PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU
(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh : DIENG KARNEDI
NIM: 131434015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarya, 23 Desember 2016 Penulis
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:
Nama : Dieng Karnedi NIM : 131434015
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU
(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, untuk mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta
Pada tanggal : 23 Desember 2016 Yang menyatakan,
vi ABSTRAK
PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU
(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR
Dieng Karnedi 131434015
Universitas Sanata Dharma
Salah satu usaha untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang kapur adalah dengan menanam jenis tanaman pionir tertentu untuk mengembalikan kesuburan tanah. Solusi ini akan lebih efektif dengan adanya simbiosis antara tanaman pionir dengan cendawan mikoriza arbuskular (CMA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dan menguji simbiosis mutualistiknya, serta menguji pengaruh pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa CMA).
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Percobaan dilakukan pada 24 sampel tanaman yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol yang didesain menjadi penelitian satu faktor yakni menguji efektivitas pemberian pupuk CMA pada waktu yang berbeda. Pemberian CMA dilakukan 5 hari sekali dengan cara menaburkannya di sekitar perakaran tanaman. Pengambilan data dilakukan 5 hari sekali selama 50 hari dengan melakukan pengukuran terhadap panjang batang, jumlah daun dan diameter batang. Panjang akar dan tingkat infeksi CMA pada akar diukur pada masa akhir percobaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pemberian CMA berpengaruh signifikan bagi pertumbuhan Koro hijau, pemberian CMA pada minggu pertama (M1) terbukti paling efektif dalam bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inang dan berpengaruh lebih besar bagi pertumbuhan dibandingkan dengan tanaman kontrol (K).
vii ABSTRAK
EFFECT OF TIME’S GIVING OF ARBUSKULAR MYCORRHIZA FUNGI (AMF ) F OR KORO HIJAU (Mycorrhizal uniflorm) GROWTH AS PIONEER
PLANTS F OR SOIL FERTILITY EX-LIME MINE
Dieng Karnedi 131434015
Universitas Sanata Dharma
One of the reclamation effort of ex-lime landmine is by planting a certain pioneer’s plant in order to restore soil fertility. This solution would be more effective with the presence of symbiosis between pioneer plants with Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF). This research was conducted to identify the influence of time’s giving of AMF for the growth of Koro hijau and examine it’s symbiosis mutualism, as well as examine the effect of giving AMF for Koro hijau’s growth compared to control plants (without AMF).
This research is an experimental research. The research was conducted to 24 plant samples which consisted of 3 treatments and 1 control which was designed using one factor ANOVA as its statistical analysis become one factor research that was examining the effectiveness of giving AMF fertilizer in different time. AMF was given in three different time sequences with one week interval as three different application treatments by spreading around in near its roots plant. The data was collected in every 5 days for 50 days by measuring the length of the stem, number of leaves and stem diameter. Root length and its AMF infection rate were measured at the end of the experiment.
The results showed that the time’s giving of AMF is significantly affect the growth of Koro hijau and the first week (M1) have proven most effective in mutualistic symbiosis with the host plant and the effect of growth is greater compared to control plants (K).
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang berlimpah penulis haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Baik, Penuh Kasih dan Pengharapan, sebab hanya karena rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Banyak hal yang dialami dan dirasakan oleh penulis selama menjalankan dinamika perkuliahan di Universitas Sanata Dharma tercinta ini. Pencapaian yang dialami penulis sampai sejauh ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah mendukung, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang menyelesaikan studi ini.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Romo Provinsial Serikat Jesus yang telah memberikan perutusan dan dukungan kepada penulis untuk melakukan studi khusus.
2. Komunitas Robertus Bellarminus, khususnya komunitas Pradnya Laksita yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam menempuh masa studi dengan penuh afeksi dan perhatian.
3. Mbak Chatarina Riyanti dan keluarga yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan serta melalui kelimpahan doa-doanya.
4. Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang utuh
5. Program Studi Pendidikan Biologi yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk menimba ilmu
6. Kaprodi dan para Dosen Pendidikan Biologi yang telah meluangkan waktu untuk membagikan ilmu dan juga telah berdinamika bersama baik saat menjalani perkuliahan di kelas maupun di luar kelas
7. Romo Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J yang telah mendampingi dengan penuh semangat dan kedekatan selama penulis menjalankan perkuliahan maupun selama mengerjakan tugas akhir.
ix
9. Teman – teman Pendidikan Biologi angkatan 2013 yang dengan caranya masing-masing telah mendukung, menyemangati, dan menjadi sahabat-sahabat seperjuangan selama menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Khususnya, Paulina Yuliani, Maria Magdalena Melina yang banyak membantu selama masa penelitian.
10. Semua pihak yang telah mendukung serta membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi melengkapi dan membuat tulisan ini menjadi layak untuk dibagikan dan dipercaya.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………...………..……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..………ii
LEMBAR PENGESAHAN………iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…...……….v
ABSTRAK………..………vi
2. Kelompok Cendawan Mikoriza………...………10
xi
B. Macrotyloma uniflorum………..………...14
1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm………...…..14
2. Distribusi Macrotyloma uniflorum………...………...15
3. Morfologi Tanaman…………...………..………....16
4. Pemeliharaan tanaman koro hijau………..………….…………...33
5. Pengamatan………..………..35
F. Analisa Data………..………...39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….….46
A. Hasil………..……...……….46
1. Hasil rerata pertumbuhan.………..………....46
xii
3. Uji Anova satu faktor…………..………...48
4. Panjang akar………...49
5. Infeksi CMA………..50
B. Pembahasan………...…52
1. Pengaruh Pemberian CMA terhadap Pertumbuhan Tanaman Koro Hijau………..…….……….……...52
2. Pengaruh Jenis Tanah terhadap Simbiosis Mutualistik CMA ………..56 3. Peningkatan Kesuburan Tanah Lahan Beka Tambang Kapur.………..58 4. Faktor Abiotik dan Biotik yang Mempengaruhi Pertumbuhan Koro Hijau ……..……….…...59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.………...………..…67
A. Kesimpulan………..………..67
B. Saran………..………....67
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Taksonomi CMA menurut Schubler (2010)....……….…12
Tabel 3.1. Denah Percobaan..……….…30
Tabel 3.2. Hasil pengamatan tanaman Koro hijau……….…37
Tabel 3.3. Rerata panjang batan tangaman Koro hijau.……….…40
Tabel 3.4. Rerata jumlah daun Koro hijau………...…….….41
Tabel 3.5. Rerata diameter batang Koro hijau……….…..42
Tabel 3.6. Hasil panjang batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda……….…...43
Tabel 3.7. Hasil jumlah daun tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda..……….…...44
Tabel 3.8. Hasil diameter batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda...…...45
Tabel 4.1. Rerata pertumbuhan panjang batang, jumlah daun dan diameter batang tanaman Koro hijau..……….…...46
Tabel 4.2. Rata-rata panjang akar per perlakuan dan kontrol………....49
Tabel 4.3. Persentase infeksi CMA………...….…...51
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Koro hijau (Macrotyloma uniflorm) ... 16
Gambar 4.1: Panjang akar koro hijau M1, M2, M3 dan Kontrol negatif ... 50
Gambar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza ... 51
Gambar 4.3: Aphis cracivora Koch ... 62
Gambar 4.4: Stomopterix subsecivella ... 63
Gambar 4.5: Akibat serangan Peanut Mottle Virus ... 64
Gambar 4. 6: Akibat serangan Bean Yellow Mosaik Virus ... 65
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I: Data Pengamatan Indikator Pertumbuhan Koro Hijau ... 74
A. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 74
B. Hasil Panjang batangTanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 75
C. Hasil Jumlah Daun Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76
D. Hasil Diameter Batang Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76
Lampiran II: Uji Statistik Pertumbuhan Koro Hijau ... 76
A. Uji Normalitas Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 76
B. Uji Homogenitas ... 78
C. Uji Deskriptif dan Anova ... 79
D. Uji Post Hoc; Uji Tukey HSD ... 82
Lampiran III: Data Pengamatan Panjang Akar, Infeksi Mikoriza dan Faktor Ekternal Pertumbuhan ... 86
A. Panjang Akar ... 86
B. Infeksi CMA ... 86
C. pH, Suhu dan Kelembapan ... 89
Lampiran IV: Rancangan Hasil Penelitian untuk Pendidikan ... 91
A. Silabus……….. ... 91
xvi
C. Instrumen Tes Tertulis ... 109
D. Rubrik Penilaian Kognitif ... 110
E. Instrumen Non-Test ... 112
Lampiran V: Dokumentasi Penelitian ... 115
A. Bahan yang Digunakan ... 115
B. Lokasi dan Tata letak Tanaman ... 115
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang memiliki sumber daya
alam yang sangat kaya. Kekayaan alam tersebut tercermin dari keanekaragaman
hayati yang dimilikinya. Bentangan hutan dan lautan yang luas adalah contoh
konkretnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya energi yang
melimpah, baik itu berupa gas bumi, minyak bumi dan hasil tambang. Dengan
kekayaan sumber daya alam itulah, Indonesia sejauh ini mampu memenuhi
kebutuhan hampir seluruh penduduknya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber
daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan oleh pemerintah dan penduduk
Indonesia sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam itu
sendiri, yang berarti juga demi kesejahteraan penduduk Indonesia.
Kenyataanya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia belum berjalan
dengan baik. Apa yang terjadi masih berupa eksploitasi alam yang berlebihan,
bukan pengelolaan secara berkelanjutan. Akibatnya, kerusakan sumber daya alam
di Indonesia pun terjadi secara masif. Sayangnya lagi, eksploitasi tersebut tidaklah
selalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia, melainkan
untuk memenuhi tingkat kerakusan pihak-pihak tertentu. Dampaknya dapat
dibayangkan, yaitu terjadinya kerusakan alam secara progresif. Banyak hutan
mengalami penggundulan dan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan yang
cenderung kurang ramah lingkungan. Kebakaran dan pembakaran hutan pun
tumbuhan dan hewan pun terancam. Sementara itu, di laut pun juga terjadi
hal yang sama. Eksploitasi hasil laut terjadi secara besar-besaran dan
menggunakan cara-cara yang tidak tepat. Kerusakan ekosistem laut, terumbu
karang dan menipisnya jumlah biota laut pun terjadi. Deretan eksploitasi alam
juga terjadi pada sumber-sumber energi seperti eksploitasi gas bumi, minyak
bumi, dan aneka jenis tambang yang lain.
Berdasarkan rentetan kerusakan sumber daya alam di atas, kerusakan alam
akibat bekas penambanganlah yang memiliki tingkat kesulitan dalam usaha
restorasi lahannya, sebab materi-materi bekas tambang yang diambil adalah
materi-materi yang tidak terbarukan. Salah satu jenis tambang yang banyak
beroperasi di Indonesia adalah tambang batu gamping (lime stone). Tambang batu
gamping atau kapur biasanya dilakukan di kawasan batuan karst. Di Indonesia
kawasan batuan karst tersebar hampir di setiap pulau besar seperti, Sumatera,
Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan
Papua (Anonim, 2013). Sedangkan berdasarkan penggolongannya, tambang batu
gamping merupakan merupakan bahan galian industri. Batuan gamping tersusun
dari batuan gamping non klastik; merupakan koloni binatang laut “gamping koral”
penyusun utama adalah koral dan batuan gamping klastik; hasil rombakan batu
gamping akibat erosi, transportasi dan sedimentasi (Zulkifli, 2014).
Di pulau Jawa, khususnya di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat
sejumlah titik penambangan batuan gamping, baik yang masih beroperasi maupun
yang sudah berhenti beroperasi. Pada tahun 2015 terdapat 20 pabrik pengolahan
mengantongi ijin operasi. Untunglah, pada tahun 2015, banyak pabrik pengolahan
hasil tambang gamping tersebut telah berhenti beroperasi, bersamaan dengan
terbitnya Peraturan Gubernur (pergub) no 31 tahun 2015. Munculnya pergub
tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-undang no 23 tahun 2014 tentang
pemerintah daerah (Pribadi, 2015).
Lepas dari polemik tentang legal penambangan, pergub dan
perundang-undangan di atas, praktek penambangan yang terjadi di daerah Gunungkidul telah
menyisakan dampak kerusakan lingkungan bagi kawasan Gunung Sewu Geo Park
yang telah ditetapkan oleh United Nation, Education, Science, Cultural
Organization (UNESCO) sebagai wilayah warisan dunia. Sebagai kawasan yang
telah dilindungi oleh UNESCO, seharusnya praktek ekploitasi lingkungan di
kawasan tersebut tidak boleh terjadi.
Pasca penambangan batu gamping umumnya meninggalkan kerusakan
lahan bekas tambang dengan proses konservasi yang lamban atau bahkan tidak
terjadi sama sekali. Padahal, jika ditekuni dengan serius, lahan bekas tambang
dapat dipulihkan kondisinya menjadi lahan produktif dan ekonomis serta
bermanfaat untuk menghidupkan kembali keanekaragaman hayati yang mungkin
pernah ada. Sebaliknya, jika lahan bekas tambang dibiarkan saja, justru akan
mengakibatkan tingkat kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar. Selain itu,
ancaman buruk terhadap kualitas dan kuantitas air pun dapat terjadi.
Penambangan batuan gamping dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran air
bawah tanah, tertutupinya pori-pori batuan kapur sebagai resapan air sehingga
kars, hilangnya top soil di wilayah kars yang mengancam biodiversitas
lingkungan sekitar, dan masih banyak lagi dampak yang lain (William, 2001).
Dalam suasana reflektif, saat merenungkan bahan retret tentang Laudato si
di Pantai Slili, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta pada bulan Juni 2015,
penulis merasa semakin diteguhkan untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan hidup,
khususnya ketika membaca bagian ensiklik yang menyoroti soal hilangnya
keanekaragaman hayati. Dalam ensiklik tersebut disebutkan bagaimana sumber
daya bumi dijarah karena konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka
pendek. Hilangnya hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies
yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya
untuk makanan tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya.
Berbagai spesies mengandung gen yang bisa menjadi sumber daya kunci pada
tahun-tahun mendatang memenuhi kebutuhan manusia dan mengatur beberapa
masalah lingkungan (Fransiscus, 2015).
Sebagai tindakan nyata atas keprihatinan terhadap persoalan
keanekaragaman hayati di atas, penulis bersama sejumlah teman mahasiswa
Pendidikan Biologi Sanata Dharma, yang tergabung dalam Orang Muda Peduli
Konservasi Alam (OPERA), telah memulai banyak kegiatan konservasi. Tujuan
dari komunitas tersebut adalah untuk memberikan perhatian terhadap persoalan
konservasi alam, baik melalui kegiatan edukasi sederhana maupun kegiatan
konservasi. Berbagai kegiatan pun kami lakukan, dimulai dari kegiatan
pembibitan, edukasi ekologi dan pembuatan kebun herbal di SD Kanisius
Pendidikan Biologi Sanata Dharma di desa Putat, Gunungkidul, Yogyakarta serta
beberapa jenis tanaman herbal di Laboratorium Pendidikan Biologi Sanata
Dharma.
Dalam tataran ranah akademik, penulis tetap ingin mewujudkan perhatian
di bidang konservasi dengan melakukan sebuah penelitian yang terkait dengan
reklamasi lahan bekas tambang, yaitu “Pengaruh Waktu Pemberian Cendawan
Mikoriza Arbuskular terhadap Pertumbuhan Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai Tumbuhan Pionir Pengembalian Kesuburan Tanah Bekas Tambang Kapur”. Gagasan ini awalnya muncul karena dipicu oleh ajakan
seorang teman (Tegar Yudha Restuti S.Pd) untuk menyusun sebuah proposal
penelitian tentang cara melakukan reklamasi lahan bekas tambang secara efektif
dengan menggunakan cendawan mikoriza arbuskular. Cendawan mikoriza adalah
jenis cendawan yang dapat bersimbiosis mutualistik dengan banyak jenis
tanaman. Simbiosis tersebut terjadi pada bagian akar tanaman. Dalam simbiosis
ini, tanaman dibantu oleh cendawan mikoriza dalam mengabsorbsi nutrisi dari
dalam tanah. Sebagai gantinya, cendawan mikoriza mendapatkan karbohidrat dari
tanaman guna mendukung pertumbuhan.
Pada penelitian ini, penulis memilih jenis tanaman Koro Hijau
(Macrotyloma uniflorm) sebagai jenis tanaman yang diharapkan dapat
bersimbiosis secara baik dengan cendawan mikoriza. Koro hijau adalah jenis
tanaman dengan usia pendek yang mudah didapat, mudah dalam penanaman,
perawatan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu, tanaman koro
melakukan fiksasi nitrogen. Dengan kata lain, selain dapat bermutualisme dengan
mikoriza, koro hijau juga dapat menambat nitrogen yang nantinya juga memiliki
potensi dalam menyuburkan kembali lahan bekas tambang.
Penelitian tentang reklamasi lahan bekas tambang ini menjadi lebih
menarik pada saat kegiatan tersebut sejalan dengan concern yang penulis miliki.
Meskipun di daerah Yogyakarta, tempat di mana penulis menempuh studi, tidak
terlalu merasakan adanya dampak dari kerusakan lingkungan hidup akibat
penambangan, namun peneliti merasakan pentingnya nilai penelitian ini dalam
konteks yang lebih luas. Dengan kata lain, jika nantinya aplikasi dari hasil
penelitian ini membuahkan hasil yang baik, hasil tersebut dapat digunakan untuk
proses reklamasi lahan bekas tambang batu gamping di banyak tempat lain di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin diteliti yaitu :
1. Apakah waktu pemberian CMA memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman koro hijau?
2. Apakah terjadi simbiosis mutualistik antara mikoriza dengan tanaman koro
hijau sebagai tumbuhan pionir?
3. Apakah pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar bagi pertumbuhan
tanaman koro hijau dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa
C. Batasan Masalah
1. Penelitian ini tidak meliputi pengamatan terhadap jenis-jenis cendawan
mikoriza yang bersimbiosis mutualistik dengan tanaman koro hijau.
2. Identifikasi spesies CMA yang digunakan tidak dilakukan.
3. Penelitian tidak dilakukan lokasi tambang bekas kapur, melainkan dengan
mengambil sampel tanah dari lokasi bekas tambang atas dasar hasil
observasi.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk:
1. Menguji pengaruh waktu terhadap pemberian CMA pada tanaman Koro
hijau.
2. Menguji ada tidaknya simbiosis mutualistik yang terjadi antara CMA dan
tumbuhan koro hijau sebagai tumbuhan pionir.
3. Menguji pengaruh pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar
terhadap pertumbuhan tanaman koro hijau dibandingkan dengan
pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa pemberian CMA).
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dapat mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA dalam usaha
2. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan materi
pembelajaran biologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), khususnya pada
materi pembelajaran tentang kerusakan lingkungan dan upaya pelestariannya di
kelas X atau tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kelas XII.
3. Bagi Siswa
Penelitian ini dapat diaplikasikan oleh para siswa dengan bentuk yang
lebih sederhana dalam suatu praktikum. Dengan cara itu, pemahaman siswa
terhadap persoalan lingkungan hidup menjadi lebih baik, sebab mereka langsung
mempraktekkannya.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi kegiatan-kegiatan konservasi dan
pengembangan lahan bekas tambang, khususnya batu kapur. Selain itu,
lingkungan alam yang telah dieksploitasi dapat dikembalikan fungsinya sebagai
9 BAB II DASAR TEORI
A. Cendawan Mikoriza 1. Pengertian Mikoriza
Mikoriza merupakah hubungan mutualistik antara akar dan cendawan.
Tumbuhan inang menyediakan fungi dengan suplai gula yang tetap. Sementara
itu, cendawan meningkatkan area permukaan bagi pengambilan air dan juga
menyuplai tumbuhan dengan fosfat dan mineral-mineral lain yang diabsorbsi dari
tanah. Mikoriza juga menyekresikan faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang
akar untuk tumbuh dan bercabang, seperti antibiotik yang membantu melindungi
tumbuhan dari patogen-patogen di dalam tanah (Campbell, 2010).
Simbiosis mutualistik utama mikoriza terdiri dari dua tipe: ektomikoriza
dan mikoriza arbuskular (endomikoriza). Dalam ektomikoriza, miselum (masa
hifa yang bercabang) membentuk selubung yang rapat, atau mantel, di permukaan
akar. Hifa cendawan membentang dari mantel ke dalam tanah, sehingga
meningkatkan area permukaan absorpsi air dan mineral. Hifa juga tumbuh ke
dalam korteks akar. Hifa ini tidak menembus sel-sel akar namun membentuk
jejaring di apoplas, atau rongga ekstraselular, yang memfasilitasi pertukaran
nutrien antara fungi dan tumbuhan (Campbell, 2010).
Mikoriza memiliki peranan penting bagi kawasan tanah yang miskin
nutrisi, membantu dalam proses dekomposisi sampah-sampah organik, translokasi
jenis-jenis nutrien seperti nitrogen dan fosfor dari tanah ke jaringan akar. Dengan
menyediakan akumulasi ion secara selektif dan penyerapannya, memobilisasi
macam-macam nutrien pada tanah-tanah yang kurang subur, meningkatkan
kemampuan tanaman untuk menyerap air dari tanah. Mikoriza juga mengurangi
tingkat kerentanan inangnya terhadap invasi patogen dengan memanfaatkan akar
karbohidrat dan unsur-unsur kimiawi lain menjadi lebih menarik bagi patogen.
Mikoriza menyediakan pembatas fisik bagi patogen dan sebagai gantinya,
tanaman menyediakan cadangan karbohidrat secara konstan bagi mikoriza (Robert
dan Thomas, 2001).
Akar tanaman dapat membentuk simbiosis mikoriza hanya jika terpapar
oleh spesies cendawan yang sesuai. Akar tanaman yang terinfeksi cendawan
umumnya lebih tebal, lebih pendek dan lebih bercabang-cabang. Di alam, sekitar
10 % famili tumbuhan memiliki spesies yang membentuk asosiasi dengan
mikoriza dan banyak di antara spesies-spesies tersebut merupakan tumbuhan
berkayu, termasuk anggota family pinus, spruce, ek, walnut, brich, willow dan
eukaliptus (Campbell, 2010).
2. Kelompok Cendawan Mikoriza
Kelompok cendawan mikoriza yang paling penting dan melimpah adalah
cendawan mikoriza arbuskular (CMA), cendawan ektomikoriza (CEM) dan
cendawan mikoriza ericoid (CME). CMA melimpah di daerah padang rumput,
savana dan hutan-hutan tropis dan banyak bersasosiasi dengan jenis rerumputan,
jenis tanaman herbal, tanaman-tanaman tropis, dan tanaman semak belukar. CEM
berasosiasi dengan 6000 jenis spesies tanaman dan melimpah di daerah yang
rumput di mana mereka dapat berasosiasi dengan tanaman dari keluarga Ericaceae
(Treseder, 2013).
Dari ketiga jenis mikoriza di atas, CMA adalah jenis cendawan yang
banyak berperan dalam meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan di alam.
Sebagai contoh, CMA meningkatkan biodiversitas tanaman dan padang rumput
sekitar 30%. CMA juga memberikan kemudahan dalam hal pembibitan tanaman,
khususnya pada saat proses penyemaian biji, sebab CMA dapat membantu
biji-bijian tanaman memiliki kemampuan lebih cepat dalam memperoleh nutrisi yang
diperlukan (Khasa dkk, 2009).
3. Taksonomi CMA
Glomeromycota adalah filum cendawan yang dikenal bersimbiosis obligat
dengan jenis tanaman yang hidup di darat. Bentuk simbiosis tersebut disebut
mikoriza. Dalam perkembangannya, spesies-spesies dari filum ini digambarkan
dan dinamai berdasarkan pengenalan terhadap morfologi sporanya. Pengenalan
spora itu sendiri dilakukan dengan mengidentifikasi apakah terdapat di sekitar
perakaran tanaman, di luar perakaran atau di permukaan tanah. Pengenalan
terhadap spesies-spesies filum glomeromycota di jaman modern ini dilakukan
dengan melakukan skuen rRNA dengan metode analisis small subunit (SSU) dan
large subunit (LSU). Menurut Schubler (2010) filum Glomeromycota terdiri dari
4 buah ordo, 11 famili dan 27 genus. Gambaran taksonomi Glomeromycota dapat
Tabel 2.1: Taksonomi CMA Menurut Schubler (2010)
Filum Glomeromycota Kelas Glomeromycetes
Ordo Famili Genus Spesies
Glomerales Glomeraceae Dominikia Dominikiaaurea
Funneliformis Funneliformis africanum Clariodeoglomuraceae Clariodeoglomus Claroideoglomus
etunicatum
Diversiporales Gigasporaceae Bulbospora Bulbospora minima Cetraspora Cetraspora auronigra Acaulosporaceae Acaulospora Acaulospora cavernata Pacisporacea Pacispora Pacispora patagonica Diversisporaceae Corymbiglomus Corymbiglomus tortuosum
Diversipora Diversisporagibbosa Otospora Otospora bareae Redeckera Redeckera pulvinatum Tricispora -
Sacculosporaceae Sacculospora Sacculospora felinovii Paraglomerales Paraglomeraceae Paraglomus Paraglomus brasilianum Archaesporales Geosiphonaceae Geosiphon Geosiphon pyriformis
Ambisporaceae Ambispora Ambispora callosa Archaeosporaceae Archaeospora Archaeospora schenckii
Meskipun metode dan cara identifikasi spesies-spesies cendawan semakin
modern, Schubler(2010) mengakui masih banyak kekurangan. Banyak genus dan
spesies dari filum Glomeromycota diidentifikai dengan bukti yang kurang
memadai. Salah satu alasannya adalah karena kekurangan bukti penelitian.
Bahkan, dalam beberapa kasus, taksonomi CMA hanya dapat diidentifikasi
Paradentiscutata dan Tricispora. Di Indonesia, jenis mikoriza yang paling banyak
berasal dari tiga genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora. Ketiga genus
cendawan tersebut sering berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman
(Musfufah, 2016).
Taksonomi CMA bervariasi terkait dengan kontribusinya terhadap
pengambilan nutrisi bagi tanaman. Beberapa genus, seperti Scutellospora dan
Gigaspora membentuk sejumlah hifa yang luas sehingga dapat mengakuisisi
nutrien secara lebih baik. Genus yang lain seperti Glomus, Funneliformis dan
Rhizophagus membentuk biomasa hifa lebih sedikit, dan membentuk mutualisme
yang lebih rendah. Namun, produksi yang lebih besar terhadap ekstra radikal hifa
tidak selalu membawa pada keuntungan bagi tanaman. Sejauh rasio antara
persentase panjang akar yang terkolonisasi dan ekstra radikal biomasa hifa
beragam, tidaklah terlalu jelas sejauh apa baiknya panjang akar yang terkolonisasi
menyatakan keuntungan yang diperoleh tanaman inang jika harus melampau
macam-macam taksonomi CMA (Verhoef, 2010).
4. Keuntungan CMA bagi Tanaman
Dilihat dari sisi keuntungannya bagi berbagai jenis tanaman, CMA dapat
membantu tanaman dalam hal, yaitu:
a. Meningkatkan daya serap air dan hara terutama yang relatif immobile
seperti P, Cu dan Zn, juga yang relatif mobil seperti K, S, NH4+, dan Mo.
b. Menurunkan stress tanaman akibat infeksi patogen akar, kondisi tanah
salin, kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta
c. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah
tidak subur, dan terhadap kemasaman dan toksisitas Al, Fe dan Mn pada
tanah masam.
d. Meningkatkan nodulasi dan daya fiksasi N2 oleh Rhizobium pada
simbiosis legume.
e. Meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn.
f. Merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi
hormon sitokinin, auksin gibberellin, dan eksudasi asam-asam organik
dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara.
g. Mempercepat fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen
dipercepat, serta meningkatkan daya tahan tanaman pada awal
penanaman.
h. Berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah,
dalam agregasi tanah dan mengurangi erosi atau pelindian hara tanah
(Kemas, 2005).
B. Macrotyloma uniflorum
1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm
Koro hijau adalah jenis tanaman dari keluarga Fabaceae
(polong-polongan) yang penting namun tidak banyak dikenal sebagai jenis tanaman yang
dapat dibudidayakan. Tanaman ini tumbuh di banyak negara, khususnya di
negara-negara tropis dan sub-tropis. Berikut ini adalah klasifikasi dari koro hijau
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Macrotyloma
Species : Macrotyloma uniflorum L.
2. Distribusi Macrotyloma uniflorum
Macrotyloma uniflorum juga dikenal dengan naman Dolichos uniflorum.
Menurut United State Department of Agricultur (USDA) kedua nama tersebut
mengacu pada spesies yang sama. Tanaman terebut adalah asli tanaman tropis.
Kemungkinan, tanaman tersebut mengalami domestisasi di India, di mana
tanaman tersebut telah dikenal di sana sejak jaman prasejarah.Di Jawa, tumbuhan
ini memiliki nama lokal: kara krupuk, kara hijau atau koro legi, sedangkan di
Sunda, nama tanaman ini adalah roway atopese.
Saat ini, M. uniflorm banyak dibudidayakan di daerah Asia Selatan dan
India, Myanmar dan Afrika. Tanaman ini biasanya tumbuh hingga pada
ketinggian 0-1800 mdpl. Iklim tropis dan sub-tropis sangat ideal bagi
pertumbuhan tanaman ini. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah lahan
kering dengan suhu antara 25-35°C. Tanaman ini mampu beradabtasi dengan
berbagai jenis tanah seperti pasir, kerikil hingga di tanah liat. Pada tanah lempung
yang terlalu basa, jenis tanaman ini kurang tumbuh dengan baik. pH normal bagi
bijinya. Waktu penanaman yang baik dapat dilakukan pada akhir bulan Juni.
Tanaman ini akan mulai berbunga dan berbuah antara bulan Agustus ke Oktober.
Secara umum, usia tanaman ini adalah 4-6 bulan.
3. Morfologi Tanaman
Tanaman ini termasuk Fabaceae (Leguminoceae) yang tergolong
sub-famili Foboidea. Bunganya berbentuk kupu-kupu. Di pulau Jawa dijumpai empat
jenis legum ini, yang umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan sayuran.
Polong-polong yang masih muda berasa manis dan berwarna hijau tua.
Berdasarkan morfologinya, legum ini berumur satu musim atau beberapa musim
tergantung pada varietasnya.
Gambar 2.1. Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm)
Tanaman ini tumbuh menjalar dan membelit ke kiri pada tanaman lain
yang hidup di dekatnya. Tinggi dan panjang tanaman bisa mencapai 3-6 m. Daun
tumbuhan ini majemuk, beranak tiga, berbentuk delta, segitiga atau bulat telur
melebar dengan ujung daun meruncing. Panjang tangkai daun 2-14 cm; lebar
tandan, masing-masing tandan berisi 2-6 bakal bunga. Bunga berwarna jingga
pucat campur putih atau kuning pucat. Polong berwarna hijau tua, bagian ata
polong membentuk garis dan bagian bawah melengkung dengan ujung polong
membengkok dan membulat seperti sabit. Untuk meningkatkan daya dukung dan
nilai tambah lahan pertanian, tanaman ini dapat ditanam di sela-sela tanaman di
pematang, atau di sekitar pagar tanaman di pekarangan rumah. Pertumbuhan
tanaman ini sangat cepat, hasil pengamatan yang dilakukan di India menunjukkan
dalam waktu 6-7 minggu setelah tanam, mampu menghasilkan hijauan segar
sebanyak 5-12 ton per hektar (Purwanto, 2007).
4. Kegunaan Tanaman
Seperti sifat Fabaceaesecara umum, legum ini juga sangat baik digunakan
sebagai tanaman penyubur tanah yang dapat meningkatkan daya dukung lahan.
Legum ini mampu menyediakan hijauan segar sumber bahan organik serta
mempunyai bintil akar yang mengandung bakteri Rhizombium. Menurut
Rachman dkk (2010), dedaunan hijau (pupuk hijau) memiliki unsur nitrogen yang
kaya yang bermanfaat bagi jenis tanaman lain. Selain itu, pupuk hijau legum lebih
mudah terdekomposisi jika ditimbun dalam tanah. Dengan kata lain, jika tujuan
utama dari pemberian pupuk hijau adalah untuk penambahan dan penyediaan
unsur hara secara relatif cepat, maka lebih baik pemberian pupuk hijau dilakukan
dengan cara dicampur atau dibenamkan. Penambahan pupuk hijau bisa dilakukan
dalam bentuk segar bila rasio C atau N dari bahan tanaman yang digunakan relatif
rendah. Sedangkan bila rasio C atau N terlalu tinggi lebih baik dikompos lebih
banyak dimanfaatkan petani sebagai tanaman lorong (alley cropping). Sebagai
tanaman lorong, M. uniflorm banyak ditumpangsarikan misalnya jagung dan
bunga matahari, namun terbuka juga dengan jenis tanaman budidaya lainnya.
Menurut Kumar (2010) tanaman M. uniflorm sangat produktif dalam membantu
pertanian tanaman budidaya dengan menyediakan kesuburan tanah, khususnya
terhadap ketersediaan unsur N dalam tanah dan terciptanya iklim mikro di sekitar
tanaman budidaya, misalnya jagung, bunga matahari dan jenis-jenis tanaman yang
lain. Sebagai tanaman penutup tanah, legum ini sangat baik ditanam pada musim
kemarau, karena sangat toleran terhadap kekeringan. Dalam penananmannya,
dapat ditumpangsarikan dengan tanaman jagung atau ubi kayu.
Buah polong mudanya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, sedangkan
bijinya dapat digunakan bahan baku pembuatan tempe, taoco ataupun kecap. Biji
koro hijau dapat juga dijadikan sebagai sumber nutrisi bagi warga masyarakat
yang kurang mengkonsumsi daging, khususnya di negara-negara yang
berkembang. Biji koro dikenal juga menjadi sumber protein dan nutrisi lainnya.
Biji koro mengandung karbohidrat 57.2%, protein 22%, serat 5.3%, lemak 0.5%,
kalsium (287mg), fospor (311mg), besi (6.77mg) dan kalori (321 kkal) dan
vitamin (Bhartiya dkk, 2015).
Selain sebagai sumber makanan yang memiliki nilai tinggi nutrisi, biji
koro hijau juga memiliki manfaat sebagai tanaman obat. Di India, di mana jenis
tanaman ini sangat populer, tanaman ini merupakan jenis tanaman yang banyak
dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai
ginjal (Ravishankar, 2012). Tanaman koro hijau juga membantu dalam
menurunkan kadar kolesterol, sebagai antioksidan, kekurangan gizi, dan
pengobatan bagi penyakit kuning (Mehra, 2013). Pemanfaatan koro hijau sebagai
obat tradisional lebih banyak menggunakan tepung dan ekstrak dari biji koro hijau
itu sendiri serta mengkonsumsinya. Pemanfaatan dengan cara lain dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi kecambah dari koro hijau itu sendiri, misalnya
mencampurnya dengan salad. Mengkonsumsi kecambah koro hijau lebih memiliki
banyak manfaat, selain memiliki kandungan vitamin A, C, thiamin, potassium dan
zat besi, kecambah juga membantu mengurangi produksi gas dalam pencernakan
dibandingkan dengan mengkonsumsinya dalam bentuk kering (Anonim, 2013).
C. Batuan Kapur
1. Formasi Batuan Karst
Batu kapur, dolomit, marmer atau batuan karbonat adalah formasi utama
pembentuk batuan karst. Karst adalah tipe topografi yang dibentuk oleh batuan
kapur, gypsum, dan batuan-batuan lain yang mengalami peleburan sehingga
membentuk lubang-lubang tanah, goa-goa dan daerah drainase bawah tanah.
Kawasan karst merupakan kawasan yang meliputi 10% wilayah permukaan bumi
(Langer, 2001. Saat ini ada perhatian besar terhadap perilaku manusia terhadap
lingkungan kawasan karst. Perhatian tersebut muncul karena dimotivasi oleh
dampak yang ditimbulkan atas kerusakan lingkungan kawasan karst terhadap
kualitas kehidupan manusia. Banyak aktivitas manusia secara negatif berakibat
pada kawasan karst di antaranya penggundulan hutan, kegiatan pertanian,
Proses natural terbentuknya batuan karst terjadi selama ratusan ribu tahun.
Formasi karst terjadi dengan meliputi interaksi antara batuan karbonat dan
perairan yang sedikit asam. Asam karbonat adalah asam ringan yang terbentuk
oleh air hujan dan reaksi karbon dioksida. Pada saat air hujan melalui tanah, air
menyerap lebih banyak karbon dioksida dan menjadi lebih asam. Batuan karbonat
yang dialiri oleh air hujan yang telah menjadi asam akan membentuk rekahan dan
air merembes ke lapisan lebih rendah. Semakin sering dan banyak air yang
melalui rekahan itu, maka rekahan itu pun akan menjadi semakin besar. Dengan
cara seperti itulah goa-goa dan saluran-saluran air di batuan karst terbentuk
(William, 2001).
2. Wilayah Karst di Gunungkidul
Wilayah Karst di Gunungkidul tersmasyur di dunia dengan sebutan Karst
Gunung Sewu yang diperkenalkan pertama kali oleh Danes (1910) dan Lehmann
(1936) dalam Adji, (2009). Karst ini dicirikan dengan berkembangnya kubah
karstt (kegelkarstt), yaitu bentukan positif yang tumpul, tidak terjal atau sering
diistilahkan kubah sinusoidal. Kegelkarstt ini dikategorikan sebagai bagian dari
tipe karst tropis. Sebagai salah satu kawasan karst di Indonesia, Gunung Sewu
dapat dikategorikan sebagai karst jenis terbuka (bare/nackters karst) yang
dicirikan oleh bentukan karst yang merupakan fenomena termashyur dari tipografi
karst yang sangat khas berupa conical hills yang tidak dijumpai pada kawasan
karstt lain di seluruh dunia (Adji, 2009).
Gunung Sewu merupakan bagian dari zona pegunungan selatan Jawa
lalu) yang kemudian larut membentuk bentang alam karst. Luas kawasan Gunung
Sewu terbentang dari Barat sampai ke Timur, dimulai dari pantai Parangtritis
hingga Teluk Pacitan. Luasnya mencapai 126.000 hektar dan mencakup 3 provinsi
yakni Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur.
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1.485,36 km2 atau 46,
63% dari luas wilayah Yogyakarta dan terdiri dari 18 kecamatan serta 144 desa.
Kawasan Geopark Gunung Sewu terdiri dari 33 situs, yang terdiri dari 30 situs
geologi dan 3 situs non geologi. Wilayah Gunungkidul memiliki banyak potensi,
di antaranya sebagai obyek ekowisata hutan dan alam pegunungan, agrowisata
pertanian, wisata pantai, goa, variasi flora dan fauna, keunikan bidaya dan
kehidupan masyarakat lokal serta budayanya (Abida dkk, 2015).
3. Tambang Kapur dan Jenis Tanah
Menurut undang-undang Direktorat Jendral Mineral dan Batubara,
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral no.4 Tahun 2009, pertambangan
adalah sebagaian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan undang-undang yang sama juga dikatakan bahwa asas dan tujuan
pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan kesimbangan;
c. partisipatif, transparasnsi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan jenisnya, pertambangan dapat dibagi menjadi dua bagian; 1.
tambang terbuka: Semua kegiatan dilakukan di permukaan tanah. Pada kegiatan
ini, khususnya untuk bahan galian industri dinamakan quarry mining. 2. Tambang
bawah tanah: Tambang bawah tanah disebut juga dengan istilah lubang tikus
(Geophering). Pertambangan ini diterapkan untuk endapan bahan galian industri
atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata.
Arah penambangannya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang
ditambang.
Berdasarkan dua jenis tambang di atas, tambang batuan kapur merupakan
jenis tambang terbuka. Batuan kapur memiliki dua ciri yaitu; 1. non klastik: yang
terdiri dari koloni binatang laut “gamping koral” penyusun utama adalah koral. 2.
klastik: hasil rombakan batu gamping akibat erosi, trasporasi, sortasi dan
sedimentasi.
3.1 Sifat Batu Kapur
Berikut ini adalah beberapa sifat batu gamping:
a. Secara kimia terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium atau
gamping dolomitan
b. Berat jenis = 2
c. Keras, pejal dan porous
d. Warna putih susu, abu-abu muda, coklat, merah, hitam.
f. Ditemukan di gua-gua gamping
3.2 Manfaat Batu Kapur
a. Campuran bahan bangunan pembuatan pondasi, plester, jalan
b. Penetral keasaman tanah
c. Bahan baku semen Portland
d. Bahan pemutih, penggosok, keramik, tahan api
e. Bahan penjernih air.
3.3 Jenis Tanah di Sekitar Wilayah Berkapur
Jenis tanah dapat dikenali pertama-tama dengan mengetahui sifat fisik
tanah itu sendiri. Secara keseluruhan sifat fisik tanah ditentukan oleh: 1. Ukuran
komposisi partikel-partikel hasil pelapukan bahan penyusun tanah, 2. Jenis dan
proporsi komponen-komponen penyusun partikel-partikelnya; 3. Keseimbangan
antara suplai air, energi dan bahan dengan kehilanganya, 4. Intensitas reaksi
kimiawi dan biologis yang telah atau sedang berlangsung (Kemas, 2005).
Berdasarkan sifat-sifat fisik tanah di atas, terdapat tiga macam jenis tanah
yang terdapat di sekitar wilayah batuan kapur, yaitu tanah grumusol, tanah kapur,
dan tanah litosol. Tanah grumusol terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan
tuffa vulkanik. Kandungan organik di dalamnya lebih rendah karena dari batuan
kapur, jadi dapat disimpulkan tanah ini tidak subur dan tidak cocok untuk
ditanami tanaman. Tekstur tanah ini kering dan mudah pecah, terutama saat
musim kemarau dan memiliki warna hitam. pH yang dimiliki netral hingga
alkalis. Tanah ini biasanya berada di permukaan yang tidak lebih dari 300 meter
Perubahan suhu pada daerah yang terdapat tanah grumusol sangat nyata ketika
panas dan hujan. Sementara itu, tanah kapur adalah tanah yang berasal dari batuan
kapur yang mengalami pelapukan. Karena terbentuk dari tanah kapur maka bisa
disimpulkan bahwa tanah ini tidak subur dan tidak bisa ditanami tanaman yang
membutuhkan banyak air. Namun jika ditanami oleh pohon yang kuat dan tahan
lama seperti pohon jati dan pohon keras lainnya. Selanjutnya, tanah litosol
merupakan tanah yang baru mengalami perkembangan dan merupakan tanah yang
masih muda. Terbentuk dari adanya perubahan iklim, topografi dan adanya
vulkanisme. Untuk mengembangkan tanah ini harus dilakukan dengan cara
menanam pohon supaya mendapatkan mineral dan unsur hara yang cukup.
Tekstur tanah litosol bermacam-macam ada yang lembut, bebatuan bahkan
berpasir (Yulia, 2015).
D. Penelitian yang Relevan
Musfufah dkk (2016) melakukan sebuah penelitan dengan judul Uji
Kemampuan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) Lokal Bali pada
Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Tujuan dari penelitian tersebut
adalah untuk mengetahui dosis isolat CMA untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman kedelai. Percobaan dilaksanakan selama 2 bulan di Rumah Kaca Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah tinggi tanaman, lebar daun, bobot basah tanaman dan bobot
kering tanaman. Hasil penelitian mennjukkan bahwa inokulasi spora CMA lokal
Bali pada tanaman kedelai (Glycine max L.) menunjukkan pengaruh yang berbeda
kolonisasi mikoriza pada akar kedelai. Parameter tinggi tanaman, lebar daun,
bobot basah tanaman, dan bobot kering tanaman menunjukkan pengaruh yang
berbeda tidak nyata (P>0,05) pada uji ANOVA taraf 5%.
Sementara itu, Muryanto (2012) juga melakukan peneltian yang sejenis
berjudul Uji Efektivitas dan Multiplikasi Spora Cendawan Mikoriza Arbuskula
(CMA) pada Berbagai Media Pembibitan Dalbergia latifolia dengan tujuan; 1.
Menguji efektivitas CMA pada berbagai media terhadap pertumbuhan bibit D.
latifolia, 2. Menguji inevektifitas CMA dalam berbagai media pada pembibitan D.
latifolia dan mengetahui perkembangan jumlah spora CMA dalam berbagai media
pembibitan. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas CMA terhadap tinggi bibit,
diameter batang dan jumlah daun menunjukkan rerata paling baik, khususnya
pada media tanah: pasir (1:1). Adapun jenis media tanah: pasir: arang sekam
(1:1:1) merupakan media terbaik untuk berat basah, berat akar, berat kering dan
volume akar. Campuran media tanah, sekam dan pasir merupakan media terbaik
untuk inefektivitas CMA 43% dan multiplikasi spora CMA. Selain itu, campuran
media tanah dan pasir merupakan media yang memberikan hasil terbaik untuk
parameter pertumbuhan jumlah daun, tinggi tanaman dan diameter batang.
E. Kerangka Berpikir
Di daerah Gunung Kidul terdapat sejumlah lahan bekas tambang yang
umumnya tidak terurus dengan baik. Salah satu daerah yang memiliki banyak
lahan bekas tambang batu kapur adalah desa Ponjong. Jika dibiarkan begitu saja,
lahan bekas tambang membutuhkan waktu yang sangat lama agar dapat
Koro hijau adalah salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang
memiliki potensi besar sebagai tanaman budidaya, sekaligus sebagai tanaman
pionir yang mampu mengembalikan tingkat kesuburan tanah lahan bekas
tambang. Koro hijau dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah yang kering,
berbatu dan berpasir seperti yang terdapat pada lahan-lahan bekas tambang di
desa Ponjong.
Lahan bekas tambang kapur yang didominasi oleh tanah kapur, tanah
grumosol dan tanah litosol, memiliki potensi besar untuk direklamasi dengan
memanfaatkan tanaman Koro hijau yang disimbiosiskan dengan cendawan
mikoriza arbuskular. Untuk menguji potensi tersebut perlu dilakukan eksperimen
pengaruh waktu pemberian CMA terhadap pertumbuhan Koro hijau.
Berikut ini adalah diagram kerangka berpikir dalam penelitian ini:
F. Hipotesis
1. Waktu pemberian CMA berpengaruh terhadap simbiosis antara CMA dengan
tanaman inang ( Koro hijau).
2. Waktu simbiosis mutualistik CMA dan Koro hijau yang paling baik terjadi
pada perlakuan M1 (saat tanaman berusia 1 Minggu).
3. Pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar bagi pertumbuhan tanaman
Koro hijau dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa pemberian
28 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan model rancangan
eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang ingin mencoba
untuk mempengaruhi variabel tertentu, bukan hanya untuk mendeskripsikan suatu
keadaan tertentu, tetapi untuk memepengaruhi dengan melakukan perlakuan
tertentu. Penelitian ini adalah satu-satunya penelitian yang sungguh menguji
hipotesa tentang hubungan sebab akibat. Penelitian yang ingin membuktikan suatu
hipotesa. Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki satu variabel bebas dan satu
atau lebih variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebas dimanipulasi untuk
melihat apakah ada akibatnya terhadap variabel yang terikat. Selanjutnya, peneliti
menentukan perlakuan yang mau dilakukan pada variabel bebas.
Penelitian eksperimental mempunyai kelompok yang digunakan sebagai
percobaan, yaitu kelompok yang menerima perlakuan. Inilah yang disebut sebagai
kelompok eksperimen. Selain itu, penelitian eksperimental juga memilki
kelompok kontrol, yaitu yang tidak menerima perlakuan. Kelompok kontrol ini
sangat penting untuk melihat apakah perlakuan yang dilakukan berhasil atau
tidak, ada dampaknya atau tidak, dengan dibandingkan dengan kelompok yang
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Juni dan diakhiri pada bulan
Oktober 2016 di Kebun Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) atau Completely Random Design (CDR). RAL digunakan untuk
percobaan yang mempunyai media atau tempat percobaan yang seragam atau
homogen (Sastrosupandi, 2000).
Penerapan perlakuan dilakukan secara acak terhadap seluruh unit
percobaan. Ada tiga macam perlakuan berdasarkan waktu, yaitu pemberian pupuk
mikoriza pada saat awal penanaman, yaitu saat bibit berusia 1 minggu (minggu
pertama), pemberian pupuk mikoriza pada saat tanaman berusia dua minggu
(minggu ke dua), dan pemberian pupuk Mikoriza pada tanaman saat berusia 3
minggu (minggu ke tiga) atau (M1, M2, M3) dan satu kontrol, yaitu kontrol
negatif menggunakan tanah kapur. Masing-masing perlakukan diulang sebanyak 6
kali. Total unit percobaan adalah 24 polybag. Denah percobaan disusun secara
acak dan masing-masing polybag diberi identitas baik itu jenis perlakuan maupun
Tabel 3.1 Denah Percobaan
takaran air, sarung tangan, timbangan, ember, mikroskop, cawan petri, pipet,
cutter, kaca benda, autoklaf, alat tulis, dan kamera.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman koro
hijau (Macrotyloma uniflorm), tanah grumusol, tanah kapur, tanah litosol, pupuk
CMA, pupuk cair organik, pestisida alami, dan air. KOH 10%, HCl 1%, larutan
staining, trypan blue 0,05% dan minyak emersi.
Unit percobaan
E. Prosedur Kerja
1. Penyiapan lahan
Dalam penelitian ini tanaman koro hijau ditanam dalam polybag dan
diletakkan pada salah satu lahan tertentu yang harus disiapkan secara khusus.
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lokasi penelitian dari berbagai
macam rumput dan gulma yang mengganggu. Selanjutnya, dilakukan pembuatan
pola pada lahan untuk menempatkan pot-pot polybag serta tempat khusus untuk
melakukan penyiraman.
2. Penyiapan sarana tanam
Penyiapan sarana penanaman yang diperlukan meliputi penyiapan wadah
tanaman, media tanam dan pembibitan.
a. Penyiapan wadah tanaman
Wadah tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag yang
terbuat dari plastik berbentuk bulat lonjong. Wadah tanam yang digunakan
memiliki kedalaman 35 cm dan diameter 35 cm. Pada bagian samping wadah
tanam terdapat lubang drainase
b. Penyiapan media tanam
Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran tanah
bekas lahan tambang kapur dan pupuk organik. Jenis tanah yang digunakan adalah
tanah grumusol, tanah kapur, dan tanah litosol. Jenis pupuk organik yang
tersusun dari materi makhluk hidup berupa pelapukan sisa-sia hewan dan
tanaman. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Perbandingan konsetrasi media adalah 3:1:1:1 untuk tanah kapur, tanah grumosol,
tanah litosol dan pupuk organik sebanyak 0.96 kg. Jumlah total pada
masing-masing polybag adalah 6 kg.
1) Media Tanam Perlakuan 1-3
a) Siapkan tanah kapur, tanah grumosol, tanah litosol dan pupuk organik
dengan perbandingan 3:1:1:1.
b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.
c) Media tanah yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag hingga
memenuhi ¾ volume polybag.
2) Media tanam kontrol negatif
a) Siapkan tanah kapur dan pupuk organik dengan perbadingan 3:1
menggunakan ember.
b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.
c) Media yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag.
3). Penyiapan bibit
Penyiapan bibit dilakukan dengan lebih dulu menyemai biji koro hijau
pada media semai, selanjutnya pada hari ketiga dilakukan pemindahan ke dalam
dan dipindahkan pada media tanam dengan memperhatikan kesamaan rata-rata
jumlah daun dan tinggi tanaman.
3. Penanaman tanaman koro hijau
a. Media tanam di polybag disiram sampai basah.
b. Membuat lubang pada bagian tengah media dengan kedalaman 5 cm.
c. Menanam bibit koro hijau pada pada lubang yang telah disiapkan.
d. Setelah bibit ditanam, media tanam disiram kembali dengan air sebanyak
200 ml.
e. Polybag yang telah berisi tanaman koro hijau ditempatkan pada lokasi
yang telah disediakan agar mendapat sinar matahari secara penuh.
4. Pemeliharaan tanaman koro hijau
a. Penyiraman
Penyiraman tanaman adalah faktor yang penting bagi pertumbuhan
tanaman, khususnya pada saat awal pertumbuhannya. Berdasarkan teori, tanaman
koro hijau adalah jenis tanaman yang toleran terhadap kekeringan, maka
penyiraman terhadap tanaman ini tidak dilakukan setiap hari. Penyiraman
dilakukan 1 kali dalam dua hari dengan volume 200 mili liter untuk setiap
tanaman. Jika pada hari-hari tertentu penetrasi cahaya cukup tinggi dan
berpengaruh terhadap kelembapan tanah pada media tanam, penambahan
b. Pemberian bambu lanjaran
Pemberian lanjaran berupa belahan bambu diberikan pada tanaman koro
hijau yang telah tumbuh dan membutuhkan media rambat. Agar menancap cukup
kuat, lanjaran ditancapkan pada tanah di luar media polybag. Panjang lanjaran
adalah 2 meter.
c. Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman
Pengendalian terhadap organisme tanaman dilakukan dengan cara
mencabut langsung jenis-jenis gulma yang mungkin tumbuh di sekitar polybag
atau di dalam polybag. Sementara itu, untuk organisme lain yang berupa hama
dan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan menggunakan pestisida alami.
Jenis hama dan penyakit tanaman yang umumnya menyerang tanaman koro
adalah belalang, ulat, kutu, dan virus dari famili Begomovirus yang
mengakibatkan mozaik kuning pada daun koro. Pestisida alami dibuat
menggunakan campuran bawang putih, cabe, serai, air dan sedikit diterjen.
Berikut ini adalah langkah kerja pembuatan pestisida alami dengan
bahan-bahan di atas:
1. Disiapkan bawang putih yang telah dikupas sebanyak 50 gram, cabe rawit
sebanyak 10 gram, serai sebanyak 3 batang, deterjen sebanyak 5 gram dan air
sebanyak 1 liter.
2. Bawang putih, cabai rawit dan serai ditumbuk hingga menjadi halus.
3. Bahan yang telah ditumbuk dicampur dengan air (1 liter) dan diterjen (5
gram). Kemudian didiamkan selama 24 jam.
5. Dilakukan pengenceran dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali
volume pestisida alami sebelum dilakukan penyemprotan.
Campuran bahan-bahan pestisida di atas memiliki bau yang menyengat
dan tidak disukai hama dan penyakit tanaman. Selain itu, jika mengenai
permukaan kulit organisme tersebut dapat menimbulkan rasa panas dan iritasi.
Bahan-bahan tersebut dipilih sebab mudah didapat dan harganya tidak terlalu
mahal.
5. Pengamatan
a. Pengamatan pertumbuhan
Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data untuk dianalisis.
Pengambilan data dilakukan 3 minggu setelah bibit tanaman ditanam di polybag.
Pada minggu pertama dilakukan pemindahan bibit tanaman ke polybag dan
penerapan perlakuan Minggu 1 (M1). Pada Minggu kedua dilakukan penerapan
perlakuan Minggu 2 (M2). Pada Minggu ketiga dilakukan penerapan perlakuan
Minggu 3 (M3). Penerapan perlakuan kontrol negatif (K) dilakukan sejak minggu
pertama. Pengambilan data pertama dilakukan pada minggu ke empat setelah
semua perlakuan diberikan. Pengambilan data dilakukan selama 5 hari sekali
sebanyak minimal 8 kali. Pengambilan data dilakukan dengan mengukur
pertumbuhan tanaman koro hijau yang meliputi panjang batang, jumlah daun dan
diameter batang. Panjang batang yang diukur adalah batang utama dan
pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran. Pengukuran dimulai dari
pangkal batang hingga ujung batang yang masih muda. Jumlah daun diukur
batang diukur pada bagian batang dengan ukuran yang paling besar.
Pengukuran-pengukuran yang selanjutnya dilakukan pada tempat yang sama. Pengukuran
batang ini dilakukan dengan menggunakan jangka sorong digital. Pengukuran
kedua dilakukan dengan menghitung jumlah kolonisasi mikoriza pada akar.
Penghitungan ini dilakukan pada masa akhir penelitian, yaitu dengan mencabut
tanaman koro yang telah menerima perlakuan mikoriza. Data yang diperoleh dari
No Tgl Indikator Pertumbuhan
Perlakuan dan Kontrol Kontrol Negatif
(K)
b. Pengamatan akar
Pengamatan akar dilakukan dengan menentukan kolonisasi CMA terhadap
akar tanaman koro hijau. Persentasi mikoriza dihitung dengan menggunakan
prosedur Kormanik dan Mc. Graw (1982) dalam Nurhandayani dkk (2013) dengan
modifikasi. Sampel akar diproses dengan tahapan clearing, staining dan
destaining. Clearing dilakukan dengan memotong akar koro hijau 1 cm.
Selanjutnya, potongan akar direndam dalam larutan KOH 10% dan di masukkan
dalam autoklaf selama 10 menit. Potongan akar dalam larutan KOH dibilas
menggunakan air mengalir dan kemudian direndam dalam larutan HCl 1% selama
5-10 menit. Proses staining dilakukan dengan merendam akar dalam larutan
staining ditambah trypan blue 0,05% selama 7 menit. Destaining dilakukan jika
warna trypan blue terlalu pekat. Kolonisasi akar oleh CMA dihitung dengan
metode slide (Nurhandayani dkk, 2013). Langkah selanjutnya adalah mengambil 9
potong akar yang telah diwarnai dan disusun di atas kaca preparat. Dalam
pengamatan dengan mikroskop, bidang pandang yang menunjukkan tanda
kolonisasi (hifa, vesikel atau arbuskula) diberi tanda (+), sedangkan yang tidak
menunjukkan tanda kolonisasi diberi tanda (-). Presentasi kolonisasi akar oleh
mikoriza dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
∑Bidang pandang tanda (+)
% Kolonisasi mikoriza pada akar = --- X 100%
∑Bidang pandang keseluruhan
Tingkat Infeksi akar terdiri dari 5 kelas:
Kelas 2 bila kolonisasi akar 6%-25% (rendah);
Kelas 3 bila kolonisasi akar 26%-50% (sedang);
Kelas 4 bila kolonisasi akar 51%-75% (tinggi);
Kelas 5 bila kolonisasi akar 75%-100% (sangat tinggi.
F. Analisa Data
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan tes ANOVA (Uji
F, Analysis of Variance). Tes ini digunakan untuk mengetes kelompok lebih dari
dua. Misalnya 3 atau 4 kelompok, atau lebih. Secara umum uji F dibedakan
menjadi dua: (1) Anova untuk One Factor between Designs; dan (2) Anova untuk
One Factor within Subject Design. Between design digunakan bila kelompok
yang diuji itu independen, sedangkan within design bila kelompoknya dependen.
Uji Anova yang digunakan dalam penelitian ini adalah anova untuk one factor
between subject designs. Uji ini digunakan untuk menguji tiga atau lebih
kelompok yang terpisah secara independen (Suparno, 2014).
Setelah hasil pengukuran diperoleh, kemudian dicari hasil rerata
No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif
No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif
Tabel 3.5 Rerata Diameter Batang Tanaman Koro Hijau
M1: Perlakuan Minggu pertama dengan 6 ulangan (M1.1-M1.6). M2: Perlakuan Minggu kedua dengan 6 ulangan (M2.1-M2.6). M3: Perlakuan Minggu ketiga dengan 6 ulangan (M3.1-M3.6). K: Kontrol Negatif dengan 6 ulangan (K.1-K.6).
No Perlakuan Jumlah Ulangan
1 2 3 4 5 6 Total Rerata
1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif
(K) Keterangan
No Perlakuan Jumlah Ulangan
1 2 3 4 5 6 Total Rerata
1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif
(K)
Keterangan
No Perlakuan Jumlah Ulangan
1 2 3 4 5 6 Total Rerata
1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif
(K)
Keterangan
1: Ulangan 1, 2: Ulangan 2, 3: Ulangan 3, 4: Ulangan 4, A: Ulangan 5, 6: Ulangan 6
Berdasarkan data-data di atas, variansinya dianalisis untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata di antara kelompok-kelompok perlakuan di atas. Perhitungan selanjutnya, untuk melakukan analisis digunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS).
46 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Hasil Rerata Pertumbuhan
Indikator pertumbuhan dalam percobaan ini adalah rerata pertumbuhan
(panjang batang, jumlah daun dan diameter batang) tanaman koro hijau. Berikut
ini adalah tabel rerata pertumbuhan dari perlakuan M1, M2, M3 dan Kontrol:
Tabel 4.1. Rerata Pertumbuhan Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang Tanaman Koro Hijau
No Perlakuan
K: Kontrol Negatif (tanpa mikoriza).
Berdasarkan data rerata pertumbuhan koro hijau terlihat bahwa perlakuan
M1 memiliki tingkat pertumbuhan paling baik dibandingkan dengan tingkat