• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN

BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

Oleh Febri Badia S.

JURNAL ILMIAH

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Judul Skripsi : Peran Kepala Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Lampung dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Kelas II A Bandar Lampung Nama Mahasiswa : Febri Badia S

No. Pokok Mahasiswa : 1212011118

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Yuswanto S.H., M.Hum Marlia Eka Putri A.T, S.H., NIP 196205141987031003 NIP 198403212006042001

2. Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara

(3)

ABSTRAK

PERAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN

BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS WANITA KELAS II A BANDAR LAMPUNG

Oleh

Febri Badia S, Prof. Yuswanto S.H., M.Hum, Marlia Eka Putri A.T, S.H., Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145 Email : febribadia@gmail.com

Salah satu perwujudan pembinaan narapidana adalah proses pembebasan bersyarat, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimananya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Peran Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung dalam pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana wanita di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung? Apa yang menjadi faktor penghambat pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Sumber data yang digunakan menggunakan data primer, data sekunder dan data tersier. Pengumpulan data diperoleh dari studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Data yang telah diolah kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa kepala kantor wilayah atas nama menteri menerbitkan surat keputusan tentang pembebasan bersyarat bagi narapidana yang sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dan melakukan pengawasan, koordinasi dengan pejabat BAPAS dan melakukan pengendalian dalam proses pembinaan narapidana. Faktor penghambat dalam penelitian ini yaitu prosedur pengusulan pembebasan bersyarat terlalu rumit dan memakan waktu yang cukup lama, penjamin narapidana yang bukan keluarga sehingga BAPAS tidak menyetujuinya dan melanggar hukum disiplin.

(4)

ABSTRACT

THE ROLE OF REGIONAL HEAD OF THE MINISTRY OF JUSTICE AND HUMAN RIGHTS OF LAMPUNG PROVINCE IN THE

GRANTING OF PAROLE FOR INMATES AT FEMALE CORRECTIONAL FACILITY

CLASS II A BANDAR LAMPUNG By

Febri Badia S, Prof. Yuswanto S.H., M.Hum, Marlia Eka Putri A.T, S.H., Legal Section State Administration Faculty of Law University of Lampung

Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro St. No.1 Bandar Lampung, 35145 Email: febribadia@gmail.com

One of the manifestations of the counseling of inmates is the process of parole, i.e the return of prisoners to the society (the release of prisoners) in order to return good and become a useful person as long as they meet certain conditions by the time they finish their term. The prisoners who are given a parole should be in accordance with the provisions in the Book of Criminal Conduct (KUHP) and they must have fulfilled certain conditions before they are released to the society who have expressed readiness to accept them back. The problems in this research are formulated as follows: how is the role of Regional Head of the Ministry of Justice and Human Rights of Lampung in granting Parole to female prisoners at female correctional facility Class II A Bandar Lampung? What are the inhibiting factors in the granting of the Parole?

This research used normative approach and empirical approach. The source of data consisted of primary data, secondary data and tertiary data. The data collection was obtained from literature study (library research) and field study (field research). The data were analyzed using descriptive qualitative method. The results showed that the regional head on behalf of the minister has issued a decree on parole for inmates who are eligible for parole and supervision, by coordinating with officers of Aftercare Facility and to exercise control in the convicting process. The inhibiting factors in this research was that the procedure of proposing parole was too complicated and took a long time, the guarantor who came from non-family prisoners so that the Aftercare Facility could not approve and violate the discipline of law.

(5)

I. PENDAHULUAN

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Prinsip negara hukum pada dasarnya mengisyaratkan adanya aturan main dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sebagai aparatur penyelenggara negara, dengan inilah kemudian Hukum Administrasi Negara muncul sebagai pengawas jalannya penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Berdasarkan asumsi tersebut tampak bahwa Hukum Administrasi Negara mengandung dua aspek yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya kedua, aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan administrasi negara dengan para warga negaranya1. Jadi Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit) yaitu hukum yang cakupannya secara garis besar mengatur:

a. Perbuatan pemerintahan (pusat dan daerah dalam bidang politik); b. Kewenangan pemerintahan

(dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut) didalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; pengguna kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum, karena diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum;

1

Ridwan, HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 26.

c. Akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan itu; d. Penegakan hukum dan penerapan

sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan2;

Terkait dengan diskursus kekuasaan pemerintahan, Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab III menjelaskan mengenai kekuasan pemerintahan negara. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang undang dasar”

Berdasarkan adanya Pasal tersebut tersiratkan bahwa Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dimana hal ini menjadi salah satu ciri dari sistem pemerintahan presidensial, Menurut Jimly Asshiddiqie, setidaknya ada sembilan karakter sistem pemerintahan presidensial sebagaiberikut:

a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak terbagi dan yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden saja;

c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya yaitu kepala negara sekaligus merupakan kepala pemerintahan;

d. Presiden mengangkat para Menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;

2

(6)

e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya;

f. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen;

g. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi;

h. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;

i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen3.

Sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia, Presiden dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dibantu oleh Menteri-Menteri Negara, disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,“Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri

Negara”, “Menteri-Menteri itu

diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden”, “Setiap Menteri

membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”, dan “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran keMenterian negara diatur dalam Undang-Undang”.

Sebagai Negara hukum Indonesia juga mengenal asas equality before the law atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, supremasi hukum dan hak asasi manusia merupakan syarat dari konsep Negara hukum. Atas konsep itulah kebijakan-kebijakan menyangkut regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah serta

3

Ibid hlm. 316

implementasi atas kebijakan-kebijakan harus mengedepankan aspek hak asasi manusia. Aturan tentang hak asasi manusia yang melekat pada setiap manusia diatur lewat seperangkat aturan hukum yang ada, dalam pelaksanaanya di Indonesia peraturan pelaksanaan hak-hak asasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia.

Setiap orang memiliki hak asasi yang sama tak terkecuali orang yang sedang menjalani hukuman atau narapidana. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Narapidana adalah orang yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

Pelaksanaan pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemsyarakatan diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang salah satu asasnya meganut asas persamaan perlakuan dan pelayanan yang sama pada binaan masyarakat, yaitu anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang seabagai asas secara khusus.

Narapidana yang menjalani hukuman di Rutan/Lapas sering kali diangap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak manusiawi karena mereka danggap telah melakukan suatu kesalahan atau kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/ Lapas.

(7)

sesuai dengan ketentuan Pasal 14

yang berbunyi,bahwa, “Warga

binaan berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, serta Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas”

Syarat dan Tata Cara pelaksanaan hak-hak tersebut telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Kementerian Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.Hak-hak yang tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut diatas diberikan terhadap para narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.

Pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses

“pembebasan bersyarat”, yaitu

pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan nara-pidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimananya.

Bagi narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu mempunyai kemungkinan dapat

dikabulkannya permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan pemberian Pembebasan Bersyarat sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf (k) Undang-Undang Pemasyarakatan tentang hak-hak narapidana yaitu mendapatkan Pembebasan Bersyarat Pasal 1 angka 8 PP No. 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No. 32 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (4), pemberian Pemberbasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan menteri. Mengingat yang terpenting adalah bagaimana Peran Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam merealisasi pengusulan Pembebasan Bersyarat dan pemenuhan hak-hak lainnya bagi warga binaan.

Dari latar belakang diatas maka penulis membahas penelitian ini dengan judul “Peran Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Lampung dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung. Dari penjelasan yang telah disampaikan dalam latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:

(8)

pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana wanita di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung?

b. Apa yang menjadi faktor penghambat pemberian Pembebasan bersyarat tersebut?

II. METODE PENELITIAN 2.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif dilakukan dengan cara menelaah, mengutip dan mempelajari ketentuan atau peraturan-peraturan

perundangan dan literatur yang berkaitan dengan pelaksanaan judul skripsi.

b. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung di lapangan, berdasarkan fakta yang ada. 2.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer data sekunder dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan, yaitu hasil wawancara dengan narasumber atau yang disebut informan. Data sekunder yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat yang berkaitan dengan penelitian ini. Data tersier yaitu bahan yang bersumber dari kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan bahan-bahan diluar bidang hukum, seperti majalah, surat kabar, serta bahan-bahan hasil pencarian melalui

internet yang berkaitan dengan masalah yang ingin diteliti.

2.3 Prosedur Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh dengan studi kepustakaan

(library research) studi lapangan

(field research).

2.4 Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisa menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan cara menginterpretasikan data dan memaparkan dalam bentuk kalimat untuk menjawab permasalahan-permasalahan pada bab-bab selanjutnya dan melalui pembahasan tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahannya sehingga sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan dari permasalahan terebut.

III. PEMBAHASAN

3.1. Peran Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Lampung dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung

Pemberian pembebasan bersyarat merupakan salah satu sarana hukum dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak warga binaan masyarakat mendapatkan pembebasan bersyarat diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan.

(9)

Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung, kewenangan Kementerian dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat yaitu diatur dalam Pasal 15 KUHP tentang syarat pemberian pembebasan bersyarat yaitu narapidana telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang-kurangnya (9) sembilan bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatanyang dapat dihukum.4

Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah memenuhi 2/3 (dua pertiga) masa pidananya yang sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman RI terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat sebagai mana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tenteng Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas, dan Pembebasan Bersyarat. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

1. Syarat Substantif

a) Telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;

b) Telah menunjukan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;

4

Wawancara dengan BapaknGiri Purbadi selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan, Kantor Kementerian Hukum dan HAM Lampung, 28 Oktober 2016.

c) Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;

d) Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan narapidana yang bersangkutan; e) Selama menjalani masa pidana

narapidana atau anak didik pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; f) Masa pidana yang dijalani;

telah menjalani 2/3 masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 2. Syarat Administratif

a) Salinan surat keputusan pengadilan;

b) Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;

c) Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari balai pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana;

(10)

e) Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari kepala lembaga pemasyarakatan;

f) Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti: pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;

g) Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan Dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum;

h) Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat tambahan:

1) Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/konsulat negara orang asing yang bersangkutan.

2) Surat rekomendasi dari kepala kantor migrasi setempat.

Selain ketentuan yang nengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut, dalam pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah

mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanay dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman. (2) Ketentuan mencabut pelepasan

bersyarat, begiitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat (5), ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.

(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman. (4) Waktu penahanan paling lama

enam puluh hari. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.

(11)

narapidana harus mengisi Surat Pernyataan yang diisi oleh keluarga dari narapidana yang bersangkutan serta harus diketahui dan disetujui oleh masyarakat setempat yang diwakili oleh kepala desa ataupun lurah. Dalam hal ini keluarga yang mengisi surat pernyataan tersebut dikarenakan pihak keluarga yang dijadikan penjamin dari narapidana itu sendiri, selain keluarga yang boleh menjadi penjamin adalah Lembaga/Badan ataupun Organisasi Sosial.

Setelah pihak penjamin mengisi surat pernyataan tersebut barulah proses pengajuan Pembebasan Bersyarat diserahkan kepada Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk diproses, adapun tahap-tahap pengajuan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut:5

1) Tim Pengamat pemasyarakatan setelah mendengar pendapat anggota tim serta mempelajari laporan dari BAPAS, kemudian tim pengamat pemsyarakatan mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang terhitung dalam formulir yang telah ditetapkan.

2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan segera meneliti dan mempelajari usulan tersebut pada angka 1 apabila menyetujui usulan tersebut maka tim pengamat pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya meneruskan usulan tersebut kepada Kepala kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung

5

Wawancara dengan Bapak Giri Purbadi selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 28 Oktober 2016.

lengkap dengan persyaratan lainnya.

3) Kepala kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung wajib meneliti dan mempelajari ususlan

Kepala Lembaga

Pemsayarakatan tersebut dan setelah itu memperhatikan hasil sidan TPP kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung dapat menyatakan:

a) Menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak usulan diterima segera menyampaikan surat penolakan disertai alasan-alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan serta tembusan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

b) Menyetujui usulan Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima segera meneruskan kepada Direktorat Jenderal Pemsayarakatan.

(12)

a) Menolak usul Kepala Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan menyampaikan surat penolakan disertakan alasan kepada Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

b) Menyetujui usul usul Kepala Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung dan segera menerbitkan keputusan Pembebasan Bersyarat yang dimaksud yang tembusannya disampaikan kepada:

(1) Kepala Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Lampung;

(2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bandar Lampung dengan dilampirkan buku Pembebasan Bersyarat untuk narapidana yang diberi izin;

(3) Kepala Kejaksaan Negeri yang mengawasi;

(4) Kepala Polisi setempat; (5) Kepala Balai

Pemasyarakatan setempat;

(6) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Selain kutipan diatas, berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan bahwa Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM mempunyai peran, yaitu:6

6

Wawancara dengan Bapak Giri Purbadi selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 6 April 2017.

1. Selama proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wiayah melakukan

monitoring (pengawasan) kegiatan pembinaan, melakukan koordinasi dengan Pejabat Balai Pemasyarakatan dan Pegawai Lapas serta melakukan pengendalian terkait pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan; 2. Kepala Kantor Wilayah atas

nama Menteri menerbitkan surat keputusan tentang pembebasan bersyarat bagi narapidana yang sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat di lingkungan kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yaitu di Provinsi Lampung yang didasarkan pada hasil rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Kantor Wilayah, dalam hal ini bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana umum;

3. Kepala Kantor Wilayah Kementerian

merekomendasikan

pengusulan pembebasan bersyarat kepada Direktorat Jenderal Kementerian Pusat sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012 yaitu bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana khusus yaitu, tindak pidana korupsi, terorisme dan tindak pidana narkotika; 4. Kepala Kantor Wilayah

(13)

pembebasan bersyarat berdasarkan hasil sidang TPP di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang dihadiri oleh anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Kantor Wilayah yang terdiri dari 8 anggota, yaitu Pejabat Struktural Kantor Wilayah khususnya Divisi Pemasyarakatan;

5. Kepala Kantor Wilayah mendisukusikan usulan pembebasan bersyarat bersama Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah dan melibatkan Kepala Balai Pemasyarakatan dan perwakilan Pejabat Lembaga Pemasyarakatan yang mengajukan dan mengelola terkait pembebasan bersyarat; dan 6. Kepala Kanwil menyetujui

dan menandatangani pengusulan pembebasan bersyarat yang kemudian narapidna yang mengajukan pembebasan bersyarat akan menjadi klien Balai Pemasyarakatan untuk melakukan pembimbingan dalam melakukan pembebasan bersyarat. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Lapas Perempuan Kelas II A Bandar Lampung tentang pengusulan Pembebasan Bersyarat oleh narapidana pada tahun 2016 yaitu:

Tabel Rekapitulasi Jumlah Narapidana yang mengajukan Pembebasan Bersyarat dan yang direalisasi

Bulan Pengusulan

PB Realisasi

Sumber: Data Kepegawaian Lapas Wanita, Tanggal : 25 Mei 2016

Data diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2016 ada sebanyak 36 narapidana yang mengajukan pembebasan bersyarat. Terdapat 32 narapidana yang di realisasi dan 4 diantaranya masih dalam proses pengusulan atau ditolak karena belum selesai menjalani 2/3 masa pidananya.

3.2. Faktor Penghambat dalam Pemberian Pembebasan Bersyarat

Faktor penghambat dalam Pemeberian Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana adalah tidak semata-semata ditentukan oleh petugas Lapas karena dalam proses pembinaannya memiliki 3 (tiga) komponen, yaitu petugas Lapas, warga binaan dan masyarakat diluar Lapas yang artinya keterlibatan tiga komponen ini sangat menentukan keberhasilan pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan.

(14)

pembinaannya memiliki 3 (tiga) komponen, yaitu petugas Lapas, warga binaan dan masyarakat diluar Lapas yang artinya keterlibatan tiga komponen ini sangat menentukan keberhasilan pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyaraka-tan. Faktor penghambatnya yaitu terkadang pihak yang menjamin narapidana bukan dari pihak keluarganya sendiri dan ada pelanggaran tata tertib pada proses pelaksanaan pembinaan serta dukungan dari masyarakat, ketika Kementerian mengintegrasikan dengan masyarakat menganai pengusulan pemberian pembebasan bersyarat, maka dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk membantu malakukan pembinaan, namun yang menjadi penghambat adalah masih kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap warga binaan, sehingga pihak pemerintah setempat terkadang menolak warga binaan untuk melakukan pembebasan bersyarat, karena dapat membuat masyarakat merasa tidak aman jika warga binaan dilakukan pembebasan bersyarat.”7

Berdasarkan hasil wawancara dangan Pegawai Lembaga Pemsyarakatan, Joko Satrio selaku staf Bimaswat pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemsyarakatan Kelas II A Bandar Lampung berjalan dengan cukup baik, akan tetapi terkadang mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Beberapa faktor penghambat yang terjadi dalam pelaksanaan Pembebasan

7

Hasil wawancara dengan Giri Purbadi selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bandar Lampung, pada Jumat 22 Oktober 2016.

Bersyarat di Lapas Wanita Bandar Lampung yaitu, sebagai berikut:8 a. Peraturan perundang-undangan

Prosedur pengusulan pem-bebasan bersyarat terlalu rumit dan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai mendapatkan keputusan diterima atau ditolak, sehingga menimbulkan rasa gelisah dalam diri narapidana sendiri dalam menunggu hasil keputusan pengajuan Pem-bebasan Bersyarat.

Kebijakan pentahapan dalam proses pemberian Pembebasan Bersyarat pada kenyatannya membutuhkan waktu yang cukup lama.

b. Penjamin narapidana yang bukan keluarga sehingga BAPAS tidak menyetujuinya. Banyak narapidana yang penjaminnya bukan dari keluarga narapidana itu sendiri, sehingga nantinya menyulitkan dalam proses pengawasan apabila nantinya narapidana tersebut terancam gagal mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

c. Melanggar hukum disiplin seperti berkelahi dengan sesama narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan dan tidak mengikuti proses pembinaan dengan baik yang menyebabkan narapidana tersebut terancam gagal mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat tidaklah selamanya dapat berjalan dengan baik, akan tetapi terkadang akan mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Beberapa faktor yang menjadi penghambat

8

(15)

pelaksannan Pembebasan Bersyarat di Lapas Wanita Bandar Lampung. Berdasarkan hasil wawancara dari Pegawai Lapas dan beberapa narapidana yang sedang menjalani proses pembinaan pembebasan bersyarat, penulis mendapatkan hasil adalah sebagai berikut:9

a. Maydica Pramesti, proses pelaksanaan Pembebasan Bersyarat yang diikuti di dalam Rumah Tahanan, banyaknya persyaratan-persyaratan

administrasi yang harus dipenuhi sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dan apabila melanggar tata tertib dan displin seperti berkelahi dengan sesama narapidana maka haknya mendapatkan pembebasan bersyarat dapat dibatalkan.

b. Saudari Checilia, proses pelaksanaan Pembebasan Bersyarat yang diikuti di dalam Rumah Tahanan, sebagaimana proses pelaksanaan program pembebasan bersyarat, hambatan-hambatan yang terjadi selama menunggu mendapatkan pembebasan bersyarat apabila melanggar disiplin atau tata tertib di dalam Rumah Tahanan seperti perkelahian sesama narapidana dan apabila bukan keluarga yang menjamin sering dicurigai, banyaknya persyaratan sehingga prosesnya berjalan lama untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dengan Pegawai Lembaga Pemasyarakatan dan hasil wawancara dengan Narapidana yang sedang mengikuti

9

Wawancara dengan narapidana di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung, 16 November 2016.

program pembebasan bersyarat, faktor yang menghambat pemberian pembebasan bersyarat yaitu benyaknya peraturan yang mengatur dan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh narapidana sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, penjamin yang bukan dari keluarga nerapidana sehingga adanya penolakan dari pihak Bapas yang nantinya menyulitkan dalam proses pengawasan, pelanggaran hukum disiplin yang dilakukan oleh narapidana itu sendiri seperti perkelahian sesama narapidana dan pelanggaran tatatertib lainnya.

IV. KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang Peran Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dalam Pemberian Pembebasan Besyarat terhadap Narapidana di Lapas Wanita Kelas II A Bandar Lampung, dapat disimpulkan bahwa:

(16)

dengan syarat-syarat substantif dan administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita sebanyak 36 narapidana yang mengajukan pembebasan bersyarat sepanjang tahun 2016 32 yang di realisasi dan 4 diantaranya sedang dalam proses pengusulan karena belum selesai menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dan sedang dalam pengawasan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), dalam hal ini 4 narapidana tersebut masih dimungkinkan belum dapat dikabulkannya pengusulan pembebasan bersyarat apabila melanggar tata tertib dan disiplin selama proses pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. 4.2 Saran

a. Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah diperlukannya kerjasama yang baik antar komponen penentu dalam pemberian pembebasan bersyarat dan perlunya peningkatan pembinaan narapidana sehingga setelah narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat dan dikembalikan ke masyarakat menunjukkan kesadaran, perubahan yang baik dan menjadi manusia yang lebih berkualitas. b. Perlunya sosialisasi kepada

seluruh narapidana agar mengetahui tahapan-tahapan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat, diperlukan juga sosialisasi kepada keluarga narapidana sebagai penjamin narapidana yang ingin mengajukan pembebasan bersyarat dan peningkatan

penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami arti pentingnya pembebasan bersyarat, terutama di lingkungan tempat narapidana menjalani pembebasan bersyarat serta proses administrasi yang lebih cepat perlu dilakukan agar tidak terlalu lama dalam menunggu proses pembebasan bersyarat.

DAFTAR PUSTAKA

Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung:

H.R, Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press.

Manan, Bagir. 1987. Peranan

Peraturan

Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Amico, Bandung,

Mansyur, Marini. 2011. Peranan Rumah Tahanan Negara Dalam Pembinaan Narapidana

(Studi Kasus Rutan Klas IA Makassar). Makassar: Unhas Skripsi.

Prajudi, Atmosudirdjo. 1994. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia, Jakarta,

Undang-Undang Dasar 1945

Gambar

Tabel Rekapitulasi Jumlah Narapidana yang mengajukan Pembebasan Bersyarat dan yang direalisasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut di atas, telah dibuat simulasi eksperimen yang memanfaatkan tabung Geiger Muller dan Ratemeter berbasis komputer dengan memanfaatkan program makro

Tenaga ini adalah unit untuk mengukur kemampuan seseorang melakukan sesuatu aktiviti fizikal seperti mandaki gunung. Dalam teori biokimia,

[r]

Graf prikazuje kretanje pokazatelja efikasnosti svakog resursa (fizičkog i financijskog kapitala, ljudskog kapitala i strukturnog kapitala) u stvaranju dodane vrijednosti od

Sikap peserta didik dalam mentaati tata tertib sekolah tentunyan berbeda- beda antara satu peserta didik dengan peserta didik lainnya, sehingga dalam pelaksanaannya

Yield To Maturity adalah tingkat bunga yang menyamakan harga obligasi dengan nilai sekarang dari semua aliran kas yang diperoleh dari obligasi sampai dengan

Dengan memanfaatkan aplikasi mobile pariwisata kota Semarang ini, diharapkan para pengunjung obyek wisata kota Semarang khususnya pengguna perangkat mobile dengan

Dari hasil uji hipotesis melalui analisis regresi logistik, operating capacity berpengaruh signifikan dalam memprediksi terjadinya kondisi financial distress pada