DI KABUPATEN PAMEKASAN
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister
PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan oleh : AHMAD YUDI HERYADI
09640200006
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
SURABAYA
DI KABUPATEN PAMEKASAN
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
AHMAD YUDI HERYADI 09640200006
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Ir. Sri Widayanti, MP
Surabaya, Desember 2010 Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis
AHMAD YUDI HERYADI 09640200006
Telah dipertahankan di depan Penguji
pada tanggal 15 Desember 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Susunan Dewan penguji
Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji
Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Dr. Ir. H. Sudiyarto, MMA Pembimbing Pendamping
Dr. Ignatia Martha H, SE, ME Ir. Sri Widayanti, MP
Ir. Setyo Parsudi, MS
Surabaya, Desember 2010 UPN “Veteran” Jawa Timur Program Pascasarjana Direktur
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM selaku Pembimbing Utama, dan: Ir. Sri Widayanti, MP. Selaku Pembimbing Pendamping. Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.
2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya. 3. Rektor Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan ijin
peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.
4. Dekan Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan dorongan, semangat dan kerjasamanya selama ini.
5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan dan peternak penggemukan sapi di kecamatan Pasean Pamekasan yang telah membantu peneliti dalam penyediaan data untuk penelitian ini.
6. Sembah sujud kepada ibunda R. Ay. Hj. St. Hatidjah yang telah mendoakan untuk keberhasilan peneliti.
7. Secara khusus disampaikan kepada isteri peneliti R. Nurul K, SE dan ananda tercinta Rani Nurfitrianti (1989) dan Safira Megantari (1998) yang telah memberikan motivasi untuk keberhasilan peneliti.
Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman peneliti, namun demikian peneliti berharap semoga memberikan manfaat dalam pembangunan keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.
Pamekasan, Desember 2010
Peneliti
KATA PENGANTAR ……… i
DAFTAR ISI ……….. ii
DAFTAR TABEL ……….. v
DAFTAR GAMBAR ………. vi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. vii
RINGKASAN………. SUMMARY………. ix xi I. PENDAHULUAN………. 1
1.1. Latar Belakang ……….. 1
1.2. Perumusan Masalah ………. 7
1.3. Tujuan Penelitian ………. 8
1.4. Manfaat Penelitian ……….. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9
2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ………. 9
2.2. Telaah Pustaka ……… 14
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 42 3.1. Kerangka Pemikiran ……… 42
3.2. Hipotesis ……… 45
4.3. Pengambilan Data ……….. 47
4.4. Jenis Data ………. 48
4.5. Definisi dan Pengukuran Variabel ………. 49
4.6. Analisa Data……….. 52
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 57 5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Pamekasan ... 57
5.2. Potensi dan Permasalahan Pengembangan Sapi Madura ... 61
5.3. Gambaran Umum Wilayah Eks-Kawedanaan Waru... 64
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 69 6.1. Kondisi Terkini Keragaan Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten Pamekasan ... 69 6.2. Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong Skala Rumah Tangga ... 75 6.3. Keberpihakan Pemerintah Daerah dalam Bidang Peternakan Pamekasan... 81 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 102
7.2. Saran ... 103
No Halaman
1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan rakyat….. 18
2. UMK Jawa Timur Tahun 2010 ………. 41
3. Luas Wilayah, Ketinggian dari Permukaan Laut, Jumlah Curah Hujan (CH), Jumlah Hari Hujan (HH) dari masing-masing
Kecamatan di Kabupaten Pamekasan ………... 58
4. Produksi Tanaman Bahan Makanan di sawah dan Ladang…… 60
5. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Pasean.…….. 66
6. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Waru... 67
7. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Batumarmar... 68
8. Ketersediaan Bahan Pakan Ternak Asal Limbah Pertanian
(ton/tahun)………. 71
9. Daya tamping Pasar Hewan di Kabupaten Pamekasan ………
73
10. Jumlah Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH)
Kabupaten Pamekasan (Bulan Oktober 2010) ……… 74
11. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura di Kabupaten
Pamekasan ………... 78
12. Proporsi anggaran Bidang Peternakan Kabupaten Pamekasan
tahun 2010 ……… 88
13. Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dengan Faktor
Eksternal ……… 96
14. Analisis Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan
Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ………... 99
1. Keragaan Agribisnis Peternakan ……… 23
2. Kerangka Penelitian ……… 44
3 Keragaman Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten
Pamekasan ……… 69
4. Bagan Perdagangan sapi Potong ………... 72
2.
3
4.
Penyilangan sapi Madura di Pulau Madura...
Tanggapan Pemasukan Sapi ke Pulau Madura...
Data Responden Usaha Penggemukan Sapi Madura ………... 108
109
111
5. Data Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Madura...…………. 112
6. Data Biaya Variabel Usaha Penggemukan Sapi Madura ……….. 113
7. Data Biaya Tetap Usaha Penggemukan Sapi Madura ………….. 114
8. Analisa Usaha Persepsi Peternak Penggemukan Sapi Madura ... 115
9. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura ………. 116
10. Kesimpulan Analisis Factor Internal (KAFI) …………...………… 117
11. Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE) ..……….. 118
12. Analisis SWOT / Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dan Eksternal ……….
119
13. Analisa Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ………
120
Tesis ini diperuntukkan kepada :
Isteri dan anakku tersayang
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali tertulis dikutip dalamnaskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)
Surabaya, Desember 2010
Ahmad Yudi heryadi
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Pembimbing Pendamping : Ir. Sri Widayanti, MP.
Penelitian dilaksanakan atas dasar keprihatian peneliti, melihat keadaan bisnis penggemukan sapi, dimana revolusi bidang peternakan yang penggerak utamanya adalah peningkatan pada sisi permintaan komoditas peternakan. Di satu sisi pemenuhan permintaan ini, 94 % dipenuhi oleh peternakan rakyat, yang merupakan usaha skala rumah tangga, tetapi hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan (2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaan (3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi potong.
ekonomi dengan menggunakan analisis pendapatan peternak, sedangkan kelayakan teknis, manajerial dan kelembagaan dengan analisis deskriptif, dan untuk menganalisis tujuan ketiga ketiga yaitu keberpihakan pemerintah dengan analisis deskriptif sedangkan untuk menganalisis upaya pengembangan agribisnis peternakan termasuk usaha penggemukan sapi, menggunakan analisis SWOT.
Hasil penelitian diperoleh bahwa kinerja sistem agribisnis penggemukan sapi sudah cukup mendukung namun diperlukan dorongan dan fasilitas pemerintah untuk terwujudnya system kelembagaan agribisnis sapi potong melalui asosiasi-asosiasi peternak, industri pakan skala kecil dan menengah di pedesaan yang benar-benar berorientasi komersial dan mampu bersinergi antar subsistem agribisnis yang ada. Pada usaha penggemukan sapi di Kecamatan Pasean, dimana untuk skala usaha 2,84 ekor, dengan lama pemeliharaan 4,52 bulan, menghasilkan keuntungan Rp. 336.850,-, hal ini sangat jauh dari harapan pemenuhan kebutuhan rumah tangga peternak, dengan asumsi kebutuhan pokok keluarga sama dengan Upah Minimal Kabupaten (UMK) Pamekasan sebesar Rp. 900.000,- . Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Pamekasan layak untuk dikembangkan dari kelayakan teknis dan kelembagaan. Kelayakan manajerial di tingkat peternak belum terpenuhi karena pola beternak yang dipakai masih tradisional demikian juga dengan kelayakan ekonomi belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak tetapi hanya sebagai tambahan penghasilan keluarga. Keberpihakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, sebagai daerah otonom sudah cukup baik, hal ini terlihat dari program-program kerja dan anggaran yang disediakan. Namun dari proporsi anggaran yang dibuat belum banyak yang langsung dapat dirasakan oleh peternak.
Advisor: Prof.. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM counselor: Ir. Sri Widayanti,MP.
The experiment was conducted on the basis of concerns of researchers, see the state of the business of fattening cattle, farm fields where the revolution was mainly driven by increases in farm commodity demand side. On the one hand the fulfillment of this
request, 94% fulfilled by the farm folk, which is a household-scale effort, but results have not been able to meet the needs of farmer households.
agribusiness system has enough support but needed encouragement and government facilities for the realization of the institutional system of beef cattle agribusiness through associations of farmers, feed industry of small and medium scale rural real commercially-oriented and able to work together inter-subsystem existing agribusiness. In fattening cattle in the District Pasean, where for 2.84 scale tail, with long maintenance of 4.52 months, making a profit of Rp. 336 850, -, this is very far from fulfilling the needs of farmer households, assuming the same basic needs of families with District Minimum Wage (UMK) Pamekasan Rp. 900.000, -. Fattening beef cattle in the District Pamekasan feasible to develop the technical and institutional feasibility. Managerial feasibility at the farmer level has not been met because the pattern is still used traditional breeding as well as economic feasibility has not been able to meet the needs of farmer households but only as an additional family income. Pamekasan County Government partisanship, as an autonomous region is good enough, it can be seen from the work programs and budgets provided. However, the proportion of the budget are made not much can be felt directly by the breeder.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan sub sektor peternakan memiliki nilai strategis dalam
pemenuhan kebutuhan manusia yang terus mengalami peningkatan
seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan per
kapita serta taraf hidup masyarakat. Revolusi hijau di bidang pertanian,
dengan mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi
produksi, seperti penemuan varietas unggul berumur pendek, maka
penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi
permintaan. Semakin tinggi permintaaan produk ternak didorong oleh
pertumbuhan populasi penduduk, peningkatan pendapatan dan urbanisasi
(Delgado et al., 2001 dalam Soekardono, 2009).
Pembangunan peternakan Propinsi Jawa Timur selama ini pada
dasarnya memegang peranan penting dalam membangun sektor
pertanian, khususnya dalam upaya perluasan kesempatan kerja,
pemasukan devisa negara, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani peternak dan keluarga petani peternak serta peningkatan konsumsi
protein hewani dalam rangka peningkatan kecerdasan bangsa serta
seperti penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan
dan hubugan sinergis dengan subsektor dan sektor lainnya.
Sapi potong merupakan komoditas strategis dari sub sektor
peternakan yang perkembangannya sangat mendukung perkembangan
ekonomi masyarakat, dikarenakan sebagian besar dipelihara dan
dikembangkan sebagai usaha ternak rakyat yang diharapkan menjadi
pendapatan utama rakyat peternak dan dapat memberikan kontribusi
terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan
ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan.
Pengembangan komoditas sapi potong paling tidak sebagai upaya yang
diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dari sapi potong
lokal atau mengurangi secara betahap kebutuhan produk ternak melalui
import. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi besar
pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini dan
kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat (skala
usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto (2002)
yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri
dilakukan oleh peternakan rakyat.
Sapi Madura sebagai salah satu type sapi potong lokal Indonesia
mempunyai potensi sangat besar untuk dapat dikembangkan. Beberapa
keunggulan dimiliki breed (bangsa) sapi Madura, seperti daya tahan tinggi
kemampuan adaptasi tinggi terhadap kualitas pakan yang rendah,
persentase karkas yang tinggi yaitu 48,6 – 51.2%, memiliki daging
berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) dan tahan
terhadap parasit internal serta kebutuhan pakan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan sapi impor (Siregar, 2006).
Dari data Dinas Peternakan Jatim pada 2009 diketahui, populasi
sapi Madura di empat kabupaten di Madura sebanyak 601.795 ekor yang
tersebar di empat kabupaten. Seperti di Bangkalan terdapat 142.567 ekor,
Sampang 123.438 ekor, Pamekasan 97.899 ekor, dan Sumenep 237.891
ekor. Sapi Madura berkembang secara murni di pulau Madura dan
dilindungi keberadaannya dari tahun ke tahun, mutasi keluar pulau terjadi
untuk memenuhi kebutuhan daging cukup besar mencapai 24%
kebutuhan supply dari Jawa Timur. Peranan sosiobudaya masyarakat
Madura terhadap keberadaan sapi Madura disamping pemanfaatan
sebagai tenaga kerja, kebutuhan ekonomi dan mampu mendukung
perbaikan mutu genetik ternak adalah aspek budaya pemeliharaan secara
khusus pada sapi yang terpilih untuk diperlombakan, pajangan dan
memberikan kebanggan tersendiri serta memiliki nilai ekonomis tinggi
(harga jual tinggi). Pemeliharaan sapi Madura sebagai sapi potong
merupakan usaha yang paling banyak dipelihara oleh peternak sehingga
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi
protein hewani sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan peternak
minimal akan sangat sulit mencapai kedua hal tersebut. Rahmanto (2004)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan dari
usaha penggemukan sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan
rumah tangga. Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap
potong, kontribusi usaha ini bisa mencapai 30 %.
Populasi sapi Madura di Kabupaten Pamekasan pada tahun 2009
tercatat 97.899 ekor dengan kepadatan 1,002 ekor/ha. Jumlah sapi betina
lebih banyak dari pada sapi jantan. Populasi tersebut mengalami
peningkatan rata-rata 1,3 % pertahun dibandingkan populasi 5 tahun
terakhir. Jumlah pemotongan di Rumah Potong Hewan pada tahun 2009
sebanyak 1.120 ekor (jantan 824 ekor dan betina 295 ekor), sedangkan
pengeluaran ternak dengan daerah tujuan Surabaya dan sekitarnya serta
Jakarta tercatat 18.270 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan,
2009).
Kepadatan ternak di Kabupaten Pamekasan termasuk kategori
yang sangat padat dengan areal yang sempit, sumber hijauan makanan
ternak (HMT) yang tumbuh di pinggir jalan, pematang, pinggir kali dan
sungai serta limbah pertanian dalam jumlah yang sedikit. Dengan kondisi
yang demikian pada umumnya mempunyai daya tamping 0,25 ekor/ha.
Kabupaten Pamekasan terdiri dari 13 kecamatan dimana pemetaan
dari segi pemeliharaan daerah sumber bibit dan usaha penggemukan
sudah hampir merata di semua kecamatan di wilayah utara Kabupaten
Pamekasan, yaitu Kecamatan Batumarmar, Kecamatan Pasean,
Kecamatan Waru serta di wilayah tengah yaitu Kecamatan Pakong,
Kecamatan Pegantenan dan Kecamatan Palengaan. (Dinas Peternakan
Kabupaten Pamekasan, 2009).
Mata pencarian penduduk Kabupaten Pamekasan umumnya
sebagai petani yang sebagian besar merangkap sebagai peternak.
Diperkirakan jumlah peternak di Kabupaten Pamekasan sekitar 65 ribu
kepala keluarga dengan kepemilikan 1,7 ekor/keluarga, sehingga jumlah
tersebut secara langsung juga merupakan sumber pendapatan yang akan
dinikmati oleh 260.000 penduduk. (Dinas Peternakan Kabupaten
Pamekasan, 2009).
Dalam upaya pengembangan sapi potong yang dapat memenuhi
standar minimal kebutuhan hidup keluarga peternak, khususnya di
Kabupaten Pamekasan diperlukan beberapa upaya pemberdayaan
peternak yang disesuaikan dengan moto, visi dan misi pembangunan
subsektor peternakan sebagai acuan operasional yaitu, Motto:
”Membangun peternakan modern, maju, mandiri dan berkesinambungan”.
Intinya adalah membangun dan mengelola usaha peternakan yang
berwawasan agribisnis. Visi: ”Terwujudnya masyarakat yang sehat dan
produktif serta kreatif melalui pembangunan peternkan tangguh berbasis
sumberdaya lokal”. Misi: ”Menyediakan pangan asal ternak yang cukup,
manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing
tinggi ; Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan
peternak ; menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan ;
Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung
peternakan. Mengacu pada moto, visi dan misi tersebut maka
pembangunan subsektor peternakan mengalami perubahan paradigma,
yang tadinya hanya terarah pada pembangunan peternakan dalam arti
sempit yaitu pada ”budidaya peternakan” dan pencapaiaan sasaran hanya
sebatas pada peningkatan produksi semata, maka saat ini berubah
kepada pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis.
Pembangunan peternakan dengan pendekatan sistem agribisnis
memperhatikan sinergi, integrasi dan konsistensi dari semua subsitem
agribisnis peternakan. Djarsanto (1992) mengatakan bahwa terdapat 4
(empat) aspek yang perlu diperhatikan di dalam cara pandang agribisnis
peternakan, yaitu: (1) peternak sebagai subyek harus ditingkatkan
pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai obyek harus
ditingkatkan produksi dan produktifitasnya, (3) lahan sebagai basis
ekologi budidaya harus dilestarikan, dan (4) teknologi dan pengetahuan
sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi harus selalu dikembangkan dan
1.2. Perumusan Masalah
Dari urain diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah existing condition (kondisi terkini) dari keragaan
agribisnis sapi di Kabupaten Pamekasan?
2. Bagaimanakah kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala
usaha rumah tangga ?
3. Dengan bergesernya fungsi dan peran pemerintah yaitu adanya
Otonomi Daerah, bagaimanakah political will (keberpihakan)
pemerintah dalam bidang peternakan khususnya kebijakan daerah
otonom, Peraturan Daerah, proporsi anggaran, program kegiatan
peternakan serta manfaat bagi masyarakat di Kabupaten
Pamekasan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan
agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan
2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala
rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan
3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya
Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong
dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam
rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi
potong.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1.4.1. Manfaat Teoritis .
1. Sebagai sumbangan informasi tentang existing condition (keadaan
saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di
Kabupaten Pamekasan
2. Sebagai sumbangan pengetahuan tentang kelayakan usaha
penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek
ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaaan
3. Sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dan para
pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pamekasan
untuk menyusun program pemberdayaan peternak yang sesuai
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang diajukan sebagai bahan
acuan sebagai berikut : Menurut Fatah (2009) Usaha peternakan sapi
potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha
sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara
besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan
keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diidentifikasi alternatif pola pola
pengembangan peternakan rakyat yang mempunyai skala usaha yang
ekonomis yang mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan
keluarga yang cukup memadai. Dalam perspektif kedepan, usaha
peternakan rakyat harus mengarah pada pengembangan agribisnis
peternakan, sehingga tidak hanya sebagai usaha sampingan, namun
sudah mengarah pada usaha pokok dalam perekonomian keluarga.
Dengan kata lain, usaha ternak rakyat diharapkan menjadi pendapatan
utama rakyat peternak (paling tidak) dan dapat memberikan kontribusi
terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan
ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan
usaha ternak rakyat. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi
besar pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini
dan kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat
(skala usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto
(2002) yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri
dilakukan oleh peternakan rakyat. Sektor pertanian secara nasional, masih
merupakan faktor yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, karena mayoritas penduduk masih memperoleh pendapatan
utamanya di sektor ini. Peternakan merupakan salah satu sub-sektor yang
terkandung didalamnya, memiliki peranan cukup penting dalam
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara.
Lebih lanjut Santoso (2008), menyatakan bahwa banyak sistem
yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah
satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga
yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Saat ini di propinsi
Sumetera Barat, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong
berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga
memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi
potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang
sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan
kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus
mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala
maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan
kandang biasanya berbentuk tunggal. Sistem budi daya ternak sapi
berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar
sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu
mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.
Menurut Daslina (2006). Dari karekteristik usaha dapat dikaji
rata-rata kepemilikan sapi potong sebanyak 2 - 5 ekor pada skala I (kecil), 6 -
10 ekor pada pemeliharaan skala II (sedang) dan Lebih 10 ekor pada
skala III (besar). Variasi jumlah kepemilikan sapi potong secara
keseluruhan berkisar antara satu ekor sampai 25 ekor. Tujuan
pemeliharaan yang dilakukan peternak terkait dengan cara memelihara
dan komposisi ternak yang dimiliki. Jumlah ternak jantan muda yang
dimiliki merupakan indikasi usaha pemeliharaan dengan tujuan
penggemukan (fattening) dan jumlah induk betina sebagai indikasi usaha
pemeliharaan sapi potong bibit dengan tujuan budidaya (breeding).
Menurut Suhadji (1990), di Indonesia terdapat 4 (empat) tipologi
usaha peternakan, Yaitu:
1. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan merupakan
pendukung pertanian dan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri
dan pendapatan dari ternak tidak dominan yaitu kurang dari 30 % dari
2. Peternakan sebagai cabang usaha di mana peternakan merupakan
usaha campuran (mix farming) dan pendapatan dari ternak belum
merupakan pendapatan utama dan sudah menjurus kepada usaha
semi komersial dengan total pendapatan 30% - 70% dari total
pendapatan usahataninya.
3. Peternakan sebagai usaha pokok di mana usaha peternakan sudah
merupakan usaha pokok keluarga petani dan komoditinya tunggal
serta sudah bersifat komersial. Pada tipe ini pendapatan dari
peternakan sudah dominan (pendapatan utama keluarga)
4. Peternakan sebagai usaha industri di mana peternakan sudah
merupakan bentuk usaha komersil dan komoditasnya sudah
terspesialisasi serta mempunyai tujuan ekonomi tertentu serta
pasarnya sudah jelas.
Majalah Poultry Indonesia tahun 1992 melaporkan bahwa dewasa
ini telah dikembangkan usaha peternakan inti rakyat (PIR) di daerah
Lampung yang memperoleh kredit dari bank untuk membeli beberapa ekor
sapi (biasanya 3 ekor), dan dalam satu kali periode (6 bulan) petani dapat
memperoleh penghasilan tambahan yang signifikan untuk pendapatan
keluarganya. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Ilham (2001)
menunjukkan bahwa peternak di Sumbawa, NTB yang menggunakan pola
landbase yaitu peternakan yang dilakukan di padang penggembalaan
mengusahakan ternak dengan lebih dari 5 ekor ( 51,6 %), sedang kan
peternak di Jawa Timur yang menggunakan pola non landbase
mengusahakan ternak dengan skala kepemilikan dibawah 5 ekor, bahkan
lebih dari 50% memelihara ternak dibawah 3 (tiga) ekor.
Hasil penelitian Yusdja, dkk. (2001), di NTB, Jawa Timur dan
Sumatera Utara menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi merugi
jika seluruh biaya usahatani diperhitungkan dalam analisis, kecuali di
Jawa Timur untuk skala usaha 6 ekor. B/C ratio di NTB hanya mencapai
0,76 untuk skala pemeliharaan 2 ekor dan 0,91 untuk skala pemeliharaan
4 ekor. Di Jawa Timur mencapai 0,95 untuk skala pemeliharaan 3 ekor
dan 1,06 untuk skala pemeliharaan 6 ekor, sedangkan di Sumatera Utara
mencapai 0,68 untuk skala pemeliharaan 1 ekor dan 0,86 untuk skala
pemeliharaan 2 ekor. Keuntungan usahatani dapat dicapai jika hanya
didasarkan pada biaya tunai saja.
Kusnadi, dkk (1992), Usaha penggemukan sapi Madura masih
menguntungkan walaupun tidak setinggi sapi Bali dan Sapi Ongole
dengan keuntungan bersih perbulan di daerah Transmigrasi Lahan Kering
Batumarta masing-masing sapi Madura Rp. 92.717,-, sapi Bali Rp.
93.924,-dan sapi Ongole Rp. 143.365,- , sedangkan menurut Winingsih
(2003). Pendapatan peternak dengan sistem semi gaduhan lebih tinggi
yaitu Rp. 152.232,- /ekor/bulan sedangkan dengan sistem gaduhan Rp.
sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan rumah tangga.
Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap potong, kontribusi
usaha ini bisa mencapai 30 %.
Sapi potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (94%)
dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf
operation) dalam usaha kecil dan terintegrasi dengan kegiatan lain,
sehingga fungsi sapi potong sangat komplek dalam menunjang kehidupan
peternak (Gunawan, 2003).
2.2 Telaah Pustaka
2.2.1. Pengertian Bisnis Sapi Potong
Pengertian Bisnis sapi Potong dapat diketahuai dari pendekatan
dengan menelusuri asal kata agribisnis itu sendiri. Soekartawi (1993)
mengemukakan bahwa agribisnis berasal dari kata agri dan bisnis. Agri berasal darai bahasa Inggris, agricultural (pertanian). Bisnis berarti usaha
komersial dalam dunia perdagangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2007).
Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan
"hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis
bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan
pangan. Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi
memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan
bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran
Pada mulanya agribisnis didefinisikan secara sempit, hanya
menyangkut subsektor masukan (input) dan subsektor produksi (on-farm),
namun Downey dan Erickson, (1989) mendefinisikan agribisnis secara
luas, tidak hanya subsektor masukan dan produksi, akan tetapi juga
menyangkut subsektor pasca produksi, yaitu pemrosesan, penyebaran
dan, penjualan baik secara borongan maupun penjualan eceran produk
kepada konsumen akhir.
Lebih lanjut definisi agribisnis yang dikemukakan Davis & Golberg
(1957) dalam Soehardjo (1997), memberikan suatu konsep dan wawasan
yang sangat dalam tentang pertanian modern menghadapi millennium
ketiga. Agribisnis merupakan suatu sistem, bila akan dikembangkan harus
terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada didalamnya.
Menurut Wibowo, (1994), pengertian agribisnis mengacu kepada
semua aktifitas mulai dari pengadaan, prosesing, penyaluran sampai
pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani atau agroindustri
yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian agribisnis dapat
dipandang sebagai suatu system pertanian yang memiliki beberapa
komponen sub sistem pertanian yang memiliki bahan baku, subsistem
Dilain pihak, menurut Soehardjo (1997), persyaratan-persyaratan
untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut : memandang
agribisnis sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem. Sistem
tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu
subsistem, setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai
keterkaitan kebelakang dan kedepan. Agribisnis memerlukan lembaga
penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/keuangan,
pendidikan, penelitian dan perhubungan. Agribisnis pelaku dari berbagai
pihak baik BUMN, Swasta maupun koperasi dengan profesi sebagai
penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir,
eksportir dan lain-lain.
Menurut Saragih (1998), agribisnis merupakan suatu sektor
ekonomi modern dan besar dari pertanian primer, yang mencakup paling
sedikit empat subsistem, yaitu: (1) sussistem agribisnis hulu (up-stream
agribusiness), seperti kegiatan ekonomi yang menghasilkan (agroindustri
hulu) dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (industri
pupuk, obat-obatan, benih/bibit, alat dan mesin pertanian dan lain-lain); (2)
subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) yang dimasa lalu disebut
sector pertanian primer; (3) subsitem agribisnis hilir (down-stream
agribusiness) , yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian
primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap untuk dimasak atau
siap untuk disaji (ready to cook/ready to used) atau siap untuk dimakan
internasional; dan (4) subsistem jasa layanan pendukung seperti
perkreditan, asuransi, transportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan
pemerintah, dan lain-lain.
Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, di Indonesia
terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan
rakyat. Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan
secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka
waktu tertentu untuk tujuan komerial yang meliputi kegiatan menghasilkan
ternak (ternak bibit/ternak potong), telur dan susu serta usaha
penggemukan termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan
memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari jumlah yang
ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat. Peternakan
rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha
sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak
diternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian, dengan batasan sebagai
berikut:
- Sapi perah sekurang-kurangnya 1 ekor
- Sapi sekurang-kurangnya 2 ekor
- Kerbau sekurang-kurangnya 2 ekor
- Kuda sekurang-kurangnya 2 ekor
- Kambing/domba sekurang-kurangnya 6 ekor
- Ayam ras petelur/pedaging sekurang-kurangnya 12 ekor
Perusahaan peternakan dan peternakan rakyat tersebut secara sungkat
dibedakan menurut beberapa aspek sebagai berikut (tabel 1)
Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan Rakyat
Aspek Perusahaan Peternakan Peternakan Rakyat
1. Sifat Pokok Sambilan
2. Tujuan Menghasilkan pendapatan
pokok dan memaksimumkan
keuntungan (komersial)
Menambah
pendapatan rumah
tangga
3. Skala Besar Kecil
4. Kedudukan Badan hukum Individual
5. pengelolaan Intensif Tradisional
2.2.2 Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat miskin cenderung lambat terutama
disebabkan rendahnya modal sosial yang dimilikinya. Modal sosial adalah
norma, kepercayaan, jaringan yang memfasilitasi dalam tindakan kolektif
untuk hubungan yang saling menguntungkan. Jika sekilas dibuat
gambaran tentang mentalitas miskin, umumnya cenderung gemar
menempuh jalan pintas, yang benar adalah kami, asing dengan
mencapai prestasi yang lebih baik. Secara umum dasar-dasar
kebudayaan Melayu (Indonesia) adalah tidak memiliki tradisi inovatif, lekas
puas dengan tercapainya kebutuhan sederhana, cenderung boros dan
senang bergantung (tetapi kemudian berkhianat) kepada mereka yang
diasumsikan sebagai yang lebih kuat (Witrianto, 2008).
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial memiliki
pengaruh yang sangat menentukan. Di suatu komunitas yang memiliki
modal sosial rendah, kualitas pembangunan manusianya akan jauh
tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan manusia yang sangat
dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan
berbagai masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di
tengah masyarakat, memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan
yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki
nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti
meningkatkan kesejahteraan, perkembangan anak dan banyak
keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki modal
sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan
berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya.
Bahkan sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai
efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan
untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi
mencari solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat
kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program
tersebut dilakukan. Kondisi ini yangmendorong masyarakat bersikap tidak
peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan
program tersebut. Beberapa contoh program pemberdayaan yang
digulirkan pemerintah yang belum menunjukkan manfaat yang signifikan
secara berkelanjutan bagi masyarakat dan bahkan hanya menciptakan
ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah adalah Gerakan
Rehabilitasi Lahan (Gerhan), Raskin, Gaskin, dana bergulir, BLT dan
sebagainya (Suharto dan Yuliani, 2005).
2.2.3 Pembangunan Peternakan
Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di
Indonesia telah mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjend
Bina Produksi Peternakan, 2002). Ketergantungan impor daging dan sapi
potong, antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal yang
disebabkan oleh meningkatnya permintaan daging. Pemenuhan
permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi
lokal, maka dapat berakibat terjadi pengurasan populasi sapi lokal, karena
terjadi pemotongan terhadap sapi muda yang ukurannya masih kecil dan
terhadap sapi betina produktif. Kondisi ini sangat berbahaya jika kita
mengacu pada keinginan pemerintah untuk berswasembada daging pada
besar (94%) dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat
(cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi dengan
kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam
menunjang kehidupan peternak (Gunawan, 2003).
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan
faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi
oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem
produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat
faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka
akan mempengaruhi sub sistem lain. Oleh karena itu dalam penerapan
teknologi harus ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini
tidak saja menyangkut kelembagaan usahatani, melainkan juga peranan
kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian
yang dapat mendukung pembangunan dan usaha agribisnis.
Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara
sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani
menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana
program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu
dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari
program-program tersebut. Pentingnya lembaga-lembaga di pedesaan dalam
pembangunan pertanian karena; 1) banyak masalah-masalah pertanian
memberi pada usaha-usaha pertanian karena sangat terkait dengan
penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam jangka panjang, dalam
pembangunan pertanian, kemampuan masyarakat petani untuk
bekerjasama sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis;
dan 3) Pada suatu waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia
luar, sehingga perlu mereka terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa
dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari
masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri. Ciri-ciri peternakan
rakyat yakni skala usaha realtif kecil, merupakan skala rumah tangga,
merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi yang sederhana
dan bersifat padat karya serta berbasis organisasi kekeluargaan. Usaha
peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka
terhadap perubahan. Alternatif pengembangan adalah dengan melakukan
reformasi modal, penciptaan pasar, sistim kelembagaan dan input
teknologi. Tujuannya adalah untuk merubah usaha rakyat menjadi usaha
yang maju (Ilham,2004).
Lebih lanjut Ilham (2004) memaparkan Selama ini jika diamati,
pengertian membangun peternakan identik dengan tugas pokok dan
fungsi dari Departemen Pertanian cq Ditjen Peternakan di tingkat
pemerintah pusat atau Dinas Peternakan di tingkat provinsi, yaitu
subsektor yang bergerak dalam bidang produksi dengan pendekatan
sistem agrobisnis. Namun, realitasnya keberpihakan kebijakan
dan bukan produksi. Sering kali pemerintah cukup "panik" manakala harga
produk peternakan membumbung naik. Padahal, seharusnya pemerintah
cukup bertindak bijak, yaitu bahwa peningkatan harga akan menyebabkan
peningkatan produksi dan penyerapan tenaga kerja sehingga akan
mampu meningkatkan daya beli dan pola konsumsi masyarakat
pedesaan.
Dalam agribisnis peternakan, subsistem yang terlibat saling terkait
dan saling menentukan (keragaan) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Keragaan Agribisnis Peternakan
PEM ASARAN -Inform asi pasar -Int elejen pasar
- Kebijakan pasar
BUDIDAYA
SUBSISTEM PENUNJANG -Penelit ian dan Pengem bangan -Penyuluhan
-Keuangan/ Perkredit an -Kesehat an Hew an -Transport asi dll. AGRIBISNIS HULU
- Usaha bibit - Indust ri pakan - Indust ri farm asi - Indust ri alsinnak
AGRIBISNIS HILIR -Pem ot ongan hew an -Indust ri pengolahan
2.2.4 Kelembagaan
Syahyuti (2008) mengatakan ada dua pintu masuk untuk sampai
kepada kajian kelembagaan, yaitu melalui “studi kebudayaan” khususnya
tentang aspek nilai dan norma, serta cabang ilmu “sosiologi kelompok”.
Kedua bidang kajian ini ditekuni oleh para ahli dengan kacamata yang
berbeda menghasilkan beberapa batasan tentang apa itu kelembagaan.
Pemahaman tentang kebudayaan menyumbangkan sisi dinamis dari
kelembagaan (disebut dengan aspek kelembagaan), sedangkan sosiologi
kelompok menyumbangkan aspek statis dari kelembagaan (aspek
keorganisasian). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga
yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya
yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan
interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Bulu,
Sasongko WR dan Puspadi ( 2008), lembaga adalah pola aktivitas yang
terbentuk untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Asal
mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh,
kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya
terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi
mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah
mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan
kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota
Definisi kelembagaan yang berasal dari studi kebudayaan yaitu:
“kelembagaan adalah himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam
hubungan antar manusia”. Norma merupakan unsur pokok dalam
kebudayaan. Satu temuan penting dalam konteks ini adalah
konsep“cultural determinism”, dimana segala sesuatu yang terdapat di
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimilikinya. Sistem
norma merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, atau merupakan
unsur pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Norma terbentuk lambat
laun yang akan dijaga jika dirasakan berguna. Norma memiliki kekuatan
mengikat yang berbeda, dan juga sanksi sosial yang berbeda jika
dilanggar. Dikenal empat tingkatan dalam norma, yaitu cara (usage),
kebiasaan (foklways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom).
Norma diturunkan dari tata nilai yang menjadi inti pokok kebudayaan.
Seluruh perilaku manusia berpedoman kepada norma yang hidup dan
diakui tersebut (Bulu dkk., 2008).
Pintu masuk kedua adalah sosiologi kelompok. Bidang kajian ini
mempelajari kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat
berupa keluarga, masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa dan lain-lain.
Kelembagaan berasal dari kata lembaga yang mempunyai arti bakal dari
sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu atau badan/organisasi
yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan. Difinisi
kelembagaan menjadi berkembang tergantung pada tujuan dan aspek
diartikan sebagai kesepakatan perencanaan mengumpulkan sumber
daya produktif guna mengejar satu atau beberapa tujuan (Djogo dkk.
2003).
Pendifinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi.
Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk
kepada upaya mendesaian pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga
mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan
dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan
efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuasaan ekonomi, politik, sosial
antar pelakunya. Sehingga, secara umum kelembagaan didifinisikan
sekumpulan aturan formal (hukum, kontrak, perjanjian, organisasi dan
sebagainya) dan aturan informal (norma, tradisi, kebiasaan, sistim nilai,
agama dan kecenderungan sosiologi dan lainnya) yang memfasilitasi
koordinasi atau mengelola (governance) hubungan antara individu atau
kelompok. Oleh karena, pada dasarnya lembaga menyediakan lebih
banyak kepastian dalam interaksi manusia dan juga mempengaruhi
perilaku seseorang (Yustika, 2006).
“Kelembagaan” merupakan satu konsep yang tergolong
membingungkan, dan dapat dikatakan belum memperoleh pengertian
yang mantap dalam ilmu sosiologi. Meskipun belum sepakat, namun dapat
diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat organ-organ dalam
tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan”
(constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu
pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia
merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk
tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial
tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan
berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Tiap kelembagaan
memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya
memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah
disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan adalah kelompok-kelompok
sosial yang menjalankan masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk
satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan,
kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi,
dunia berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk
dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak
kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat
ibadah, dan lain-lain (Syahyuti. 2008).
Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan
sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan menurut Djogo,Tony,
Suharjito, Didik, Martua dan Sirait (2003) adalah suatu tatanan dan pola
hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling
mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau
antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan
etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta
insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Kelembagaan
dibentuk dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Semakin
berkembang suatu masyarakat, maka semakin banyak kelembagaan yang
dimilikinya. Lebih lanjut Djogo dkk (2003) menggolongkan bahwa
jenis-jenis kelembagaan berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu:
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, system pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup, serta system teknologi dan peralatan. Berbagai jenis
kelembagaan dikelompokkannya ke dalam delapan kebutuhan hidup
manusia, yaitu:
1. Kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi hidup
kekerabatan (domestic institutions) berupa kelembagaan
pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan anak-anak,
perceraian dan sebagainya.
2. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan pencaharian hidup
(economic institution) berupa pertanian, peternakan,
pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi, penjualan,
dsb.
3. Kelembagaan untuk pendidikan (educational institutions) berupa
pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan
4. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia
(scientific institutions) berupa metoda ilmiah, penelitian,
pendidikan ilmiah, dsb.
5. Kelembagaan untuk menyatakan rasa keindahan (aesthetic and
recreational institutions) misalnya seni rupa, seni suara, seni
gerak, kesusasteraan, olahraga, dsb.
6. Kelembagaan untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib
(religious institutions) berupa gereja, doa, kenduri, upacara,
pantangan, ilmu gaib,dsb.
7. Kelembagaan untuk kehidupan berkelompok atau bernegara
(political isntitutions) yaitu sistem pemerintahan, demokrasi,
kehakiman, kepartaian,kepolisian, dll.
8. Kelembagaan untuk mengurus kebutuhan jasmaniah manusia
(somatic isntitutions) misalnya salon, kedokteran, dll.
Kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi
ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan yang disebabkan
karena perubahan nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan
perubahan masa. Ada dua dimensi penyebab terjadinya perubahan
kelembagaan, yaitu perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi dan
sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi.
Dengan pemahaman diatas, perubahan kelembagaan dapat dianggap
sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi aspek-aspek
kehidupan sosial, hukum, ekonomi dan politik serta lainnya. Maksudnya,
jika norma interaksi sosial berubah, seluruh pola hubungan sosial dan
jaringan sosial yang sudah dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat
berubah pula.
Lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari
perubahan kelembagaan menurut North dalam Yustika (2006) adalah :
1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus
menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan dan kemudian
diperkuat oleh kompetisi merupakan kunci terjadinya perubahan
kelembagaan.
2. Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan ketrampilan
dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya
akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan
kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.
3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis ketrampilan dan
pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum.
4. Persepsi berasal dari kontruksi bangunan mental para
pemain/pelaku
5. Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan
matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang
Ada empat hal yang menyebabkan individu atau kelompok
berusaha mengubah kesepakatan kelembagaan, yaitu :
1. Perubahan harga relatif dalam jangka panjang mendorong
peningkatan aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas
ekonomi baru.
2. Kesempatan teknologi baru dapat menciptakan pendapatan
yang potensial, yang hanya dapat ditangkap jika kelembagaan
ekonomi yang sedang berjalan dapat diubah.
3. Kesempatan dalam mencari alternatif usaha dapat memicu
kelompok kepentingan untuk melakukan perubahan
kelembagaan guna menyesuaikan sewa dan retribusi
pendapatan sesuai keinginannya.
4. Perubahan dalam sikap kolektif, seperti proteksi lingkungan sapi
Madura, pendapatan minimum regional, perubahan cukai rokok
dan sebagainya.
Koneksi antara lembaga dan perubahan ekonomi menjadi sangat
jelas, karena lembaga mempengaruhi penciptaan, penyimpanan,
pendistribusian, penggunaan dan penghancuran ilmu sejak mereka
membentuk visi, interaksi, keputusan dan rutinitas agen-agen ekonomi
pada semua level dengan dan di luar organisasi dan pasar, membentuk
proses teknis dan perubahan organisasi. North (1987) dalam Kutsiyah
(2008) menegaskan bahwa lembaga yang efisien merupakan penyebab
informasi, mengurangi ketidak pastian, memanajemen konflik, konkurensi,
menciptakan insentif dan kepercayaan.
Pertumbuhan ekonomi tidak harus bertumpu pada investasi. Tetapi
kemajuan teknologi dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi. Ekonomi
kelembagaan (institutional economic) merupakan pengontrolan tindakan
kolektif, pembebasan dan perkembangan tindakan manusia (collective
action controlling, liberating and expanding human relation). Ekonomi
kelembagaan lebih menekankan pada system ekonomi disusun
(structured) dan perubahan struktur akibat responsive tindakan kolektif
(Bromley (1993) dalam Kutsiyah (2008). Sehingga lembaga ekonomi
mampu mengatasi peningkatan kompleksitas pertukaran, menawarkan
lebih banyak kreasi, distribusi dan adaptasi ide baru.
Ada dua jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu :
a. Meningkatkan jumlah sumber daya (input) dalam proses produksi,
dengan sendirinya akan meningkatkan out put atau dikenal dengan
pertumbuhan ekstensif.
b. Proses peningkatan poduktifitas sumber daya. Produktifitas yang
tinggi dihasilkan dari perbaikan teknologi atau disebut dengan
pertumbuhan intensif. Perekonomian dapat bergerak melewati batas
kurva pada kuantitas input yang tetap hanya dengan jalan peningkatan
teknologi yang dapat dilaksanakan dengan cara :
2. Mengupayakan agar pasar modal berfungsi dengan baik.
3. Menciptakan lingkungan yang kompetitif sehingga dapat menekan
korporasi secara terus menerus dalam memperbaiki
produk-produknya atau sanggup mengambil resiko.
Bulu, Sasongko WR dan Puspadi (2008) menguraikan bahwa
kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan
penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pendekatan
pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui
cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian
terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal.
Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh
suatu lembaga. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi
merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang
dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak
sebagai satu kesatuan sistem dalam pembangunan pertanian. Dalam
penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan.
2.2.5 Deskripsi Sapi Potong
Dari sejarahnya, semua bangsa sapi yang dikenal didunia berasal
dari Homacodontidae yang di jumpai pada zaman Pliocene di India, Asia (
Murtidjo, 1994). Banyak ahli yang memperkirakan bahwa breed (bangsa)
sapi berasal dari Asia tengah, kemudian menyebar ke Eropa, keseluruh
yang saat ini merupaka gudang sapi potong dan sapi perah jenis unggul
tidak terdapat keturunan asli, melainkan hanya mendapatkan dari Eropa (
Sugeng, 2002). Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang
memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik
tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih
dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke
generasi berikutnya. Menurut Romans et al., (1994) dan Blakely dan
Bade, (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai
berikut : Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Infra class : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminantia
Infra ordo : Pecora
Famili : Bovidae
Genus : Bos (cattle)
Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi zebu)
Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)
Dari species sapi diatas, terbagi menjadi 2 (dua) type sapi, yaitu
sapi perah dan sapi pedaging yang diusahakan untuk sapi potong. Sapi
pedaging adalah sapi-sapi yang sengaja dipelihara untuk tujuan
menghasilkan daging yang berkualitas baik, dengan ciri-ciri bentuk tubuh
dalam dan besar, bentuk segi empat atau balok, laju pertumbuhan cepat,
efisiensi pakan tinggi, cepat mencapai dewasa, dan badan berisi daging.
Anggorodi (1979) : Penambahan berat akibat penimbunan lemak atau
penimbunan air bukan pertumbuhan murni. Ditinjau dari segi kimiawi :
pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat
mineral yang tertimbun di dalam tubuh
2.2. 6 Usaha Penggemukan sapi
Penggemukan sapi dapat dilakukan secara perseorangan maupun
secara perusahaan dalam skala usaha besar. Namun, ada pula yang
mengusahakan penggemukan sapi secara kelompok dalam kandang yang
berkelompok pula. Usaha penggemukan sapi merupakan pengembangan
dari agribisnis peternakan, karena berawal dari pemikiran para peternak
ketika menjual sapi-sapi yang sudah relatif tua dan sudah tidak efektif lagi
bila digunakan sebagai bibit, pejantan, tenaga kerja,dan sapi perah. .
diharapkan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik dan kalau
dijual tentu harganya relatif murah. Para peternak sapi umumnya menjual
sapi-sapinya kepada pedagang-pedagang ternak yang didasarkan pada
kondisi dan bobot badan. Atas dasar itulah maka peternak untuk
mengupayakan harga penjualan sapi yang lebih mahal dengan
menggemukkannya terlebih dahulu selama beberapa bulan sebelum dijual
ke pasar atau kepada pedagang ternak. Penggemukan ini ternyata
mendatangkan nilai tambah bagi para peternak karena harga penjualan
sapi yang lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan sapi tanpa
melalui proses penggemukan terlebih dahulu.
Usaha penggemukan sapi mendatangkan keuntungan ganda
berupa keuntungan dari pertambahan bobot badan dan kotoran sapi
berupa pupuk kandang. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari
penjualan sapi yang digemukkan tergantung pada pertambahan bobot
badan yang telah dicapai dalam proses penggemukan, lama
penggemukan dan harga daging.
2.2.7 Karakteristik Sapi Madura
Morfologi
Sapi Madura merupakan salah satu sapi potong lokal (indigenus)
yang berkembang di Indonesia, dan termasuk sapi potong type kecil. Sapi
Madura dalam perjalanan perkembangannya merupakan hasil pembauran
dengan Zebu (Bos indicus). Keunggulan itu antara lain, memiliki
kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stress pada lingkungan
tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang kurang baik, tumbuh dan
berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi serangan caplak
dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap
parasit tertentu. Hingga kini beberapa sumber menyebutkan bahwa sapi
madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif
dan inbreeding (Soehadji,1993).
Upaya untuk memperbaiki pertumbuhan sapi Madura menurut
Wijono dan Setiadi (2007), telah dilakukan persilangan dengan pejantan
unggul termasuk bangsa Bos taurus antara lain Red Denis, Santa
Gestrudis dan pejantan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman
yang kesemuanya memiliki warna merah kecoklatan. Komunitas yang
dihasilkan melalui isolasi dan seleksi alamiah yang ketat menghasilkan
sapi yang relatif memberikan keseragaman genotipe yang mantap dan
berkembang sebagai sapi Madura sekarang ini. Bahkan sapi potong
Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan unggul dalam upaya
meningkatkan produktivitas sapi Madura (Soehadji, 1993 dan
Soerjoatmodjo, 2002). Strategi pemasukan genotipe baru tidak jelas
kelanjutannya dan merupakan tindakan langkah-langkah jangka pendek
atau produksi sesaat, tidak mempunyai arah, sasaran dan target yang
jelas yang ingin dicapai maupun permasalahan yang akan timbul dari
Komformasi sapi Madura pada bagian kepala bertanduk yang
mengarah dorsolateral, berdasar tanduk besar dan pada sapi jantan
memiliki gumba (punuk) sedangkan yang betina tidak tampak adanya
punuk (kecil). Warna bulu merah bata–merah coklat, warna sapi jantan
dan betina sama sejak lahir sampai dewasa; garis punggung (linea
spinosum) kehitaman-coklat tua masih ditemukan, warna keputih-putihan
pada daerah bawah kaki (metacarpus–phalanx) dan twist/sekitar pantat
(Anonimus, 2001).
Populasi sapi Madura di pulau Madura dari tahun ketahun relatif
statis dengan kisaran 600.000–700.000 ekor dan populasi tertinggi terjadi
pada tahun 1932 sebanyak 735.922 ekor. Populasi sapi Madura di
Indonesia hingga tahun 1991 dilaporkan sebanyak 1.279.000 ekor atau
sekitar 12% dari populasi sapi potong di Indonesia, sebanyak 691.092
ekor (54%) terdapat di Pulau Madura dengan tingkat pertumbuhan
mencapai 1,7% pertahun (Soehadji, 1992). Penyebarannya hampir di
seluruh Nusantara, ditemukan mencapai sekitar 18 propinsi yaitu di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan NTB. Pengembangannya di luar
pulau Madura, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan
walaupun wilayahnya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama.
Produktivitas Sapi Madura
Sapi Madura adalah salah satu bangsa sapi asli Indonesia, banyak
didapatkan di Pulau Madura. Salah satu kelebihan sapi Madura adalah
tahan terhadap kondisi-pakan yang berkualitas rendah dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik; serta tahan terhadap infestasi caplak.. Namun
ada kecenderungan bahwa mutu sapi Madura menurun produktivitasnya
atau terjadi pergeseran nilai (produktivitas) dari waktu ke waktu, yang
sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan jelas ( Soehadji,
2001). Sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar
300 kg dan pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan
dengan pakan yang baik mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg,
ditemukan pada sapi Madura yang menang kontes (Soehadji, 2001).
Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak
sapi Madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina
pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok dan lomba sapi jantan yang
dikenal sebagai Kerapan. Sapi yang dilombakan merupakan sapi pilihan
yang memiliki tampilan performans yang sangat baik. Selain itu peranan
pemeliharaan sapi Madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu
sebagai sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi.
Pola pemeliharaan sapi Madura jantan dari hasil pengamatan Wahyono
dan Yusran (1992) sebanyak 94% dimanfaatkan sebagai tabungan yang
diharapkan mampu mendukung kebutuhan ekonomi dan nilai jual cepat
2.2.8 Kebutuhan Pokok Keluarga Peternak
Dinsosnakertrans (Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Kabupaten Pamekasan melaporkan bahwa penetapan UMK Pamekasan
telah sesuai prosedur dan tertinggi se Madura. Penetapan itu didasarkan
pada perhitungan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat Pamekasan
yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans, para pengusaha dan serikat
pekerja yang ada di kabupaten Pamekasan, yaitu sebesar Rp.900 ribu
yang merupakan KHR (Kebutuhan Hidup Rakyat). KHR inilah yang
kemudian diusulkan kepada Gubernur Jawa Timur dan Dewan
Pengupahan Jawa Timur untuk disyahkan menjadi UMK.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kominfo Jatim, UMK Jatim
2010 yang telah disetujui oleh Dewan Pengupahan Jatim dan diteken
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan pada bab 2,
penelitian ini mempunyai kerangka penelitian sebagai berikut: Kondisi
pengembangan sapi potong saat ini , khususnya usaha penggemukan
sapi potong didorong oleh permintaan daging yang terus-menerus
meningkat dari tahun ke tahun dan timbulnya keinginan sebagian
peternak sapi untuk menjual ternaknya dengan harga yang lebih pantas.
Perkembangan usaha penggemukan sapi juga tidak terlepas dari upaya
pemerintah yang telah berupaya mendukung usaha ini yang salah satunya
adalah menyebarkan kredit penggemukan sapi.
Kebutuhan daging sapi nasional setiap tahun setara dengan
2.000.000 ekor sapi hidup, dimana sebanyak 70% telah terpenuhi oleh
peternakan sapi rakyat. Sedangkan sisanya 600 – 700 ribu ekor masih
diimpor.
Program Swasembada Daging Sapi 2014 adalah upaya untuk
memenuhi kebutuhan daging sapi dari produksi sapi dalam negeri sebesar
90% atau lebih. Program swasembada daging sapi mulai digulirkan tahun
2009 dengan berbagai aktivitasnya. Diawali dengan pembahasan tentang