42
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN
KIMIA KELAS XI IPA SMA NEGERI 1 SANGGAU
Erjayantri Nurul Rizki*, Cawang dan Rizmahardian Ashari Kurniawan
Prodi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Muhammadiyah Pontianak Jalan Ahmad Yani No. 111 Pontianak Kalimantan Barat
* Email: [email protected]
ABSTRAK
Kimia memiliki karakteristik berupa konsep abstrak dan teori yang sulit dipahami dan membutuhkan kemampuan berpikir formal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan berpikir formal, hasil belajar, dan hubungan antara keduanya. Siswa kelas XI IPA digunakan sebagai populasi dalam penelitian ini, sedangkan sebanyak 29 siswa dari kelas XI IPA 1 dipilih sebagai sampel. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data kemampuan berpikir formal siswa dikumpulkan menggunakan Test of Logical Thinking (Tobin & Capie, 1981). Hasil yang diperoleh menunjukkan sebanyak 72,41% siswa berada pada tahap kemampuan berpikir formal, sedangkan 24,14% dan 3,45% siswa berada pada tahap transisi dan tahap konkrit secara berturut-turut. Data hasil belajar siswa dianalisis dari ulangan umum semester dan nilai rata-rata siswa sebesar 70,86. Hubungan antara kemampuan berpikir formal dan hasil belajar siswa dianalisis menggunakan pearson product moment. Kemampuan berpikir formal mempengaruhi hasil belajar siswa dengan koefisien korelasi sebesar 0,527 dan koefisien determinasi sebesar 0,2774.
Kata Kunci: Hasil belajar, kemampuan berpikir formal, pembelajaran kimia, Test of Logical Thinking
ABSTRACT
Chemistry is characterized by abstract concepts and theories which is rather difficult and requires
formal thinking skill. This research was aimed to describe student’s formal thinking skill, student’s
learning achievement, and the correlation between of them. Students of XI IPA were used as population of this research, while 29 students from XI IPA 1 were chosen as samples. The
sampling used purposive sampling technichuques. Student’s formal thinking skill data were
collected using Test of Logical Thinking (Tobin and Capie, 1981). The results showed that 72,41% students were in formal thinking stage, while 24,14%, and 3,45% students were in transitional stage
and concrete stage, respectively. Student’s learning achievement data were analyzed from student’s
semester test and it was found that student average score was 70,86. Correlation between student’s formal thinking and student’s learning achievment was analyzed using pearson product moment. It
was concluded that ‘formal thinking ability’ affected student achievement by 0,527 in coefficient
correlation, and 0,2774 in coefficient determination.
43 PENDAHULUAN
Pembelajaran kimia adalah salah satu bidang ilmu yang tergolong Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dan
merupakan pelajaran yang berisikan konsep-konsep, fakta-fakta, dan teori-teori yang menyangkut hitungan dan reaksi kimia yang cukup sulit untuk dipahami oleh siswa. Kesulitan dalam
memahami konsep-konsep kimia
disebabkan menyangkut reaksi-reaksi kimia dan hitungan-hitungan serta
menyangkut konsep-konsep yang
bersifat abstrak dan dianggap oleh siswa merupakan materi yang relatif baru (Sunyono, 2009).
Menurut Diniwati (2011), konsep dalam ilmu kimia secara garis besar dibagi dalam dua kategori yaitu konsep konkrit dan konsep terdefinisi. Konsep konkrit digeneralisasi dari pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau eksperimen, misalnya konsep tentang zat padat dan zat cair. Konsep terdefinisi tidak dapat terbentuk
langsung dari pengamatan karena
keadaan sebenarnya tidak dapat diamati dengan panca indera atau mikroskopik. Konsep mikroskopis adalah konsep yang
ditetapkan oleh para pakar dan
digunakan untuk menjelaskan suatu objek seperti atom, ion, molekul, orbital atau peristiwa abstrak seperti ionisasi garam dalam air, konsep asam lemah dan garamnya pada materi larutan buffer (Sihaloho, 2013).
Menurut Hoffman (Wu, 2000), bahwa karakter yang dimiliki oleh kimia harus ada dalam setiap pembelajaran kimia, misalnya: representasi level makroskopik dapat dilakukan dengan
praktikum yang dapat diamati dengan kasat mata, kemudian representasi level
sub-mikroskopik dapat dilakukan
dengan model gambar atau dengan animasi yang sesuai dan proporsional, serta representasi level simbolik dengan adanya lambang-lambang unsur atau rumus molekul. Ketiga level representasi tersebut dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi kimia semakin mudah untuk dipelajari.
Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan mempelajari kimia pada level pemahaman simbolik dan molekuler dalam kimia (Wu, 2000). Kemampuan intelektual yang tinggi dibutuhkan untuk mempelajari konsep
mikroskopis salah satunya dengan
pencapaian kemampuan berpikir formal siswa. Menurut Piaget kemampuan berpikir formal yaitu kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan menalar secara logis dan terjadi pada seseorang yang berusia 11 tahun sampai dewasa (Trianto, 2007).
Mustofa (2013) mengemukakan
bahwa kemampuan berpikir formal memiliki peranan yang penting dalam membantu siswa memahami suatu konsep-konsep kimia yang cenderung bersifat abstrak maupun mikroskopis yang ditunjukkan oleh proses reaksi kimia yang tidak kasat mata. Menurut
Johnstone (1993), gambaran
makroskopis kimia mencakup berbagai fenomena yang dapat diamati seperti
paku yang berkarat. Gambaran
44
bereaksi dengan molekul oksigen di udara untuk membentuk molekul oksida besi (karat). Gambaran simbolik, cara lain untuk menggambarkan proses perkaratan tersebut adalah dengan menggunakan persamaan kimia seperti 4Fe(s) + 3O2(g) 2Fe2O3(s).
Hasil wawancara dengan guru kimia SMA Negeri 1 Sanggau menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam
memahami konsep-konsep kimia
dibandingkan perhitungan. Tingkat
pemahaman siswa pada konsep-konsep
kimia masih rendah. Hal ini
menyebabkan mata pelajaran kimia dianggap lebih sulit dibandingkan mata pelajaran yang lain. Wawancara lain dengan 3 siswa kelas XI IPA SMAN 1 Sanggau, yaitu siswa dengan hasil belajar rendah, sedang dan tinggi, menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan pada materi kimia yang bersifat konsep. Misalnya, pada materi asam basa, siswa tidak memahami konsep proses perubahan warna pada titrasi.
Kemudian materi struktur atom yang berisikan konsep kimia tentang teori atom Bohr, mekanika kuantum, konfigurasi elektron, dan lain-lain. Konsep-konsep tersebut bersifat abstrak dan mikroskopis sehingga lebih sulit dipahami siswa dibandingkan materi termokimia dan laju reaksi. Materi kimia yang memuat konsep-konsep pada tingkat mikroskopis dapat dipelajari oleh
siswa yang mencapai kemampuan
berpikir formal.
Hasil penelitian oleh Agus (2014) pada siswa kelas XI MIA SMA Negeri 2 Pontianak menunjukkan kemampuan berpikir formal siswa sebesar 10,71%. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Erlina (2011) pada mahasiswa
pendidikan kimia Universitas
Tanjungpura menunjukkan bahwa
sebanyak 6,7% mahasiswa tahun 1 yang telah mencapai kemampuan berpikir formal, 63,3% masih berada pada tingkat transisi dan 10% masih berada pada tingkat konkrit. Penelitian lain oleh Wiseman (1981) di SMU Greenvile menemukan bahwa 50% siswa yang mempelajari kimia belum mencapai kemampuan berpikir formal.
Kemampuan berpikir formal
memiliki peranan yang penting dalam membantu siswa memahami suatu konsep-konsep kimia yang cenderung abstrak maupun mikroskopis. Kesulitan
siswa dalam memahami konsep
mikroskopis dapat menimbulkan
pemahaman yang salah, apabila
pemahaman yang salah ini berlangsung secara konsisten akan menimbulkan
terjadinya salah konsep dan
mengakibatkan hasil belajar siswa rendah.
METODE PENELITIAN
Metode dan Bentuk Penelitian
Metode yang digunakan pada
penelitian ini yaitu deskriptif karena tujuan yang hendak dicapai berhubungan dengan masalah yang diselidiki dengan memberikan gambaran sesuai dengan fakta-fakta yang tampak mengenai antar
variabel. Bentuk penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasi.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
45
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes kemampuan berpikir formal, dokumentasi, dan pedoman wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kemampuan Berpikir Formal
Kemampuan berpikir formal
merupakan bagian penting yang diukur
dalam penelitian ini. Tes yang digunakan berjumlah 29 siswa. Hasil
persentase pada Test of Logical
Thinking yang mempresentasikan
kemampuan berpikir siswa kelas XII IPA 1 pada tingkat perkembangan kognitif operasional formal secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tingkat Kemampuan Berpikir Siswa Kelas XI IPA 1 SMA
Negeri 1 Sanggau
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tersapat 24,14% siswa yang berada pada tahap berpikir transisi dan 3,45% siswa pada tahap berpikir konkrit. Menurut tahap perkembangan berpikir Piaget (Mulyasa, 2009), anak berusia 11
tahun ke atas sudah memiliki
kemampuan berpikir formal sehingga
seluruh siswa kelas XI IPA 1 diperoleh bahwa tidak semua siswa SMA Negeri 1 Sanggau berada pada tahap kemampuan berpikir formal.
Soal tes kemampuan berpikir formal terdiri atas lima kategori yaitu kategori proporsional, identifikasi kontrol variabel, probabilitas, korelasional, dan kombinatorial. Siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sanggau memiliki skor tertinggi pada kategori proporsional.
Tabel 1. Skor Kemampuan Berpikir
Tabel 1. menunjukkan bahwa siswa kelas XI IPA 1 memiliki skor terbesar pada kategori proporsional yaitu soal nomor 1 dan 2. Soal nomor 1 dan 2, menanyakan tentang jumlah jus yang dapat dibuat jika dari buah jeruk diketahui proporsi jumlah jus terhadap jumlah jeruk. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir formal pada aspek proporsi dapat menentukan jumlah jus
jeruk yang dapat dibuat dengan
menghitung proporsi antara jumlah jeruk terhadap jus jeruk yang dihasilkan. Siswa yang tidak dapat menghitung banyaknya jus sebanyak 6 orang dan 7 orang siswa yang benar menjawab proporsi tersebut tetapi tidak dapat
memberikan alasan pemilihan
46
jawabannya yaitu dengan menghitung proporsinya.
Skor terbesar kedua pada kategori kombinatorial yaitu soal nomor 9 dan 10, siswa diminta untuk menentukan kombinasi apa saja yang mungkin terjadi dari suatu kasus yaitu tiga orang pelajar yang dapat dipilih dan lokasi toko disuatu pusat perbelanjaan. Siswa terkecoh dalam menggabungkan tiga
pelajar dari masing-masing kelas
sebanyak 11 orang dan 8 orang siswa masih mengulang nama toko-toko yang sama.
Skor terbesar ketiga pada kategori korelasional yaitu soal nomor 7 dan 8.
Siswa yang memiliki kemampuan
berpikir formal pada aspek korelasional dapat menentukan adanya hubungan yang terjadi antar variabel. Soal tes ini ditentukan hubungan antara tikus gemuk yang memiliki ekor hitam dan tikus kurus memiliki ekor putih dan hubungan antara ikan gemuk dan ikan kurus yang memiliki garis-garis lebar. Siswa
menjawab tikus gemuk cenderung
memiliki ekor hitam dan tikus kurus cenderung memiliki ekor putih dengan alasan yang salah sebanyak 8 orang dan 12 orang siswa tidak dapat mengamati kecenderungan antara ikan gemuk dan ikan kurus yang memiliki garis-garis lebar.
Skor terbesar keempat yaitu
kategori probabilitas pada soal nomor 5 dan 6. Soal tersebut menanyakan kemungkinan biji kacang yang terambil dari sebuah kotak yang berisi 3 biji labu dan 3 biji kacang. Selain itu, siswa diminta untuk menentukan jumlah peluang tanaman bunga yang akan tumbuh berwarna merah jika satu benih ditanam dari sebuah kemasan berisi 21
campuran benih. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir formal pada aspek probabilitas dapat menentukan peluang biji kacang yang terambil dan tanaman bunga yang tumbuh berwarna merah. Siswa tidak dapat menentukan peluang biji kacang yang terambil sebanyak 25 orang dan 19 orang siswa tidak dapat menentukan peluang tanaman bunga yang tumbuh berwarna merah.
Skor terkecil pada kategori
identifikasi kontrol variabel, siswa kesulitan menjawab soal pada nomor 3 dan 4. Kategori identifikasi kontrol variabel yaitu kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam mengidentifikasi variabel kontrol dari beberapa kejadian. Soal tersebut membahas tentang bandul-bandul yang memiliki panjang dan berat bandul yang berbeda. Siswa yang
memiliki kemampuan identifikasi
kontrol variabel dapat mengidentifikasi variabel dari bandul yang diayunkan. Variabel pada soal nomor 3 adalah panjang bandul sedangkan variabel pada soal nomor 4 adalah berat bandul. Siswa tidak dapat menjawab soal nomor 3 sebanyak 28 orang dan 22 orang siswa tidak bisa menjawab soal nomor 4. Siswa tidak teliti dalam mengidentifikasi bandul-bandul yang digunakan untuk mengubah jumlah waktu berdasarkan panjang dan berat bandul. Siswa
menganggap semua bandul perlu
dibandingkan satu sama lain dan jawaban yang tepat adalah panjang bandul bisa jadi berbeda, tetapi berat beban bisa sama.
47
pada kategori probabilitas karena sulit
dimengerti dan dipahami yang
membutuhkan penalaran dan daya
tangkap yang kuat. Soal yang paling mudah menurut siswa adalah nomor 1, 2 pada kategori proporsional, soal nomor 9, dan 10 pada kategori kombinatorial. Menurut siswa, untuk mengerjakan soal nomor 1 dan 2 siswa dapat mengerjakan dengan menggunakan logika dan untuk soal nomor 9 dan 10 siswa hanya membolak-balikkan kata sehingga siswa
dengan mudah mengerjakan soal
tersebut, tetapi ada beberapa siswa yang terkecoh dengan soal nomor 9 yang sebagian besar mengisi penuh kotak tersebut.
2. Hasil Belajar Siswa
Tes hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai ulangan umum kimia yang dilakukan pada tanggal 4 Juni 2015 di SMA Negeri 1 Sanggau tahun ajaran 2014/2015. Soal ulangan umum dibuat oleh dinas pendidikan sehingga tidak dilakukan validasi. Soal ulangan umum terdiri dari 40 soal pilihan ganda dan diberikan kepada kelas XI IPA 1 sebanyak 32 siswa dan data yang digunakan untuk dijadikan sampel sebanyak 29 siswa.
Data nilai hasil ulangan umum siswa kelas XI IPA 1 pada mata
pelajaran kimia dengan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) adalah 70. Berdasarkan data rekapitulasi nilai kimia siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sanggau Tahun Ajaran 2014/2015 diperoleh nilai rata-rata siswa 70,86 dan tergolong kategori tinggi.
Tabel 2. Persentase Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Tabel 2. menunjukkan bahwa masih ada siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 sanggau belum menguasai materi kimia kelas XI. Hal ini dibuktikan dari hasil
nilai ulangan umum kimia yang
48
dan soal nomor 31 sampai 40 adalah materi koloid.
Hasil wawancara dengan siswa, salah satu materi yang sulit dipahami oleh siswa adalah hidrolisis garam dan larutan penyangga. Hasil analisis jawaban siswa yang diperoleh saat ulangan umum bahwa siswa mengalami kesulitan soal nomor 7, 8, 15, 18, 19, 26,
penyangga dapat dibuat dengan
mencampurkan 100cm3 larutan
CH3COOH 0,2M dengan larutan yang
belum diketahui. Hasil analisis jawaban siswa diperoleh hanya beberapa siswa yang menjawab benar 100 cm3 NaOH 0,1M.
Soal nomor 18 pada materi larutan penyangga yaitu menentukan harga pH larutan penyangga dan sistem yang bekerja mempertahankan pH darah. Beberapa siswa menjawab sistem yang bekerja mempertahankan pH adalah HCOOH dan HCOO, dan jawaban yang benar untuk sistem yang bekerja dalam tubuh manusia yaitu H2PO4- dan HPO42-.
Soal nomor 19 yaitu pengujian larutan
garam yang mengalami hidrolisis
menggunakan uji lakmus, beberapa siswa menjawab salah bahwa garam yang mengalami hidrolisis dan sesuai
dengan uji lakmus adalah KCN,
CH3COONa, dan CaF2. Soal nomor 26
yaitu mengetahui hasil kali kelarutan
(Ksp) CaSO4 dalam air murni dan hasil
jawaban siswa diperoleh ksp sebesar 4,0×10-7. Soal nomor 27 pada materi ksp
yaitu menentukan harga kelarutan
Ag2CO3 dalam air murni, dan beberapa
siswa menjawab hasil kelarutan adalah 2s2. Soal nomor 32 pada materi koloid yaitu menentukan koloid dengan fase pendispersi gas dan fase terdispersi cair. Hasil analisis jawaban siswa bahwa koloid tersebut merupakan sol dan jawaban yang benar adalah aerosol.
3. Hubungan antara Kemampuan Berpikir Formal dan Hasil Belajar Siswa
Hubungan antara kemampuan
berpikir formal dan hasil belajar siswa diketahui dengan melakukan uji korelasi antara skor kemampuan berpikir formal dengan skor hasil belajar siswa. Sebelum uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji kemampuan berpikir formal dan hasil belajar siswa terdistribusi secara normal. Hasil ini diperoleh dari nilai signifikansi kemampuan berpikir formal yang lebih besar 0,05 yaitu 0,187 dan nilai signifikansi hasil belajar kimia yang lebih besar 0,05 yaitu 0,200.
Hasil uji normalitas kemampuan berpikir formal dan hasil belajar siswa berdistribusi normal maka langkah selanjutnya dapat dilakukan uji statistik parametrik menggunakan uji korelasi
pearson product moment. Hasil
perhitungan menunjukkan nilai
signifikansi yang diperoleh 0,003, nilai korelasi (r) sebesar 0,527, dan R square
0,2774. Nilai signifikansi ˂ 0,05
menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak yang artinya terdapat
49
kemampuan berpikir formal dan hasil belajar kimia. Bentuk hubungan antara kemampuan berpikir formal dan hasil belajar ditunjukkan oleh harga koefisien korelasi yang bernilai positif, koefisien
korelasi yang bernilai positif
menunjukkan bahwa semakin tinggi
kemampuan berpikir formal maka
semakin meningkat hasil belajar siswa,
dan semakin rendah kemampuan
berpikir formal siswa maka semakin rendah juga hasil belajar siswa. Hasil uji korelasi antara kemampuan berpikir formal (X) dan hasil belajar siswa (Y) adalah 0,527 termasuk dalam kategori sedang. Koefisien determinasi variabel kemampuan berpikir formal (X) dengan
hasil belajar siswa (Y) dengan
pengolahan data menunjukkan R square 0,2774. R Square 0,2774 merupakan besarnya koefisien determinasi.
Koefisien determinasi menunjukkan besarnya pengaruh kemampuan berpikir formal terhadap hasil belajar yaitu 27,74%. Besarnya kontribusi yang diberikan kemampuan berpikir formal
terhadap hasil belajar kimia
menunjukkan bahwa pentingnya
kemampuan berpikir formal siswa dalam pembelajaran kimia yang berdampak pada hasil belajarnya.
Gambar 2. Sebaran Data Hubungan antara kemampuan berpikir formal dan
hasil belajar siswa
Gambar 2 mengkonfirmasi
hubungan antara kemampuan berpikir formal dan hasil belajar. Persamaan garis menunjukkan semakin tinggi kemampuan berpikir formal siswa maka semakin tinggi hasil belajar siswa dan semakin rendah kemampuan berpikir formal siswa maka semakin rendah hasil
belajar siswa. Hubungan antara
kemampuan berpikir formal dan hasil belajar kimia yang ditunjukkan dengan titik-titik yang teratur.
Kemampuan berpikir formal
dibutuhkan dalam pembelajaran kimia, misalnya kemampuan berpikir formal pada kategori proporsional dibutuhkan
siswa untuk menghitung mol
menggunakan perbandingan koefisien. Kategori identifikasi kontrol variabel
dibutuhkan untuk menentukan
perubahan pH larutan dari larutan asam yang memiliki konsentrasi sama tetapi
jenis larutan berbeda. Kategori
probabilitas dibutuhkan untuk
menentukan peluang terbentuknya
endapan dari pencampuran sebanyak 10 mL larutan CaCl2 0,2 M dicampur
dengan 10 mL larutan NaOH 0,02 M. Kategori korelasional dibutuhkan untuk mengetahui hubungan dari larutan asam yang memiliki konsentrasi berbeda dan jenis larutan sama dapat mempengaruhi
pH larutan asam. Kategori
kombinatorial, misalnya menyebutkan kombinasi garam yang terbentuk dari asam kuat, basa kuat, asam lemah dan basa lemah.
50
tersebut kesulitan pada soal nomor 29 dalam kategori kemampuan berpikir formal yaitu probabilitas. Soal nomor 29 yaitu sebanyak 200 mL larutan AgNO3
0,02 M, masing-masing di masukkan ke dalam 5 wadah yang berisi 5 jenis larutan yang mengandung ion S2-, PO43-,
CrO42-, Br-, dan SO42- dengan volum dan
molaritas yang sama.
Siswa yang memiliki hasil belajar yang rendah yaitu 45 dan kemampuan berpikir formalnya yaitu 3, siswa tersebut dapat mengerjakan soal dalam kategori proporsional dan identifikasi kontrol variabel. Salah satu contoh soal dalam kategori proporsional pada nomor
12 yaitu menentukan konsentrasi
CH3COOH yang dititrasi dari
CH3COOH dan NaOH 0,1 M telah
diketehui volumnya. Hasil belajar siswa tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kemampuan berpikir formal. Hal ini ditunjukkan bahwa ada data siswa dengan nilai ulangan kimia rendah yakni 62,5, sedangkan kemampuan berpikir formal lebih tinggi yaitu 8. Siswa yang memiliki nilai ulangan tinggi yaitu 72,5 sedangkan nilai kemampuan berpikir formal sangat rendah yaitu 1.
Hasil penelitian Oloyede (1998)
bahwa penalaran formal memiliki
korelasi terkuat dengan prestasi sains. Shayer (1994) menunjukkan bahwa
kemampuan penalaran operasional
secara signifikan memiliki hubungan dengan prestasi belajar. Bello (1993) mengatakan bahwa penalaran formal memiliki korelasi positif dengan prestasi
sains. Tobin dan Capie (1982)
mengemukakan bahwa siswa yang telah belajar proses keterampilan berpikir analitis lebih sukses dalam memecahkan masalah. Penelitian ini menunjukkan
bahwa ada hubungan positif antara kemampuan penalaran formal, proses keterampilan sains dan prestasi kimia.
Hasil penelitian Sofya di seluruh Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri
di kota Bandar Lampung yang
menunjukkan bahwa berdasarkan
pernyataan siswa, diperoleh sebanyak
87,4% siswa menyukai penyajian
konsep kimia disertai sajian gambar; 81,9% siswa menyatakan membutuhkan sumber belajar lain untuk memahami konsep kimia mikoskopik, 84,6% siswa
menyatakan menyukai penjelasan
konsep kimia dilengkapi dengan gambar bergerak atau berputar di sekolah, 54,6%
siswa membutuhkan ketersediaan
sumber belajar berupa gambar bergerak atau berputar di sekolah, 83,7% siswa membutuhkan gambar berputar atau bergerak untuk membantu memahami
konsep kimia dan 83,5% siswa
menyukai penyajian konsep kimia
disertai penggunaan model kimia untuk memahami konsep kimia (Mustofa, 2011).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Sanggau kelas XI IPA pada mata pelajaran kimia, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kemampuan berpikir formal siswa kelas XI IPA sebanyak 21 orang siswa dengan persentase 72,41% siswa sudah mencapai kemampuan berpikir formal, sedangkan 7 orang siswa masih berada pada tahap transisi dengan persentase 24,14% dan 1 orang siswa dengan persentase 3,45% masih berada pada tahap konkrit
51
umum dengan nilai rata-rata 86
termasuk ke dalam kategori tinggi.
3. Terdapat hubungan antara
kemampuan berpikir formal dan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sanggau dengan koefisien korelasi sebesar 0,527.
DAFTAR PUSTAKA
Bello, O. O. (1993). Secondary school
chemistry students’ reasoning
skills and performance in
chemistry. Journal of the Science Teachers Association of Nigeria. 28(1&2): 177-181.
Chang, R. (2005). Kimia Dasar Konsep 2 Inti. Jakarta: Erlangga.
Erlina. (2011). Deskripsi Kemampuan
Berpikir Formal Mahasiswa
Pendidikan Kimia Universitas
Tanjungpura. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan: 631-640.
Mustofa. (2013). Hubungan Antara Kemampuan Berpikir Formal dan Kecerdasan Visual-Spasial dengan
Kemampuan Menggambarkan
Bentuk Molekul Siswa Kelas XI MAN Model Gorontalo Tahun Ajaran 2010/2011. Jurnal Entropi. VIII (1): 551-560.
Mulyasa, E. (2009). Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Tobin, K. & Capie, W. (1981). The Development and Validation of a Group Test of Logical Thinking. Educational and Psychological Measurement. 41: 413-423.
Tobin, K. & Capie, W. (1982). Relathionships Between Formal
Reasoning Ability, Locus of
Control, Academic engagement
and Integrated Process Skill Achievement. Journal of Research in Science Teaching. 19 (2): 113-121.
Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wiseman, F. L. (1981). The Teaching of
Collage Chemistry, Role of
Student Development Level.
Journal of Chemical Education. 58 (6): 484-488.
Wu, H. K. et al. (2000). Promoting
Understanding of Chemical
Representation: Students’Use of a
Visualization Tool in the