• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pembelajaran SCL (Student Center Learning) pada Siswa Lamban Belajar (Slow Learner) Sekolah Menengah Pertama. Universitas San Pedro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Model Pembelajaran SCL (Student Center Learning) pada Siswa Lamban Belajar (Slow Learner) Sekolah Menengah Pertama. Universitas San Pedro"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

e-ISSN: 2549-9114 dan p-ISSN: 2549-9203

(Received: Maret 2021; Reviewed: September 2021; Published: Oktober-2021) DOI: https://doi.org/10.26858/pembelajar.v5i2.19595

117

Model Pembelajaran SCL (Student Center Learning) pada Siswa Lamban Belajar (Slow Learner) Sekolah Menengah Pertama

Alexius Andiwatir1, Florianus Aloysius Nay2, Rudobertus Talan3 Universitas San Pedro

Corresponding e-mail: alexandiwatir@gmail.com,olandnay@unisap.ac.id

Abstrak: SCL (Student Center Learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan acuan untuk melibatkan peserta didik dalam kegaiatan pembelajaran.Model ini memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal potensi diri dan mampu menggali dan menemukan pengetahuan yang dimilikinya.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pembelajaran SCL (Student Center Learning) yang diterapkan bagi anak lamban belajar (slow learner). Aspek yang diteliti meliputi model pembelajaran yang diberikan oleh guru dan pelaksanaannya dalam pembelajaran serta hasil belajar anak lamban belajar (slow learner).

Metode penelitian ini menggunakan instrument identifikasi untuk mengungkapkan masalah belajar siswa , kesulitan yang dialami, dan tindakan – tindakan yang telah diusahakan oleh guru dengan acauan teori Konstruksivisme. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus intrinsik. Subjek penelitan terdiri dari dua guru mata pelajaran yaitu, Matematika dan IPA Terpadu. Berdasarkan hasil penelitaian pada subjek – subjek tersebut, disimpulkan bahwa model pembelajaran SCL yang diterapkan untuk membantu meningkatkan hasil belajar siswa slow learners adalah Metode Cooperative Learning.

Kata Kunci: Model pembelajaran SCL (Student Center Learning), Cooperative Learning, Anak lamban belajar (slow learner)

Abstract: SCL (Student Center Learning) is one of the learning models that provides a reference to engage learners in learning attitudes. This model provides an opportunity for children to recognize their potential and being able to explore and find the knowledge they have. This study aims to describe the learning model of SCL (Student Center Learning) applied to slow learner children. The aspects which are studied include learning models provided by teachers and their implementation in learning and the outcomes of slow learners . This research method uses the instrument identification to reveal the problem of student learning, difficulties experienced, and actions that have been cultivated by the teacher with the theory of konstruksivisme. The approach used is qualitative approach using intrinsic case study method. Research subjects consist of two subject teachers namely, Mathematics and Integrated Science. Based on the results of research on these subjects, it was concluded that the SCL learning model applied to help improve the learning outcomes of slow learners students is cooperative learning method.

Keywords: SCL learning model (Student Center Learning), Cooperative Learning, Slow Learner (Slow Learner)

©2021 –Ini adalah artikel dengan akses terbuka dibawah licenci CC BY-NC-4.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/ ) by penulis.

(2)

118

1 PENDAHULUAN

Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menerima dan mengolah informasi. Keunikan masing – masing individu ini menuntut suatu model pembelajaran yang berbeda pula. Proses pendidikan yang terjadi pada umumnya adalah model pemebelajaran konvensional, dengan guru sebagai posisi sentral yaitu sebagai sumber belajar yang disebut dengan TCL (Teacher Center Learning). Proses pembelajaran ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, selanjutnya dengan menggunakan pendekatan konstruksivisme dan teori perkembangan Piaget; melahirkan suatu alternative model pembelajaran baru yaitu SCL (Student Center Learning) yang melibatkan keaktifan siswa mealaui tindakan – tindakan mereka. Peran pengajar tidak lagi menjadi pusat sumber informasi tetapi menjadi mitra pembelajaran yang berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan inovator.

Menteri Pendidikan nasional RI No. 70 Tahun 2009, mengatakan bahwa kategori anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah : 1) anak tunanetra; 2) anak tuna rungu; 3) anak tunawicara; 4) anak tuna grahita; 5) anak tuna daksa; 6) anak tuna laras; 7) anak berkesulitan belajar; 8) anak lamban belajar; 9) anak autis;

10) anak yang mengalami gangguan motorik;

11) anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba; 12) anak yang memiliki kelainan lainnya; dan 13) anak tuna ganda.

Karena itu dalam pelayanan proses pembelajaran, setiap siswa membutuhkan perhatian yang berbeda agar perkembangan menajdi lebih optimal. Kesulitan belajar inilah menjadi tantangan bagi para guru dalam mengahadapi dan berusaha untuk membimbing agar perkembangan kepribadian baik dari segi fisik, mental, intelektual dan sosial dari anak- anak berkebutuhan khusus dapat dikembangkan.

Waryan Sugiyo (2009) melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk mengukur

“Efektifitas Model Pembelajaran Student Center Learning (SCL) Berbasis Fun Chemistry Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa”.

Hasil yang diperoleh adalah metode Fun Chemistry sangat efektif untuk meningkatkan hasil belajar Kimia.

Selain itu, Maryam Nur Azizah melakukan penelitian pada tahun 2011 dengan konsep dan model yang sama namun menggunakan metode yang berbeda, yaitu penelitian terhadap

“Efektifitas Penggunaan Metode Pembelajaran

Student Center Learning (SCL) berbasis Classroom Blogging untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA”. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimen, yang membandingkan dua kelas yang diberi perlakuan dengan metode Classroom Blogging dan kelas yang lain sebagai kelas kontrol yang menggunakan metode konvensional. Hasil yang diperoleh adalah kelas yang menggunakan model SCL berbasis Classroom Bloging memperoleh peningkatan hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas konvensional.

Pada tahun 2015, Amila Fadhila Sri Purbowat dan Dewi Retno Suminar (2015) melakukan penelitian terhadap siswa lamban belajar, yaitu “Pemberian Permainan Tradisional Terhadap Penyesuaian Sosial Siswa Lamban Belajar Di Sekolah Inklusi”. Hasil yang diperoleh adalah tidak ada pengaruh pemberian permainan tradisional terhadap perkembangan sosial anak lamban belajar.

Ketiga penelitian di atas menggunakan pendekatan kuantitatif dengan hasil yang berbeda. Penelitian yang berbasis Student Center Learning (SCL) memberikan efek yang baik bagi perkembangan dan peningkatan hasil belajar siswa, sedangkan dengan pendekatan metode pemberian permainan tradisional pada siswa lamban belajar tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan sosial anak lamban belajar.

Karena itu, peneliti tertarik untuk mendalami konsep tentang Model Pembelajaran Student Center Learning (SCL) yang akan diterapkan pada konteks siswa lamban belajar dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Skala WISC menguraikan bahwa anak dengan lamban belajar memilki IQ anatara 70 – 90, sedangkan tunagrahita memliki IQ lebih rendah dari 70. Selain itu, AAMD (American Association on Mentally Defficiency) juga mengatakan bahwa IQ 70 – 85 adalah anak dengan kategori lamban belajar.Dengan demikian anak lamban belajar adalah anak yang tidak termasuk tuna grahita namun juga bukan merupakan anak yang memiliki kecerdasan rata – rata. Karena itu anak lamban belajar (slow leraner) berada pada simpangan yang membuat mereka harus berjuang.

Cooter & Cooter Jr., dan Wiley mendefinisikan bahwa anak lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memilki kemampuan yang tidak sesuai dengan anak –

(3)

119 anak seusianya pada salah satu bidang akademik. Anak lamban belajar (slow learner) mempunyai resiko untuk tinggal kelas atau cenderung mengikuti program pemebelajaran remedial.

2 METODE

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode studi kasus intrinsik. Teknik pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Observasi dilakukan dengan pedoman dan catatan observasi. Wawancara dilakukan baik secara terstrukutur maupun tidak terstruktur yang dilakukan pada guru. Dan dokumentasi merupakan media yang digunakan sebagai perekam data untuk memperjelas data yang telah dikumpulkan. Subjek penelitian dipilih secara purposive, yaitu pada siswa yang teridentifikasi sebagai anak lamban belajar (slow learner) dan dua orang guru mata pelajaran.Berikut disajikan data siswa dengan kategori IQ di bawah rata – rata menurut Skala WISC:

Tabel 1. Data Siswa yang Teridentifikasi Lamban Belajar Menurut Skala WISC:

No Nama Kelas Skor IQ Ket

1 AYK VII A 80 Below

Average

2 BS VII A 80 Below

Average

3 CBH VII A 87 Below

Average

4 AP VII B 84 Below

Average

5 IGY VII B 80 Below

Average Tabel 2. Pelaksanaan Observasi Kegiatan

Pembelajaran:

No Kelas Hari/Tanggal Waktu Mata

Pelajaran Ket 1 VIII

B 13-11-2019 07.00 09.00

Matematika Guru Mapel 2 VIII

A

15-11-2019 11.35 13.45

IPA Guru

Mapel 3 VIII

A 21-11-2019 11.35 13.45

Matematika Guru Mapel 4 VIII

B

22-11-2019 09.20 11.30

IPA Guru

Mapel

Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara:

No Hari / Tanggal Subjek Wawancara 1 20-11-2019 Guru MaPel Matematika 2 21-11-2019 Guru MaPel IPA

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi, data yang diperoleh dari seluruh subjek dalam proses pembelajaran, model SCL (Student Center Learning) yang diterapkan oleh para guru dalam menghadapi anak slow learners adalah cooperative learning. Metode ini merupakan salah satu metode yang sering dipakai dalam pembelajaran.

Selanjutnya akan diuraikan proses pembelajaran yang terjadi pada siswa lamban belajar (slow learner);

3.1 Kegiatan Pembelajaran Pendahuluan Pada bagian pendahuluan, guru mengajak peserta didik melakukan doa, menyanyikan lagu Indonesia Raya serta mengecek kehadiran peserta didik dan memberikan informasi tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan yang berhubungan dengan materi sebelumnya.

Berdasarkan observasi yang dilakukan, setelah doa guru melakukan pengecekan kehadiran secara klasikal dengan bertanya “ siapa yang tidak hadir?” dan memberikan motivasi kepada peserta didik berdasarkan bacaan-bacaan kitab suci atau kalimat-kalimat motivasi dari beberapa tokoh. Motivasi ini kadang-kadang berasal dari pengalaman pribadi guru yang bersangkutan.

Setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk menceritakan pengalaman tentang aplikasi materi dengan kehidupan nyata. Guru merangsang pemikiran siswa dengan mengajukan pertanyaan:

“Apakah ada yang mengalami sesuatu yang berhubungan dengan materi kita minggu lalu?”

Ada beberapa anak mengacungkan tangan untuk menjawab, guru melanjutkan dengan

“Ayo silakan ceritakan apa yang dialami”.

Setelah anak menceritakan pengalamannya guru mengajak teman-teman untuk memberikan apresiasi dengan tepuk tangan. Kepada siswa lamban belajar, guru menyebut namanya dan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan menanyakan pengalaman siswa dengan

(4)

120 merujuk pada materi yang sedang dipelajari.

Guru memulai dengan mengatakan:

“Juve, gimana kabar hari ini?, apakah Juve pernah menghitung berapa langkah kaki dari pintu kamar Juve sampai ke kamar mandi?”.

Setelah ada jawaban dari anak lamban belajar guru mengajak seluruh peserta didik untuk memberikan salam bintang-bintang dan melanjutkan dengan membuka sesi pertanyaan tentang materi yang belum dipahami sebagai prasayarat untuk memulai materi yang baru. Jika ada siswa yang mengalami kesulitan maka guru akan mengulangi kembali kesimpulan atas materi yang telah diajarkan. Setelah itu peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok dan dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Pada penjelasan tujuan pembelajaran ini, siswa dirangsang untuk memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mereka dapat bertanya dan mencari informasi atas apa yang disampaikan.

Tujuan pembelajaran ini dibuat dalam mind mapping yang ditayangkan melalui power point dan ditulis oleh seluruh siswa. Berdasarkan hasil wawancara guru mengatakan bahwa apersepsi sama untuk anak lamban belajar dengan kelas reguler. Bagi siswa slow learner, akan didampingi oleh guru dan dibantu oleh tutor dalam kelompoknya untuk memberikan pemahaman melalui contoh – contoh konkret dengan analogi yang sederhana, agar siswa lamban belajar (slow learner) dapat mengungkapkan beberapa pertanyaan dan bisa menemukan jawaban – jawaban pertanyaan itu mealui sumber – sumber informasi yang disipakan baik melalui buku cetak atau melalui internet.

3.2 Perlakuan Khusus untuk Anak Lamban Belajar (Slow Learner) dalam Penyampaian Informasi

Dalam penyampaian materi ada beberapa komponen yang sangat perlu diperhatikan yaitu aspek penggunaan bahasa, media pembelajaran, pengulangan materi dan pemahaman konsep.

Hal ini dilakukan agar semua siswa dapat memahami materi yang sedang dipelajari, sehingga mereka dapat berinteraksi dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap guru IPA tentang “bagaimana cara penyampaian informasi kepada siswa lamban belajar?.

Muncul jawaban yang hampir sama yaitu bahwa dalam penyampaian informasi, hal yang diperhatikan pada proses ini adalah tingkat kesulitan yang akan dialami anak lamban belajar (slow learner), tambahan waktu, dan prinsip kesamaan materi dan evaluasi. Sedangkan pada guru Matematika, selain hal tersebut ada poin yang ditambahkan adalah cara memfasilitasi anak lamban belajar supaya terlibat dalam mencari informasi dengan bantuan guru dan teman-teman kelompoknya walaupun pada akhirnya anak lamban belajar hanya mencatat mengikuti hasil temannya. Khusus pada prinsip kesamaan materi diterapkan agar siswa yang lain tidak merasa bahwa ada siswa di kelasnya mendapat perlakuan istimewa. Selanjutnya dalam proses pembelajaran guru menerapkan model pembelajaran cooperative learning yaitu dengan cara kerja kelompok yang dibetuk secara heterogen.

3.3 Proses Pembelajaran dengan Metode Cooperative Learning

Berdasarkan hasil wawancara bahwa dalam proses pembelajaran guru tidak menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) untuk anak lamban belajar (slow learner) tetapi mengikuti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas reguler. Dari dua guru mata pelajaran, masing – masing memiliki cara yang berbeda dalam menangani siswa lamban belajar.

Dalam proses pembelajaran para guru menerapkan metode tutor sebaya dengan presentasi hasil belajar kelompok. Dalam observasi ditemukan bahwa tutor yang dipilih sering membuat gaduh dalam kelompok.

Akhirnya anak lamban belajar lebih banyak didampingi oleh guruya sendiri. Namun untuk menghindari hal ini, guru memberikan tugas tambahan kepada tutor sebaya agar tidak membuat gaduh kembali. Secara sepintas hal ini dapat dikatakan bahwa guru menambah beban kerja siswa. Tetapi dengan cara ini dapat memberikan efek positif dalam mengontrol situasi dan keadaan kelas. Hal yang menarik dalam kelompok belajar adalah, ada beberapa siswa yang kemampuannya rata- rata selalu setia untuk mendampingi dan memberikan bimbingan kepada teman yang lamban belajar (slow learner).

Selain itu dalam proses pembelajaran yang lain, guru juga membuat variasi dalam proses pembelajaran yaitu, siswa dikelompokan secara

(5)

121 heterogen dalam beberapa kelompok. Pada observasi pertama guru menggunakan metode pembelajaran brain storming, observasi kedua menggunakan metode kerja kelompok, observasi ketiga menggunakan metode tutuor sebaya. Pada pembelajaran Matematika ini, siswa cenderung aktif dan lebih memahami materi. Guru menggunakan beberapa alat peraga dan contoh – contoh praktis ketika mereka sedang belajar.

Dalam proses ini guru selalau bersikap fleksibel namun kadang – kadang tegas, sehingga kondisi pembelajaran pun dapat teratasi.

3.4 Umpan Balik Berupa Penguatan

Umpan balik yang diberikan oleh guru merupakan salah satu faktor yangh penting dalam proses pembelajaran anak lamban belajar (slow learner). Baik berupa pengauatan verbal maupun nonverbal.Dalam observasi, umpan balik yang diberikan oleh guru berupa penampilan hasil pekerjaan siswa, pemberian pujian – pujian berupa kata – kata “luar biasa”, kalian hebat, atau memberikan salam bintang–

bintang dan hadiah berupa bintang. Hadiah

“bintang” ini akan dikumpulkan siswa dan akan diakumulasikan. Jika sudah mencapai 10 bintang maka hasil dari akumulasi tersebut, anak akan memperoleh 5 nilai tambahan untuk nilai UAS dari skala 1 – 100.

Selain itu metode ada metode yang disebut dengan system kredit poin. Masing – masing tutor dalam kelompok diberikan poin 100, dengan jaminan bahwa mereka harus mampu mendampingi temannya yang lamban belajar.

Dalam hasil wawancara, guru mengatakan bahwa system kredit poin ini dengan syarat bahwa, jika mereka tidak berhasil dalam mendampingi temannya maka point yang diberikan ini akan hangus. Namun, jika ia berhasil mendampingi temannya maka poin yang dimiliki akan menjadi tambahan 5 poin dalam nilai akhir semester. Hal yang sama juga berlaku untuk siswa lamban belajar. Jika ia mampu mempresentasikan hasil diskusi kelompok (walaupun tidak sempurna seperti teman lain) ia akan mendapat poin sebanyak 100 untuk diakumulasikan dengan tambahan 5 nilai dalam nilai akhir nanti.

Menurut hasil wawancara dijelaskan bahwa, proses pemberian umpan balik dan penguatan seperti ini bagi, anak lamban belajar (slow learner) maupun anak kelas reguler, mereka akandipacu untuk mengasah kemampuan intelekutal, emosi, motorik, serta kehidupan

sosial dan bahasa yang dimiliki. Sehingga semua aspek dalam diri anak lamban belajar (slow learner)dan siswa reguler dapat terbantu.

3.5 Penilaian Hasil Belajar

Dalam data yang diperoleh melalui dokumentasi, proses penilaian untuk mengukur tingkat pemahaman pengetahuan dan keterampilan, serta sikap siswa, guru telah menyiapkan format penialain dan dinilai selama proses pembelajaran baik dalam hal keterlibatan maupun keaktifan siswa. Terhadap siswa lamban belajar format penilaian sama dengan format yang ada, namun ada beberapa hal yang diperhatikan meliputi, penyesuaian waktu, soal yang membutuhkan jawaban singkat, membuat tanda jejak/petunjuk untuk soal essay dan menyediakan alternatif lain yaitu bimbingan tambahan jika anak lamban belajar belum mencapai kriteria ketuntasan minimum.

Selain metode diskusi atau kerja kelompok, anak lamban belajar juga disiapkan waktu dan tempat khusus untuk mendapatkan bimbingan tambahan oleh guru yang bersangkutan dan tutor sebaya. Biasanya dilakasanakan sesudah pulang sekolah. Untuk mendukung ini maka setelah bimbingan belajar anak akan diberikan tugas dengan tingkat kesulitan yang tidak melampaui kemampuan anak, karena itu guru selalu mempertimbangkan waktu dan kesiapan anak untuk mengerjakannya.

Setelah itu, pada pelajaran berikut guru meminta anak lamban belajar yang sudah didampingi untuk memaparkan hasil yang dikerjakan selama proses pendampingan untuk diambil nilai. Hal ini dimaksudkan agar kemampuan sosial dan komunikasi anak terlatih.

4 KESIMPULAN

Model pembelajaran SCL yang digunakan dalam pembalajaran pada anak lamban belajar (slow learner) adalah cooperative learning.

Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran anak lamban belajar (slow learner) selalu diajak dan libatkan dalam seluruh proses pembelajaran, sehingga anak lamban belajar juga dapat aktif dan bekerja sama dalam kegiatan diskusi atau kerja kelompok. Namun pada sisi lain, anak lamban belajar (Slow Learner) juga mendapat perlakuan khusus dalam bimbingan dan arahan untuk pemahaman konsep, serta penilaian dan proses evaluasi. Kepada anak lamban belajar

(6)

122 (Slow Learner) diberikan kemudahan berupa tingkat kesulitan soal sehingga tidak melampaui batas kemampuan anak lamban belajar (Slow Learner). Selain itu juga siswa selalu diberi penguatan dalam setiap latihan kerja, presentasi atau tanya jawab.

5 DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Maryam Nur, (2011) “Efektifitas Penggunaan Metode Pembelajaran Student Center Learning Berbasis Classrom Blogging Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SAM” diambil 25 November

2017, dari

http://cs.upi.edu//uploads/papper_skripsi _dik

Chauhan, Sangeeta. (2011). “Slow Learners: Their Psychology and Educational Programmes”

ZENITH International Journal of Multidiscipinary Research Vol. 1 Issue 8, December 2011. Hlm. 279-289.

Cooter & Cooter Jr. (2004). Wiley. (2007).

Pengertian Slow Learner.

(Online).Tersedia:Http://Bppk.Dindikbanten .Org/Index.Php?Option=Com_Content&Vie w=Article&Id=16:Slow-Learner. (19 Agustus 2019).

Hamdayana, Jumanta. (2016). Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Menteri Pendidikan Nasional. 2009. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan/Atau Memiliki Bakat Istimewa Jakarta: Depdiknas

Mumpurniati. (2007). Pendekatan Pembelajaran Bagi Anak Hambatan Mental. Yogyakarta:

Kanwa Publisher.

Munawir, Yusuf. (2005). Pendidikan Bagi Anak dengan Problema Belajar. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional Dikrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Nani Triani dan Amir. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lamban Belajar (Slow Learner). Jakarta: Luxima.

O'neil, G N Mcmahon, T. (2005). "Student Centered Learning: What Does It Mean For Students And Lecture", Diambil 15 September 2013, Dari Http://Www.Aishe.Org/Readings/2005- 1/Oneill-Mcmahon

Tues_19th_Oct_Scl.Html

Parwoto. (2007). Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dikrektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Reddy, G. Lokanadha, R. Ramar, dan A. Kusuma.

(2006). Slow Learner: Their Psychology and Instruction. New Delhi: Discovery Publising House.

Retno, Dewi & Amila Fadhila. (2015). “Pengaruh Pemberian Permainan Tradisional Terhadap Penyesuaian Sosial Siswa Slow Learner Di Sekolah Inklusi Di Surabaya”. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan – Vol. 4 / No. 2 / Published : 2015- 08./Journal.unair.ac.id.

Sugiyo, Warlan Dkk. (2009). "Efektivitas Metode Student Centered Learning Yang Berbasis Fun Chemistry Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa". Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia- No. 02/Vol.3

Watkins, Mw, Kush, J., & Glutting, Jj (1997). Diskriminan Dan Validitas Prediktif Dari Profil Acid Wisc-Iii Di Antara Anak- Anak Dengan Ketidakmampuan Belajar. Psikologi Di Sekolah, 34 (4), 309- Arif, I. S. (2016). Psikologi positif: Pendekatan 319

statistik menuju kebahagiaan. Jakarta: PT Gramedia.

Compton, W. C. & Hoofman, E. (2013). Positive psychology: The science of happiness and flourishing (2th Ed.). Wadsworth: Cengage Learning.

Gambar

Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara:

Referensi

Dokumen terkait

Daun pada kembang sepatu menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang tidak sempurna karena hanya mempunyai bagian tangkai dan helaian saja,

Sarana dan Prasarana merupakan bagian dari sarana dan prasrana pendidikan, namun lebih khususkan pada kegiatan pembelajaran. 18) “ sarana adalah segala sesuatu yang mendukung

NAMA PELAMAR SELEKSI CPNS KABUPATEN BANGKA TAHUN 2018 YANG MENGIKUTI UJIAN SELEKSI KOMPETENSI DASAR (SKD). PENERIMAAN CPNS

Rasionalnya memberi dukungan emosi, yang dapat menurunkan rasa takut, tingkat ansietas, dan meminimalkan nyeri (Doenges dan Moorhause, 2001). 5) Selma fase laten, ibu

Dalam penyelesaikan perkara tindak pidana anak, terdapat pendekatan lainnya untuk menyelesaian yang sebenarnya merupakan diversi yakni melalui penerapan diskresi

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden Suku Dayak Kanayatn di Kecamatan Sengah Temila, dari hasil penelitian dan identifikasi ditemukan 5 spesies bambu

Asdak (2004) menyatakan bahwa setiap kali hujan jatuh di daerah yang bervegetasi, ada sebagian air yang tidak pernah mencapai permukaan tanah sehingga tidak

Kasus pengeboman yang terjadi hampir bersamaan ditiga Grejadi Surabaya yaitu Santa Maria Jl Ngagel Madya pukul 07.15 WIB, kemudian GKI di jl Diponegoro 07.45 WIB dan GPPS Jl