PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)". Disebutkan pula bahwa: "Pemerintahan Indonesia berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas"). Bahkan karena urgensi penegasan dimaksud, maka pada Amandemen ke tiga UUD 1945 tahun 2001 ditegaskan kembali dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara hukum".
Sebagaimana diketahui, usaha-usaha pembaharuan hukum pidana, baik materiil maupun formil, terus dilakukan. Dalam konteks pembaharuan hukum pidana materiil, telah beberapa kali dibentuk Tim Pembaharuan KUHP Nasional yang sudah mulai bekerja pada tahun 60-an hingga sekarang, dan sudah menghasilkan Konsep RUU KUHP, bahkan sekarang sudah menjadi RUU KUHP yang siap dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuannya. Demikian pula pembaharuan hukum pidana melalui jalur peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yang berjumlah puluhan, bahkan mungkin telah ratusan undang-undang, baik yang merupakan undang-undang (di bidang) hukum pidana, maupun undang-undang (pidana) di bidang administrasi (administrative penal law). Pembaharuan hukum pidana formil juga terus dilakukan, sebut saja misalnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1970, dan terakhir diganti dengan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No.
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang telah diganti dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI yang telah diganti dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI yang telah diganti dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan, UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain-lain.
Pembaharuan hukum pidana, materiil dan formil sebagaimana di atas, nyatanya belum menjadikan penegakan hukum pidana berjalan memuaskan, karena memang ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum selain faktor hukum atau kebijakan legislatifnya.
Dalam konteks penegakan hukum pidana, khususnya untuk tindak pidana umum menurut sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya, yang dimulai dari fase pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan) oleh Penyelidik dan Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negesi Sipil (PPNS), penuntutan oleh Penuntut Umum (Kejaksaan), pemeriksaan pengadilan oleh hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, sampai eksekusi putusan pengadilan, peran masyarakat sangatlah besar, khususnya dalam peranannya menjadi saksi atau pelapor terhadap tindak pidana yang terjadi. Sebagaimana diketahui, peranan saksi, baik saksi korban maupun saksi yang melihat atau mendengar terjadinya tindak pidana atau pelapor sangatlah penting, karena keterbatasan jumlah penyelidik dan penyidik (Polisi dan PPNS) menjadikan penyelidik dan penyidik tidak dapat secara langsung mengetahui semua tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Polisi dan PPNS sebagai penyelidik atau penyidik, mengetahui tindak pidana yang terjadi di masyarakat dari laporan dan pengaduan dari anggota masyarakat, baik sebagai saksi, pelapor, atau informan. Dalam konstalasi inilah peran masyarakat dengan budaya hukumnya mempengaruhi kinerja penegakan hukum pidana.
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangatlah penting sehingga keterangan saksi dijadikan salah satu di antara lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:
a) Keterangan saksi;
b) Keterangan ahli;
c) Surat;
d) Petunjuk;
e) Keterangan terdakwa.
Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat bukti yang sah, menunjukkan tentang pentingnya alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara pidana. Pentingnya alat bukti keterangan saksi ini terkait dengan sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia yaitu negative wettelijk, sebagaimana diatur Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Salah satu alat bukti yang sah yang hampir selalu ada dan diperlukan dalam setiap perkara pidana adalah keterangan saksi. Betapa urgensinya saksi dalam perkara pidana dapat diketahui dari banyaknya perkara besar yang terpaksa tidak terselesaikan dalam tahap penyidikan, dead-end, maupun yang kemudian membebaskan terdakwa dari jeratan Penuntut Umum karena kurangnya alat bukti (keterangan) saksi.
Muncul pertanyaan mengapa masyarakat cenderung enggan berpartisipasi/berperan serta dalam penyelesaian perkara pidana dengan menjadi saksi? Sementara Pasal 112 dan Pasal 159 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mewajibkan seseorang untuk hadir memberikan kesaksian apabila dipanggil oleh penyidik atau oleh hakim, bahkan Pasal 224 KUHP mengancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan bagi barang siapa yang dipanggil untuk menjadi saksi, ahli, atau juru bahasa, dalam perkara pidana, sengaja tidak datang memenuhi panggilan itu. Ketentuan yang hamper sama, bahkan dengan ancaman yang lebih berat terdapat pula dalam UU Terorisme, UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, secara terbatas walaupun dipandang masih sangat sumir dan kurang memadai, KUHAP, KUHP, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2002 dan beberapa undang-undang lainnya sudah memberikan perlindungan hukum bagi saksi maupun korban tindak pidana (dua aturan terakhir, khusus dalam kasus pelanggaran HAM berat). Bahkan hak-hak yang sudah diatur/dijamin dalam peraturan itupun tidak dapat diwujudkan. Tidak diberikannya hak-hak saksi dan korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidak percayaan saksi dan korban bahwa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum.
Sumirnya aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap saksi dalam hukum positif di Indonesia, menunjukkan bahwa kebijakan legislatif yang dianut selama ini tidak atau kurang sinergi dengan keinginan bahkan perintah kepada anggota masyarakat untuk berpartisipasi menjadi saksi dalam penyelesaian perkara pidana. Kondisi inilah yang ditengarai menjadi penghambat peran serta masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana. Untuk mengatasi hal tersebut, banyak pihak, baik dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau komponen masyarakat lainnya, yang mendesak kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) untuk segera membuat kebijakan legislatif dalam bentuk undang- undang beserta komponen/lembaga pendukungnya, yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi saksi (dan atau keluarganya) secara memadai. Beberapa konsep / RUU telah tentang Perlindungan Saksi telah dibuat oleh Pemerintah atau kalangan LSM, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), dan telah diajukan ke DPR-RI untuk dibahas dan selanjutnya disahkan menjadi undang-undang.
Sekarang RUU Perindungan Saksi ini telah disahkan menjadi Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 64. Dengan berlaku undang-undang ini dan apabila dalam aplikasinya secara substansial terbukti memberikan perlindungan terhadap saksi (dan keluarganya), pelapor, dan korban, baik secara fisik maupun psikis, maka diyakini akan secara signifikan meningkatkan motivasi anggota masyarakat untuk partisipasi dalam penanggulangan kejahatan, yang pada gilirannya tujuan negara hukum Indonesia akan terwujud.
PERLINDUNGAN SAKSI DI BERBAGAI NEGARA
1. Amerika Serikat
a. Kualifikasi saksi yang dilindungi
Di Amerika Serikat perlindungan seorang saksi dapat dilakukan oleh saksi yang berada dibawah perlindungan dan pengawasan Bureu od Prison atau Us Marshal Service.
Yang dianggap dapat menjadi seorang saksi ialah seseorang yang dianggap mempunyai informasi yang diperlukan dari dirinya mengenai suatu peristiwa yang sedang ditangani oleh seorang jaksa di Amerika Serikat. Hal ini bias dilakukan dengan permohonan terlebih dahulu ataupun permintaan/ tawaran dari Jaksa Amerika Serikat.
b. Cara menjadi saksi yang dilindungi
Dengan cara permohonan, dan secara praktek ada 2 yaitu meminta menjadi saksi atau diminta menjadi saksi oleh Jaksa di Amerika Serikat, berkaitan dengan kasus yang ditanganinya.
c. Bentuk bentuk perlindungan
Umumnya perlindungan terhadap diri sendiri dan keluarganya, yang diantaranya :
(i) Tidak memberitahukan status seseorang yang berada dalam perlindungan bagi tahanan yang diminta menjadi saks;
(ii) Perlindungan terhadap keselamatan diri dan keluarga dan pemberian identitas baru;
(iii) Pengawasan lewat video;
(iv) Perlindungan terhadap ekonomi saksi dan keluarganya.
2.
Afrika Selatana. Kualifikasi saksi yang dilindungi
Saksi yang merasa dirinya terancam oleh seseoarang atau sekeompok orang baik dikenalnya atau tidak . Karena ia mengetahui suatu peristiwa pidana.
b. Cara Menjadi seseorang saksi yang dilindungi
Cara menjadi saksi yang dilindungi tidak berbeda jauh dengan Amerika yaitu dengan cara permohonan dan laporan.
c. Bentuk bentuk perlindungan
Yaitu perlindungan terhadap keselamatan diri dan keluarganya, yang meliputi :
(i) Tidak memberitahukan status seseorang yang berada dalam program Perlindungan bagi tahanan yang diminta menjadi saksi atas permohonan menjadi saksi;
(ii) Perlindungan atas keselamatan diri sendiri dan keluarga dan pemberian identitas baru;
(iii) Perlindungan terhadap ekonomi saksi dan keluarganya.
d. Pelaksanaan terhadap perlindungan saksi
Jika terhadap seorang saksi merasa dirinya terancam oleh seseorang atau sekelompok orang ia dapat meminta perlindungan dengan melakukan permohonan beserta laporan ke petugas investigasi dalaam perkara yang bersangkutan kepada orang yang bertugas dikantor kepolisian.
Atau jika saksi tersebut berada di dalam penjara, ia bisa melapor kepada petugas yang sedang bertugas dimana ia ditahan atau kepada siapa saja yang bertugas sebagai pekerja social atau yang sedang melayani departemen pemerintahan, kepada penuntut umum atau kepada pihak yang berkepentingan lainnya, agar ia ditempatkan dibawah perlindungan.
3. Jerman
a. Kualifikasi saksi yang dilindungi
Perlindungan saksi dapat diberlakukan apabila suatu perlindungan tersebut mempunyai syarat utama, yaitu bahwa tindak pidana yang dilakukan termasuk tindak pidana dimana tanpa adanya perlindungan saksi, sulit mengadili perkara tersebut.
b. Cara menjadi seoran saksi yang dilindungi Yaitu dengan permohonan ditambah laporan.
c. Bentuk bentuk perlindungan
(i) Perahasiaan Identitas saksi;
(ii) Perubahan identitas saksi;
(iii) Hak hak istimewa yang diperoleh saksi pada saat proses persidangan, yang meliputi :
1. Pemeriksaan terpisah dari tersangka 2. Pemeriksaan dengan rekaman kamera 3. Hak didampingi
4. Program perlindungan saksi.
4. Indonesia
Perangkat Hukum yang mengatur secara tegas masalah perlidungan saksi adalah UU No 13 Tahun 2006 tentang “Perlindungan Saksi dan Korban”.
Definisi yang menjadi saksi, namun tidak terbatas pada Definisi yang dirumuskan dalam pasal 1 butir 26 KUHAP yang menjelaskan saksi adalah :
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dalam pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Kewajiban saksi dalam KUHAP adalah :
a. Menurut pasal 108 ayat (4) dan (5) para saksi harus menandatangani laporan atau pengaduan mereka;
b. Pasal 112 ayat (20) mewajibkan saksi yang dipanggil untuk memberikan keterangannya kepada penyidik, kecuali ada alasan wajar bahwa ia tidak dapat hadir. Dalam hal ini penyidiklah yang hadir dan datang kepadanya.
(pasal 113);
c. Sebelum memberikan keterangan di pengadilan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji ( pasal 160 (3));
d. Saksi yang disangka memberikan keterangan palsu dapat dituntut dengan dakwaan sumpah palsu oleh hakim, atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (pasal 174(1));