• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bisnis Penggemukan (fattening) Sapi Madura di Kabupaten Pamekasan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bisnis Penggemukan (fattening) Sapi Madura di Kabupaten Pamekasan."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN PAMEKASAN

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh : AHMAD YUDI HERYADI

09640200006

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA

(2)

DI KABUPATEN PAMEKASAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

AHMAD YUDI HERYADI 09640200006

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Ir. Sri Widayanti, MP

Surabaya, Desember 2010 Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis

(3)

AHMAD YUDI HERYADI 09640200006

Telah dipertahankan di depan Penguji

pada tanggal 15 Desember 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Susunan Dewan penguji

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Dr. Ir. H. Sudiyarto, MMA Pembimbing Pendamping

Dr. Ignatia Martha H, SE, ME Ir. Sri Widayanti, MP

Ir. Setyo Parsudi, MS

Surabaya, Desember 2010 UPN “Veteran” Jawa Timur Program Pascasarjana Direktur

(4)
(5)

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM selaku Pembimbing Utama, dan: Ir. Sri Widayanti, MP. Selaku Pembimbing Pendamping. Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya. 3. Rektor Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan ijin

peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

4. Dekan Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan dorongan, semangat dan kerjasamanya selama ini.

5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan dan peternak penggemukan sapi di kecamatan Pasean Pamekasan yang telah membantu peneliti dalam penyediaan data untuk penelitian ini.

6. Sembah sujud kepada ibunda R. Ay. Hj. St. Hatidjah yang telah mendoakan untuk keberhasilan peneliti.

7. Secara khusus disampaikan kepada isteri peneliti R. Nurul K, SE dan ananda tercinta Rani Nurfitrianti (1989) dan Safira Megantari (1998) yang telah memberikan motivasi untuk keberhasilan peneliti.

Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman peneliti, namun demikian peneliti berharap semoga memberikan manfaat dalam pembangunan keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.

Pamekasan, Desember 2010

Peneliti

(6)

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. ii

DAFTAR TABEL ……….. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. vii

RINGKASAN………. SUMMARY………. ix xi I. PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 7

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ………. 9

2.2. Telaah Pustaka ……… 14

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 42 3.1. Kerangka Pemikiran ……… 42

3.2. Hipotesis ……… 45

(7)

4.3. Pengambilan Data ……….. 47

4.4. Jenis Data ………. 48

4.5. Definisi dan Pengukuran Variabel ………. 49

4.6. Analisa Data……….. 52

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 57 5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Pamekasan ... 57

5.2. Potensi dan Permasalahan Pengembangan Sapi Madura ... 61

5.3. Gambaran Umum Wilayah Eks-Kawedanaan Waru... 64

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 69 6.1. Kondisi Terkini Keragaan Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten Pamekasan ... 69 6.2. Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong Skala Rumah Tangga ... 75 6.3. Keberpihakan Pemerintah Daerah dalam Bidang Peternakan Pamekasan... 81 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 102

7.2. Saran ... 103

(8)
(9)

No Halaman

1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan rakyat….. 18

2. UMK Jawa Timur Tahun 2010 ………. 41

3. Luas Wilayah, Ketinggian dari Permukaan Laut, Jumlah Curah Hujan (CH), Jumlah Hari Hujan (HH) dari masing-masing

Kecamatan di Kabupaten Pamekasan ………... 58

4. Produksi Tanaman Bahan Makanan di sawah dan Ladang…… 60

5. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Pasean.…….. 66

6. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Waru... 67

7. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Batumarmar... 68

8. Ketersediaan Bahan Pakan Ternak Asal Limbah Pertanian

(ton/tahun)………. 71

9. Daya tamping Pasar Hewan di Kabupaten Pamekasan ………

73

10. Jumlah Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH)

Kabupaten Pamekasan (Bulan Oktober 2010) ……… 74

11. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura di Kabupaten

Pamekasan ………... 78

12. Proporsi anggaran Bidang Peternakan Kabupaten Pamekasan

tahun 2010 ……… 88

13. Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dengan Faktor

Eksternal ……… 96

14. Analisis Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan

Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ………... 99

(10)

1. Keragaan Agribisnis Peternakan ……… 23

2. Kerangka Penelitian ……… 44

3 Keragaman Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten

Pamekasan ……… 69

4. Bagan Perdagangan sapi Potong ………... 72

(11)

2.

3

4.

Penyilangan sapi Madura di Pulau Madura...

Tanggapan Pemasukan Sapi ke Pulau Madura...

Data Responden Usaha Penggemukan Sapi Madura ………... 108

109

111

5. Data Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Madura...…………. 112

6. Data Biaya Variabel Usaha Penggemukan Sapi Madura ……….. 113

7. Data Biaya Tetap Usaha Penggemukan Sapi Madura ………….. 114

8. Analisa Usaha Persepsi Peternak Penggemukan Sapi Madura ... 115

9. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura ………. 116

10. Kesimpulan Analisis Factor Internal (KAFI) …………...………… 117

11. Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE) ..……….. 118

12. Analisis SWOT / Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dan Eksternal ……….

119

13. Analisa Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ………

120

(12)

Tesis ini diperuntukkan kepada :

Isteri dan anakku tersayang

(13)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali tertulis dikutip dalamnaskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

Surabaya, Desember 2010

Ahmad Yudi heryadi

(14)

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Pembimbing Pendamping : Ir. Sri Widayanti, MP.

Penelitian dilaksanakan atas dasar keprihatian peneliti, melihat keadaan bisnis penggemukan sapi, dimana revolusi bidang peternakan yang penggerak utamanya adalah peningkatan pada sisi permintaan komoditas peternakan. Di satu sisi pemenuhan permintaan ini, 94 % dipenuhi oleh peternakan rakyat, yang merupakan usaha skala rumah tangga, tetapi hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan (2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaan (3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi potong.

(15)

ekonomi dengan menggunakan analisis pendapatan peternak, sedangkan kelayakan teknis, manajerial dan kelembagaan dengan analisis deskriptif, dan untuk menganalisis tujuan ketiga ketiga yaitu keberpihakan pemerintah dengan analisis deskriptif sedangkan untuk menganalisis upaya pengembangan agribisnis peternakan termasuk usaha penggemukan sapi, menggunakan analisis SWOT.

Hasil penelitian diperoleh bahwa kinerja sistem agribisnis penggemukan sapi sudah cukup mendukung namun diperlukan dorongan dan fasilitas pemerintah untuk terwujudnya system kelembagaan agribisnis sapi potong melalui asosiasi-asosiasi peternak, industri pakan skala kecil dan menengah di pedesaan yang benar-benar berorientasi komersial dan mampu bersinergi antar subsistem agribisnis yang ada. Pada usaha penggemukan sapi di Kecamatan Pasean, dimana untuk skala usaha 2,84 ekor, dengan lama pemeliharaan 4,52 bulan, menghasilkan keuntungan Rp. 336.850,-, hal ini sangat jauh dari harapan pemenuhan kebutuhan rumah tangga peternak, dengan asumsi kebutuhan pokok keluarga sama dengan Upah Minimal Kabupaten (UMK) Pamekasan sebesar Rp. 900.000,- . Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Pamekasan layak untuk dikembangkan dari kelayakan teknis dan kelembagaan. Kelayakan manajerial di tingkat peternak belum terpenuhi karena pola beternak yang dipakai masih tradisional demikian juga dengan kelayakan ekonomi belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak tetapi hanya sebagai tambahan penghasilan keluarga. Keberpihakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, sebagai daerah otonom sudah cukup baik, hal ini terlihat dari program-program kerja dan anggaran yang disediakan. Namun dari proporsi anggaran yang dibuat belum banyak yang langsung dapat dirasakan oleh peternak.

(16)

Advisor: Prof.. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM counselor: Ir. Sri Widayanti,MP.

The experiment was conducted on the basis of concerns of researchers, see the state of the business of fattening cattle, farm fields where the revolution was mainly driven by increases in farm commodity demand side. On the one hand the fulfillment of this

request, 94% fulfilled by the farm folk, which is a household-scale effort, but results have not been able to meet the needs of farmer households.

(17)

agribusiness system has enough support but needed encouragement and government facilities for the realization of the institutional system of beef cattle agribusiness through associations of farmers, feed industry of small and medium scale rural real commercially-oriented and able to work together inter-subsystem existing agribusiness. In fattening cattle in the District Pasean, where for 2.84 scale tail, with long maintenance of 4.52 months, making a profit of Rp. 336 850, -, this is very far from fulfilling the needs of farmer households, assuming the same basic needs of families with District Minimum Wage (UMK) Pamekasan Rp. 900.000, -. Fattening beef cattle in the District Pamekasan feasible to develop the technical and institutional feasibility. Managerial feasibility at the farmer level has not been met because the pattern is still used traditional breeding as well as economic feasibility has not been able to meet the needs of farmer households but only as an additional family income. Pamekasan County Government partisanship, as an autonomous region is good enough, it can be seen from the work programs and budgets provided. However, the proportion of the budget are made not much can be felt directly by the breeder.

(18)
(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan sub sektor peternakan memiliki nilai strategis dalam

pemenuhan kebutuhan manusia yang terus mengalami peningkatan

seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan per

kapita serta taraf hidup masyarakat. Revolusi hijau di bidang pertanian,

dengan mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi

produksi, seperti penemuan varietas unggul berumur pendek, maka

penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi

permintaan. Semakin tinggi permintaaan produk ternak didorong oleh

pertumbuhan populasi penduduk, peningkatan pendapatan dan urbanisasi

(Delgado et al., 2001 dalam Soekardono, 2009).

Pembangunan peternakan Propinsi Jawa Timur selama ini pada

dasarnya memegang peranan penting dalam membangun sektor

pertanian, khususnya dalam upaya perluasan kesempatan kerja,

pemasukan devisa negara, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

petani peternak dan keluarga petani peternak serta peningkatan konsumsi

protein hewani dalam rangka peningkatan kecerdasan bangsa serta

(20)

seperti penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan

dan hubugan sinergis dengan subsektor dan sektor lainnya.

Sapi potong merupakan komoditas strategis dari sub sektor

peternakan yang perkembangannya sangat mendukung perkembangan

ekonomi masyarakat, dikarenakan sebagian besar dipelihara dan

dikembangkan sebagai usaha ternak rakyat yang diharapkan menjadi

pendapatan utama rakyat peternak dan dapat memberikan kontribusi

terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan

ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan.

Pengembangan komoditas sapi potong paling tidak sebagai upaya yang

diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dari sapi potong

lokal atau mengurangi secara betahap kebutuhan produk ternak melalui

import. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi besar

pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini dan

kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat (skala

usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto (2002)

yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri

dilakukan oleh peternakan rakyat.

Sapi Madura sebagai salah satu type sapi potong lokal Indonesia

mempunyai potensi sangat besar untuk dapat dikembangkan. Beberapa

keunggulan dimiliki breed (bangsa) sapi Madura, seperti daya tahan tinggi

(21)

kemampuan adaptasi tinggi terhadap kualitas pakan yang rendah,

persentase karkas yang tinggi yaitu 48,6 – 51.2%, memiliki daging

berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) dan tahan

terhadap parasit internal serta kebutuhan pakan yang lebih sedikit

dibandingkan dengan sapi impor (Siregar, 2006).

Dari data Dinas Peternakan Jatim pada 2009 diketahui, populasi

sapi Madura di empat kabupaten di Madura sebanyak 601.795 ekor yang

tersebar di empat kabupaten. Seperti di Bangkalan terdapat 142.567 ekor,

Sampang 123.438 ekor, Pamekasan 97.899 ekor, dan Sumenep 237.891

ekor. Sapi Madura berkembang secara murni di pulau Madura dan

dilindungi keberadaannya dari tahun ke tahun, mutasi keluar pulau terjadi

untuk memenuhi kebutuhan daging cukup besar mencapai 24%

kebutuhan supply dari Jawa Timur. Peranan sosiobudaya masyarakat

Madura terhadap keberadaan sapi Madura disamping pemanfaatan

sebagai tenaga kerja, kebutuhan ekonomi dan mampu mendukung

perbaikan mutu genetik ternak adalah aspek budaya pemeliharaan secara

khusus pada sapi yang terpilih untuk diperlombakan, pajangan dan

memberikan kebanggan tersendiri serta memiliki nilai ekonomis tinggi

(harga jual tinggi). Pemeliharaan sapi Madura sebagai sapi potong

merupakan usaha yang paling banyak dipelihara oleh peternak sehingga

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi

protein hewani sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan peternak

(22)

minimal akan sangat sulit mencapai kedua hal tersebut. Rahmanto (2004)

dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan dari

usaha penggemukan sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan

rumah tangga. Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap

potong, kontribusi usaha ini bisa mencapai 30 %.

Populasi sapi Madura di Kabupaten Pamekasan pada tahun 2009

tercatat 97.899 ekor dengan kepadatan 1,002 ekor/ha. Jumlah sapi betina

lebih banyak dari pada sapi jantan. Populasi tersebut mengalami

peningkatan rata-rata 1,3 % pertahun dibandingkan populasi 5 tahun

terakhir. Jumlah pemotongan di Rumah Potong Hewan pada tahun 2009

sebanyak 1.120 ekor (jantan 824 ekor dan betina 295 ekor), sedangkan

pengeluaran ternak dengan daerah tujuan Surabaya dan sekitarnya serta

Jakarta tercatat 18.270 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan,

2009).

Kepadatan ternak di Kabupaten Pamekasan termasuk kategori

yang sangat padat dengan areal yang sempit, sumber hijauan makanan

ternak (HMT) yang tumbuh di pinggir jalan, pematang, pinggir kali dan

sungai serta limbah pertanian dalam jumlah yang sedikit. Dengan kondisi

yang demikian pada umumnya mempunyai daya tamping 0,25 ekor/ha.

Kabupaten Pamekasan terdiri dari 13 kecamatan dimana pemetaan

dari segi pemeliharaan daerah sumber bibit dan usaha penggemukan

(23)

sudah hampir merata di semua kecamatan di wilayah utara Kabupaten

Pamekasan, yaitu Kecamatan Batumarmar, Kecamatan Pasean,

Kecamatan Waru serta di wilayah tengah yaitu Kecamatan Pakong,

Kecamatan Pegantenan dan Kecamatan Palengaan. (Dinas Peternakan

Kabupaten Pamekasan, 2009).

Mata pencarian penduduk Kabupaten Pamekasan umumnya

sebagai petani yang sebagian besar merangkap sebagai peternak.

Diperkirakan jumlah peternak di Kabupaten Pamekasan sekitar 65 ribu

kepala keluarga dengan kepemilikan 1,7 ekor/keluarga, sehingga jumlah

tersebut secara langsung juga merupakan sumber pendapatan yang akan

dinikmati oleh 260.000 penduduk. (Dinas Peternakan Kabupaten

Pamekasan, 2009).

Dalam upaya pengembangan sapi potong yang dapat memenuhi

standar minimal kebutuhan hidup keluarga peternak, khususnya di

Kabupaten Pamekasan diperlukan beberapa upaya pemberdayaan

peternak yang disesuaikan dengan moto, visi dan misi pembangunan

subsektor peternakan sebagai acuan operasional yaitu, Motto:

”Membangun peternakan modern, maju, mandiri dan berkesinambungan”.

Intinya adalah membangun dan mengelola usaha peternakan yang

berwawasan agribisnis. Visi: ”Terwujudnya masyarakat yang sehat dan

produktif serta kreatif melalui pembangunan peternkan tangguh berbasis

sumberdaya lokal”. Misi: ”Menyediakan pangan asal ternak yang cukup,

(24)

manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing

tinggi ; Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan

peternak ; menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan ;

Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung

peternakan. Mengacu pada moto, visi dan misi tersebut maka

pembangunan subsektor peternakan mengalami perubahan paradigma,

yang tadinya hanya terarah pada pembangunan peternakan dalam arti

sempit yaitu pada ”budidaya peternakan” dan pencapaiaan sasaran hanya

sebatas pada peningkatan produksi semata, maka saat ini berubah

kepada pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis.

Pembangunan peternakan dengan pendekatan sistem agribisnis

memperhatikan sinergi, integrasi dan konsistensi dari semua subsitem

agribisnis peternakan. Djarsanto (1992) mengatakan bahwa terdapat 4

(empat) aspek yang perlu diperhatikan di dalam cara pandang agribisnis

peternakan, yaitu: (1) peternak sebagai subyek harus ditingkatkan

pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai obyek harus

ditingkatkan produksi dan produktifitasnya, (3) lahan sebagai basis

ekologi budidaya harus dilestarikan, dan (4) teknologi dan pengetahuan

sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi harus selalu dikembangkan dan

(25)

1.2. Perumusan Masalah

Dari urain diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah existing condition (kondisi terkini) dari keragaan

agribisnis sapi di Kabupaten Pamekasan?

2. Bagaimanakah kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala

usaha rumah tangga ?

3. Dengan bergesernya fungsi dan peran pemerintah yaitu adanya

Otonomi Daerah, bagaimanakah political will (keberpihakan)

pemerintah dalam bidang peternakan khususnya kebijakan daerah

otonom, Peraturan Daerah, proporsi anggaran, program kegiatan

peternakan serta manfaat bagi masyarakat di Kabupaten

Pamekasan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan

agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan

2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala

rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan

(26)

3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya

Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong

dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam

rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi

potong.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1.4.1. Manfaat Teoritis .

1. Sebagai sumbangan informasi tentang existing condition (keadaan

saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di

Kabupaten Pamekasan

2. Sebagai sumbangan pengetahuan tentang kelayakan usaha

penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek

ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaaan

3. Sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dan para

pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pamekasan

untuk menyusun program pemberdayaan peternak yang sesuai

(27)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 . Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang diajukan sebagai bahan

acuan sebagai berikut : Menurut Fatah (2009) Usaha peternakan sapi

potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha

sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara

besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan

keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diidentifikasi alternatif pola pola

pengembangan peternakan rakyat yang mempunyai skala usaha yang

ekonomis yang mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan

keluarga yang cukup memadai. Dalam perspektif kedepan, usaha

peternakan rakyat harus mengarah pada pengembangan agribisnis

peternakan, sehingga tidak hanya sebagai usaha sampingan, namun

sudah mengarah pada usaha pokok dalam perekonomian keluarga.

Dengan kata lain, usaha ternak rakyat diharapkan menjadi pendapatan

utama rakyat peternak (paling tidak) dan dapat memberikan kontribusi

terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan

ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan

(28)

usaha ternak rakyat. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi

besar pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini

dan kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat

(skala usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto

(2002) yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri

dilakukan oleh peternakan rakyat. Sektor pertanian secara nasional, masih

merupakan faktor yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, karena mayoritas penduduk masih memperoleh pendapatan

utamanya di sektor ini. Peternakan merupakan salah satu sub-sektor yang

terkandung didalamnya, memiliki peranan cukup penting dalam

memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara.

Lebih lanjut Santoso (2008), menyatakan bahwa banyak sistem

yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah

satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga

yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Saat ini di propinsi

Sumetera Barat, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong

berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga

memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi

potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang

sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan

kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus

mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala

(29)

maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan

kandang biasanya berbentuk tunggal. Sistem budi daya ternak sapi

berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar

sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu

mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.

Menurut Daslina (2006). Dari karekteristik usaha dapat dikaji

rata-rata kepemilikan sapi potong sebanyak 2 - 5 ekor pada skala I (kecil), 6 -

10 ekor pada pemeliharaan skala II (sedang) dan Lebih 10 ekor pada

skala III (besar). Variasi jumlah kepemilikan sapi potong secara

keseluruhan berkisar antara satu ekor sampai 25 ekor. Tujuan

pemeliharaan yang dilakukan peternak terkait dengan cara memelihara

dan komposisi ternak yang dimiliki. Jumlah ternak jantan muda yang

dimiliki merupakan indikasi usaha pemeliharaan dengan tujuan

penggemukan (fattening) dan jumlah induk betina sebagai indikasi usaha

pemeliharaan sapi potong bibit dengan tujuan budidaya (breeding).

Menurut Suhadji (1990), di Indonesia terdapat 4 (empat) tipologi

usaha peternakan, Yaitu:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan merupakan

pendukung pertanian dan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri

dan pendapatan dari ternak tidak dominan yaitu kurang dari 30 % dari

(30)

2. Peternakan sebagai cabang usaha di mana peternakan merupakan

usaha campuran (mix farming) dan pendapatan dari ternak belum

merupakan pendapatan utama dan sudah menjurus kepada usaha

semi komersial dengan total pendapatan 30% - 70% dari total

pendapatan usahataninya.

3. Peternakan sebagai usaha pokok di mana usaha peternakan sudah

merupakan usaha pokok keluarga petani dan komoditinya tunggal

serta sudah bersifat komersial. Pada tipe ini pendapatan dari

peternakan sudah dominan (pendapatan utama keluarga)

4. Peternakan sebagai usaha industri di mana peternakan sudah

merupakan bentuk usaha komersil dan komoditasnya sudah

terspesialisasi serta mempunyai tujuan ekonomi tertentu serta

pasarnya sudah jelas.

Majalah Poultry Indonesia tahun 1992 melaporkan bahwa dewasa

ini telah dikembangkan usaha peternakan inti rakyat (PIR) di daerah

Lampung yang memperoleh kredit dari bank untuk membeli beberapa ekor

sapi (biasanya 3 ekor), dan dalam satu kali periode (6 bulan) petani dapat

memperoleh penghasilan tambahan yang signifikan untuk pendapatan

keluarganya. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Ilham (2001)

menunjukkan bahwa peternak di Sumbawa, NTB yang menggunakan pola

landbase yaitu peternakan yang dilakukan di padang penggembalaan

(31)

mengusahakan ternak dengan lebih dari 5 ekor ( 51,6 %), sedang kan

peternak di Jawa Timur yang menggunakan pola non landbase

mengusahakan ternak dengan skala kepemilikan dibawah 5 ekor, bahkan

lebih dari 50% memelihara ternak dibawah 3 (tiga) ekor.

Hasil penelitian Yusdja, dkk. (2001), di NTB, Jawa Timur dan

Sumatera Utara menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi merugi

jika seluruh biaya usahatani diperhitungkan dalam analisis, kecuali di

Jawa Timur untuk skala usaha 6 ekor. B/C ratio di NTB hanya mencapai

0,76 untuk skala pemeliharaan 2 ekor dan 0,91 untuk skala pemeliharaan

4 ekor. Di Jawa Timur mencapai 0,95 untuk skala pemeliharaan 3 ekor

dan 1,06 untuk skala pemeliharaan 6 ekor, sedangkan di Sumatera Utara

mencapai 0,68 untuk skala pemeliharaan 1 ekor dan 0,86 untuk skala

pemeliharaan 2 ekor. Keuntungan usahatani dapat dicapai jika hanya

didasarkan pada biaya tunai saja.

Kusnadi, dkk (1992), Usaha penggemukan sapi Madura masih

menguntungkan walaupun tidak setinggi sapi Bali dan Sapi Ongole

dengan keuntungan bersih perbulan di daerah Transmigrasi Lahan Kering

Batumarta masing-masing sapi Madura Rp. 92.717,-, sapi Bali Rp.

93.924,-dan sapi Ongole Rp. 143.365,- , sedangkan menurut Winingsih

(2003). Pendapatan peternak dengan sistem semi gaduhan lebih tinggi

yaitu Rp. 152.232,- /ekor/bulan sedangkan dengan sistem gaduhan Rp.

(32)

sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan rumah tangga.

Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap potong, kontribusi

usaha ini bisa mencapai 30 %.

Sapi potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (94%)

dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf

operation) dalam usaha kecil dan terintegrasi dengan kegiatan lain,

sehingga fungsi sapi potong sangat komplek dalam menunjang kehidupan

peternak (Gunawan, 2003).

2.2 Telaah Pustaka

2.2.1. Pengertian Bisnis Sapi Potong

Pengertian Bisnis sapi Potong dapat diketahuai dari pendekatan

dengan menelusuri asal kata agribisnis itu sendiri. Soekartawi (1993)

mengemukakan bahwa agribisnis berasal dari kata agri dan bisnis. Agri berasal darai bahasa Inggris, agricultural (pertanian). Bisnis berarti usaha

komersial dalam dunia perdagangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2007).

Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan

"hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis

bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan

(33)

pangan. Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi

memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan

bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran

Pada mulanya agribisnis didefinisikan secara sempit, hanya

menyangkut subsektor masukan (input) dan subsektor produksi (on-farm),

namun Downey dan Erickson, (1989) mendefinisikan agribisnis secara

luas, tidak hanya subsektor masukan dan produksi, akan tetapi juga

menyangkut subsektor pasca produksi, yaitu pemrosesan, penyebaran

dan, penjualan baik secara borongan maupun penjualan eceran produk

kepada konsumen akhir.

Lebih lanjut definisi agribisnis yang dikemukakan Davis & Golberg

(1957) dalam Soehardjo (1997), memberikan suatu konsep dan wawasan

yang sangat dalam tentang pertanian modern menghadapi millennium

ketiga. Agribisnis merupakan suatu sistem, bila akan dikembangkan harus

terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada didalamnya.

Menurut Wibowo, (1994), pengertian agribisnis mengacu kepada

semua aktifitas mulai dari pengadaan, prosesing, penyaluran sampai

pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani atau agroindustri

yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian agribisnis dapat

dipandang sebagai suatu system pertanian yang memiliki beberapa

komponen sub sistem pertanian yang memiliki bahan baku, subsistem

(34)

Dilain pihak, menurut Soehardjo (1997), persyaratan-persyaratan

untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut : memandang

agribisnis sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem. Sistem

tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu

subsistem, setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai

keterkaitan kebelakang dan kedepan. Agribisnis memerlukan lembaga

penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/keuangan,

pendidikan, penelitian dan perhubungan. Agribisnis pelaku dari berbagai

pihak baik BUMN, Swasta maupun koperasi dengan profesi sebagai

penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir,

eksportir dan lain-lain.

Menurut Saragih (1998), agribisnis merupakan suatu sektor

ekonomi modern dan besar dari pertanian primer, yang mencakup paling

sedikit empat subsistem, yaitu: (1) sussistem agribisnis hulu (up-stream

agribusiness), seperti kegiatan ekonomi yang menghasilkan (agroindustri

hulu) dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (industri

pupuk, obat-obatan, benih/bibit, alat dan mesin pertanian dan lain-lain); (2)

subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) yang dimasa lalu disebut

sector pertanian primer; (3) subsitem agribisnis hilir (down-stream

agribusiness) , yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian

primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap untuk dimasak atau

siap untuk disaji (ready to cook/ready to used) atau siap untuk dimakan

(35)

internasional; dan (4) subsistem jasa layanan pendukung seperti

perkreditan, asuransi, transportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan

pemerintah, dan lain-lain.

Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, di Indonesia

terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan

rakyat. Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan

secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka

waktu tertentu untuk tujuan komerial yang meliputi kegiatan menghasilkan

ternak (ternak bibit/ternak potong), telur dan susu serta usaha

penggemukan termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan

memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari jumlah yang

ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat. Peternakan

rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha

sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak

diternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian, dengan batasan sebagai

berikut:

- Sapi perah sekurang-kurangnya 1 ekor

- Sapi sekurang-kurangnya 2 ekor

- Kerbau sekurang-kurangnya 2 ekor

- Kuda sekurang-kurangnya 2 ekor

- Kambing/domba sekurang-kurangnya 6 ekor

(36)

- Ayam ras petelur/pedaging sekurang-kurangnya 12 ekor

Perusahaan peternakan dan peternakan rakyat tersebut secara sungkat

dibedakan menurut beberapa aspek sebagai berikut (tabel 1)

Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan Rakyat

Aspek Perusahaan Peternakan Peternakan Rakyat

1. Sifat Pokok Sambilan

2. Tujuan Menghasilkan pendapatan

pokok dan memaksimumkan

keuntungan (komersial)

Menambah

pendapatan rumah

tangga

3. Skala Besar Kecil

4. Kedudukan Badan hukum Individual

5. pengelolaan Intensif Tradisional

2.2.2 Pembangunan Masyarakat

Pembangunan masyarakat miskin cenderung lambat terutama

disebabkan rendahnya modal sosial yang dimilikinya. Modal sosial adalah

norma, kepercayaan, jaringan yang memfasilitasi dalam tindakan kolektif

untuk hubungan yang saling menguntungkan. Jika sekilas dibuat

gambaran tentang mentalitas miskin, umumnya cenderung gemar

menempuh jalan pintas, yang benar adalah kami, asing dengan

(37)

mencapai prestasi yang lebih baik. Secara umum dasar-dasar

kebudayaan Melayu (Indonesia) adalah tidak memiliki tradisi inovatif, lekas

puas dengan tercapainya kebutuhan sederhana, cenderung boros dan

senang bergantung (tetapi kemudian berkhianat) kepada mereka yang

diasumsikan sebagai yang lebih kuat (Witrianto, 2008).

Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial memiliki

pengaruh yang sangat menentukan. Di suatu komunitas yang memiliki

modal sosial rendah, kualitas pembangunan manusianya akan jauh

tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan manusia yang sangat

dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan

berbagai masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di

tengah masyarakat, memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan

yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki

nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti

meningkatkan kesejahteraan, perkembangan anak dan banyak

keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki modal

sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan

berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya.

Bahkan sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai

efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan

untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi

mencari solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat

(38)

kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program

tersebut dilakukan. Kondisi ini yangmendorong masyarakat bersikap tidak

peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan

program tersebut. Beberapa contoh program pemberdayaan yang

digulirkan pemerintah yang belum menunjukkan manfaat yang signifikan

secara berkelanjutan bagi masyarakat dan bahkan hanya menciptakan

ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah adalah Gerakan

Rehabilitasi Lahan (Gerhan), Raskin, Gaskin, dana bergulir, BLT dan

sebagainya (Suharto dan Yuliani, 2005).

2.2.3 Pembangunan Peternakan

Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di

Indonesia telah mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjend

Bina Produksi Peternakan, 2002). Ketergantungan impor daging dan sapi

potong, antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi

kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal yang

disebabkan oleh meningkatnya permintaan daging. Pemenuhan

permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi

lokal, maka dapat berakibat terjadi pengurasan populasi sapi lokal, karena

terjadi pemotongan terhadap sapi muda yang ukurannya masih kecil dan

terhadap sapi betina produktif. Kondisi ini sangat berbahaya jika kita

mengacu pada keinginan pemerintah untuk berswasembada daging pada

(39)

besar (94%) dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat

(cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi dengan

kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam

menunjang kehidupan peternak (Gunawan, 2003).

Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan

faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi

oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem

produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat

faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka

akan mempengaruhi sub sistem lain. Oleh karena itu dalam penerapan

teknologi harus ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam,

sumberdaya manusia dan kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini

tidak saja menyangkut kelembagaan usahatani, melainkan juga peranan

kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian

yang dapat mendukung pembangunan dan usaha agribisnis.

Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara

sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani

menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana

program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu

dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari

program-program tersebut. Pentingnya lembaga-lembaga di pedesaan dalam

pembangunan pertanian karena; 1) banyak masalah-masalah pertanian

(40)

memberi pada usaha-usaha pertanian karena sangat terkait dengan

penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam jangka panjang, dalam

pembangunan pertanian, kemampuan masyarakat petani untuk

bekerjasama sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis;

dan 3) Pada suatu waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia

luar, sehingga perlu mereka terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa

dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari

masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri. Ciri-ciri peternakan

rakyat yakni skala usaha realtif kecil, merupakan skala rumah tangga,

merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi yang sederhana

dan bersifat padat karya serta berbasis organisasi kekeluargaan. Usaha

peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka

terhadap perubahan. Alternatif pengembangan adalah dengan melakukan

reformasi modal, penciptaan pasar, sistim kelembagaan dan input

teknologi. Tujuannya adalah untuk merubah usaha rakyat menjadi usaha

yang maju (Ilham,2004).

Lebih lanjut Ilham (2004) memaparkan Selama ini jika diamati,

pengertian membangun peternakan identik dengan tugas pokok dan

fungsi dari Departemen Pertanian cq Ditjen Peternakan di tingkat

pemerintah pusat atau Dinas Peternakan di tingkat provinsi, yaitu

subsektor yang bergerak dalam bidang produksi dengan pendekatan

sistem agrobisnis. Namun, realitasnya keberpihakan kebijakan

(41)

dan bukan produksi. Sering kali pemerintah cukup "panik" manakala harga

produk peternakan membumbung naik. Padahal, seharusnya pemerintah

cukup bertindak bijak, yaitu bahwa peningkatan harga akan menyebabkan

peningkatan produksi dan penyerapan tenaga kerja sehingga akan

mampu meningkatkan daya beli dan pola konsumsi masyarakat

pedesaan.

Dalam agribisnis peternakan, subsistem yang terlibat saling terkait

dan saling menentukan (keragaan) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Keragaan Agribisnis Peternakan

PEM ASARAN -Inform asi pasar -Int elejen pasar

- Kebijakan pasar

BUDIDAYA

SUBSISTEM PENUNJANG -Penelit ian dan Pengem bangan -Penyuluhan

-Keuangan/ Perkredit an -Kesehat an Hew an -Transport asi dll. AGRIBISNIS HULU

- Usaha bibit - Indust ri pakan - Indust ri farm asi - Indust ri alsinnak

AGRIBISNIS HILIR -Pem ot ongan hew an -Indust ri pengolahan

(42)

2.2.4 Kelembagaan

Syahyuti (2008) mengatakan ada dua pintu masuk untuk sampai

kepada kajian kelembagaan, yaitu melalui “studi kebudayaan” khususnya

tentang aspek nilai dan norma, serta cabang ilmu “sosiologi kelompok”.

Kedua bidang kajian ini ditekuni oleh para ahli dengan kacamata yang

berbeda menghasilkan beberapa batasan tentang apa itu kelembagaan.

Pemahaman tentang kebudayaan menyumbangkan sisi dinamis dari

kelembagaan (disebut dengan aspek kelembagaan), sedangkan sosiologi

kelompok menyumbangkan aspek statis dari kelembagaan (aspek

keorganisasian). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga

yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya

yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan

interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Bulu,

Sasongko WR dan Puspadi ( 2008), lembaga adalah pola aktivitas yang

terbentuk untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Asal

mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh,

kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya

terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi

mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah

mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan

kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota

(43)

Definisi kelembagaan yang berasal dari studi kebudayaan yaitu:

“kelembagaan adalah himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam

hubungan antar manusia”. Norma merupakan unsur pokok dalam

kebudayaan. Satu temuan penting dalam konteks ini adalah

konsep“cultural determinism”, dimana segala sesuatu yang terdapat di

dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimilikinya. Sistem

norma merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, atau merupakan

unsur pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Norma terbentuk lambat

laun yang akan dijaga jika dirasakan berguna. Norma memiliki kekuatan

mengikat yang berbeda, dan juga sanksi sosial yang berbeda jika

dilanggar. Dikenal empat tingkatan dalam norma, yaitu cara (usage),

kebiasaan (foklways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom).

Norma diturunkan dari tata nilai yang menjadi inti pokok kebudayaan.

Seluruh perilaku manusia berpedoman kepada norma yang hidup dan

diakui tersebut (Bulu dkk., 2008).

Pintu masuk kedua adalah sosiologi kelompok. Bidang kajian ini

mempelajari kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat

berupa keluarga, masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa dan lain-lain.

Kelembagaan berasal dari kata lembaga yang mempunyai arti bakal dari

sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu atau badan/organisasi

yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan. Difinisi

kelembagaan menjadi berkembang tergantung pada tujuan dan aspek

(44)

diartikan sebagai kesepakatan perencanaan mengumpulkan sumber

daya produktif guna mengejar satu atau beberapa tujuan (Djogo dkk.

2003).

Pendifinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi.

Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk

kepada upaya mendesaian pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga

mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan

dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan

efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuasaan ekonomi, politik, sosial

antar pelakunya. Sehingga, secara umum kelembagaan didifinisikan

sekumpulan aturan formal (hukum, kontrak, perjanjian, organisasi dan

sebagainya) dan aturan informal (norma, tradisi, kebiasaan, sistim nilai,

agama dan kecenderungan sosiologi dan lainnya) yang memfasilitasi

koordinasi atau mengelola (governance) hubungan antara individu atau

kelompok. Oleh karena, pada dasarnya lembaga menyediakan lebih

banyak kepastian dalam interaksi manusia dan juga mempengaruhi

perilaku seseorang (Yustika, 2006).

“Kelembagaan” merupakan satu konsep yang tergolong

membingungkan, dan dapat dikatakan belum memperoleh pengertian

yang mantap dalam ilmu sosiologi. Meskipun belum sepakat, namun dapat

diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat organ-organ dalam

tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan”

(45)

(constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu

pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia

merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk

tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial

tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan

berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Tiap kelembagaan

memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya

memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah

disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan adalah kelompok-kelompok

sosial yang menjalankan masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk

satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan,

kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi,

dunia berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk

dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak

kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat

ibadah, dan lain-lain (Syahyuti. 2008).

Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan

sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan menurut Djogo,Tony,

Suharjito, Didik, Martua dan Sirait (2003) adalah suatu tatanan dan pola

hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling

mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau

antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan

(46)

etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta

insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Kelembagaan

dibentuk dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Semakin

berkembang suatu masyarakat, maka semakin banyak kelembagaan yang

dimilikinya. Lebih lanjut Djogo dkk (2003) menggolongkan bahwa

jenis-jenis kelembagaan berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu:

sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi

kemasyarakatan, system pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata

pencaharian hidup, serta system teknologi dan peralatan. Berbagai jenis

kelembagaan dikelompokkannya ke dalam delapan kebutuhan hidup

manusia, yaitu:

1. Kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi hidup

kekerabatan (domestic institutions) berupa kelembagaan

pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan anak-anak,

perceraian dan sebagainya.

2. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan pencaharian hidup

(economic institution) berupa pertanian, peternakan,

pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi, penjualan,

dsb.

3. Kelembagaan untuk pendidikan (educational institutions) berupa

pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan

(47)

4. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia

(scientific institutions) berupa metoda ilmiah, penelitian,

pendidikan ilmiah, dsb.

5. Kelembagaan untuk menyatakan rasa keindahan (aesthetic and

recreational institutions) misalnya seni rupa, seni suara, seni

gerak, kesusasteraan, olahraga, dsb.

6. Kelembagaan untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib

(religious institutions) berupa gereja, doa, kenduri, upacara,

pantangan, ilmu gaib,dsb.

7. Kelembagaan untuk kehidupan berkelompok atau bernegara

(political isntitutions) yaitu sistem pemerintahan, demokrasi,

kehakiman, kepartaian,kepolisian, dll.

8. Kelembagaan untuk mengurus kebutuhan jasmaniah manusia

(somatic isntitutions) misalnya salon, kedokteran, dll.

Kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi

ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan yang disebabkan

karena perubahan nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan

perubahan masa. Ada dua dimensi penyebab terjadinya perubahan

kelembagaan, yaitu perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi dan

sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi.

Dengan pemahaman diatas, perubahan kelembagaan dapat dianggap

sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas

(48)

mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi aspek-aspek

kehidupan sosial, hukum, ekonomi dan politik serta lainnya. Maksudnya,

jika norma interaksi sosial berubah, seluruh pola hubungan sosial dan

jaringan sosial yang sudah dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat

berubah pula.

Lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari

perubahan kelembagaan menurut North dalam Yustika (2006) adalah :

1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus

menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan dan kemudian

diperkuat oleh kompetisi merupakan kunci terjadinya perubahan

kelembagaan.

2. Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan ketrampilan

dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya

akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan

kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.

3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis ketrampilan dan

pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum.

4. Persepsi berasal dari kontruksi bangunan mental para

pemain/pelaku

5. Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan

matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang

(49)

Ada empat hal yang menyebabkan individu atau kelompok

berusaha mengubah kesepakatan kelembagaan, yaitu :

1. Perubahan harga relatif dalam jangka panjang mendorong

peningkatan aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas

ekonomi baru.

2. Kesempatan teknologi baru dapat menciptakan pendapatan

yang potensial, yang hanya dapat ditangkap jika kelembagaan

ekonomi yang sedang berjalan dapat diubah.

3. Kesempatan dalam mencari alternatif usaha dapat memicu

kelompok kepentingan untuk melakukan perubahan

kelembagaan guna menyesuaikan sewa dan retribusi

pendapatan sesuai keinginannya.

4. Perubahan dalam sikap kolektif, seperti proteksi lingkungan sapi

Madura, pendapatan minimum regional, perubahan cukai rokok

dan sebagainya.

Koneksi antara lembaga dan perubahan ekonomi menjadi sangat

jelas, karena lembaga mempengaruhi penciptaan, penyimpanan,

pendistribusian, penggunaan dan penghancuran ilmu sejak mereka

membentuk visi, interaksi, keputusan dan rutinitas agen-agen ekonomi

pada semua level dengan dan di luar organisasi dan pasar, membentuk

proses teknis dan perubahan organisasi. North (1987) dalam Kutsiyah

(2008) menegaskan bahwa lembaga yang efisien merupakan penyebab

(50)

informasi, mengurangi ketidak pastian, memanajemen konflik, konkurensi,

menciptakan insentif dan kepercayaan.

Pertumbuhan ekonomi tidak harus bertumpu pada investasi. Tetapi

kemajuan teknologi dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi. Ekonomi

kelembagaan (institutional economic) merupakan pengontrolan tindakan

kolektif, pembebasan dan perkembangan tindakan manusia (collective

action controlling, liberating and expanding human relation). Ekonomi

kelembagaan lebih menekankan pada system ekonomi disusun

(structured) dan perubahan struktur akibat responsive tindakan kolektif

(Bromley (1993) dalam Kutsiyah (2008). Sehingga lembaga ekonomi

mampu mengatasi peningkatan kompleksitas pertukaran, menawarkan

lebih banyak kreasi, distribusi dan adaptasi ide baru.

Ada dua jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu :

a. Meningkatkan jumlah sumber daya (input) dalam proses produksi,

dengan sendirinya akan meningkatkan out put atau dikenal dengan

pertumbuhan ekstensif.

b. Proses peningkatan poduktifitas sumber daya. Produktifitas yang

tinggi dihasilkan dari perbaikan teknologi atau disebut dengan

pertumbuhan intensif. Perekonomian dapat bergerak melewati batas

kurva pada kuantitas input yang tetap hanya dengan jalan peningkatan

teknologi yang dapat dilaksanakan dengan cara :

(51)

2. Mengupayakan agar pasar modal berfungsi dengan baik.

3. Menciptakan lingkungan yang kompetitif sehingga dapat menekan

korporasi secara terus menerus dalam memperbaiki

produk-produknya atau sanggup mengambil resiko.

Bulu, Sasongko WR dan Puspadi (2008) menguraikan bahwa

kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan

penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pendekatan

pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui

cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian

terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal.

Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh

suatu lembaga. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi

merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang

dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak

sebagai satu kesatuan sistem dalam pembangunan pertanian. Dalam

penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem

sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan.

2.2.5 Deskripsi Sapi Potong

Dari sejarahnya, semua bangsa sapi yang dikenal didunia berasal

dari Homacodontidae yang di jumpai pada zaman Pliocene di India, Asia (

Murtidjo, 1994). Banyak ahli yang memperkirakan bahwa breed (bangsa)

sapi berasal dari Asia tengah, kemudian menyebar ke Eropa, keseluruh

(52)

yang saat ini merupaka gudang sapi potong dan sapi perah jenis unggul

tidak terdapat keturunan asli, melainkan hanya mendapatkan dari Eropa (

Sugeng, 2002). Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang

memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik

tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih

dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke

generasi berikutnya. Menurut Romans et al., (1994) dan Blakely dan

Bade, (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai

berikut : Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Sub class : Theria

Infra class : Eutheria

Ordo : Artiodactyla

Sub ordo : Ruminantia

Infra ordo : Pecora

Famili : Bovidae

Genus : Bos (cattle)

(53)

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi zebu)

Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Dari species sapi diatas, terbagi menjadi 2 (dua) type sapi, yaitu

sapi perah dan sapi pedaging yang diusahakan untuk sapi potong. Sapi

pedaging adalah sapi-sapi yang sengaja dipelihara untuk tujuan

menghasilkan daging yang berkualitas baik, dengan ciri-ciri bentuk tubuh

dalam dan besar, bentuk segi empat atau balok, laju pertumbuhan cepat,

efisiensi pakan tinggi, cepat mencapai dewasa, dan badan berisi daging.

Anggorodi (1979) : Penambahan berat akibat penimbunan lemak atau

penimbunan air bukan pertumbuhan murni. Ditinjau dari segi kimiawi :

pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat

mineral yang tertimbun di dalam tubuh

2.2. 6 Usaha Penggemukan sapi

Penggemukan sapi dapat dilakukan secara perseorangan maupun

secara perusahaan dalam skala usaha besar. Namun, ada pula yang

mengusahakan penggemukan sapi secara kelompok dalam kandang yang

berkelompok pula. Usaha penggemukan sapi merupakan pengembangan

dari agribisnis peternakan, karena berawal dari pemikiran para peternak

ketika menjual sapi-sapi yang sudah relatif tua dan sudah tidak efektif lagi

bila digunakan sebagai bibit, pejantan, tenaga kerja,dan sapi perah. .

(54)

diharapkan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik dan kalau

dijual tentu harganya relatif murah. Para peternak sapi umumnya menjual

sapi-sapinya kepada pedagang-pedagang ternak yang didasarkan pada

kondisi dan bobot badan. Atas dasar itulah maka peternak untuk

mengupayakan harga penjualan sapi yang lebih mahal dengan

menggemukkannya terlebih dahulu selama beberapa bulan sebelum dijual

ke pasar atau kepada pedagang ternak. Penggemukan ini ternyata

mendatangkan nilai tambah bagi para peternak karena harga penjualan

sapi yang lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan sapi tanpa

melalui proses penggemukan terlebih dahulu.

Usaha penggemukan sapi mendatangkan keuntungan ganda

berupa keuntungan dari pertambahan bobot badan dan kotoran sapi

berupa pupuk kandang. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari

penjualan sapi yang digemukkan tergantung pada pertambahan bobot

badan yang telah dicapai dalam proses penggemukan, lama

penggemukan dan harga daging.

2.2.7 Karakteristik Sapi Madura

Morfologi

Sapi Madura merupakan salah satu sapi potong lokal (indigenus)

yang berkembang di Indonesia, dan termasuk sapi potong type kecil. Sapi

Madura dalam perjalanan perkembangannya merupakan hasil pembauran

(55)

dengan Zebu (Bos indicus). Keunggulan itu antara lain, memiliki

kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stress pada lingkungan

tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang kurang baik, tumbuh dan

berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi serangan caplak

dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap

parasit tertentu. Hingga kini beberapa sumber menyebutkan bahwa sapi

madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif

dan inbreeding (Soehadji,1993).

Upaya untuk memperbaiki pertumbuhan sapi Madura menurut

Wijono dan Setiadi (2007), telah dilakukan persilangan dengan pejantan

unggul termasuk bangsa Bos taurus antara lain Red Denis, Santa

Gestrudis dan pejantan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman

yang kesemuanya memiliki warna merah kecoklatan. Komunitas yang

dihasilkan melalui isolasi dan seleksi alamiah yang ketat menghasilkan

sapi yang relatif memberikan keseragaman genotipe yang mantap dan

berkembang sebagai sapi Madura sekarang ini. Bahkan sapi potong

Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan unggul dalam upaya

meningkatkan produktivitas sapi Madura (Soehadji, 1993 dan

Soerjoatmodjo, 2002). Strategi pemasukan genotipe baru tidak jelas

kelanjutannya dan merupakan tindakan langkah-langkah jangka pendek

atau produksi sesaat, tidak mempunyai arah, sasaran dan target yang

jelas yang ingin dicapai maupun permasalahan yang akan timbul dari

(56)

Komformasi sapi Madura pada bagian kepala bertanduk yang

mengarah dorsolateral, berdasar tanduk besar dan pada sapi jantan

memiliki gumba (punuk) sedangkan yang betina tidak tampak adanya

punuk (kecil). Warna bulu merah bata–merah coklat, warna sapi jantan

dan betina sama sejak lahir sampai dewasa; garis punggung (linea

spinosum) kehitaman-coklat tua masih ditemukan, warna keputih-putihan

pada daerah bawah kaki (metacarpus–phalanx) dan twist/sekitar pantat

(Anonimus, 2001).

Populasi sapi Madura di pulau Madura dari tahun ketahun relatif

statis dengan kisaran 600.000–700.000 ekor dan populasi tertinggi terjadi

pada tahun 1932 sebanyak 735.922 ekor. Populasi sapi Madura di

Indonesia hingga tahun 1991 dilaporkan sebanyak 1.279.000 ekor atau

sekitar 12% dari populasi sapi potong di Indonesia, sebanyak 691.092

ekor (54%) terdapat di Pulau Madura dengan tingkat pertumbuhan

mencapai 1,7% pertahun (Soehadji, 1992). Penyebarannya hampir di

seluruh Nusantara, ditemukan mencapai sekitar 18 propinsi yaitu di

Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan NTB. Pengembangannya di luar

pulau Madura, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan

walaupun wilayahnya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama.

(57)

Produktivitas Sapi Madura

Sapi Madura adalah salah satu bangsa sapi asli Indonesia, banyak

didapatkan di Pulau Madura. Salah satu kelebihan sapi Madura adalah

tahan terhadap kondisi-pakan yang berkualitas rendah dapat tumbuh dan

berkembang dengan baik; serta tahan terhadap infestasi caplak.. Namun

ada kecenderungan bahwa mutu sapi Madura menurun produktivitasnya

atau terjadi pergeseran nilai (produktivitas) dari waktu ke waktu, yang

sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan jelas ( Soehadji,

2001). Sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar

300 kg dan pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan

dengan pakan yang baik mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg,

ditemukan pada sapi Madura yang menang kontes (Soehadji, 2001).

Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak

sapi Madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina

pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok dan lomba sapi jantan yang

dikenal sebagai Kerapan. Sapi yang dilombakan merupakan sapi pilihan

yang memiliki tampilan performans yang sangat baik. Selain itu peranan

pemeliharaan sapi Madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu

sebagai sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi.

Pola pemeliharaan sapi Madura jantan dari hasil pengamatan Wahyono

dan Yusran (1992) sebanyak 94% dimanfaatkan sebagai tabungan yang

diharapkan mampu mendukung kebutuhan ekonomi dan nilai jual cepat

(58)

2.2.8 Kebutuhan Pokok Keluarga Peternak

Dinsosnakertrans (Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

Kabupaten Pamekasan melaporkan bahwa penetapan UMK Pamekasan

telah sesuai prosedur dan tertinggi se Madura. Penetapan itu didasarkan

pada perhitungan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat Pamekasan

yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans, para pengusaha dan serikat

pekerja yang ada di kabupaten Pamekasan, yaitu sebesar Rp.900 ribu

yang merupakan KHR (Kebutuhan Hidup Rakyat). KHR inilah yang

kemudian diusulkan kepada Gubernur Jawa Timur dan Dewan

Pengupahan Jawa Timur untuk disyahkan menjadi UMK.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kominfo Jatim, UMK Jatim

2010 yang telah disetujui oleh Dewan Pengupahan Jatim dan diteken

(59)
(60)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan pada bab 2,

penelitian ini mempunyai kerangka penelitian sebagai berikut: Kondisi

pengembangan sapi potong saat ini , khususnya usaha penggemukan

sapi potong didorong oleh permintaan daging yang terus-menerus

meningkat dari tahun ke tahun dan timbulnya keinginan sebagian

peternak sapi untuk menjual ternaknya dengan harga yang lebih pantas.

Perkembangan usaha penggemukan sapi juga tidak terlepas dari upaya

pemerintah yang telah berupaya mendukung usaha ini yang salah satunya

adalah menyebarkan kredit penggemukan sapi.

Kebutuhan daging sapi nasional setiap tahun setara dengan

2.000.000 ekor sapi hidup, dimana sebanyak 70% telah terpenuhi oleh

peternakan sapi rakyat. Sedangkan sisanya 600 – 700 ribu ekor masih

diimpor.

Program Swasembada Daging Sapi 2014 adalah upaya untuk

memenuhi kebutuhan daging sapi dari produksi sapi dalam negeri sebesar

90% atau lebih. Program swasembada daging sapi mulai digulirkan tahun

2009 dengan berbagai aktivitasnya. Diawali dengan pembahasan tentang

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan Rakyat
Gambar 1. Keragaan Agribisnis Peternakan
Tabel 2. UMK Jawa Timur tahun 2010
Gambar 2. Kerangka Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Dalam menjalankan fungsinya sebagai Kepala Wilayah (Wakil Pemerintah Pusat di Daerah), Gubernur secara eksplisit hanya dibantu oleh Sekretaris daerah yang secara

Bagaimana membuat program yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah pengepakan persegi tiga dimensi menggunakan pendekatan firefly algorithm (FA).. Bagaimana

Surat Setoran Pajak Daerah yang dapat disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak atau penanggung pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang

Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap kinerja perusahaan setidaknya dapat dilihat dari dua sisi; yaitu; (1) pengaruh terhadap persaingan di dalam pasar- domestik dan (2)

Layout atau tata letak pada buku catatan ini menggunakan gambar latar berupa ilustrasi dan ditambah dengan headline dan sub-headline untuk menjelaskan judul

dapat berpengaruh pada lead time proses produksi dan berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan, terjadi permasalahan waste motion yaitu adanya kegiatan non

Ekuitas, ISAK 1: Intepretasi atas Paragraf 23 nomor 21 tentang Penentuan Harga Pasar Dividen Saham, ISAK 2: Intepre- tasi atas PSAK 21 Pasal 25 tentang Penyajian Modal dalam

Ekosistem sungai dapat merupakan sebuah bioma dari sebuah ekosistem daratan yang besar. Tidak seperti danau yang relatif diam, air sungai mengalir, sehingga tidak mendukung