PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN
(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan bermula”)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fisip UPN ”VETERAN” Jawa Timur
Oleh
:
WAHYU HAPY ANGGRAENI
NPM. 054 3010 278
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN
(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan Bermula”)
Oleh :
WAHYU HAPY ANGGRAENI NPM. 054 3010 278
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur Pada Tanggal 21 Mei 2010
Pembimbing Utama Tim Penguji :
1. Ketua
Juwito, S.sos, Msi Juwito, Sos. Msi NPT. 3 6704 95 00361 NPT.3 6704 95 00361
2. Sekretaris
Dra. Herlina Suksmawati, Msi NIP. 19641225 199309 2001 3. Anggota
Zainal Abidin Achmad, S.sos. Msi NPT. 3 7303 99 01 701
Mengetahui DEKAN
PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN
(STUDI SEMIOTIKA PADA FILM LAYAR LEBAR ANIMASI UPIN DAN IPIN ” Geng Upin Dan Ipin Petualangan Bermula”)
Disusun oleh :
WAHYU HAPY ANGGRAENI NPM. 054 3010 278
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,
Pembimbing Utama
Juwito, S.sos, M.si NPT. 3 6704 95 00361
Mengetahui Dekan
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadapan Yesus Kristus, atas berkat dan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN (STUDI SEMIOTIKA
PADA FILM LAYAR LEBAR UPIN DAN IPIN “Geng Upin dan Ipin Petualangan Bermula”)”, yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di bidang ilmu komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa timur.
Sejak tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan ini saya banyak sekali
menerima bantuan dari beberapa pihak, baik yang secara langsung maupun tidak
langsung. Dimana bantuan itu berupa bimbingan maupun dukungan moril yang
kesemuanya ini, merupakan hal yang sangat berharga dan merupakan faktor yang
sangat penting dan sangat berharga dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, oleh
sebab itu maka pada kesempatan yang baik ini, penulis hendak menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Dra. Ec Hj.Suparwati,Msi,selaku dekan Fakultas Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Politik Univesitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito,S.sos, selaku ketua program studi Ilmu Komunikasi sekaligus
dosen pembimbing Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur.
3. Bapak Team penguji, yang telah memberikan kritik, saran serta ide-ide yang
cemerlang terhadap penulisan ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan ilmunya selama
dibangku perkuliahan.
5. Para Staf Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional “VETERAN” Jawa Timur yang telah membantu
memperlancar di dalam administrasi.
6. Keluarga besar saya, Ibundaku Endang tercinta dan kakak-kakakku tersayang,
mz Heri, mb Ovie, mb Diana,mb iin, Dimas yang telah banyak memberikan
tekanan, motivasi dan doa maupun materi untuk menyelesaikan penulisan ini.
7. Para informan yang telah banyak memberikan informasi dalam penulisan ini.
8. Terima kasih buat yang tercinta dan tersayang “Revianto Erry Susila” beserta
keluarga yang selalu menemani dan dengan sabar, setia mendengarkan keluh
kesah serta mendukung setiap gerak langkahku dalam penulisan ini.
9. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2005 dan yang tersisa sampai saat ini
Oki, Tara, Dimas, Sultan, Tata, mas Iwan,terima kasih telah memberikan
dorongan yang berguna bagi penulisan ini.
10.Bintang-bintang di langit sumber inspirasiku dalam penulisan ini dan semua
pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan
bantuan dan dorongan menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengalaman serta keterbatasan
pengetahuan yang penulis miliki. Maka untuk itu dengan kerendahan hati penulis
menerima segala saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pihak manapun juga.
Akhirnya melalui kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
dengan adanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang merasa
berkepentingan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …...…i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...…ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI...vi
ABSTRAKSI...viii
BAB I PENDAHULUAN………….………….………..………...………..1
1.1.Latar belakang masalah……...…………1
1.2.Rumusan
BAB II KAJIAN PUSTAKA...9
2.1. Landasan Teori...9
2.1.8.1. Bahasa Sebagai Sistem Semiotika...32
2.1.8.2. Tanda Sebagai Sistem Semiotika...34
2.1.8.3. Kode Sebagai Sistem Semiotika...41
2.2. Kerangka Berpikir...43
BAB III METODE PENELITIAN...46
3.1.Definisi Operasional...46
3.1.1. Metode Penelitian………...……….……46
3.1.2. Corpus………..………...…47
3.1.4. Moral………..…...………..49
3.1.5. Animasi………..………….………50
3.2. Tokoh………..……….……….51
3.3. Teknik Pengumpulan Data………..……….…….52
3.4. Teknik Analisa Dan Interpretasi Data………..….52
BAB IV PEMBAHASAN………...………54
4.1. Gambaran Subyek Penelitian……….………..……….54
4.2. Upin dan Ipin The Movie………..…..……..55
4.3. Sinopsis………..………...……65
4.4. Pesan Moral………...………...……….77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..………...83
5.1. Kesimpulan………...………...83
5.2. Saran………...………...…83
ABSTRAKSI
WAHYU HAPY ANGGRAINI. PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI UPIN DAN IPIN(Studi Semiotika Pada Film Animasi Upin dan Ipin Di Layar Lebar”Geng Upin Ipin Petualangan Bermula”).
Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi atau kartun. Jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan teknologi animasi dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun, baik dari segi tema cerita maupun gambarnya, sehingga segmen penontonnya pun meluas. Membicarakan isi cerita tak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang pesan. Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator (Effendy, 2001:18). Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang komunikasi diterukan kepada orang lain atau komunikan (Pratikto, 1987:22). Menurut Hanafi (1999:192) ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pesan, yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan.
Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa, sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan maksud-maksud dalam bentuk pesan….(Hanafi, 1999:200). Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Penelitian ini menggunakan film animasi Upin dan Ipin dengan judul Geng Upin & Ipin Pengembaraan bermula
Rumusan Masalah yang ingin diketengahkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :“Apa pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin” Tujuan penelitian yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah untuk mengetahui pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film animasi
atau kartun. Jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit
orang dewasa yang menyukai film ini. Pada awalnya, film animasi memang dibuat
sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun perkembangan teknologi animasi
dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun, baik dari segi tema cerita
maupun gambarnya, sehingga segmen penontonnya pun meluas.
Seiring dengan pertumbuhan film animasi yang kian pesat, ternyata tidak
semua film animasi yang ditayangkan di televisi tersebut amman untuk ditonton oleh
anak-anak. Materi-materi yang disajikan dalam film kartun ditelevisi sekarang ini
sangat banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan fisik, adegan
perkelahian pembunuhan, adegan yang terkait dengan seks, kekuatan gaib atau mistik,
serta penggambaran nilai moral yang tidak eksplisit. Materi-materi tayangan seperti
ini sesungguhnya tidak lagi bersahabat dengan anak-anak, karena sudah menjurus anti
sosial.
Gencarnya tayangan yang berbau antisosial di televisi yang dapat di konsumsi
oleh anak-anak telah membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Tindak
kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak, dan
menuduh televisi sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan anak-anak memiliki
perilaku yang suka meniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada
anak-anak, karena pada dasarnya cara belajar pada anak-anak adalah meniru, “apa
disebabkan oleh kemampuan berpikir anak yang masih relatif sederhana. Mereka
cenderung menganggap apayg ditampilkan di televisi sesuai dengan yang sebenarnya.
Mereka masih sulit membedakan antara perilaku atau tayangan fiktif dan mana yang
memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di mayarakat karena mereka yang masih
terlalu muda secara intelektual.
Membicarakan isi cerita tak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang pesan.
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator (Effendy, 2001:18). Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan
sebagainya yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang
komunikasi diterukan kepada orang lain atau komunikan (Pratikto, 1987:22). Menurut
Hanafi (1999:192) ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pesan, yaitu
kode pesan, isi pesan dan wujud pesan.
Kode pesan adalah sekumpulan simbol yang dapat disusun sedemikian rupa,
sehingga bermakna bagi seseorang. Isi pesan ialah bahan atau material yang dipilih
sumber untuk menyatakan maksudnya. Wujud pesan adalah keputusan-keputusan
yang dibuat sumber mengenai bagaimana cara sebaiknya menyampaikan
maksud-maksud dalam bentuk pesan….(Hanafi, 1999:200).
Dariuraian diatas dapat dilihat bahwa faktor isi pesan lebih memiliki
keterkaitan dengan isi cerita. Isis suat cerita dalam film berkaitan dengan materi atau
bahan yang dipilih sumber untuk dapat mengungkapkan maksudnya, sehingga dalam
cerita tersebut akan tampak pesan apa yang ingin disampaikan oleh sumber.
Seperti telah dijelaskan sebeumnya bahwa pesan dapat disampaikan sesorang
melalui suatu bentuk lambang komunikasi. Lambang sebagai media primer dalam
sebagainya. Yang secara lagnsung mampu menerjemahkan pikiran dan perasaan
komunikator kepada komunikan (Effendy, 2001:11). Begitu halnya dengan serial
Upin dan Ipinini komunikator menyatakan pesannya melalui seperangkat lambang
bermakna yang relatif mudah dipahami oleh komunikannya. Adapun
lambang-lambang utama yang digunakan dalam film ini antara lain berupa gambar dan suara:
kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi
gambar-gambar) danmusik film. Melalui lambang-lambang inilah komunikator film
ini menyampaikan pesannya pada komunikan.
Komunikasi yang terjadi antara komunikator dan komunikan film tersebut
merupakan suatu proses sosial yang bersifat ideologis, dimana pesan-pesan yang
disampaikan oleh komunikator media massa tersebut menyembunyikan makna-makna
sekunder (konotatif) atau ideologis. Lambang-lambang yang disampaikan dalam film
tersebut merupakan representasi dari realitas. Sebagai representasi dari realitas, film
mampu membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi dan ideolog dari kebudayaannya (Sobur, 2004:128). Kebudayaan
terkonstruksi dari arus-arus makna yang beragamn serta mencakup berbagai ideologi
dan bentuk kultural (Barker, 2005:79).
Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak seperti
Upin dan Ipin ini memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai
alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi
perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Terlebih lagi mengingat bahwa
target market Upin dan Ipin adalah anak-anak usia 7 hingga 12 tahun yakni anak usia
sekolah dasar yang merupakan usia yang kritis dalam pembentukan sikap moral
dimaksud dengan moral itu sendiri adalah sesuatu yang berkaitan atau ada
hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salahnya sesuatu tingkah laku.
Selain itu moral juga diartikan adanya kesesuaian dengan ukurn baik buruknya
sesuatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh sesuatu masyarakat,
termasuk di dalamnya berbagai tingkah laku spesifik (Haricahyono, 1995:221).
Kerapkali moralitas juga diartikan sebagai norma dan perilaku faktual dalam
masyarakat yaitu anggapan mengenai perilaku yang baik dan buruk.
Moralitas pada anak adalah sesuatu yang dipelajari dan dipengaruhi dari luar.
Tidak ada anak yang memperkembangkan nilai-nilai moral oleh dirinya sendiri.
Nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang diperoleh dari kelahiranya, melainkan sesuatu yang
diperoleh dari luar, yakni dari lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan
teman-teman sebaya, segi keagamaan, fasilitas-fasilitas rekreasi (TV, Film, radio,
bacaan-bacaan dan lain sebagainya) (Gunarsa 2003:38).
Bagaimana anak-anak dapat bertingkah laku yang bermoral pun jjuga tak lepas
dari hal-hal yang ia amati dari sekitarnya. Dimana hal tersebut kemudian akan berlaku
sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat
diamatinya, termasuk salah satunya mengamati dan meniru film yang ia tonton
(Gunarsa, 2003:41). Jika tayangan film yang ditonton anak-anak banyak
menampilkan adegan-adegan kekerasan, sadis sensual maupun mistik, hal tersebut
dapat membawa akibat buruk terhadap anak, yakni dapat meningkat agresivitas,
tindak kekerasan serta perilaku negatif lainnya pada anak. (Nurdiansyah, 2005).
Misalnya saja disekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton
film koboi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak
dor…dor…dor…. Sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dipegangnya.
meniru kan idola tokokh-tokoh filmnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak
menjadi lebih agresif setelah menonton tayangan film yang dikategorikan sebagai
tayangan antisosial. Tayangan film kartun Tom & Jerry misalnya, dari sisi pikologis
secara tidak langsung mengajar anak-anak untuk mudah memukul orang (Lena,
2004).
Film-film tersebut bukan sekadar tontonan belaka. Sebagai media massa,
tentunya film membawa dan menawarkan suatu pesan moral tertentu yang ingin
disampaikan kepada penontonnya. Selain itu, film dapat membawa ideologi, nilai.
Oleh karena itu, moralitas dari beberapa perilaku dalam Upin dan Ipin dapat
dibedakan menjadi perilaku prososial. Menurut Wispe (dalam Mulyana dan Ibrahim,
1997:146), perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki
konsekuensi sosial yang positif. Beberapa perilaku yang tercakup dalam definisi ini
antara lain, tidak memetingkan diri sendiri, menolong dan pemakaian bersama,
kehangatan, bekerjasama, empati, memuji menasihati penyesalan dan kesopanan.
Selain prososial terdapat perilaku antisosial yang dimaksud dengan perilaku antisosial
menurut Bandura (Mulyana dan Ibrahim, 1997:146) merupakan suatu perilaku yang
tidak hanya mengakibatkan luka atau perusahaan secara fisik, tetapi juga mencakup
psikologis. Misalnya perilaku yang mengakibatkan luka atau perusakan secara kasar,
Kisah cerita Upin dan Ipin maupun gambaran perilaku para tokoh yang
terdapat dalam film yang memiliki durasi kurang lebih 10 menit tersebut sungguh seru
dan menarik untuk diamati. Sebagai film anak-anak, Upin dan Ipin yang sedikit
banyak juga mengandung tema kedewasaan.
Film buatan Les Copaque ini adalah sebuah film animasi 3D yang lucu,
bertemakan sekitar kehidupan sehari-hari 2 orang anak berumur 5 tahun yaitu Upin
dan Ipin. Film ini juga dikemas dengan sangat bagusnya untuk memberikan edukasi
agama Islam. Selain itu digambarkan pula bagaimana kerukunan hidup antar etnis dan
agama di Malaysia, seperti teman-teman bermain Upin dan Ipin yaitu Razoo yang
beretnis India dan Mei-mei yang beretnis China.
Serial yang memiliki 6 seri (masing-masing berdurasi sekitar 10 menit) ini
bercerita tentang dua anak kembar yang bernama Upin dan Ipin. Mereka adalah anak
yatim piatu yang tinggal bersama kakaknya yang bernama Kak Ros, dan Neneknya
(disana dipanggil Opa). Di awal cerita, dikisahkan mereka sedang akan memasuki
bulan Ramadhan. Dengan diumumkan melalui televisi oleh pemerintah Malaysia,
siang hari, berbuka puasa, shalat tarawih, shalat ied sampai berziarah kubur ke makam
orangtua mereka. Semuanya berhasil digambarkan dengan visualisasi yang baik dan
dialog-dialog yang sangat kocak, dengan logat melayu tentunya. Peneliti tertarik
menganalisa serial animasi Upin dan Ipin untuk pesan moral prososial yang
terkonstruksi dalam serial tersebut.
Bedasarkan permasalahan tersebut diatas maka peneliti akan melakukan
penelitian dengan menggunakan teori semiotika John Fiske.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah sebagai
berikut :
“Bagaimana pesan moral dalam Film Animasi Upin dan Ipin”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin diketengahkan oleh peneliti adalah untuk
mengetahui pesan moral prososial yang terkonstruksi dalam Animasi Upin dan Ipin
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Kegunaan teoritis,
Peneltitian ini diaharapkan dapat menerapkan teori-teori komunikasi,
khususnya tentang studi semiotik.
1.4.1. Kegunaan praktis,
Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi bagi karya ilmiah yang sudah ada
dan untuk menambah perbendaharaan bagi kepustakaan jurusan Komunikasi serta
membuat sebuah visualisasi tanda sebagai tokoh yang akan dipakai dalam sebuah
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Televisi Sebagai Media Massa
Komunikasi massa (mass comunication) Menurut Everett M. Rogers ialah komunikasi malalui media massa moderen seperti surat kabar, siaran radio dan
televisi, dan juga media massa tradisional seperti theater rakyat, juru dongeng
keliling, wayang dan lain sebagainya (Effendi, 1993;81). Jadi sebenarnya
komunikasi massa menurut (Severin 1977, Tan 1981, dan Wright 1986)
merupakan bentuk komunikasi yang merupakan penggunaan saluran (media)
dalam menghubungkan komunikator dengan komunikan secara massal,
berjumlah banyak, bertempat tinggal jauh, sangat heterogen, dan menimbulkan
efek - efek tertentu (Liliweri, 1991;36 ).
Televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah televisi siaran (Television Broadcast) yang merupakan media elektronik dan memiliki ciri - ciri yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum,
sasarannya menimbulkan keserempakan, dan komunikannya heterogen
(Effendy;1993;17). Salah satu keunggulan televisi dibandingkan dengan media
lain dengan menjelaskan karakteristik televisi berikut ini : karakteristik televisi
yang khas adalah sifatnya audio visual hal ini merupakan salah satu segi
keunggulan dan kelebihan televisi dibandingkan dengan media cetak maupun
radio sekalipun (Susanto, 1974; 65).
Sedangkan (Kuswandi, 1996;21-23) berpendapat bahwa munculnya media
televisi dalam kehidupan manusia, memang menghadirkan satu peradaban,
khususnya dalam proses komunikasi dan informasi setiap media massa jelas
melahirkan satu efek sosial. Perubahan nilai - nilai sosial dan budaya manusia.
Pengaruh dari televisi lebih kuat dibandingkan dengan radio dan surat kabar. Hal
ini terjadi karena kekuatan audio visual televisi yang menyentuh segi - segi
kejiwaan pemirsa. Pada intinya media televisi telah menjadi cerminan budaya
tontonan bagi pemirsa dalam era informasi dan komunikasi yang semakin
berkembang pesat. Kehadiran televisi menembus ruang dan jarak geografis
pemirsa (Kuswandi, 1996; 21-23).
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membawa globalisasi media massa. Arus informasi meluas ke seluruh dunia, globalisasi informasi dan media massa pun menciptakan keseragaman pemberitaan maupun preferensi liputan. Pada akhirnya, sistem media masing-masing negara cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput. Peristiwa yang terjadi di suatu negara, akan segera mempengaruhi perkembangan masyarakat di negara lain. Atau seperti yang dikatakan oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 (1991), dunia kinei telah menjadi global village.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa dampak
yang tidak kecil bagi masyarakat dunia. Dampak tersebut bukan hanya melanda
negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara yang telah maju dalam
perkembangan peradaban dan teknologinya.
Revolusi informasi dan komunikasi telah melahirkan peradaban baru,
sehingga mempermudah manusia untuk saling berhubungan serta meningkatkan
mobilitas sosial. Di samping itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
2.1.2. Peran media massa
Informasi sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk
mencapai tujuan. Melalui informasi, manusia dapat mengetahui peristiwa yang
terjadi disekitarnya, memperluas cakrawala pengetahuannya sekaligus
memahami kedudukan serta peranannya dalam masyarakat.
Setiap proses komunikasi selalu ditujukan kepada pihak tertentu sebagai penerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Menurut (Nasution, 1993; 20) dalam komunikasi massa, penerima adalah mereka yang menjadi khalayak dari media massa yang bersangkutan, dimana khalayak tersebut diatas bersifat luas, heterogen dan anonim.
Sifat khalayak yang demikian menyulitkan pihak komunikator dalam
menyebarkan pesannya dalam media massa, sebab setiap individu dari khalayak
ialah dengan mengelompokkan mereka menurut jenis tertentu, misalnya jenis
kelamin, usia, pekerjaan, agama, pendidikan, hobi dan lain - lain. ( Effendy,
1993; 20 ). Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka sejumlah acara
diperuntukkan untuk kelompok tertentu sebagai sasaran ( target group ), disamping khalayak keseluruhan sebagai sasarannya atau khalayak sasaran
(target audience). Contoh acara untuk khalayak sasaran adalah warta berita, sandiwara, film seri, musik, dan lain-lain. Sedangkan untuk kelompok sasaran
adalah acara untuk anak-anak, remaja, mahasiswa, petani, ABRI, dan lain-lain
(Effendy, 1993; 20). Diantara berbagai fungsi media massa lainnya, fungsi
televisi yang paling utama adalah untuk menghibur (to entertaint), sehingga apabila di dalam acara-acara yang ditayangkan oleh televisi terdapat
program-program atau sajian yang bersifat informatif atau edukatif , hal tersebut hanyalah
sebagai pelengkap fungsi utamanya (Effendy, 1993; 55).
Dikembangkan model uses and gratifications yang dimana model ini tidak
pada apa yang dilakukan seseorang terhadap media. Anggota khalayak dianggap
secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Menurut Elihu Katz, Jay G, Blumler, dan Michael Gurevitch, dalam
rakhmat (1991;205) uses and garatifications menjelaskan asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media
massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang
berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan
kebutuhan dan akibat-akibat lain, barang kali termasuk juga yang tidak kita
inginkan. Mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar dari teori pada halaman
berikut ini :
1. Khalayak diangap aktif : artinya sebagian penting dari penggunaan media
massa diasumsikan mempunyai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan
kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari
rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini
terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak
yang bersangkutan.
4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan
anggota khalayak ; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk
melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
Kehadiran media massa pada mayarakat negara
berkembang mempunyai arti yang sangat penting. Terlebih
lagi bagi negara kepulauan Indonesia. Jarak psikologis dan
jarak geografis semakin kecil dan sempit. Kejadian apapun
ditempat lain di wilayah Indonesia dapat kita ketahui cepat
dari dalam rumah kita dari depan Televisi kita.
Media massa terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Media Massa cetak (koran, majalah, buletin)2. Media massa elektronik (televisi, radio, internet)
Setiap media massa mempunyai kekuatan masing-masing. Tetapi pada prinsipnya media massa merupakan suatu institusi yang melembaga dan berfungsi bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak sasaran agar well informed (tahu informasi).
Ada beberapa unsur penting dalam media massa, yaitu :
1. Adanya sumber informasi
2. Isi pesan
3. Saluran informasi (media)
4. Khalayak sasaran
5. Umpan balik khalayak sasaran
Media televisi sebagaimana media massa lainnya berperan sebagai suatu
acara yang penting untuk disajikan bagi pemirsa, belum tentu penting bagi
kahalayak. Jadi efektif tidaknya isi pesan itu tergantung dari situasi dan kondisi
pemirsa dan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan hal tersebut timbul pendapat terhadap dampak acara televisi
(effek) yaitu :
1. Acara televisi dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam
2. Acara televisi dapat menguatkan nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat.
3. Acara televisi dapat membentuk nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat.
Dari lima komponen diatas maka terciptalah proses komunikasi antara
pemilik pesan isi pesan (sumber informasi) dengan penerima pesan melalui
saluran pesan (media).
Terdapat perbedaan pendapat tentang dampak acara televisi merupakan
hal yang wajar. Karena media televisi dalam operasionalnya berhubungan
dengan institusi sosial yang lain yang ada di masyarakat, serta adanya perbedaan
sudut pandang dari khalayak sasaran.
Bahwa TV mempunyai daya tarik yang kuat tak perlu dijelaskan lagi,
televisi mempunyai daya tarik visual berupa gambar. Gambar ini bukan gambar
mati melainkan hidup yang mampun menimbulkan kesan yang mendalam pada
penonton.
Ada tiga dampak yang ditimbulkan oleh acara televisi terhadap pemirsa
yaitu :
1. Dampak Kognitif yaitu kemampuan sesorang atau pemirsa untuk
menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang
melahirkan pengetahuan bagi pemirsa.
2. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang
ditayangkan televisi. Contoh : model pakaian, rambut dari bintang
3. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya
yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam
kehidupan pemirsa sehari-hari.
2.1.3. Representasi
Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu
kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua
hal penting dalam representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan
tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Ini mengacu pada apakah seseorang atau
kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Penggambaran yang
tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan
seseorang atau kelompok tertentu. Di sini hanya citra yang buruk saja yang
ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Kedua,
bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata lain, kalimat, aksentuasi,
dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan
dalam pemberitaan kepada khalayak.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek
tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske (dalam Eriyanto,2001) paling tidak ada tiga
proses dalam menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang. Pada
level pertama adalah peristiwa yang ditandai sebagai realitas. Dalam bahasa gambar
ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan
ekspresi.
Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas dan
bagaimana realitas itu digambarkan. Yang digunakan disini adalah perangkat secara
teknis, misalnya kata atau kalimat. Ini membawa makna tertentu ketika diterima oleh
Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi
dihubungkan dan diorganisikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau
kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.
Posisi sebagai subjek atau objek dalam representasi mengandung muatan
ideologis tertentu. Dalam hal ini bagaimana posisi tersebut turut memarjinakan posisi
wanitaya ketika ditampilkan dalam pemberitaan. Menurut Mills (dalam Eriyanto,
2001), teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu,
pembaca tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi
juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Dari berbagai
posisi yang ditempatkan kepada pembaca, Mills memusatkan perhatian pada gender
dan posisi pembaca
2.1.4. Pengertian moral
Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan
kemampuan menentukan benar salahnya sesuatu tingkah laku. Selain itu moral
juga diartikan adanya kesesuaian dengan ukuran baik dan buruknya sesuatu
tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh sesuatu masyarakat, termasuk
di dalamnya tingkah laku spesifik ( Haicahyono, 1995:221).
Untuk dapat bertindak secara moral, seseorang harus tahu apa yang
dikerjakan, disamping semua tindakan itu haris dilakukan secara bebas bukan
karena paksaan (Haricahyono, 1995:67). Moral berkaitan dengan moralitas
hubungan dengan kelompok sosial (Gunarsa, 2003:38). Moralitas diartikan pula
kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat (Sastrapratedja,
para. 4).
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala sesorang mulai
berpikir tantang apa yang harus dan tidak harus dilakukan sesorang
(Haricahyono, 1995:67).sesorang bertindak dengan alasan-alasan tertentu tidak
dikendalikan oleh seba-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional. Untuk
menjadi rasional alasannya pun harus operatif. Jadi tidak sekedar rasional
semata. Singkat kata, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk
moral (Haricahyono, 1995:67).
Makhluk moral menurut wilson (1967) dalam Haricahyono dapat
digambarkan sebagai sososk pribadi yang terdidik secara moral, yang
manifestasinya tidak hanya pada tingkah laku yang nampak akan tetapi
menyangkut pula berbagai motif, alasan-alasan dan sasaran-sasaran yang ingin
dicapai. Secara demikian moralitas mencakup pengujian terhadap berbagai sikap,
perasaan dan disposisi yang dimiliki seseorang. Moralitas menyangkut
permasalahan yang luas apalagi kalau menyangkut pengambilan keputusan yang
didasarkan pada sikap dan perasaan yang jelas, baik yang ada pada diri seseorang
yang mengambil keputusan tersebut ataupun orang lain. (Haricahyono,
1995:68).
Dalam pandangan Rest (haricahyono, 1995:210) moralitas mencakup
makna yang begitu luas antara lain :
1. Tingkah laku membantu orang lain
2. Tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial
4. Penalaran tentang keadilan
5. Memperhatikan kepentingan orang lain
Moralitas kerapkali diartikan sebagai norma dan perilaku faktual dalam
masyarakat yaitu anggapan manganai perilaku baik dan buruk (Sastrapratedja,
para 4). Perilaku sosial yang baik (positif) disebut sebagai perilaku prososial.
Sedangkan perilaku sosial yang buruk (negatid) disebut sebagai perilaku
antisosial (kusuma, 2003. para 5).
Film merupakan salah satu bentuk media massa modern kedua yang
muncul di dunia (Sobur, 2004:126). Kekuatan dan kemampuan film menjangkau
banyak segmen sosial, membuat film mempunyai potensi besar dalam merubah
sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah
terpengaruh dan dipengaruhi (Anwas, chap I). ada banyak pendekatan untuk
meneliti karya film
Aspek moralitas dalam suatu film yang diperuntukkan bagi anak-anak seperti
Upin dan Ipin ini memang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa film sebagai
alat komunikasi massa modern merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi
perkembangan moral pada anak (gunarsa, 2003:40). Terlebih lagi mengingat bahwa
anak-anak usia 7 hingga 12 tahun yakni anak usia sekolah dasar yang merupakan usia
yang kritis dalam pembentukan sikap moral (Durkheim, 1990:11). Moral berasal dari
kata latin mores, memiliki arti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, kebiasaan (gunarsa, 2003:38).
Bagaimana anak-anak dapat bertingkah laku yang bermoral pun jjuga tak lepas
dari hal-hal yang ia amati dari sekitarnya. Dimana hal tersebut kemudian akan berlaku
sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat
(Gunarsa, 2003:41). Jika tayangan film yang ditonton anak-anak banyak
menampilkan adegan-adegan kekerasan, sadis sensual maupun mistik, hal tersebut
dapat membawa akibat buruk terhadap anak, yakni dapat meningkat agresivitas,
tindak kekerasan serta perilaku negatif lainnya pada anak. (Nurdiansyah, 2005).
Misalnya saja disekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton
film koboi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak
dor…dor…dor…. Sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dipegangnya.
Sering pula terdengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilaontarkan anak-anak yang
meniru kan idola tokokh-tokoh filmnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak
menjadi lebih agresif setelah menonton tayangan film yang dikategorikan sebagai
tayangan antisosial. Tayangan film kartun Tom & Jerry misalnya, dari sisi pikologis
secara tidak langsung mengajar anak-anak untuk mudah memukul orang (Lena,
2004).
Film-film tersebut bukan sekadar tontonan belaka. Sebagai media massa,
tentunya film membawa dan menawarkan suatu pesan moral tertentu yang ingin
disampaikan kepada penontonnya. Selain itu, film dapat membawa ideologi, nilai.
Oleh karena itu, moralitas dari beberapa perilaku dalam Upin dan Ipin dapat
dibedakan menjadi perilaku prososial. Menurut Wispe (dalam Mulyana dan Ibrahim,
1997:146), perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki
konsekuensi sosial yang positif. Beberapa perilaku yang tercakup dalam definisi ini
antara lain, tidak memetingkan diri sendiri, menolong dan pemakaian bersama,
kehangatan, bekerjasama, empati, memuji menasihati penyesalan dan kesopanan.
Selain prososial terdapat perilaku antisosial yang dimaksud dengan perilaku antisosial
menurut Bandura (Mulyana dan Ibrahim, 1997:146) merupakan suatu perilaku yang
psikologis. Misalnya perilaku yang mengakibatkan luka atau perusakan secara kasar,
membunuh, berkelahi, mencelakakan, mencuri, berperang, curang dan mengejek.
Moralitas pada anak adalah sesuatu yang dipelajari dan dipengaruhi dari luar.
Tidak ada anak yang memperkembangkan nilai-nilai moral oleh dirinya sendiri.
Nilai-nilai moral bukanlah sesuatu yang diperoleh dari kelahiranya, melainkan sesuatu yang
diperoleh dari luar, yakni dari lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan
teman-teman sebaya, segi keagamaan, fasilitas-fasilitas rekreasi (TV, Film, radio,
bacaan-bacaan dan lain sebagainya) (Gunarsa 2003:38).
2.1.5. Respon Psikologis Warna
Warna dapat didefinisikan secara obyektif/fisik sebagai sifat cahaya yang
diapancarkan, atau secara subyektif/psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera
pengelihatan. Secara obyektif atau fisik, warna dapat diberikan oleh panajang
gelombang. Dilihat dari panjang gelombang, cahaya yang tampak oleh mata
merupakan salah satu bentuk pancaran energi yang merupakan bagian yang sempit
dari gelombang elektromagnetik.
Cahaya yang dapat ditangkap indera manusia mempunyai panjang gelombang
380 sampai 780 nanometer. Cahaya antara dua jarak nanometer tersebut dapat diurai
melalui prisma kaca menjadi warna-warna pelangi yang disebut spectrum atau warna
cahaya, mulai berkas cahaya warna ungu, violet, biru, hijau, kuning, jingga, hingga
merah. Di luar cahaya ungu /violet terdapat gelombang-gelombang ultraviolet, sinar
X, sinar gamma, dan sinar cosmic. Di luar cahaya merah terdapat gelombang / sinar
inframerah, gelombang Hertz, gelombang Radio pendek, dan gelombang radio
panjang, yang banyak digunakan untuk pemancaran radio dan TV. Proses terlihatnya
warna adalah dikarenakan adanya cahaya yang menimpa suatu benda, dan benda
berwarna merah karena sifat pigmen benda tersebut memantulkan warna merah dan
menyerap warna lainnya. Benda berwarna hitam karena sifat pigmen benda tersebut
menyerap semua warna pelangi. Sebaliknya suatu benda berwarna putih karena sifat
pigmen benda tersebut memantulkan semua warna pelangi. Sadjiman (2005:2)
Sebagai bagian dari elemen tata rupa, warna memegang peran sebagai sarana
untuk lebih mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari sebuah karya desain.
Dalam perencanaan corporate identity, warna mempunyai fungsi untuk memperkuat
aspek identitas. Lebih lanjut dikatakan oleh Henry Dreyfuss , bahwa warna digunakan
dalam simbol-simbol grafis untuk mempertegas maksud dari simbol-simbol tersebut .
Sebagai contoh adalah penggunaan warna merah pada segitiga pengaman,
warna-warna yang digunakan untuk traffic light merah untuk berhenti, kuning untuk
bersiap-siap dan hijau untuk jalan. Dari contoh tersebut ternyata pengaruh warna mampu
memberikan impresi yang cepat dan kuat. Sadjiman (2005:5)
Kemampuan warna menciptakan impresi, mampu menimbulkan efek-efek
tertentu. Secara psikologis diuraikan oleh J. Linschoten dan Drs. Mansyur (1983:5)
tentang warna sebagai berikut : Warna-warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya
dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting
dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita akan
bermacam-macam benda.
Dari pemahaman diatas dapat dijelaskan bahwa warna, selain hanya dapat
dilihat dengan mata ternyata mampu mempengaruhi perilaku seseorang,
mempengaruhi penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya seseorang pada
suatu benda. Berikut disajikan potensi karakter warna yang mampu memberikan
1. Hitam, sebagai warna yang tertua (gelap) dengan sendirinya menjadi
lambang untuk sifat gulita dan kegelapan (juga dalam hal emosi).
2. Putih, sebagai warna yang paling terang, melambangkan cahaya,
kesucian.
3. Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya
sifat atau kehidupan spesifik.
4. Merah, bersifat menaklukkan, ekspansif (meluas), dominan (berkuasa),
aktif dan vital (hidup).
5. Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan wakil
dari hal-hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum dan
mengesankan sesuatu.
6. Biru, sebagai warna yang menimbulkan kesan dalamnya sesuatu
(dediepte), sifat yang tak terhingga dan transenden, disamping itu
memiliki sifat tantangan.
7. Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan
ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.
Dari sekian banyak warna, dapat dibagi dalam beberapa bagian yang sering
dinamakan dengan sistem warna Prang System yang ditemukan oleh Louis Prang
pada 1876 meliputi :
1. Hue, adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan nama dari
suatu warna, seperti merah, biru, hijau dsb.
2. Value, adalah dimensi kedua atau mengenai terang gelapnya warna.
Contohnya adalah tingkatan warna dari putih hingga hitam.
3. Intensity, seringkali disebut dengan chroma, adalah dimensi yang
Selain Prang System terdapat beberapa sistem warna lain yakni, CMYK atau
Process Color System, Munsell Color System, Ostwald Color System,
Schopenhauer/Goethe Weighted Color System, Substractive Color System serta
Additive Color/RGB Color System.
Diantara bermacam sistem warna diatas, kini yang banyak dipergunakan
dalam industri media visual cetak adalah CMYK atau Process Color System yang
membagi warna dasarnya menjadi Cyan, Magenta, Yellow dan Black. Sedangkan
RGB Color System dipergunakan dalam industri media visual elektronika.
Selain penjelasan diatas berikut disampaikan pandangan beberapa ahli tentang
warna yang memiliki efek psikologis
- Yang sejuk dan segar (merah muda) Sutton dan Whelan (2003, 169), hijau
Eiseman (1998:89), (Bonds, 2000:36),
- Berpikir positif: Kuning (Bonds, 2000:30)
- Merefleksikan diri perak (Bonds, 2000:48)
- Mereview pikiran indigo (Bonds, 2000:42)
- Menenangkan; ungu Krisnawati (2005 ; 94) merah muda Sutton dan
Whelan (2003, 169), biru Krisnawati (2005 ; 97); putih (Bonds,
2000:20), coklat Krisnawati (2005 ; 93); hijau Eiseman (1998:89).
- Merasa diterima hijau Krisnawati (2005 ; 96);
- Yang meningkatkan kemampuan untuk menyampaikan pendapat biru
Bonds, 2000:40),
- Berkomunikasi biru Krisnawati (2005 ; 97) dan oranye Krisnawati (2005:
92)
- Meningkatkan konsentrasi merah Krisnawati (2005 ; 98)
- Merefleksikan diri perak (Bonds, 2000:48),
2.1.6. Pengertian Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik
inferensial (Sobur, 2004:95).
Semiotika adalah ilmu tanda (Bonta 1979:26, Chandler 1994:1, Eco 1976:3,
Eco dalam Broadbent 1980:11, Noth 1990:3, Sudjiman 1992:vii, Sukada 1992:8);
istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Winfried Noth (1993:13) menguraikan asal-usul kata semiotika; secara etimologi semiotika
dihubungkan dengan kata Yunani = sign dan signal, sign . Tanda
terdapat dimana-mana : ‘kata’ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu
lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan
(arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat
menjadi tanda. Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat
berfikir dengan sarana tanda. Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya
hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti
sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik
merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek -obyek, peristiwa-peristiwa,
seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan
semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya
menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki
masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru.
Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara
lebih sistematis pada abad kedua puluh
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai
cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan
model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga
dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger (2000:10). memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
2.1.7. Model semiotika john fiske
John Fiske (1987:5) menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi
“peristiwa televisi” apabila telah diencode oleh kode-kode sosial, yang dikonstruksi
dalam tiga tahapan berikut. Pada tahap pertama, adalah realitas (reality), yakni peristiwa yang ditandakan (encoded) sebagai realitas tampilan, pakaian, lingkungan, perilaku, percakapan, gesture, ekspresi, sound, dan sebagainya. Dalam bahasa tulis
Bali dianggap realitas, maka harus ada tanda-tanda peristiwa pemboman itu:
kubangan bekas bom, saksi mata, dan sebagainya.
Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terencode dalam encoded electronically harus ditampakkan pada technical codes
seperti kamera, lighting, editing, music, sound. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar atau televisi
ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini
kemudian ditransmisikan ke dalam kode represntasional yang dapat
mengaktualisasikan antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan
sebagainya. Ini sudah nampak sebagai realitas televisi.
Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individu-alisme, ras,
kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita me-lakukan representasi
atas suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan
memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.
Dalam semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua perhatian utama yaitu :
hubungan antar tanda dan maknanya dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan
menjadi suatu kode (Fiske, 2003:22). Tanda-tanda yang seringkali dalam
program-program televisi adalah dapat dikategorikan dalam tiga level yakni :
Level realitas , kode-kode sosial dalam level pertama ini yakni meliputi
appeareance, (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment
Level reresentasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini kedua ini
berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lightning
(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara).
Level ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode reprsentatif seperti
narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue
(dialog), setting (latar), casting (pemeran).
Oleh karena objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam serial Upin
dan Ipin yakni meliputi gambar dan suara (kata-kata yang diucapkan tokoh cerita)
yang terdapat dalam tersebut yang memuat pesan moral prososial, maka nantinya
akan diplih beberapa kode televisi sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini
disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku ,
dialog, ekpresi dan karakter tokoh-tokoh tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka dipilih beberapa kode yang terkonstruksi
dalam serial Upin dan Ipin meliputi kode appeareance, (penampilan), dress
(kostum), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), behaviour, expression (ekpresi), conflict (konflik), character (karakter) dan dialogue (dialog). Sehingga akhirnya akan
diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
“Bagaimana pesan moral pada serial animasi Upin dan Ipin”
2.1.8. Pendekatan Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang
kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain
semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem
menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan
makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek
tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural
merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan
masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif
merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia
yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik
lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural
adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui
struktur bahasa.
2.1.8.1. Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan
demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan
antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks
sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki,
Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan
menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri
sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada
(1)karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang
lainnya,
(2)hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya,
(3)hubungan antara kode dengan pemakainya.
Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik
berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam
komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka
bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga
komponen tersebut adalah:
(1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya,
(2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara
lambang dengan dunia luar yang diacunya,
(3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan
hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia
dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media
nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat
pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah
yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan
kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah
penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam
suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga
memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau
interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya.
Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan
mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial
budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin
kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171)
mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.
2.1.8.2. Tanda
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu
jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam
jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar
adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).
Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu, apabila “sesuatu” disampaikan
melalui tanda dari pengirim kepada penerima, maka sesuatu tersebut bisa disebut
sebagai “pesan”. Iklan dalam konteks semiotika dapat diamati sebagai suatu upaya
menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistim.
Dalam semiotika, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara
signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda, seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dilepaskan antara
penanda dan petanda.
Signifier signified
Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa dalam setiap obyek yang dipakai oleh
seseorang untuk mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, selalu memiliki peran
gandanya sebagai “yang menandakan sesuatu” dan sekaligus sebagai “yang
ditandakan”. Sedang Charles Sanders Peirce seperti dikutip oleh Noth (1990:42)
mengemukakan bahwa tanda merupakan keterkaitan yang disebut sebagai tripple connection of “sign, thing signified and cognition produced in the mind”. Pendekatan yang dilakukan oleh Saussure disebut sebagai proses “diadik” sedang pada Sanders
disebut sebagai “triadik”, karena memang mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang
diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap
Gambar 2.1. Model segitiga Ogden-Richard
Sumber : Jencks “The Architectural Sign” dalam Broadbent “Sign, Symbol and Architecture”
Kemudian Charles Jencks mengembangkan model ini sebagai berikut,
Gambar 2.2. Segitiga semiotika Charles Jencks
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari
kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam
benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa
Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun
tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles
disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir
sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan
karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip
negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not
(Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik.
to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign. Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda.
1. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda.
Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang
duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding
pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang
yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita
mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari
Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata
tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan
menginterpretasikannya sebagai tanda.
2. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg
dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir,
kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
3. Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal
ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda
karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
4. Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan
langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu
bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi
juga penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang Jerman’.
5. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce
mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah
kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di
Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu
keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang
disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa.
Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada
tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau
berdasarkan pengalaman pribadi.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain
yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah
mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan
antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau
mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu
mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu
berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan
dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman
makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi
sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu
pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur
yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan
menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang
Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian
disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah
petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan
tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan
hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk),
objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan
interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan
iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian
semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian
semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar
untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan
kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai
penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif.
Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara
kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang
berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan
nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau
setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi
sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki
bentuk yang khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27).
Sementara itu, kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara pengkombinasian tanda
yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari
seseorang ke orang lainnya. Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim
kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco
menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret
dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu)
dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan
dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini
menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko,
l992:92).
Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan
untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam
kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang
disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu
bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi,
sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam
teks-teks untuk mengalihkan arti.
Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut
menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik,
kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian
Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki,
respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan
kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam
sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul?
Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.
Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda.
Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik
adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin,
feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis,
kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi
atau antinarasi.
Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif,
anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi,
sastra, seni, legenda.
2.2. Kerangka Berfikir
Dalam semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua perhatian utama yaitu :
hubungan antar tanda dan maknanya dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan
menjadi suatu kode (Fiske, 2003:22). Tanda-tanda yang seringkali dalam
program-program televisi adalah dapat dikategorikan dalam tiga level yakni :
Level realitas , kode-kode sosial dalam level pertama ini yakni meliputi
(lingkungan), behaviour (perilaku), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi).
Level representasi, kode-kode yang termasuk dalam level ini kedua ini
berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lightning
(pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara).
Level ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode reprsentatif seperti
narrative (naratif), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue
(dialog), setting (latar), casting (pemeran).
Oleh karena objek penelitian ini adalah cerita yang terdapat dalam serial Upin
dan Ipin yakni meliputi gambar dan suara (kata-kata yang diucapkan tokoh cerita)
yang terdapat dalam tersebut yang memuat pesan moral prososial, maka nantinya
akan diplih beberapa kode televisi sebagai unit analisisnya. Pesan moral prososial ini
disampaikan lewat penampilan para tokoh film yang tercermin dalam perilaku ,
dialog, ekpresi dan karakter tokoh-tokoh tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka dipilih beberapa kode yang terkonstruksi
dalam serial Upin dan Ipin meliputi kode appeareance, (penampilan), dress
(kostum), speech (cara berbicara), gesture (gerakan), behaviour, expression (ekpresi), conflict (konflik), character (karakter) dan dialogue (dialog). Sehingga akhirnya akan
diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
“Bagaimana pesan moral pada serial animasi Upin dan Ipin” berikut keranga berpikir