• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI AL QARD DALAM LEMBAGA KEUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI AL QARD DALAM LEMBAGA KEUAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI AL-QARD DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

DITINJAU DARI PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH KONTEMPORER

disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Mu’amalah Kontemporer

Dosen Pengampu Imam Mustofa, M.S.I

Oleh:

Tika Septiana 141274110

Semester VI

Kelas B

PROGRAM STUDI S1-PERBBANKAN SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

METRO

(2)

1

KETENTUAN AKAD Qard

A. Ketentuan dan Persyaratan Terkait Akad Qard (ضرق)

Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan

ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan

ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi.

Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial untuk pengembangan

perekonomian masyarakat.

Hukum Islam mengenai utang piutang atau pinjam meminjam termasuk

dalam kategori fiqh mu’amalah. Dengan demikian prinsip-prinsip Islam yang

diterapkan dalam utang piutang atau pinjam meminjam ini adalah prinsip-prinsip fiqh mu’amalah. Sehingga pengetahuan prinsip fiqh mu’amalah ini penting terutama untuk melakukan kajian terhadap transaksi ekonomi modern saat ini

ditinjau dari perspektif fiqh.

Hukum qard (ضرق) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang

makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara

mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan. Seperti

jika seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia

mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya

untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia

tidak boleh berhutang. Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa

dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan

agar dirinya tertolong dari kelaparan.1

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.

Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa

pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala

barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu pinjam meminjam sudah menjadi bagian

dari kehidupan di dunia.2

1

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqh Muamalah, terj. Miftahul Khair, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), h.157-158

(3)

2

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat syarat

yang harus dipenuhi dalam akad qard, yaitu:3

1. Akad qard dilakukan dengan sigat ijab dan kabul atau bentuk lain yang

dapat menggantikannya, seperti muatah (akad dengan tindakan /saling

memberi dan saling mengerti);

2. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal, baligh

dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat ini, maka qard sebagai akad

tabarru' (berderma/sosial), maka akad qard yang dilakukan anak kecil,

orang gila, orang bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak

sah.

3. Menurut kalangan Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta yang

ada padannya dipasaran, atau padanan nilainya (mitsli), sementara menurut

jumhur ulama, harta yang dipinjamkan dalam qard dapat berupa harta apa

saja yang dapat dijadikan tanggungan;

4. Ukuran, jumlah, jenis, dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas

agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan

diantara para pihak yang melakukan akad qard.

Penjelasan Wahbah al-Zuhaili mengenai garis besar dari keempat syarat

tersebut tentunya mengacu pada perihal pemberian utang atau menerima pinjaman

dari pihak lain yang harus dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan

ketika transaksi sesuai dengan sigat ijab dan kabul, dimana subjek/ pihak pemberi

atau mennerima sesuai kriteria terhadap kecakapan hukum dengan objek yang

dapat disepadankan nilai maupun jumlahnya sehingga jelas kualitas dan kuantitas

objeknya.

Al-Zuhaili juga menjelaskan ada dua syarat lain dalam akad qard,

pertama, qard tidak boleh mendatangkan keuntungan atau manfaat bagi pihak

(4)

3

Pasal 612 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menyembutkan

bahwa pihak peminjam harus mengembalikan pinjamannya sebagaimana waktu

yang telah ditentukan dan disepakati olehh para pihak. Namun, dalam qard pihak

peminjam tidak mengulur-ulur waktu pengembalian pinjaman ketika dia sudah

mampu untuk mengembalikan.

Ketentuan lain adalah Pasal 614 KHES yang menyebutkan bahwa dalam

akad qard, pihak yang meminjamkan dapat meminta jaminan kepada pihak yang

meminjam. Hal ini diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan pinjaman atau

(5)

4

Dalam mekanisme qardul hasan kedua belah pihak melakukan akad

qardul hasan yang kemudian pihak pemberi pinjaman memberikan sejumlah

pinjaman kepada pihak peminjam. Selanjutnya dana tersebut digunakan pihak

kedua untuk dimanfaatkan pada kegiatan produktif, dari kegiatan usaha yang

dijalankan pihak kedua menghasilkan keuntungan (keuntungan tersebut murni

diambil oleh pihak kedua karena akad yang digunakan adalah akad taarru’ atau

pinjaman yang hanya mengembalikan pokok pinjaman saja). Setelah jangka

waktu yang telah disepakati kedua belah pihak maka pokok modal dikembalikan

kepada pihak pertama selaku pemberi pinjaman.6

Berbagai rukun, syarat maupun ketentuan yang telah dijelaskan diatas

harus terpenuhi dalam akad qard. Dengan demikian, pada dasarnya dalam konteks

pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasari niat yang tulus

sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Sehingga hukum Islam

mengatur kegiatan mu’amalah untuk menjelaskan sah atau tidaknya dengan

konteks harus terpenuhinya rukun, syarat maupun ketentuannya sesuai hukum

yang berlaku.

Qard merupakan pemberian hak kepemilikan barang dengan

pengembalian barang yang serupa. Penjelasan ini dengan ketentuan diatas harus

sesuai catatan, bahwa:7

1. Atas kesepakatan kedua pihak, pembayaran utang boleh diganti

dengan jasa atau barang lain yang tidak serupa dengan jenis utangnya,

seperti halnya dibayar beras, lalu ganti dibayar dengan uang atau

pekerjaan tertentu dan sebagainya.

2. Jika si pemberi hutang ditengah akad meminta keutungan barang atau

jasa apapun kepada orang yang diutanginya, maka haram karena

termasuk riba qard. Namun dengan catatn jika yang berutang

berinisiatif sendiri sendiri untuk memberi kemanfaatan yang lebih dari

6

Eja Armaz Hardi, Analisis Pemberdayaan Masyarakat Muslim Miskin Melalui Qardul Hasan, h.8

(6)

5

utangnya, maka sunnah. (Muhhamad Nawawi al-Jawi, Nihayat

al-Zayn).

3. Khusus untuk hutang zaman sekarang, ulama berbeda pendapat apakah

harus mengembalikan sesuai nilai nominalnya (mitsli) atau nilai

harganya (qimah). Perbedaan ini karena adanya perbedaan sifat antara

dinar-dirham dengan mata uang sekarang.

a. Menurut Abu Hanifah, dan pendapat masyur dari malikiyah,

Syafi’iyyah dan Hanabalah, wajib mengembalikan utang sesuai

nilai nominalnya (mitsli), seperti utang Rp 10.000; maka harus

mengembalikan Rp 10.000;, sebab penjelasan hadis hanya

mengarah pengembalian secara mitsli meskipun harganya berubah,

seperti beras maka harus mengembalikannya beras sejenis/sama.

b. Menurut Abu Yusuf dan beberapa ulama kontemporer seperti

Muhammad Sulayman al-Asyqar wajib mengembalikan sesuai

nilai harganya (qimah), karena jika mengalami inflasi dan harus

mengembalikan mitsli maka akan banyak orang yang enggan

menghutangi sehingga semakin sulit orang lain untuk berhutang

memenuhi kebutuhannya. Alasan lain adalah uang kertas tidak bisa

disamakan dengan dinar-dirham (yang harus dilunasi dengan mitsli

seperti1 dinar dilunasi 1 dinar) sebab mata uang ini memiliki sifat

yang berbeda.

c. Sebagaimana pendapat dari Malikiyah memilih hukum, jika kadar

inflasi itu kecil maka tetap mengembalikannya mitsli. Namun jika

kadar inflasi itu banyak maka dengan qimah. Meski demikian,

belum ditemukan keterangan beberapa standar persentase besar

kecilnya inflasi itu.8

Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi

pertama, dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang

membutuhkan. Kedua, dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu

(7)

6

dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan

sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.9

B. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-qard

Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang

pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh

juga di tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan

terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah

keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.10

Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti

adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam

menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal

batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah

ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal.

Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.11

C. Ketentuan akad Qard berdasar pada Fatwa DSN MUI

Secara mendasar, karena sifat dan tujuan qard adalah tolong menolong,

maka transaksi ini terlepas dari unsur komersial dan usaha yang berorientasi pada

keuntungan (profit orientit). Dengan pengertian lain Qard adalah harta yang

diberikan seseorang dari harta mitsli (yang memiliki perumpamaan) untuk

kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qard

adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada

orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.12

Pelaksanaan program al-qard didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia

(PBI) No. 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi

bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip

9 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h.277 10

Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5, h.378

11 Ibid., h. 378.

(8)

7

Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta

Pelayanan Jasa Bank Syariah.13

Seperti dijelaskan dalam Fatwa DSN MUI Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001

tentang Al-Qardh. Ketentuan Umum al-Qardh:14

1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)

yang memerlukan.

2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada

waktu yang telah disepakati bersama.

3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan

sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh

kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan

ketidakmampuannya, LKS dapat:

a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Dengan ketentuan lain, bahwasanya:

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

Dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur tersebut, jika nasabah dalam

hal ini tidak dapat mengembalikan atau terjadinya wanprestasi. LKS dapat

memberikan sanksi kepada nasabah jika:15

13 Muhammad Imam Purwadi, Al-qard dan Al-qardul Hasan sebagai Wujud Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perbankan Syariah (2014), h.36

(9)

8

1. Ketika nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian

atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS

dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah;

2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1

dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan. Jika

barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi

kewajibannya secara penuh.

Al-qardh dan al-qardhul hasan merupakan misi sosialperbankan syariah.

Misi sosial ini sebagai upaya tanggung jawab sosial perbankan syariah yang

bertujuan meningkatkan citra bank, meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap

bank syariah, dan menumbuhkan pemberdayaan masyarakat. Hal ini, senada

dengan perspektif ajaran Agama Islam, bahwa aktivitas finansial dan perbankan

dalam dunia modern seperti sekarang ini mengandung dua prinsip, yaitu prinsip

al-ta’awun.16

Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank.

Dananya bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh

bank dari para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank

kemudian membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan

qardh. Kriteria tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan

kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang

diberikan adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk

konsumtif. Adapun cara pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar

sekaligus. Jika pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara

bergulir tanpa tambahan secara komersil atas hutang.

Dengan demikian para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qard

dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan

transaksi komersil. Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan

untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman

15 Ibid., h.413

(10)

9

murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun

demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut,

kecuali jika bank mengikhlaskannya.17

(11)

10

DAFTAR PUSATAKA

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. 2009. Ensiklopedi Fiqh Muamalah, terj.

Miftahul Khair. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif.

Adiwarman Karim. 2010. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 4.

Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Ahmad Wardi Muslich. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah.

Andi Ali Akbar. 2014. Prinsip-prinsip Dasar Transaksi Syari’ah. Jawa Timur:

Yayasan PP. Darussalam Blokagung.

Djamil, Fathurahman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi Di

Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika.

Fahri Ghafur. 2010. Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Mizan Publika.

Farid Budiman. 2013. “Karateristik Akad Pembiayaan”, Karateristik Akad Al-Qard Sebagai Akad Tabarru’

Hedi Suhendi. 2002. Fikih Muamalat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Imam Mustofa. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafido Persada.

Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori kePraktik. Depok: GEMA INSANI.

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis faktor-faktor pendukung produktivitas alat gali muat seperti cycle time alat gali muat,

Upaya pengembangan ekonomi kerakyatan membutuhkan dukungan sektor lain, seperti sektor perbankan, industri, pertanian, perikanan, dan lain-lain, yang dapat mendorong sektor-sektor

Hasil rekonstruksi tengkorak manusia dari situs Batujaya yang berasal dari periode prasejarah yang dikenal dengan Komplek Tembikar Buni.. Kerangka manusia yang diletakkan di

Instalasi CSSD melayani semua unit di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, mulai dari proses perencanaan, penerimaan barang, pencucian, pengemasan &

Kota Pagar Alam Ogan Komering Ulu Selatan6. Ogan Komering

Schoenian (2005).menyatakan kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazer) Kerbau kurang memilih dalam mencari makan dan oleh karena itu mengkonsumsi dalam jumlah besar pakan

‐ Tingkat persaingan yang tinggi dengan buah- buahan lain yang lebih populer sebagai produk subtitusi, baik produksi lokal maupun impor. Saluran Distribusi ‐ Letak yang

“Sistem Informasi Perpustakaan adalah suatu cara yang digunakan untuk mempermudah pihak manajemen/karyawan dalam proses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan