+2 TS+3 TS+4

1 Artikel ilmiah dimuat di jurnal

Internasional √

Nasional

Terakreditasi √

Nasional Tidak Terakreditasi √

2 Artikel ilmiah dimuat di prosiding

Internasional √

Nasional √

Lokal √

3 Keynote Speaker dalam temu ilmiah

Internasional √

Nasional √

Lokal √

(10)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Konsep Kreativitas

Kreativitas menurut kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar kreatif, yaitu memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu.12 Sedangkan kreativitas sendiri memiliki arti kemampuan untuk menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru yang berbeda dengan sebelumnya.

Kreativitas merupakan kemampuan interaksi antara individu dan lingkungannya. Seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia berada, dengan demikian perubahan di dalam individu maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreatif.

Salah satu konsep yang amat penting dalam bidang kreativitas adalah hubungan antara kreativitas dan aktualisasi diri. Menurut psikolog humanistik, Abraham Maslow dan Carl Rogers dalam Munandar menyatakan bahwa seseorang dikatakan mengaktualisasikan dirinya apabila seseorang menggunakan semua bakat dan talentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi, mengaktualisasikan, atau mewujudkan potensinya.13 Menurut Maslow aktualisasi diri merupakan karakteristik yang fundamental, suatu potensialitas yang ada pada semua manusia saat dilahirkan, akan tetapi sering hilang, terhambat atau terpendam dalam proses pembudayaan. Jadi sumber dari

12 Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Arkola) h. 330

13 Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta: Rineka Cipta,1999), h. 19

(11)

10 kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang.

Harris dalam Hamdani mengemukakan bahwa kreativitas adalah suatu kemampuan untuk membayangkan atau menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk membangun ide-ide baru dengan mengombinasikan, mengubah, menerapkan ulang ide-ide yang sudah ada; suatu sikap, yaitu kemauan untuk menerima perubahan dan pembaharuan, bermain dengan ide dan memiliki fleksibilitas dalam pandangan; suatu proses, yaitu proses bekerja keras dan terus menerus sedikit demi sedikit untuk membuat perubahan dan perbaikan terhadap pekerjaan yang dilakukan.14

Selain itu, kreativitas individu dapat dilihat dari beberapa level atau tingkatan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Rosado bahwa terdapat lima level yang harus diperhatikan, yaitu perspektif, kebijakan, program, personel, dan praktik.15 Namun, level kreativitas yang dilihat dalam penelitian ini difokuskan pada aspek perspektif, kebijakan, dan praktik guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

2. Konsep Nilai-Nilai Budaya Lokal

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam

14 Asep Saepul Hamdani, Pengembangan Kreativitas Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka (Open Ended), h 2

15 Caleb Rosado, “What Makes a School Multicultural?,” The Adventist Journal of Education 16 Juni (1997): 1–15.

(12)

11 bahasa inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur”

dalam bahasa Indonesia.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kuntjaraningrat bahwa

“kebudayaan” berasal dari kata sanskerta “buddhayah” bentuk jamak dari kata

“buddhi” yang berarti budi atau akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.16 Kuntjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai suatu ide, gaagsan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, kedua, sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, ketiga, benda-benda hasil karya manusia.17

Sementara itu, nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah besar dan bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan masyarakat. Nilai budaya itu menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan, berada dalam alam fikiran mereka dan sulit untuk diterangkan secara rasional. Nilai budaya bersifat

16 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 9

17 Ibid,. h. 5

(13)

12 langgeng, tidak mudah berubah ataupun tergantikan dengan nilai budaya yang lain.18

Nilai budaya mempunyai beberapa fungsi dalam kehidupan manusia.

Menurut Widyosiswoyo mengatakan bahwa fungsi nilai-nilai budaya, meliputi:

pertama, nilai budaya berfungsi sebagai standar yang menunjukan tingkahlaku dari berbagai cara: a) Membawa individu untuk mengambil posisi khusus dalam masalah sosial. b) Mempengaruhi individu dalam memilih ideologi atau agama.

c) Menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan atas diri sendiri dan orang lain. d) Merupakan pusat pengkajian tentang proses-proses pembandingan untuk menentukan individu bermoral dan kompeten. e) Nilai digunakan untuk mempengaruhi orang lain atau mengubahnya. Kedua, nilai budaya berfungsi sebagai rencana umum dalam menyelesaikan konflik dan pengambilan keputusan. Ketiga, nilai budaya berfungsi motivasional. Nilai memiliki komponen motivasional yang kuat seperti halnya komponen kognitif, afektif, dan behavioral. Keempat, nilai budaya berfungsi penyesuaian, isi nilai tertentu diarahkan secara langsung kepada cara bertingkah laku serta tujuan akhir yang berorientasi pada penyesuaian. Nilai berorientasi penyesuaian sebenarnya merupakan nilai semu karena nilai tersebut diperlukan oleh individu sebagai cara untuk menyesuaikan diri dari tekanan kelompok. Kelima, nilai budaya berfungsi sebagai ego defensiv. Didalam prosesnya nilai mewakili konsep- konsep yang telah tersedia sehingga dapat mengurangi ketegangan dengan

18 Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung. PT Refika Aditama, 2009), h. 35

(14)

13 lancar dan mudah. Keenam, nilai budaya berfungsi sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri fungsi pengetahuan berarti pencarian arti kebutuhan untuk mengerti, kecenderungan terhadap kestuan persepsi dan keyakinan yang lebih baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi.19

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya memiliki banyak sekali fungsi diantaranya sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri fungsi pengetahuan berarti pencarian arti kebutuhan untuk mengerti, kecenderungan terhadap kesatuan persepsi dan keyakinan yang lebih baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi. Penyesuaian nilai tertentu diarahkan secara langsun kepada cara bertingkah laku serta tujuan yang berorientasi pada penyesuaian. Nilai berorientasi penyesuaian sebenarnya merupakan nilai semu karena nilai tersebut diperlukan oleh individu sebagai cara untuk menyesuaikan diri dari tekanan kelompok atau masyarakat.

Habibudin menyebutkan bahwa terdapat 10 nilai kearifan lokal dalam masyarakat Sasak yang berpotensi menjadi sumber pokok dalam melakukan inkulkasi dan revitalisasi perdamaian di Lombok, yaitu saling ajinang (saling menghormati, menghargai), tertip-terpi (tertib-teratur), teguq (tanggung jawab), solah perateq (baik hati), soloh (toleransi, cinta damai), tetes (partisipatif), saling saduq (saling percaya), besemeton (persaudaraan), ra’i (empati), dan bedadayan (kerja sama).20 Namun demikian, nilai-nilai budaya lokal masyarakat Lombok dalam penelitian ini difokuskan pada tiga aspek,

19 Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 54

20 Habibudin, “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Persekolahan di Lombok Timur”, JIPSINDO, Vol. 7, No. 1, 2020, h. 44-65

(15)

14 yaitu saling ajinang (saling menghormati, menghargai), ra’i (empati), dan teguq (tanggung jawab).

Sementara itu, Thalib menyebutkan bahwa masyarakat Makassar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal siri yang mencakup nilai, yaitu lempu’ (lurus, jujur), ada’ tongeng (berkata benar), getteng (teguh pada keyakinan yang benar), sipakatau (saling menghargai sesama manusia), pesse/pacce (sikap empati), assitinajang (kepatutan), cappa lilah (cerdas memecahkan masalah), reso (usaha), dan mappesona ri dewata seuae (berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa).21 Namun demikian, nilai-nilai budaya lokal masyarakat Makassar dalam penelitian ini difokuskan pada tiga aspek, yaitu sipakatau (saling menghargai sesama manusia), pesse/pacce (sikap empati), assitinajang (kepatutan).

3. Konsep Radikalisme

Radikalisme berasal dari bahasa latin, radix yang berarti akar.

Maksudnya yakni berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar- akarnya. Di dalam Cambridge Advanced Learners Dictionary; Radical is believing or expressing the belief that there should be great or extreme social or political change.22 Radikal adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrim.

Radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat

21 Syamsul Bachri Rhalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 12.

22 Cambridge University, Cambridge Advanced Leraners Dictionary, (Singapore:

Cambridge University Press, 2008), h. 1170.

(16)

15 sampai ke akarnya. Radikalisme menginginkan adanya perubahan secara total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencana yang digunakan adalah rencana yang paling ideal. Terkait dengan radikalisme ini, seringkali beralaskan pemahaman sempit agama yang berujung pada aksi terror bom tumbuh bersama sistem.

Sikap ekstrem ini berkembang biak di tengah-tengah panggung yang mempertontonkan kemiskinan, kesenjangan sosial, atau ketidakadilan.23

4. Konsep Intoleransi

Intoleransi adalah ujung berlawanan dari kontinum toleransi. Jika toleransi mengacu pada kecenderungan individu untuk menahan diri dari sikap negatif terhadap individu lain, maka intoleransi adalah sikap negatif antar individu atau kelompok yang dilakukan secara terbuka. Dalam cermatan Hunsberger, intoleransi terjadi akibat “keyakinan yang berlebihan” (over generalized beliefs), yang kemudian mewujud pada tiga hal; pertama, stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”; kedua, sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar; dan ketiga disposisi tindakan yang tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik-sosial.

Prasangka adalah “lapisan awal” dari intoleransi. Berupa pandangan- pandangan yang meremehkan, merendahkan, dan mengerdilkan orang lain.

Lapisan kedua muncul dalam bentuk sikap tidak suka, dan atau benci terhadap

23 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h.

117.

(17)

16 sesuatu yang berbeda darinya. Dan lapisan ketiga yang terakhir adalah perilaku tidak menyenangkan, dan atau tindakan arogan terhadap orang atau yang berbeda darinya. Tahap terakhir ini adalah bentuk intoleransi dalam banyak hal.

Sebab, orang dapat memiliki pandangan negatif, tapi belum tentu mau mewujudkannya dalam sikap dan tindakan.

B. Kajian Relevan

Kajian relevan merupakan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian “Kreativitas Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Paham Radikalisme dan Intoleransi Berbasis Budaya Lokal di Sekolah Daerah Eksotis Pariwisata”. Berikut ini merupakan kajian relevan dari penelitian terdahulu yang memiliki persamaan objek kajian penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Artikel Jakaria Umro dengan judul “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Agama di Sekolah”, menunjukkan bahwa upaya guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah radikalisme agama di sekolah adalah Sosialisasi sejak dini. Guru pendidikan agama Islam mengajak semua guru untuk melakukan sosialisasi terkait dengan bahaya radikalisme, Memberdayakan masjid atau musholla sekolah sebagai pusat kegiatan keIslaman, Memproteksi organisasi kesiswaan seperti Rohis (Rohani Islam) radikalisme seringkali memperdayakan anak-anak yang aktif di sekolah, mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural.24

24 Jakaria Umro, “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Agama di Sekolah”, dalam Journal Of Islamic Education (JIE), Vol. II No. 1 Mei 2017, h. 89

(18)

17 2. Artikel Dirga Maulana dengan judul “The Exclusivism of Religion Teachers: Intolerance and Radicalism in Indonesian Public Schools”, menunjukkan bahwa in Indonesia, the growth of radicalism was due to scriptural, rigid, exclusive, and close-minded interpretation towards religious scripts. In 2008, PPIM (Center for the Study of Islam and Society) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta released an important finding that “the majority of religion teachers in Indonesian public schools have exclusive and conservative view towards religion.”25

3. Artikel Lisdawati Wahjudin dengan judul “Radicalism Rising among Educated People”, menunjukkan bahwa Indonesia is a great coutry of various ethnic, cultural dan religious diversity, with Muslims as the majority population. Base in the theory put forward by Islamic politic sosiologist, the relationship theory of religion and state are gruped into 3 namely: unified paradigm, symbolic paradigm, and secularistic paradigm.

The conclusion in this research is penetration of the thought of intolerance with anti-Pancasila and NKRI among educated people goes through religious studies that conducted in workplace, or in the campus trhrough da’wah institution, and also through religious activitivies in schools.26

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena

25 Dirga Maulana, “The Exclusivism of Religion Teachers: Intolerance and Radicalism in Indonesian Public Schools”, dalam Studia Islamika, Vol. 24, No. 2, 2017, h. 396

26 Lisdawati Wahjudin “Radicalism Rising among Educated People”, dalam International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, Volume 6, Special Issue 3, February, 2019, h. 62

(19)

18 belum ada yang mengkaji dan meneliti kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Namun, dalam hal ini, karya dan tulisan tersebut dapat berguna sebagai bahan referensi untuk melengkapi kajian yang penulis lakukan dengan mengeksplorasi literatur yang pokok (primer) dan sumber lain yang relevan (sekunder).

(20)

19 BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi evaluatif dengan pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kualitalif bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Peneliti mulai berfikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena- fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dengan data yang tidak berbentuk angka.27 Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif secara keseluruhan dilakukan dengan wawancara mendalam dengan berbagai informan. Sementara pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur untuk memperoleh gambaran mengenai kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan tempat penelitian ini dilakukan secara purposive, artinya penentuan lokasi dilakukan dengan sengaja karena peneliti telah mengetahui keadaan dan lokasi serta adanya korelasi dengan permasalahan dalam

27 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Makassar: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 3

(21)

20 penelitian. Teknik purposive ini merupakan penentuan sumber data atau lokasi dengan pertimbangan tertentu.28 Penelitian ini dilakukan di Lombok (SMAN 1 Gerung, SMAN 2 Gerung, SMAN 1 Gunung Sari, dan SMK Pariwisata) dan Makassar (SMAN 5 Makassar, SMAN 17 Makassar, SMAN 2 Makassar) sebagai lokasi yang sesuai dengan latar belakang masalah untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Adapun mengenai jadwal penelitian yang akan dilakukan, yaitu dalam rentang waktu 3 bulan penelitian pada periode bulan Agustus-Oktober tahun 2021 diluar penyusunan proposal penelitian dan kegiatan lainnya.

C. Subyek Penelitian

Subyek untuk perolehan sumber data dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, dan Guru Pendidikan Agama Islam. Pertimbangan peneliti menjadikan kedua subyek penelitian tersebut, yaitu menggunakan teknik purposive sampling yang diperoleh dengan pertimbangan tertentu. Selain itu, peneliti juga menggunakan snowball sampling dalam perolehan sumber data. Snowball sampling merupakan teknik pengambilan data dengan cara mencari informasi secara berulang-ulang hingga data jenuh.29

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data penelitian dan sebagai alat untuk menganalisis

28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Makassar: Alfabeta, 2013), h. 219

29 Sugiyono, Metode…, h. 300

(22)

21 data.30 Sedangkan, instrumen pengumpulan data adalah alat bantu dalam metode pengumpulan data.31 Adapun teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah:

1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengideraan.32 Adapun jenis observasi dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung (direct observation), yaitu suatu pengamatan yang dilakukan tanpa agen perantara untuk memperoleh data yang akurat. Dalam penelitian ini, teknik observasi dilakukan untuk mengetahui kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Instrumen pengumpulan data, yaitu pedoman pengamatan, alat tulis dan alat perekam.

2. Wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok.33 Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan bersifat terbuka atau tidak terstruktur.

Tujuan utama dari wawancara tidak terstruktur yaitu memberikan ruang

30 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 107

31 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian…, h. 246

32 Ibid., h. 246

33 Ibid., h. 222

(23)

22 perolehan data yang lebih lengkap dan mendalam. Meskipun tidak terstruktur, peneliti tetap menggunakan panduan dalam wawancara agar pembahasan dalam wawancara tidak melebar tanpa arah. Wawancara dilakukan guna memperoleh data utama tentang kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Instrumen pengumpulan data, yaitu pedoman wawancara, alat tulis dan alat perekam.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik yang digunakan untuk menelusuri data historis.

Ciri khas dokumen adalah menunjuk pada masa lampau, dengan fungsi utama sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas dan kejadian tertentu.34 Dokumentasi yang digunakan adalah segala bentuk dokumentasi tertulis maupun tidak tertulis yang dapat melengkapi data-data lainnya.

Instrumen pengumpulan data, yaitu arsip-arsip dan dokumenter yang berada di tempat penelitian.

4. Angket

Angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.35 Angket yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data kreativitas guru PAI dalam

34 Ibid., h. 235

35 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2017), hlm. 199.

(24)

23 menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

E. Uji Keabsahan Data

Teknik uji keabsahan data adalah sebuah mekanisme untuk mengatasi keraguan terhadap setiap hasil penelitian kualitatif. Teknik uji keabsahan yang digunakan adalah teknik pemeriksaan triangulasi data.36 Triangulasi data yang dimaksud adalah pengecekan ulang data dari berbagai sumber, cara dan waktu.

Triangulasi sumber, yaitu uji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi teknik atau cara dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama tetapi dengan menggunakan teknik yang berbeda. Triangulasi waktu dilakukan dengan cara pengecekan melalui wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.37

F. Teknik Analisis Data

Pengumpulan dan analisis data dalam sebuah penelitian merupakan aspek-aspek penting karena kedua kegiatan ini ialah proses yang sama-sama menentukan dan melengkapi. Analisis data dalam sebuah penelitian dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai. Artinya, data semata-mata sudah terhimpun secara relatif cukup, kemudian dilakukan analisis.38

36 M. Burhan Bungin, Penelitian…, h. 256-257

37 Sugiyono, Metode…, h. 372-374

38 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian…, hlm. 302.

(25)

24 1. Analisis Data Kualitatif

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model Miles dan Huberman, yaitu analisis data yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang data terkumpul dari berbagai sumber, kemudian dilanjutkan dengan tahapan:

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, sehingga diperlukan analisis dengan mereduksi data. Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan hal-hal yang penting serta membuang hal yang tidak perlu. Dalam penelitian ini, reduksi data dilakukan dengan menginterpretasi data penelitian.

b. Display Data

Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Penyajian data dapat dilakukan dengan bentuk uraian singkat, bagan, narasi dan lain-lain. Penyajian data adalah mengolah reduksi data menjadi pola yang dapat dipahami. Dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk teks narasi.

c. Verifikasi Data

Langkah ketiga dalam analisis menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dan verifikasi merupakan hasil dari reduksi dan penyajian data penelitian. Dalam

(26)

25 penelitian ini, setelah data di reduksi dan disajikan dalam bentuk teks narasi, maka selanjutnya dilakukan kegiatan menyimpulkan dan memverifikasi data tersebut.

2. Analisis Data Kuantitatif

Teknik analisis data kuantitatif yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif melalui aplikasi IBM SPSS Statistics 23. Statistik deskriptif merupakan statistik yang digunakan dalam menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang dapat berlaku untuk umum atau generalisasinya.39

Penilaian kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata dilakukan dengan menggunakan skala 4 likert berdasarkan data yang diperoleh dalam bentuk angka.40 Kategori penilaian produk yang dikembangkan ialah “4=Sangat Setuju”, “3=Setuju”, “2=Tidak Setuju”, dan

“1=Sangat Tidak Setuju”.

No. Kategori Skor

1 Sangat Setuju 4

2 Setuju 3

3 Tidak Setuju 2

4 Sangat Tidak Setuju 1

39 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif…, hlm. 207.

40 Ibid., hlm. 141.

(27)

26 Skor yang diperoleh melalui angket kemudian diinterpretasikan untuk mengetahui total skor yang diperoleh dengan menggunakan rumus:

Total Skor = T x Pn Ket:

T = Total jumlah responden yang memilih Pn = Pilihan angka skor Likert

Agar mendapatkan hasil interpretasi, terlebih dahulu harus diketahui skor tertinggi (X) dan skor terendah (Y) untuk item penilaian dengan rumus:

Y = skor tertinggi likert x jumlah responden X = skor terendah likert x jumlah responden

Skor yang diperoleh kemudian dikonversikan untuk diketahui persentase kelayakan berdasarkan hasil nilai yang diperoleh dengan menggunakan rumus index (%).41

P = f / n x 100 % Ket:

P = angka persentase f = frekuensi jawaban n = banyaknya responden

Selain itu, untuk mengetahui kreativitas guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal dengan index (%), maka terlebih dahulu harus mengetahui

41 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, 6th ed. (Jakarta:

Rineka Cipta, 2011), hlm. 244.

(28)

27 interval (rentang jarak) kategori-kategori skor kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata dengan rumus, yaitu:

I = H-L / nkategori Ket:

I = Interval

H = Highest score (Nilai Tertinggi) L = Lowest score (Nilai Terendah)

nkategori = Jumlah kategori yang diinginkan

Berdasarkan hasil interval tersebut, maka dapat diketahui kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata. Pedoman konversi tersebut digunakan untuk mengetahui tingkat kreativitas guru PAI dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai-nilai budaya lokal di sekolah daerah eksotis pariwisata.

(29)

28 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kreativitas Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme & Intoleransi Berbasis Nilai Budaya Lokal di Lombok

1. Perspektif Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme & Intoleransi Berbasis Nilai Budaya Lokal di Lombok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas guru PAI dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal dapat dilihat dari perspektifnya tentang radikalisme dan intoleransi (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Tingkat Kreativitas Guru Pada Aspek Perspektif

Kategori Interval Saling Ajinang Ra’i Teguq

F % F % F %

Tinggi 10-12 12 85,71 11 78,57 12 85,71 Sedang 7-9 2 14,29 3 21,43 2 14,29

Rendah 3-6 0 0 0 0 0 0

Total 14 100 14 100 14 100

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 12 Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Tinggi (85,71%) pada nilai budaya lokal saling ajinang (saling menghormati, menghargai) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal. Saling ajinang (saling menghormati-menghargai) terdapat dalam patut (baik, pantas) merupakan penghormatan dan penghargaan seseorang kepada orang lain tanpa memandang perbedaan etnis, agama, golongan, dan status sosialnya.

Penghormatan dan penghargaan tersebut juga dilakukan oleh orang yang lebih tua (guru) pada orang yang lebih muda (siswa), begitu juga sebaliknya. Saling

(30)

29 menghargai memiliki tujuan personal, yaitu perubahan perilaku, pengembangan solidaritas, dan keterampilan bertindak (Reardon, 1999). Menghargai sebagai upaya menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai, beradab, sopan, tidak menghina orang lain, dan tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik (Samani & Hariyanto, 2012).

Hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Sedang (21,43%) pada nilai budaya lokal ra’i (empati) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal. Ra’i (rasa empati) sebagai salah satu yang terkandung dalam nilai rema (peduli sesama).

Ra’i berkaitan langsung dengan mengerti, memahami, dan merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain. Ra’i didasarkan manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Tidak ada manusia yang tidak saling membutuhkan terutama dalam mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi.

Samani dan Hariyanto (2012) memaknai empati terkait cara bertindak, berpartisipasi, dan ikut merasakan penderitaan dan kesedihan yang menimpa orang lain, sedangkan Hadjam & Widhiarso (2003) mengartikan empati adalah menerima perspektif (frame of reference internal) seseorang dengan ketepatan (accuracy) dan komponen emosional yang menyinggung pada sisi kemanusiaan.

Hasil telaah tabel menunjukkan bahwa kreativitas pada aspek perspektif guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah paham radikalisme dan

(31)

30 intoleransi berbasis nilai budaya lokal teguq (tanggung jawab) berada pada kategori Tinggi (85,71%). Teguq (tanggung jawab) terkandung dalam nilai pacu (kerja keras). Teguq dimaknai kewajiban seseorang melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diembannya, seperti kewajiban pada diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kehidupan berbangsa, serta keyakinan. Mustari (2011) menyatakan tanggung jawab adalah perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (seperti alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan.

Samani dan Hariyanto (2012) memaknai tanggung jawab sebagai cara mengetahui dan melaksanakan apa yang harus dilakukan sebagaimana diharapkan orang lain. Tanggung jawab dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) tanggung jawab terhadap diri sendiri, seseorang harus bertanggung jawab terhadap akal pikiran yang dimiliki, ilmu, raga, waktu, dan lain-lain pada kehidupan, dan (2) tanggung jawab pada orang lain (lingkungan sosial).

Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan orang lain dalam hidup untuk mengembangkan diri, atau dengan kata lain manusia memiliki kewajiban moral terhadap lingkungannya, kewajiban ini erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari warga masyarakat.

Hasil telaah tabel di atas memberikan implikasi bahwa perspektif yang dimiliki oleh guru PAI dapat memengaruhinya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik perspektif yang dimiliki oleh guru PAI tentang radikalisme dan intoleransi maka akan semakin bagus kreativitasnya dalam mencegah

(32)

31 paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal. Guru PAI yang memiliki perspektif yang baik dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi tentunya akan memiliki kesadaran lebih tinggi untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikan kreativitas yang dimilikinya.

2. Kebijakan Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme & Intoleransi Berbasis Nilai Budaya Lokal di Lombok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas guru PAI dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal dapat dilihat dari kebijakannya dalam menangkal radikalisme dan intoleransi (Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Tingkat Kreativitas Guru Pada Aspek Kebijakan

Kategori Interval Saling Ajinang Ra’i Teguq

F % F % F %

Tinggi 10-12 11 78,57 8 57,14 10 71,43 Sedang 7-9 3 21,43 6 42,86 4 28,57

Rendah 3-6 0 0 0 0 0 0

Total 14 100 14 100 14 100

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 12 Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Tinggi (78,57%) pada nilai budaya lokal saling ajinang (saling menghormati, menghargai) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal.

Kebijakan guru pendidikan agama Islam dalam menangkal paham radikalisme dan intoleransi melalui nilai budaya lokal saling ajinang di sekolah berhubungan dengan: (1) perilaku menghargai perbedaan fisik (seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain) dan nonfisik (seperti etnis, agama, golongan, staus sosial, dan lain-lain). Melalui perilaku tersebut seseorang mampu menempatkan

(33)

32 diri pada porsinya masing-masing dan menghargai perbedaan sehingga tidak terjadi konflik yang disebabkan perbedaan fisik dan nonfisik tersebut, (2) perilaku memberi penghargaan sebagai upaya mencegah konflik. Konflik sering terjadi disebabkan ketidakmampuan seseorang mengendalikan diri dan menjaga perasaan orang lain. Saling ajinang didasari kemampuan seseorang mengendalikan diri, seperti menekan ego pribadi untuk tidak terlibat konflik di dalam maupun di luar sekolah.

Hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Sedang (42,86%) pada nilai budaya lokal ra’i (empati) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal. Hadjam dan Widhiarso (2003) menyatakan bahwa untuk membuat kebijakan dengan nilai budaya lokal ra’i (empati) harus memperhatikan tiga hal, yaitu: (1) memahami persepsi pribadi orang lain dan merasa nyaman dengan persepsi itu, memahami persepsi pribadi orang lain berarti tahu bagaimana mereka memandang dunia dan menafsirkan segala sesuatu yang diterima, (2) menjadi sensitif, artinya dapat menetralisir dan menangani perasaan subjektif yang mengalir, dan (3) bergerak lembut tanpa memberikan penilaian (judgement) dengan keyakinan orang lain memiliki kesadaran yang unik (scarcely aware).

Hasil telaah tabel menunjukkan bahwa kreativitas pada aspek perspektif guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal teguq (tanggung jawab) berada pada kategori Tinggi (71,43%). Kebijakan guru pendidikan agama Islam dalam

(34)

33 menangkal paham radikalisme dan intoleransi melalui nilai budaya lokal teguq dalam kehidupan di sekolah dimaknai sebagai: (1) kewajiban seseorang melaksanakan tugas tertentu yang melekat dalam dirinya. Teguq tersebut terkait kewajiban pada diri sendiri, lingkungan hidup, sesama, kehidupan berbangsa, dan pada keyakinan, dan (2) Teguq berkaitan dengan berbuat maksimal dalam segala sesuatu, seperti bila diterapkan dalam belajar untuk menyelesaikan tugas atau kewajiban lain. Seseorang memahami teguq akan konsekuen dan memiliki komitmen melaksanakan tugas kewajiban yang dirinya dengan baik sesuai tujuan yang hendak dicapai.

Hasil telaah tabel di atas memberikan implikasi bahwa kebijakan yang dibuat oleh guru PAI dapat memengaruhinya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik kebijakan yang dibuat oleh guru PAI terkait radikalisme dan intoleransi maka akan semakin bagus kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal. Guru PAI yang memiliki kebijakan yang baik dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi tentunya akan memiliki kesadaran lebih tinggi untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikan kreativitas yang dimilikinya.

3. Praktik Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme & Intoleransi Berbasis Nilai Budaya Lokal di Lombok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas guru PAI dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal dapat dilihat dari praktiknya dalam menangkal radikalisme dan intoleransi (Tabel 4.3).

(35)

34 Tabel 4.1 Tingkat Kreativitas Guru Pada Aspek Praktik

Kategori Interval Saling Ajinang Ra’i Teguq

F % F % F %

Tinggi 10-12 10 71,43 11 78,57 11 78,57 Sedang 7-9 4 28,57 3 21,43 3 21,43

Rendah 3-6 0 0 0 0 0 0

Total 14 100 14 100 14 100

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 12 Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Tinggi (71,43%) pada nilai budaya lokal saling ajinang (saling menghormati, menghargai) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal.

Hasil analisis lainnya menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa Guru Pendidikan Agama Islam yang memiliki perspektif Sedang (21,43%) pada nilai budaya lokal ra’i (empati) sebagai bentuk kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal. Ra’i sebagai nilai perdamaian pada kehidupan di sekolah dimaknai sebagai perilaku mengenali dan berupaya mengetahui tanda-tanda (ciri-ciri) orang lain. Mengetahui terkait persepsi pribadi, sensitif terhadap keadaan orang lain, dan memahami perasaan orang lain. Mengenai: (1) persepsi pribadi sebagai proses menginterpretasikan sesuatu yang diterima dan diorganisasikan sehingga berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Melalui sesuatu tersebut seseorang berbuat, walaupun sesuatu yang diterima sama, tetapi memiliki arti berbeda pada setiap orang.

Persepsi pribadi terkait dua hal yaitu rasa terkait pada orang lain dan rasa berguna bagi orang lain, (2) sensitif terhadap keadaan orang lain, artinya terbangkit emosinya melihat keadaan orang lain. Sensitif terhadap keadaan

(36)

35 orang lain dibiasakan pada siswa dengan memperhatikan orang lain dan kepekaan atas kebutuhan orang lain, dan (3) memahami perasaan orang sebagai upaya memahami kondisi yang dialaminya, seperti rasa iba atau belas kasihan, rela berkorban untuk orang lain, dan memiliki kemurahan hati.

Hasil telaah tabel menunjukkan bahwa kreativitas pada aspek perspektif guru Pendidikan Agama Islam dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis nilai budaya lokal teguq (tanggung jawab) berada pada kategori Tinggi (78,57%).

Telaah tabel di atas memberikan implikasi bahwa praktik yang dilakukan oleh guru PAI dapat memengaruhinya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik praktik yang dilakukan oleh guru PAI maka akan semakin bagus kreativitasnya dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi berbasis budaya lokal.

Guru PAI yang memiliki praktik yang baik dalam mencegah paham radikalisme dan intoleransi tentunya akan memiliki kesadaran lebih tinggi untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikan kreativitas yang dimilikinya.

(37)

36 DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 7.120 Mahasiswa Baru UNM Deklarasi Tolak Radikalisme, dalam https://makassar.tribunnews.com/2019/08/15/7120-mahasiswa-baru-unm- deklarasi-tolak-radikalisme?page=2. Diakses 09 Agustus 2019.

BBC, Setelah diserang, nasib 24 penganut Ahmadiyah di Lombok Timur

“terkatung-katung”, dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia- 44208771. Diakses 09 Agustus 2019.

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2007.

Cambridge University, Cambridge Advanced Leraners Dictionary, Singapore:

Cambridge University Press, 2008.

Hamdani, Asep Saepul, Pengembangan Kreativitas Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka (Open Ended).

Hikam, Muhammad A.S., Deradikalisme: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme, Jakarta: Kompas, 2016.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Latif, Abdul, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung. PT Refika Aditama, 2009.

Maulana, Dirga, “The Exclusivism of Religion Teachers: Intolerance and Radicalism in Indonesian Public Schools”, dalam Studia Islamika, Vol. 24, No. 2, 2017.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Makassar: Remaja Rosdakarya, 2005.

Munandar, Utami, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta,1999.

Nasution, Dedy Darmawan, Ini 10 Destinasi Wisata Halal Terbaik Indonesia, dalam

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/ppmze1370/ini-10- destinasi-wisata-halal-terbaik-indonesia. Diakses 09 Agustus 2019.

Pranata, Andi Aan, Wali Kota Makassar Ragukan Survei Indeks Kota Intoleran, dalam https://www.medcom.id/nasional/daerah/5b2qX9dN-wali-kota- makassar-ragukan-survei-indeks-kota-intoleran. Diakses 09 Agustus 2019.

Qodir, Zuly, Radikalisme Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Makassar: Alfabeta, 2013.

Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.

(38)

37 Umro, Jakaria, “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Radikalisme Agama di Sekolah”, dalam Journal Of Islamic Education (JIE), Vol. II No. 1 Mei 2017.

Wahjudin, Lisdawati, “Radicalism Rising among Educated People”, dalam International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, Volume 6, Special Issue 3, February, 2019.

Widyosiswoyo, Supartono, Ilmu Budaya Dasar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Wikipedia, Pulau Lombok, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok.

Diakses 09 Agustus 2019.

Wikipedia, Kota Makassar, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Makassar.

Diakses 09 Agustus 2019.

Wikipedia, Pulau Lombok, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok.

Diakses 09 Agustus 2019.

Wikipedia, Kota Makassar, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Makassar.

Diakses 09 Agustus 2019.

Yuwono, Trisno, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Arkola.

Zuhairi, Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, Jakarta: Kompas, 2010.

(39)

LOG BOOK

“KREATIVITAS GURU PAI DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKALISME DAN INTOLERANSI BERBASIS NILAI BUDAYA

LOKAL DI SEKOLAH DAERAH EKSOTIS PARIWISATA”

No. Tanggal Kegiatan Catatan

Kemajuan Kendala 1 01 Agustus

2021

Penyempurnaan proposal penelitian

Proposal telah

disempurnakan Lancar 2 01-10 Agustus

2021

Pencarian data dan referensi

Sebagian data dan referensi ditemukan

Sebagian data dan referensi belum ditemukan 3 15 Agustus

2021

Penggandaan proposal penelitian

Proposal telah

digandakan Lancar 4 20 Agustus

2021

Penyusunan instrumen penelitian

Desain instrumen tersusun

Lancar 5 31 Agustus

2021

Penggandaan instrumen

Instrumen telah

digandakan Lancar

6

1-15 September 2021

Adm penelitian

Pengurusan ke LPPM dan Kesbangpol Provinsi

Prosesnya yang sedikit rumit dan

membutuhkan waktu 1 minggu 7

1-15 September 2021

Penyebaran Kuesioner

Kuesioner diisi oleh responden Lombok

Kurang Lancar 8 16 September

2021 Lokasi Penelitian Lombok, NTB Lancar

9

17-18 September 2021

Adm Penelitian dan Pengumpulan data

Wawancara, Observasi dan Dokumentasi di SMAN 1 Gerung, SMAN 2 Gerung dan SMAN 1 Gunung Sari

Lancar

10

17-18 September 2021

Penyebaran instrumen penelitian

Instrumen tersebar sesuai harapan

Lancar

11

17-18 September 2021

Pemetaan dan analisis data

Terlaksana

dengan baik Lancar

(40)

12

17-20 September 2021

Diskusi Analisis Data dan Laporan

Terlaksana

dengan baik Lancar 13 20 September

2021

Pulang dari Lokasi Penelitian

Terlaksana

dengan baik Lancar 14

21-25 September 2021

Penyusunan Laporan Perantara

Terlaksana

dengan baik Lancar

Gambar

Tabel 4.1 Tingkat Kreativitas Guru Pada Aspek Perspektif
Tabel 4.2 Tingkat Kreativitas Guru Pada Aspek Kebijakan

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dengan selesainya pelaksanaan Seleksi Prestasi Akademik dan Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru Mandiri Program Pascasarjana, maka Rektor Universitas Islam Negeri Imam

Upaya Guru Dalam Mengatasi Permasalahan Pada Pembelajaran Al- Qur’an Di SMP Muhammadiyah 08 Kota Batu Tahun 2020 Fakultas Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam..

Penelitian kepustakaan adalah kegiatan penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan

6). Peningkatan tata kelola perguruan tinggi yang efektif dan akuntabel. Enam tujuan ini menjadi sasaran program UIN Imam Bonjol Padang untuk rentang waktu tahun

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang dilakukan MA Al-Asror Semarang dalam menangkal radikalisme melalui kurikulum Pendidikan Agama Islam.. Penelitian

Hasil penelitian ini menyatakan bahwasanya peran dan strategi organisasi mahasiswa Islam kampus yang dilakukan dalam menangkal radikalisme adalah : Pertama , Kurikulum

IAIN Imam Bonjol Padang pada waktu itu memiliki 4 fakultas dan 5 jurusan, yaitu, 1) Fakultas Tarbiyah di Padang Jurusan Pendidikan Agama dan Jurusan Tadris, 2)

UIN Imam Bonjol Padang adalah bentuk peningkatan status dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang didirikan pada tanggal 29 November 1966 berdasarkan Surat