• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL SPLINE TERBOBOT UNTUK MERANCANG KARTU MENUJU SEHAT (KMS) PROPINSI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODEL SPLINE TERBOBOT UNTUK MERANCANG KARTU MENUJU SEHAT (KMS) PROPINSI JAWA TIMUR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

MODEL SPLINE TERBOBOT UNTUK MERANCANG KARTU MENUJU SEHAT (KMS) PROPINSI JAWA TIMUR

Adi Wicaksono

1

,

Mutiah Salamah

2

, dan Jerry Dwi Trijoyo Purnomo

2

1

Mahasiswa Statistika ITS

2

Dosen Statistika ITS

ABSTRAK

Kartu Menuju Sehat (KMS) merupakan alat yang digunakan untuk memantau tumbuh kembang balita dimana KMS ini merupakan modifikasi WHO-NCHS. Disisi lain, KMS yang saat ini digunakan di Indonesia kurang menggambarkan pola pertumbuhan balita khususnya di Jawa Timur. Berdasarkan kurva pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur terdapat perubahan pola pada batas usia tertentu dan juga varian error yang tidak konstan. Dalam Hal ini spline terbobot merupakan pendekatan yang sesuai untuk memodelkan pertumbuhan balita di Jawa Timur. Dari analisis regresi spline terbobot diketahui bahwa perubahan pola pertumbuhan balita di Jawa Timur terjadi pada usia 6 bulan dan 13 bulan pertama. KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot mempunyai nilai R2>99 % untuk setiap nilai persentil, sehingga KMS rancangn ini dapat dikatakan baik dalam menggambarkan pola pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur. KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot ini memiliki standar evaluator yang lebih rendah dari pada KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.

Kata kunci : KMS, Kurva, Spline, Model, Rancangan.

1. Pendahuluan

Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah suatu alat sederhana yang dapat digunakan untuk mencatat setiap perubahan berat badan balita berdasarkan bentuk dan warna kurva pertumbuhan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari KMS, salah satunya adalah dapat mendeteksi gizi buruk pada balita. Bedasarkan hasil pemantauan Direktorat Bina Gizi Masyarakat selama tahun 2005 - 2009, terdapat empat propinsi yang selalu masuk dalam daftar daerah yang mengalami kasus gizi buruk tinggi, salah satunya adalah Propinsi Jawa Timur dimana pada tahun 2009 Propinsi Jawa Timur menduduki posisi teratas untuk masalah gizi buruk (Siswono, 2010).

Beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur telah melakukan upaya untuk menurunkan jumlah gizi buruk diantaranya adalah revitalisasi Posyandu, pemberian penyuluhan gizi dan kesehatan, kunjungan rumah (sweeping), pemberian makanan pendamping,

deteksi dini masalah kurang gizi,

serta menyiapkan anggaran untuk kegiatan penanggulangan gizi buruk. (Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi Jawa Timur, 2010).

Upaya penurunan jumlah gizi buruk balita di Propinsi Jawa Timur tidak memberikan hasil yang sesuai.

Hal ini dapat ditinjau dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 dan 2010 untuk kasus gizi buruk di Propinsi Jawa Timur menunjuk penurunan yang kurang signifikan yaitu dari 17.5% pada 2007 hanya turun 0.4% menjadi 17.1%

pada tahun 2010. Oleh karena itu perlu ditindak lanjuti apakah kasus gizi buruk yang terjadi di Propinsi Jawa Timur disebabkan oleh standar evaluator KMS yang tidak sesuai, sehingga cenderung kurang menggambarkan pola tumbuh kembang balita di Jawa Timur. Budiantara (2009) dalam penelitiannya mengenai KMS menyimpulkan bahwa penggunaan KMS yang merupakan standar baku dari WHO yang dikeluarkan oleh NCHS (National Center Health Statistics) kurang menggambarkan perilaku pertumbuhan balita yang ada di Indonesia. Akibatnya, terdapat balita yang semestinya sehat, tetapi dalam KMS terdekteksi tidak sehat, dan sebaliknya.

Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mendapatkan angka prevalensi gizi buruk di Propinsi Jawa Timur yang tepat adalah dengan merancangan suatu KMS yang dikembangkan dari data balita di Propinsi Jawa Timur. Rancangan KMS ini haruslah lebih dapat mewakili pola tumbuh kembang balita di Jawa Timur daripada KMS yang digunakan saat ini, oleh karena itu diperlukan suatu metode regresi yang sesuai untuk membangun kurva hubungan antara usia dan berat badan balita di Jawa Timur. Berdasarkan kurva pola pertumbu- han balita di Propinsi Jawa Timur cenderung membentuk suatu fungsi kurva regresi tertentu yang tidak diketahui.

Hal tersebut dapat didekati dengan regresi spline. Regresi spline merupakan salah satu metode nonparametrik yang baik digunakan apabila tidak tersedianya informasi apapun tentang bentuk dari fungsi kurva regresi.

Pendekatan nonparametrik ini merupakan metode pendugaan model yang tidak terikat dengan asumsi bentuk kurva regresi tertentu, sehingga memberikan fleksibilitas yang lebih besar (Hardle, 1990).

Banyak kasus praktis, seperti pola pertumbuhan balita sangat sulit mengharapkan model regresi nonpara- metrik spline yang homoskedastik (Budiantara dan Purnomo, 2010). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dikembangkan model spline terbobot. Model ini dikembangkan oleh Budiantara (1999) dan Subanar dan Budiantara (1998).

Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan kondisi balita di Jawa Timur dengan pendekatan spline terbobot. Model Spline terbobot tersebut digunakan untuk merancang KMS yang kemudian dibandingkan dengan KMS yang digunakan di Indonesia saat ini

2. Regresi Nonparametrik

Dalam pendugaan kurva regresi dapat dilakukan melalui dua cara, dimana cara yang paling sering digunakan adalah dengan pendekatan parametrik, yaitu dengan mengasumsikan bahwa kurva regresi memiliki beberapa bentuk fungsional, misalnya garis dengan slope dan intercept yang tidak diketahui. Sebagai salah satu

(2)

2 alternatif adalah dengan menggunakan pendekatan nonpa-

rametrik dimana metode nonparametrik ini tidak mengacu pada suatu bentuk fungsi kurva tertentu (Hardle, 1990).

Secara umum bentuk persamaan nonparametrik digam- barkan sebagai berikut (Wahba, 1985):

Yi = f(ti) + εi, i = 1,…,n (1) dengan yi variabel respon ke-i, f(ti) fungsi nonparametrik, dan εi residual random yang diasumsikan berdistribusi independen dengan mean nol dan varians σ2. Lebih lanjut f(ti) merupakan kurva regresi yang bentuknya tidak diketahui.

3. Spline Dalam Regresi Nonparametrik

Spline merupakan model polinomial yang tersegmen. Sifat tersegmen inilah yang memberikan fleksibilitas yang lebih baik daripada model polinomial biasa. Sifat ini memungkinkan model regresi spline menyesuaikan diri secara efektif terhadap karakteristik lokal dari data. Secara umum, fungsi spline berorde (m-1) dengan titik-titik knot S1,S2,..Sk adalah sebarang fungsi yang dapat disajikan dalam bentuk (Eubank, 1988).

S(t) =       (2)

dengan   =

α dan δ adalah konstanta real dan S1, S2,…,Sn adalah titik knot

4. Estimasi Parameter Regresi Spline

Anggap ada n pengamatan   yang memenuhi persamaan yi = f(ti) + εi dimana f(t) adalah sebuah fungsi regresi yang tidak diketahui dan residual (e) diasumsikan independen dengan varian konstan σ2. Fungsi f(t) dapat dimodelkan dengan (m-1) derajat penalized spline dan basis potongan polinomial sebagai berikut (Lee dan Yao, 2008).

S(t) =        

dengan {S1,…,Sj} adalah kombinasi knot dan fungsi (t)+

didefinisikan sebagai maksimum (t,0). Dugaan fungsi kurva f(t) dapat diperoleh melalui estimasi koefisien α = 0,…, α m-1), δ =     dengan y =     

X =

1  …    …  

      

1  …    …  

Estimator spline dalam regresi nonparametrik memiliki sifat fleksibilitas yang tinggi dan kemampuan mengesti- masi perilaku data yang cenderung berbeda pada interval yang berlainan (Eubank, 1988). Untuk menda-patkan nilai taksiran parameter dapat diperoleh dengan:

!= "! "!"! "!

= Aλ y (3)

Jika ingin mengestimasi kurva regresi nonparametrik dengan pendekatan regresi spline, maka secara teoritis dapat dilakukan dengan mencari model spline terbaik

berdasarkan titik knot optimum yaitu berapa banyak titik knot dan dimana letak titik-titik knot tersebut.

5. Pemilihan λ Optimal

Parameter λ merupakan pengontrol keseimbangan antara kesesuaian kurva terhadap data dan kemulusan kurva (Eubank, 1988). Memasangkan nilai λ yang sangat kecil atau besar akan memberikan bentuk fungsi penyelesaian yang sangat kasar atau sangat mulus (Eubank, 1988), sehingga perlu didapatkan λ yang optimal. Salah satu metode pemilihan parameter penghalus yang banyak dikembangkan adalah Generalized Cross Validation (GCV). Metode ini dikembangkan oleh Craven dan Wahba (1979) , Wahba (1985), Li (1986), Kohn dkk (1991), dan Budiantara (1999). Pada model regresi spline terbobot kriteria GCV didefinsikan sebagai berikut (Budiantara, 1999).

GCVλ = #$%

&'( )* +,-./ (4)

= n-1





0

123-2

/

&'( )* +,-./

(5) dengan : A = "! "!"! "!

W = Matrik diagonal bobot yang berukuran nxn.

sehingga diperoleh persamaan GCV sebagai berikut.

GCVλ = n-1

4 ,-5 ,-

&'( )* +,-./

(6)

= n-1 664

(7/ ,-66/

&'( )* +,-./

(7) Nilai λ yang optimum berkaitan dengan nilai GCV yang minimum.

6. Estimasi Bobot

Ada dua macam cara mendapatkan estimasi bobot.

pertama dengan coba-coba (trial residual). Sistem trial error ini adalah mendapatkan bobot dengan menggunakan fungsi prediktornya (Montgomery dan peck,1982).

Namun demikian sulit untuk menemukan bobot yang optimal karena banyaknya kombinasi dari fungsi prediktor. Cara kedua adalah dengan estimasi menggunakan Moving Average (Silverman, 1985).

Metode estimasi dengan ini adalah dengan mengambil persamaan.

089 : ; <@ =>?

@ (8)

dimana: mi = Max (1,i-k) ; i = 1,2,…,n ni = Min(n,i+k) ; i = 1,2,…,n k = Jumlah Parameter

r*j= Bobot LMA atau GMA.

AB? =  C@1@3- )@

D /

@E(

)*F ! (9)

Persamaan untuk Local Moving Average (LMA) ri

* =  C@

(7/1@3- )@

D

@E(

G F@@ !(7/

(

10)

(t- Sj)m-1 , jika t ≥ Sj

0 , jika t < Sj

(3)

3 Persamaan untuk General Moving Average (GMA)

ri*

=  C@

(7/1@3- )@

D@E(

G

'()*F !(7/ (11)

Penggunaan bobot LMA atau GMA masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk mengatasi kasus heteroskedastisitas yaitu varian residual tidak homogen, GMA dapat mengatasi lebih signifikan. Disisi lain LMA juga mempunyai kelebihan selain dapat mengatasi heteroskedastisitas juga memberikan nilai GCV yang lebih minimum.

7. Pemeriksaan Asumsi Residual

7.1. Independen

Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi sisaan yang satu (εi) dengan sisaan lainnya (εj). Penyebab utama terjadinya autokorelasi adalah ada variabel penting yang tidak digunakan dalam model. Pengujian untuk mendeteksi korelasi serial yang dikembangkan oleh statistik Durbin dan Watson yang dikenal sebagai statistik d Durbin-Watson, yang didefinisikan sebagai (Gujarati, 2004):

Hipotesis

H0 : Tidak ada korelasi antar sisaan H1 : Ada korelasi antar sisaan Statistik Uji

d =  HIHI'(

/ DIE/

DIE/HI/ (12)

Pengambilan keputusan mengenai ada tidaknya autokorelasi:

1. Jika hipotesis nol (H0) adalah tidak ada korelasi serial positif, maka apabila

d < dL = Tolak H0

d > dU = Gagal tolak H0

dL < d ≤ dU = Pengujian tidak meyakinkan (tidak dapat diputuskan untuk menolak atau tidak menolak H0)

2. Jika hipotesis nol (H0) adalah tidak ada korelasi serial negatif, maka apabila

d > 4- dL = Tolak H0

d < 4- dU = Gagal Tolak H0

4- dU ≤ d ≤ 4- dL = Pengujian tidak meyakinkan (tidak dapat diputuskan untuk menolak atau tidak menolak H0)

7.2. Identik

Identik yaitu varian residual homogen artinya pada nilai variabel bebas berapapun variannya konstan yakni σ2. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi, berarti terjadi heteroskedastisitas. Pengujian secara statistik dilakukan dengan menggunakan uji Glejser.

Setelah mendapatkan residual ei dari OLS, maka untuk melakukan uji glejser yaitu dengan meregresikan variabel X terhadap nilai absolut dari ei.

Hipotesis

H0 : Residual homogen

H1 : Residual tidak homogen Statistik Uji:

t = JK

$% JK (13)

dengan:

LK = Koefisien regresi antara |e| terhadap variabel prediktor.

Daerah penolakan :

Tolak H0 jika thit > ttabel.

7.3. Distribusi Normal

Uji asumsi kenormalan residual yang digunakan adalah dengan menggunakan uji kenormalan Kolmogorov Smirnov sebagai berikut (Kvam dan Vidakovic, 2007).

Hipotesis :

H0 : F (x) = F0 (x) ( residual berdistribusi normal) H1 : F (x) ≠ F0 (x) ( residual tidak berdistribusi normal) Statistik Uji :

M 9 NO6  P 6 (14)

dengan :

S (x) = fungsi peluang kumulatif

F0(x) = fungsi peluang kumulatif distribusi normal atau fungsi distribusi yang dihipotesiskan F (x) = fungsi distribusi yang belum diketahui Daerah penolakan :

Tolak H0 apabila Duji > D1-α,n

8. Kartu Menuju Sehat

David Morley merupakan pelopor yang menggu- nakan kartu pertumbuhan anak yang disebut road to health chart pada tahun 1975 di desa Imesi, Nigeria (Narendra,dkk, 2002). Kartu ini merupakan kurva berat badan anak berusia 0–5 tahun terhadap umurnya. Karena kelengkapan kartu tersebut untuk kesehatan balita, maka disebut kartu menuju sehat. UNICEF menyatakan kartu KMS sebagai komponen integral untuk layanan kesehatan primer yang sangat bermanfaat bagi negara-negara berkembang.

Menurut Morley pertumbuhan balita dapat diamati dengan cara menimbang balita secara teratur setiap bulan kemudian mencocokannya dengan KMS. Acuan baku yang digunakan pada KMS Morley adalah presentil sesuai dengan International Childern’s Center UK Study yaitu garis atas adalah persentil ke-50 berat badan laki-laki.

Sedangkan garis bawah merupakan persentil ke-3 berat badan balita perempuan. Pertumbuhan balita yang baik, akan mengikuti arah lengkungan garis pada KMS. Pada balita yang sehat, setiap bulan berat badan anak bertambah mengikuti pola garis hijau atau pindah ke pola warna di atasnya.

9. Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tentang umur dan berat badan balita yang direkap pada setiap Posyandu di 38 (tiga puluh delapan) kabupaten /kota yang ada di Propinsi Jawa Timur mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2010.

10. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel respon (y) : Berat badan balita (kg) 2. Variabel Prediktor (t) : Usia balita (bulan)

(4)

4

11. Langkah Analisis

Berdasarkan tujuan penelitian disusun tahap- tahap analisis sebagai berikut :

Tahap 1 Mendapatkan model regresi spline terbobot terbaik dari data berat badan balita di Jawa Timur

Tahap 2 Merancang KMS yang diwakili oleh nilai-nilai persentil dengan pendekatan regresi spline terbobot.

Tahap 3 Membandingkan secara visual antara KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot dengan KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.

12. Deskripsi Umum Balita di Propinsi Jawa Timur

Secara umum persebaran pola pertumbuhan balita di Jawa Timur mempunyai variasi yang berbeda untuk setiap golongan usia, variasi terkecil terletak pada usia 0 bulan dan semakin usianya bertambah mendekati 60 bulan, maka variasi persebaran berat badan balita di Jawa Timur juga semakin besar. Untuk mengetahui Gambaran pola persebaran berat badan balita di Jawa Timur, maka dilakukan ploting data berat badan balita di Jawa Timur berdasarkan usia 0 – 60 bulan adalah sebagai berikut.

Gambar 1 Plot gabungan berat badan terhadap usia balita Propinsi Jawa Timur

Berdasarkan plot persebaran pada Gambar 1, maka dapat diketahui bahwa pola persebaran berat badan balita di Jawa Timur yaitu ketika bayi baru lahir usia 0 bulan berat badannya berikisar antara 2,5 – 5,5 Kg dan semakin usianya bertambah mendekati 60 bulan maka pola persebaran berat badannya semakin besar yaitu berkisar antar 12 – 18 Kg. Hal ini menunjukkan bahwa variasi pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur sangat tinggi. Untuk itu maka Kartu Menuju Sehat Balita (KMS) yang dirancang dengan pendekatan regresi spline harus mampu mewakili variasi berat badan balita di Jawa Timur.

13. Model Spline Untuk Membangun Kurva Pertumbuhan Balita di Jawa Timur

Untuk mengetahui pola pertumbuhan balita di Jawa Timur, maka digunakan nilai persentil 50 (median), Berikut adalah scater plot persentil 50 antara berat badan (Kg) terhadap usia (bulan) balita.

60 50 40 30 20 10 0 15.0

12.5

10.0

7.5

5.0

Usia (Bulan)

Berat Badan (Kg)

Scatterplot of Berat Badan (Kg) vs Usia (Bulan)

Gambar 2 Plot Nilai Median Berat Badan Balita Propinsi Jawa Timu

r

Penggunaan nilai persentil 50 (median) ini karena terdapat sejumlah outlier pada usia tertentu sehingga penggunaan nilai median diharapkan tidak terpengaruh oleh data pencilan/outlier. Selain itu, nilai persentil 50 (median) merupakan salah satu nilai yang digunakan dalam standar baku NCHS untuk mengGambarkan KMS yang nantinya akan menjadi garis pusat rancangan Kartu Menuju Sehat (KMS).

Berdasarkan Plot Nilai Median Berat Badan Balita di Jawa Timur pada Gambar 2 diketahui bahwa Pertumbuhan berat badan balita di Jawa Timur secara umum mengalami perubahan pada batas usia sekitar 1 tahun pertama. Pada batas usia ini pertumbuhan berat badannya sangat cepat dan setelah 1 tahun pertama, pertumbuhan berat badannya cenderung melambat.

Akibat adanya perubahan pola pertumbuhan berat badan balita Jawa Timur menyebabkan bentuk kurva pertumbuhan balita di Jawa Timur membentuk suatu fungsi tertentu yang tidak diketahui. Untuk mendapatkan fungsi tersebut, maka dapat didekati dengan regresi spline. Dengan pendekatan regresi spline, maka dapat diketahui kapan atau pada usia berapa pertumbuhan berat badan balita di Jawa Timur mengalami perubahan pola.

Untuk melakukan pendekatan terhadap suatu bentuk kurva tertentu secara umum terdapat tiga model regresi spline yang sering digunakan yaitu spline linear (orde 1), spline kuadratik (orde 2) dan spline kubik (orde 3).

Berdasarkan bentuk kurva pertumbuhan berat badan balita di Jawa Timur, maka berikut disajikan tiga model regresi spline original (tanpa bobot) untuk 1 titik knot, 2 titik knot dan 3 titik knot dengan nilai GCV minimum.

Tabel 1 Knot optimum beserta nilai GCV spline original Mode Spline 1 Knot 2 Knot 3 Knot Orde 1

(Spline Linear) S1=8 GCV=0,0338

S1=5 S2=15 GCV = 0,0157

S1=4 S2=11 S3=40 GCV = 0,0092 Orde 2

(Spline Kuadratik) S1=9 GCV=0,0085

S1=6 S2=12 GCV=0,0073

S1=7 S2=20 S3=23 GCV=0,0069 Orde 3

(Spline Kubik)

S1=13 GCV=0,0075

S1=10 S2=21 GCV=0,0070

S1=6 S2=9 S3=21 GCV= 0,0072

Berdasarkan Tabel 1, dari beberapa model regresi spline yang memberikan nilai GCV minimum

(5)

5 adalah model regresi spline orde 2 (kuadratik) dengan 3

kombinasi titik knot yaitu S1=7 S2=20 dan S3=23 dengan nilai GCV sebesar 0,0069.

14. Diagnostic Checking

Setelah didapatkan model spline original (tanpa bobot) terbaik, maka selanjutnya adalah dilakukan diagnostic checking terhadap residual data, untuk mengetahui apakah residual telah memenuhi asumsi IIDN adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Hasil pengecekan asumsi residual spline original Asumsi Statistik Hitung Statistik Tabel Identik t hitung = 2,524 (t0.025,59) = 2,001

Independen d = 2,1163

dU(5,61) = 1,767 4-dU = 2,233 dL(5,61) = 1,414 4-dL = 2,586 Distribusi Normal Duji = 0,094 D0.95, 60 = 0,172

Berdasarkan pengecekan asumsi residual pada Tabel 3 terdapat 1 asumsi yang dilanggar yaitu residual tidak identik. Untuk menyelesaikan kasus residual tidak identik maka dalam estimasi parameter dapat digunakan suatu bobot tertentu.

15. Spline Terbobot

Model regresi spline orde 2 (tanpa bobot) dengan 3 kombinasi titik knot yaitu S1=7 S2=20 dan S3=23 pada data berat badan balita di Jawa Timur tidak memenuhi asumsi residual identik. Untuk menyelesaikan kasus ini, maka saat melakukan estimasi parameter diperlukan pembobotan dengan suatu nilai yang diperoleh dengan estimasi menggunakan Local Moving Average (LMA).

Metode pembobotan dengan Local Moving Average (LMA) ini selain dapat mengatasi kasus heterokedastisitas juga dapat memberikan nilai General Cross Validation (GCV) yang lebih minimum dari pada metode pembobotan dengan General Moving Average (GMA).

Berikut adalah hasil pemodelan dengan menggu-nakan pembobotan LMA untuk 1 titik knot, 2 titik knot dan 3 titik knot untuk data berat badan balita Propinsi Jawa Timur.

Tabel 3 Knot optimum beserta nilai GCV spline terbobot Mode Spline 1 Knot 2 Knot 3 Knot Orde 1

(Spline Linear) S1=7 GCV=0,02876

S1=5 S2=15 GCV=0,01528

S1=4 S2=11 S3=40 GCV=0,00928 Orde 2

(Spline Kuadratik) S1=9 GCV=0,00859

S1=6 S2=13 GCV=0,00756

S1=7 S2=18 S3=25 GCV=0,00757 Orde 3

(Spline Kubik)

S1=13 GCV=0,00802

S1=8 S2=17 GCV=0,00760

S1=7 S2=15 S3=23 GCV=0,00787

Tabel 2 menunjukkan nilai GCV minimum yaitu 0.00756 yang diberikan oleh model spline kuadratik (orde 2) dengan 2 titik knot yaitu S1 = 6 dan S2 = 13. Hal ini menunjukkan bahwa balita di Jawa Timur mengalami perubahan pola pertumbuhan berat badan sebanyak 2 kali.

Pada estimasi regresi spline dengan bobot General Moving Average (GMA) didapatkan nilai GCV minimum sebesar 0.00776 yang diberikan oleh model spline orde 3 dengan 2 kombinasi titik knot S1 = 12 dan S2 = 38, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembobotan dengan LMA didapatkan nilai GCV yang lebih minimum.

Setelah didapatkan model spline terbobot terbaik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan diagnostic checking terhadap residual data, untuk mengetahui apakah residual telah memenuhi asumsi IIDN sebagai berikut.

Tabel 4 Hasil pengecekan asumsi residual spline terbobot Asumsi Statistik Hitung Statistik Tabel Identik t hitung = 1,784 (t0.025,59) = 2,001

Independen d = 1,97718

dU(4,61) = 1,728 4-dU = 2,272 dL(4,61) = 1,449 4-dL = 2,551 Distribusi Normal Duji = 0,083 D0.95, 60 = 0,172

Tabel 4 menunjukkan bahwa model spline terbobot kuadratik dengan 2 titik knot yaitu S1 = 6 dan S2 = 13 telah memenuhi asumsi IIDN.

16. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi Spline Terbobot

Uji signifikansi parameter digunakan untuk mengetahui apakah parameter dari model yang telah dibangun berpengaruh atau tidak. Terdapat 2 pengujian signifikansi parameter, yaitu pengujian secara serentak (uji-F) dan pengujian secara individu (uji-t).

16.1 Uji Serentak

Untuk mengetahui pengaruh parameter secara serentak terhadap model yang telah dibangun maka dilakukan uji-F.

Hipotesis

H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0

H1 : Paling sedikit ada satu βi ≠ 0 ; i= 0,1,2,3,4 Tabel 5 Tabel ANOVA model spline kudratik terbobot Source of

Variation df Sum of Square

Mean

Square Fhitung

Regression 4 502,0053 125,5013 18782,15

Residual 56 0,3742 0,0067

Total 60 502,3795

Berdasarkan ANOVA pada Tabel 4 didapatkan nilai F hitung =18782,15 jika dibandingkan dengan F

(0.05,4,56) = 2,53658 maka diputuskan tolak H0 yang berarti secara serentak parameter signifikan terhadap model yang telah dibangun.

16.2 Uji Individu

Setelah dilakukan uji signifikansi secara serentak maka selanjutnya adalah dilakukan pengujian parameter secara individu adalah sebagai berikut.

Hipotesis H0 : βi = 0

H1 : βi ≠ 0 ; i= 0,1,2,3,4

Tabel 6 Pengujian Parameter Secara Individu Parameter Coef SE t hitung t (0.025,56)

β0 3,4902 0,0609 57,2737

2.0032 β1 0,9763 0,0302 32,3366

β2 -0,0540 0,0031 -17,2994 β3 0,0418 0,0038 11,1549 β4 0,0117 0,0008 14,8812

(6)

6 Hasil pengujian parameter model regresi spline terbobot

kuadratik dengan 2 titik knot secara individu diperoleh kesimpulan tolak H0 pada setiap parameter, hal ini dapat diketahui karena nilai |t hitung| > t(0.025, 56) = 2,0032. Artinya semua parameter secara individu signifikan terhadap model yang telah dibangun.

Berikut adalah model matematis regresi spline kuadratik terbobot dengan kombinasi 2 titik knot S1 = 6 dan S2 = 13.

B = β0 + β1 x + β2 x2 + β3 (x – 6)+2

+ β4 (x – 13)+2

dengan taksiran parameter model regresi spline kuadratik terbobot dengan 2 titik knot S1 = 6 dan S2 = 13 adalah

B = 3,4608 + 0,9886x – 0,0552x2 + 0,0431 (x – 6)+ 2

+ 0,0116 (x – 13)+2

Terdapat 3 model regresi spline untuk masing- masing potongan atau segmen. Model spline untuk berat badan balita di Jawa Timur sebelum usia 6 bulan adalah 3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 dan model spline terbobot ketika usia balita antara 6 sampai dengan sebelum 13 bulan bulan adalah 5,0124 + 0,4714 x – 0,0121 x2 sedangkan model spline terbobot untuk balita yang berusia lebih dari 13 bulan adalah 6,9728 + 0,1698 x – 0,0005 x2.

Berikut adalah plot model regresi spline terbobot orde 2 dengan kombinasi 2 titk knot S1 = 6 dan S2 = 13.

Gambar 3 Plot spline terbobot kuadratik dengan titik knot S1 =6 dan S2 = 13

17. Rancangan Kartu Menuju Sehat (KMS)

Rancangan KMS yang akan dibangun terdiri dari nilai-nilai persentil dari data berat badan balita di Propinsi Jawa Timur, yaitu persentil ke-3, 5, 10, 25, 35, 50, 65, 75, 90, 95 dan 97. Masing-masing persentil dilakukan pemo- delan dengan regresi spline terbobot kuadratik kombinasi 2 titik knot. Berikut merupakan plot persebaran untuk masing-masing persentil.

Plot Berat Badan Balita Propinsi Jawa Timur Untuk Setiap Nilai Persentil

Gambar 4 Plot Berat Badan Balita Untuk Setiap Nilai Persentil Gambar 4 menunjukkan pola persebaran berat badan balita di Jawa Timur yang diwakili oleh nilai-nilai persentil ke-3, 5, 10, 25, 35, 50, 65, 75, 90, 95 dan 97.

Terlihat bahwa pola pertumbuhan berat badan balita di Jawa Timur cenderung berubah pada sekitar usia 6 bulan pertama, dan semakin usianya mendekati 60 bulan, maka variasi berat badan balita di Jawa Timur semakin besar.

Berikut adalah model regresi spline terbobot orde 2 dengan kombinasi 2 titik knot untuk masing- masing persentil.

BQ = 2,1967 + 0,7896 x – 0,0330 x2 + 0,0321 (x – 11)+2

+ 0,0021 (x – 29)+2

BR = 2,4149 + 0,7960 x – 0,0348 x2 + 0,0324 (x – 9)+2

+ 0,0025 (x – 23)+2

B = 2,6773 + 0,8244 x – 0,0384 x2 + 0,0255 (x – 9)+2

+ 0,0125 (x – 14)+2

B?R = 3,0229 + 0,9041 x – 0,0453 x2 + 0,0360 (x – 8)+2

+ 0,0089 (x – 17)+2

BQR = 3,2049 + 0,9778 x – 0,0558 x2 + 0,0454 (x – 6)+2

+ 0,0101 (x – 15)+

2

BR = 3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 + 0,0431 (x – 6)+2

+ 0,0116 (x – 13)+

2

BSR = 3,6866 + 1,0827 x – 0,0707 x2 + 0,0587 (x – 5)+2

+ 0,0116 (x – 13)+

2

BTR = 3,8640 + 1,0986 x – 0,0682 x2 + 0,0509 (x – 8)+2

+ 0,0167 (x – 14)+2

BU = 4,2381 + 1,3866 x – 0,1186 x2 + 0,1056 (x – 6)+ 2 + 0,0126 (x – 12)+2

BUR = 4,3490 + 1,7128 x – 0,1939 x2 + 0,1745 (x – 11)+2

0,0190 (x –39)+2

B =

3,4608 + 0,9886 x – 0,0552 x2 < 6 5,0124 + 0,4714 x – 0,0121 x2 6≤ x < 13 6,9728 + 0,1698 x – 0,0005 x2 ≥ 13

(7)

Tabel 7 Nilai R2 Untuk Setiap Nilai Persentil Persentil R2

3 99,45 %

5 99,67 %

10 99,73 %

25 99,89 %

35 99,85 %

50 99,93 %

65 99,91 %

75 99,90 %

90 99,74 %

95 99,71 %

Model rancangan KMS propinsi Jawa Timur dengan pendekatan spline terbobot tersebut

bahwa nilai R2 untuk semua nilai persentil pengamatan lebih dari 99% sehingga model rancangan KMS tersebut dapat dikatakan baik dalam menggambarkan pola pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur

jelasnya mengenai hasil rancangan KMS dengan metode spline terbobot maka dapat dilihat pada

berikut.

Gambar 5 Rancangan KMS dengan spline terbobot Rancangan KMS pada Gambar

hasil pemodelan dari masing-masing persentil yang digambarkan dalam bentuk garis, dimana pusat KMS berada pada batas persentil ke-50 yang ditandai dengan garis berwana hijau tua. Pusat KMS tersebut merupakan pola pertumbuhan balita normal dipropi

sedangkan pada persentil ke-3 sampai dengan persentil ke-10 merupakan zona kurang atau beresiko mengalami gizi buruk yang ditandai dengan warna kuning dan pada persentil ke-90 sampai dengan persentil ke

merupakan zona beresiko mengalami kelebihan gizi yang juga ditandai dengan warna kuning.

KMS diwakili oleh garis merah yaitu pada persentil ke dengan kata lain pada batas tersebut balita melangalami gizi buruk yang akut, sehingga harus segera diperlukan penanganan khusus.

KMS di Indonesia telah digunakan sejak tahun 1970-an, sebagai sarana utama kegiatan pemantauan pertumbuhan. KMS di Indonesia telah mengalami 3 kali perubahan. KMS yang pertama dikembangkan pada tahun 1974 dengan menggunakan rujukan Harvard dan pada tahun 1990 diterbitkan KMS revisi dengan menggunakan rujukan WHO-NCHS. Pada tahun 2008, KMS balita

Untuk Setiap Nilai Persentil 99,45 %

99,67 % 99,73 % 99,89 % 99,85 % 99,93 % 99,91 % 99,90 % 99,74 % 99,71 %

Model rancangan KMS propinsi Jawa Timur dengan terbobot tersebut dapat diketahui untuk semua nilai persentil pengamatan sehingga model rancangan KMS tersebut dapat dikatakan baik dalam menggambarkan pola pertumbuhan balita di Propinsi Jawa Timur. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil rancangan KMS dengan metode spline terbobot maka dapat dilihat pada Gambar 5 sebagai

Rancangan KMS dengan spline terbobot Gambar 5 merupakan masing persentil yang garis, dimana pusat KMS 50 yang ditandai dengan garis berwana hijau tua. Pusat KMS tersebut merupakan pola pertumbuhan balita normal dipropinsi Jawa Timur, 3 sampai dengan persentil 10 merupakan zona kurang atau beresiko mengalami gizi buruk yang ditandai dengan warna kuning dan pada 90 sampai dengan persentil ke-95 juga lami kelebihan gizi yang juga ditandai dengan warna kuning. Zona kritis pada KMS diwakili oleh garis merah yaitu pada persentil ke-3 dengan kata lain pada batas tersebut balita melangalami gizi buruk yang akut, sehingga harus segera diperlukan KMS di Indonesia telah digunakan sejak tahun an, sebagai sarana utama kegiatan pemantauan pertumbuhan. KMS di Indonesia telah mengalami 3 kali perubahan. KMS yang pertama dikembangkan pada tahun 1974 dengan menggunakan rujukan Harvard dan pada tahun 1990 diterbitkan KMS revisi dengan menggunakan NCHS. Pada tahun 2008, KMS balita

direvisi berdasarkan Standar Antropometri WHO 2005, sehingga KMS yang digunakan di Indonesia saat ini adalah KMS standar baru dari WHO 2005, KMS ini dirancang dengan mengembangkan data dari beberapa Negara di Asia diantaranya adalah I

Bangladesh dan Maldivesini dimana negara

but mempunyai pola pertumbuhan balita yang relatif sama. Berikut adalah KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.

Gambar 6 KMS yang digunakan di Indonesia saat ini Setelah merancang KMS dengan menggunakan pendekatan regresi spline terbobot dan mengetahui KMS yang digunakan di Indonesia, maka selanjutnya adalah melakukan perbandingan secara visual antara

yang dapat dilihat pada Gambar

Gambar 7 Perbandingan KMS rancangan dengan KMS Indonesia

Perbandingan KMS pada Gambar

KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot dengan data berat badan balita di Jawa Timur memiliki standar evaluator yang lebih rendah daripada KMS yang digunakan di Indonesia saat ini. Untuk berat badan balita normal Usia 36 bulan (3 tahun) yang ditandai dengan kurva berwarna Hijau pada KMS yang saat ini digunakan berada pada interval 12 sampai dengan 16 Kg, sedangkan pada KMS rancangan untuk berat badan normal usia 36 bulan berada pada interval

dengan 14,8 Kg. Untuk berat badan balita dengan resiko kurang gizi (zona kuning bawah) pada KMS yang saat ini digunakan berada pada interval 10 sampai dengan 12 Kg, 7 direvisi berdasarkan Standar Antropometri WHO 2005, sehingga KMS yang digunakan di Indonesia saat ini adalah KMS standar baru dari WHO 2005, KMS ini g dengan mengembangkan data dari beberapa Negara di Asia diantaranya adalah Indonesia, Srilangka, aldivesini dimana negara-negara terse- but mempunyai pola pertumbuhan balita yang relatif sama. Berikut adalah KMS yang digunakan di Indonesia

KMS yang digunakan di Indonesia saat ini Setelah merancang KMS dengan menggunakan pendekatan regresi spline terbobot dan mengetahui KMS onesia, maka selanjutnya adalah melakukan perbandingan secara visual antara kedua KMS

Gambar 7 sebagai berikut.

Perbandingan KMS rancangan dengan KMS Indonesia

Gambar 7 menunjukkan bahwa KMS yang dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot dengan data berat badan balita di Jawa Timur memiliki standar evaluator yang lebih rendah daripada KMS yang digunakan di Indonesia saat ini. Untuk berat Usia 36 bulan (3 tahun) yang ditandai dengan kurva berwarna Hijau pada KMS yang saat ini digunakan berada pada interval 12 sampai dengan 16 Kg, sedangkan pada KMS rancangan untuk berat badan normal usia 36 bulan berada pada interval 10,7 sampai Kg. Untuk berat badan balita dengan resiko kurang gizi (zona kuning bawah) pada KMS yang saat ini digunakan berada pada interval 10 sampai dengan 12 Kg,

(8)

8 sedangkan pada KMS rancangan berada pada interval 9,5

sampai dengan 10,6 Kg. Untuk berat badan balita dengan resiko kelebihan gizi (zona kuning atas) pada KMS yang saat ini digunakan berada pada interval 16 sampai dengan 17,5 Kg, sedangkan pada KMS rancangan berada pada interval interval 14,9 sampai dengan 15,8 Kg.

Berdasarkan perbandingan visual antara KMS pada Gambar 7 juga dapat diketahui bahwa berat badan balita usia 0-6 bulan pada KMS rancangan berada lebih tinggi dari pada KMS Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya ibu yang masih kurang paham akan pentingnya pemberian ASI eksklusif, sehingga banyak balita di Jawa Timur yang diberi susu formula. Hal ini menyebabkan berat badan balita lebih cepat meningkat pada sekitar usia tersebut (adingingsih, 2010).

19. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain:

1. Model regresi spline terbobot terbaik yang mengGambarkan hubungan antara berat badan terhadap usia balita di propinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi tiga segmen yaitu,

2. Rancangan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang telah dirancang dengan pendekatan regresi spline terbobot mempunyai nilai R2=99,77%, sehingga KMS rancangan ini dapat dikatakan baik dalam menggam- barkan pola pertumbuhan balita di propinsi Jawa Timur.

3. Hasil perbandingan KMS yang digunakan di Indonesia saat ini dengan rancangan KMS dengan pendekatan regresi spline adalah bahwa KMS dengan pendekatan spline terbobot memiliki standar evaluator yang lebih rendah daripada KMS yang digunakan di Indonesia saat ini.

19. Saran

Petugas posyandu yang mencatat data berat badan balita di Jawa Timur memiliki tingkat ketrampilan yang berbeda. Disamping itu petugas yang mengentri data kekomputer berbeda dengan petugas yang mencatat dilapangan, sehingga ada kemungkinan perbedaan informasi data. Oleh karena itu sebelum data digunakan dalam analisis sebaiknya di screening atau diteliti terlebih dahulu apakah terdapat data yang tidak lazim (salah dalam proses pengentrian/pencatatan) agar didapatkan hasil analisis yang akurat.

20. Daftar Pustaka

Budiantara, I.N. (1999). Estimator Spline Terbobot Dalam Regresi Semiparametrik. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi , 10, 103-109.

Budiantara, I.N. (2009). Spline dalam Regresi Nonpara-

metrik dan Semiparametrik: Sebuah Pemodelan Statistika Masa Kini dan Masa Mendatang. Pidato pengukuhan untuk jabatan guru besar dalam bidang Matematika Statistika dan Probabilitas, Jurusan Statistika FMIPA, ITS, Surabaya.

Budiantara, I.N, dan Purnomo, J.D.T. (2010). Model Regresi Nonparametrik Spline Terbobot dan Aplikasinya Dalam Merancang KMS. Laporan Penelitian Guru Besar, Jurusan Statistika FMIPA, ITS, Surabaya.

Craven, P dan Wahba, G. (1979). Smoothing Noisy Data With Spline Function: Estimating The Correct Degree of Smoothing by The Method of Generalized Cross Validation. Numer. Math. , 31, 377-403.

Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi Jawa Timur. (2011). Rendahnya Daya Beli Pengaruhi Terjadinya Gizi Buruk Di Pamekasan. Diakses pada 3 Mei 2011, dari Media Jatim Menuju E- Government: jatimprov.go.id

Eubank, R.L. (1988). Nonparametric Regression And Spline Smoothing. New York: Marcel Dekker,Inc.

Gujarati, D. (2004). Basic Econometric. New York: The McGraw-Hill Companies.

Hardle, W. (1990). Applied Nonparametric Regession.

Cambridge: Cambridge University Press.

Kohn, R.dkk. (1991). Performance of Cross Validation and Maximum Likelihood Estimators of Spline Smoothing Parameters. Journal of The American Statistical Association , 86, 1042-1050.

Kvam, P. H., dan Vidakovic, B. (2007). Nonparametric Statistics with Applications to Science and Engineering. New Jersey: John Wiley & Sons.

Lee C. M. dan Fang Yao. (2008). On Knot Placement for Penalized Spline Regression. Department of Statistics, University of Toronto Canada.

Li, K.C. (1986). Asymtotic Optimality of Cl and Generalized Cross Validation in Ridge Regression With Application to Spline Smoothing. Ann.Statist , 14, 1101-1112.

Montgomery, D., & Peck, E. (1982). Introduction to Linear Regression Analysis. New York: John Wiley & Son.

Narendra, M., Sularyo, T., Suyitno, H., & Ranuh, I.

(2002). Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.

Jakarta: CV. Sagung Seto.

Silverman, B.W. (1985). Some Aspect of The Spline Smoothing Approach to Nonparametric Regression Curve Fitting (With Discussion). Journal of The Royal Statistical Society, ser B , 47, 1-52.

Siswono. (2010). Kasus Gizi Buruk : Empat Propinsi Tak Pernah Absen. Diakses pada 3 Mei 2011, dari Indonesian Nutrition Network: http://gizi.net Subanar, dan Budiantara, I.N. (1999). Weighted Spline

Estimator in a Partially Linear Models, Proceeding of the SEAMS-GMU. International Conference 1999 on Mathematics and Its Applications , 61-70.

Wahba, G. (1985). A Comparison of GCV and GML for Choosing the Smoothing Parameter in the Generalized Spline Smoothing Problem. Journal the Annals of Statistics , 13, 1378-1402 .

B =

3,4902 + 0,9763 x – 0,0540 x2 < 6 4,9950 + 0,4747 x – 0,0122 x2 6≤ x < 13 6,9723 + 0,1705 x – 0,0005 x2 ≥ 13

Referensi

Dokumen terkait

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan

Lahirnya dua karya tari (Solah Kiprah dan Kipas Mega) yang pelakunya sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga ini, pijakan dasarnya lebih pada pemenuhan kebutuhan

mengoptimalkan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui dan memahami prosedur tentang BPJS Kesehatan, lebih mengintensifkan kembali

S druge strane, uobi č ajena je i praksa da se lekovi koji imaju odre đ ene indikacije u dermatologiji, namenjeni kako za lokalnu, tako i za sistemsku primenu, koriste i kod

Demensia Vaskuler (DVa) adalah semua kasus demensia yang disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler dengan penurunan kognisi mulai dari yang ringan sampai yang paling berat (tidak

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia terhadap Indeks Harga Saham Gabungan

SIKD di pemerintah daerah kabupaten Sinjai diimplementasikan dengan menggunakan aplikasi SIMAKDA Sistem Informasi Manajemen Anggaran dan Akuntansi Keuangan Daerah.SIMAKDA

Kondisi transportasi merupakan faktor penghambat dalam pemasaran produksi jeruk sulawesi dari Konawe Selatan, baik yang berasal dari buruknya kualitas jalan maupun