• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaru waktu pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) terhadap pertumbuhan koro hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai tanaman pionir pengembali kesuburan tanah lahan bekas tambang kapur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaru waktu pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) terhadap pertumbuhan koro hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai tanaman pionir pengembali kesuburan tanah lahan bekas tambang kapur"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh : DIENG KARNEDI

NIM: 131434015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarya, 23 Desember 2016 Penulis

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Dieng Karnedi NIM : 131434015

Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, untuk mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 23 Desember 2016 Yang menyatakan,

(6)

vi ABSTRAK

PENGARUH WAKTU PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR (CMA) TERHADAP PERTUMBUHAN KORO HIJAU

(Macrotyloma uniflorm) SEBAGAI TUMBUHAN PIONIR PENGEMBALI KESUBURAN TANAH BEKAS TAMBANG KAPUR

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

Salah satu usaha untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang kapur adalah dengan menanam jenis tanaman pionir tertentu untuk mengembalikan kesuburan tanah. Solusi ini akan lebih efektif dengan adanya simbiosis antara tanaman pionir dengan cendawan mikoriza arbuskular (CMA). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dan menguji simbiosis mutualistiknya, serta menguji pengaruh pemberian CMA bagi pertumbuhan Koro hijau dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa CMA).

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Percobaan dilakukan pada 24 sampel tanaman yang terdiri dari 3 perlakuan dan 1 kontrol yang didesain menjadi penelitian satu faktor yakni menguji efektivitas pemberian pupuk CMA pada waktu yang berbeda. Pemberian CMA dilakukan 5 hari sekali dengan cara menaburkannya di sekitar perakaran tanaman. Pengambilan data dilakukan 5 hari sekali selama 50 hari dengan melakukan pengukuran terhadap panjang batang, jumlah daun dan diameter batang. Panjang akar dan tingkat infeksi CMA pada akar diukur pada masa akhir percobaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pemberian CMA berpengaruh signifikan bagi pertumbuhan Koro hijau, pemberian CMA pada minggu pertama (M1) terbukti paling efektif dalam bersimbiosis mutualistik dengan tanaman inang dan berpengaruh lebih besar bagi pertumbuhan dibandingkan dengan tanaman kontrol (K).

(7)

vii ABSTRAK

EFFECT OF TIME’S GIVING OF ARBUSKULAR MYCORRHIZA FUNGI (AMF ) F OR KORO HIJAU (Mycorrhizal uniflorm) GROWTH AS PIONEER

PLANTS F OR SOIL FERTILITY EX-LIME MINE

Dieng Karnedi 131434015

Universitas Sanata Dharma

One of the reclamation effort of ex-lime landmine is by planting a certain pioneer’s plant in order to restore soil fertility. This solution would be more effective with the presence of symbiosis between pioneer plants with Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF). This research was conducted to identify the influence of time’s giving of AMF for the growth of Koro hijau and examine it’s symbiosis mutualism, as well as examine the effect of giving AMF for Koro hijau’s growth compared to control plants (without AMF).

This research is an experimental research. The research was conducted to 24 plant samples which consisted of 3 treatments and 1 control which was designed using one factor ANOVA as its statistical analysis become one factor research that was examining the effectiveness of giving AMF fertilizer in different time. AMF was given in three different time sequences with one week interval as three different application treatments by spreading around in near its roots plant. The data was collected in every 5 days for 50 days by measuring the length of the stem, number of leaves and stem diameter. Root length and its AMF infection rate were measured at the end of the experiment.

The results showed that the time’s giving of AMF is significantly affect the growth of Koro hijau and the first week (M1) have proven most effective in mutualistic symbiosis with the host plant and the effect of growth is greater compared to control plants (K).

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang berlimpah penulis haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Baik, Penuh Kasih dan Pengharapan, sebab hanya karena rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Banyak hal yang dialami dan dirasakan oleh penulis selama menjalankan dinamika perkuliahan di Universitas Sanata Dharma tercinta ini. Pencapaian yang dialami penulis sampai sejauh ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah mendukung, memberi semangat dan harapan untuk terus berjuang menyelesaikan studi ini.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Romo Provinsial Serikat Jesus yang telah memberikan perutusan dan dukungan kepada penulis untuk melakukan studi khusus.

2. Komunitas Robertus Bellarminus, khususnya komunitas Pradnya Laksita yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam menempuh masa studi dengan penuh afeksi dan perhatian.

3. Mbak Chatarina Riyanti dan keluarga yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan serta melalui kelimpahan doa-doanya.

4. Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang utuh

5. Program Studi Pendidikan Biologi yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk menimba ilmu

6. Kaprodi dan para Dosen Pendidikan Biologi yang telah meluangkan waktu untuk membagikan ilmu dan juga telah berdinamika bersama baik saat menjalani perkuliahan di kelas maupun di luar kelas

7. Romo Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J yang telah mendampingi dengan penuh semangat dan kedekatan selama penulis menjalankan perkuliahan maupun selama mengerjakan tugas akhir.

(9)

ix

9. Teman – teman Pendidikan Biologi angkatan 2013 yang dengan caranya masing-masing telah mendukung, menyemangati, dan menjadi sahabat-sahabat seperjuangan selama menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Khususnya, Paulina Yuliani, Maria Magdalena Melina yang banyak membantu selama masa penelitian.

10. Semua pihak yang telah mendukung serta membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi melengkapi dan membuat tulisan ini menjadi layak untuk dibagikan dan dipercaya.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...………..……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..………ii

LEMBAR PENGESAHAN………iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…...……….v

ABSTRAK………..………vi

2. Kelompok Cendawan Mikoriza………...………10

(11)

xi

B. Macrotyloma uniflorum………..………...14

1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm………...…..14

2. Distribusi Macrotyloma uniflorum………...………...15

3. Morfologi Tanaman…………...………..………....16

4. Pemeliharaan tanaman koro hijau………..………….…………...33

5. Pengamatan………..………..35

F. Analisa Data………..………...39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….….46

A. Hasil………..……...……….46

1. Hasil rerata pertumbuhan.………..………....46

(12)

xii

3. Uji Anova satu faktor…………..………...48

4. Panjang akar………...49

5. Infeksi CMA………..50

B. Pembahasan………...…52

1. Pengaruh Pemberian CMA terhadap Pertumbuhan Tanaman Koro Hijau………..…….……….……...52

2. Pengaruh Jenis Tanah terhadap Simbiosis Mutualistik CMA ………..56 3. Peningkatan Kesuburan Tanah Lahan Beka Tambang Kapur.………..58 4. Faktor Abiotik dan Biotik yang Mempengaruhi Pertumbuhan Koro Hijau ……..……….…...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.………...………..…67

A. Kesimpulan………..………..67

B. Saran………..………....67

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Taksonomi CMA menurut Schubler (2010)....……….…12

Tabel 3.1. Denah Percobaan..……….…30

Tabel 3.2. Hasil pengamatan tanaman Koro hijau……….…37

Tabel 3.3. Rerata panjang batan tangaman Koro hijau.……….…40

Tabel 3.4. Rerata jumlah daun Koro hijau………...…….….41

Tabel 3.5. Rerata diameter batang Koro hijau……….…..42

Tabel 3.6. Hasil panjang batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda……….…...43

Tabel 3.7. Hasil jumlah daun tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda..……….…...44

Tabel 3.8. Hasil diameter batang tanaman Koro hijau berdasarkan permberian CMA dengan waktu yang berbeda...…...45

Tabel 4.1. Rerata pertumbuhan panjang batang, jumlah daun dan diameter batang tanaman Koro hijau..……….…...46

Tabel 4.2. Rata-rata panjang akar per perlakuan dan kontrol………....49

Tabel 4.3. Persentase infeksi CMA………...….…...51

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Koro hijau (Macrotyloma uniflorm) ... 16

Gambar 4.1: Panjang akar koro hijau M1, M2, M3 dan Kontrol negatif ... 50

Gambar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza ... 51

Gambar 4.3: Aphis cracivora Koch ... 62

Gambar 4.4: Stomopterix subsecivella ... 63

Gambar 4.5: Akibat serangan Peanut Mottle Virus ... 64

Gambar 4. 6: Akibat serangan Bean Yellow Mosaik Virus ... 65

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I: Data Pengamatan Indikator Pertumbuhan Koro Hijau ... 74

A. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 74

B. Hasil Panjang batangTanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 75

C. Hasil Jumlah Daun Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76

D. Hasil Diameter Batang Tanaman Koro Hijau Berdasarkan Pemberian CMA dengan Waktu yang Berbeda ... 76

Lampiran II: Uji Statistik Pertumbuhan Koro Hijau ... 76

A. Uji Normalitas Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang ... 76

B. Uji Homogenitas ... 78

C. Uji Deskriptif dan Anova ... 79

D. Uji Post Hoc; Uji Tukey HSD ... 82

Lampiran III: Data Pengamatan Panjang Akar, Infeksi Mikoriza dan Faktor Ekternal Pertumbuhan ... 86

A. Panjang Akar ... 86

B. Infeksi CMA ... 86

C. pH, Suhu dan Kelembapan ... 89

Lampiran IV: Rancangan Hasil Penelitian untuk Pendidikan ... 91

A. Silabus……….. ... 91

(16)

xvi

C. Instrumen Tes Tertulis ... 109

D. Rubrik Penilaian Kognitif ... 110

E. Instrumen Non-Test ... 112

Lampiran V: Dokumentasi Penelitian ... 115

A. Bahan yang Digunakan ... 115

B. Lokasi dan Tata letak Tanaman ... 115

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang memiliki sumber daya

alam yang sangat kaya. Kekayaan alam tersebut tercermin dari keanekaragaman

hayati yang dimilikinya. Bentangan hutan dan lautan yang luas adalah contoh

konkretnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber daya energi yang

melimpah, baik itu berupa gas bumi, minyak bumi dan hasil tambang. Dengan

kekayaan sumber daya alam itulah, Indonesia sejauh ini mampu memenuhi

kebutuhan hampir seluruh penduduknya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber

daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan oleh pemerintah dan penduduk

Indonesia sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam itu

sendiri, yang berarti juga demi kesejahteraan penduduk Indonesia.

Kenyataanya, pengelolaan sumber daya alam di Indonesia belum berjalan

dengan baik. Apa yang terjadi masih berupa eksploitasi alam yang berlebihan,

bukan pengelolaan secara berkelanjutan. Akibatnya, kerusakan sumber daya alam

di Indonesia pun terjadi secara masif. Sayangnya lagi, eksploitasi tersebut tidaklah

selalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia, melainkan

untuk memenuhi tingkat kerakusan pihak-pihak tertentu. Dampaknya dapat

dibayangkan, yaitu terjadinya kerusakan alam secara progresif. Banyak hutan

mengalami penggundulan dan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan yang

cenderung kurang ramah lingkungan. Kebakaran dan pembakaran hutan pun

(18)

tumbuhan dan hewan pun terancam. Sementara itu, di laut pun juga terjadi

hal yang sama. Eksploitasi hasil laut terjadi secara besar-besaran dan

menggunakan cara-cara yang tidak tepat. Kerusakan ekosistem laut, terumbu

karang dan menipisnya jumlah biota laut pun terjadi. Deretan eksploitasi alam

juga terjadi pada sumber-sumber energi seperti eksploitasi gas bumi, minyak

bumi, dan aneka jenis tambang yang lain.

Berdasarkan rentetan kerusakan sumber daya alam di atas, kerusakan alam

akibat bekas penambanganlah yang memiliki tingkat kesulitan dalam usaha

restorasi lahannya, sebab materi-materi bekas tambang yang diambil adalah

materi-materi yang tidak terbarukan. Salah satu jenis tambang yang banyak

beroperasi di Indonesia adalah tambang batu gamping (lime stone). Tambang batu

gamping atau kapur biasanya dilakukan di kawasan batuan karst. Di Indonesia

kawasan batuan karst tersebar hampir di setiap pulau besar seperti, Sumatera,

Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan

Papua (Anonim, 2013). Sedangkan berdasarkan penggolongannya, tambang batu

gamping merupakan merupakan bahan galian industri. Batuan gamping tersusun

dari batuan gamping non klastik; merupakan koloni binatang laut “gamping koral”

penyusun utama adalah koral dan batuan gamping klastik; hasil rombakan batu

gamping akibat erosi, transportasi dan sedimentasi (Zulkifli, 2014).

Di pulau Jawa, khususnya di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat

sejumlah titik penambangan batuan gamping, baik yang masih beroperasi maupun

yang sudah berhenti beroperasi. Pada tahun 2015 terdapat 20 pabrik pengolahan

(19)

mengantongi ijin operasi. Untunglah, pada tahun 2015, banyak pabrik pengolahan

hasil tambang gamping tersebut telah berhenti beroperasi, bersamaan dengan

terbitnya Peraturan Gubernur (pergub) no 31 tahun 2015. Munculnya pergub

tersebut merupakan tindak lanjut dari Undang-undang no 23 tahun 2014 tentang

pemerintah daerah (Pribadi, 2015).

Lepas dari polemik tentang legal penambangan, pergub dan

perundang-undangan di atas, praktek penambangan yang terjadi di daerah Gunungkidul telah

menyisakan dampak kerusakan lingkungan bagi kawasan Gunung Sewu Geo Park

yang telah ditetapkan oleh United Nation, Education, Science, Cultural

Organization (UNESCO) sebagai wilayah warisan dunia. Sebagai kawasan yang

telah dilindungi oleh UNESCO, seharusnya praktek ekploitasi lingkungan di

kawasan tersebut tidak boleh terjadi.

Pasca penambangan batu gamping umumnya meninggalkan kerusakan

lahan bekas tambang dengan proses konservasi yang lamban atau bahkan tidak

terjadi sama sekali. Padahal, jika ditekuni dengan serius, lahan bekas tambang

dapat dipulihkan kondisinya menjadi lahan produktif dan ekonomis serta

bermanfaat untuk menghidupkan kembali keanekaragaman hayati yang mungkin

pernah ada. Sebaliknya, jika lahan bekas tambang dibiarkan saja, justru akan

mengakibatkan tingkat kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar. Selain itu,

ancaman buruk terhadap kualitas dan kuantitas air pun dapat terjadi.

Penambangan batuan gamping dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran air

bawah tanah, tertutupinya pori-pori batuan kapur sebagai resapan air sehingga

(20)

kars, hilangnya top soil di wilayah kars yang mengancam biodiversitas

lingkungan sekitar, dan masih banyak lagi dampak yang lain (William, 2001).

Dalam suasana reflektif, saat merenungkan bahan retret tentang Laudato si

di Pantai Slili, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta pada bulan Juni 2015,

penulis merasa semakin diteguhkan untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan hidup,

khususnya ketika membaca bagian ensiklik yang menyoroti soal hilangnya

keanekaragaman hayati. Dalam ensiklik tersebut disebutkan bagaimana sumber

daya bumi dijarah karena konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka

pendek. Hilangnya hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies

yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya

untuk makanan tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya.

Berbagai spesies mengandung gen yang bisa menjadi sumber daya kunci pada

tahun-tahun mendatang memenuhi kebutuhan manusia dan mengatur beberapa

masalah lingkungan (Fransiscus, 2015).

Sebagai tindakan nyata atas keprihatinan terhadap persoalan

keanekaragaman hayati di atas, penulis bersama sejumlah teman mahasiswa

Pendidikan Biologi Sanata Dharma, yang tergabung dalam Orang Muda Peduli

Konservasi Alam (OPERA), telah memulai banyak kegiatan konservasi. Tujuan

dari komunitas tersebut adalah untuk memberikan perhatian terhadap persoalan

konservasi alam, baik melalui kegiatan edukasi sederhana maupun kegiatan

konservasi. Berbagai kegiatan pun kami lakukan, dimulai dari kegiatan

pembibitan, edukasi ekologi dan pembuatan kebun herbal di SD Kanisius

(21)

Pendidikan Biologi Sanata Dharma di desa Putat, Gunungkidul, Yogyakarta serta

beberapa jenis tanaman herbal di Laboratorium Pendidikan Biologi Sanata

Dharma.

Dalam tataran ranah akademik, penulis tetap ingin mewujudkan perhatian

di bidang konservasi dengan melakukan sebuah penelitian yang terkait dengan

reklamasi lahan bekas tambang, yaitu “Pengaruh Waktu Pemberian Cendawan

Mikoriza Arbuskular terhadap Pertumbuhan Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm) sebagai Tumbuhan Pionir Pengembalian Kesuburan Tanah Bekas Tambang Kapur”. Gagasan ini awalnya muncul karena dipicu oleh ajakan

seorang teman (Tegar Yudha Restuti S.Pd) untuk menyusun sebuah proposal

penelitian tentang cara melakukan reklamasi lahan bekas tambang secara efektif

dengan menggunakan cendawan mikoriza arbuskular. Cendawan mikoriza adalah

jenis cendawan yang dapat bersimbiosis mutualistik dengan banyak jenis

tanaman. Simbiosis tersebut terjadi pada bagian akar tanaman. Dalam simbiosis

ini, tanaman dibantu oleh cendawan mikoriza dalam mengabsorbsi nutrisi dari

dalam tanah. Sebagai gantinya, cendawan mikoriza mendapatkan karbohidrat dari

tanaman guna mendukung pertumbuhan.

Pada penelitian ini, penulis memilih jenis tanaman Koro Hijau

(Macrotyloma uniflorm) sebagai jenis tanaman yang diharapkan dapat

bersimbiosis secara baik dengan cendawan mikoriza. Koro hijau adalah jenis

tanaman dengan usia pendek yang mudah didapat, mudah dalam penanaman,

perawatan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu, tanaman koro

(22)

melakukan fiksasi nitrogen. Dengan kata lain, selain dapat bermutualisme dengan

mikoriza, koro hijau juga dapat menambat nitrogen yang nantinya juga memiliki

potensi dalam menyuburkan kembali lahan bekas tambang.

Penelitian tentang reklamasi lahan bekas tambang ini menjadi lebih

menarik pada saat kegiatan tersebut sejalan dengan concern yang penulis miliki.

Meskipun di daerah Yogyakarta, tempat di mana penulis menempuh studi, tidak

terlalu merasakan adanya dampak dari kerusakan lingkungan hidup akibat

penambangan, namun peneliti merasakan pentingnya nilai penelitian ini dalam

konteks yang lebih luas. Dengan kata lain, jika nantinya aplikasi dari hasil

penelitian ini membuahkan hasil yang baik, hasil tersebut dapat digunakan untuk

proses reklamasi lahan bekas tambang batu gamping di banyak tempat lain di

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin diteliti yaitu :

1. Apakah waktu pemberian CMA memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman koro hijau?

2. Apakah terjadi simbiosis mutualistik antara mikoriza dengan tanaman koro

hijau sebagai tumbuhan pionir?

3. Apakah pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar bagi pertumbuhan

tanaman koro hijau dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa

(23)

C. Batasan Masalah

1. Penelitian ini tidak meliputi pengamatan terhadap jenis-jenis cendawan

mikoriza yang bersimbiosis mutualistik dengan tanaman koro hijau.

2. Identifikasi spesies CMA yang digunakan tidak dilakukan.

3. Penelitian tidak dilakukan lokasi tambang bekas kapur, melainkan dengan

mengambil sampel tanah dari lokasi bekas tambang atas dasar hasil

observasi.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk:

1. Menguji pengaruh waktu terhadap pemberian CMA pada tanaman Koro

hijau.

2. Menguji ada tidaknya simbiosis mutualistik yang terjadi antara CMA dan

tumbuhan koro hijau sebagai tumbuhan pionir.

3. Menguji pengaruh pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar

terhadap pertumbuhan tanaman koro hijau dibandingkan dengan

pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa pemberian CMA).

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Dapat mengetahui pengaruh waktu pemberian CMA dalam usaha

(24)

2. Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan materi

pembelajaran biologi di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), khususnya pada

materi pembelajaran tentang kerusakan lingkungan dan upaya pelestariannya di

kelas X atau tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kelas XII.

3. Bagi Siswa

Penelitian ini dapat diaplikasikan oleh para siswa dengan bentuk yang

lebih sederhana dalam suatu praktikum. Dengan cara itu, pemahaman siswa

terhadap persoalan lingkungan hidup menjadi lebih baik, sebab mereka langsung

mempraktekkannya.

4. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi kegiatan-kegiatan konservasi dan

pengembangan lahan bekas tambang, khususnya batu kapur. Selain itu,

lingkungan alam yang telah dieksploitasi dapat dikembalikan fungsinya sebagai

(25)

9 BAB II DASAR TEORI

A. Cendawan Mikoriza 1. Pengertian Mikoriza

Mikoriza merupakah hubungan mutualistik antara akar dan cendawan.

Tumbuhan inang menyediakan fungi dengan suplai gula yang tetap. Sementara

itu, cendawan meningkatkan area permukaan bagi pengambilan air dan juga

menyuplai tumbuhan dengan fosfat dan mineral-mineral lain yang diabsorbsi dari

tanah. Mikoriza juga menyekresikan faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang

akar untuk tumbuh dan bercabang, seperti antibiotik yang membantu melindungi

tumbuhan dari patogen-patogen di dalam tanah (Campbell, 2010).

Simbiosis mutualistik utama mikoriza terdiri dari dua tipe: ektomikoriza

dan mikoriza arbuskular (endomikoriza). Dalam ektomikoriza, miselum (masa

hifa yang bercabang) membentuk selubung yang rapat, atau mantel, di permukaan

akar. Hifa cendawan membentang dari mantel ke dalam tanah, sehingga

meningkatkan area permukaan absorpsi air dan mineral. Hifa juga tumbuh ke

dalam korteks akar. Hifa ini tidak menembus sel-sel akar namun membentuk

jejaring di apoplas, atau rongga ekstraselular, yang memfasilitasi pertukaran

nutrien antara fungi dan tumbuhan (Campbell, 2010).

Mikoriza memiliki peranan penting bagi kawasan tanah yang miskin

nutrisi, membantu dalam proses dekomposisi sampah-sampah organik, translokasi

jenis-jenis nutrien seperti nitrogen dan fosfor dari tanah ke jaringan akar. Dengan

(26)

menyediakan akumulasi ion secara selektif dan penyerapannya, memobilisasi

macam-macam nutrien pada tanah-tanah yang kurang subur, meningkatkan

kemampuan tanaman untuk menyerap air dari tanah. Mikoriza juga mengurangi

tingkat kerentanan inangnya terhadap invasi patogen dengan memanfaatkan akar

karbohidrat dan unsur-unsur kimiawi lain menjadi lebih menarik bagi patogen.

Mikoriza menyediakan pembatas fisik bagi patogen dan sebagai gantinya,

tanaman menyediakan cadangan karbohidrat secara konstan bagi mikoriza (Robert

dan Thomas, 2001).

Akar tanaman dapat membentuk simbiosis mikoriza hanya jika terpapar

oleh spesies cendawan yang sesuai. Akar tanaman yang terinfeksi cendawan

umumnya lebih tebal, lebih pendek dan lebih bercabang-cabang. Di alam, sekitar

10 % famili tumbuhan memiliki spesies yang membentuk asosiasi dengan

mikoriza dan banyak di antara spesies-spesies tersebut merupakan tumbuhan

berkayu, termasuk anggota family pinus, spruce, ek, walnut, brich, willow dan

eukaliptus (Campbell, 2010).

2. Kelompok Cendawan Mikoriza

Kelompok cendawan mikoriza yang paling penting dan melimpah adalah

cendawan mikoriza arbuskular (CMA), cendawan ektomikoriza (CEM) dan

cendawan mikoriza ericoid (CME). CMA melimpah di daerah padang rumput,

savana dan hutan-hutan tropis dan banyak bersasosiasi dengan jenis rerumputan,

jenis tanaman herbal, tanaman-tanaman tropis, dan tanaman semak belukar. CEM

berasosiasi dengan 6000 jenis spesies tanaman dan melimpah di daerah yang

(27)

rumput di mana mereka dapat berasosiasi dengan tanaman dari keluarga Ericaceae

(Treseder, 2013).

Dari ketiga jenis mikoriza di atas, CMA adalah jenis cendawan yang

banyak berperan dalam meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan di alam.

Sebagai contoh, CMA meningkatkan biodiversitas tanaman dan padang rumput

sekitar 30%. CMA juga memberikan kemudahan dalam hal pembibitan tanaman,

khususnya pada saat proses penyemaian biji, sebab CMA dapat membantu

biji-bijian tanaman memiliki kemampuan lebih cepat dalam memperoleh nutrisi yang

diperlukan (Khasa dkk, 2009).

3. Taksonomi CMA

Glomeromycota adalah filum cendawan yang dikenal bersimbiosis obligat

dengan jenis tanaman yang hidup di darat. Bentuk simbiosis tersebut disebut

mikoriza. Dalam perkembangannya, spesies-spesies dari filum ini digambarkan

dan dinamai berdasarkan pengenalan terhadap morfologi sporanya. Pengenalan

spora itu sendiri dilakukan dengan mengidentifikasi apakah terdapat di sekitar

perakaran tanaman, di luar perakaran atau di permukaan tanah. Pengenalan

terhadap spesies-spesies filum glomeromycota di jaman modern ini dilakukan

dengan melakukan skuen rRNA dengan metode analisis small subunit (SSU) dan

large subunit (LSU). Menurut Schubler (2010) filum Glomeromycota terdiri dari

4 buah ordo, 11 famili dan 27 genus. Gambaran taksonomi Glomeromycota dapat

(28)

Tabel 2.1: Taksonomi CMA Menurut Schubler (2010)

Filum Glomeromycota Kelas Glomeromycetes

Ordo Famili Genus Spesies

Glomerales Glomeraceae Dominikia Dominikiaaurea

Funneliformis Funneliformis africanum Clariodeoglomuraceae Clariodeoglomus Claroideoglomus

etunicatum

Diversiporales Gigasporaceae Bulbospora Bulbospora minima Cetraspora Cetraspora auronigra Acaulosporaceae Acaulospora Acaulospora cavernata Pacisporacea Pacispora Pacispora patagonica Diversisporaceae Corymbiglomus Corymbiglomus tortuosum

Diversipora Diversisporagibbosa Otospora Otospora bareae Redeckera Redeckera pulvinatum Tricispora -

Sacculosporaceae Sacculospora Sacculospora felinovii Paraglomerales Paraglomeraceae Paraglomus Paraglomus brasilianum Archaesporales Geosiphonaceae Geosiphon Geosiphon pyriformis

Ambisporaceae Ambispora Ambispora callosa Archaeosporaceae Archaeospora Archaeospora schenckii

Meskipun metode dan cara identifikasi spesies-spesies cendawan semakin

modern, Schubler(2010) mengakui masih banyak kekurangan. Banyak genus dan

spesies dari filum Glomeromycota diidentifikai dengan bukti yang kurang

memadai. Salah satu alasannya adalah karena kekurangan bukti penelitian.

Bahkan, dalam beberapa kasus, taksonomi CMA hanya dapat diidentifikasi

(29)

Paradentiscutata dan Tricispora. Di Indonesia, jenis mikoriza yang paling banyak

berasal dari tiga genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora. Ketiga genus

cendawan tersebut sering berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman

(Musfufah, 2016).

Taksonomi CMA bervariasi terkait dengan kontribusinya terhadap

pengambilan nutrisi bagi tanaman. Beberapa genus, seperti Scutellospora dan

Gigaspora membentuk sejumlah hifa yang luas sehingga dapat mengakuisisi

nutrien secara lebih baik. Genus yang lain seperti Glomus, Funneliformis dan

Rhizophagus membentuk biomasa hifa lebih sedikit, dan membentuk mutualisme

yang lebih rendah. Namun, produksi yang lebih besar terhadap ekstra radikal hifa

tidak selalu membawa pada keuntungan bagi tanaman. Sejauh rasio antara

persentase panjang akar yang terkolonisasi dan ekstra radikal biomasa hifa

beragam, tidaklah terlalu jelas sejauh apa baiknya panjang akar yang terkolonisasi

menyatakan keuntungan yang diperoleh tanaman inang jika harus melampau

macam-macam taksonomi CMA (Verhoef, 2010).

4. Keuntungan CMA bagi Tanaman

Dilihat dari sisi keuntungannya bagi berbagai jenis tanaman, CMA dapat

membantu tanaman dalam hal, yaitu:

a. Meningkatkan daya serap air dan hara terutama yang relatif immobile

seperti P, Cu dan Zn, juga yang relatif mobil seperti K, S, NH4+, dan Mo.

b. Menurunkan stress tanaman akibat infeksi patogen akar, kondisi tanah

salin, kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta

(30)

c. Meningkatkan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah

tidak subur, dan terhadap kemasaman dan toksisitas Al, Fe dan Mn pada

tanah masam.

d. Meningkatkan nodulasi dan daya fiksasi N2 oleh Rhizobium pada

simbiosis legume.

e. Meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn.

f. Merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi

hormon sitokinin, auksin gibberellin, dan eksudasi asam-asam organik

dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara.

g. Mempercepat fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen

dipercepat, serta meningkatkan daya tahan tanaman pada awal

penanaman.

h. Berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah,

dalam agregasi tanah dan mengurangi erosi atau pelindian hara tanah

(Kemas, 2005).

B. Macrotyloma uniflorum

1. Klasifikasi Macrotyloma uniflorm

Koro hijau adalah jenis tanaman dari keluarga Fabaceae

(polong-polongan) yang penting namun tidak banyak dikenal sebagai jenis tanaman yang

dapat dibudidayakan. Tanaman ini tumbuh di banyak negara, khususnya di

negara-negara tropis dan sub-tropis. Berikut ini adalah klasifikasi dari koro hijau

(31)

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Fabales

Family : Fabaceae

Genus : Macrotyloma

Species : Macrotyloma uniflorum L.

2. Distribusi Macrotyloma uniflorum

Macrotyloma uniflorum juga dikenal dengan naman Dolichos uniflorum.

Menurut United State Department of Agricultur (USDA) kedua nama tersebut

mengacu pada spesies yang sama. Tanaman terebut adalah asli tanaman tropis.

Kemungkinan, tanaman tersebut mengalami domestisasi di India, di mana

tanaman tersebut telah dikenal di sana sejak jaman prasejarah.Di Jawa, tumbuhan

ini memiliki nama lokal: kara krupuk, kara hijau atau koro legi, sedangkan di

Sunda, nama tanaman ini adalah roway atopese.

Saat ini, M. uniflorm banyak dibudidayakan di daerah Asia Selatan dan

India, Myanmar dan Afrika. Tanaman ini biasanya tumbuh hingga pada

ketinggian 0-1800 mdpl. Iklim tropis dan sub-tropis sangat ideal bagi

pertumbuhan tanaman ini. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah lahan

kering dengan suhu antara 25-35°C. Tanaman ini mampu beradabtasi dengan

berbagai jenis tanah seperti pasir, kerikil hingga di tanah liat. Pada tanah lempung

yang terlalu basa, jenis tanaman ini kurang tumbuh dengan baik. pH normal bagi

(32)

bijinya. Waktu penanaman yang baik dapat dilakukan pada akhir bulan Juni.

Tanaman ini akan mulai berbunga dan berbuah antara bulan Agustus ke Oktober.

Secara umum, usia tanaman ini adalah 4-6 bulan.

3. Morfologi Tanaman

Tanaman ini termasuk Fabaceae (Leguminoceae) yang tergolong

sub-famili Foboidea. Bunganya berbentuk kupu-kupu. Di pulau Jawa dijumpai empat

jenis legum ini, yang umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan sayuran.

Polong-polong yang masih muda berasa manis dan berwarna hijau tua.

Berdasarkan morfologinya, legum ini berumur satu musim atau beberapa musim

tergantung pada varietasnya.

Gambar 2.1. Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm)

Tanaman ini tumbuh menjalar dan membelit ke kiri pada tanaman lain

yang hidup di dekatnya. Tinggi dan panjang tanaman bisa mencapai 3-6 m. Daun

tumbuhan ini majemuk, beranak tiga, berbentuk delta, segitiga atau bulat telur

melebar dengan ujung daun meruncing. Panjang tangkai daun 2-14 cm; lebar

(33)

tandan, masing-masing tandan berisi 2-6 bakal bunga. Bunga berwarna jingga

pucat campur putih atau kuning pucat. Polong berwarna hijau tua, bagian ata

polong membentuk garis dan bagian bawah melengkung dengan ujung polong

membengkok dan membulat seperti sabit. Untuk meningkatkan daya dukung dan

nilai tambah lahan pertanian, tanaman ini dapat ditanam di sela-sela tanaman di

pematang, atau di sekitar pagar tanaman di pekarangan rumah. Pertumbuhan

tanaman ini sangat cepat, hasil pengamatan yang dilakukan di India menunjukkan

dalam waktu 6-7 minggu setelah tanam, mampu menghasilkan hijauan segar

sebanyak 5-12 ton per hektar (Purwanto, 2007).

4. Kegunaan Tanaman

Seperti sifat Fabaceaesecara umum, legum ini juga sangat baik digunakan

sebagai tanaman penyubur tanah yang dapat meningkatkan daya dukung lahan.

Legum ini mampu menyediakan hijauan segar sumber bahan organik serta

mempunyai bintil akar yang mengandung bakteri Rhizombium. Menurut

Rachman dkk (2010), dedaunan hijau (pupuk hijau) memiliki unsur nitrogen yang

kaya yang bermanfaat bagi jenis tanaman lain. Selain itu, pupuk hijau legum lebih

mudah terdekomposisi jika ditimbun dalam tanah. Dengan kata lain, jika tujuan

utama dari pemberian pupuk hijau adalah untuk penambahan dan penyediaan

unsur hara secara relatif cepat, maka lebih baik pemberian pupuk hijau dilakukan

dengan cara dicampur atau dibenamkan. Penambahan pupuk hijau bisa dilakukan

dalam bentuk segar bila rasio C atau N dari bahan tanaman yang digunakan relatif

rendah. Sedangkan bila rasio C atau N terlalu tinggi lebih baik dikompos lebih

(34)

banyak dimanfaatkan petani sebagai tanaman lorong (alley cropping). Sebagai

tanaman lorong, M. uniflorm banyak ditumpangsarikan misalnya jagung dan

bunga matahari, namun terbuka juga dengan jenis tanaman budidaya lainnya.

Menurut Kumar (2010) tanaman M. uniflorm sangat produktif dalam membantu

pertanian tanaman budidaya dengan menyediakan kesuburan tanah, khususnya

terhadap ketersediaan unsur N dalam tanah dan terciptanya iklim mikro di sekitar

tanaman budidaya, misalnya jagung, bunga matahari dan jenis-jenis tanaman yang

lain. Sebagai tanaman penutup tanah, legum ini sangat baik ditanam pada musim

kemarau, karena sangat toleran terhadap kekeringan. Dalam penananmannya,

dapat ditumpangsarikan dengan tanaman jagung atau ubi kayu.

Buah polong mudanya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, sedangkan

bijinya dapat digunakan bahan baku pembuatan tempe, taoco ataupun kecap. Biji

koro hijau dapat juga dijadikan sebagai sumber nutrisi bagi warga masyarakat

yang kurang mengkonsumsi daging, khususnya di negara-negara yang

berkembang. Biji koro dikenal juga menjadi sumber protein dan nutrisi lainnya.

Biji koro mengandung karbohidrat 57.2%, protein 22%, serat 5.3%, lemak 0.5%,

kalsium (287mg), fospor (311mg), besi (6.77mg) dan kalori (321 kkal) dan

vitamin (Bhartiya dkk, 2015).

Selain sebagai sumber makanan yang memiliki nilai tinggi nutrisi, biji

koro hijau juga memiliki manfaat sebagai tanaman obat. Di India, di mana jenis

tanaman ini sangat populer, tanaman ini merupakan jenis tanaman yang banyak

dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai

(35)

ginjal (Ravishankar, 2012). Tanaman koro hijau juga membantu dalam

menurunkan kadar kolesterol, sebagai antioksidan, kekurangan gizi, dan

pengobatan bagi penyakit kuning (Mehra, 2013). Pemanfaatan koro hijau sebagai

obat tradisional lebih banyak menggunakan tepung dan ekstrak dari biji koro hijau

itu sendiri serta mengkonsumsinya. Pemanfaatan dengan cara lain dapat dilakukan

dengan mengkonsumsi kecambah dari koro hijau itu sendiri, misalnya

mencampurnya dengan salad. Mengkonsumsi kecambah koro hijau lebih memiliki

banyak manfaat, selain memiliki kandungan vitamin A, C, thiamin, potassium dan

zat besi, kecambah juga membantu mengurangi produksi gas dalam pencernakan

dibandingkan dengan mengkonsumsinya dalam bentuk kering (Anonim, 2013).

C. Batuan Kapur

1. Formasi Batuan Karst

Batu kapur, dolomit, marmer atau batuan karbonat adalah formasi utama

pembentuk batuan karst. Karst adalah tipe topografi yang dibentuk oleh batuan

kapur, gypsum, dan batuan-batuan lain yang mengalami peleburan sehingga

membentuk lubang-lubang tanah, goa-goa dan daerah drainase bawah tanah.

Kawasan karst merupakan kawasan yang meliputi 10% wilayah permukaan bumi

(Langer, 2001. Saat ini ada perhatian besar terhadap perilaku manusia terhadap

lingkungan kawasan karst. Perhatian tersebut muncul karena dimotivasi oleh

dampak yang ditimbulkan atas kerusakan lingkungan kawasan karst terhadap

kualitas kehidupan manusia. Banyak aktivitas manusia secara negatif berakibat

pada kawasan karst di antaranya penggundulan hutan, kegiatan pertanian,

(36)

Proses natural terbentuknya batuan karst terjadi selama ratusan ribu tahun.

Formasi karst terjadi dengan meliputi interaksi antara batuan karbonat dan

perairan yang sedikit asam. Asam karbonat adalah asam ringan yang terbentuk

oleh air hujan dan reaksi karbon dioksida. Pada saat air hujan melalui tanah, air

menyerap lebih banyak karbon dioksida dan menjadi lebih asam. Batuan karbonat

yang dialiri oleh air hujan yang telah menjadi asam akan membentuk rekahan dan

air merembes ke lapisan lebih rendah. Semakin sering dan banyak air yang

melalui rekahan itu, maka rekahan itu pun akan menjadi semakin besar. Dengan

cara seperti itulah goa-goa dan saluran-saluran air di batuan karst terbentuk

(William, 2001).

2. Wilayah Karst di Gunungkidul

Wilayah Karst di Gunungkidul tersmasyur di dunia dengan sebutan Karst

Gunung Sewu yang diperkenalkan pertama kali oleh Danes (1910) dan Lehmann

(1936) dalam Adji, (2009). Karst ini dicirikan dengan berkembangnya kubah

karstt (kegelkarstt), yaitu bentukan positif yang tumpul, tidak terjal atau sering

diistilahkan kubah sinusoidal. Kegelkarstt ini dikategorikan sebagai bagian dari

tipe karst tropis. Sebagai salah satu kawasan karst di Indonesia, Gunung Sewu

dapat dikategorikan sebagai karst jenis terbuka (bare/nackters karst) yang

dicirikan oleh bentukan karst yang merupakan fenomena termashyur dari tipografi

karst yang sangat khas berupa conical hills yang tidak dijumpai pada kawasan

karstt lain di seluruh dunia (Adji, 2009).

Gunung Sewu merupakan bagian dari zona pegunungan selatan Jawa

(37)

lalu) yang kemudian larut membentuk bentang alam karst. Luas kawasan Gunung

Sewu terbentang dari Barat sampai ke Timur, dimulai dari pantai Parangtritis

hingga Teluk Pacitan. Luasnya mencapai 126.000 hektar dan mencakup 3 provinsi

yakni Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten

Wonogiri, Jawa Tengah dan Kabupaten Pacitan Jawa Timur.

Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1.485,36 km2 atau 46,

63% dari luas wilayah Yogyakarta dan terdiri dari 18 kecamatan serta 144 desa.

Kawasan Geopark Gunung Sewu terdiri dari 33 situs, yang terdiri dari 30 situs

geologi dan 3 situs non geologi. Wilayah Gunungkidul memiliki banyak potensi,

di antaranya sebagai obyek ekowisata hutan dan alam pegunungan, agrowisata

pertanian, wisata pantai, goa, variasi flora dan fauna, keunikan bidaya dan

kehidupan masyarakat lokal serta budayanya (Abida dkk, 2015).

3. Tambang Kapur dan Jenis Tanah

Menurut undang-undang Direktorat Jendral Mineral dan Batubara,

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral no.4 Tahun 2009, pertambangan

adalah sebagaian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,

pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan

umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Berdasarkan undang-undang yang sama juga dikatakan bahwa asas dan tujuan

pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:

a. manfaat, keadilan, dan kesimbangan;

(38)

c. partisipatif, transparasnsi, dan akuntabilitas;

d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Berdasarkan jenisnya, pertambangan dapat dibagi menjadi dua bagian; 1.

tambang terbuka: Semua kegiatan dilakukan di permukaan tanah. Pada kegiatan

ini, khususnya untuk bahan galian industri dinamakan quarry mining. 2. Tambang

bawah tanah: Tambang bawah tanah disebut juga dengan istilah lubang tikus

(Geophering). Pertambangan ini diterapkan untuk endapan bahan galian industri

atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata.

Arah penambangannya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang

ditambang.

Berdasarkan dua jenis tambang di atas, tambang batuan kapur merupakan

jenis tambang terbuka. Batuan kapur memiliki dua ciri yaitu; 1. non klastik: yang

terdiri dari koloni binatang laut “gamping koral” penyusun utama adalah koral. 2.

klastik: hasil rombakan batu gamping akibat erosi, trasporasi, sortasi dan

sedimentasi.

3.1 Sifat Batu Kapur

Berikut ini adalah beberapa sifat batu gamping:

a. Secara kimia terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium atau

gamping dolomitan

b. Berat jenis = 2

c. Keras, pejal dan porous

d. Warna putih susu, abu-abu muda, coklat, merah, hitam.

(39)

f. Ditemukan di gua-gua gamping

3.2 Manfaat Batu Kapur

a. Campuran bahan bangunan pembuatan pondasi, plester, jalan

b. Penetral keasaman tanah

c. Bahan baku semen Portland

d. Bahan pemutih, penggosok, keramik, tahan api

e. Bahan penjernih air.

3.3 Jenis Tanah di Sekitar Wilayah Berkapur

Jenis tanah dapat dikenali pertama-tama dengan mengetahui sifat fisik

tanah itu sendiri. Secara keseluruhan sifat fisik tanah ditentukan oleh: 1. Ukuran

komposisi partikel-partikel hasil pelapukan bahan penyusun tanah, 2. Jenis dan

proporsi komponen-komponen penyusun partikel-partikelnya; 3. Keseimbangan

antara suplai air, energi dan bahan dengan kehilanganya, 4. Intensitas reaksi

kimiawi dan biologis yang telah atau sedang berlangsung (Kemas, 2005).

Berdasarkan sifat-sifat fisik tanah di atas, terdapat tiga macam jenis tanah

yang terdapat di sekitar wilayah batuan kapur, yaitu tanah grumusol, tanah kapur,

dan tanah litosol. Tanah grumusol terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan

tuffa vulkanik. Kandungan organik di dalamnya lebih rendah karena dari batuan

kapur, jadi dapat disimpulkan tanah ini tidak subur dan tidak cocok untuk

ditanami tanaman. Tekstur tanah ini kering dan mudah pecah, terutama saat

musim kemarau dan memiliki warna hitam. pH yang dimiliki netral hingga

alkalis. Tanah ini biasanya berada di permukaan yang tidak lebih dari 300 meter

(40)

Perubahan suhu pada daerah yang terdapat tanah grumusol sangat nyata ketika

panas dan hujan. Sementara itu, tanah kapur adalah tanah yang berasal dari batuan

kapur yang mengalami pelapukan. Karena terbentuk dari tanah kapur maka bisa

disimpulkan bahwa tanah ini tidak subur dan tidak bisa ditanami tanaman yang

membutuhkan banyak air. Namun jika ditanami oleh pohon yang kuat dan tahan

lama seperti pohon jati dan pohon keras lainnya. Selanjutnya, tanah litosol

merupakan tanah yang baru mengalami perkembangan dan merupakan tanah yang

masih muda. Terbentuk dari adanya perubahan iklim, topografi dan adanya

vulkanisme. Untuk mengembangkan tanah ini harus dilakukan dengan cara

menanam pohon supaya mendapatkan mineral dan unsur hara yang cukup.

Tekstur tanah litosol bermacam-macam ada yang lembut, bebatuan bahkan

berpasir (Yulia, 2015).

D. Penelitian yang Relevan

Musfufah dkk (2016) melakukan sebuah penelitan dengan judul Uji

Kemampuan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) Lokal Bali pada

Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Tujuan dari penelitian tersebut

adalah untuk mengetahui dosis isolat CMA untuk meningkatkan pertumbuhan

tanaman kedelai. Percobaan dilaksanakan selama 2 bulan di Rumah Kaca Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Parameter yang diamati dalam

penelitian ini adalah tinggi tanaman, lebar daun, bobot basah tanaman dan bobot

kering tanaman. Hasil penelitian mennjukkan bahwa inokulasi spora CMA lokal

Bali pada tanaman kedelai (Glycine max L.) menunjukkan pengaruh yang berbeda

(41)

kolonisasi mikoriza pada akar kedelai. Parameter tinggi tanaman, lebar daun,

bobot basah tanaman, dan bobot kering tanaman menunjukkan pengaruh yang

berbeda tidak nyata (P>0,05) pada uji ANOVA taraf 5%.

Sementara itu, Muryanto (2012) juga melakukan peneltian yang sejenis

berjudul Uji Efektivitas dan Multiplikasi Spora Cendawan Mikoriza Arbuskula

(CMA) pada Berbagai Media Pembibitan Dalbergia latifolia dengan tujuan; 1.

Menguji efektivitas CMA pada berbagai media terhadap pertumbuhan bibit D.

latifolia, 2. Menguji inevektifitas CMA dalam berbagai media pada pembibitan D.

latifolia dan mengetahui perkembangan jumlah spora CMA dalam berbagai media

pembibitan. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas CMA terhadap tinggi bibit,

diameter batang dan jumlah daun menunjukkan rerata paling baik, khususnya

pada media tanah: pasir (1:1). Adapun jenis media tanah: pasir: arang sekam

(1:1:1) merupakan media terbaik untuk berat basah, berat akar, berat kering dan

volume akar. Campuran media tanah, sekam dan pasir merupakan media terbaik

untuk inefektivitas CMA 43% dan multiplikasi spora CMA. Selain itu, campuran

media tanah dan pasir merupakan media yang memberikan hasil terbaik untuk

parameter pertumbuhan jumlah daun, tinggi tanaman dan diameter batang.

E. Kerangka Berpikir

Di daerah Gunung Kidul terdapat sejumlah lahan bekas tambang yang

umumnya tidak terurus dengan baik. Salah satu daerah yang memiliki banyak

lahan bekas tambang batu kapur adalah desa Ponjong. Jika dibiarkan begitu saja,

lahan bekas tambang membutuhkan waktu yang sangat lama agar dapat

(42)

Koro hijau adalah salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang

memiliki potensi besar sebagai tanaman budidaya, sekaligus sebagai tanaman

pionir yang mampu mengembalikan tingkat kesuburan tanah lahan bekas

tambang. Koro hijau dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah yang kering,

berbatu dan berpasir seperti yang terdapat pada lahan-lahan bekas tambang di

desa Ponjong.

Lahan bekas tambang kapur yang didominasi oleh tanah kapur, tanah

grumosol dan tanah litosol, memiliki potensi besar untuk direklamasi dengan

memanfaatkan tanaman Koro hijau yang disimbiosiskan dengan cendawan

mikoriza arbuskular. Untuk menguji potensi tersebut perlu dilakukan eksperimen

pengaruh waktu pemberian CMA terhadap pertumbuhan Koro hijau.

Berikut ini adalah diagram kerangka berpikir dalam penelitian ini:

(43)

F. Hipotesis

1. Waktu pemberian CMA berpengaruh terhadap simbiosis antara CMA dengan

tanaman inang ( Koro hijau).

2. Waktu simbiosis mutualistik CMA dan Koro hijau yang paling baik terjadi

pada perlakuan M1 (saat tanaman berusia 1 Minggu).

3. Pemberian CMA memiliki pengaruh lebih besar bagi pertumbuhan tanaman

Koro hijau dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman kontrol (tanpa pemberian

(44)

28 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan model rancangan

eksperimental. Penelitian eksperimental adalah penelitian yang ingin mencoba

untuk mempengaruhi variabel tertentu, bukan hanya untuk mendeskripsikan suatu

keadaan tertentu, tetapi untuk memepengaruhi dengan melakukan perlakuan

tertentu. Penelitian ini adalah satu-satunya penelitian yang sungguh menguji

hipotesa tentang hubungan sebab akibat. Penelitian yang ingin membuktikan suatu

hipotesa. Penelitian ini sekurang-kurangnya memiliki satu variabel bebas dan satu

atau lebih variabel terikat. Dalam penelitian ini, variabel bebas dimanipulasi untuk

melihat apakah ada akibatnya terhadap variabel yang terikat. Selanjutnya, peneliti

menentukan perlakuan yang mau dilakukan pada variabel bebas.

Penelitian eksperimental mempunyai kelompok yang digunakan sebagai

percobaan, yaitu kelompok yang menerima perlakuan. Inilah yang disebut sebagai

kelompok eksperimen. Selain itu, penelitian eksperimental juga memilki

kelompok kontrol, yaitu yang tidak menerima perlakuan. Kelompok kontrol ini

sangat penting untuk melihat apakah perlakuan yang dilakukan berhasil atau

tidak, ada dampaknya atau tidak, dengan dibandingkan dengan kelompok yang

(45)

B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Juni dan diakhiri pada bulan

Oktober 2016 di Kebun Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) atau Completely Random Design (CDR). RAL digunakan untuk

percobaan yang mempunyai media atau tempat percobaan yang seragam atau

homogen (Sastrosupandi, 2000).

Penerapan perlakuan dilakukan secara acak terhadap seluruh unit

percobaan. Ada tiga macam perlakuan berdasarkan waktu, yaitu pemberian pupuk

mikoriza pada saat awal penanaman, yaitu saat bibit berusia 1 minggu (minggu

pertama), pemberian pupuk mikoriza pada saat tanaman berusia dua minggu

(minggu ke dua), dan pemberian pupuk Mikoriza pada tanaman saat berusia 3

minggu (minggu ke tiga) atau (M1, M2, M3) dan satu kontrol, yaitu kontrol

negatif menggunakan tanah kapur. Masing-masing perlakukan diulang sebanyak 6

kali. Total unit percobaan adalah 24 polybag. Denah percobaan disusun secara

acak dan masing-masing polybag diberi identitas baik itu jenis perlakuan maupun

(46)

Tabel 3.1 Denah Percobaan

takaran air, sarung tangan, timbangan, ember, mikroskop, cawan petri, pipet,

cutter, kaca benda, autoklaf, alat tulis, dan kamera.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman koro

hijau (Macrotyloma uniflorm), tanah grumusol, tanah kapur, tanah litosol, pupuk

CMA, pupuk cair organik, pestisida alami, dan air. KOH 10%, HCl 1%, larutan

staining, trypan blue 0,05% dan minyak emersi.

Unit percobaan

(47)

E. Prosedur Kerja

1. Penyiapan lahan

Dalam penelitian ini tanaman koro hijau ditanam dalam polybag dan

diletakkan pada salah satu lahan tertentu yang harus disiapkan secara khusus.

Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lokasi penelitian dari berbagai

macam rumput dan gulma yang mengganggu. Selanjutnya, dilakukan pembuatan

pola pada lahan untuk menempatkan pot-pot polybag serta tempat khusus untuk

melakukan penyiraman.

2. Penyiapan sarana tanam

Penyiapan sarana penanaman yang diperlukan meliputi penyiapan wadah

tanaman, media tanam dan pembibitan.

a. Penyiapan wadah tanaman

Wadah tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag yang

terbuat dari plastik berbentuk bulat lonjong. Wadah tanam yang digunakan

memiliki kedalaman 35 cm dan diameter 35 cm. Pada bagian samping wadah

tanam terdapat lubang drainase

b. Penyiapan media tanam

Media tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah campuran tanah

bekas lahan tambang kapur dan pupuk organik. Jenis tanah yang digunakan adalah

tanah grumusol, tanah kapur, dan tanah litosol. Jenis pupuk organik yang

(48)

tersusun dari materi makhluk hidup berupa pelapukan sisa-sia hewan dan

tanaman. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Perbandingan konsetrasi media adalah 3:1:1:1 untuk tanah kapur, tanah grumosol,

tanah litosol dan pupuk organik sebanyak 0.96 kg. Jumlah total pada

masing-masing polybag adalah 6 kg.

1) Media Tanam Perlakuan 1-3

a) Siapkan tanah kapur, tanah grumosol, tanah litosol dan pupuk organik

dengan perbandingan 3:1:1:1.

b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.

c) Media tanah yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag hingga

memenuhi ¾ volume polybag.

2) Media tanam kontrol negatif

a) Siapkan tanah kapur dan pupuk organik dengan perbadingan 3:1

menggunakan ember.

b) Tanah dan pupuk dicampur hingga merata.

c) Media yang telah dicampur dimasukkan ke dalam polybag.

3). Penyiapan bibit

Penyiapan bibit dilakukan dengan lebih dulu menyemai biji koro hijau

pada media semai, selanjutnya pada hari ketiga dilakukan pemindahan ke dalam

(49)

dan dipindahkan pada media tanam dengan memperhatikan kesamaan rata-rata

jumlah daun dan tinggi tanaman.

3. Penanaman tanaman koro hijau

a. Media tanam di polybag disiram sampai basah.

b. Membuat lubang pada bagian tengah media dengan kedalaman 5 cm.

c. Menanam bibit koro hijau pada pada lubang yang telah disiapkan.

d. Setelah bibit ditanam, media tanam disiram kembali dengan air sebanyak

200 ml.

e. Polybag yang telah berisi tanaman koro hijau ditempatkan pada lokasi

yang telah disediakan agar mendapat sinar matahari secara penuh.

4. Pemeliharaan tanaman koro hijau

a. Penyiraman

Penyiraman tanaman adalah faktor yang penting bagi pertumbuhan

tanaman, khususnya pada saat awal pertumbuhannya. Berdasarkan teori, tanaman

koro hijau adalah jenis tanaman yang toleran terhadap kekeringan, maka

penyiraman terhadap tanaman ini tidak dilakukan setiap hari. Penyiraman

dilakukan 1 kali dalam dua hari dengan volume 200 mili liter untuk setiap

tanaman. Jika pada hari-hari tertentu penetrasi cahaya cukup tinggi dan

berpengaruh terhadap kelembapan tanah pada media tanam, penambahan

(50)

b. Pemberian bambu lanjaran

Pemberian lanjaran berupa belahan bambu diberikan pada tanaman koro

hijau yang telah tumbuh dan membutuhkan media rambat. Agar menancap cukup

kuat, lanjaran ditancapkan pada tanah di luar media polybag. Panjang lanjaran

adalah 2 meter.

c. Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman

Pengendalian terhadap organisme tanaman dilakukan dengan cara

mencabut langsung jenis-jenis gulma yang mungkin tumbuh di sekitar polybag

atau di dalam polybag. Sementara itu, untuk organisme lain yang berupa hama

dan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan menggunakan pestisida alami.

Jenis hama dan penyakit tanaman yang umumnya menyerang tanaman koro

adalah belalang, ulat, kutu, dan virus dari famili Begomovirus yang

mengakibatkan mozaik kuning pada daun koro. Pestisida alami dibuat

menggunakan campuran bawang putih, cabe, serai, air dan sedikit diterjen.

Berikut ini adalah langkah kerja pembuatan pestisida alami dengan

bahan-bahan di atas:

1. Disiapkan bawang putih yang telah dikupas sebanyak 50 gram, cabe rawit

sebanyak 10 gram, serai sebanyak 3 batang, deterjen sebanyak 5 gram dan air

sebanyak 1 liter.

2. Bawang putih, cabai rawit dan serai ditumbuk hingga menjadi halus.

3. Bahan yang telah ditumbuk dicampur dengan air (1 liter) dan diterjen (5

gram). Kemudian didiamkan selama 24 jam.

(51)

5. Dilakukan pengenceran dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali

volume pestisida alami sebelum dilakukan penyemprotan.

Campuran bahan-bahan pestisida di atas memiliki bau yang menyengat

dan tidak disukai hama dan penyakit tanaman. Selain itu, jika mengenai

permukaan kulit organisme tersebut dapat menimbulkan rasa panas dan iritasi.

Bahan-bahan tersebut dipilih sebab mudah didapat dan harganya tidak terlalu

mahal.

5. Pengamatan

a. Pengamatan pertumbuhan

Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data untuk dianalisis.

Pengambilan data dilakukan 3 minggu setelah bibit tanaman ditanam di polybag.

Pada minggu pertama dilakukan pemindahan bibit tanaman ke polybag dan

penerapan perlakuan Minggu 1 (M1). Pada Minggu kedua dilakukan penerapan

perlakuan Minggu 2 (M2). Pada Minggu ketiga dilakukan penerapan perlakuan

Minggu 3 (M3). Penerapan perlakuan kontrol negatif (K) dilakukan sejak minggu

pertama. Pengambilan data pertama dilakukan pada minggu ke empat setelah

semua perlakuan diberikan. Pengambilan data dilakukan selama 5 hari sekali

sebanyak minimal 8 kali. Pengambilan data dilakukan dengan mengukur

pertumbuhan tanaman koro hijau yang meliputi panjang batang, jumlah daun dan

diameter batang. Panjang batang yang diukur adalah batang utama dan

pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran. Pengukuran dimulai dari

pangkal batang hingga ujung batang yang masih muda. Jumlah daun diukur

(52)

batang diukur pada bagian batang dengan ukuran yang paling besar.

Pengukuran-pengukuran yang selanjutnya dilakukan pada tempat yang sama. Pengukuran

batang ini dilakukan dengan menggunakan jangka sorong digital. Pengukuran

kedua dilakukan dengan menghitung jumlah kolonisasi mikoriza pada akar.

Penghitungan ini dilakukan pada masa akhir penelitian, yaitu dengan mencabut

tanaman koro yang telah menerima perlakuan mikoriza. Data yang diperoleh dari

(53)

No Tgl Indikator Pertumbuhan

Perlakuan dan Kontrol Kontrol Negatif

(K)

(54)

b. Pengamatan akar

Pengamatan akar dilakukan dengan menentukan kolonisasi CMA terhadap

akar tanaman koro hijau. Persentasi mikoriza dihitung dengan menggunakan

prosedur Kormanik dan Mc. Graw (1982) dalam Nurhandayani dkk (2013) dengan

modifikasi. Sampel akar diproses dengan tahapan clearing, staining dan

destaining. Clearing dilakukan dengan memotong akar koro hijau 1 cm.

Selanjutnya, potongan akar direndam dalam larutan KOH 10% dan di masukkan

dalam autoklaf selama 10 menit. Potongan akar dalam larutan KOH dibilas

menggunakan air mengalir dan kemudian direndam dalam larutan HCl 1% selama

5-10 menit. Proses staining dilakukan dengan merendam akar dalam larutan

staining ditambah trypan blue 0,05% selama 7 menit. Destaining dilakukan jika

warna trypan blue terlalu pekat. Kolonisasi akar oleh CMA dihitung dengan

metode slide (Nurhandayani dkk, 2013). Langkah selanjutnya adalah mengambil 9

potong akar yang telah diwarnai dan disusun di atas kaca preparat. Dalam

pengamatan dengan mikroskop, bidang pandang yang menunjukkan tanda

kolonisasi (hifa, vesikel atau arbuskula) diberi tanda (+), sedangkan yang tidak

menunjukkan tanda kolonisasi diberi tanda (-). Presentasi kolonisasi akar oleh

mikoriza dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

∑Bidang pandang tanda (+)

% Kolonisasi mikoriza pada akar = --- X 100%

∑Bidang pandang keseluruhan

Tingkat Infeksi akar terdiri dari 5 kelas:

(55)

Kelas 2 bila kolonisasi akar 6%-25% (rendah);

Kelas 3 bila kolonisasi akar 26%-50% (sedang);

Kelas 4 bila kolonisasi akar 51%-75% (tinggi);

Kelas 5 bila kolonisasi akar 75%-100% (sangat tinggi.

F. Analisa Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan tes ANOVA (Uji

F, Analysis of Variance). Tes ini digunakan untuk mengetes kelompok lebih dari

dua. Misalnya 3 atau 4 kelompok, atau lebih. Secara umum uji F dibedakan

menjadi dua: (1) Anova untuk One Factor between Designs; dan (2) Anova untuk

One Factor within Subject Design. Between design digunakan bila kelompok

yang diuji itu independen, sedangkan within design bila kelompoknya dependen.

Uji Anova yang digunakan dalam penelitian ini adalah anova untuk one factor

between subject designs. Uji ini digunakan untuk menguji tiga atau lebih

kelompok yang terpisah secara independen (Suparno, 2014).

Setelah hasil pengukuran diperoleh, kemudian dicari hasil rerata

(56)

No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif

(57)

No Minggu I (M1) Minggu II (M2) Minggu III (M3) Kontrol Negatif

(58)

Tabel 3.5 Rerata Diameter Batang Tanaman Koro Hijau

M1: Perlakuan Minggu pertama dengan 6 ulangan (M1.1-M1.6). M2: Perlakuan Minggu kedua dengan 6 ulangan (M2.1-M2.6). M3: Perlakuan Minggu ketiga dengan 6 ulangan (M3.1-M3.6). K: Kontrol Negatif dengan 6 ulangan (K.1-K.6).

(59)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K) Keterangan

(60)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K)

Keterangan

(61)

No Perlakuan Jumlah Ulangan

1 2 3 4 5 6 Total Rerata

1 Minggu 1 (M1) 2 Minggu 2 (M2) 3 Minggu 3 (M3) 4 Kontrol Negatif

(K)

Keterangan

1: Ulangan 1, 2: Ulangan 2, 3: Ulangan 3, 4: Ulangan 4, A: Ulangan 5, 6: Ulangan 6

Berdasarkan data-data di atas, variansinya dianalisis untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata di antara kelompok-kelompok perlakuan di atas. Perhitungan selanjutnya, untuk melakukan analisis digunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS).

(62)

46 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Hasil Rerata Pertumbuhan

Indikator pertumbuhan dalam percobaan ini adalah rerata pertumbuhan

(panjang batang, jumlah daun dan diameter batang) tanaman koro hijau. Berikut

ini adalah tabel rerata pertumbuhan dari perlakuan M1, M2, M3 dan Kontrol:

Tabel 4.1. Rerata Pertumbuhan Panjang Batang, Jumlah Daun dan Diameter Batang Tanaman Koro Hijau

No Perlakuan

K: Kontrol Negatif (tanpa mikoriza).

Berdasarkan data rerata pertumbuhan koro hijau terlihat bahwa perlakuan

M1 memiliki tingkat pertumbuhan paling baik dibandingkan dengan tingkat

Gambar

Gambar 4.2: Hasil Pengamatan Endomikoriza ....................................................
Tabel 2.1: Taksonomi CMA Menurut Schubler (2010)
Gambar 2.1. Koro Hijau (Macrotyloma uniflorm)
Gambar 2.2: Diagram Kerangka Berpikir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model discovery learning efektif dalam

Tidak adanya perbedaan kecemasan menjelang bebas pada narapidana jika ditinjau dari jenis kelamin dan sisa masa pidana disebabkan oleh adanya dukungan dari keluarga

Stabilitas pertumbuhan dan perlekatan Candida dalam rongga mulut dipengaruhi oleh jumlah saliva yang dapat mempengaruhi kemampuan pengikatan Candida pada permukaan epitel..

spektr anya dan kemometr ika (SIMCA dan PCA) digunakan untuk mengolah data spektr anya dengan menggunakan bahan kopi Ar abika dan Robusta yang ber asal dar i Lampung Bar at

Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan metode pembelajaran tahfidh ul Qur’an di pondok tahfidh putri anak-anak Yanaabii'ul

Metode stik adalah cara penetapan kadar glukosa darah dari darah utuh dengan menggunakan stik dengan prinsip pemeriksaan berdasarkan teknik deteksi elektrokimia, dimana

PERNYATAAN Ketika saya dikuasai oleh amarah, saya menentang banyak nasehat dari orang lain Ketika marah, saya ingin berkelahi dengan orang lain Orang terdekat menjadi sasaran

(Gumanti, 2011:149) mendefinisikan risiko sistematis sebagai risiko yang secara langsung terkait dengan pergerakan keseluruhan di dalam pasar atau ekonomi, sedangkan risiko