• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaru waktu pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) terhadap pertumbuhan koro hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai tanaman pionir pengembali kesuburan tanah lahan bekas tambang kapur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaru waktu pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) terhadap pertumbuhan koro hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai tanaman pionir pengembali kesuburan tanah lahan bekas tambang kapur."

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

Salah satu usaha untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang kapur adalah dengan menanam jenis tanaman pionir tertentu untuk mengembalikan kesuburan tanah. Solusi ini akan lebih efektif dengan adanya simbiosis antara tanaman pionir dengan cendawan mikoriza arbuskular (CMA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dan menguji simbiosis mutualistiknya, serta menguji pengaruh pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa CMA).

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Percobaan dilakukan pada 24 sampel tanaman yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol yang didesain menjadi penelitian satu faktor yakni menguji efektivitas pemberian pupuk CMA pada waktu yang berbeda. Pemberian CMA dilakukan 5 hari sekali dengan cara menaburkannya di sekitar perakaran tanaman. Pengambilan data dilakukan 5 hari sekali selama 50 hari dengan melakukan pengukuran terhadap panjang batang, jumlah daun dan diameter batang. Panjang akar dan tingkat infeksi CMA pada akar diukur pada masa akhir percobaan.

(2)

ABSTRAK

EFFECT OF TIME’S GIVING OF ARBUSKULAR MYCORRHIZA FUNGI (AMF) FOR KORO HIJAU (Mycorrhizal uniflorm) GROWTH AS PIONEER

PLANTS FOR SOIL FERTILITY EX-LIME MINE

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

One of the reclamation effort of ex-lime landmine is by planting a certain

pioneer’s plant in order to restore soil fertility. This solution would be more effective

with the presence of symbiosis between pioneer plants with Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF). This research was conducted to identify the influence of time’s

giving of AMF for the growth of Koro hijau and examine it’s symbiosis mutualism, as well as examine the effect of giving AMF for Koro hijau’s growth compared to control plants (without AMF).

This research is an experimental research. The research was conducted to 24 plant samples which consisted of 3 treatments and 1 control which was designed using one factor ANOVA as its statistical analysis become one factor research that was examining the effectiveness of giving AMF fertilizer in different time. AMF was given in three different time sequences with one week interval as three different application treatments by spreading around in near its roots plant. The data was collected in every 5 days for 50 days by measuring the length of the stem, number of leaves and stem diameter. Root length and its AMF infection rate were measured at the end of the experiment.

The results showed that the time’s giving of AMF is significantly affect the growth of Koro hijau and the first week (M1) have proven most effective in mutualistic symbiosis with the host plant and the effect of growth is greater compared to control plants (K).

(3)
(4)

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh : DIENG KARNEDI

NIM: 131434015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarya, 23 Desember 2016 Penulis

(8)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Dieng Karnedi NIM : 131434015

Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, untuk mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 23 Desember 2016 Yang menyatakan,

(9)

vi

ABSTRAK

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

Salah satu usaha untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang kapur adalah dengan menanam jenis tanaman pionir tertentu untuk mengembalikan kesuburan tanah. Solusi ini akan lebih efektif dengan adanya simbiosis antara tanaman pionir dengan cendawan mikoriza arbuskular (CMA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dan menguji simbiosis mutualistiknya, serta menguji pengaruh pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa CMA).

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Percobaan dilakukan pada 24 sampel tanaman yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol yang didesain menjadi penelitian satu faktor yakni menguji efektivitas pemberian pupuk CMA pada waktu yang berbeda. Pemberian CMA dilakukan 5 hari sekali dengan cara menaburkannya di sekitar perakaran tanaman. Pengambilan data dilakukan 5 hari sekali selama 50 hari dengan melakukan pengukuran terhadap panjang batang, jumlah daun dan diameter batang. Panjang akar dan tingkat infeksi CMA pada akar diukur pada masa akhir percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pemberian CMA berpengaruh signifikan bagi pertumbuhan Koro hijau, pemberian CMA pada minggu pertama (M1) terbukti paling efektif dalam bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inang dan berpengaruh lebih besar bagi pertumbuhan dibandingkan dengan tanaman kontrol (K).

(10)

vii

ABSTRAK

EFFECT OF TIME’S GIVING OF ARBUSKULAR MYCORRHIZA FUNGI (AMF) FOR KORO HIJAU (Mycorrhizal uniflorm) GROWTH AS PIONEER

PLANTS FOR SOIL FERTILITY EX-LIME MINE

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

One of the reclamation effort of ex-lime landmine is by planting a certain pioneer’s plant in order to restore soil fertility. This solution would be more effective with the presence of symbiosis between pioneer plants with Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF). This research was conducted to identify the influence of time’s giving of AMF for the growth of Koro hijau and examine it’s symbiosis mutualism, as well as examine the effect of giving AMF for Koro hijau’s growth compared to control plants (without AMF).

This research is an experimental research. The research was conducted to 24 plant samples which consisted of 3 treatments and 1 control which was designed using one factor ANOVA as its statistical analysis become one factor research that was examining the effectiveness of giving AMF fertilizer in different time. AMF was given in three different time sequences with one week interval as three different application treatments by spreading around in near its roots plant. The data was collected in every 5 days for 50 daysby measuring the length of the stem, number of leaves and stem diameter.Root length and its AMF infection rate were measured at the end of the experiment.

The results showed that the time’s giving of AMF is significantly affect the growth of Koro hijau and the first week (M1) have proven most effective in mutualistic symbiosis with the host plant and the effect of growth is greater compared to control plants (K).

(11)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang berlimpah penulis haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Baik, Penuh Kasih dan Pengharapan, sebab hanya karena rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Banyak hal yang dialami dan dirasakan oleh penulis selama menjalankan dinamika perkuliahan di Universitas Sanata Dharma tercinta ini. Pencapaian yang dialami penulis sampai sejauh ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah mendukung, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang menyelesaikan studi ini.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Romo Provinsial Serikat Jesus yang telah memberikan perutusan dan dukungan kepada penulis untuk melakukan studi khusus.

2. Komunitas Robertus Bellarminus, khususnya komunitas Pradnya Laksita yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam menempuh masa studi dengan penuh afeksi dan perhatian.

3. Mbak Chatarina Riyanti dan keluarga yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan serta melalui kelimpahan doa-doanya.

4. Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang utuh

5. Program Studi Pendidikan Biologi yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk menimba ilmu

6. Kaprodi dan para Dosen Pendidikan Biologi yang telah meluangkan waktu untuk membagikan ilmu dan juga telah berdinamika bersama baik saat menjalani perkuliahan di kelas maupun di luar kelas

7. Romo Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J yang telah mendampingi dengan penuh semangat dan kedekatan selama penulis menjalankan perkuliahan maupun selama mengerjakan tugas akhir.

(12)

ix

9. Teman – teman Pendidikan Biologi angkatan 2013 yang dengan caranya masing-masing telah mendukung, menyemangati, dan menjadi sahabat-sahabat seperjuangan selama menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Khususnya, Paulina Yuliani, Maria Magdalena Melina yang banyak membantu selama masa penelitian.

10. Semua pihak yang telah mendukung serta membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi melengkapi dan membuat tulisan ini menjadi layak untuk dibagikan dan dipercaya.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.

(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...………..……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..………ii

LEMBAR PENGESAHAN………iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…...……….v

ABSTRAK………..………vi

2. Kelompok Cendawan Mikoriza………...………10

(14)

xi

B. Macrotyloma uniflorum………..………...14

1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm ………...…..14

2. Distribusi Macrotyloma uniflorum………...………...15

3. Morfologi Tanaman…………...………..………....16

4. Pemeliharaan tanaman koro hijau………..………….…………...33

5. Pengamatan………..………..35

F. Analisa Data………..………...39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….….46

A. Hasil………..……...……….46

1. Hasil rerata pertumbuhan.………..………....46

(15)

xii

3. Uji Anova satu faktor…………..………...48

4. Panjang akar………...49

5. Infeksi CMA………..50

B. Pembahasan………...…52

1. Pengaruh Pemberian CMA terhadap Pertumbuhan Tanaman Koro Hijau………..…….……….……...52

2. Pengaruh Jenis Tanah terhadap Simbiosis Mutualistik CMA ………..56 3. Peningkatan Kesuburan Tanah Lahan Beka Tambang Kapur.………..58 4. Faktor Abiotik dan Biotik yang Mempengaruhi Pertumbuhan Koro Hijau ……..……….…...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.………...………..…67

A. Kesimpulan………..………..67

B. Saran………..………....67

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Taksonomi CMA menurut Schubler (2010)....……….…12

Tabel 3.1. Denah Percobaan..……….…30

Tabel 3.2. Hasil pengamatan tanaman Koro hijau……….…37

Tabel 3.3. Rerata panjang batan tangaman Koro hijau.……….…40

Tabel 3.4. Rerata jumlah daun Koro hijau………...…….….41

Tabel 3.5. Rerata diameter batang Koro hijau……….…..42

Tabel 3.6. Hasil panjang batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda……….…...43

Tabel 3.7. Hasil jumlah daun tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda..……….…...44

Tabel 3.8. Hasil diameter batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda...…...45

Tabel 4.1. Rerata pertumbuhan panjang batang, jumlah daun dan diameter batang tanaman Koro hijau..……….…...46

Tabel 4.2. Rata-rata panjang akar per perlakuan dan kontrol………....49

Tabel 4.3. Persentase infeksi CMA………...….…...51

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Koro hijau (Macrotyloma uniflorm) ... 16

Gambar 4.1: Panjang akar koro hijau M1, M2, M3 dan Kontrol negatif ... 50

Gambar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza ... 51

Gambar 4.3: Aphis cracivora Koch ... 62

Gambar 4.4: Stomopterix subsecivella ... 63

Gambar 4.5: Akibat serangan Peanut Mottle Virus ... 64

Gambar 4. 6: Akibat serangan Bean Yellow Mosaik Virus ... 65

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I: Data Pengamatan Indikator Pertumbuhan Koro Hijau ... 74

A. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 74

B. Hasil Panjang batangTanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 75

C. Hasil Jumlah Daun Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76

D. Hasil Diameter Batang Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76

Lampiran II: Uji Statistik Pertumbuhan Koro Hijau ... 76

A. Uji Normalitas Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 76

B. Uji Homogenitas ... 78

C. Uji Deskriptif dan Anova ... 79

D. Uji Post Hoc; Uji Tukey HSD ... 82

Lampiran III: Data Pengamatan Panjang Akar, Infeksi Mikoriza dan Faktor Ekternal Pertumbuhan ... 86

A. Panjang Akar ... 86

B. Infeksi CMA ... 86

C. pH, Suhu dan Kelembapan ... 89

Lampiran IV: Rancangan Hasil Penelitian untuk Pendidikan ... 91

A. Silabus……….. ... 91

(19)

xvi

C. Instrumen Tes Tertulis ... 109

D. Rubrik Penilaian Kognitif ... 110

E. Instrumen Non-Test ... 112

Lampiran V: Dokumentasi Penelitian ... 115

A. Bahan yang Digunakan ... 115

B. Lokasi dan Tata letak Tanaman ... 115

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Kekayaan alam tersebut tercermin dari keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Bentangan hutan dan lautan yang luas adalah contoh konkretnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya energi yang melimpah, baik itu berupa gas bumi, minyak bumi dan hasil tambang. Dengan kekayaan sumber daya alam itulah, Indonesia sejauh ini mampu memenuhi kebutuhan hampir seluruh penduduknya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan oleh pemerintah dan penduduk Indonesia sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam itu sendiri, yang berarti juga demi kesejahteraan penduduk Indonesia.

(21)

tumbuhan dan hewan pun terancam. Sementara itu, di laut pun juga terjadi hal yang sama. Eksploitasi hasil laut terjadi secara besar-besaran dan menggunakan cara-cara yang tidak tepat. Kerusakan ekosistem laut, terumbu karang dan menipisnya jumlah biota laut pun terjadi. Deretan eksploitasi alam juga terjadi pada sumber-sumber energi seperti eksploitasi gas bumi, minyak bumi, dan aneka jenis tambang yang lain.

Berdasarkan rentetan kerusakan sumber daya alam di atas, kerusakan alam akibat bekas penambanganlah yang memiliki tingkat kesulitan dalam usaha restorasi lahannya, sebab materi-materi bekas tambang yang diambil adalah materi-materi yang tidak terbarukan. Salah satu jenis tambang yang banyak beroperasi di Indonesia adalah tambang batu gamping (lime stone). Tambang batu gamping atau kapur biasanya dilakukan di kawasan batuan karst. Di Indonesia kawasan batuan karst tersebar hampir di setiap pulau besar seperti, Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua (Anonim, 2013). Sedangkan berdasarkan penggolongannya, tambang batu gamping merupakan merupakan bahan galian industri. Batuan gamping tersusun dari batuan gamping non klastik; merupakan koloni binatang laut “gamping koral” penyusun utama adalah koral dan batuan gamping klastik; hasil rombakan batu gamping akibat erosi, transportasi dan sedimentasi (Zulkifli, 2014).

(22)

mengantongi ijin operasi. Untunglah, pada tahun 2015, banyak pabrik pengolahan hasil tambang gamping tersebut telah berhenti beroperasi, bersamaan dengan terbitnya Peraturan Gubernur (pergub) no 31 tahun 2015. Munculnya pergub tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Pribadi, 2015).

Lepas dari polemik tentang legal penambangan, pergub dan perundang-undangan di atas, praktek penambangan yang terjadi di daerah Gunungkidul telah menyisakan dampak kerusakan lingkungan bagi kawasan Gunung Sewu Geo Park yang telah ditetapkan oleh United Nation, Education, Science, Cultural Organization (UNESCO) sebagai wilayah warisan dunia. Sebagai kawasan yang telah dilindungi oleh UNESCO, seharusnya praktek ekploitasi lingkungan di kawasan tersebut tidak boleh terjadi.

(23)

kars, hilangnya top soil di wilayah kars yang mengancam biodiversitas lingkungan sekitar, dan masih banyak lagi dampak yang lain (William, 2001).

Dalam suasana reflektif, saat merenungkan bahan retret tentang Laudato si di Pantai Slili, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta pada bulan Juni 2015, penulis merasa semakin diteguhkan untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan hidup, khususnya ketika membaca bagian ensiklik yang menyoroti soal hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam ensiklik tersebut disebutkan bagaimana sumber daya bumi dijarah karena konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka pendek. Hilangnya hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk makanan tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya. Berbagai spesies mengandung gen yang bisa menjadi sumber daya kunci pada tahun-tahun mendatang memenuhi kebutuhan manusia dan mengatur beberapa masalah lingkungan (Fransiscus, 2015).

(24)

Pendidikan Biologi Sanata Dharma di desa Putat, Gunungkidul, Yogyakarta serta beberapa jenis tanaman herbal di Laboratorium Pendidikan Biologi Sanata Dharma.

Dalam tataran ranah akademik, penulis tetap ingin mewujudkan perhatian di bidang konservasi dengan melakukan sebuah penelitian yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang, yaitu “Pengaruh Waktu Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular terhadap Pertumbuhan Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai Tumbuhan Pionir Pengembalian Kesuburan Tanah Bekas Tambang Kapur”. Gagasan ini awalnya muncul karena dipicu oleh ajakan seorang teman (Tegar Yudha Restuti S.Pd) untuk menyusun sebuah proposal penelitian tentang cara melakukan reklamasi lahan bekas tambang secara efektif dengan menggunakan cendawan mikoriza arbuskular. Cendawan mikoriza adalah jenis cendawan yang dapat bersimbiosis mutualistik dengan banyak jenis tanaman. Simbiosis tersebut terjadi pada bagian akar tanaman. Dalam simbiosis ini, tanaman dibantu oleh cendawan mikoriza dalam mengabsorbsi nutrisi dari dalam tanah. Sebagai gantinya, cendawan mikoriza mendapatkan karbohidrat dari tanaman guna mendukung pertumbuhan.

(25)

melakukan fiksasi nitrogen. Dengan kata lain, selain dapat bermutualisme dengan mikoriza, koro hijau juga dapat menambat nitrogen yang nantinya juga memiliki potensi dalam menyuburkan kembali lahan bekas tambang.

Penelitian tentang reklamasi lahan bekas tambang ini menjadi lebih menarik pada saat kegiatan tersebut sejalan dengan concern yang penulis miliki. Meskipun di daerah Yogyakarta, tempat di mana penulis menempuh studi, tidak terlalu merasakan adanya dampak dari kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan, namun peneliti merasakan pentingnya nilai penelitian ini dalam konteks yang lebih luas. Dengan kata lain, jika nantinya aplikasi dari hasil penelitian ini membuahkan hasil yang baik, hasil tersebut dapat digunakan untuk proses reklamasi lahan bekas tambang batu gamping di banyak tempat lain di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin diteliti yaitu : 1. Apakah waktu pemberian CMA memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman koro hijau?

2. Apakah terjadi simbiosis mutualistik antara mikoriza dengan tanaman koro hijau sebagai tumbuhan pionir?

(26)

C. Batasan Masalah

1. Penelitian ini tidak meliputi pengamatan terhadap jenis-jenis cendawan mikoriza yang bersimbiosis mutualistik dengan tanaman koro hijau. 2. Identifikasi spesies CMA yang digunakan tidak dilakukan.

3. Penelitian tidak dilakukan lokasi tambang bekas kapur, melainkan dengan mengambil sampel tanah dari lokasi bekas tambang atas dasar hasil observasi.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk:

1. Menguji pengaruh waktu terhadap pemberian CMA pada tanaman Koro hijau.

2. Menguji ada tidaknya simbiosis mutualistik yang terjadi antara CMA dan tumbuhan koro hijau sebagai tumbuhan pionir.

3. Menguji pengaruh pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan tanaman koro hijau dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa pemberian CMA).

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

(27)

2. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan materi pembelajaran biologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), khususnya pada materi pembelajaran tentang kerusakan lingkungan dan upaya pelestariannya di kelas X atau tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kelas XII.

3. Bagi Siswa

Penelitian ini dapat diaplikasikan oleh para siswa dengan bentuk yang lebih sederhana dalam suatu praktikum. Dengan cara itu, pemahaman siswa terhadap persoalan lingkungan hidup menjadi lebih baik, sebab mereka langsung mempraktekkannya.

4. Bagi Ilmu Pengetahuan

(28)

9

BAB II DASAR TEORI

A. Cendawan Mikoriza 1. Pengertian Mikoriza

Mikoriza merupakah hubungan mutualistik antara akar dan cendawan. Tumbuhan inang menyediakan fungi dengan suplai gula yang tetap. Sementara itu, cendawan meningkatkan area permukaan bagi pengambilan air dan juga menyuplai tumbuhan dengan fosfat dan mineral-mineral lain yang diabsorbsi dari tanah. Mikoriza juga menyekresikan faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang akar untuk tumbuh dan bercabang, seperti antibiotik yang membantu melindungi tumbuhan dari patogen-patogen di dalam tanah (Campbell, 2010).

Simbiosis mutualistik utama mikoriza terdiri dari dua tipe: ektomikoriza dan mikoriza arbuskular (endomikoriza). Dalam ektomikoriza, miselum (masa hifa yang bercabang) membentuk selubung yang rapat, atau mantel, di permukaan akar. Hifa cendawan membentang dari mantel ke dalam tanah, sehingga meningkatkan area permukaan absorpsi air dan mineral. Hifa juga tumbuh ke dalam korteks akar. Hifa ini tidak menembus sel-sel akar namun membentuk jejaring di apoplas, atau rongga ekstraselular, yang memfasilitasi pertukaran nutrien antara fungi dan tumbuhan (Campbell, 2010).

(29)

menyediakan akumulasi ion secara selektif dan penyerapannya, memobilisasi macam-macam nutrien pada tanah-tanah yang kurang subur, meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap air dari tanah. Mikoriza juga mengurangi tingkat kerentanan inangnya terhadap invasi patogen dengan memanfaatkan akar karbohidrat dan unsur-unsur kimiawi lain menjadi lebih menarik bagi patogen. Mikoriza menyediakan pembatas fisik bagi patogen dan sebagai gantinya, tanaman menyediakan cadangan karbohidrat secara konstan bagi mikoriza (Robert dan Thomas, 2001).

Akar tanaman dapat membentuk simbiosis mikoriza hanya jika terpapar oleh spesies cendawan yang sesuai. Akar tanaman yang terinfeksi cendawan umumnya lebih tebal, lebih pendek dan lebih bercabang-cabang. Di alam, sekitar 10 % famili tumbuhan memiliki spesies yang membentuk asosiasi dengan mikoriza dan banyak di antara spesies-spesies tersebut merupakan tumbuhan berkayu, termasuk anggota family pinus, spruce, ek, walnut, brich, willow dan eukaliptus (Campbell, 2010).

2. Kelompok Cendawan Mikoriza

(30)

rumput di mana mereka dapat berasosiasi dengan tanaman dari keluarga Ericaceae (Treseder, 2013).

Dari ketiga jenis mikoriza di atas, CMA adalah jenis cendawan yang banyak berperan dalam meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan di alam. Sebagai contoh, CMA meningkatkan biodiversitas tanaman dan padang rumput sekitar 30%. CMA juga memberikan kemudahan dalam hal pembibitan tanaman, khususnya pada saat proses penyemaian biji, sebab CMA dapat membantu biji-bijian tanaman memiliki kemampuan lebih cepat dalam memperoleh nutrisi yang diperlukan (Khasa dkk, 2009).

3. Taksonomi CMA

(31)

Tabel 2.1: Taksonomi CMA Menurut Schubler (2010) Filum Glomeromycota

Kelas Glomeromycetes

Ordo Famili Genus Spesies

Glomerales Glomeraceae Dominikia Dominikia aurea

Funneliformis Funneliformis africanum Glomus Glomus australe

Kamiesnskie Kamienskia perpusilla Rhizophagus Rhizophagus arabicus Sclerocystis Sclerocystis alba Septoglamus Septoglomus fuscum

Clariodeoglomuraceae Clariodeoglomus Claroideoglomus etunicatum

Diversiporales Gigasporaceae Bulbospora Bulbospora minima Cetraspora Cetraspora auronigra Dentiscustata Dentiscutata erythropus Gigaspora Gigaspora candida Intraornatospora -

Paradentiscutata -

Racocetra Racocetra gregaria Scutellospora Scutellospora alterata

Acaulosporaceae Acaulospora Acaulospora cavernata

Pacisporacea Pacispora Pacispora patagonica

Diversisporaceae Corymbiglomus Corymbiglomus tortuosum Diversipora Diversispora gibbosa Otospora Otospora bareae Redeckera Redeckera pulvinatum Tricispora -

Sacculosporaceae Sacculospora Sacculospora felinovii

Paraglomerales Paraglomeraceae Paraglomus Paraglomus brasilianum

Archaesporales Geosiphonaceae Geosiphon Geosiphon pyriformis

Ambisporaceae Ambispora Ambispora callosa

Archaeosporaceae Archaeospora Archaeospora schenckii

(32)

Paradentiscutata dan Tricispora. Di Indonesia, jenis mikoriza yang paling banyak berasal dari tiga genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora. Ketiga genus cendawan tersebut sering berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Musfufah, 2016).

Taksonomi CMA bervariasi terkait dengan kontribusinya terhadap pengambilan nutrisi bagi tanaman. Beberapa genus, seperti Scutellospora dan Gigaspora membentuk sejumlah hifa yang luas sehingga dapat mengakuisisi nutrien secara lebih baik. Genus yang lain seperti Glomus, Funneliformis dan Rhizophagus membentuk biomasa hifa lebih sedikit, dan membentuk mutualisme yang lebih rendah. Namun, produksi yang lebih besar terhadap ekstra radikal hifa tidak selalu membawa pada keuntungan bagi tanaman. Sejauh rasio antara persentase panjang akar yang terkolonisasi dan ekstra radikal biomasa hifa beragam, tidaklah terlalu jelas sejauh apa baiknya panjang akar yang terkolonisasi menyatakan keuntungan yang diperoleh tanaman inang jika harus melampau macam-macam taksonomi CMA (Verhoef, 2010).

4. Keuntungan CMA bagi Tanaman

Dilihat dari sisi keuntungannya bagi berbagai jenis tanaman, CMA dapat membantu tanaman dalam hal, yaitu:

a. Meningkatkan daya serap air dan hara terutama yang relatif immobile seperti P, Cu dan Zn, juga yang relatif mobil seperti K, S, NH4+, dan Mo.

(33)

c. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah tidak subur, dan terhadap kemasaman dan toksisitas Al, Fe dan Mn pada tanah masam.

d. Meningkatkan nodulasi dan daya fiksasi N2 oleh Rhizobium pada

simbiosis legume.

e. Meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn. f. Merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi

hormon sitokinin, auksin gibberellin, dan eksudasi asam-asam organik dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara.

g. Mempercepat fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen dipercepat, serta meningkatkan daya tahan tanaman pada awal penanaman.

h. Berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah, dalam agregasi tanah dan mengurangi erosi atau pelindian hara tanah (Kemas, 2005).

B. Macrotyloma uniflorum

1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm

(34)

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida

Order : Fabales

Family : Fabaceae Genus : Macrotyloma

Species : Macrotyloma uniflorum L. 2. Distribusi Macrotyloma uniflorum

Macrotyloma uniflorum juga dikenal dengan naman Dolichos uniflorum. Menurut United State Department of Agricultur (USDA) kedua nama tersebut mengacu pada spesies yang sama. Tanaman terebut adalah asli tanaman tropis. Kemungkinan, tanaman tersebut mengalami domestisasi di India, di mana tanaman tersebut telah dikenal di sana sejak jaman prasejarah.Di Jawa, tumbuhan ini memiliki nama lokal: kara krupuk, kara hijau atau koro legi, sedangkan di Sunda, nama tanaman ini adalah roway atopese.

(35)

bijinya. Waktu penanaman yang baik dapat dilakukan pada akhir bulan Juni. Tanaman ini akan mulai berbunga dan berbuah antara bulan Agustus ke Oktober. Secara umum, usia tanaman ini adalah 4-6 bulan.

3. Morfologi Tanaman

Tanaman ini termasuk Fabaceae (Leguminoceae) yang tergolong sub-famili Foboidea. Bunganya berbentuk kupu-kupu. Di pulau Jawa dijumpai empat jenis legum ini, yang umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan sayuran. Polong-polong yang masih muda berasa manis dan berwarna hijau tua. Berdasarkan morfologinya, legum ini berumur satu musim atau beberapa musim tergantung pada varietasnya.

Gambar 2.1. Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm)

(36)

tandan, masing-masing tandan berisi 2-6 bakal bunga. Bunga berwarna jingga pucat campur putih atau kuning pucat. Polong berwarna hijau tua, bagian ata polong membentuk garis dan bagian bawah melengkung dengan ujung polong membengkok dan membulat seperti sabit. Untuk meningkatkan daya dukung dan nilai tambah lahan pertanian, tanaman ini dapat ditanam di sela-sela tanaman di pematang, atau di sekitar pagar tanaman di pekarangan rumah. Pertumbuhan tanaman ini sangat cepat, hasil pengamatan yang dilakukan di India menunjukkan dalam waktu 6-7 minggu setelah tanam, mampu menghasilkan hijauan segar sebanyak 5-12 ton per hektar (Purwanto, 2007).

4. Kegunaan Tanaman

(37)

banyak dimanfaatkan petani sebagai tanaman lorong (alley cropping). Sebagai tanaman lorong, M. uniflorm banyak ditumpangsarikan misalnya jagung dan bunga matahari, namun terbuka juga dengan jenis tanaman budidaya lainnya. Menurut Kumar (2010) tanaman M. uniflorm sangat produktif dalam membantu pertanian tanaman budidaya dengan menyediakan kesuburan tanah, khususnya terhadap ketersediaan unsur N dalam tanah dan terciptanya iklim mikro di sekitar tanaman budidaya, misalnya jagung, bunga matahari dan jenis-jenis tanaman yang lain. Sebagai tanaman penutup tanah, legum ini sangat baik ditanam pada musim kemarau, karena sangat toleran terhadap kekeringan. Dalam penananmannya, dapat ditumpangsarikan dengan tanaman jagung atau ubi kayu.

Buah polong mudanya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, sedangkan bijinya dapat digunakan bahan baku pembuatan tempe, taoco ataupun kecap. Biji koro hijau dapat juga dijadikan sebagai sumber nutrisi bagi warga masyarakat yang kurang mengkonsumsi daging, khususnya di negara-negara yang berkembang. Biji koro dikenal juga menjadi sumber protein dan nutrisi lainnya. Biji koro mengandung karbohidrat 57.2%, protein 22%, serat 5.3%, lemak 0.5%, kalsium (287mg), fospor (311mg), besi (6.77mg) dan kalori (321 kkal) dan vitamin (Bhartiya dkk, 2015).

(38)

ginjal (Ravishankar, 2012). Tanaman koro hijau juga membantu dalam menurunkan kadar kolesterol, sebagai antioksidan, kekurangan gizi, dan pengobatan bagi penyakit kuning (Mehra, 2013). Pemanfaatan koro hijau sebagai obat tradisional lebih banyak menggunakan tepung dan ekstrak dari biji koro hijau itu sendiri serta mengkonsumsinya. Pemanfaatan dengan cara lain dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kecambah dari koro hijau itu sendiri, misalnya mencampurnya dengan salad. Mengkonsumsi kecambah koro hijau lebih memiliki banyak manfaat, selain memiliki kandungan vitamin A, C, thiamin, potassium dan zat besi, kecambah juga membantu mengurangi produksi gas dalam pencernakan dibandingkan dengan mengkonsumsinya dalam bentuk kering (Anonim, 2013). C. Batuan Kapur

1. Formasi Batuan Karst

(39)

Proses natural terbentuknya batuan karst terjadi selama ratusan ribu tahun. Formasi karst terjadi dengan meliputi interaksi antara batuan karbonat dan perairan yang sedikit asam. Asam karbonat adalah asam ringan yang terbentuk oleh air hujan dan reaksi karbon dioksida. Pada saat air hujan melalui tanah, air menyerap lebih banyak karbon dioksida dan menjadi lebih asam. Batuan karbonat yang dialiri oleh air hujan yang telah menjadi asam akan membentuk rekahan dan air merembes ke lapisan lebih rendah. Semakin sering dan banyak air yang melalui rekahan itu, maka rekahan itu pun akan menjadi semakin besar. Dengan cara seperti itulah goa-goa dan saluran-saluran air di batuan karst terbentuk (William, 2001).

2. Wilayah Karst di Gunungkidul

Wilayah Karst di Gunungkidul tersmasyur di dunia dengan sebutan Karst Gunung Sewu yang diperkenalkan pertama kali oleh Danes (1910) dan Lehmann (1936) dalam Adji, (2009). Karst ini dicirikan dengan berkembangnya kubah karstt (kegelkarstt), yaitu bentukan positif yang tumpul, tidak terjal atau sering diistilahkan kubah sinusoidal. Kegelkarstt ini dikategorikan sebagai bagian dari tipe karst tropis. Sebagai salah satu kawasan karst di Indonesia, Gunung Sewu dapat dikategorikan sebagai karst jenis terbuka (bare/nackters karst) yang dicirikan oleh bentukan karst yang merupakan fenomena termashyur dari tipografi karst yang sangat khas berupa conical hills yang tidak dijumpai pada kawasan karstt lain di seluruh dunia (Adji, 2009).

(40)

lalu) yang kemudian larut membentuk bentang alam karst. Luas kawasan Gunung Sewu terbentang dari Barat sampai ke Timur, dimulai dari pantai Parangtritis hingga Teluk Pacitan. Luasnya mencapai 126.000 hektar dan mencakup 3 provinsi yakni Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur.

Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1.485,36 km2 atau 46, 63% dari luas wilayah Yogyakarta dan terdiri dari 18 kecamatan serta 144 desa. Kawasan Geopark Gunung Sewu terdiri dari 33 situs, yang terdiri dari 30 situs geologi dan 3 situs non geologi. Wilayah Gunungkidul memiliki banyak potensi, di antaranya sebagai obyek ekowisata hutan dan alam pegunungan, agrowisata pertanian, wisata pantai, goa, variasi flora dan fauna, keunikan bidaya dan kehidupan masyarakat lokal serta budayanya (Abida dkk, 2015).

3. Tambang Kapur dan Jenis Tanah

Menurut undang-undang Direktorat Jendral Mineral dan Batubara, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral no.4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagaian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Berdasarkan undang-undang yang sama juga dikatakan bahwa asas dan tujuan pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

(41)

c. partisipatif, transparasnsi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Berdasarkan jenisnya, pertambangan dapat dibagi menjadi dua bagian; 1. tambang terbuka: Semua kegiatan dilakukan di permukaan tanah. Pada kegiatan ini, khususnya untuk bahan galian industri dinamakan quarry mining. 2. Tambang bawah tanah: Tambang bawah tanah disebut juga dengan istilah lubang tikus (Geophering). Pertambangan ini diterapkan untuk endapan bahan galian industri atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata. Arah penambangannya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang ditambang.

Berdasarkan dua jenis tambang di atas, tambang batuan kapur merupakan jenis tambang terbuka. Batuan kapur memiliki dua ciri yaitu; 1. non klastik: yang

terdiri dari koloni binatang laut “gamping koral” penyusun utama adalah koral. 2.

klastik: hasil rombakan batu gamping akibat erosi, trasporasi, sortasi dan sedimentasi.

3.1 Sifat Batu Kapur

Berikut ini adalah beberapa sifat batu gamping:

a. Secara kimia terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium atau gamping dolomitan

b. Berat jenis = 2

c. Keras, pejal dan porous

(42)

f. Ditemukan di gua-gua gamping 3.2 Manfaat Batu Kapur

a. Campuran bahan bangunan pembuatan pondasi, plester, jalan b. Penetral keasaman tanah

c. Bahan baku semen Portland

d. Bahan pemutih, penggosok, keramik, tahan api e. Bahan penjernih air.

3.3 Jenis Tanah di Sekitar Wilayah Berkapur

Jenis tanah dapat dikenali pertama-tama dengan mengetahui sifat fisik tanah itu sendiri. Secara keseluruhan sifat fisik tanah ditentukan oleh: 1. Ukuran komposisi partikel-partikel hasil pelapukan bahan penyusun tanah, 2. Jenis dan proporsi komponen-komponen penyusun partikel-partikelnya; 3. Keseimbangan antara suplai air, energi dan bahan dengan kehilanganya, 4. Intensitas reaksi kimiawi dan biologis yang telah atau sedang berlangsung (Kemas, 2005).

(43)

Perubahan suhu pada daerah yang terdapat tanah grumusol sangat nyata ketika panas dan hujan. Sementara itu, tanah kapur adalah tanah yang berasal dari batuan kapur yang mengalami pelapukan. Karena terbentuk dari tanah kapur maka bisa disimpulkan bahwa tanah ini tidak subur dan tidak bisa ditanami tanaman yang membutuhkan banyak air. Namun jika ditanami oleh pohon yang kuat dan tahan lama seperti pohon jati dan pohon keras lainnya. Selanjutnya, tanah litosol merupakan tanah yang baru mengalami perkembangan dan merupakan tanah yang masih muda. Terbentuk dari adanya perubahan iklim, topografi dan adanya vulkanisme. Untuk mengembangkan tanah ini harus dilakukan dengan cara menanam pohon supaya mendapatkan mineral dan unsur hara yang cukup. Tekstur tanah litosol bermacam-macam ada yang lembut, bebatuan bahkan berpasir (Yulia, 2015).

D. Penelitian yang Relevan

(44)

kolonisasi mikoriza pada akar kedelai. Parameter tinggi tanaman, lebar daun, bobot basah tanaman, dan bobot kering tanaman menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) pada uji ANOVA taraf 5%.

Sementara itu, Muryanto (2012) juga melakukan peneltian yang sejenis berjudul Uji Efektivitas dan Multiplikasi Spora Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Berbagai Media Pembibitan Dalbergia latifolia dengan tujuan; 1. Menguji efektivitas CMA pada berbagai media terhadap pertumbuhan bibit D. latifolia, 2. Menguji inevektifitas CMA dalam berbagai media pada pembibitan D. latifolia dan mengetahui perkembangan jumlah spora CMA dalam berbagai media pembibitan. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas CMA terhadap tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun menunjukkan rerata paling baik, khususnya pada media tanah: pasir (1:1). Adapun jenis media tanah: pasir: arang sekam (1:1:1) merupakan media terbaik untuk berat basah, berat akar, berat kering dan volume akar. Campuran media tanah, sekam dan pasir merupakan media terbaik untuk inefektivitas CMA 43% dan multiplikasi spora CMA. Selain itu, campuran media tanah dan pasir merupakan media yang memberikan hasil terbaik untuk parameter pertumbuhan jumlah daun, tinggi tanaman dan diameter batang.

E. Kerangka Berpikir

(45)

Koro hijau adalah salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang memiliki potensi besar sebagai tanaman budidaya, sekaligus sebagai tanaman pionir yang mampu mengembalikan tingkat kesuburan tanah lahan bekas tambang. Koro hijau dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah yang kering, berbatu dan berpasir seperti yang terdapat pada lahan-lahan bekas tambang di desa Ponjong.

Lahan bekas tambang kapur yang didominasi oleh tanah kapur, tanah grumosol dan tanah litosol, memiliki potensi besar untuk direklamasi dengan memanfaatkan tanaman Koro hijau yang disimbiosiskan dengan cendawan mikoriza arbuskular. Untuk menguji potensi tersebut perlu dilakukan eksperimen pengaruh waktu pemberian CMA terhadap pertumbuhan Koro hijau.

Berikut ini adalah diagram kerangka berpikir dalam penelitian ini:

(46)

F. Hipotesis

1. Waktu pemberian CMA berpengaruh terhadap simbiosis antara CMA dengan tanaman inang ( Koro hijau).

2. Waktu simbiosis mutualistik CMA dan Koro hijau yang paling baik terjadi pada perlakuan M1 (saat tanaman berusia 1 Minggu).

(47)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan model rancangan eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang ingin mencoba untuk mempengaruhi variabel tertentu, bukan hanya untuk mendeskripsikan suatu keadaan tertentu, tetapi untuk memepengaruhi dengan melakukan perlakuan tertentu. Penelitian ini adalah satu-satunya penelitian yang sungguh menguji hipotesa tentang hubungan sebab akibat. Penelitian yang ingin membuktikan suatu hipotesa. Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki satu variabel bebas dan satu atau lebih variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebas dimanipulasi untuk melihat apakah ada akibatnya terhadap variabel yang terikat. Selanjutnya, peneliti menentukan perlakuan yang mau dilakukan pada variabel bebas.

(48)

B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Juni dan diakhiri pada bulan Oktober 2016 di Kebun Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau Completely Random Design (CDR). RAL digunakan untuk percobaan yang mempunyai media atau tempat percobaan yang seragam atau homogen (Sastrosupandi, 2000).

(49)

Tabel 3.1 Denah Percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag, cangkul, skop, bambu sendok semen, gembor, semprotan kecil, alat ukur kelembapan tanah, alat ukur pH tanah, penggaris, jangka sorong digital, tali rafia, bambu, takaran air, sarung tangan, timbangan, ember, mikroskop, cawan petri, pipet, cutter, kaca benda, autoklaf, alat tulis, dan kamera.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman koro hijau (Macrotyloma uniflorm), tanah grumusol, tanah kapur, tanah litosol, pupuk CMA, pupuk cair organik, pestisida alami, dan air. KOH 10%, HCl 1%, larutan staining, trypan blue 0,05% dan minyak emersi.

Unit percobaan

(50)

E. Prosedur Kerja 1. Penyiapan lahan

Dalam penelitian ini tanaman koro hijau ditanam dalam polybag dan diletakkan pada salah satu lahan tertentu yang harus disiapkan secara khusus. Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lokasi penelitian dari berbagai macam rumput dan gulma yang mengganggu. Selanjutnya, dilakukan pembuatan pola pada lahan untuk menempatkan pot-pot polybag serta tempat khusus untuk melakukan penyiraman.

2. Penyiapan sarana tanam

Penyiapan sarana penanaman yang diperlukan meliputi penyiapan wadah tanaman, media tanam dan pembibitan.

a. Penyiapan wadah tanaman

Wadah tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag yang terbuat dari plastik berbentuk bulat lonjong. Wadah tanam yang digunakan memiliki kedalaman 35 cm dan diameter 35 cm. Pada bagian samping wadah tanam terdapat lubang drainase

b. Penyiapan media tanam

(51)

tersusun dari materi makhluk hidup berupa pelapukan sisa-sia hewan dan tanaman. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perbandingan konsetrasi media adalah 3:1:1:1 untuk tanah kapur, tanah grumosol, tanah litosol dan pupuk organik sebanyak 0.96 kg. Jumlah total pada masing-masing polybag adalah 6 kg.

1) Media Tanam Perlakuan 1-3

a) Siapkan tanah kapur, tanah grumosol, tanah litosol dan pupuk organik dengan perbandingan 3:1:1:1.

b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.

c) Media tanah yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag hingga memenuhi ¾ volume polybag.

2) Media tanam kontrol negatif

a) Siapkan tanah kapur dan pupuk organik dengan perbadingan 3:1 menggunakan ember.

b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.

c) Media yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag.

3). Penyiapan bibit

(52)

dan dipindahkan pada media tanam dengan memperhatikan kesamaan rata-rata jumlah daun dan tinggi tanaman.

3. Penanaman tanaman koro hijau

a. Media tanam di polybag disiram sampai basah.

b. Membuat lubang pada bagian tengah media dengan kedalaman 5 cm. c. Menanam bibit koro hijau pada pada lubang yang telah disiapkan.

d. Setelah bibit ditanam, media tanam disiram kembali dengan air sebanyak 200 ml.

e. Polybag yang telah berisi tanaman koro hijau ditempatkan pada lokasi yang telah disediakan agar mendapat sinar matahari secara penuh.

4. Pemeliharaan tanaman koro hijau a. Penyiraman

(53)

b. Pemberian bambu lanjaran

Pemberian lanjaran berupa belahan bambu diberikan pada tanaman koro hijau yang telah tumbuh dan membutuhkan media rambat. Agar menancap cukup kuat, lanjaran ditancapkan pada tanah di luar media polybag. Panjang lanjaran adalah 2 meter.

c. Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman

Pengendalian terhadap organisme tanaman dilakukan dengan cara mencabut langsung jenis-jenis gulma yang mungkin tumbuh di sekitar polybag atau di dalam polybag. Sementara itu, untuk organisme lain yang berupa hama dan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan menggunakan pestisida alami. Jenis hama dan penyakit tanaman yang umumnya menyerang tanaman koro adalah belalang, ulat, kutu, dan virus dari famili Begomovirus yang mengakibatkan mozaik kuning pada daun koro. Pestisida alami dibuat menggunakan campuran bawang putih, cabe, serai, air dan sedikit diterjen.

Berikut ini adalah langkah kerja pembuatan pestisida alami dengan bahan-bahan di atas:

1. Disiapkan bawang putih yang telah dikupas sebanyak 50 gram, cabe rawit sebanyak 10 gram, serai sebanyak 3 batang, deterjen sebanyak 5 gram dan air sebanyak 1 liter.

2. Bawang putih, cabai rawit dan serai ditumbuk hingga menjadi halus.

3. Bahan yang telah ditumbuk dicampur dengan air (1 liter) dan diterjen (5 gram). Kemudian didiamkan selama 24 jam.

(54)

5. Dilakukan pengenceran dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali volume pestisida alami sebelum dilakukan penyemprotan.

Campuran bahan-bahan pestisida di atas memiliki bau yang menyengat dan tidak disukai hama dan penyakit tanaman. Selain itu, jika mengenai permukaan kulit organisme tersebut dapat menimbulkan rasa panas dan iritasi. Bahan-bahan tersebut dipilih sebab mudah didapat dan harganya tidak terlalu mahal.

5. Pengamatan

a. Pengamatan pertumbuhan

(55)
(56)

No Tgl Indikator Pertumbuhan

Perlakuan dan Kontrol Kontrol Negatif

(K)

(57)

b. Pengamatan akar

Pengamatan akar dilakukan dengan menentukan kolonisasi CMA terhadap akar tanaman koro hijau. Persentasi mikoriza dihitung dengan menggunakan prosedur Kormanik dan Mc. Graw (1982) dalam Nurhandayani dkk (2013) dengan modifikasi. Sampel akar diproses dengan tahapan clearing, staining dan destaining. Clearing dilakukan dengan memotong akar koro hijau 1 cm. Selanjutnya, potongan akar direndam dalam larutan KOH 10% dan di masukkan dalam autoklaf selama 10 menit. Potongan akar dalam larutan KOH dibilas menggunakan air mengalir dan kemudian direndam dalam larutan HCl 1% selama 5-10 menit. Proses staining dilakukan dengan merendam akar dalam larutan staining ditambah trypan blue 0,05% selama 7 menit. Destaining dilakukan jika warna trypan blue terlalu pekat. Kolonisasi akar oleh CMA dihitung dengan metode slide (Nurhandayani dkk, 2013). Langkah selanjutnya adalah mengambil 9 potong akar yang telah diwarnai dan disusun di atas kaca preparat. Dalam pengamatan dengan mikroskop, bidang pandang yang menunjukkan tanda kolonisasi (hifa, vesikel atau arbuskula) diberi tanda (+), sedangkan yang tidak menunjukkan tanda kolonisasi diberi tanda (-). Presentasi kolonisasi akar oleh mikoriza dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

∑Bidang pandang tanda (+)

% Kolonisasi mikoriza pada akar = --- X 100%

∑Bidang pandang keseluruhan

Tingkat Infeksi akar terdiri dari 5 kelas:

(58)

Kelas 2 bila kolonisasi akar 6%-25% (rendah); Kelas 3 bila kolonisasi akar 26%-50% (sedang); Kelas 4 bila kolonisasi akar 51%-75% (tinggi); Kelas 5 bila kolonisasi akar 75%-100% (sangat tinggi. F. Analisa Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan tes ANOVA (Uji F, Analysis of Variance). Tes ini digunakan untuk mengetes kelompok lebih dari dua. Misalnya 3 atau 4 kelompok, atau lebih. Secara umum uji F dibedakan menjadi dua: (1) Anova untuk One Factor between Designs; dan (2) Anova untuk One Factor within Subject Design. Between design digunakan bila kelompok yang diuji itu independen, sedangkan within design bila kelompoknya dependen. Uji Anova yang digunakan dalam penelitian ini adalah anova untuk one factor between subject designs. Uji ini digunakan untuk menguji tiga atau lebih kelompok yang terpisah secara independen (Suparno, 2014).

(59)

No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif

(60)

No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif

(61)

Tabel 3.5 Rerata Diameter Batang Tanaman Koro Hijau

M1: Perlakuan Minggu pertama dengan 6 ulangan (M1.1-M1.6). M2: Perlakuan Minggu kedua dengan 6 ulangan (M2.1-M2.6). M3: Perlakuan Minggu ketiga dengan 6 ulangan (M3.1-M3.6). K: Kontrol Negatif dengan 6 ulangan (K.1-K.6).

(62)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K) Keterangan

(63)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K)

Keterangan

(64)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K)

Keterangan

1: Ulangan 1, 2: Ulangan 2, 3: Ulangan 3, 4: Ulangan 4, A: Ulangan 5, 6: Ulangan 6

Berdasarkan data-data di atas, variansinya dianalisis untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata di antara kelompok-kelompok perlakuan di atas. Perhitungan selanjutnya, untuk melakukan analisis digunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS).

(65)

46

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Hasil Rerata Pertumbuhan

Indikator pertumbuhan dalam percobaan ini adalah rerata pertumbuhan (panjang batang, jumlah daun dan diameter batang) tanaman koro hijau. Berikut ini adalah tabel rerata pertumbuhan dari perlakuan M1, M2, M3 dan Kontrol:

Tabel 4.1. Rerata Pertumbuhan Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang Tanaman Koro Hijau

No Perlakuan

K: Kontrol Negatif (tanpa mikoriza).

(66)

rerata di bawah dan sama (khusus pada rerata diameter batang) dengan perlakuan K sebagai kontrol negatif.

2. Uji Normalitas dan Homgenitas a. Uji Normalitas

Data populasi akan berdistribusi normal jika rata-rata nilainya sama dengan modenya serta sama dengan medianya. Ini berarti bahwa sebagian nilai (skor) mengumpul pada posisi tengah, sedangkan frekuensi skor yang rendah dan yang tinggi menunjukkan kondisi yang semakin sedikit seimbang (Irianto, 2004).

Uji normalitas yang kemudian digunakan adalah One-sample Kolmogorov-Smirnov Test dengan menggunakan program SPSS. Uji

Kolmogorov-Smirnov adalah uji beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data norma baku. Seperti pada uji beda biasa, jika signifiknsinya di bawah 0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan, dan jika signifikansinya di atas 0,05 maka tidak terjadi perbedaan yang signifikan (Hidayat, 2012). Berdasarkan uraian ini, data-data normalitas panjang batang, jumlah daun dan diameter batang (lihat lampiran II.A) berdistribusi secara normal sebab memiliki nilai signifikasi di atas 0,05, yaitu secara berurutan; 0.491, 0.445 dan 0.552.

b. Uji Homogenitas Varians

(67)

populasi data tidak sama dan jika nilai signifikansi atau nilai probabilitas > 0,05, maka dikatakan bahwa varian dari dua atau lebih kelompok populasi data adalah sama (Raharjo, 2014).

Berdasarkan uji homogenitas varians (lihat lampiran II.B), dihasilkan levene statistic 0.494, sig 0,693; levene statistic 0,72, sig 0,974 dan levene statistic 1.026, sig 0.416 > 0,05, pada level probabilitas yang artinya, pemberian pupuk CMA pada waktu yang berbeda bagi pertumbuhan panjang batang, jumlah daun dan diameter batang memiliki varians yang sama (homogen).

Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas, data pertumbuhan koro hijau berdistribusi normal dan memiliki vairans yang homogen, oleh karena itu dapat dilanjutkan dengan uji anova.

3. Uji Anova Satu Faktor

(68)

Karena nilai probabilitas jumlah daun dan diameter batang yaitu 0,036 dan 0,033 < 0,05 maka dilakukan uji lanjut, yaitu post hoc; uji Tukey HSD (lihat lampiran II.D). Dari hasil uji Tukey HSD diketahui bahwa perlakuan M3 adalah variabel yang berbeda signifkan dengan kontrol negatif. Perbedaan mean M3 terhadap kontrol negatf adalah -16 dan perbedaan mean kontrol negatif terhadap M3 adalah 16. Sementara itu, perlakuan M1 dan M2 tidak menunjukkan perbedaan mean yang signifikan. Hasil uji Tukey HSD untuk diameter batang menunjukkan tidak adanya perbedaan mean yang signifikan antar variabel.

4. Panjang Akar

Berdasarkan perbandingan kuantitatif panjang akar tanaman koro hijau di akhir masa perlakuan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.2. Rata-rata Panjang Akar per Perlakuan dan Kontrol

No Perlakuan dan Kontrol (Cm)

1 M1 M2 M3 K

2 46.25 47.375 48.5 40.875

Keterangan: M1: Minggu 1 M2: Minggu 2 M3: Minggu 3

K : Kontrol Negatif

(69)

Gambar 4.1: Panjang akar koro hijau M1, M2, M3 dan Kontrol negatif

5. Infeksi CMA

Tingkat infeksi akar tanaman koro hijau oleh CMA dihitung dengan cara mengambil tiga sampel tanaman pada perlakuan M1, M2 dan M3. Dari masing-masing tanaman tersebut diambil tiga sampel ujung serabut akar sepanjang 1 cm dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Selanjutnya dari masing-masing sampel ujung serabut akar dilakukan pengamatan terhadap 5 bidang pandang mikroskop secara acak.

(70)

Ganbar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza; A. Hifa internal, B. Arbuskular, C. Vesikel, D. Sel akar

Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan infeksi CMA: Tabel 4.3. Persentase Infeksi CMA

No Perlakuan

1 M1 M2 M3

2 52.4% 59.8% 30.6%

Tingkat infeksi akar dapat digolongkan ke dalam 5 kelas sebagai berikut: Kelas 1 bila kolonisasi akar 0%-5% (sangat redah)

Kelas 2 bila kolonisasi akar 6%-25% (rendah) Kelas 3 bila kolonisasi akar 26%-50% (sedang) Kelas 4 bila kolonisasi akar 51%-75% (tinggi)

Kelas 5 bila kolonisasi akar 75%-100% (sangat tinggi)

Berdasarkan tingkat infeksi akar di atas, perlakuan M1 berada pada kelas 4 (tinggi) sebab mengalami tingkat infeksi sebesar 52.4%, sedangkan perlakuan M2 juga berada pada kelas 4 (tinggi) namun memiliki persentase infeksi yang lebih

(71)

tinggi, yaitu 59,8%. Perlakuan M3 berada di kelas 3 (sedang) dengan tingkat infeksi sebebsar 30.6%.

B. Pembahasan

(72)

indikator pertumbuhan pada perlakuan dibandingkan dengan kontrol negatif dapat dianalisa lebih lanjut berdasarkan jenis media tanam yang berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman.

Pengaruh waktu pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dapat pula dilihat dengan mengamati morfologi dan panjang akar serta membandingkan tingkat infeksi CMA terhadap akarnya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, panjang akar tanaman bukanlah indikator yang tepat terhadap efektivitas CMA bagi pertumbuhan koro hijau. Tingkat ketebalan akar, banyaknya rambut akar serta tingkat infeksi CMA justru menjadi indikator yang lebih kuat. Tingkat ketebalan akar menunjukkan bahwa adanya tingkatan mutualisme antara akar tanaman inang dengan CMA. Menurut Salisbury dan Ross (1992), CMA akan membentuk selimut di luar dan di dalam akar, di ruang antar sel epidermis dan kortek. Selanjutnya, CMA akan memproduksi hifa eksternal secara intensif pada akar tanaman inang, sehingga akar tanaman yang bermikoriza akan lebih optimal dalam berfotosintesis, mengadsorpsi air dan nutrisi dari dalam tanah. Dari hasil pengamatan, perlakuan M1 memiliki tingkat ketebalan akar paling baik dibandingkan dengan perlakuan M2, M3 dan kontrol.

(73)

infeksi dimulai dengan perkecambahan spora di dalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks, pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskular, vesikel, hifa internal di antara sel-sel korteks dan hifa eksternal. Penetrasi hifa dan perkembanganya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel.

Tingkat infeksi CMA yang tinggi pada akar tanaman akan memudahkan akar tanaman dalam menyerap unsur-unsur hara yang penting bagi pertumbuhan. Ketabalan dan panjang akar akan memperluas ruang permukaan penyerapan unsur hara yang berada di sekitar perakaran. Dengan cara itu, tanaman dengan mudah dapat menyerap unsur hara yang terdapat di arbuskular. Tanaman juga tidak akan kekurangan unsur hara, sebab terdapat ruang penyimpanan unsur hara di vesikel. Sementara itu, suplai unsur hara dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman ditransportasikan dengan lebih mudah oleh hifa eksternal dan hifa internal.

(74)

Berdasarkan proses perkembangan akar, perlakuan M3 memiliki panjang akar yang paling besar. Namun, ciri tersebut justru tidak menunjukkan bentuk mutualisme yang baik antara akar tanaman dengan CMA. Pertumbuhan akar yang baik memampukan akar tanaman untuk menyerap nutrisi yang ada di sekitar perakaran. Menurut Clarx (1997) dalam Soenartiningsih (2013), CMA bekerja dengan menutupi bagian eksterior akar di dekat bagian ujung akar dengan hifa yang membentuk seperti mantel. Hifa cendawan yang lainnya akan menyebar ke segala arah dari ujung akar ke seluruh bagian tanah hingga sejauh 8 m. Hifa yang lainnya akan melakukan penetrasi antara bagian selaput sel akar tanaman inang untuk membentuk sebuah jaringan penyerapan nutrisi. Berdasarkan ciri perkembangan akar yang mengalami infeksi mikoriza, Khasa dkk (2009) menjelaskan bahwa perkembangan awal simbiosis CMA dengan tanaman inang menunjukkan relasi negatif terhadap geotropisme.

(75)

2. Pengaruh Jenis Tanah terhadap Simbiosis Mutualistik CMA

Pemanfaatan CMA bagi pertumbuhan koro hijau sebagai tanaman pionir untuk reklamasi lahan bekas tambang kapur sangat diperlukan. Menurut Paryudyaningsih dan Sari (2013), tanah di lahan bekas tambang kapur memiliki karakteristik yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman karena memiliki kualitas tanah yang buruk baik secara kimia, fisika dan biologi. Namun, dengan adanya asosiasi dengan CMA dan penambahan pupuk organik pada media tanam memungkinkan tanaman dapat memperoleh unsur hara yang cukup.

Menurut Salisbury dan Ross (1992), mikoriza menawarkan keuntungan besar pada tanaman yang hidup di tanah tandus. Bahkan tanpa mikoriza yang mampu menyerap unsur hara, banyak komunitas tanaman yang tidak mampu bertahan. Dalam percobaan ini, tanaman koro hijau dapat tumbuh secara lebih efektif dengan adanya bantuan CMA, terkhusus di masa awal hidupnya.

Dalam percobaan ini, perlakuan M1, M2 dan M3 menggunakan 50% tanah kapur, 33,3 % tanah grumosol dan litosol serta hanya 16.7% pupuk organik sebagai tanah subur. Menurut Yulia (2015), tanah kapur, tanah grumosol dan litosol berdasarkan ciri-cirinya adalah jenis tanah yang kurang subur. Oleh karena itu, pentingnya peranan CMA dan ketersediaan unsur mineral penting yang mencukupi sangat diperlukan agar tanaman koro hijau dapat tumbuh dengan baik.

(76)

mekanisme peyerapan mineral tanah yang lebih efektif pada saat ujung akar tanaman masih berusia muda. Semakin tua usia perakaran tanaman, semakin sulit dalam penyerapan unsur-unsur hara tanah. Menurut Salisbury dan Ross (1992), mikoriza mampu menyerap hara secara cepat, terutama di dekat ujung akar tempat hifa cendawan berkumpul dan agak kurang cepat di daerah yang lebih tua. Ujung akar lebih kerap terpajan pada garam mineral-larut yang berkonserntrasi tinggi daripada bagian yang lebih tua, karena bagian yang lebih tua ini berkedudukan di bagian tanah yang sudah lebih dulu tergali oleh ujung akar yang sedang tumbuh. Khasa dkk (2009) melaporkan bahwa adanya CMA meningkatkan mobilisasi nutrisi bagi tanaman. Selain itu, CMA juga meningkatkan mobilisasi nutrisi pada tanah yang memiliki jumlah nutrisi yang konsentrasinya rendah.

(77)

tanah sehingga memberikan juga ruang hidup yang optimal bagi mikroba tanah yang dapat membantu pertumbuhan tanaman.

3. Peningkatan Kesuburan Tanah Lahan Bekas Tambang Kapur

Tingkat kesuburan tanah di suatu wilayah memiliki beberapa syarat. Secara umum, syarat bagi kesuburan tanah ditentukan oleh ketersediaan air, mikroorganisme, biota tanah, banyaknya jenis tanaman dan jenis tanah. Selain itu, kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh ketersediaan humus, tanah liat yang mencukupi dan pH tanah yang netral (Anonim, 2015). Kurang terpenuhinya beberapa syarat kesuburan tanah di atas dapat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah.

Dibandingkan dengan syarat-syarat kesuburan tanah di atas, lahan bekas tambang kapur memiliki banyak kekurangan. Di antaranya adalah jumlah air yang terbatas, karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, jumlah mikroorganisme yang lebih sedikit dan biota tanah yang terbatas. Berdasarkan hasil observasi, jumlah humus dan tanah liat pun juga sangat kurang. Jenis tanah yang mendominasi lahan bekas tambang kapur adalah tanah kapur, grumosol dan litosol. Sebagaimana telah di bahas sebelumnya, ketiga jenis tanah tersebut adalah jenis tanah yang kurang subur.

Gambar

Gambar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza ....................................................
Tabel 2.1: Taksonomi CMA Menurut Schubler (2010)
Gambar 2.1. Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm)
Gambar 2.2: Diagram Kerangka Berpikir
+7

Referensi

Dokumen terkait