perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP
MANAJEMEN LABA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh:
ARIS SURYAWAN F. 1308515
PROGRAM S1 AKUNTANSI NON REGULER FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
HALAMAN MOTTO
JANGAN BERPIKIR PANJANG JIKA ANDA BELUM MAU
MELAKUKAN
(PENULIS)
IBADAH DISERTAI DOA, INGAT ORANG DISEKITARMU,
JALANKAN DAN BERSABARLAH JIKA KAMU INGIN
MENDAPATKAN RIDHONYA
(KATA-KATA ORANG TUA)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
1.
Allah SWT.
2.
Bapak, Mamah, Adik-adik.
3.
Seluruh Manusia dibumi.
4.
Dan semua orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGARUH
MEKANISME CORPORATE GOVERNACE TERHADAP MANAJEMEN LABA” dengan baik.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Wisnu Untoro, M. S selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Santoso Tri Hananto, M. Si., Ak selaku ketua jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Rahmawati, M.Si., Ak selaku dosen pembimbing atas segala
informasi, arahan, bimbingan dan motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas
Sebelas Maret Surakarta atas semua ilmu yang telah diberikan.
5. Seluruh staf karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini. selama ini.
6. Keluarga atas seluruh dorongan semangat dan motivasi yang telah diberikan
dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Teman-teman liarku atas segala acara, semangat, dan bantuan selama ini.
8. Teman-teman akuntansi S1 non-reguler atas semua kerjasamanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saran dan kritik sebagai masukan bagi perbaikan penelitian di masa yang
akan datang sangatlah penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Telaah Literatur ... 12
B. Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis ... 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
A. Populasi, sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 44
B. Jenis dan Sumber Data ... 45
C. Definisi Operasional Variabel ... 46
D. Metode Analisis Data ... 49
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 54
A. Deskripsi Data ... 54
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Implikasi ... 75
C. Keterbatasan Penelitian... 78
D. Saran-saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar II.1 Kerangka Penelitian ... 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel IV.1 Kriteria Pengambilan Sampel ... 55
Tabel IV.2 Statistik Deskriptif ... 56
Tabel IV 3 Uji Normalitas ... 59
Tabel IV.4 Uji Multikolinearitas ... 60
Tabel IV.5 Uji Autokorelasi ... 61
Tabel IV.6 Uji Adjusted R Square ... 64
Tabel IV.7 Hasil Uji F ... 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Data Penelitian Sampel
Lampiran 2 : Penelitian Terdahulu
Lampiran 3 : Data Mentah
Lampiran 4 : Statistik Deskriptif
Lampiran 5 : Uji Normalitas Data
commit to user
ABSTRAK
PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP
MANAJEMEN LABA
ARIS SURYAWAN F. 1308515
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance yang terdiri dari kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dan komite audit independen terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2010.
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan dengan jenis industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.. Sampel diambil dengan metode purposive sampling. Analisis data menggunakan regresi berganda dengan sebelumnya melakukan uji asumsi klasik dan uji normalitas data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. 2) Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. 3) Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. 4) Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 5) Komite audit independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
commit to user
ABSTRACT
EFFECT OF CORPORATE GOVERNANCE MECHANISM ON EARNING MANAGEMENT
ARIS SURYAWAN F. 1308515
This study aims to examine the effect of institutional ownership, managerial ownership, proportion of independent commissioner board, commissioner board size and independent audit committee on earning management for a sample of manufacturing company listed in Indonesia Stock Exchange over the period 2008-2010
Population in this research is the type of manufacturing companies listed in Indonesia Stock Exchange. Samples taken by purposive sampling method. Analysis of data using multiple regression with classical assumption test and test of normality.
The results of this study indicate that: 1) Institutional ownership had no affect on earning mangement. 2) Managerial ownership had no effect on earning management. 3) Proportion of independent commissioner board had negative affect on earning manaement. 4) Commissioner board size had positive effect on earning mangement. 5) Independent audit committe had negative effect on earning mangement.
commit to user
1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris bahwa
mekanisme corporate governace perusahaan dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba yang dilakukan perusaaan. Manajemen laba disini diukur
dengan menggunakan discretionary revenue. Sedangkan mekanisme corporate governance dalam penelitian ini terdiri dari lima variabel, yaitu: kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris
independen, ukuran dewan komisaris, dan komite audit independen.
Laporan keuangan perusahaan terdiri dari neraca, laporan laba rugi,
laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan
keuangan. Laporan ini akan digunakan oleh para pemakai laporan keuangan
(investor, kreditor, supplier, organisasi buruh, bursa efek dan para analis
keuangan) sebagai sumber informasi penting mengenai keberadaan sumber
daya ekonomi perusahaan yang diharapkan berguna untuk pengambilan
keputusan. Selain itu, laporan keuangan perusahaan juga diharapkan menjadi
pedoman untuk pemegang saham dan investor potensial untuk menentukan
kepentingan investasi mereka terhadap saham emiten.
Laporan laba sebagai produk informasi yang dihasilkan perusahaan,
tidak terlepas dari proses penyusunannya. Proses penyusunan laporan ini
commit to user
manajemen, ditambah dewan direksi dan pemegang saham. Dalam proses
penyusunan laporan keuangan perusahaan, terkadang pihak pengurus
pengelolaan perusahaan memiliki motivasi dan kepentingan yang berbeda
yang cenderung bertentangan dengan kepentingan dan motivasi pemegang
saham dan stakeholder lainnya, sehingga dapat memicu dilakukannya Manajemen laba.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola,
manajer berkewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan
kepada pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya (Ujiyantho dan
Pramuka, 2007). Sehingga manajer dapat menggunakan informasi lebih yang
diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan dalam usaha
memaksimalkan utilitasnya. Asimetri informasi ini dapat memberikan
kesempatan kepada manajer untuk melakukan Manajemen laba.
Setiawati dan Na’im (2000) menyatakan bahwa manajemen laba
merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan
keuangan. Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa. Maka pendeteksian terhadap indikasi manajemen laba pada laporan
keuangan menjadi perlu untuk dilakukan. Manajemen laba sebagai suatu
commit to user
Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan
keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri (Asih
dan Gudono, 2000 dalam Isnanta, 2008).
Manajemen laba merupakan campur tangan manajemen dalam
penyusunan laporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dengan cara menaikkan atau menurunkan laba akuntasi
perusahaan. Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba
menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
utang dan political costs (Oportunistic Manajemen laba). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Manajemen laba), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Mengingat praktik Manajemen labaoportunistik bersifat tidak baik karena
dapat menyesatkan penilaian pihak-pihak yang menggunakan laporan
keuangan, maka dibutuhkan suatu elemen kunci yang dapat mengontrol dan
mengarahkan perusahaan untuk meningkatkan lingkungan yang kondusif
commit to user
Agency theory memberikan gambaran bahwa masalah manajemen laba dapat dieliminasi dengan pengawasan sendiri melalui good corporate governance. Bahwa praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk
menyelaraskan (alignment) ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen, yaitu: pertama, dengan memperbesar kepemilikan saham
perusahaan oleh manajemen (managerial ownership) (Jensen dan Meckling, 1976); kedua, dengan kepemilikan saham oleh investor institusional
(Midiastuty dan Machfoedz, 2003), dengan pertimbangan bahwa mereka dapat
dianggap sebagai sophisticated investor yang tidak dengan mudah bisa dianggap "dibodohi" oleh tindakan manajer; dan ketiga, melalui peran
monitoring yang dilakukan oleh dewan direksi (board of directors).
Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai "suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan
organisasi" (Syaiful Iqbal, 2007)". Pengertian yang lebih luas
mengklasifikasikan corporate governance ke dalam dua perspektif yaitu perspektif sempit dan perspektif luas. Dalam perspektif sempit, corporate governance didefinisikan sebagai mekanisme administratif yang mengatur hubungan – hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi,
pemegang saham, dan kelompok – kelompok kepentingan (stokeholders) yang lain. Sedangkan dalam perspektif luas, corporate governance didefinisikan dalam pengertian sejauh mana perusahaan telah dijalankan dengan cara yang
commit to user
mekanisme pasar, meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya langka
baik dalam skala domestik maupun internasional, memperkuat struktur
industri, dan akhirnya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat luas. Corporate governance diperlukan untuk menyiapkan sistem dan struktur yang kuat serta kokoh bagi korporasi perusahaan sektor publik
maupun sektor swasta. Salah satu elemen dalam struktur dan proses corporate governance adalah pemastian bahwa penggunaan wewenang (exercise of power) dan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) berjalan dengan baik untuk kepentingan perusahaan (Daniri, 2009). Apabila
perusahaan sudah menerapkan corporate governance dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip corporate governance itu sendiri, perusahaan dapat meningkatkan kinerja korporasi secara sustainable yang nantinya akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri (value of the firm), peningkatan keyakinan investor terhadap korporasi sehingga menjadi lebih atraktif sebagai
target investasi, memudahkan akses terhadap investasi domestik dan asing,
dan melindungi direksi dan dewan komisaris dari tuntutan hukum (Taridi,
2009). Terdapat lima prinsip utama yang terkandung dalam Good Corporate Governance (Daniri, 2006) yaitu: kerterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness).
Penelitian ini dimotivasi oleh penelitian (Cornett, Marcuss, Sanders dan
commit to user
manajerial, proporsi dewan komisaris independen, dan ukuran dewan
komisaris terhadap manajemen laba.
Manajemen laba dapat diukur dengan menggunakan discretionary revenue dan discretionary accruals. Menurut Stubben (2010) model discreationary revenue memberikan ukuran yang lebih tidak bias, lebih spesifik dan lebih kuat tentang manajemen laba dibandingkan dengan
discretionary accruals. Disreationary revenue didefinisikan sebagai selisih antara piutang aktual dan prediksi perubahan piutang berdasarkan model.
Tinggi atau rendahnya piutang yang tidak normal mengindikasikan
manajemen pendapatan (Stubben, 2010).
Dalam penelitian mengenai manajemen laba biasanya digunakan
discretionary accrual sebagai pengukuran manajemen laba, namun dalam penelitian ini manajemen laba diukur menggunakan discretionary revenue. Dimana menurut McNichols dan Stubben (2008) penggunaan discretionary revenue mempunyai beberapa keuntungan yaitu antara lain secara substansial lebih tidak bias dan tidak rawan kesalahan dibanding discretionary accrual dan selain itu manipulasi pendapatan merupakan bentuk manajemen laba yang
paling sering dilakukan.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat
mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh
commit to user
menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak
manajemen (Gideon, 2005).
McConell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del
Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) dalam Cornertt
et al., (2006) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor
insitusional dapat membatasi perilaku para manajer. Cornet et al., (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor
institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan
perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku
opportunistic atau mementingkan diri sendiri.
Midiastuty dan Machfoed (2003) menguji pengaruh beberapa
mekanisme corporate governance yang diuji meliputi kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, dan ukuran dewan direksi hasilnya adalah
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berhubungan negatif
dengan manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berhubungan positif
dengan manajemen laba.
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal
perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan (Siallagan dan
Machfoedz, 2006). Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi
pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen,
commit to user
terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas.
Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi
monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Dechow et al., (1996) dan Beasley (1996) dalam Ujiyantho (2007) menemukan hubungan yang signifikan antara peran
dewan komisaris dengan pelaporan keuangan. Selain itu juga ditemukan
bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris mempengaruhi kemampuan
mereka dalam memonitor proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan
sebagai produk informasi yang dihasilkan perusahaan, tidak terlepas dari
proses penyusunannya. Kebijakan dan keputusan yang diambil dalam rangka
proses penyusunan laporan keuangan akan mempengaruhi kinerja perusahaan
(Ujiyanto, 2007).
Penelitian yang dilakukan Yermack (1996), Beaslley (1996) dan
Jensen (1993) menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang berukuran kecil
akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan
dewan komisaris berukuran besar. Ukuran dewan komisaris yang besar
dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya karena sulit dalam
komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan (Ujiyantho dan Pramuka,
2007).
Untuk lebih dapat mencapai good corporate governance, selain kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan dewan direksi, peranan
komite audit juga diperlukan untuk lebih meningkatkan lagi kualitas informasi
commit to user
tugasnya. Hal ini seperti diungkap penelitian Xie et al., (2003) dan April Klein (2002) yang menemukan bahwa keberadaan komite audit berpengaruh dengan
arah negatif secara signifikan dengan aktivitas manajemen laba.
Welvin dan Herawaty (2010) meneliti tentang pengaruh pengaruh
mekanisme corporate governance yang meliputi kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, keberadaan komite audit, dan komisaris independen,
kualitas audit, laverage, profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap
manajemen laba. Membuktikan bahwa kepemilikan institusional, audit,
komisaris independen, independensi auditor tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba, sedangkan laverage dan kualitas audit berpengaruh terhadap manajemen laba.
Penelitian ini akan menguji pengaruh kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, ukuran perusahaan dan
komite audit terhadap manajemen laba. Penelitian ini dikembangkan
berdasarkan penelitian Cornett et al., (2006), dengan beberapa perbedaan sebagai berikut.
1. Penelitian ini menambahkan variabel komite audit independen dengan
mengacu pada penelitian Klein (2002).
2. penelitian Cornett et al., (2006) dilakukan di Amerika dengan sampel perusahaan industri di USA . Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan
commit to user
3. Manajemen laba dalam penelitian Cornett et al., (2006) diukur dengan menggunakan discretionary accrual sedangkan dalam penelitian ini menggunakan discretionary revenue dengan mengacu pada Stubben (2010).
B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba?
2. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba?
3. Apakah proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba?
4. Apakah ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen
laba?
5. Apakah komite audit independen berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memperoleh bukti empiris bahwa kepemilikan institusional berpengaruh
commit to user
2. Memperoleh bukti empiris bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba.
3. Memperoleh bukti empiris bahwa proporsi dewan komisaris independen
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
4. Memperoleh bukti empiris bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh
positif terhadap manajemen laba.
5. Memperoleh bukti empiris bahwa komite audit independen berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak adalah sebagai berikut.
1. Bagi investor dan kreditor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan
investasi.
2. Bagi para pemakai laporan keuangan dan praktisi penyelenggara
perusahaan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memahami
corporate governance serta praktik dari manajemen laba
3. Bagi Akademisi. Penelitian ini diharapkan akan memberikan bukti empiris
mengenai pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba yang bisa digunakan sebagai dasar penelitian-penelitian
commit to user
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TELAAH LITERATUR
1. Teori Keagenan
Menurut teori agensi, sebuah agensi dapat didefinisikan sebagai
suatu hubungan yang berdasarkan pada persetujuan antara kedua belah
pihak, satu pihak yaitu agen, setuju untuk bertindak atas nama pihak lain
yaitu prinsipal. Antara agen dan prinsipal diasumsikan selalu terdapat
pertentangan kepentingan karena setiap individu berusaha memaksimalkan
kepuasannya sendiri.
Hubungan antara pemilik perusahaan dengan manajer merupakan
hubungan prinsipal dan agen. Pemilik perusahaan atau para pemegang
saham sebagai prinsipal, memberikan kewenangan kepada manajer
sebagai agen, untuk menjalankan perusahaan atas nama pemilik. Akan
tetapi, para pemegang saham tidak dapat melakukan observasi terhadap
tindakan setingkat kualitas usaha manajer dalam menjalankan perusahaan.
Oleh karena itu, ada kemungkinan para manajer untuk berbuat curang.
Apabila kinerja perusahaan buruk, manajer cenderung menyalahkan faktor
– faktor yang berada diluar kendali manajer (Dwiatraini dan Nurkolis,
commit to user
Hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka
akuntansi. Hal ini memacu agen untuk memikirkan bagaimana akuntansi
dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya.
Ada kecenderungan bahwa pihak – pihak yang mempunyai konflik dengan
manajemen lebih memperhatikan besarnya laba perusahaan (Einsehardt,
1989 dalam Wahyu Sukamti, 2009). Untuk mengurangi banyaknya konflik
kepentingan yang timbul, manajer akan melakukan disfungsional behavior dalam bentuk manipulasi laba untuk memelihara hubungan baik dengan
pemegang saham, pemerintah dan karyawan.
Konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan
(agency theory) yang menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau memperhatikan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya.
Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap
pihak eksternal perusahaan seperti kreditor atau investor. Asimetri
informasi terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan
relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat
dibandingkan dengan pihak internal perusahaan tersebut. Dalam kondisi
demikian, manajer dapat menggunakan informasi yang diketahuinya untuk
memanipulasi laporan keuangan dalam usaha memaksimalkan
kemakmurannya (Salno dan Baridwan, 2000) dalam Wahyu Sukamti
commit to user
2. Corporate Governance
OECD (2004) dan FCGI (2001) dalam Boediono (2005)
mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta peran pemegang intern dan ekstern lainnya
sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain
system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Sheifer dan Vishny (1997) dalam Herawaty (2007) mengungkapkan
bahwa corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberi
keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka investasikan. Corporate Governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan
bagi investor, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan
atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak
menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh
investor dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan
para manajer.
World Bank (2000) mengungkapkan bahwa corporate governance adalah berkaitan dengan memegang keseimbangan antara ekonomi dan
tujuan sosial serta antara tujuan individu dan komunal. Para kerangka tata
commit to user
yang efisien dan sama-sama untuk meminta pertanggungjawaban untuk
pengelolaan sumber daya tersebut.
Sedangkan, Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan dan pihak kreditur, atau pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya, yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengendalikan perusahaan dengan tujuan menciptakan nilai tambah
bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Meskipun definisi corporate governance berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, pada dasarnya corporate governance merupakan sistem dan tata kelola perusahaan dengan mengutamakan
kepentingan shareholder yang bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan.
a. Prinsip dasar Corporate Governance
OECD menyusun prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance dalam lima aspek, yaitu:
1) Transparancy
Didefinisikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip ini
commit to user
pemegang saham untuk mendapatkan informasi yang akurat dan
tepat pada waktunya mengenai semua hal yang penting bagi
kinerja perusahaan, kepemilikan, dan para pemegang
kepentingan (stakeholders). Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi berbasis standar
akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkap yang berkualitas, kemudian
mengembangkan Informaton Technology (IT) dan Management Information System (MIS) untuk dijadikan pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif
oleh Dewan Komisaris dan Direksi. Selanjutnya juga
mengembangkan enterprise risk management yang memastikan bahwa semua risiko signifikan telah diidentifikasi, diukur dan
dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan
jabatan kosong secara terbuka.
2) Accountability
Didefinisikan sebagai kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Dengan kata lain prinsip ini
menegaskan bagaimana bentuk pertanggungjawaban manajemen
kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini
diwujudkan dalam bentuk penyiapan laporan keuangan pada
commit to user
mengembangkan Komite Audit dan Manajemen Resiko dalam
rangka mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris,
mengembangkan peran dan fungsi eksternal audit, penegakan
hukum dan penggunaan eksternal auditor.
3) Responsibility
Didefinisikan sebagai kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat
serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini
perusahaan memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat
atau stakeholder dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan menjunjung etika bisnis, serta tetap menjaga lingkungan
bisnis yang sehat. Oleh karena itu setiap perusahaan harus
menyadari bahwa beroperasinya perusahaan tidak dapat dengan
sendiri tanpa adanya dukungan dan kerjasama aktif dengan
pihak-pihak yang berkepentingan.
4) Independency
Adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
professional tanpa benturan kepentingan manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Prinsip ini menekankan
bahwa pengelolaan perusahaan harus secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak
commit to user
tekanan dari pihak manapun dan dapat menghasilkan keputusan
yang obyektif.
5) Fairness
Yaitu perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak
pemegang stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini
menekankan bahwa semua pihak yaitu baik pemegang saham
minoritas maupun asing harus diperlakukan sama atau setara.
Prinsip ini dapat diwujudkan dengan membuat peraturan
perusahaan yang melindungi kepentingan minoritas, pedoman
perilaku perusahaan dan kebijakan-kebijakan yang melindungi
perusahaan dari perbuatan buruk orang dalam, self-dealing dan konflik kepentingan, kemudian menetapkan bagaimana peran dan
tanggungjawab organ perusahaan mulai dari dewan komisaris,
direksi, komite dan sebagainya. Dengan adanya aturan main yang
jelas, maka pengelolaan perusahaan dapat dilakukan dengan baik.
b. Manfaat Corporate Governance
Pelaksanaan Good Corporate Governance sangat diperlukan untuk memenuhi kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai
syarat mutlak bagi dunia perindustrian untuk berkembang dengan baik
dan sehat yang tujuan akhirnya untuk menciptakan nilai tambah bagi
commit to user
yang kuat serta kokoh bagi korporasi perusahaan sektor publik maupun
sektor swasta. Salah satu elemen dalam struktur dan proses GCG
adalah pemastian bahwa penggunaan wewenang (exercise of power) dan hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) berjalan dengan baik untuk kepentingan perusahaan (Mas Achmad Daniri dan
Dadi Krismatono). Apabila perusahaan sudah menerapkan GCG
dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip GCG itu sendiri, perusahaan
dapat meningkatkan kinerja korporasi secara sustainable yang nantinya akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu sendiri (value of the firm), peningkatan keyakinan investor terhadap korporasi sehingga menjadi lebih atraktif sebagai target investasi, memudahkan akses
terhadap investasi domestik dan asing, dan melindungi direksi dan
dewan komisaris dari tuntutan hukum (Tirmidzi Taridi).
Manfaat dari penerapan prinsip corporate governance menurut Utama (2003) yang dikutip oleh Herawaty (2008), yaitu: (1)
meminimalkan agency cost dengan mengontrol konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara prinsipal dengan agen; (2) meminimalkan
cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada para penyedia modal; (3) meningkatkan citra perusaaan; (4) meningkatkan nilai
commit to user
c. Indikator Penerapan Corporate Governance
Penerapan good corporate governance diharapkan dapat meningkatkan efektivitas sistem pengawasan dan pengendalian. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Bhohraj dan Sengupta (2003) yang
menyatakan bahwa implementasi good corporate governance diharapkan dapat meningkatkan pengawasan untuk menghasilkan
pengendalian terhadap kekuasaan manajer secara keseluruhan. Adanya
sistem pengawasan dan pengendalian dapat mengurangi masalah
keagenan yang terjadi antara prinsipal dan agen sehingga biaya
keagenan (agency cost) dapat ditekan.
Sesuai model organisasi yang diadopsi oleh Indonesia, yaitu
European Continental, maka struktur governance di Indonesia terdiri dari : RUPS, Board of Commisioner, Board of Director dan Manajemen. Struktur ini berfungsi sebagai sistem pengawasan dan
pengendalian yang ada pada perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Dalam two-tier boards pengaruh pemegang saham dijalankan melalui dewan komisaris, sehingga tidak akan mengganggu aktivitas normal
manajemen dan memungkinkan pemegang saham meningkatkan
pengaruhnya tanpa menunggu terjadinya ketidaksepakatan publik.
Dalam perkembangan corporate governance selanjutnya kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial juga berfungsi
commit to user
perusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan-perusahaan yang ada di
Indonesia.
Sehingga perangkat governance , dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Board of Commisioner (Dewan Komisaris)
Dewan Komisaris adalah lembaga yang bertugas mengawasi
atau mengontrol jalannya perusahaan yang dipimpin oleh Dewan
Direksi.
Dewan Komisaris mempunyai peranan penting dalam fungsi
monitoring, karena bertindak sebagai wakil dari para pemegang
saham dalam melakukan pengawasan dan memberikan nasehat
kepada Direksi dalam rangka menjalankan kepengurusan
perusahaan yang baik.
Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris adalah :
a) Melakukan pengawasan terhadap kebijakan pengurusan
Perseroan yang dilakukan Direksi serta memberikan nasehat
kepada Direksi termasuk mengenai rencana pengembangan
Perseroan, pelaksanaan anggaran Dasar dan Keputusan Rapat
Umum Pemegang Saham dan Peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b) Memberikan pendapat dan saran kepada Rapat Umum
Pemegang Saham mengenai rencana pengembangan
Perseroan, rencana kerja dan anggaran tahunan perseroan
commit to user
c) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran
Perseroan serta menyampaikan hasil penilaian serta
pendapatannya kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
d) Mengikuti perkembangan kegiatan Perseroan, dalam hal
perseroan menunjukkan gejala kemunduran segera
melaporkan kepada RUPS dengan disertai saran mengenai
langkah perbaikan yang harus ditempuh.
e) Memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai
setiap persoalan lainnya yang dianggap penting bagi
pengurusan perseoran.
f) Melakukan tugas-tugas pengawasan lainnya yang ditentukan
oleh RUPS.
Komisaris mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam
sebulan dan dalam rapat tersebut Komisaris dapat mengundang
Direksi. Dalam perkembangan terakhir yaitu penerapan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance, dikenal Komisaris Independen. Komisaris Independen dimotivasi oleh keinginan
untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas dalam PT terbuka. Dewan Komisaris dapat membantu
kontinuitas dan objektivitas yang diperlukan bagi suatu perusahaan
untuk berkembang dan makmur. Komisaris Independen membantu
commit to user
berkala melakukan review atas implementasi tersebut. Dengan demikian akan memberikan benefit yang tinggi bagi perusahaan.
Keberadaan komisaris independen juga diatur dalam ketentuan
Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku
sejak tanggal 1 Juli 2000. Perusahaan yang tercatat di BEJ wajib
memiliki komisaris independen yang jumlahnya secara
proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah
komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah
seluruh anggota dewan komisaris. Adapun persyaratan menjadi
komisaris independen adalah sebagai berikut :
· Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham
pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan.
· Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.
· Tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lain yang
terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.
· Memahami peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal.
· Diusulkan oleh pemegang saham dan dipilih oleh pemegang
saham yang bukan merupakan pemegang saham pengendali
commit to user
2) Board of Director (Dewan Direksi)
Board of Director dalam suatu perusahaan memegang fungsi dan peran sangat penting serta memiliki tanggung jawab terhadap
perkembangan dan kemajuan perusahaan. Emirzon (2007)
menyatakan bahwa tanggungjawab Board of Director adalah memonitor penerapan strategi jangka panjang, usaha bisnis
perusahaan, seleksi, evaluasi kinerja dan penuntutan sistem balas
jasa manajemen perusahaan secara efektif.
Menurut OECD di atas bahwa Board of Director bertanggungjawab untuk:
a) Menyusun strategi dan mengarahkan bisnis perusahaan;
menyusun kebijaksanaan operasi bisnis.
b) Memonitor kinerja manajemen senior perusahaan dalam
mencapai tujuan strategis perusahaan.
c) Menghasilkan keuntungan yang optimal bagi para pemegang
saham.
d) Menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak yang terkait
dalam perusahaan, misalnya keseimbangan kepentingan
pemegang saham mayoritas dan minoritas, kepentingan
pemegang saham dan kreditur.
Keefektifan aktivitas pengawasan yang dilakukan oleh dewan
direksi, dipengaruhi oleh ukuran dan komposisi dewan direksi. Hal
commit to user
ukuran dewan direksi merupakan salah satu mekanisme
pengendalian utama dalam menjalankan fungsi monitoring
terhadap manajer.
3) Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah persentase saham institusi
yang diperoleh dari penjumlahan atas persentase saham perusahaan
yang dimiliki oleh perusahaan lain baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri serta saham pemerintah dalam maupun luar
negeri. Kepemilikan institusional mempunyai peran yang sama
dengan direksi, yaitu mengontrol atau memonitor kinerja
manajemen.
Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak
manajemen melalui proses pengawasan secara efektif. Shleifer dan
Vishny (1986) berpendapat bahwa tingkat kepemilikan
institusional dalam proporsi yang cukup besar akan mempengaruhi
nilai perusahaan. Diharapkan dengan semakin besar tingkat
kepemilikan saham oleh institusi, maka semakin efektif pula
mekanisme kontrol terhadap kinerja manajemen, sehingga risiko
yang dihadapi oleh para kreditor dapat diturunkan.
4) Kepemilikan Manajerial
Jensen (1993) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa
commit to user
pemegang saham dan manajer. Semakin meningkat proporsi
kepemilikan saham manajerial, maka semakin baik kinerja
perusahaan, karena mereka juga memiliki perusahaan. Demsetz
dan Lehn (1985) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa
konsentrasi kepemilikan dapat menghilangkan masalah keagenan.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976)
yang menyatakan bahwa konflik keagenan tidak akan terjadi pada
perusahaan dengan kepemilikan seratus persen oleh manajemen
dapat mengurangi konflik kepentingan, karena manajemen
bertindak sebagai pemilik. Dengan adanya kepemilikan manajerial,
masalah keagenan dapat diminimalisasi.
3. Komite Audit
Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan
pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi
pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam
sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai
penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak
manajemen dalam menangani masalah pengendalian.
Berbagai ketentuan dan peraturan mengenai Komite Audit telah
dibuat, di antaranya tercantum pada :
a. Pedoman Good Corporate Governance (Maret 2001) yang
commit to user
b. Surat Edaran BAPEPAM No. SE-03/PM/2000 yang
merekomendasikan semua perusahaan publik memiliki Komite Audit.
c. KEP-339/BEJ/07-2001, yang mengharuskan semua perusahaan yang
listed di Bursa Efek Jakarta memiliki Komite Audit.
d. KEP-117/M-MBU/2002 yang mengharuskan semua BUMN
mempunyai Komite Audit.
e. KEP-103/MBU/2002 yang mengharuskan semua BUMN mempunyai
Komite Audit.
Komite Audit dibentuk oleh Dewan Komisaris, yang berfungsi
sebagai internal control, pemeriksa dan pengawas proses pelaporan keuangan. Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE-008/BEJ/12-2001,
keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang
termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari
komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari
komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat
sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan
merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang
independen yang menguasai dan mempunyai latar belakang akuntansi dan
keuangan.
Seperti diatur dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan
yang mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit
commit to user
1) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan
dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan
informasi keuangan lainnya,
2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan
perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan,
3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor
internal,
4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi
perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi,
5) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas
pengaduan yang berkaitan dengan emiten,
6) Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan.
Price Waterhouse (1980) dalam McMullen (1996) dalam Siallagan
(2007) menyatakan bahwa investor, analis dan regulator menganggap
komite audit memberikan kontribusi dalam kualitas pelaporan keuangan.
Komite audit meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan
keuangan melalui: (1) pengawasan atas proses pelaporan termasuk sistem
pengendalian internal dan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum,
dan (2) mengawasi proses audit secara keseluruhan. Hasilnya
mengindikasikan bahwa adanya komite audit memiliki konsekuensi pada
laporan keuangan yaitu: (1) berkurangnya pengukuran akuntansi yang
commit to user
dan (3) berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan tindakan
ilegal.
Tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan komite audit dalam
menjalankan tugasnya yaitu 1) kewenangan formal dan tertulis, 2)
kerjasama manajemen dan 3) kualitas/kompetensi anggota komite audit.
Selain itu Effendi (2005) juga menambahkan masalah komunikasi dengan
komisaris, direksi, auditor internal dan eksternal serta pihak lain sebagai
aspek yang penting dalam keberhasilan kerja komite audit. Dengan
kewenangan, independensi, kompetensi dan komunikasi melalui
pertemuan yang rutin dengan pihak-pihak yang terkait, diharapkan fungsi
dan peran dari komite audit lebih bisa berjalan dengan efektif sehingga
dapat mengidentifikasi kemungkinan adanya praktik manajemen laba yang
oportunistik.
4. Manajemen Laba
Berikut adalah beberapa motivasi dan kepentingan manajer dan
pemegang saham yang dapat menyebabkan terjadinya manajemen laba
dalam sebuah perusahaan(Scott, 2000:359-364):
1. Bonuses Purposes
Manajer memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan
commit to user 2. Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan
pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang
dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan
pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation Motivation
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi pelaksanaan
manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi
digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.
4. Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun cenderung menaikkan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk,
mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan ini melakukan manajemen laba
dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.
6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada
investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap
commit to user
Sesuai dengan konsep manajemen laba, pembahasan konsep perataan
laba juga menggunakan kerangka berfikir teori keagenan. Dalam konsep
manajemen laba disebutkan bahwa perataan laba timbul ketika terjadi
konflik kepentingan antara manajemen dan pemilik. Kesenjangan
informasi diantara kedua pihak memicu munculnya perataan laba
(Fudenberg dan Tirole, 1995 dalam Salno dan Baridwan, 2000).
Terdapat dua perspektif mengenai manajemen laba, yaitu perspektif oportunis dan perspektif efisiensi. Manajemen laba sebagai perspektif
efisiensi memberikan fleksibilits kepada manajer perusahaan dalam
melindungi kepentingannya, kepentingan perusahaan dan pihak yang
terkait dengan kontrak yang dilakukan perusahaan. Sedangkan manajer
yang memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kompensasi, kontrak
hutang dan political cost merupakan manajemen laba dengan perspektif oportunis.Manajemen laba dengan perspektif oportunis dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan untuk pengambilan
keputusan.
Ada tiga hipotesis dalam teori akuntansi positif yang dipergunakan
untuk menguji perilaku etis seseorang dalam mencatat transaksi dan
menyusun laporan keuangan.
Motivasi adanya manajemen laba ada tiga (Sulistyanto, 2008), yaitu
commit to user
1. Hipotesis program bonus (bonus plan hypothesis), menyatakan bahwa rencana bonus atau kompensasi manajerial akan cenderung
memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan
membuat laba yang dilaporkannya menjadi lebih tinggi.
2. Hipotesis perjanjian utang (debt/equity hypothesis), menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio antara utang dan ekuitas
lebih besar, cenderung memilih dan menggunakan metode-metode
akuntansi dengan laporan laba yang lebih tinggi serta cenderung
melanggar perjanjian utang apabila ada manfaat dan keuntungan
tertentu yang dapat diperolehnya.
3. Hipotesis biaya politik (political cost hypothesis), menyatakan bahwa perusahaan cenderung memilih dan menggunakan
metode-metode akuntansi yang dapat memperkecil atau memperbesar laba
yang dilaporkannya. Konsep ini membahas bahwa manajer
perusahaan cenderung melanggara regulasi pemerintah, seperti
undang-undang perpajakan, apabila ada manfaat dan keuntungan
tertentu yang dapat diperolehnya. Manajer akan mempermainkan
laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi sehingga alokasi
laba sesuai dengan kemauan perusahaan.
Bentuk-bentuk Manajemen Laba(Rahmawati, 2012:117) adalah:
1. Taking a Bath
Pola ini dijalankan ketika perusahaan dalam kondisi tertekan atau
commit to user
cenderung melaporkan laba bersih yang rendah sekarang dengan
harapan meningkat dimasa yang akan datang. Penelitian Healy
menemukan pola ini pada manajer yang mempunyai laba bersih
dibawah batas bawah.
2. Minimisasi laba
Pola ini dilakukan jika perusaaan dalam kondisi laba yang tinggi
maka untuk mengurangi visibilitasnya dia melakukan kebijakan
minimisasi laba.
3. Maksimasi laba
Pola ini dilakukan jika manajer ingin menaikan bonusnya, dan
dihadapkan pada perjanjian utang yang hampir dilanggar.
4. Perataan laba
Pola ini yang paling sering dilakukan untuk mengantisipasi kondisi
yang akan dihadapi perusahaan. Penelitian Healy menemukan pola
ini juga.
Manajemen laba dibuat memungkinkan karena adanya fakta GAAP
tidak secara lengkap membatasi manajer untuk memilih kebijakan dan
prosedur akuntansi. Pilihan yang banyak dan kompleks lebih menantang
untuk menyeleksi kebijakan dan prosedur yang membuat informasi kepada
investor lebih baik. Pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer sering
didorong oleh pertimbangan strategis seperti halnya kontrak yang
commit to user
dan sebagainya. Akibatnya, pilihan kebijakan akuntansi merupakan ciri
suatu permainan. Konsekuensi ekonomi terjadi ketika perubaan GAAP
mempengaruhi kemampuan manajer untuk memainkan permainan.
Laporan keuangan sesunguhnya merupakan suatu kompromi antara
keinginan dua penguna utama (Rahmawati, 2012:127).
B. PENELITIAN TERDAHULU DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
1. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen laba
Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang
dimiliki oleh institusi (Beiner et al., 2003). Dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki
institusi dari seluruh modal saham yang beredar.
Kepemilikan institusional sebagai salah satu proksi corporate governance memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan
manajemen melakukan manajemen laba. Mekanisme kepemilikan
institusional memberikan tingkat pengaruh terhadap manajemen laba yang
cukup kuat. Ini mengindikasikan bahwa penerapan mekanisme
kepemilikan institusional dapat memberikan kontribusi terhadap tindakan
manajemen laba (Boediono, 2005). Jiamvo dkk (1996), Mitra (2002),
Midiastuty dan Machfoedz (2003) dalam Veronica dan Utama (2005)
commit to user
membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Menurut Boediono
(2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan institusional
secara individual mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap
manajemen laba. Dari temuan tersebut di atas menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang efektif dalam
mengawasi kinerja manajer.
Tetapi menurut penelitian Darmawati yang didukung Veronica dan
Utama (2005) serta Ujiyantho dan Pramuka (2007) tidak menemukan
bukti adanya hubungan antara pengelolaan laba dengan kepemilikan
institusional.
Dari penelitian tersebut, maka kesimpulan hipotesisnya adalah :
Ha1: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
2. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba
Midiastuty dan Machfoedz (2003), melakukan penelitan dengan dua
tujuan yaitu menguji pengaruh mekanisme corporate governance dengan manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accrual dan pengaruh mekanisme corporate governance dengan kualitas laba. Salah satu mekanisme yang diuji adalah kepemilikan manajerial. Penelitian ini
menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan
commit to user
diyakini dapat membatasi perilaku manajer dalam melakukan manajemen
laba.
Penelitian Warfield et al., (1995) dalam Ujiyantho (2007) yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan
manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kualitas laba meningkat
ketika kepemilikan manajerial tinggi. Seperti halnya Ujiyantho (2007)
yang dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Penelitian yang berlawanan
dikemukakan oleh Gabrielsen et al., (2002) dalam Siallagan (2007) yang menguji hubungan antara kepemilikan manajerial dan kandungan
informasi laba serta discretionary accrual. Dengan menggunakan data pasar modal Denmark ditemukan adanya hubungan yang positif tetapi
tidak signifikan antara kepemilikan manajerial dan discretionary accrual dan hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan kandungan
informasi laba. Hal senada juga dikemukan oleh Boediono (2005) dalam
penelitiannya antara pengaruh kepemilikan manajerial secara parsial
terhadap manajemen laba menunjukkan hasil positif bahwa semakin tinggi
tingkat kepemilikan saham oleh manajemen semakin tinggi besaran
manajemen laba yang dilaporkan.
Penulis menduga bahwa semakin besar kepemilikan manajerial maka
commit to user
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan temuan tersebut, maka dapat
ditentukan suatu hipotesis:
Ha2: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
3. Proporsi Dewan Komisaris Independen
Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung
jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan
keuangan. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen
untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya
kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris
diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Dewan
komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka dewan direksi
bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan
perusahaan kepada dewan komisaris (Nasution, 2007). Ujiyantho dan
Pramuka (2007) menyatakan bahwa komisaris independen merupakan
posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta good corporate governance.
Pranata dan Mas’ud (2003) dan Xie Biao, Wallace dan Peter (2003)
dalam Ujiyantho (2007) mereka memberikan kesimpulan dalam
penelitiannya bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan
komisaris yang berasal dari luar atau outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari
commit to user
dengan makin rendahnya penggunaan discretionary accrual. Boediono (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komposisi dewan
komisaris secara parsial memberikan tingkat pengaruh terhadap
manajemen laba yang sangat lemah. Ini mengindikasikan bahwa
komposisi dewan komisaris menjadi mekanisme yang memberikan
kontribusi yang kurang efektif.
Sedangkan hasil penelitian yang berlawanan dikemukakan oleh
Veronica dan Utama (2005). Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa
proporsi dewan komisaris independen tidak terbukti berpengaruh terhadap
manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Sementara Ujiyantho
(2007) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris
independen berpengaruh positif terhadap variabel discretionary accruals. Dari beberapa penelitian tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut :
Ha3 : Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
4. Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap manajemen laba
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan
komisaris perusahaan (Beiner et al., 2003). Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan manajemen, dan memberikan
nasehat kepada manajemen jika dipandang perlu oleh dewan komisaris
(KNKG, 2004). Ukuran dewan komisaris diukur dengan menggunakan
commit to user
Penelitian Allen dan Gale (2000) dalam Beiner et al., (2003) dalam Ujiyantho (2007) menegaskan bahwa dewan komisaris merupakan
mekanisme corporate governance yang penting. Mereka juga menyarankan bahwa dewan komisaris yang ukurannya besar kurang
efektif daripada dewan yang ukurannya kecil. Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan adanya agency problems (masalah keagenan), yaitu
dengan makin banyaknya anggota dewan komisaris maka badan ini akan
mengalami kesulitan dalam menjalankan perannya, diantaranya kesulitan
dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari masing-masing
anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan
tindakan dari manajemen, serta kesulitan dalam mengambil keputusan
yang berguna bagi perusahaan.
Terkait manajemen laba, ukuran dewan komisaris dapat memberi
efek yang berkebalikan dengan efek terhadap kinerja. Hal ini bisa
dimengerti karena sesuai dengan pernyataan Scott (2000) bahwa
melakukan manajemen laba dapat dilaksanakan dengan berbagai cara
salah satunya menurunkan laba (income decreasing earnings management). Untuk itu hubungan yang terjadi antara ukuran dewan komisaris dan manajemen laba harusnya positif, makin banyak anggota
dewan komisaris maka makin banyak manajemen laba yang terjadi
(Nasution, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2007) yang
commit to user
secara signifikan terhadap tindak manajemen laba yang dilakukan dalam
perusahaan perbankan, artinya perusahaan yang memiliki dewan komisaris
dalam jumlah banyak maka tindak manajemen laba yang dilakukan
perusahaan juga semakin banyak. Penelitian ini sejalan dengan Midiastuty
dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris
berpengaruh secara signifikan terhadap indikasi manajemen laba yang
dilakukan oleh pihak manajemen. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan
tanda positif. Hal tersebut berarti makin besar ukuran dewan komisaris
maka makin banyak manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa jumlah komisaris yang lebih sedikit
lebih mampu mengurangi indikasi manajemen laba daripada jumlah
komisaris yang banyak (Nasution, 2007).
Kondisi ini tidak didukung oleh beberapa penelitian diantaranya, Yu
(2006) menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap manajemen laba yang diukur dengan
menggunakan model Modified Jones untuk memperoleh nilai akrual
kelolaannya. Hal ini menandakan bahwa makin sedikit dewan komisaris
maka tindak manajemen laba makin banyak karena sedikitnya dewan
komisaris memungkinkan bagi organisasi tersebut untuk didominasi oleh
pihak manajemen dalam menjalankan perannya
Beberapa penelitian empiris (Dechow et al., 1996; dan Beasley, 1996) telah menemukan hubungan yang signifikan antara peran dewan
commit to user
dan independensi dewan komisaris mempengaruhi kemampuan mereka
dalam memonitoring proses pelaporan keuangan.
Penulis menduga bahwa semakin besar dewan komisaris yang
ditempatkan pada posisi vital akan semakin baik dalam mengawasi
tindakan manajer untuk mengurangi praktik manajemen laba. Berdasarkan
hasil penelitian dan temuan tersebut, maka dapat ditemukan suatu
hipotesis :
Ha4 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
manajemen laba.
5. Pengaruh Komite Audit Independen terhadap manajemn laba
Xie et al., (2003) menguji efektifitas komite audit dalam mengurangi manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini berupa kesimpulan bahwa komite audit yang
berasal dari luar mampu melindungi kepentingan pemegang saham dari
tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen.
Pengaruh terhadap akrual kelolaan ditunjukkan oleh makin seringnya
komite audit bertemu dan pengaruh tersebut ditunjukkan dengan koefisien
negatif yang signifikan.
April Klein (2002) menguji karakteristik komite audit dan board of
commit to user
di bidang keuangan dan manajemen laba. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa keahlian komite audit independen di bidang
keuangan terbukti efektif mengurangi manajemen laba.
Penelitian dengan hasil sebaliknya dilakukan oleh Veronica dan
Utama (2005) yang menguji pengaruh keberadaan komite audit dalam
perusahaan terhadap manajemen laba. Penelitian tersebut melaporkan
bahwa variabel keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba perusahaan. Artinya keberadaan komite audit tidak
mampu mengurangi manajemen laba yang terjadi di perusahaan.
Penulis menduga bahwa semakin besar ukuran komite audit yang
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan
perusahaan akan mampu mengurangi praktik manajemen laba.
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan tersebut, maka dapat ditemukan
suatu hipotesis :
Ha5 : Komite audit independen berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
C. KERANGKA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan enam variabel, yaitu lima variabel
independen dan satu variabel dependen. Variabel independen yang digunakan
commit to user
komisaris independen, ukuran dewan komisaris dan komite audit independen,
sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah manajemen laba.
Berikut ini adalah kerangka penelitian:
Gambar II.1
Kerangka Penelitian
Kepemilikan Institusional
Manajemen Laba Proporsi Dewan
Komisaris Independen Kepemilikan
Manajerial
Ukuran Dewan Komisaris
Komite Audit Independen
H1=(-)
H2=(-)
H3=(-)
H4=(+)