• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SISTEM MULAZAMAH DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN SISTEM MULAZAMAH DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SISTEM MULAZAMAH DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Amir Sahidin

Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo E-mail: [email protected]

Copyright © 2021 The Author

This is an open access article

Under the Creative Commons Attribution Share Alike 4.0 International License DOI: 10.53866/jimi.v1i3.18

Abstract

The mulazamah system illustrates Islamic education, which is held using the traditional system today. The mulazamah system is a system that previously gave birth to scholars who were very influential in the development of Islam. Therefore, this system needs to be studied more deeply in terms of management and methodologies to find out its role in realizing the goals of Islamic education. Through an authoritative literature review, it can be concluded that although the mulazamah system management does not have definite rules, methodologically, the mulazamah system has its advantages and disadvantages. The drawback is that it takes a long time; scientific quality is highly dependent on the teacher; certain people can only follow it, and there is no regular management. While the advantages, forming students to become experts in the science being studied; there is a chain of knowledge; students only learn the required knowledge, and it does not cost much. From these advantages, it appears that the mulazamah system has a role in realizing the goals of Islamic education, namely being able to give birth to a complete human being in order to realize devotion to Allah.

Keywords: System, Mulazamah, Education Goals Abstrak

Pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan menggunakan sistem tradisional pada hari ini tergambarkan oleh sistem mulazamah. Sistem mulazamah merupakan sistem yang dahulu telah melahirkan para ulama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam. Oleh karenanya, sistem ini perlu dikaji lebih dalam baik secara manajemen maupun metodologi untuk mengetahui perannya dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Melalui kajian kepustakaan yang otoritatif dapat disimpulkan, meskipun secara manajemen sistem mulazamah tidak memiliki aturan pasti, tetapi secara metodologi, sistem mulazamah memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Kekurangannya, membutuhkan waktu lama; kualitas keilmuan sangat tergantung pada guru; hanya dapat diikuti oleh orang tertentu; dan tidak ada manajemen yang teratur. Sedangkan kelebihannya, membentuk murid menjadi ahli dalam ilmu yang dipelajari; adanya sanad ilmu; murid hanya mempelajari ilmu yang dibutuhkan; dan tidak membutuhkan banyak biaya. Dari kelebihan-kelebihan ini nampak bahwa sistem mulazamah memiliki peran dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam, yaitu mampu melahirkan manusia yang paripurna guna merealisasikan pengabdian kepada Allah.

Kata Kunci: Sistem, Mulazamah, Tujuan Pendidikan.

1. Pendahuluan

Problem mendasar dalam meningkatkan kualitas hidup manusia identik dengan problem pendidikan, karena kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan. Pendidikan dan kehidupan tidak dapat

(2)

dipisahkan, keduanya menyatu dalam kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan adalah proses manusia dalam mengarungi samudera kehidupan (Mukani, 2016). Dalam membangun dan menjaga eksistensi sebuah peradaban bangsa, pendidikan memiliki peran yang sangat penting (Nurdin, 2015). Hal ini disebabkan pendidikan mampu menyediakan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan dengan segala kualifikasinya, sehingga pendidikan sering kali didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan memiliki keberlangsungan terus menerus, bertujuan untuk membentuk manusia yang paripurna (insan kamil) baik secara jasmani maupun rohani guna merealisasikan pengabdiannya kepada Allah (Mukani, 2016).

Perkembangan Islam hingga masa kegemilangannya sampai ke benua Eropa pun tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sistem pendidikan yang dilaksanakan ketika itu (Mukani, 2016). Jika dicermati lebih dalam, ciri khas pendidikan Islam pada masa klasik atau tradisional adalah teacher oriented, bukan institution oriented. Kualitas suatu pendidikan tergantung kepada guru, bukan pada lembaga. Oleh karena itu, peserta didik pada waktu itu tidak hanya belajar di masjid-masjid, melainkan pembelajaran dapat berlangsung di mana saja, baik di perpustakaan, toko, rumah ulama, atau bahkan di tempat terbuka (Iskandar Engku, 2014). Hubungan guru dan murid seperti hubungan orang tua dan anak. Guru akan mendidik muridnya dengan sepenuh hati, jika seorang guru mendapati muridnya berbuat kesalahan, ia akan menegurnya tanpa menggunakan kekerasan. Tetapi apabila guru tidak dapat lagi menguasai keadaan, ia akan menegurnya dengan lebih keras. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Harun al-Rasyid, “Perlakukanlah dia dengan lemah lembut, jika dengan hal itu dia tidak taat maka perlakukanlah dia dengan kekerasan”

(Khaldun, 2001).

Seiring berjalannya waktu, terlebih karena tuntutan zaman dan era modernisasi, sistem tradisional yang hari ini tergambar dengan sistem mulazamah, mulai mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut baik berdampak negatif maupun positif. Dampak negatifnya yaitu, berangkat dari worldview (cara pandang) di era modern yang lebih menitikberatkan pada paham materialistis (Nasikun, 2005), sehingga ukuran kemajuan lebih diutamakan pada persoalan material daripada nilai-nilai spiritual (Bakhtiar, 2003). Karenanya tujuan ilmu dalam pendidikan hanya untuk kepentingan dunia dan bukan untuk mendekatkan kepada Tuhan (Husaini, 2018). Akibatnya terjadi pelbagai permasalahan pendidikan, khususnya kemerosotan akhlak dan hilangnya adab atau the loss of adab (Al-Attas, 1993). Namun juga sebaliknya, terdapat dampak positif dari tuntutan zaman tersebut, sehingga dalam hal ini, pesantren di bawah Nahdhatul Ulama kemudian menggunakan kaidah, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, maksudnya memelihara tradisi lama yang masih cocok, dan mengadopsi inovasi baru yang lebih cocok lagi (Nata, 2012).

Berdasarkan hal itu, penulis tertarik untuk membahas peran sistem mulazamah dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Sehingga diketahui kelebihan-kelebihan dari sistem tersebut agar dapat dipertahankan dan dijaga eksistensinya. Juga sebaliknya, agar dapat diketahui kekurangan-kekurangannya, sehingga mampu untuk disempurnakan guna menghadapi pelbagai persoalan di era modernisasi saat ini.

2. Tujuan Pendidikan Islam

Setiap pendidikan pasti memiliki tujuan, demikian pula dengan pendidikan Islam, ia memiliki tujuan yang membedakannya dengan pendidikan non-Islam. Untuk mengetahui tujuan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu tentang apa itu pendidikan. Kata pendidikan dalam Islam sering diungkapkan dengan beberapa ungkapan yaitu: tarbiyah, ta’lim dan ta’dib (Khoeriyah, 2020). Tarbiyah dalam kamus, Lisan al-

‘Arab, memiliki tiga akar kata, sebagai berikut ini (Manzur, 1993): Pertama, rabba–yarbu–tarbiyah, berarti bertambah dan berkembang. Kedua, rabba–yarbi–tarbiyah, bermakna tumbuh dan menjadi besar. Ketiga, Rabba–yarubbu–tarbiyah, yang artinya memperbaiki, menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya (Abdul Mujib, 2008; Nata, 2010). Ketiga derivasi kata tersebut, apabila dibandingkan antara satu sama lainnya, terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling menunjang dan melengkapi. Namun jika dilihat dari segi penggunaannya, tampak istilah yang ketiga lebih banyak digunakan (Nata, 2010).

Berikutnya kata ta’lim. Secara bahasa menurut Mahmud Yunus, diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan mengajar dan berlatih (Yunus, n.d.). Senada dengan pengertian tersebut, Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu

(3)

tanpa adanya batasan ketentuan tertentu (Ridha, 1990). Selain itu, kata ta’lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan, banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan bersifat non-formal, seperti majlis ta’lim yang saat ini berkembang dengan berbagai variasi (Shihab, 1996). Oleh karena itu, kata ta’lim lebih pas diartikan sebagai pengajaran bukan pendidikan.

Setelahnya, kata ta’dib. Ia berasal dari kata addaba–yuaddibu–ta’diban yang dapat berarti education (pendidikan), discipline (disiplin, patuh, dan tunduk pada aturan), punishment (peringatan atau hukuman), dan chastisement (hukuman-penyucian) (Jhon M Echols, 2003). Sedangkan menurut Mahmud Yunus kata ta’dib mengandung arti beradab dan sopan santun (Yunus, n.d.). Selain itu, makna yang lebih teknis lagi terkait kata ta’dib diterangkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan peribadatan (Al-Attas, 1992).

Dari ketiga kata yang mewakili kata pendidikan di atas, dapat simpulkan bahwa pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada perkara yang zahir saja, melainkan juga pada perkara batin. Sehingga dari definisi ini, secara otomatis telah mengeluarkan makna pendidikan Barat yang menitikberatkan pada paham materialisme (Nasikun, 2005), yang lebih mengutamakan persoalan material daripada nilai-nilai spiritual (Bakhtiar, 2003; Ihsan, N.H., 2017).

Selain itu, untuk lebih jelasnya terkait tujuan pendidikan Islam, maka perlu untuk menelaah berbagai ungkapan para pakar terkait hal itu, di antara para pakar tersebut adalah sebagai berikut ini. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang baik, dan elemen pokok yang melekat pada konsep pendidikan Islam adalah menanamkan adab (Al-Attas, 1993; Husaini, 2010). Senada dengan ungkapan tersebut, Muhammad Quthb menjelaskan, tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan manusia shalih, baik individu maupun masyarakat sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia sesuai dengan petunjuk dan konsep yang telah ditetapkan Allah (Quthb, 1993).

Berikutnya, menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan adalah membina manusia guna menuju manusia yang sempurna, adapun kesempurnaan seseorang dapat dilihat dari kesempurnaan akhlaknya (Mursi, 1987).

Selaras dengan ketiga ungkapan di atas terkait tujuan pendidikan, dalam kongres pendidikan Islam sedunia yang kedua pada tahun 1980 di Islamabad disebutkan bahwa, pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya: spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan, dan bahasa, baik secara individu maupun kelompok, serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.

Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah, baik pada tingkat individual maupun masyarakat dan kemanusian secara luas (Nata, 2010).

Maka, dari berbagai pengertian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang paripurna baik secara spiritual, intelektual, daya imajinasi, fisik, keilmuan, bahasa, akhlak, adab, zahir maupun batin guna merealisasikan pengabdian kepada Allah.

3. Sistem Mulazamah Dalam Pendidikan Islam

Setelah mengetahui tujuan pendidikan Islam, maka penting untuk mengetahui hakikat mulazamah yang merupakan salah satu sistem dari pendidikan Islam. Mulazamah merupakan ism masdar dari lazama- yulazimu-mulazamatan yang memiliki akar kata berupa lazima-yalzamu-luzuman, berarti tinggal dan menetap (Atabik Ali, 2003). Sedangkan mulazim adalah isim fa’il-nya bermakna yang menemani, mengiringi, mendampingi dan menyertai. Oleh karenanya, Mulazamah berarti pertemanan, persahabatan, sesuatu yang melekat dan tidak terpisah (Hamzah, 2012). Adapun secara istilah, belum ada yang menyebutkan secara pasti pengertian mulazamah, namun istilah mulazamah dapat diartikan sebagai re-presentasi dari praktik pendidikan Islam tradisional ala salaf. Di antara ulama yang menyebutkannya adalah al-Khathib al-Baghdadi dengan istilah mulazamah al-syuyukh (Al-Zahrani, 1417). Sedangkan Ibnu Badis menyebutnya dengan istilah

(4)

al-darsu ‘ala syuyukh (Al-Zahrani, 1417). Adapun Imam Thahir bin Asyur menggambarkan proses yang serupa dalam menjelaskan jenjang pendidikan yang lazim dilaksanakan di masa salaf setelah jenjang kuttab dengan sebutan talaqqi (Asyur, 2006). Dari sini dapat dikatakan bahwa mulazamah adalah sistem pembelajaran di mana murid-muridnya selalu bersama dengan gurunya dalam tempo waktu yang lama untuk mempelajari ilmu, adab, akhlak dan keseharian sang guru (Khoeriyah, 2020).

Lebih lanjut lagi, sebuah pembelajaran dapat disebut dengan mulazamah jika terpenuhi beberapa unsur sebagai berikut (Khoeriyah, 2020): Pertama, adanya seorang guru yang siap mengajar dan mendidik.

Idealnya, guru dalam sistem mulazamah memiliki kompetensi yang mumpuni dalam suatu bidang ilmu atau lebih, sehingga para murid dapat mengambil ilmu tersebut darinya secara tuntas. Kedua, peserta didik yang siap tinggal bersama dan melazimi gurunya, sehingga siswa dapat mengambil ilmu dari gurunya kapanpun dan di manapun gurunya bersedia. Ketiga, kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan prinsip ta’shil ilmi (mempelajari ilmu dari dasarnya) atau takhassus (fokus) yang bertujuan menghasilkan orang-orang yang mutafaqqih fi al-din, bukan sekedar mutsaqqif saja.

Jika diperhatikan lebih jauh, konsep mulazamah secara penerapan sangat dekat dengan budaya dan tradisi ilmiah umat Islam di Indonesia secara umum, hanya saja tidak menggunakan istilah mulazamah secara khusus, tetapi sama secara subtansi. Sebagaimana yang telah diterapkan di pesantren-pesantren, khususnya dari kalangan Nahdhatul Ulama, mereka sangat akrab dengan ngaji kitab kuning ke kyai tertentu secara langsung yang biasa disebut dengan istilah sorogan, wetonan atau bandongan (Mastuhu, 1994).

Sistem mulazamah tidak membatasi waktu belajar yang harus ditempuh seorang murid, proses pembelajaran dilakukan selama rentang waktu yang tidak terbatas. Apabila murid sudah merasa cukup dengan ilmu yang ia peroleh dari seorang guru, maka ia akan menyudahi proses pembelajaran tersebut untuk selanjutnya belajar kepada guru lain atau mempelajari bidang ilmu yang lain. Selain itu, dalam sistem mulazamah seorang guru biasanya membuat surat keterangan (semacam ijazah) bagi murid yang mengambil ilmu darinya. Meskipun pada mulanya surat keterangan ini hanya digunakan dalam hal periwayatan hadis, namun seiring berjalannya waktu surat keterangan atau syahadah ini juga digunakan dalam disiplin ilmu yang lain (Khoeriyah, 2020).

Ahmad Syalabi menjelaskan, apabila seorang murid telah bersungguh-sungguh dan tekun dalam mendengarkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, atau syarh yang dilakukan oleh seorang guru terhadap satu kitab tertentu dan guru tersebut telah yakin bahwa muridnya telah benar-benar memahami ilmu tersebut, maka sang guru akan menuliskan surat keterangan pada halaman pertama atau terakhir dari buku tersebut, contoh kalimatnya berbunyi “Fulan telah menyelesaikan kitab ini, dan aku (disebutkan nama guru yang menulis) telah memberikan izin baginya untuk mengajarkannya” (Syalabi, 1973).

Meskipun tidak ada standar pasti yang menentukan kompetensi lulusan dari sistem mulazamah, namun banyak tokoh yang lahir dari sistem pendidikan ini, di antaranya: Pertama, Muhammad bin Idris al- Syafi’i. Ia adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hisyam bin al-Mutalib bin Abd Manaf bin Qushay bin Kilab. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pada Abd Manaf (Al-Dzahabi, 2006).

Pendidikan Imam al-Syafi’i dimulai dengan belajar membaca dan menghafal al-Qur’an dari Ismail bin bin Qastantin. Ia pun menyelesaikan hafalan al-Qur’an-nya ketika berusia tujuh tahun. Setelah itu, al- Syafi’i mempelajari bahasa dan sastra Arab dengan Bani Hudhail (Al-Dzahabi, 2006). Selain mempelajari ilmu kepada para ulama yang ada di Makkah ketika itu, seperti Muslim bin Khalid al-Zanji, Sufyan bin Uyainah, Dawud bin Abdurrahman al-Atthar, al-Syafi’i juga belajar pada pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, dan Fudhail bin

‘Iyadh (Khalikan, 1994).

Perjalanan Imam al-Syafi’i dalam mencari ilmu tidak berhenti pada ulama yang telah disebutkan di atas, melainkan al-Syafi’i melanjutkan pencarian ilmu dengan pergi ke Madinah untuk bermulazamah bersama Imam Malik bin Anas. Ia pun menghatamkan kitab yang ditulis oleh Imam Malik, al-Muwaththa’, dalam waktu sembilan malam, (Khalikan, 1994) dan terus bermulazamah kepada Imam Malik hingga Imam Malik wafat, kurang lebih selama 16 tahun. Selain berguru dari Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu

(5)

kepada beberapa ulama yang ada di Madinah, seperti Ibrahin bin Sa’id al-Anshari dan Abdul Aziz bin Muhammad (Wahab, 2001). Dari pendidikan yang ditempuh, kompetensi al-Syafi’i dalam ilmu fiqh dan ushulnya tidak dapat dielakkan, sehingga ia menjadi pendiri madzhab Syafi’i (Wahab, 2001). Madzhab ini merupakan salah satu dari empat madzhab yang disepakati oleh umat Muslim. Selain itu, beliau juga menulis banyak karya tulis, di antaranya yang paling berpengaruh adalah al-Umm dan al-Risalah.

Kedua, Abu Fathi Utsman al-Maushili. Ia adalah Abu Fathi Utsman bin Janiy al-Nahwi al-Azdi. Lahir di Mosul pada tahun 334 H. Al-Maushili dinisbatkan kepada al-Azdi dengan jalur perwalian, karena ayah beliau adalah seorang keturunan Romawi yang pernah menjadi budak Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-Azdi (Al-Maushili, 2000). Dalam perjalanan menuntut ilmunya, al-Maushili bermulazamah dengan Abu Ali al- Farisi selama 40 tahun lamanya, sehingga seakan-akan ia menjadi juru tulis gurunya tersebut. Dari Abu Ali al-Farisi inilah Abu Fathi al-Maushili menjadi seorang ahli nahwu yang bermadzhab Bashrah. Selain dari Abu Ali al-Farisi, ia juga berguru kepada Ahmad bin Muhammad al-Maushili, Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan, Abu Abbas al-Mubarrad, Abu Hatim al-Sijistani dan Abu al-Faraj al-Ashbahani penulis kitab al- Aghani. Abu Fathi Utsman al-Maushili pun memiliki beberapa karya tulis, di antaranya adalah al-Tabshirah fi al-Urudh, Tadzkirah al-Ashbahaniyah, dan al-Khashaish fi al-Nahwi (Al-Maushili, 2000).

Ketiga: Ibnu Hajar al-Asqalani. Ia adalah Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Hajar al-Asqalani (Al-Asqalani, 1984). Al-Asqalani dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 773 H di sebuah daerah pinggiran Nil di Mesir. Ibnu Hajar al-Asqalani tumbuh sebagai yatim dan dipelihara oleh Zaki al-Kharubi hingga wafat. Al-Kharubi memelihara dan memperhatikan pendidikannya dengan baik (Al-Syaukani, n.d.). Al-Asqalani pun bermulazamah dengan beberapa guru, di antaranya adalah kepada al-Hafizh Abul Fadhl Zainuddin al-Iraqi.

Al-Hafizh al-Iraqi merupakan seorang ulama besar di masanya yang sangat terkenal sebagai ahli fikih pengikut madzhab Syafi'i. Selain itu, al-Iraqi juga seorang ulama yang sangat mendalam penguasaannya terhadap tafsir, dan bahasa Arab. Karena keistimewaan tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani rela bermulazamah kepadanya selama sepuluh tahun (Abdullah, 2013).

Ibnu Hajar al-Asqalani juga pernah bermulazamah selama satu tahun kepada Nuruddin al-Haitsami.

Al-Asqalani sendiri mengatakan, “Di antara yang aku baca di hadapannya secara tersendiri adalah sekitar separuh dari Majma' al-Zawa`id dan sekitar seperempat dari Zawa`id Musnad Ahmad. Nuruddin al-Haitsami sangat mengasihiku dan mengakui keunggulanku mengenai disiplin ilmu ini. Semoga Allah membalasnya dengan kebajikan atas jasanya terhadapku.” (Farid, 2012). Selain kepada dua gurunya tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalani pernah melakukan perjalanan ke negeri Syam, Hijaz dan negeri lainnya dalam rangka untuk mencari ilmu dari sejumlah ulama ternama di berbagai penjuru negeri. Sehingga jumlah guru-guru al- Asqalani sangat banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya (Majid, 1984). Oleh karenanya, Ibnu Hajar al- Asqalani memiliki berbagai karya, salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah, Fath al-Bari, yang merupakan syarh dari kitab, Shahih al-Bukhari. Sampai-sampai digambarkan oleh sebagian ulama, seandainya kitab karyanya hanya, Fath al-Bari, maka dengan karya ini sudah cukup menggambarkan kefaqihan dan keilmuannya yang sangat luas serta mendalam (Abdullah, 2013).

4. Peran Sistem Mulazamah dalam Mewujudkan Tujuan Pendidikan Islam

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui sistem mulazamah dari segi manajemennya, adapun dari sisi metodologi, maka mulazamah memiliki kekurangan dan kelebihan. Berikut akan diuraikan kelebihan dan kekurangan dari sistem mulazamah agar dapat diketahui peran sistem tersebut dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Kelebihan dari sistem mulazamah yaitu: Pertama, membentuk peserta didik menjadi ahli dalam ilmu yang dipelajari. Syekh Hatim bin ‘Arif al-‘Auni mengatakan bahwa kedalaman ilmu tidak dapat dicapai kecuali dengan mempelajari ilmu tersebut secara takhassus (Salim, n.d.), di mana mempelajari ilmu dengan takhassus merupakan salah satu ciri pembelajaran mulazamah. Selaras dengan pernyataan itu, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin secara eksplisit mengatakan bahwa mulazamah al-‘ulama’ merupakan jalan yang ia rekomendasikan kepada seorang pelajar apabila ingin mendapatkan ilmu secara mendalam dari seorang syekh atau guru (Al-Utsaimin, 2003).

(6)

Kedua, adanya sanad ilmu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Ahmad Syalabi menerangkan bahwa, apabila seorang murid telah bersungguh-sungguh dan tekun dalam mendengarkan pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh gurunya, atau syarh yang dilakukan oleh seorang guru terhadap satu kitab tertentu dan guru tersebut yakin bahwa muridnya telah benar-benar memahami ilmu tersebut, maka sang guru akan menuliskan surat keterangan atau syahadah pada halaman pertama atau terakhir dari buku tersebut (Syalabi, 1973).

Ketiga, peserta didik hanya mempelajari ilmu yang dibutuhkannya. Al-Khalil bin Ahmad mengibaratkan setiap ilmu sebagai lautan yang tak bertepi (Salim, n.d.), sehingga seorang murid hendaknya mempersiapkan bekal yang tepat untuk dirinya dalam menuntut ilmu, karena kedalaman ilmu hanya dapat diraih oleh orang yang menyelami ilmu tersebut dengan bekal yang benar dan waktu yang lama. Dalam proses pembelajarannya, seorang peserta didik yang ingin mempelajari ilmu fiqh maka dia akan mengambil dan mempelajari ilmu yang berkaitan atau dibutuhkan dalam ilmu fiqh tersebut. Sebaliknya, ia tidak mempelajari ilmu yang tidak ia butuhkan, sehingga hal ini mendukung seorang peserta didik untuk menjadi ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajari (Khoeriyah, 2020).

Keempat, tidak membutuhkan banyak biaya. Dalam sistem mulazamah proses pembelajaran berlangsung dengan fleksibel, sarana dan prasarana bukanlah hal utama yang harus diprioritaskan. Proses pembelajaran dapat dilaksanakan oleh siapa, di mana, dan kapan saja, tidak harus dalam suatu ruang kelas.

Bahkan pembelajaran akan tetap dapat dilasanakan walaupun di bawah naungan pohon (Khoeriyah, 2020).

Sehingga sistem mulazamah tidak memerlukan banyak biaya, terutama biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh seorang murid.

Adapun kekurangan dari sistem mulazamah adalah sebagai berikut ini: Pertama, membutuhkan waktu yang lama. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, al-Khalil bin Ahmad mengibaratkan setiap ilmu sebagai lautan yang tak bertepi (Salim, n.d.), sehingga tidak akan dapat mengetahui isinya dan juga sampai pada rahasia-rahasianya kecuali bagi orang-orang yang tidak membatasi umur untuk menyelaminya (Salim, n.d.). Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh seorang murid untuk mengambil ilmu berbeda-beda. Jika ia menginginkan ilmu yang dalam atau menjadi ahli dalam satu bidang keilmuan, maka tentu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Kedua, kualitas keilmuan sangat tergantung pada guru. Sebagaimana telah diketahui, bahwa dalam sistem mulazamah pola pembelajaran yang terjadi adalah teacher oriented. Pola semacam ini menjadikan tidak adanya standar keilmuan dalam sistem mulazamah, sehingga kualitas keilmuan peserta didik sangat bergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki oleh gurunya.

Ketiga, hanya dapat diikuti oleh orang tertentu. Pembelajaran dalam sistem mulazamah membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan ilmu yang mendalam, selain itu adanya prinsip tadarruj (secara bertahap) dan takhassus dalam sistem mulazamah dengan sendirinya akan menjadi seleksi bagi peserta didik. Hal ini yang selanjutnya menjadikan kedalaman sebuah disiplin ilmu tidak dapat diraih oleh setiap murid.

Keempat, tidak adanya manajemen yang teratur sehingga sulit untuk dievaluasi. Evaluasi dalam kegiatan pembelajaran merupakan sebuah keharusan, namun sebagaimana yang telah diketahui bahwa sistem mulazamah tidak memiliki manajemen yang teratur, proses pembelajaran dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, hal ini menjadikan evaluasi sulit untuk dilakukan (Khoeriyah, 2020).

5. Kesimpulan

Dari seluruh pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem mulazamah merupakan sistem yang merepresentasikan praktik pendidikan Islam tradisional ala salaf. Sistem ini telah terbukti melahirkan ulama-ulama yang memiliki pengaruh besar terhadap peradaban Islam, misalnya Imam al-Syafi’i, Abu Fathi Utsman al-Maushili, dan Ibnu Hajar al-Asyqalani. Meskipun secara manajemen sistem mulazamah tidak memiliki aturan pasti, akan tetapi secara metodologi, sistem mulazamah sangat evektif untuk mencetak peserta didik yang ahli dalam satu bidang ilmu tertentu. Selain itu, peserta didik atau murid dalam sistem mulazamah akan mendapatkan bimbingan secara langsung oleh sang guru dalam proses pendidikannya.

Sehingga, dengan hal itu dapat dikatakan bahwa sistem mulazamah memiliki peran dalam mewujudkan tujuan pendidikan, yaitu mampu melahirkan manusia yang paripurna baik secara spiritual, intelektual, daya

(7)

imajinasi, fisik, keilmuan, bahasa, akhlak, adab, zahir maupun batin guna merealisasikan pengabdian kepada Allah. Selain itu, dapat dibenarkan jika kelebihan dari sistem mulazamah mampu untuk dijaga, sedangkan kekuranganya dapat disempurnakan, tentu pendidikan Islam kedepannya akan lebih baik lagi.

Bibliografi

Abdul Mujib, J. M. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Abdullah, A. H. (2013). Biografi Singkat Ibnu Hajar al-Asqalani. Majalah Qudwah.

Al-Asqalani, I. H. (1984). Tahzib al-Tahzib. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Al-Attas, S. M. N. (1992). Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj: Haidar Bagir. Bandung: Mizan.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Dzahabi, S. (2006). Siyar A’lam al-Nubala'. Kairo: Dar Hadits.

Al-Maushili, A. F. U. (2000). Sirr Shina’ati al-I'rab. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Al-Syaukani, M. bin A. (n.d.). Al-Badr al-Thali’ bi Mahasin Man Ba'da al-Qarn al-Sabi'. Beirut: Dar al- Kutub al-’Ilmiyyah.

Al-Utsaimin, M. bin S. (2003). Kitab al-’Ilm. Kairo: Maktabah Jarir.

Al-Zahrani, M. bin M. (1417). Min Hadyi al-Salaf fi Thalabi al-’Ilmi. Dar al-Thayyibah al-Khadhra.

Asyur, M. T. bin. (2006). Alaisa Shubhu bi Qarib. Kairo: Dar al-Salam.

Atabik Ali, A. Z. M. (2003). Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.

Bakhtiar, A. (2003). Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Angkasa.

Farid, A. (2012). Biogradi 60 Ulama Ahlusunnah. Jakarta: Darul Haq.

Hamzah, M. M. (2012). Qamusika. Kairo: Madina.

Husaini, A. (2010). Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Beradab Dan Berkarakter. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Husaini, A. (2018). Kiat Menjadi Guru Keluarga. Depok: Yayasan Pendidikan Islam al-Taqwa.

Ihsan, N.H., E. all. (2017). Implementation of Zuhd in the Islâh Movement of Shaykh Abdul Qadir Al-Jilani

(D. 561 H./1161 CE.), 9(2), 169–170. Retrieved from

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29300/madania.v25i1.4340

Iskandar Engku, S. Z. (2014). Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jhon M Echols, H. S. (2003). Kamus Inggris Indonesia. (P. Gramedia,Ed.). Jakarta.

Khaldun, I. (2001). Mukkadimah, Terj, Masturi, Ilham dkk. Jakarta: Pustaka al-Kausar.

Khalikan, I. (1994). Wafayat al-A’yan wa Abna Abna al-Zaman. Beirut: Dar Shadir.

Khoeriyah, N. (2020). Sistem Mulazamah dan Sekolah Dalam Mewujudkan Tujuan Pendidikan Islam.

Boyolali. Boyolali: Skripsi Ma’had Aly Darusy-Syahadah.

Majid, H. A. (1984). Amir al-Mu’minin fi al-Hadits Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani. Dar al-Haq.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Mukani. (2016). Dinamika Pendidikan Islam. Malang: Madani.

Mursi, M. M. (1987). al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Dar al-Ma’rifah.

(8)

Nasikun. (2005). Peran ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora bagi Liberalisasi dan Humanisasi Teknologi. JSP:

Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, IX(2). Retrieved from https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jsp.11031

Nata, A. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Nata, A. (2012). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Nurdin, I. F. (2015). Perbandingan Konsep Adab Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalany dengan Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam, IV. Retrieved from https://doi.org/https://doi.org/10.14421/jpi.2015.41.159-187

Quthb, M. (1993). Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Syuruq.

Ridha, M. R. (1990). Tafsir al-Manar. Mesir: Hai’ah Mushriyyah 'Amah li Al-Kutub.

Salim, A. (n.d.). al-Subul al-Mardhiyah. Markaz Tafakkur.

Shihab, Q. (1996). Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Syalabi, A. (1973). Sejarah Pendidikan Islam, Terj, Mucyat Jahja. Jakarta: Bulan Bintang.

Wahab, M. A. (2001). al-Madkhol Ila Dirosah Madzahib al-Fiqhiyah. Kairo: Dar al-Salam.

Yunus, M. (n.d.). Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as philosophy of Islamic law: a systems approach. International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah: A beginner's guide (Vol. 14). International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Prihantoro, S. (2017). Maqasid Al-Syari’ah Dalam Pandangan Jasser Auda. At-Tafkir, 10 (1), 120-134.

Saridjo, Marwan. (2009). Mereka Berbicara Pendidikan Islam : Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syamsudin, M. (2013). Ilmu Hukum Profetik, Yogyakarta : FH UII Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam metode ini persediaan akhir dinilai dengan harga pokok pembelian yang paling akhir oleh karenanya , barang-barang yang dibeli pertama kali adalah barang-barang

• PT Enagic Indonesia adalah perusahaan penanaman modal asing yang sah didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang memiliki bidang usaha penjualan langsung melalui jaringan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh motivasi, persepsi kualitas, serta sikap konsumen terhadap keputusan dalam pembelian sepeda motor

Perlindungan hukum pada intinya menjaga agar masa depan anak yang berhadapan dengan hukum, mempunyai jaminan untuk keberlanjutan masa depannya, oleh karena itu

Dengan demikian pengertian pendapatan pekerja perempuan dalam penelitian ini merupakan hasil yang diterima oleh seorang perempuan untuk jangka waktu tertentu

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa maraknya anak jalanan di Kota Bengkulu disebabkan masih kurangnya tindakan pemerintah terhadap anak jalanan.

Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Struktur kepemilikan Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI (2008-2010) Manajemen laba,

Batu Bara ABSEN Melahirkan pada saat PLPG, izin gelombang berikutnya 276 17071821710015 MEI ASIMA PASARIBU SMP NEGERI 5 SATU ATAP KERAJAAN Kab.. Sawah Lunto Sijunjung L