• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORNING REPORT. Fase A : Kegiatan yang dilakukan pada fase ini adalah morning report dari hasil kegiatan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MORNING REPORT. Fase A : Kegiatan yang dilakukan pada fase ini adalah morning report dari hasil kegiatan yang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MORNING REPORT

Fase A : Kegiatan yang dilakukan pada fase ini adalah morning report dari hasil kegiatan yang dilakukan pada fase B dan fase C. Morning report dilaksanakan pada pukul 8.00 sampai dengan pukul 09.30 WITA. Selanjutnya Forensik Klinik dari pukul 09.30 sampai dengan pukul 10.00 WITA. Bertempat di gedung Solihin Wirasugena jln. Kandea Makassar.

Pada Morning Report MPPD mengobservasi kasus pada Fase B di RS Jejaring dan Fase C untuk melengkapi kasus pada Fase sebelumnya. Fase B : Setelah kegiatan morning report dan forensik klinik usai kemudian kegiatan dilanjutkan ke rumah sakit jejaring hingga pukul 16.00 WITA.

Rumah Sakit yang dituju adalah RS. Wahidin S, RS. Labuang Baji, RS. Bhayangkara. Kegiatan ini dilaksanakan pada minggu I sampai dengan minggu II. Kasus atau pasien yang diperoleh pada fase B ini adalah pasien baru dengan kata lain pasien tersebut di lihat dan di periksa sendiri. Pasien di foto whole body, foto regional dan foto close up yang teknisnya nanti akan dijelaskan secara rinci pada fotografi forensik. Fase C : Di fase C ini kegiatan dilakukan setelah kegiatan fase B selesai yaitu pada pukul 16.00 sampai dengan pukul 08.00 WITA keesokan harinya, lokasi kegiatan boleh memilih sendiri. Pada fase C ini kasus atau pasien yang diperoleh adalah pasien lama artinya pasien tidak di lihat atau di periksa sendiri tetapi telah di lihat atau di periksa oleh MPPD yang lebih dahulu masuk di bagian Forensik Medikolegal. Pelaksanaan teknis pada fase ini kurang lebih sama seperti pada fase B yaitu foto dokumen, foto rekam medis, foto resume medis, foto SpV dan VeR.

Semua kegiatan yang dilakukan pada fase B dan fase C dibuat oleh masing – masing MPPD ke dalam satu folder yang kelak nantinya akan di diskusikan pada saat morning report (fase A).

MPPD memasukkan file di dalam komputer yang berisi foto-foto pasien dan dokumen, resume medis, Rekam medis, hasil-hasil pemeriksaan penunjang, dan identitas pasien. MPPD mengobservasi tindakan dokter di UGD, mulai dari pasien masuk sampai pasien dirujuk atau

▸ Baca selengkapnya: kegiatan eksperimentasi karya seni rupa yang dilakukan dengan menemukan variasi barang yang dapat dibuat dari bahan yang ditemukan terjadi dalam fase

(2)

dipindahkan ke kamar perawatan/ICU/Ro/Laboratorium sampai pasien pulang. Hal-hal yang diobservasi dapat ditulis dalam ceklist berikut :

CHECK LIST MPPD FASE B

Ada Tidak Keterangan

MPPD

Observasi kegiatan

Dokumentasi Forensik

Memeriksa luka

Deskripsi luka

Membuat MCOD

Dokter

Proteksi diri

Anamnesis

Kronologis Kejadian (Kapan, dimana, oleh siapa, berapa orang, alat/senjata

yang dipakai)

Menanyakan bagian-bagian tubuh

yang terluka

Inform Consent

Melakukan pemeriksaan tanda-tanda

vital

Melakukan cuci tangan

Memakai APD (Alat Pelindung Diri)

Melakukan pemeriksaan fisik secara

menyeluruh (head to toe)

A, B, C, D

Inspeksi

Palpasi

Perkusi

Auskultasi

Life saving (perawatan luka)

Melakukan pemeriksaan penunjang

Laboratorium

X-ray

USG

CT-Scan

MRI

(3)

PA

Melakukan dokumentasi dokumen

Melakukan dokumentasi luka

Memberikan terapi

Menanyakan riwayat alergi

Menilai perlu/tidak diberikan suntik TT

Menulis rekam medis

Membuat konsul/rujukan

Membuat body chart

Menanyakan SPV

Membuat resume medis

Membuat SKM/VeR

Menerapkan Bioetik:

Autonomy

Beneficience

Non-maleficence

Justice

Honesty

FORENSIK KLINIK

Setelah MPPD Morning report, dilanjutkan dengan Forensik Klinik di ruang Skill Lab. Dibuat Skenario kasus forensic klinik setiap harinya. Dilakukan pembagian peran. PPDS sebagai dokter IRD, MPPD sebagai pasien, keluarga pasien, perawat, MPPD Forensik, bagian administrasi dan Apoteker.

Berdasarkan skenario yang telah dibuat MPPD mengobservasi tindakan (prosedur) yang dilakukan oleh dokter dan paramedis (perawat). Bagaimana dokter menangani pasien, mengutamakan life saving, cara memberikan penjelasan prosedur maupun tindakan yang akan diambil kepada pasien (inform consent), cara melakukan triase, anamnesis terpimpin, pemeriksaan fisik secara head to toe dan menyarankan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi, serta terapi dan

(4)

pengobatan kepada pasien. Dokter juga membimbing MPPD untuk melakukan fotografi forensik, melakukan deskripsi luka, dan menentukan MCOD(Damage/Disease).

Dalam skenario, dibuat beberapa tindakan dokter mengalami kesalahan prosedur. Di sinilah MPPD akan menilai apakah terdapat kekurangan dan kesalahan yang dilakukan oleh dokter atau perawat.

MPPD diberikan ceklist sebagai bahan evaluasi mereka sebagai berikut :

CHECK LIST MPPD Forensik Klinik

Ada Tidak Keterangan

MPPD

Observasi kegiatan

Dokumentasi Forensik

Memeriksa luka

Deskripsi luka

Membuat MCOD

Dokter

Proteksi diri

Anamnesis

Kronologis Kejadian (Kapan, dimana, oleh siapa, berapa orang, alat/senjata

yang dipakai)

Menanyakan bagian-bagian tubuh

yang terluka

Inform Consent

Melakukan pemeriksaan tanda-tanda

vital

Melakukan cuci tangan

Memakai APD (Alat Pelindung Diri)

Melakukan pemeriksaan fisik secara

menyeluruh (head to toe)

A, B, C, D

Inspeksi

Palpasi

Perkusi

Auskultasi

Life saving (perawatan luka)

Melakukan pemeriksaan penunjang

Laboratorium

(5)

X-ray

USG

CT-Scan

MRI

PA

Melakukan dokumentasi dokumen

Melakukan dokumentasi luka

Memberikan terapi

Menanyakan riwayat alergi

Menilai perlu/tidak diberikan suntik TT

Menulis rekam medis

Membuat konsul/rujukan

Membuat body chart

Menanyakan SPV

Membuat resume medis

Membuat SKM/VeR

Menerapkan Bioetik:

Autonomy

Beneficience

Non-maleficence

Justice

Honesty

BIMBINGAN MPPD-FOTOGRAFI FORENSIK

PROSEDUR DOKUMENTASI FORENSIK (FOTOGRAFI FORENSIK & DESKRIPSI LUKA) A. Persiapan Pemeriksaan Luka

1. Sediakan alat dan bahan yang diperlukan :

 Kamera

 Sarung tangan medis (hanscoen)

 Label identitas

 Alat pengukur

 Lembar sketsa tubuh (body chart)

 Alat tulis menulis.

2. Periksa kelengkapan administrasi :

 Surat Permintaan Visum (SPV) yang diantar penyidik

(6)

 Persetujuan pemeriksaan medis forensik (informed consent) baik verbal maupun tertulis

 Bukti identitas pasien (KTP, SIM, SPV, dan sebagainya).

3. Tuliskan data-data yang dibutuhkan ke dalam label identitas dan lembar body chart berdasarkan keterangan yang terdapat pada SPV dan bukti identitas pasien sebagai berikut :  Nomor SPV

 Nomor registrasi kasus di RS yang bersangkutan

 Nama korban dan umur/tanggal lahir

 Nama pemeriksa

 Hari dan tanggal dilakukannya pemeriksaan

 Waktu dilakukannya pemeriksaan.

B. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

1. Lakukan cuci tangan medis atau gunakan cairan antiseptik 2. Kenakan sarung tangan medis (hanscoen).

C. Fotografi Forensik

1. Foto seluruh tubuh (whole body)

 Posisikan pasien dalam posisi anatomis, baik berdiri maupun berbaring

 Letakkan alat pengukur tinggi/panjang badan di samping tubuh pasien

 Letakkan label identitas yang telah diisi di tempat yang dapat terlihat jelas (di samping kepala pasien, di dada atau perut pasien)

 Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90° terhadap titik pusat tubuh pasien (pusar)

 Foto harus memuat keseluruhan tubuh pasien (ujung kepala hingga ujung kaki), menampakkan wajah pasien (diambil dari depan), dan pasien tetap mengenakan pakaian (kecuali alas kaki jika pasien dalam posisi berdiri  guna pengukuran tinggi badan), label identitas dan alat ukur

 Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dari sisi kanan/kiri/belakang jika dirasa perlu.

2. Foto regional

 Bebaskan regio anatomis yang ingin didokumentasikan dari pakaian Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi sebidang dengan bagian tubuh yang akan difoto

 Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90° terhadap titik pusat dari bagian tubuh (regio anatomis) yang akan difoto

 Foto harus memuat keseluruhan regio yang ingin didokumentasikan, yakni ada penanda (marker) anatomis dan harus jelas sisi atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, label identitas dan alat ukur.

(7)

3 Foto close up

 Identifikasi objek/luka yang ingin didokumentasikan dan bebaskan dari penutup tubuh

 Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi sebidang dengan luka

 Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90° terhadap titik pusat luka

 Foto harus memuat keseluruhan luka dan dapat memberikan keterangan mengenai karakteristik luka, label identitas dan alat ukur

 Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dengan posisi kamera miring 45°

terhadap titik pusat luka, baik dari sisi atas, bawah, kanan, kiri, maupun diagonal, jika dirasa perlu.

4. Foto objek lain (barang bukti pakaian, bercak darah, anak peluru, senjata, dokumen, dan lain-lain)  jika ada

 Letakkan alat pengukur dan label identitas yang telah diisi sebidang dengan objek yang akan difoto

 Lakukan pengambilan foto dengan posisi kamera tegak lurus 90° terhadap titik pusat objek  Foto memuat keseluruhan objek, label identitas dan alat ukur

 Jika objek mengandung tulisan, tulisan harus dapat dibaca dengan jelas

 Dapat dilakukan pengambilan foto tambahan dengan posisi kamera miring 45°

terhadap titik pusat objek, baik dari sisi atas, bawah, kanan, kiri, maupun diagonal, jika dirasa perlu.

D. Dokumentasi pada Lembar Sketsa Tubuh (Body Chart)

1. Pastikan data-data mengenai nomor SPV, nomor registrasi kasus, identitas pasien, pemeriksa, dan tanggal serta waktu pemeriksaan telah terisi lengkap pada lembar body chart

2. Gambarkan garis yang menjadi acuan untuk menentukan absis dan ordinat luka 3. Gambarkan luka pada lembar body chart sesuai dengan hasil yang ditemukan pada hasil

pemeriksaan, kemudian arsir sesuai dengan legenda 4. Tuliskan panjang dan lebar luka

5. Tuliskan absis dan ordinat luka

6. Ulangi langkah 2-5 jika terdapat lebih dari satu luka.

E. Deskripsi Luka

1. Identifikasi luka yang akan dideskripsikan

2. Kelompokkan luka-luka yang ada berdasarkan regio anatomis 3. Tuliskan :

 Jumlah luka di dalam regio tersebut

 Jenis luka (tertutup atau terbuka)

 Lokasi anatomis

(8)

 Bentuk luka

 Ukuran luka, yaitu panjang dan lebar luka (pengukuran kedalaman luka hanya dilakukan jika memungkinkan)

 Lokasi koordinat luka berdasarkan absis dan ordinat

 Karakteristik luka, mencakup garis batas luka, daerah di dalam garis batas luka, dan daerah di sekitar luka.

Perincian :

Luka tertutup :  Garis batas luka : batas tegas/tidak tegas  Daerah di dalam garis batas luka: warna, permukaan luka, bengkak ada/tidak  Daerah di sekitar luka:

ada/tidak ada kelainan. Luka terbuka :  Garis batas luka : tepi rata/tidak rata  Daerah di dalam garis batas luka: tebing luka, dasar luka, jembatan jaringan ada/tidak, ujung luka (bila ada) tajam/tumpul, perdarahan aktif ada/tidak  Daerah di sekitar luka:

ada/tidak ada kelainan.

F. Diagnosis Luka

1. Tentukan diagnosis luka berdasarkan deskripsi yang telah dibuat

2. Diagnosis yang dituliskan berupa jumlah luka, diagnosis luka, dan lokasi anatomisnya.

G. Menganalisis Penyebab Terjadinya Luka

1. Tuliskan penyebab terjadinya luka, berupa karakteristik agen penyebabnya saja, misalnya trauma tajam, trauma tumpul, dsb

2. Jangan menuliskan penyebab luka secara argumentatif pada kasus (ditusuk pisau, ditinju, ditabrak motor, dsb) di mana dokter pemeriksa bukan merupakan saksi mata insidens/trauma.

H. Penilaian Derajat Luka

1. Nilai prognosis luka secara medis

2. Secara hukum, derajat luka dibagi menjadi luka ringan (Pasal 352 KUHP), luka sedang (Pasal 351 KUHP), dan luka berat (Pasal 90 KUHP), namun istilah ini merupakan istilah hukum dan tidak perlu dicantumkan dalam laporan medis manapun untuk menjaga profesionalisme profesi.

3. Meskipun demikian, perlu dipahami mengenai kategori masing-masing derajat perlukaan guna memenuhi tujuan pembuatan SK VER yakni membuat terang suatu perkara.

(9)

BIMBINGAN MPPD-VER

VeR adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian yang diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.

Baik dalam kitab Hukum Acara Pidana yang lama maupun Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada satu pasal pun yang memuat perkataan VeR. Hanya dalam lembaran Negara tahun 1973 No. 350 pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara perkara pidana.

Pasal 133 KUHAP memakai istilah “surat keterangan ahli” yang dibuat oleh spesialis kedokteran forensik” atau “surat keterangan” bila dibuat oleh dokter-umum atau spesialis lainnya, adalah identik dengan Visum et Repertum.

Dalam pasal KUHAP terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan, yaitu dalam bentuk: keterangan ahli, pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan keadaan yang diminta secara resmi daripadanya (KUHAP: pasal 187 butir c). Bila kita lihat perihal apa yang dimaksudkan dengan alat bukti yang sah menurut KUHAP pasal 184 ayat 1, yaitu :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Yang berhak meminta visum et repertum adalah 2 : 1. Penyidik

2. Hakim pidana

(10)

3. Hakim perdata 4. Hakim agama

Adapun yang berhak membuat visum et repertum. (KUHAP Pasal 133 ayat 1) 2: 1. Ahli kedokteran kehakiman

2. Dokter atau ahli lainnya.

Berdasarkan subtansi isi keterangan tertulis dalam visum et repertum pada Pasal 133 ayat (2) KUHAP, maka visum et repertum dapat dilakukan oleh dokter umum dan tidak harus dokter ahli forensik.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya, yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan “tanpa luka” atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut kita masukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.

Prosedur Permintaan Visum et Repertum

Tata cara permintaan visum et repertum sesuai peraturan perundang- undang adalah diminta oleh penyidik tertulis, dijelaskan pemeriksaan untuk apa, diantar langsung oleh penyidik, mayat dibuat label, tidak dibenarkan visum et repertum diminta tanggal yang lalu.

Kedudukan visum et repertum dalam suatu proses peradilan adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang tertulis di pasal 184 KUHAP ayat (1). Visum et Repertum turut berperan dalam proses pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia artinya dokter bukan lagi memeriksa pasien tetapi memeriksa saksi/korban tindak pidana. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara rinci dan diuraikan kemudian dituang ke dalam tulisan dalam bentuk visum et Repertum.

KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu : jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut

; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera ; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh ;

(11)

terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.

Di dalam bagian pemberitaan visum et repertum biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai. Gejala/keluhan yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan ke dalam bagian pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu, dan sebagainya. Sedangkan keluhan subjektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam visum et repertum, misalnya keluhan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya.

STRUKTUR DAN ISI VISUM ET REPERTUM

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih. Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut :

a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal

c. Mencantumkan kata “Pro Justicia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah) d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan.

f. Tidak menggunakan istilah asing

g. Apabila penulisan suatu kalimat berakhir tidak pada tepi kanan format, maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga tepi kanan format

h. Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas uraian tertulis dalam visum et repertum, maka gambar atau foto tersebut diberikan dalam bentuk lampiran.

i. Ditanda tangani dan diberi nama jelas j. Berstempel instansi pemeriksa tersebut

k. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

(12)

l. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum.Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan kedunya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing- masing asli.

m. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun.

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap yaitu sebagai berikut : 1. Pro Justicia

2. Pendahuluan 3. Pemberitaan 4. Kesimpulan 5. Penutup

Berikut merupakan format struktur dan isi visum et repertum yang digunakan pada korban hidup

SURAT KETERANGAN VISUM ET REPERTUM KORBAN HIDUP

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal (IKFM) Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Rumah Sakit Bhayangkara Makassar Jalan Mappaoudang No. 63 Makassar 90223

PRO JUSTITIA

Nomor Surat Keterangan VeR :--- I. Surat Permintaan VeR (SPV)

a. Nomor SPV : ---

---

b. Tanggal dan Waktu SPV diterima : --- --

---

c. Pihak yang membuat SPV (penyidik) : ----

--- II. Laporan Visum et Repertum

a. Tempat, Tanggal dan Waktu Pembuatan VeR : --- b. Identitas pasien / Korban : ( KTP /SPV/ SIM/ Pasport) ---

1. Nama Korban : ---

(13)

2. Jenis Kelamin : --- 3. Tempat/Tgl lahir/Umur : --- 4. Pekerjaan : --- 5. Alamat : --- 6. No Bukti Identitas : ---

c. Pemeriksaan

1. Anamnesis : --- 2. Pemeriksaan Fisik :---

i. Kesadaran : --- ii. Denyut nadi : --- iii. Pernapasan : --- iv. Tekanan darah : --- v. Suhu badan : --- vi. Tinggi badan : --- vii. Berat badan : --- viii. Ciri khusus : ---

1. Kepala : --- a. Mata : --- b. Hidung : --- c. Telinga : --- d. Mulut : --- e. Gusi : --- f. Gigi geligi :

--- ---

g. Dagu : --- h. Pipi : --- 2) Leher : --- 3) Bahu : --- 4) Dada : --- 5) Punggung --- 6) Pinggang : --- 7) Dubur : --- 8) Anggota gerak atas : --- 9) Tulang-tulang

a. Tulang tengkorak : --- b. Tulang belakang : --- c. Tulang dada : --- d. Tulang panggul : --- e. Tulang anggota gerak : --- 3. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Radiologi : --- b. Laboratorium : ---

4. Diagnosis Kerja (ICD Coding) : --- Penyebab damage langsung (A-1) :---

(14)

:

---

Penyebab antara (A2) : --- Penyebab dasar (A3) : --- 5. Pengobatan dan Tindakan : --- 6. Prognosis dari penyakit / damage : --- 7. Odontogram (kasus gigi) : --- --- III. Penutup

Demikian Surat keterangan ini dibuat berdasarkan dengan penguraian yang sejujur- jujurnya dan menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya serta mengingat sumpah pada saat menerima jabatan

a. Tempat dan Tanggal dikeluarkan surat VeR : ---

b. b. Nama Lengkap dan Nomor Induk Kepegawaian dr / drg yg diberi wewenang pelayanan kesehatan: ---

c. Jabatan dan kompetensi dari (b) : --- d. Tanda tangan :

IV.Lampiran Pemeriksaan

a. Lampiran Hasil Pemeriksaan Klinis :--- b. Lampiran Pemeriksaan Toksikologi :--- c. Lampiran Pemeriksaan Histopatologi :--- d. Lampiran Foto : --- e. Lampiran Video :--- f. Lampiran lain-lain :--- (Akhir dari Surat Keterangan)

 Kop Surat, Logo Instansi dan Logo Jejaring (jika ada)

o Logo sebelah kiri merupakan logo instansi yang mengeluarkan surat

o Logo sebelah kanan merupakan logo instansi jejaring (instansi jejaring yang dimaksud adalah instansi yang bekerja sama dengan instansi induk, dengan syarat ada proses pembelajaran antara konsulen/supervisor dengan peserta PPDS dan KKM).

1. Pro Justicia

(15)

a. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan sehingga tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

b. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, Pasal 2 ayat 1. Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk: “Surat perjanjian dan surat- surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata”.

c. Pada ordonansi materai tahun 1921 pasal 23 surat resmi untuk perkara pengadilan harus di atas kertas bermaterai atau bertuliskan “Pro Justicia”.

2. Nomor Surat Keterangan VeR

a. Nomor ini diisi sesuai dengan sistem nomor urut / registrasi dari instansi IKFM yang mengeluarkan Surat Keterangan Visum et Repertum.

b. Setiap surat resmi yang keluar hendaknya diberi nomor, yang biasanya dinamakan nomor verbal (urut). Nomor surat dan kode tertentu pada surat dinas itu berguna untuk:

 Memudahkan pengaturan dan penyimpanan sebagai arsip

 Memudahkan penunjukan pada waktu mengadakan hubungan surat- menyurat

 Memudahkan mencari surat itu kembali bilamana surat diperlukan

 Mmeudahkan petugas kearsipan dalam menggolongkan (mengklasifikasikan) penyimpanan surat

 Mengetahui jumlah surat keluar pada suatu periode tertentu

3. Nomor SPV

Nomor ini diisi sesuai dengan Nomor Surat Permintaan Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh penyidik.

4. Tanggal dan Waktu SPV

Bagian ini diisi sesuai dengan tanggal dan waktu (jam dan menit ke berapa) instansi IKFM menerima Surat Permintaan Visum dari pihak penyidik.

Contoh Kasus:

Korban dipukul pada tanggal 3 Juni 2011 dan masuk UGD tanpa membawa SPV.

Seminggu kemudian tanggal 10 Juni 2011 korban tersebut melapor ke kantor polisi dan

(16)

keluarlah SPV yang tertanggal 3 Juni 2011 (sesuai dengan waktu kejadian). Pada hari yang sama korban langsung membawanya ke UGD untuk dilakukan visum et repertum.

Pada saat diterima SPV, dokter harus segera melakukan pemeriksaan dan membuat Surat Keterangan VeR sesuai dengan hasil pemeriksaan pada saat SPV diterima (tanggal 10 Juni 2011).

Di antara waktu pertama kejadian tanggal 3 Juni 2011 sampai 10 Juni 2011, luka yang dialami oleh korban telah mengalami proses penyembuhan.

Hal ini penting sebagai bukti untuk mengetahui selang waktu antara kejadian (incidence) dan penerimaan SPV, dan berapa lama waktu antara penerimaan SPV dan tindakan pemeriksaan.

Pada saat korban masuk UGD tanpa membawa SPV, dokter yang melakukan pemeriksaan wajib membuat Rekam Medis dan Resume Medisnya. Dalam UU RO No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46:

1. Dokter/ dokter gigi wajib membuat Rekam Medis

2. Rekam Medis dilengkapi selesai menerima pelayanan kesehatan.

Setiap catatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

5. Pihak yang Membuat SPV (Penyidik)

Bagian ini diisi nama, pangkat, NRP, nomor SPV, dan instansi penyidik.

Dalam UU RO No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 31 ayat 1:

Permohonan sekurang- kurangnya harus memuat: nama dan alamat pemohon.

Permintaan Visum et Repertum

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada dokter, dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditnada tangani oleh penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi:

i. Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang- kurangnya berpangkat Polda Polisi

(17)

ii. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang- kurangnya berpangkat Serda Polisi.

Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Pelda Polisi karena jabatannya adalah Penyidik.

6. Tanggal dan Waktu Pembuatan VeR

Bagian ini diisi sesuai dengan tanggal dan waktu (jam dan menit keberapa) pemeriksaan dilakukan oleh dokter (atau dokter gigi bilamana menyangkut masalah gigi). Untuk itu, pada saat diterimanya SPV dokter harus sesegera mungkin melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk mempertahankan keaslian suatu luka.

7. Nama Korban

Bagian ini diisi sesuai dengan nama yang tercantum pada bukti identitas yang diberikan (KTP, SIM, Paspor, atau sesuai dengan yang dicantumkan pada SPV). Bilamana korban sadar sebaiknya identitas korban ditanyakan langsung, namun bilamana terjadi gangguan kesadaran maka identitas didasarkan dari KTP, SIM, Paspor atau SPV.

Dalam penulisan identitas hurufnya dimiringkan, dengan maksud informasi yang dokter dapatkan hanya berdasarkan KTP, SIM, Paspor atau SPV dalam hal ini dokter hanya bertujuan melakukan pemeriksaan terhadap damage yang ada bukan dalam proses identifikasi.

*Catatan: Foto korban dan sidik jari dapat dipertimbangkan 8. Tanggal Lahir

Bagian ini diisi sesuai dengan tanggal lahir dan atau umur yang tercantum pada bukti identitas yang diberikan (KTP, SIM, Paspor atau sesuai dengan yang dicantumkan pada SPV).

Umur korban penting untuk menentukan prognosis dari cedera/luka yang dialami (kualifikasi luka).

9. Alamat

Bagian ini diisi sesuai dengan alamat yang tercantum pada bukti identitas yang diberikan (KTP, SIM, Paspor atau sesuai dengan yang dicantumkan pada SPV).

10. Bukti Identitas

(18)

Bagian ini diisi sesuai dengan bukti identitas yang digunakan (KTP, SIM, Paspor atau sesuai dengan yang dicantumkan pada SPV).

11. Nomor Bukti Identitas

Bagian ini diisi sesuai dengan bukti identitas yang digunakan (KTP, SIM, Paspor atau sesuai dengan yang dicantumkan pada SPV).

12. Anamnesis

Bagian ini diisi sesuai anamnesis terpimpin terhadap korban sesuai dengan pendekatan ilmu kedokteran untuk mengetahui mekanisme/ pathogenesis terjadnya jejas/ damage (diagnosis/ gambaran klinis pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab Surat Permintaan Visum et Repertum).

13. Pemeriksaan Fisik

Bagian ini diisi sesuai pemeriksaan fisik terhadap korban sesuai dengan pendekatan ilmu kedokteran untuk mengetahui mekanisme/ pathogenesis terjadinya jejas/ damage (diagnosis/ gambaran klinis pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab Surat Permintaan Visum et Repertum).

Bilamana korban pernah dirawat sebelumnya (baik perawatan medis ataupun non-medis) maka sebaiknya tindakan tersebut dilampirkan bukti- buktinya (misalnya sisa obat, copy resep, hasil laboratorium, resume medic, dsb.).

Apabila pemeriksaan tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka hendaknya dokter meminta pernyataan secara tertulis penolakan tindakan tersebut dari pasien/korban.

14. Pemeriksaan Penunjang

Bagian ini diisi sesuai dengan pemeriksaan penunjang dalam rangka membuat diagnosis terhadap jejas atau damage (diagnosis/gambaran klinis pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab Surat Permintaan Visum et Repertum).

Penting dalam rangka penegakan diagnosis dari kondisi jejas yang dialami, secara khusus pada kondisi yang tidak dapat dilihat dan ditemukan dengan mata telanjang, seperti pada kasus adanya kecurigaan dislokasi sendi, fraktur tulang atau pada kasus adanya kecurigaan infeksi, keracunan dan lain sebagainya.

(19)

DIAGNOSIS KERJA (ICD CODING)

Bagian ini diisi sesuai dengan diagnosis terhadap jejas atau damage pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab surat permintaan visum et repertum. Bilamana damage tersebut merupakan rangkaian damage dan komplikasi sebagai konsekuensi dari adanya kejadian (incidence), maka dalam rangkaian patomekanisme tersebut perlu dimasukkan dalam lampiran semua ringkasan/resume medik dari tindakan medik yang terdahulu yang telah dilakukan oleh dokter/dokter gigi/petugas kesehatan yang diberikan wewenang; dan resume medik tersebut harus ditandatangani oleh dokter/dokter gigi/petugas kesehatan tersebut. Urutan diagnosis kerja menggunakan pendekatan Multiple Cause of Damage (MCOD). Sehingga, dituliskan keadaan morbid yang langsung berhubungan dengan damage sekarang (A1), dan penyebab antaranya (A- 2,A-3), serta penyebab yang mendasari terjadinya damage (A-4). Selain itu dituliskan pula semua keadaan morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan penyebab langsung damage tersebut, namun berkontribusi terhadap keadaan damage sekarang (B-1, B-2, B-3, dan B- 4). Kemudian diagnosis /damage tersebut diberi kode sesuai dengan International Classification of Disease (ICD 10).

Pada bagian kesimpulan/diagnosis kerja memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari apa yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pembuat VeR. Dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut, maka pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Dalam hal kualifikasi luka, maka yang menjadi lingkup kompetensi dokter adalah apakah cedera/luka tersebut menyebabkan penyakit atau tidak dan perkiraan luka tersebut dapat sembuh atau tidak (prognosis luka)

1. Pengobatan dan Tindakan

Bagian ini diisi sesuai dengan pengobatan dan tindakan terhadap jejas atau damage (diagnosis/gambaran klinis pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab Surat Permintaan Visum et Repertum).

2. Prognosis dari Penyakit/Damage

(20)

Bagian ini diisi sesuai dengan prognosis yang dibuat berdasarkan penilaian terhadap jejas atau damage (diagnosis/gambaran klinis pada saat dilakukan pemeriksaan korban hidup dalam rangka menjawab Surat Permintaan Visum et Repertum)

3. Odontogram

Bagian ini diisi sesuai dengan gambaran odontogram bilamana kasus atau damage pada korban tersebut berkaitan dengan masalah gigi.

Catatan: *Foto Panoramik dapat dipertimbangkan.

4. Tempat dan Tanggal Dikeluarkan SK VeR

Bagian ini diisi sesuai dengan tempat dan tanggal Surat Keterangan VeR dikeluarkan.

5. Nama Lengkap dan Nomor Induk Kepegawaian dr/drg yang Diberi Wewenang Pelayanan Kesehatan

Bagian ini diisi dengan Nama Lengkap dan Nomor Induk Kepegawaian dr/drg yang telah memiliki kompetersi untuk membuat surat keterangan Visum et Repertum.

6. Jabatan dan Kompetensi dari (20)

Bagian ini diisi sesuai dengan jabatan dan kompetensi yang dimiliki oleh dr/drg yang membuat surat keterangan Visum et Repertum.

7. Tanda Tangan Dokter/Dokter gigi

Bagian ini diisi dengan tanda tangan dokter/dokter gigi yang telah memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan Visum et Repertum.

8. Lampiran Pemeriksaan

Pada bagian ini dilampirkan semua pemeriksaan dalam rangka membuat diagnosis terhadap damage yang terjadi (misalnya hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, Ultrasonografi, EKG, EEG, Histopatologi, toksikologi, atau DNA).

(21)

BIMBINGAN MPPD-MCOD

Penyebab kematian adalah kondisi yang tidak wajar atau proses penyakit, kelainan, cedera atau keracunan yang langsung atau tidak langsung mengarah ke kematian. Ini terdiri dari entitas diagnostik, yang merupakan istilah tunggal atau istilah komposit yang digunakan untuk menggambarkan penyakit, sifat cedera, atau kondisi yang tidak wajar lainnya. Penyebab langsung kematian adalah kondisi yang mengarah langsung mati dan dilaporkan pada baris (a) di Bagian I.

Penyebab antara kematian adalah setiap penyebab intervensi kematian yang terjadi antara penyebab langsung dan penyebab yang mendasari kematian. Hanya organisma yang hidup akan mengalami kematian. Secara saintifik kematian adalah satu proses dimana proses metabolik menurun fungsinya dan menyebabkan kematian.

Penulisan dimulai dengan penyebab langsung kematian pada baris Ia, kemudian kembali melalui urutan peristiwa atau kondisi yang menyebabkan kematian pada baris berikutnya, sampai anda mencapai kondisi yang memulai rangkaian fatal. Jika sertifikat telah selesai dengan baik, kondisi pada garis terendah bagian I akan menyebabkan semua kondisi pada baris di atasnya.

Format Penulisan MCODeath

(22)

Bagian I : Penyebab utama kematian

Bagian II : Penyebab yang berkontribusi terhadap penyebab utama kematian tetapi merupakan bagian yang berdiri sendiri dan dapat memperberat penyakit / jejas sehingga menimbulkan kematian.

Penyebab Kematian (Cause of Death)

Penyebab kematian sering kali jelas. Hal ini terutama berlaku dalam kasus yang melibatkan cedera seperti "luka tembak kepala." Namun, dalam beberapa kasus lain, terutama kematian mendadak penyebab pasti kematian tidak bisa kita ketahui secara langsung. Hal ini karena kemampuan kita untuk menentukan penyebab kematian terkait erat dengan kemampuan kita untuk menentukan mekanisme kematian, dan dalam banyak kematian alami atau kematian mendadak, mekanisme kematian tidak dapat digakkan secara langsung. Contoh dari hal ini adalah kasus di mana aterosklerosis arteri koroner berat terdeteksi (yang diketahui menyebabkan kematian mendadak dan tak terduga). Dengan tidak adanya kondisi yang lebih serius, penyakit arteri koroner sering terdaftar sebagai penyebab kematian, meskipun dalam beberapa kasus, individu mungkin telah meninggal dari beberapa kondisi yang belum diketahui atau kombinasi dari beberapa kondisi.

Kompleksitas kasus individu menuntut penyebab yang lebih kompleks pada laporan kematian.

Dalam surat keterangan kematian, penyakit, kelainan, cedera, atau keracunan, jika diyakini telah mempengaruhi orang yg meninggal, harus dilaporkan. Jika penggunaan alkohol dan / atau bahan lainnya, riwayat merokok, kehamilan, cedera, atau operasi diyakini telah memberi kontribusi pada kematian, maka kondisi ini harus dilaporkan. Kondisi yang ada pada saat kematian mungkin sama sekali tidak berhubungan, yang timbul secara independen satu sama lain; mereka mungkin kausal berkaitan satu sama lain, yaitu, satu syarat dapat menyebabkan lain yang pada gilirannya menyebabkan kondisi ketiga; dan lain sebagainya. Kematian mungkin juga hasil dari efek gabungan dari dua atau lebih kondisi.

Kondisi yang Berkontribusi atau Keadaan lain yang Signifikan

Satu atau lebih kondisi mungkin telah berkontribusi terhadap kematian, tetapi tidak ada hubungannya dengan penyebab kematian. Pada surat keterangan kematian ditetapkan sebagai

(23)

"Bagian 1" untuk penyebab kematian, dan "Bagian 2" untuk kondisi signifikan yang ikut berkontribusi atau lainnya. Hal ini dapat berguna untuk membuat daftar kondisi signifikan yang ikut berkontribusi dalam kematian, terutama jika ada dua atau lebih penyebab kematian untuk kasus yang sama.

Bagian I dari sertifikat kematian memiliki empat baris untuk melaporkan urutan peristiwa yang menyebabkan kematian; ini diberi label I (a), I (b), I (c) dan I (d). Penyebab langsung kematian dimasukkan di Bagian I (a). Jika kematian adalah konsekuensi dari penyakit atau kondisi lain, penyebab ini harus dimasukkan pada I (b). Jika ada lebih peristiwa yang menyebabkan kematian, tulis ini di urutan I (c) dan I (d).

Poin penting:

 Selalu gunakan garis berturut-turut, jangan pernah meninggalkan baris kosong dalam urutan kejadian.

 Setiap kondisi yang tercantum dalam Bagian I harus menyebabkan kondisi di atasnya.

 Jika hanya ada satu penyebab kematian, itu masuk di I (a)

Pada baris (b) melaporkan penyakit, cedera, atau komplikasi, jika ada, yang memunculkan penyebab langsung kematian dilaporkan pada baris (a). Jika ini pada gilirannya dihasilkan dari kondisi lebih lanjut, mencatat bahwa kondisi pada baris (c). Jika ini pada gilirannya dihasilkan dari kondisi lebih lanjut, dicatat pada baris (d). Untuk banyak kondisi yang terlibat, menulis urutan penuh, satu syarat per baris, dengan kondisi terbaru di bagian atas, dan penyebab kematian yang dilaporkan pada baris terendah digunakan di Bagian I. Jika lebih dari empat baris yang dibutuhkan, tambahkan baris tambahan (tulisan '' karena '' antara kondisi pada baris yang sama adalah sama dengan menggambar garis tambahan) daripada menggunakan ruang di Bagian II untuk melanjutkan urutan.

Contoh kasus:

(24)

Format penulisan MCODamage

Bagian A : Penyebab utama penyakit / damage

Bagian B : Penyebab yang berkontribusi terhadap penyebab utama penyakit / damage, tetapi merupakan bagian yang berdiri sendiri dan dapat memperberat penyakit / damage yang terdapat pada bagian A.

(25)

Contoh kasus:

Contoh kasus:

(26)

BIMBINGAN MPPD-SUPERIMPOSISI

Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan.

Superimposisi merupakan penempatan dari suatu gambar/video diatas sebuah gambar atau video yang telah ada, biasanya untuk menambah suatu efek gambar tertentu, tetapi kadang–

kadang juga untuk menyembunyikan sesuatu.

Photographic Superimposition adalah proses forensik dimana foto orang hilang ditumpangtindihkan dengan tengkorak yang ditemukan untuk mengetahui identitasnya.

Video Superimposition adalah proses forensik dimana mirip dengan photography superimposition hanya saja metode ini lebih menggunakan video sehingga spesifik dan lebih cepat.

ANTROPOMETRI CRANIOFACIAL a. Titik-Titik Antropometrik

Penanda pada tengkorak yang sering digunakan meliputi : Craniometric Landmark :

1. Dacryon (Da) : penghubung antara tulang frontal, maksilla, dan tulang lakrimalis di dinding lateral dari mata.

2. Frontomalar Temporal (Fmt) : titik paling lateral yang menghubungkan tulang frontal dan tulang zigomatikum

3. Glabella (G) : titik paling menonjol antara pinggir supraorbita di bidang midsagittal

4. Gnathion (Gn) : titik tengah yang dibangun antara titik paling depan dan paling bawah di dagu

5. Gonion (Go) : titik yang dibangun oleh perpotongan garis singgung antara ramus asendens dari margin posterior dan basis mandibula, atau titik paling lateral pada angulus mandibula 6. Nasion (N) : titik tengah sutura antara tulang frontal dan 2 tulang hidung

7. Nasospinale (Ns) : titik dimana garis ditarik antara margin yang lebih rendah dari apertura hidung kiri dan kanan yang berpotongan dengan bidang midsagittal

8. Pogonion (Pog) : titik paling anterior di garis tengah pada protuberans mentalis

(27)

9. Prosthion (Pr) : apex dari alveolus di garis tengah antara gigi insisivus sentralis rahang atas 10. Zygion (Zy) : titik paling lateral dari arcus zygomatikum

Gambar Dari kiri ke kanan, craniometric landmarks utama: gambaran lateral dan frontal

Sementara itu, face landmark yang paling lazim digunakan adalah : Cephalometric Landmark :

1. Alare (Al) : titik paling lateral dari alar contour

2. Ectocanthion (Ec) : titik dari komisura eksterna (canthus lateralis) dari fissura palpebra tepat di sebelah medial dari tuberkulum malar (Whitnall) yang man melekat ligamentum palpebra 3. Endocanthion (En) : titik di komisura interna (canthus medial) dari fissura palpebra

4. Glabella (g’) : di garis tengah, titik yang paling menonjol dari alis 5. Gnathion (gn’) : titik di tengah dagu antara Pog dan Me

6. Gonion (go’) : titik paling lateral dari garis rahang di angulus mandibula 7. Menton (Me) : titik terbawah dari bidang midsagittal di dagu

8. Nasion (n) : di garis tengah, titik cekung maksimum antara hidung dan dahi. Frontal, titik ini terletak di titik tengah garis singgung antara lipatan palpebra superior kanan dan kiri

9. Pogonion (pog’) : titik paling anterior dari dagu

10. Labiale inferius (Li) : titik tengah di garis vermilion dari bibir bawah 11. Labiale superius (La) : titik tengah di garis vermilion dari bibir atas

12. Subnasale (sn) : titik tengah dari dasar columella di sudut dimana batas bawah septum nasal bertemu bibir atas

(28)

13. Tragion (t) : titik di cekukan tepat di atas tragus telinga; dia berada tepat 1 sampai 2 mm dibawah tulang belakang dari helix, yang dapat diraba

14. Zygion (Zy’) : titik paling lateral dari regio pipi (zygomaticomalar)

Gambar 7 Dari kiri ke kanan, cephalometric landmarks utama: gambaran lateral dan frontal

b. Garis-Garis Antropometrik 1. PNS = posterior nasal spine

2. Gn = gnathion (titik paling bawah depan di atas kontur dari symphysis tulang pipi yang terletak di bisektris dari N-Pg dan bidang mandibular)

3. Ba = basion (titik terbawah di atas batas depan dari foramen magnum)

4. SE = sphenoidale (titik di persimpangan antara sisi atas sphenoid dan bagian depan dari dasar kranial, yang dianggap mereprentasikan penghubung antara tulang ethmoid bagian depan dan tulang sphenoid bagian belakang)

5. H = titik paling atas depan dari tulang hyoid

6. MP-SN = sudut antara garis dari Gn ke Me (bidang mandibular) dan garis dari S ke N 7. N-S-Ba = sudut antara N dan S serta antara S dan Ba (sudut pelana)

8. N-S-Gn (sudut Y-axis) = sudut antara N dan S serta S dan Gn

9. Co-Go-Me (sudut gonial) = sudut antara Co dan Go serta antara Go dan Me 10. Co-Go = jarak dari Co ke Go (ramus manibula)

11. ANS-PNS = jarak dari ANS ke PNS (dasar maksila)

12. TPFH = tinggi total wajah bagian posterior (jarak dari S ke Go) 13. P = ujung uvula

(29)

Gambar Garis-garis antropometrik wajah

Metode Konvensional

Superimposisi digunakan untuk mengidentifikasi atau dalam beberapa kasus, menyangkal identitas orang yang dicurigai tersebut dengan menggunakan salah satu teknik superimposisi yang ada. Prinsip-prinsip utama superimposisi craniofacial sama dengan rekonstruksi craniofacial. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa korelasi muka dengan tengkorak sangat penting. Ini termasuk memberikan perhatian khusus pada garis dari dua gambar yang ditumpahtindihkan, landmark atau titik antropometrik pada wajah dalam kaitannya dengan tengkorak, ketebalan jaringan lunak dan morfologi umum dari tengkorak.

Foto dari seorang individu secara manual ditumpangkan pada gambar tengkorak untuk perbandingan. Teknik ini paling sering digunakan untuk menghilangkan ketidakcocokan dari korban.Foto-foto korban yang pertama kali dikumpulkan. Kemudian foto tengkorak yang cocok diambil pada setiap individu. Kedua foto tersebut diperbesar sesuai ukuran sebenarnya. Foto tengkorak ini kemudian ditumpangkan pada foto individu.

Langkah-langkah ini diulang untuk setiap individu dan dibandingkan hasilnya.

Keterbatasan utama dari metode ini adalah, diperlukan pembesaran gambar tengkorak dan foto individu, juga tengkorak perlu diposisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan orientasi foto individu.

(30)

Superimposisi fotografi adalah metode yang dipelopori oleh furue. Metode ini melibatkan penggunaan dua cermin untuk memproyeksikan gambar foto wajah di atas tengkorak. Cermin pertama adalah cermin optik penuh diposisikan secara langsung berlawanan dengan foto. Cermin kedua adalah cermin setengah perak ditempatkan pada sudut 45⁰ ke cermin optik penuh dan sejalan dengan tengkorak. Perspektif akurasi dicapai dengan memastikan jarak cermin setengah perak ke tengkorak (D1) sama dengan jumlah jarak cermin optik penuh ke foto (d1) dengan jarak cermin optik penuh untuk cermin setengah-perak (d2). Artinya, D1 = d1 + d2. Lensa 35mm kamera single lens reflex (SLR) dengan fokus layar kaca gambar split standar digantikan oleh sebuah fokus layar gambar udara yang ditetapkan pada ujung berlawanan dari tengkorak. Jarak kamera ke tengkorak juga penting untuk mencapai prospektif yang benar. Maksudnya adalah bahwa jarak ini kira – kira sama dengan jarak dimana foto wajah awalnya diambil.1

Gambar Superimposisi Metode Konvensional Kesulitan dalam teknik superimposisi

1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.

2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.

3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.

4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya sendiri.

Gambar

Gambar Dari kiri ke kanan, craniometric landmarks utama: gambaran lateral dan frontal
Gambar 7 Dari kiri ke kanan, cephalometric landmarks utama: gambaran lateral dan  frontal
Gambar  Garis-garis antropometrik wajah
Gambar Superimposisi Metode Konvensional  Kesulitan dalam teknik superimposisi

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara dengan Ibu Hasna, Pemilik Toko Meubel dan Kebutuhan Pokok, Tanggal 20 Agustus 2018.. tidak bisa membayar, dia akan meminta uang yang dapat dibayar oleh pembeli

biopsikososial harusnya digunakan dalam melakukan penanganan LBP kronis dan pemberian latihan pada pasien merupakan rekomendasi terbaik, akan tetapi pada prakteknya

Bandura (1982 dalam Kott, 2008) menegaskan bahwa seseorang yang memiliki self efficacy yang kuat akan menetapkan tujuan yang tinggi dan berpegang teguh pada

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948, tentang pendaftaran dan pemberian izin kepemilikan senjata api pada Pasal 9 dinyatakan, bahwa setiap orang yang bukan anggota

Dalam beberapa hal, tersebab ia mengerjakan sejumlah proyek pembangunan patung monumental, dan elemen estetik yang berkait dengan arsitektur, ia melibatkan murid-murid-nya

Berdasarkan luasnya masalah yang ada, maka masalah dalam penelitian dibatasi pada kurangnya kepedulian anak dalam berkomunikasi yang baik untuk berinteraksi dengan

Dari hasil pengolahan data dapat kita lihat bahwa perlakuan perebus serat sangat berpengaruh terhadap kekuatan tarik spesimen, hal ini terlihat dari hasil

Begitu juga dalam penelitian Mizruchi (2002) yang menyatakan bahwa perusahaan Interlocking Directorate terjadi ketika satu orang terkait dengan suatu organisasi dan