• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGALI RAHASIA QALBU MENELUSURI PENGALAMAN SPIRITUAL AL GHAZALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGGALI RAHASIA QALBU MENELUSURI PENGALAMAN SPIRITUAL AL GHAZALI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGALI RAHASIA QALBU

MENELUSURI PENGALAMAN SPIRITUAL

AL-GHAZALI

Oleh

Prof Dr Asep Usman Ismail, M.A.

Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Spiritual Al-Ghazali

Al-Ghazali pernah mengalami skeptis tentang cara memperoleh sumber pengetahuan dan kebenaran. Al-Ghazali mencari hakikat kebenaran tentang Tuhan yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran seperti keyakinan seorang yang menghitung bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga. Karena itu, al-Ghazălî mulai mencari hakikat kebenaran tentang Tuhan melalui ilmu kalam, kemudian filsafat Islam, dan terakhir dengan tasawuf. Setelah tidak puas dengan paradigma kalam dan falsafah, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar dan jabatanya sebagai Rektor Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Al-Ghazali mengembara dan kemudian berkhalwat atau berkontemplasi di menara Masjid al-Umawi di Damaskus dengan goncangan batin yang dahsyat. Kemudian menemukan hakikat kebenaran tentang Tuhan melalui jalan tasawuf.

(2)

mengatasi goncangan batin tersebut dengan pengamalan tasawuf sehingga beliau menjadi ulama yang sufi dan sufi yang ulama.

Pengalaman yang sama, mengalami goncangan batin yang hebat, ketika mencari al-Haqq, hakikat kebenaran tentang Tuhan, pernah dirasakan oleh seorang sufi generasi perintis, al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H/935 M) dalam usia 115 tahun, seperti dituturkan di dalam otobiografinya: “Aku seperti seorang yang linglung tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Aku berusaha mengatasi perasaan tidak menentu ini dengan puasa dan shalat. Aku lakukan puasa dan shalat itu secara terus menerus sehingga dalam telingaku terdengar ucapan seorang ahli ma‘rifah yang mengingatkan aku tentang kitab al-Anthaki --seorang guru tasawuf terkemuka di Tirmiz, Uzbekistan —Lalu, melalui kitab al-Anthaki itu, aku menemukan petunjuk untuk melakukan riyadlat al-nafs (pelatihan jiwa) dan aku pun langsung melakukannya. Kemudian, berkat jalan tasawuf itu, Allah menolongku mengatasi goncangan batin tersebut”.

Rupanya pelatihan spiritual dengan mengamalkan ibadah secara sufistik bukan saja berhasil mengatasi goncangan batin akibat kegelisahan intelektual, tetapi juga membawa seorang hamba merasakan kedekatan dengan Allah, bahkan merasakan kehadiran-Nya sepanjang waktu. Al-Ghazălî dengan berkhalwat berhasil merasakan pengalaman mukasyafah, musyahadah, dan akhirnya mencapai ma’rifah kepada Allah dengan meyakinkan. Demikian juga yang dialami oleh al-Hakim al-Tirmidzi jauh sebelum al-Ghazălî. Keduanya memiliki pola atau model pengamalan tasawuf yang sama. Berangkat dari kegelisahan intelektual tentang hakikat kebenaran, mengalami goncangan batin yang hebat, dan menemukan kemantapan rohani dengan pengamalan tasawuf. Keduanya dapat digolongkan ke dalam kelompok ulama yang sufi dan sufi yang ulama. Keduanya juga termasuk perintis model pengamalan tasawuf tanpa tarekat atau tanpa bimbingan seorang mursyid secara langsung. Keduanya juga termasuk penulis yang produktif. Al-Hakim al-Tirmidzi menurut catatan Mahmud Fahmi Hijazi, memiliki tidak kurang dari 86 karya tulis. Sementara al-Ghazălî, menurut catatan Prof. Dr. Badawi Ahmad Thibanah, guru besar pemikiran Islam pada Universitas Al-Azhar Mesir, memiliki tidak kurang dari 47 judul buku, sebuah produktifitas yang sangat tinggi.

(3)

Karya-karya al-Ghazălî dilihat dari segi priode penulisannya dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian. Ada kitab-kitab yang ditulis sebelum beliau memasuki dunia tasawuf dan ada karya-karya al-Ghazălî yang ditulis sesudah menjadi ulama yang sufi dan sufi yang ulama. Kitab Ihya` Ulum al-Din dan Kitab dan Minhaj al-‘Abidin adalah dua di antara kitab al-Ghazălî yang ditulis setelah beliau menjadi sufi. Kitab Minhaj al-‘Abidin merupakan karya terakhir al-Ghazălî sebelum beliau kembali ke alam keabadian. Kedua kitab ini, Ihya` Ulum al-Din dan Minhaj al-‘Abidin, memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Masing-masing mempunyai keunikan dan juga ciri khas tersendiri yang mempesona.

Kitab Ihya` Ulum al-Din merupakan kitab panduan yang paling komprhensif tentang corak tasawuf al-Ghazălî. Adapun corak tasawuf beliau dapat dirumuskan sebagai berikut: Al-Ghazălî seorang mutakallim (teolog) yang berpegang teguh kepada faham Ahl al-Sunnah sebagaimana dirumuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Komitemennya terhadap nash Al-Qur`an dan al-Sunnah sangat kokoh. Oleh sebab itu, corak tasawuf al-Ghazălî ditandai dengan orientasi yang kuat terhadap contoh dan keteladanan Nabi Muhammad saw. Corak tasawuf al-Ghazălî biasa dirumuskan dengan Tasawuf Sunni. Al-Ghazălî pun berprinsip bahwa “para sufi itu bukan hanya kelompok pemikir dan pembicara, akan tetapi mereka adalah sekumpulan orang beriman yang sangat memperhatikan amal perbuatan dan keadaan kalbu”. Dengan menekankan pentingnya amal perbuatan dan keadaan kalbu dalam menempuh jalan ruhani, maka corak tasawuf al-Ghazălî sering dikelompokan ke dalam jenis tasawuf amali. Sementara itu, al-Ghazălî memandang bahwa kegunaan praktis amaliah tasawuf adalah membina dan mengembangkan akhlak mulia pada kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Dengan menekankan hasil akhir dari pengamalan tasawuf adalah terwujudnya akhlak mulia pada diri setiap Muslim, maka corak tasawuf al-Ghazălî disebut tasawuf akhlaki. Singkatnya, corak tasawuf al-al-Ghazălî adalah tasawuf yang berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, menjadikan amal perbuatan dan keadaan kalbu sebagai ujung tombak, dan pembinaan dan pengembangan akhlak mulia sebagai tujuan pokok bertasawuf. Corak tasawuf al-Ghazălî yang sedemikan rupa itu diletakkan di atas landasan akidah yang lurus dan pengamalan syari‘ah yang istiqamah.

(4)

syari‘ah, dan tasawuf atau akhlak secara simponi. Kitab Ihya` Ulum al-Din merupakan dokumen paling lengkap tentang keterpaduan ketiga pilar ini, yakni akidah, syari‘ah, dan tasawuf secara lengkap, menyeluruh, dan komprehensif di dalam kitab yang terdiri atas 4 jilid. Jilid pertama misalnya terdiri atas sepuluh kitab dan pada tiap kitab terdiri atas beberapa bab. Demikian sistimatika pada jilid-juilid berikutnya.

Pada kitab pertama, al-Ghazălî memulai pembahasannya tentang ilmu yang dibagi ke dalam tujuh bab yang mengupas keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajarkan ilmu, serta pembagian ilmu menjadi dua bagian, yakni ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela. Pada kitab kedua, al-Ghazălî membahas perihal liku-liku akidah yang harus ada pada setiap pribadi Muslim. Pada kitab ketiga, al-Ghazălî membahas rahasia bersuci dari segi sufistik. Pada bab keempat al-Ghazălî mengungkapkan rahasia shalat dan keutamaannya dalam meningkatkan kualitas rohani seorang Muslim. Pada kitab kelima, al-Ghazălî membeberkan rahasia zakat dalam meningkatkan kualitas sosial dan individual seorang Muslim. Pada kitab keenam, al-Ghazălî mengungkapkan rahasia puasa dari segi tasawuf. Pada kitab ketujuh, penulis menjelaskan rahasia haji dari segi kerohanian. Pada kitab kedelapan, al-Ghazălî memaparkan adab membaca ayat-ayat suci Al-Qur`an. Pada kitab kesembilan, al-Ghazălî mengungkapkan rahasia dzikir dan doa. Pada kitab kesepuluh, al-Ghazălî menjelaskan adab dan jenis wirid, serta kiat mempertahankan kebiasaan shalat malam.

Sementara itu, Kitab Minhaj al-‘Abidin yang secara kebahasaan berarti “metodologi para ahli ibadah”, memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Di dalam kitab, yang kini berada di hadapan para pembaca yang terhormat, al-Ghazălî menegaskan kembali corak tasawufnya yang sunni, amali, dan akhlaki yang berbasis pada landasan akidah yang lurus dan pengamalan syari‘ah yang istiqamah. Pembahasan mengenai corak tasawuf ini memiliki kesamaan dasar dengan pembahasan utama di dalam Kitab Ihya` Ulum al-Din. Jika di dalam Kitab Ihya` Ulum al-Din, al-Ghazălî menekankan keterpaduan akidah, syari‘ah, dan tasawuf; maka di dalam Kitab Minhaj al-‘Abidin al-Ghazălî membicarakan tujuh rintangan yang dapat menghambat kualitas ibadah serta faktor-faktor yang menghambat komunikasi personal seorang hamba dengan Tuhan.

(5)

al-‘aqabah yang secara kebahasaan berarti “jalan yang mendaki dan sukar ditempuh” sebagai fokus analisis dalam memahami faktor-faktor yang menjadi penghambat peningkatan kualitas ibadah. Menurut Ahmad Mustafă al-Maraghî yang dimaksud dengan “al-‘aqabah adalah perjuangan berat manusia menghadapi dorongan rendah pada dirinya (hawa nafsu), serta perjuangan berat menghadapi ajakan manusia maupun syaitan untuk berbuat kejahatan”.

Di dalam Kitab Minhaj al-‘Abidin ini, al-Ghazălî memaparkan bahwa di dalam beribadah kepada Allah ada tujuh buah al-‘aqabah atau rintangan yang harus dihadapi seorang hamba. Rintangan yang dapat diibaratkan dengan jalan yang mendaki dan sukar ditempuh itu yang pertama adalah ilmu. ‘Aqabah kedua tobat, ‘aqabah ketiga al-‘awa`iq (halangan-halangan) internal pada diri manusia; ‘aqabah keempat godaan yang senantiasa dihadapi seorang hamba; ‘aqabah kelima rintangan dalam menumbuhkan motivasi; ‘aqabah keenam rintangan untuk menggapai keikhlasan dalam beribadah; dan ‘aqabah ketujuh rintangan dalam mewujudkan ‘abdan syakura, yakni hamba yang senantiasa bersyukur.

Jadi tema pokok di dalam kitab Minhaj al-‘Abidin lebih fokus dibandingkan dengan tema pokok yang menjadi perhatian Ghazălî di dalam kitab Ihya` Ulum al-Din. Tema pokok kitab Minhaj al-‘Abidin lebih bersifat praktis, serta menjadi kebutuhan seluruh kaum Muslimin, baik yang termasuk ke dalam katagori awwam, orang kebanyakan, khawash, kelompok khusus kaum Muslim terpelajar, maupun kelompok khawash al-khawash, kelompok Muslim istimewa yang berada di baris depan seperti para sufi atau para waliyullah. Semuanya berkepentingan dengan tujuh buah al-‘aqabah atau rintangan yang harus dihadapi setap hamba guna meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah.

Menurut Imam Al-Ghazălî, “Ibadah tanpa ilmu adalah percuma karena ilmu adalah proses kehidupan. Ilmu dan ibadah itu, menurut beliau, merupakan dua permata. Demi mengamalkan ilmu ibadah itu dilakukan. Ajaran para mursyid, nasihat dan wejangan para pakar, diperlukan untuk memadukan ilmu dan ibadah, sehingga

tercipta prinsip ilmu amaliah, amal ilmiah”.

(6)

al-‘aqabah atau rintangan untuk mencapai ma‘rifah yang sebenarnya kepada Allah. Ilmu itu menjadi hijab dari Allah, jika ilmu itu tidak bersumber dari segala sumber cahya, Allah SWT sendiri. Ilmu yang bersumber dari segala sumber cahya itu adalah ilmu yang mencerahkan pikiran, perasaan, kerohanian, dan perbuatan. Ilmu yang demikian itu berbasis pada kalbu, tidak hanya berbasis pada rasio.

Oleh sebab itu, pertama, kalbu kita harus diperkuat dengan keimanan, keyakinan, dan akidah yang benar. Kedua, keimanan itu harus senantiasa diperbaharui dengan kalimat tayyibat supaya tetap segar dan fungsional. Ketiga, senantiasa diperiksa dan dibersihkan dari berbagai penyakit hati. Jika kalbu seorang termasuk qalbun salim, maka akan terjadi pergeseran basis ilmu dari rasio menuju kalbu, maka ilmunya akan tersinari oleh cahaya keimanannya. Ilmu inilah yang dinamakan ‘ilman nafi‘an, yakni ilmu yang memberi manfaat, kegunaan, dan fungsional pada perasaan, kerohanian, kesadaran, tingkah laku, dan perbuatan.

Jika ilmu itu hanya difungsikan sebagai bahan untuk diucapkan, ditulis, diteliti, dan dijadikan komoditas, maka ilmu yang demikian itu adalah ilmu yang hanya berbasis pada akal semata-mata. Sangat mungkin perasaan, kesadaran, tingkah laku dan perbuatannya tidak tersentuh oleh ilmunya. Dalam kenyataan sehari-hari, kita sering menjumpai seorang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang ilmu-ilmu keislaman, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan ilmu-ilmunya. Orang beriman yang ilmunya hanya berbasis pada rasio, tidak menyadarkan dirinya akan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta tidak mendorong dirinya untuk berbuat kebaikan dalam hidup ini, maka orang itu mendapat kutukan Allah. Renungkanlah firman Allah yang berikut: “Wahai orang-orang beriman mengapa kalian hanya mengatakan apa yang kalian tidak kerjakan. Murka Allah amat berat bagi kalian yang hanya mengatakan tetapi tidak kalian lakukan”. (Q.S. al-Shaf/61:2-3).

(7)

Qalbu itu Kristal yang Bening dan Bercahaya

Al-Ghazălî berpegang pada teori cermin yang menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kualitas kesucian kalbunya. Kalbu itu kemudian diibaratkan dengan sebuah kristal yang putih, bersih, bening, dan bercahaya. Kalbu itu seperti cermin dengan empat kualitas. Pertama, kalbu setiap orang itu bercahaya. Cahaya pada kalbu itu bersifat pembawaan, uiversal, dan primordial. Ada pada setiap orang tanpa tergantung kepada agama, budaya, bahasa, adat, kebiasaan, dan berbagai faktor kultural. Cahaya itu disebut pula nurani yang senantiasa mendorong kepada kejujuran, keadilan, persahabatan, dan solidaritas kemanusiaan. Cahaya itu pun senantiasa merindukan komunikasi personal dengan ilahi yang kudus, sakral, dan bersifat supranatural.

Kedua, kalbu setiap orang itu menerima cahaya. Cahya yang datang dari luar diri manusia itu antara lain: hidayah, bimbingan, arahan, atau petunjuk dari Allah berupa kesadaran, pemahaman, pengertian-pengertian tentang cara menjalani kehidupan ini yang diridoi Allah. Cahaya itu bisa juga berupa ilmu yang mencerahkan pikiran, perasaan, kejiwaan (kerohanian), sikap dan perilaku, serta tindakan-tindakan nyata dalam hidup keseharian. Adapun cahaya yang pokok adalah cahaya keimanan kepada Allah dan rukun iman lainnya.

Ketiga, kalbu setiap orang itu menyimpan cahaya. Cahaya yang datang dari luar dirinya seperti dipaparkan di atas disimpan di dalam kalbu, sehingga kalbu mengalami perluasan areal cahayanya. Maka kapasistas kalbu itu pun bertambah kuat, karena ada perpaduan yang simponi di antara cahaya yang sudah ada secara pembawaan pada jiwa manusia dengan cahaya yang datang dari luar, yang hakikatnya bersumber dari Allah.

(8)

Perbuatan dosa yang dilakukan oleh seseorang berakibat buruk terhadap kualitas kesucian hatinya. Satu suap makanan atau satu tetes minuman yang diperoleh dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah seperti hasil korupsi, manipulasi, mencuri, pemerasan, dan kezaliman; maka sama dengan menggoreskan satu titik hitam pada cermin atau kaca kristal yang bening, putih, dan bersih. Jika perbuatan dosa, kebohongan, dan kezaliman itu dilakukan berulang-ulang tanpa merasa bersalah dan tanpa ada penyesalan, serta kebulatan tekad untuk mengakhiri dan mengubah pola hidup; titik hitam di dalam kalbu itu akan menjadi bintik-bintik hitam, kemudian berubah menjadi gumpalan hitam, lalu membeku menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras dari batu. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur`an: “Kemudian kalbu kalian menjadi keras setalah kalian berbuat dosa, maka kalbu kalian itu seperti batu, bahkan lebih keras dari batu…” (Q.S. al-Baqarah/2:74).

Dalam kerangka teori cermin inilah al-Ghazălî menulis pada buku ini: “Terus menerus mengerjakan dosa, menjadikan hati hitam dan kemudian hati itu menjadi kelam dan keras. Kekelaman dan kekerasan hati inilah yang menjadikan si pendosa akan kehilangan kesempatan untuk merasakan lega dan manisnya beribadah. Jika Allah tidak menurunkan rahmat-Nya, maka hati yang demikian itu akan menyeret pemiliknya ke dalam kekufuran dan kecelakaan”. (h. 51)

Perbuatan dosa yang secara metafisika sufistik itu berupa gumpalan hitam yang menyelimuti hati akan menjadi penutup hati dari segala sumber cahaya yang datang dari luar. Cahaya dari dalam dirinya tertimbun gumpalan hitam sehingga suara nuraninya menjadi pelan, nyaris tidak terdengar. Akal sehatnya tidak berfungsi karena tidak mendapat pancaran cahaya. Penegtahuannya tentang agama hanya bertumpu pada rasionya. Ibadahnya hanya bersifat ritual semata-mata. Haji dan umrah mungkin dilakukan berulang-ulang. Shalat tetap dilakukan. Hasilnya STMJ (Shalat Tekun Maksiat Jalan). Pandangannya tentang hidup dan kehidupan menjadi pendek, hanya tertumpu kepada kenikmatan duniawi yang bersifat materialistik. Filosofi hidupnya aji mumpung. Tindakannya merugikan orang banyak. Tidak ada amanah, tanggung jawab, dan kecemasan tentang akhirat. Akibatnya, ratusan juta bahkan muilyaran rupiah uang rakyat lenyap. Pantas saja, kalau ada survai yang menyatakan bahwa Jakarta kota terkorup di dunia, dan negeri ini menjadi sorga bagi para koruptor.

(9)

Al-Râghib al-Ashfahânî di dalam kitab Mu‘zam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an menyatakan bahwa perkataan qalb atau qulûb dalam bentuk jamak secara bahasa berarti menukar, mengubah, atau membalikan sesuatu seperti membalikan dua telapak tangan. Dari perkataan qalb atau qulûb terbentuk istilah al-inqilâb yang berarti perubahan atau revolusi, yang juga berarti al-inshirâf yang berarti bergeser dan berpaling. Suasana batin manusia dinamakan qalb atau qulûb karena banyak mengalami perubahan dan pergeseran secara cepat, bahkan bolak-balik dari satu keadaan kepada keadaan sebaliknya. Dari menghadap menjadi membelakangi, dari senang menjadi susah, dari gembira menjadi sedih, dari riang menjadi murung, dari optimis menjadi pesimis, dari kuat menjadi lemah, serta dari tegar menjadi gemetar.

(10)

kebahagiaan, dan keharmonisan sehingga hidup kita penuh makna dan kita dapat merasakan makna hidup.

Al-Qalb atau al-Qulûb Dalam Al-Qur`an

Al-Qur`an menggunakan bentuk tunggal dan jamak dalam menggambarkan qalbu, yakni menggunakan istilah al-qalb dalam bentuk tunggal dan al-qulûb dalam bentuk jamak. Keduanya memiliki muatan makna yang sama sebagaimana akan dipaparkan di bawah ini.

1. al-Qalb. Dalam bahasa Indonesia biasa diucapkan qalbu. Beberapa ayat Al-Qur`an yang berikut menggambarkan sifat, keadaan, karakteristik qalbu yang menjadi sifat dan karakteristik dasar manusia.

Pertama, Surat Ali Imran ayat 159 memperkenalkan istilah ghalîdh al-qalb, yang berarti qalbu yang keras. Ayat ini menyatakan bahwa manusia bisa memiliki sifat dan karakteristik yang keras, dalam pengertian bahwa dirinya merasa paling benar, sementara orang lain salah dan tidak punya hak untuk menyatakan kebenaran. Tidak menghargai musyawarah, dialog, dan adu argumentasi, serta tidak mendengar suara nurani. Sifat dan karakteristik ghalîdh al-qalb ini bisa menjurus kepada sikap radakilasime, tidak toleran, dan tidak menghargai perbedaan. Puncaknya bisa sampai kepada sikap untuk menghalalkan darah setiap orang yang berbeda pendapat dengan dirinya atau kelompoknya. Di dalam ayat ini, Rasulullah sebagai pembawa pesan Islam diminta untuk menjauhi sifat dan karakteristik ghalîdh al-qalb. Jika para juru dakwah memiliki sifat dan karakteristik ghalîdh al-qalb tentu akan dijauhi dan ditinggalkan ummat.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Bangun daun oval, daging daun coriaceus , tepi daun rata, pertulangan daun sejajar, tata letak daun berseling, ujung daun runcing asimetris, permukaan daun licin.

Pemberian perlakuan bahan mineral meningkatkan bobot kering tajuk tanaman sedangkan air laut berpengaruh sebaliknya, namun tidak berpengaruh nyata pada

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Varney (2007) bahwa mekanika tubuh yang tepat dapat mengatasi nyeri punggung. Sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa teknik mekanika

Menggunakan Variabel X yang sama yaitu rasio keuangan dari Model Altman Variabel Y tidak menggunakan variabel dummy dan objek penelitian berbeda 2 Sri Hartatian

Dalam menentukan hasil dari alat pendeteksi tanah longsor, apakah dapat berfungsi dengan baik atau tidak dilakukan dengan beberapa tahapan, yang diawali dengan melakukan

responden yang menjawab kuesioner, tes atau instrumen dan kesulitan item bagi setiap tes atau non tes (Rasch 1980). Oleh itu, untuk menghasilkan bukti secara empirik

Bagi pembolehubah kualitatif pula, penulis akan menanda (√) jika terdapat pengawalseliaan berdasarkan pembolehubah yang telah ditetapkan ke atas bank

Maka gadis-gadis yang pernah dicumbu Anton di kampus ini harus mencari lelaki yang siap menerima mereka di dalam realita!. Menunggu Anton sama halnya menunggu