p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 655 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIAL HUMANISTIK
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR
Rosidah Aliim Hidayat1, Zainnur Wijayanto2
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar 1, Program Studi Pendidikan Matematika2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa1,2
Email: [email protected]
Abstract: The purpose of this research and development research was (1) to produce a humanistic social-based learning model that was suitable for the mathematical communication skills of elementary school students and (2) to test its effectiveness. The type of research used was RnD with a 4-D development model developed by Thiagarajan. The research subjects on a small scale were 4 students of grade IV and on a wide scale were all students in grade IV of SD Taman Muda IP. The data analysis technique used descriptive qualitative and quantitative. Qualitative analysis technique was used to describe the stages of developing a humanistic social-based learning model in improving mathematical communication skills. Quantitative analysis techniques were utilized to test the validity, practicality, and effectiveness. Based on research data, validation tests from experts and practitioners, it can be concluded that the humanistic social-based learning model in improving the mathematical communication skills of elementary school students was valid, practical, and effective. After going through the validation stage, both experts and practitioners, the product developed was said to be valid (feasible and can be used). After being tested on a small scale and a large scale, the product developed was included in the practical and effective criteria. Thus, the developed model can be used as reference material in enriching the learning process in elementary schools so that it is hoped that student learning outcomes can alsobe enhanced
Keywords: humanistic, communication, mathematics, social.
PENDAHULUAN
Mempersiapkan peserta didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif merupakan tujuan pembelajaran matematika di jenjang Pendidikan dasar dan pendidikan menengah (Puskur, 2002: 16). Tujuan pembelajaran Matematika secara lebih spesifik menurut Kurikulum 2013 (Kemdikbud, 2013: 46) menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan scientific (ilmiah). Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan suatu
pembelajaran yang bermakna.
Pembelajaran bermakna dapat dipenuhi jika peserta didik tidak hanya sekedar menghafalkan informasi yang diperoleh tanpa menghubungkan dengan hal-hal lain yang ada di struktur kognitifnya (Koswara, 2015:10).
Salah satu isi dari Standar isi dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 adalah tujuan pembelajaran matematika mengharapkan peserta didik memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Hal itu juga diperkuat oleh NCTM (2000: 56) bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah belajar untuk berkomunikasi. Kenyataannya,
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 656 kemampuan komunikasi matematis peserta
didik masih kurang dalam berbagai situasi (Mullis, 2012: 42). Penyebabnya antara lain, (1) dalam mengajar guru mencontohkan pada peserta didik bagaimana menyelesaikan soal; (2) peserta didik belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan matematik, kemudian guru memecahkannya sendiri;
dan (3) pada saat mengajar matematika, guru langsung menjelaskan topik yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian contoh dan soal untuk latihan (Ansari, 2012: 7).
Kemampuan komunukasi merupakan suatu kemampuan untuk mengungkapkan ide atau gagasan matematis dengan bahasa peserta didik sendiri (Suhendra, 2015:
722). Dengan demikian, perlu diberikan alternatif model yang sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di Pendidikan dasar dalam menangani masalah tersebut.
Model tersebut dapat diselesaikan dengan adanya jembatan penghubung antara psikologis pembelajaran dengan ilmu sains, yang dalam hal ini menggunakan model pembelajaran berbasis sosial humanistik. Model pembelajaran berbasis sosial humanistik merupakan irisan dari teori pembelajaran sosial dan teori pembelajaran humanistik.
Penggabungan tersebut didasari atas beberapa fakta dan hasil penelitian yang mendukung diantaranya Lestari, L.A.S., Sumantri & Suartama (2014: 8) menyatakan bahwa model pembelajaran Bandura dapat berpengaruh positif terhadap hasil belajar IPA. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran sosial dapat digunakan dalam meningkatkan hasil belajar beberapa peserta didik pada ilmu sains. Selain itu, penelitian telah menujukkan bahwa kegiatan pemodelan efektif untuk hampir keseluruhan beberapa peserta didik (Ärlebäck & Doerr, 2017:
194). Untuk model pembelajaran humanistik dalam pembelajaran
Matematika diungkapkan oleh Darminto (2014: 5) yang menyatakan bahwa penerapan Teori Maslow dapat meningkatkan hasil belajar Matematika pada beberapa peserta didik SD di Purworejo. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan teori pembelajaran humanistik dapat meningkatkan hasil belajar Matematika.
Model pembelajaran berbasis sosial humanistik pada dasarnya merupakan gabungan teori pembelajaran sosial dan humanistik. Penggabungan dari kedua teori tersebut didasarkan pada adanya kesamaan karakteristik dari hasil akhir yang diharapkan yaitu berkaitan dengan lingkungan, interaksi, dan kognitif. Dalam pembelajaran sosial utamanya adalah adanya pemodelan dari seorang guru dalam membentuk makna, sedangkan untuk pembelajaran humanistik lebih pada adanya kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik dalam membentuk makna. Karakteristik pembelajaran sosial utamanya adanya pemodelan dari guru dan jika dimodifikasi dengan pembelajaran humanistik menjadikan pemodelan tidak menjadi sepenuhnya melainkan pendampingan dari guru utamanya (scaffolding). Selain itu peserta didik juga diberikan kebebasan dalam membentuk pengetahuan berdasarkan pengalaman mereka. Sehingga dalam pembelajaran berbasis sosial humanistik memberikan banyak instruksi kepada peserta didik.
Dalam proses pembelajaran jika meminimalkan instruksi kepada peserta didik dapat memberikan dampak adanya kekurangan jelasan dalam pemahaman pengetahuan matematika. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kirschner, Sweller, & Clark (2006: 115) yang menyatakan bahwa suatu pendekatan pengajaran yang tidak dipandu atau meminimalkan instruksi untuk peserta didik kurang efektif dan efisien daripada pendekatan pembelajaran yang
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 657 menggunakan banyaknya panduan kepada
peserta didik. Disinilah suatu interaksi perlu dibangun dan menyesuaikan dengan karakteristik peserta didik bukan sepenuhnya diberikan prosedur yang utuh melainkan peserta didik juga diberikan kesempatan dalam membentuk makna.
Ilmu sosial humanistik menurut Morris (1994: 301) adalah ilmu yang pada dasarnya berkaitan dengan makna dan nilai. Hal ini memiliki arti bahwa pembelajaran berbasis sosial humanistik harus bermakna dan memiliki unsur nilai- nilai. Adapun nilai-nilai akan terbentuk saat terjadinya diskusi dan interaksi dengan lingkungannya. Lebih lanjut Van de Walle (2010: 37) menyatakan bahwa pembelajaran itu dikatakan bermakna, jika peserta didik mampu memahami dan menjelaskan ide dari suatu materi. Unsur nilai-nilai yang termuat didalamnya yaitu komunikasi, koneksi, relasi, demokratis, kreatif, mandiri, dan rasa ingin tahu.
Langkah dari model pembelajaran berbasis sosial humanistik yaitu langkah 1:
penyampaiaan tujuan pembelajaran, langkah 2: penentuan permasalahan materi, langkah 3: pengorganisasian peserta didik menjadi beberapa kelompok belajar dengan anggotanya sesuai kehendak peserta didik, langkah 4: membimbing peserta didik untuk berpikir kritis dan menemukan makna pembelajaran secara kelompok, langkah 5: setiap kelompok membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya dan menjelaskan kepada kelompok lainnya dan begitu pula kelompok lainnya dengan dihubungkan dari hasil konseptualisasinya (melakukan reinterpretasi), dan langkah 6: memberikan penghargaan.
Selain langkah (sintaks) dalam mengembangkan strategi pada model pembelajaran matematika berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi peserta didik SD juga memperhatikan adanya sistem sosial.
Dimana sistem sosial ini mencakup tiga pengertian utama yaitu (1) deskripsi mengenai macam-macam peranan pembelajar dan si pembelajar, (2) deskripsi hubungan hirarkis/otoritas pembelajar dan si pembelajar, dan (3) deskripsi macam- macam kaidah untuk mendorong pembelajar.
Sistem sosial model pembelajaran pembelajaran matematika berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi peserta didik terangkum sebagai berikut. (1) Guru memberikan perhatian pada penciptaan suasana di awal pembelajaran, (2) guru menciptakan kelas yang menyenangkan, (3) guru memberikan kesempatan kepada peserta didik supaya dapat berkomunikasi secara langsung selama proses pembelajaran, (4) guru menyiapkan sumber belajar untuk peserta didik dalam membantu pencapaian tujuan pembelajaran, (5) guru menjadi tempat untuk berdialog dengan peserta didik tanpa perasaan takut, (6) peserta didik sebagai subjek pembelajaran dan fokus perhatian guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, (7) peserta didik bebas berkarya dalam memecahkan permasalahan saat proses pembelajaran sesuai dengan gayanya sendiri.
Selain yang sudah disebutkan tersebut, juga (8) guru menanggapi dengan baik pernyataan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran, (9) guru menegur peserta didik supaya berperilaku sesuai dengan peraturan dengan sopan, (10) guru ikut mengeluarkan pendapat di dalam kelompok dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, (11) guru bersedia mengenali, mengakui, dan menerima keterbatasan-keterbatasan diri dengan cara bersedia dan senang hati menerima pandangan yang lebih baik dari peserta didiknya, (12) guru telah merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas, serta
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 658 (13) guru memberikan aturan yang jelas,
jujur, dan positif kepada peserta didik.
Selain itu, peserta didik diharapkan mampu mengungkapkan gagasannya menggunakan bahasa sendiri; peserta didik diperbolehkan mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa
yang diinginkan dan
mempertanggungjawabkan pendapatnya tersebut, guru bersedia menerima peserta didik apa adanya dan berusaha memahami jalan pikiran peserta didik dalam proses belajarnya; dan guru memberikan kesempatan kepada peserta didik yang paling cepat dalam mengerjakan pekerjaannya untuk maju mengerjakan ke depan.
Penerapan model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik juga memperhatikan adanya prinsip reaksi, prinsip reaksi dapat dimengerti sebagai reaksi pembelajar atas aktivitas-aktivitas pembelajar. Prinsip reaksi dalam model pembelajaran yang dikembangkan ini terangkum sebagai berikut: (1) pendidik mengontrol proses konstruksi pengetahuan oleh peserta didik, (2) pendidik mengajak dialog dan aktivitas peserta didik dalam menemukan kosep supaya kreativitas peserta didik tidak mati, (3) pendidik berupaya mendalami karakteristik peserta didik dengan menanyakan informasi tentang pribadi dan sosial peserta didik
kemudian membantu untuk
menyelesaikannya, dan (4) pendidik berupaya mendalami afektif peserta didik kemudian membantu dalam menyelesaikan permasalahannya.
Sistem pendukung merupakan suatu sistem yang diperlukan oleh peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran supaya dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan pembelajaran. Sistem ini merupakan kondisi yang dibutuhkan oleh suatu model, didasarkan dari pertanyaan-pertanyaan
yang dibutuhkan oleh suatu model agar tercipta lingkungan khusus. Dalam hubungan ini, sistem pendukung itu berupa kemampuan/keterampilan dan fasilitas- fasilitas teknis yang diturunkan dari dua sumber yaitu kekhususan-kekhususan peranan pembelajar dan tuntutan si pembelajar. Sistem pendukung model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik terangkum sebagai berikut (1) pendidik menjamin situasi kelas yang dapat mendukung pembelajaran yang dilaksanakan, (2) pendidik memastikan semua fasilitas yang ada dapat digunakan dalam proses pembelajaran, dan (3) pendidik memastikan semua kebutuhan dalam pembelajaran terpenuhi.
Selain sistem pendukung dalam model pembelajaran matematika yang dikembangkan ini terdapat dampak instruksional yang dikembangkan meliputi penguasaan kompetensi Dasar (KD) dan kemampuan komunikasi peserta didik.
Pencapaian atau penguasaan kompetensi dasar dapat ditunjukkan dari hasil belajar peserta didik, sedangkan kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari keterlaksanaan model serta hasil tes kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
Dampak pengiring dari suatu model pembelajaran berupa hasil yang tidak langsung diukur dan tidak pasti ketika berakhirnya proses belajar mengajar.
Biasanya dampak pengiring ini berkenaan dengan domain afektif (sikap dan nilai), meliputi; 1) menerima; 2) menanggapi; 3) menghargai; 4) mengatur diri; 5) menjadi pola hidup (Sapriati, 2010:164). Bila dilihat dari hasil belajar, dampak pengiring tidak harus dicapai ketika suatu proses belajar mengajar telah selesai, melainkan hasilnya diharapkan akan berpengaruh kepada peserta didik dan akan mengiringi atau menyertai kemudian, serta masih
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 659 memerlukan waktu atau tahapan-tahapan
proses belajar mengajar selanjutnya.
Pada model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik sekolah dasar dampak pengiringnya dibedakan menjadi (1) komunikasi, (2) koneksi, (3) relasi sosial, (4) demokratis, (5) kreatif, (6) mandiri, dan (7) rasa ingin tahu. Maksud dari adanya komunikasi adalah terciptanya pembentukan (transform) dan pengalihan (transfer) pengetahuan, keterampilan ataupun sikap dan nilai dari pendidik kepada peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan koneksi adalah kemampuan dalam menghubungkan suatu konsep khususnya matematika, baik antara konsep matematika itu sendiri maupun dengan bidang lainnya. Pada aspek relasi sosial dalam model pembelajaran berbasis sosial humanistik harus dapat memunculkan interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan tertentu.
Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Karena pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Pada aspek demokrasi dimaksudkan sebagai suatu sistem pembelajaran yang ditekankan pada suatu kegiatan yang melibatkan semua peserta didik dengan menekankan cara berpikir kreatif, kritis dalam mengemukakan pendapat, ide maupun gagasan sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki. Selain itu, pada aspek kreatif seorang pendidik harus dapat memahami model pembelajaran, serta dapat mengembangkan model pembelajaran yang baru agar peserta didik
kita tidak mudah bosan dalam pembelajaran. Pada aspek kemandirian yang terdapat pada dampak pengiring dalam model pembelajaran ini dapat diartikan sebagai sikap (perilaku) dan mental yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, benar, dan bermanfaat; berusaha melakukan segala sesuatu dengan jujur dan benar atas dorongan dirinya sendiri dan kemampuan mengatur diri sendiri sesuai dengan hak dan kewajibannya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, serta bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang telah diambilnya melalui berbagai pertimbangan sebelumnya. Sedangkan pada aspek rasa ingin tahu, peserta didik diberikan dorongan untuk sering bertanya dan mencari tahu tentang sesuatu yang sedang dihadapi, karena melalui rasa ingin tahu, seseorang terdorong untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.
Model pembelajaran berbasis sosial humanistik merupakan model pembelajaran yang merujuk pada pendekatan filosofi sosial konstruktivistik.
Pendekatan tersebut mengutamakan pada pendampingan kepada peserta didik dengan menggunakan sistem “tangga”
supaya peserta didik dapat dengan mudah dalam membentuk pengetahuannya. Model pembelajaran berbasis sosial humanistik memuat unsur-unsur yaitu komunikasi, koneksi, relasi, demokratis, kreatif, mandiri, dan rasa ingin tahu. Tujuh nilai tersebut salah satunya adalah kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
Model pembelajaran berbasis sosial akan mendongkrak dan memaksimalkan komunikasi matematik. Komunikasi merupakan ciri-ciri dasar bagi peserta didik untuk dapat menunjukkan hasil pemikirannya secara lisan maupun tulisan (Rismawati & Setiawan, 2017: 469).
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 660 Dengan demikian, diduga model
pembelajaran berbasis sosial humanistik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
Komunikasi matematika adalah bahasa yang melambangkan makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Ansari (2012: 7) menelaah kemampuan komunikasi matematika dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing).
Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas keterlibatan peserta didik dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sementara yang dimaksud dengan komunikasi matematika tulisan (writing) adalah kemampuan dan keterampilan peserta didik menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam memecahkan masalah. Komunikasi tertulis juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan peserta didik dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah.
Kemampuan ini diungkap melalui repsentasi matematika.
Lipeikiene (2009: 31) menyimpulkan bahwa konsep komunikasi matematika digunakan dalam berbagai aspek dan tingkatan. Kurikulum merupakan aspek utama dalam komunikasi matematika yang mengintegrasikan seluruh mata pelajaran yang menjamin pendidikan lebih inovatif.
Kemampuan berkomunikasi dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki peserta didik. Ramdani (2012: 47) mengatakan bahwa peserta didik yang memperoleh informasi dalam bentuk pengetahuan matematika dari guru atau yang diperoleh dari membaca, maka hal itu terjadi transformasi informasi matematika dari sumbernya kepada peserta didik tersebut. Lebih lanjut, bahwa dari situasi
nyata, pengalaman peserta didik dalam proses pembelajaran matematika yang bermakna dan memiliki kegiatan yang berguna serta menekankan kemampuan penalaran dalam memperoleh hubungan pengetahuan matematika, peserta didik banyak menggunakan proses komunikasi (Turmudi, 2009: 1-15).
Penyelenggaran pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis sosial humanistik diharapkan dapat memberikan sebuah alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh guru khususnya pada kemampuan komunukasi matematis SD. Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi kering makna dan mampu secara langsung mengaktifkan bahkan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menghasilkan model pembelajaran berbasis sosial humanistik yang sesuai untuk kemampuan komunikasi matematis peserta didik SD dan menguji keefektivannya.
METODE
Penelitian ini menggunakan Research and Development (RnD).
Prosedur pengembangan model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pada penelitian ini menggunakan model pengembangan 4-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan (1974: 65), yang terdiri dari tahap pendahuluan (define), perencanaan (design), pengembangan (develop), dan penyebarluasan (disseminate). Subjek pengembangan model pembelajaran ini adalah guru dan peserta didik kelas IV SD Taman Muda Kota Yogyakarta dengan menggunakan purposive random sampling didapatkan SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Kelas IV.
Teknik pengumpulan data menggunakan angket, observasi, dan tes.
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 661 Teknik analisis data penelitian dan
pengembangan ini menggunakan teknik analisis deskriptif secara kualitatif dan secara kuantitatif. Teknik analisis deskriptif secara kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan tahapan pengembangan yang menggambarkan hasil pengamatan keterlaksanaan pengembangan model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan keterlaksanaan atau keefektifan model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis yang sudah dikembangkan di lapangan.
Analisis data secara deskriptif kuantitatif digunakan untuk melihat tingkat validitas, kepraktisan, dan keefektivan.
Kriteria dikatakan valid jika penilaian minimal berada pada kategori baik. Produk model yang dikembangkan dikatakan
praktis jika minimal berada pada kategori mudah dilaksanakan. Dikatakan efektif jika minimal 75% peserta didik dalam menjawab tes kemampuan komunukasi matematis mencapai nilai KKM yaitu 70 dan meningkat minimal 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengembangan Produk
Produk yang dikembangkan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja peserta didik, dan soal tes kemampuan komunikasi matematis. Hasil analisis kelayakan produk yang dikembangkan sebagai berikut.
Kevalidan produk digunakan untuk mengetahui kelayakan produk yang telah dikembangkan meliputi RPP lengkap (RPP, LKPD, tes evaluasi). Adapaun hasil penilaiannya adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Data Hasil Penilaian Validasi oleh Pakar Ahli
No. Produk yang divaidasi Penilaian Validator
Validator 1 Validator 2
1. RPP Dapat digunakan dengan revisi Dapat digunakan dengan revisi 2. Lembar Kerja Peserta
Didik Dapat digunakan dengan revisi Dapat digunakan dengan revisi 3. Soal Tes kemampuan
komunikasi matematis Dapat digunakan dengan revisi Dapat digunakan dengan revisi
Form penilaian yang digunakan memiliki lima alternatif jawaban yaitu
“tidak baik” dengan poin 1, “kurang baik” dengan poin 2, “sedang” dengan poin 3, “baik” dengan poin 4, dan “sangat baik” dengan poin 5. Adapun aspek pada penilaian RPP adalah aspek isi, aspek cakupan, aspek Bahasa, dan tata tulis.
Aspek yang termuat dalam tes kemampuan komunikasi peserta didik adalah kejelsan soal, bahasa yang digunakan, kesesuaian level kognitif, variasi soal, dan kesesuaiannya dengan indikator kemampuan komunikasi matematis. Untuk aspek pada LKPD adalah kelayakan isi dan penyajian serta
kebahasaan. Hasil analisis penilaian dari ahli mengenai RPP yang akan digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil Analisis Penilaian Validasi RPP
Aspek Penilaian Validator
A B
Aspek 1 Total Skor
44 44
Aspek 2 Total Skor
16 16
Aspek 3 Total Skor 8 8 Aspek 4 Total Skor 16 16 Total keseluruhan skor 168 Rata-rata keseluruhan 84
Kategori Baik
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 662 Berdasarkan hasil pengolahan data
validasi pada tabel 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa instrumen rencana pelaksanaan model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik sekolah dasar sudah memiliki validitas isi yang memadai. Hal ini dapat diperkuat dengan nilai rata-rata keseluruhan sebesar 84 dengan kategori
“Baik”. Herring, et. al (2016: 192) menyatakan bahwa dengan adanya panduan praktis yang diberikan kepada instruktur maka dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan potensi keuntungan dan kerugian dari teori ini.
Instrumen penilaian tentang lembar kerja peserta didik Model Pembelajaran Berbasis Sosial Humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik Sekolah Dasar.
Diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil Analisis Penilaian Validasi Lembar Kerja Peserta Didik
Aspek Penilaian Validator
A B
Aspek 1 Total Skor 25 25
Aspek 2 Total Skor 19 19
Total keseluruhan skor 88 Rata-rata keseluruhan 44
Kategori Sangat Baik
Berdasarkan hasil pengolahan data dari penilaian validasi para ahli, secara keseluruhan untuk uji validasi tentang lembar kerja peserta didik model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik sekolah dasar dapat disimpulkan validasi isi sudah memiliki validasi isi yang
memadai. Hal ini dapat diperkuat dengan nilai rata-rata keseluruhan sebesar 44 dengan kategori “Sangat Baik”.
Instrumen penilaian selanjutnya tentang soal tes kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Berdasarkan analisis, diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil Analisis Penilaian Validasi Soal Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis
Aspek Penilaian Validator
A B
Aspek 1 Total Skor 39 33
Total keseluruhan skor 72 Rata-rata keseluruhan 36
Kategori Baik
Berdasarkan tabel penilaian validasi tersebut, secara keseluruhan soal tes kemampuan komunikasi matematis peserta didik sekolah dasar memiliki validasi isi yang memadai. Hal ini dapat diperkuat dengan nilai rata-rata keseluruhan sebesar 36 dengan kategori
“Baik”. Kemampuan komunikasi digunakan dalam proses pembentukan pengetahuan yang tidak hanya pada saat di kelas namun juga dengan menerapkan media sosial (Deaton, 2015: 6).
Kemampuan komunikasi merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh peserta didik. Program peserta didik sukses dalam keterampilan adalah menggunakan intervensi berbasis bukti yang dipimpin oleh konselor yang didasarkan pada berbagai prinsip humanistik (Villares, et. al., 2011: 44).
Berdasarkan seluruh tabel hasil analisis penilaian validasi ahli tersebut, secara keseluruhan dapat dirangkum seperti pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Rangkuman Hasil Analisis Validasi Ahli
No. Produk yang divaidasi Rerata Kategori Kelayakan
1. RPP 84 Baik Dapat digunakan dengan revisi
2. LKPD 44 Baik sekali Dapat digunakan dengan revisi
3. Soal Tes kemampuan komunikasi matematis peserta didik
36
Baik Dapat digunakan dengan revisi
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 663 Berdasarkan tabel 5 tersebut, secara
keseluruhan instrumen yang digunakan untuk pelaksanaan model pembelajaran sudah teruji dan tervalidasi sehingga dapat digunakan untuk proses pengujian pada tahap-tahap berikutnya. Pais &
Valero (2014: 243) menyatakan bahwa teori sosial budaya telah menjadi bagian tren yang diterima dan tersebar luas dari penelitian pendidikan matematika ketika menangani pembelajaran. Banyak guru telah pindah dari sebagian beasar teori penjelasan kognitif ke minat yang lebih besar dalam teori sosial (Lerman, S., 2000: 19-44). Teori sosial konstruktivis digunakan oleh kepala sekolah dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi masalah di sekolah (Schneider & Tracey, 2021: 237).
Teori-teori pembelajaran sosial saat ini mendominasi pendidikan matematika, terlebih lagi dalam proses pembentukan pengetahuan (Jorgensen, R, 2014: 228).
Melalui bantuan orang dewasa yang bertanggungjawab atas pertumbuhan dan perkembangan anak-anak merupakan peningkatan pendidikan melalui teori perubahan yang salah satuya adalah pendekatan humanistik (Friedlaender, 2019: 57).
B. Hasil Uji Coba Produk 1. Uji Coba Skala Kecil
Uji skala kecil bertujuan untuk menguji model pembelajaran yang dikembangkan pada skala kecil. Uji skala kecil dilakukan dalam dua tahap yaitu ujicoba yang dilaksanakan pada 4 peserta didik. Uji skala kecil dilakukan di SD Taman Muda IP. Adapun pengujiannya dilihat dari tingkat kepraktisan. Data Kepraktisan pada ujicoba skala kecil diperoleh dari penilaian guru kelas.
Adapun data yang diperoleh dari hasil penilaian yaitu seperti pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil Penilaian Kepraktisan Model Pembelajaran Berbasis Sosial Humanistik dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematis Peserta didik SD pada Skala Kecil
No Penilai Skor
Total Klasifikasi 1. Guru 148 Sangat mudah
dilaksanakan Data kepraktisan pada uji coba skala kecil melibatkan satu sekolah dasar yang dilakukan oleh guru kelas.
Berdasarkan hasil pengisian kuisioner evaluasi oleh guru kelas terhadap tingkat kepraktisan model pembelajaran pada tahap ujicoba skala kecil (tabel 6) diperoleh skor total sebesar 148 yang dapat dikategorikan “Sangat Mudah Dilaksanakan”. Kemudahan pelaksanaan uji coba model ini tetap berdasarkan kaidah teori sosial dan humnistik. Tidak seperti yang telah dilaksanakan di Polandia melalui lensa analisis wacana kritis dan dua model pembelajaran
“lifelong” serta humanistik, terdapat kontradiktif karena sistem validasi menganut model ekonomi sehingga kurang mempertahankan nilai-nilai humanistik (Gmaj & Fijalkowska, 2021:
416).
2. Uji Coba Skala Luas
Uji skala luas bertujuan untuk menguji model pembelajaran yang dikembangkan pada skala luas. Uji skala luas dilakukan dalam dua tahap yaitu ujicoba yang dilaksanakan pada kelas IV di SD Taman Muda IP. Uji skala luas dilakukan di SD Taman Muda IP.
Adapun pengujiannya dilihat dari tingkat kepraktisan. Data Kepraktisan pada ujicoba skala luas diperoleh dari penilaian guru kelas. Adapun data yang diperoleh dari hasil penilaian yaitu seperti pada tabel 7 berikut.
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 664 Tabel 7. Hasil Penilaian
Kepraktisan Model Pembelajaran Berbasis Sosial Humanistik dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematis Peserta didik SD pada Skala Luas
No Penilai Skor
Total Klasifikasi 1. Guru 158 Sangat mudah
dilaksanakan Data kepraktisan pada uji coba skala luas melibatkan satu sekolah dasar yang dilakukan oleh guru kelas.
Berdasarkan hasil pengisian kuisioner evaluasi oleh guru kelas terhadap tingkat kepraktisan model pembelajaran pada tahap ujicoba skala kecil (tabel 7) diperoleh skor total sebesar 158 yang dapat dikategorikan “Sangat Mudah Dilaksanakan”. Dalam bidang praktis, pendidikan humanistik baik paradigma, definisi kerja, dan garis besar untuk guru kontemporer dalam upayanya mengembangkan kepekaan siswanya, serta memberdayakan kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan manusia yang lengkap, otonom, otentik, bermoral dan bermartabat (Aloni, 2013:
1071).
C. Keefektifan Model
Keefektifan model pembelajaran berbasis sosial Humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik SD dilihat dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis.
Tabel 8. Hasil Penilaian Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Peserta didik SD
No. Ujicoba Rerata Persentase Ketuntasan 1. Ujicoba
Skala Kecil 77,00 75%
2. Ujicoba
Skala Luas 82,22 77,78%
Rerata 79,61 76,39%
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik sekolah dasar efektif. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan rerata skor penilaian dari dua kali pengujian yaitu 79,61. Selain itu, dilihat dari persentase ketuntasan peserta didik telah mencapai klasifikasi “Efektif” yaitu lebih dari 75% jumlah peserta didik yang tuntas.
Selain dengan persentase ketuntasan dari tes kemampuan komunikasi matematis, model yang dikembangkan dapat juga dilihat dari peningkatannya. Jika dilihat dari tabel berikut maka peningkatan hasil tes kamampuan komunikasi matematis tampak sebagai berikut.
Tabel 9. Hasil Trend Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Peserta didik SD
No. Ujicoba Rata-rata 1. Ujicoba Skala Kecil 77,00 2. Ujicoba Skala Luas 82,22
Peningkatan 5,22%
Berdasarkan data perbandingan hasil kemampuan komunikasi matematis tampak bahwa hasilnya mengalami peningkatan. Jika digambarkan dalam bentuk grafis tampak sebagai berikut.
Gambar 1. Grafik Peningkatan Rata-rata Hasil Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis
Berdasarkan tabel dan gambar tersebut maka dapat dimaknai bahwa model pembelajaran berbasis sosial humanistik efektif meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah peserta
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 665 didik yang mencapai nilai KKM sebesar
76,39% telah lebih dari ketentuan 75%
serta telah meningkat 5,22% memenuhi minimal 5%.
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis sosial humanitis dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik memberikan kesempatan yang besar kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam pembelajaran dan adanya petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh guru untuk membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini merupakan bentuk keterpaduan dan diperlukan dalam membentuk makna peserta didik. Filosofi sosial konstruktivistik dapat mendasari keterpaduan tersebut. Sosial konstruktivisme melihat belajar sebagai peningkatan kemampuan untuk berpartisipasi bersama orang lain dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam budaya dan masyarakat (Woolfolk, 2009:
37; Windschitl, 2004: 51).
Vygotsky (1978: 201) percaya bahwa interaksi sosial, perangkat kultural dan aktivitas menentukan perkembangan dan pembelajaran individual. Dengan berpartisipasi di rentang aktivitas yang luas bersama peserta didik lain maupun guru, peserta didik mengapropriasikan/
menyesuaikan, menginternalisasikan atau mengambil untuk dirinya sendiri produk- produk yang dihasilkan dengan bekerja bersama-sama; hasil-hasil ini dapat mencakup strategi dan pengetahuan baru.
Menurut teori belajar konstruktivisme, Vygotsky (1978 107) menyatakan bahwa peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri. Setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkonstruksi pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya.
Teori ini banyak menyandarkan diri pada interaksi sosial dan konteks kultural
untuk menjelaskan pembelajaran.
Kebanyakan ahli psikologi mengklasifikasikan Vygotsy sebagai seorang konstruktivisme sosial (Palincsar, 1998: 71; Prawat, 1996: 361). Akan tetapi sebagian lagi teoretisi mengkategorikannya sebagai konstruktivis psikologis, karena ketertarikannya dengan perkembangan dalam diri individu (Moshman, 1998: 58).
Dalam pengertian tertentu, Vygotsky adalah keduanya. Salah satu keunggulan pembelajaran sosial konstruktivitik adalah dapat memberikan cara untuk mempertimbangkan yang bersifat psikologis maupun sosial, serta mampu menjembatani keduanya. Sebagai contoh, konsep Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (Zona Perkembangan Proksimal) wilayah tempat seorang peserta didik dapat menyelesaikan masalah dengan bantuan (scaffolding) orang dewasa atau sebayanya yang lebih mampu disebut sebagai tempat budaya dan kognisi saling menciptakan (Cole, 1985: 153).
Sosial konstruktivis merupakan suatu filosofi yang menerima bahwa interaksi sosial dan makna dari individu memainkan peranan penting serta penting untuk pembelajaran matematika (Bozkurt, 2017: 214). Lebih lanjut Bozkurt (2017:
216) mengungkapkan bahwa adanya pendekatan sosial konstruktivis dapat mempengaruhi komunikasi dan dapat mensupport segi kognitif peserta didik.
Sosial konstruktivistik lebih mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga peran guru menjadi jelas dalam membantu peserta didik mencapai kemandirian. Proses perubahan tingkah laku yang terjadi merupakan akibat dari pengetahuan baru yang telah dibangun oleh peserta didik dalam konteks sosial.
Ilmu sosial humanistik menurut Morris (1994: 301) adalah ilmu yang
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 666 pada dasarnya berkaitan dengan makna
dan nilai. Hal ini memiliki arti bahwa pembelajaran berbasis sosial humanistik harus bermakna dan memiliki unsur nilai- nilai. Adapun nilai-nilai akan terbentuk saat terjadinya diskusi dan interaksi dengan lingkungannya. Lebih lanjut Van de Walle (2010: 37) menyatakan bahwa pembelajaran itu dikatakan bermakna, jika peserta didik mampu memahami dan menjelaskan ide dari suatu materi. Unsur nilai-nilai yang termuat didalamnya yaitu komunikasi, koneksi, relasi, demokratis, kreatif, mandiri, dan rasa ingin tahu.
Peningkatan kemampuan komunikasi matematika mencapai 55,22%. Artinya pencapaian tersebut telah sesuai dengan kriteria. Hal tersebut bertolak dengan pendapat Rohaeti dan Wihatma (Annisa, 2014: 10) yang menyatakan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi peserta didik berada pada kualifikasi kurang, terutama dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika.
Hal ini menyebabkan peserta didik jarang memberikan tanggapan dari proses pembelajaran yang telah berlangsung.
Kemampuan komunikasi yang baik dalam pembelajaran matematika, setidaknya peserta didik mampu menuangkan apa yang dipikirkannya mengenai pembelajaran matematika yang berlangsung dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Guru melakukan proses belajar mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik SD yang telah dikembangkan. Sholeh (2007:
129-137) menyampaikan bahwa perencanaan merupakan fungsi utama yang mempengaruhi fungsi-fungsi berikutnya, sehingga seorang guru harus mampu menyusun perencanaan secara tertulis. Pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis peserta didik di SD Taman Muda IP Kota Yogyakarta, para peserta didik mengadakan diskusi dan belajar kelompok mengenai materi pelajaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran tersebut dapat meningkatkan interaksi di kelas dan komunikasi matematika.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian, telah diperoleh model pembelajaran berbasis sosial humanistik yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Hasil uji validasi dari ahli dan prkatisi, menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis sosial humanistik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik SD valid, praktis, dan efektif. Setelah melalui tahap validasi baik ahli maupun praktisi, produk yang dikembangkan dikatakan valid (layak dan dapat digunakan). Setelah dilakukan uji pada skala kecil dan skala luas, produk yang dikembangkan termasuk dalam kriteria praktis dan efektif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis sosial humanistik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, dengan demikian model yang dikembangkan tersebut dapat dijadikan bahan referensi dalam memperkaya proses pembelajaran pada sekolah dasar sehingga diharapkan hasil belajar peserta didik juga dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Aloni, N. 2013. Empowering dialogues in humanistic education. Educational Philosophy and Theory, 45(10), 1067-1081.
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 667 Ansari, B. I. 2012. Komunikasi Matematik
dan Politik. Banda Aceh: Yayasan Pena.
Annisa, W.N. 2014. “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Komunikasi Matematik Melalui Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Untuk Siswa SMP Negeri Di Kabupaten Garut”.
Jurnal Pendidikan dan Keguruan Vol. 1 No. 1, artikel 8.
Ärlebäck, J.B., & Doerr, H.M. 2017.
Students’ interpretations and reasoning about phenomena with negative rates of change throughout a model development sequence.
ZDM - Mathematics Education, 50(1–2), 187–200.
Bozkurt, G. 2017. Social Constructivism:
Does It Succeed in Reconciling Individual Cognition with Social Teaching and Learning Practices in Mathematics?, Journal of Education and Practice, 2017. Journal of Education and Practice, 8(3), 210–
218.
Cole, M. 1985. The Zone of Proximal Development: Where Culture and Cognition Create Each Other. In J.V.
Wertsch (ed.), Culture, Communication and Cognition, p.
146-161. Cambridge: Cambridge Darminto, B. 2014. Penerapan Teori
Maslow Pada Pembelajaran Matematika di SD. Jurnal Pendidikan, Volume 23, Nomor 1.
Deaton, S. 2015. Social learning theory in the age of social media: Implications for educational practitioners. Journal of Educational Technology, 12(1), 1- 6.
Friedlaender, D. 2019. A Humanistic Approach to Scaling Up. Research Brief. Stanford Center for Opportunity Policy in Education.
Gmaj, I., & Fijałkowska, B. 2021.
Between a humanistic and economic
model of lifelong learning: The
validation system in
Poland. European Journal of Education, 56(3), 407-422.
Herring, C., Rosaldo, M., Seim, J., &
Shestakofsky, B. 2016. Living theory: Principles and practices for teaching social theory ethnographically. Teaching
Sociology, 44(3), 188-199.
Jorgensen, R., Gates, P., & Roper, V.
2014. Structural exclusion through school mathematics: Using Bourdieu to understand mathematics as a social practice. Educational Studies in Mathematics, 87(2), 221-239.
Kemdikbud. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan.
Kirschner, P.A., Sweller, J., & Clark, R.E.
2006. Why Minimal Guidance During Instruction Does Not Work:
An Analysis of the Failure of Constructivist, Discovery, Problem- Based, Experiential, and Inquiry- Based Teaching. Educational Psychologist, 41(2), 111–127.
Koswara, D. 2015. Pembelajaran Kreatif dan Bermakna. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia Lerman, S. 2000. The social turn in
mathematics education
research. Multiple perspectives on mathematics teaching and learning, 1, 19-44.
Lestari, L.A.S., Sumantri, & Suartama.
2014. Pengaruh Model Pembelajaran Bandura Terhadap Kinerja Ilmiah dan Hasil Belajar IPA Peserta didik Kelas IV SD. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD., Vol: 2 No: 1.
Lipeikienė, J. 2009. Development of a Mathematical Communication
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 668 Curriculum. Informacijos
Mokslai/Information Sciences, 50.
Morris, C.W. 1994. Norm, Values, and Society. Wien: Kluwer Academic Publisher.
Moshman, D. 1998. Cognitive development beyond childhood. In W. Damon (Series Ed.)
Mullis, I.V., Martin, M.O., Foy, P., &
Arora, A. 2012. TIMSS 2011 international results in mathematics.
International Association for the Evaluation of Educational Achievement. Herengracht 487, Amsterdam, 1017 BT, The Netherlands.
NCTM. 2000. Principles and standards for school mathematics. Reston, VA:
NCTM.
Pais, A., & Valero, P. 2014. Whither social theory?. Educational Studies in Mathematics, 87(2), 241-248.
Palincsar, A.S. 1998. Keeping the metaphor of S\scaffolding fresh – A response to C.
Prawat, R.S. 1992. Teachers’ Beliefs about Teaching and Learning: A Constructivist Perspective. American Journal of Education, 100(3), 354–
395.
Puskur. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Ramdani, Y. 2012. “Pengembangan Instrumendan Bahan Ajar untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematisdalam Konsep Integral”.
Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol.
13. No. 1, pp. 47-48.
Rismawati, M., & Setiawan, B. 2017.
Membangun Kemampuan
Komunikasi Matematis Peserta Didik pada Mata Kuliah Konsep Dasar Matematika SD Prodi PGSD.
Jurnal Pendidikan Dasar PerKhasa, 3(2), 462–472.
Sapriati, A., & Zuhairi, A. 2010. Using Computer-Based Testing as Alternative Assessment Method of Student Learning in Distance Education. Turkish Online Journal of Distance Education, 11(2), 161-169.
Schneider, T.L. 2021. A social constructivist grounded theory of school principal legal learning. Journal of Research on Leadership Education, 16(3), 226- 242.
Sholeh, M. 2007. “Perencanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Geografi Tingkat SMA dalam Konteks KTSP”. Jurnal Geografis FIS UNNES. Vol. 4, No.2, 129- 137.
Suhendra. 2015. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Semmel, M.I. 1974. Instructional development for training teachers of exceptional children. Bloomington: Indiana University.
Turmudi. 2009. “Students’S Responses To The Realistic Mathematics Teaching Approach In Junior Secondary School”, Indonesia University Of Education, Proceeding Of IICMA Van de Walle, J.A., Karp, K.S., & Bay-
Williams, J. M. 2010. Elemnatary School Mathematics: Teaching developmentally (7th ed). Boston:
Allyn & Balcon.
Villares, E., Lemberger, M., Brigman, G.,
& Webb, L. 2011. Student Success Skills: An evidence‐based school counseling program grounded in humanistic theory. The Journal of Humanistic Counseling, 50(1), 42- 55.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind In Society.
Cambridge: Harvard University
p-ISSN:2579 – 5112 | e-ISSN: 2579 – 5147 669 Press.
Windshitl, M. 2004. The Challenges of Sustaining a Constructivist Classroom Culture, dalam Leonard Abbeduto, Taking Sides: Clashing Views on Controversial Issues in Educational Psychology, McGrawHill/Dushkin
Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology (8th ed.). New York:
Allyn and acon.
.