• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN KOTA BESI, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EPIDEMIOLOGI FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN KOTA BESI, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS LIMFATIK

DI KECAMATAN KOTA BESI, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

Budi Setiawan*1, Soeyoko2, Tri Baskoro T Satoto2

Abstract

In Southeast Asia as much as 60% of the population has been infected with filariasis. In Indonesia, according to Indonesia's health profile, each year occur increase cases of filariasis. In 2008 as many as 11.699 cases has been reported. Distribution of the disease tends to spread in rural areas makes epidemiological datas needed to filariasis elimination program be limited. The research aims to find out filariasis vector species and their bionomic aspect, to find out the cause of lymphatic filariasis microfilariaee species and to find out the clinical symtoms of human patients with lymphatic filariasis. This research conducted from February to June, 2011. This research is a descriptive observational study, the sample size 386 samples of citizens who are willing to be respondent and to have blood drawn. Capillary blood sampling did at night by such sampling loop coils. Collecting mosquitoes did 10 times by people indoor and outdoor as bait, using light traps and in the morning. 386 peripheral blood samples were examined, there are 4 people who mikrofilaremia, the average density of microfilariaee in the blood 4.45 and had found filarial species Brugia malayi. Periodicity of microfilariae are periodic nocturnal with harmonic waves and some are nocturnal sub-periodic with the non harmonic waves. Mf rate is 1.04%, Acute Disease Rate is 5.44%, while Cronic Disease Rate is 0%. The five months results of the collecting vector mosquitoes gained as many as 23.194 heads, most mosquitoes are Mansonia uniformis (25.60%) and then Ma. Bonneae (20.70%), Culex tritaeniorhynchus (19.41%), An. maculatus (16.75%), An. balabacensis (15.27%), Ae. albopictus (1.39%), Ae. aegypti (0.88%). The highest density was caught in June with peak biting activity at 09:00 p.m to 10:00 p.m, however, in this study found no larva 3 (L3) in the body mosquitoes were examined, so it needs to be done experiments in laboratory using membrane feeding. Filariasis occurring in Kotabesi are lymphatic filariasis caused by Brugia malayi, an infection in the evening related to the behavior of mosquitoes that may act as vectors.

Key words : Brugia malayi, Lymphatic filariasis, Periodisity, Mansonia uniformis

1

Center for Tropical Medicine, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

2

Departement of Parasitology, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University,Yogyakarta

Email : budisetiawan_epidemiologi@yahoo.com; tribaskorots@yahoo.com

(2)

LYMPHATIC FILARIASIS EPIDEMIOLOGY

IN KOTA BESI SUBDISTRICT, KOTAWARINGIN TIMUR DISTRICT CENTRAL BORNEO PROVINCE

Abstrak

Di Kawasan Asia Tenggara sebanyak 60% penduduk telah terinfeksi filariasis. Di Indonesia, berdasarkan profil kesehatan Indonesia, setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus filariasis. Pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 11.699 kasus. Distribusi penyakit yang cenderung tersebar di wilayah pedalaman menjadikan data – data epidemiologi yang dibutuhkan untuk program eliminasi filariasis menjadi terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesies vektor filariasis beserta aspek bionomiknya, mengetahui spesies mikrofilaria penyebab filariasis limfatik dan mengetahui gambaran klinis manusia penderita filariasis limfatik. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif, jumlah sampel sebanyak 386 sampel warga yang bersedia menjadi responden dan diambil darahnya. Pengambilan darah kapiler dilakukan pada malam hari dengan cara pengambilan sampel seperti lingkaran obat nyamuk bakar. Penangkapan nyamuk dilakukan sebanyak 10 kali menggunakan umpan orang dalam rumah dan luar rumah, menggunakan light trap serta pada pagi hari. Penelitian yang dilakukan dari Februari hingga Juni mendapatkan 386 sampel darah, jumlah ini dibawah target awal karena banyak penduduk yang tidak bersedia diambil darahnya. Dari 386 sampel darah tepi yang diperiksa terdapat 4 orang yang mikrofilaremia, kepadatan rerata mikrofilaria dalam darah sebesar 4,45 dan spesies filaria yang ditemukan adalah Brugia malayi. Periodisitas mikrofilaria berdasarkan analisis Das & Aikat (1976) ada periodik nokturnal dengan sifat gelombang harmonik dan ada pula yang sub-periodik nokturnal dengan sifat gelombang non harmonik. Mf rate sebesar 1,04%, Acute Disease Rate sebesar 5,44%, sedangkan

Cronic Disease Rate 0%. Hasil penangkapan vektor selama 5 bulan memperoleh nyamuk

sebanyak 23.194 ekor, nyamuk paling banyak tertangkap adalah Mansonia uniformis (25,60%) kemudian Ma. Bonneae (20,70%), Culex tritaeniorhynchus (19,41%), An.

maculatus (16,75%), An. balabacensis (15,27%), Ae. albopictus (1,39%), Ae. aegypti

(0,88%). Kepadatan paling tinggi pada bulan Juni dengan puncak aktivitas menggigit pada pukul 21.00 – 22.00, namun, dalam penelitian ini tidak ditemukan larva 3 (L3) dalam tubuh nyamuk yang diperiksa, sehingga perlu dilakukan percobaan di labratorium dengan menggunakan membrane feeding. Filariasis yang terjadi di Kotabesi merupakan filariasis limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi, terjadinya infeksi pada malam hari terkait dengan perilaku nyamuk yang kemungkinan berperan sebagai vektor.

Kata kunci: Brugia malayi, Filariasis limfatik, Periodisitas, Mansonia uniformis

PENDAHULUAN

Filariasistelah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5 penduduk dunia atau 1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis1. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama di kawasan Asia Tenggara karena 60% lebih menginfeksi penduduk dikawasan tersebut, sedangkan 30% lebih terjadi di kawasan Afrika2.

Data profil kesehatan Indonesia menunjukkan setiap tahun terjadi peningkatan kasus filariasis. Tahun 2008 untuk wilayah Kalimantan, jumlah penderita terbanyak berada di Propinsi Kalimantan Timur (409 kasus), Propinsi Kalimantan Selatan (385 kasus), Propinsi Kalimantan Barat (253 kasus) dan Propinsi Kalimantan Tengah (225 kasus)3.

(3)

kabupaten tersebut, sebanyak 7 kabupaten dapat ditemukan kasus filariasis. Ketujuh kabupaten yang dapat ditemukan kasus filariasis pada tahun 2007 adalah, Kabupaten Kotawaringin Timur (157 kasus), Kabupaten Kotawaringin Barat (28 Kasus), Kabupaten Seruyan (27 kasus), Kabupaten Kapuas (25 kasus), Kabupaten Barito Selatan (10 Kasus), Kabupaten Gunung Mas (4 kasus), Kabupaten Katingan (2 kasus), dan terakhir Kabupaten Sukamara (1 kasus)4. Kecamatan Kota Besi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan daerah endemis filariasis, yang ditandai dengan angka microfilaria rate diatas 1%5.

Di Kecamatan Kota Besi, Desa Pamalian merupakan desa yang paling banyak ditemukan kasus filariasis, dari 51 kasus yang ditemukan, 2 kasus diantaranya terjadi pada penduduk golongan umur 6-14 tahun. Hal ini kemungkinan terkait dengan kondisi lingkungan desa tersebut yang merupakan desa terpencil dengan banyak terdapat hutan dan rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman air. Kondisi ini sangat mendukung perkembangbiakan vektor filariasis, khususnya Mansonia sp yang habitatnya di rawa-rawa. Program eliminasi filariasis yang berhasil membutuhkan identifikasi transmisi penularan yang akurat, strategi surveilans yang komprehensif untuk mendeteksi sumber penularan, dan kampanye pengobatan masal melalui pendekatan budaya serta pendidikan6. Rendahnya minat penelitian penyakit ini menyebabkan banyak daerah-daerah di luar Jawa khususnya di Kalimantan Tengah belum mempunyai data epidemiologi filariasis yang lengkap, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies vektor filariasis beserta aspek bionomiknya, mengetahui spesies mikrofilaria penyebab filariasis limfatik dan mengetahui gambaran klinis manusia penderita filariasis limfatik.

METODE PENELITIAN

(4)

HASIL PENELITIAN

1. Vektor Filariasis Limfatik

Hasil penangkapan yang dilakukan selama 5 bulan diperoleh berbagai spesies nyamuk, tetapi dari seluruh nyamuk yang diperiksa tidak ditemukan adanya larva 3 (L3) sehingga belum dapat dikatakan bahwa nyamuk yang tertangkap tersebut sebagai vektor utama filariasis di Desa Pamalian, nyamuk tersebut hanya sebagai vektor potensial. Penangkapan nyamuk dilakukan pada malam hari dan pagi hari.

Kepadatan vektor untuk setiap spesies nyamuk yang ditemukan di Desa Pamalian dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah dan Spesies Nyamuk Yang Tertangkap Dengan Berbagai Cara Penangkapan di Desa Pamalian (Bulan Februari – Juni 2011)

Species UOD DD UOL KD LT PG Total

Ma. Uniformis 1748 851 2727 0 588 15 5929

Ma. Bonneae 1343 640 2298 0 500 21 4802

An. Maculatus 1246 630 1651 0 328 32 3887

An.balabacensis 1146 791 1291 0 282 34 3544

Ae. Albopictus 0 0 0 0 67 257 324

Ae. Aegypti 0 0 0 0 36 169 205

Cx.tritaeniorhynchus 1705 882 1638 0 237 41 4503

Total 7188 3794 9605 0 2038 569 23194

Keterangan:

UOD : Umpan Orang Dalam DD : Dinding Dalam Rumah UOL : Umpan Orang Luar KD : Kandang

LT : Light Trap

PG : Pagi Hari

2. Spesies Mikrofilaria

Hasil pemeriksaan darah jari pada 386 orang penduduk yang ada di Desa Pamalian, ditemukan Brugia malayi sebagai penyebab filariasis limfatik yang ada di daerah tersebut. Di bawah ini merupakan mikrofilaria yang ditemukan pada salah satu penderita filariasis yang ada di Desa Pamalian (Gambar 1).

Gambar 1. Microfilaria Di Dalam Darah Penduduk Di Desa Pamalian

Microfilaria rate (Mf) rate yang didapatkan dari penelitian ini adalah 1,04%. Hasil ini

menunjukkan bahwa di Desa Pamalian merupakan desa yang endemis filariasis limfatik karena nilai mf rate nya diatas 1%. Penderita yang positif mikrofilaremia pada saat survei

ekor selubung

(5)

darah jari, yang secara sukarela bersedia untuk berpartisipasi dalam pemeriksaan sifat periodisitas sebanyak empat orang dari total empat orang penduduk yang positif mikrofilaremia.

Pemeriksaan periodisitas hanya dilakukan satu kali, mengingat keterbatasan dana dan tenaga, sehingga dalam penelitian ini tidak dketahui apakah ada perubahan sesudahnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi tidak selalu dijumpai pada setiap waktu pemeriksaan selama 24 jam, tetapi lebih cenderung ditemukan pada malam hari setelah pukul 18.00. Hasil ini juga dapat terlihat pada gambar 2, yang memperlihatkan puncak kepadatan mikrofilaria berada pada sekitar pukul 22.00 waktu setempat.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah mikrofilaria keseluruhan (Y) berturut-turut dari penderita pertama sampai penderita keempat adalah 30 ekor, 16 ekor, 17 ekor, dan 28 ekor. Jumlah mikrofilaria terbanyak adalah pada penderita pertama dan yang terendah adalah penderita kedua.

0 5 10 15 20 25 30

K

e

pa

da

ta

n

m

ik

rof

il

a

ria

Pukul Pemeriksaan

Penderita 4 Penderita 3 Penderita 2 Penderita 1

Gambar 2. Fluktuasi Puncak Kepadatan Mikrofilaria (Brugia malayi) Dalam Darah Tepi Selama 12 Kali Pemeriksaan di Desa Pamalian, Tahun 2011

Analisis statistik (Aikat dan Das, 1976) dapat digunakan untuk menentukan puncak kepadatan mikrofilaria dengan sangat teliti hingga dalam satuan detik serta dapat mengetahui sifat gelombangnya sehingga dapat diketahui apakah bersifat harmonik atau tidak. Pada Tabel 2 berikut di sampaikan hasil perhitungan statisik keempat penderita mikrofilaremia.

Tabel 2. Analisis Statistik Hasil Pemeriksaan Periodisitas Mikrofilaria Pada Empat Penderita di Desa Pamalian, Tahun 2011.

Analisis Statistik

Penderita Filariasis

Penderita 1 Penderita 2 Penderita 3 Penderita 4

Y 30 16 17 28

Y2 212 46 31 128

Y cos 15h 18,722 9,598 3,232 16,928 Y sin 15h -4,5 -1,232 -1,866 -1,268

m 2,5 1,33 1,42 2,33

b 3,12 1,59 0,54 2,82

(6)

a 3,21 1,60 0,62 2,83

K 24.09′60′′ 24.05′20′′ 24.23′20′′ 24.04′40′′

F 4,08 6,48 -2,41 6,98

D 128,40 120,30 43,66 121,45

Hasil penghitungan mendapatkan nilai aksis minus dan ordinat plus, dengan demikian puncak kepadatan mikrofilaria (K) berada pada kuadran ke 4. Puncak kepadatan mikrofilaria dapat dihitung dengan menggunakan rumus tan 15Kº = c/b (misal hasilnya disebut x), sehingga didapatkan hasil tan 15 Kº = xº, maka Kº = , dari rumus ini

didapatkan puncak kepadatan mikrofilaria pada penderita pertama adalah pada pukul 24.09′60′′ atau 24.10′.00′′. Nilai D menunjukkan nilai > 50 yang berarti periodisitas mikrofilaria tersebut adalah periodik nokturnal, sedangkan nilai F yang kurang dari 5% (4,26 teoritis) menunjukkan sifat gelombang yang non harmonik. Dari tabel 2 terlihat bahwa dari ke empat penderita ada satu penderita yang periodisitasnya subperiodik atau non periodik yaitu penderita ke tiga dengaOn sifat gelombang yang non harmonik. Penderita satu, dua, dan empat menunjukkan periodik nokturnal dengan sifat gelombang yang harmonik pada penderita dua dan empat.

3. Hospes (Manusia) Filariasis Limfatik

Acute disasese rate (ADR) digunakan untuk mengetahui rata-rata angka kesakitan

akut akibat filaria dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk melihat adanya kelainan klinis akibat filariasis. Hasil observasi mendapatkan 21 orang penduduk yang menderita gejala akut berupa demam dan bengkak yang kadang-kadang muncul dan hilang, serta limfangitis desendes. Tujuh belas orang penduduk mengalami gejala klinis amikrofilaremia. Dari angka tersebut dapat dihitung ADR sebagai berikut . Ke-empat penduduk yang mengalami mikrofilaremia mengalami gejala

akut berupa demam yang berulang-ulang sebanyak 3 – 4 kali dalam sebulan yang disertai limfangitis makin kearah distal makin menghilang. Dua gejala ini merupakan gejala yang paling banyak ditemui pada penduduk di lokasi penelitian, tetapi pada penduduk yang lain juga dapat ditemukan terjadinya abses walaupun hanya sedikit (3 orang responden).

Cronic disease rate (CDR), hasil observasi dan wawancara dengan warga serta petugas

pustu di Desa Pamalian sudah tidak ditemukan lagi warga yang mengalami gejala kronis tersebut. Menurut penuturan warga, warga yang mengalami gejala kronis filariasis sudah meninggal karena lanjut usia, sehingga CDR di Desa Pamalian adalah nol.

PEMBAHASAN

1. Vektor Filariasis Limfatik

Penyebaran filariasis limfatik sangat ditentukan oleh kepadatan nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh spesies nyamuk, spesies nyamuk tersebut adalah Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Anopheles

maculatus, Anopheles balabacensis, Aedes albopictus, Aedes aegypti, dan Culex

tritaeniorhynchus. Ditemukannya Aedes sp disebabkan penangkapan yang dilakukan

pada pagi hari. Penangkapan yang dilakukan selama 10 kali dalam waktu 5 bulan mendapatkan 23.194 ekor nyamuk dengan spesies yang paling banyak ditemukan adalah

Mansonia uniformis. Dari tujuh spesies tersebut tidak semua spesies berpotensi untuk

menjadi vektor filariasis limfatik, hanya Mansonia uniformis dan Mansonia bonneae yang potensial.

(7)

dan tidak mempunyai gigi sibarial adalah Aedes aegypti. Nyamuk yang gigi sibarialnya berkembang dengan baik dapat membunuh 36% - 96% mikrofilaria yang tertelan8. Berdasarkan ketidakberadaan gigi sibarial maka yang berpotensial untuk menjadi vektor filariasis limfatik adalah Mansonia uniformis dan Aedes aegypti.

Aedes sp berdasarkan karekteristik anatominya memang dapat berperan sebagai

vektor filariasis dan hal ini di buktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di kawasan pasifik, namun, yang menjadi perbedaan adalah di kawasan pasifik tersebut periodisitas mikrofilarianya cenderung diurnal sehingga sangat memungkinkan Aedes sp yang perilakunya day bitter menjadi vektor di kawasan tersebut. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang sampai saat ini belum ditemukan periodisitas mikrofilaria yang diurnal, sehingga berdasarkan asumsi ini, di lokasi penelitian hanya Mansonia uniformis yang berpotensi sebagai vektor filariasis limfatik.

Kepadatan vektor juga berhubungan dengan tingkat penyebaran filariasis limfatik. Di lokasi penelitian diantara kedua spesies Mansonia uniformis dan Mansonia bonneae, seperti yang terlihat pada tabel 1, Mansonia uniformis merupakan spesies yang paling banyak ditemukan dibandingkan dengan Mansonia bonneae. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan bahwa Mansonia uniformis sangat berpotensial untuk menjadi vektor filariasis limfatik di lokasi penelitian, namun, dalam penelitian ini tidak ditemukan L3 pada tubuh Mansonia uniformis dan spesies lainnya, sehingga dalam penelitian ini belum dapat membuktikan vektor utama filariasis di lokasi penelitian.

Kondisi lingkungan di lokasi penelitian yang cenderung masih berupa hutan yang disertai dengan rawa-rawa sangat cocok untuk perkembangan Mansonia sp. Penyebaran nyamuk disuatu daerah berbeda-beda walaupun masih dalam satu genus yang sama.

Mansonia bonneae lebih cenderung ditemukan di dalam hutan sedangkan Mansonia

uniformis lebih banyak di perkampungan yang dikelilingi hutan dan rawa-rawa9, sehingga

kemungkinan nyamuk yang menjadi vektor filariasis di lokasi penelitian adalah Mansonia

uniformis. Berdasarkan dugaan tersebut maka akan ditampilkan data mengenai Mansonia

uniformis di lokasi penelitian terkait dengan perilaku menghisap darahnya.

a. Kepadatan nyamuk Mansonia uniformis menggigit di dalam dan diluar rumah/MBR. Pengkuran kepadatan nyamuk menggigit di dalam dan luar rumah sangat penting untuk mengetahui perilaku nyamuk mencari darah. Hasil kegiatan ini untuk mendapatkan informasi mengenai sifat nyamuk lebih senang menggigit di luar atau di dalam rumah10.

(8)

Kepadatan Mansonia uniformis menggigit orang cenderung lebih banyak di luar rumah dibandingkan di dalam rumah, gambaran grafik ini menunjukkan peningkatan pada bulan maret kemudian terjadi penurunan di bulan april, selanjutnya terjadi kenaikan aktivitas menggigit pada bulan mei dan juni, bulan juni merupakan puncak kepadatan tertinggi diantara bulan februari sampai juni.

b. Kepadatan nyamuk Mansonia uniformis menggigit di dalam dan diluar rumah per jam. Aktivitas menggigit Mansonia uniformis dikaitkan dengan waktu menggigitnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Fluktuasi Aktivitas Menggigit Mansonia uniformis perjam di Desa Pamalian (Februari – Juni 2011)

Gambar 4 menunjukkan aktivitas menggigit Mansonia uniformis, dapat terlihat puncak aktivitas menggigitnya pada pukul 21.00 – 22.00, kemudian untuk outdoor terjadi penurunan aktivitas dari pukul 22.00 – 24.00, hal ini berbeda dengan indoor, penurunan aktivitas hanya dari pukul 22.00 – 23.00, pada pukul 23.00 – 24.00 terjadi peningkatan aktivitas lagi untuk indoor. Pada pukul 24.00 – 06.00 terjadi penurunan aktivitas secara bertahap untuk kedua metode penangkapan. Data ini sangat penting terkait dengan periodisitas mikrofilaria yang akan di bahas pada bagian berikutnya.

Agar terjadi penularan filariasis limfatik, kepadatan optimal mikrofilaria dalam darah penderita 1 – 3 mf/mm3. Bila jumlah mikrofilaria terlalu sedikit maka hanya sebagian kecil nyamuk yang dapat menghisap mikrofilaria, sebaliknya jika jumlah mikrofilaria terlalu banyak maka 1/3 nyamuk yang menghisap darah tersebut akan mati11. Nyamuk yang mengandung mikrofilaria terlalu banyak dapat menyebabkan perkembangan mikrofilaria menjadi L3 lambat atau terhambat sama sekali11. Tidak semua mikrofilaria yang masuk ke dalam lambung nyamuk dapat melangsungkan kehidupannya, kurang lebih 40% akan mati di dalam lambung nyamuk11. Hal ini mengakibatkan tidak ada satu spesies nyamuk pun dilokasi penelitian yang ditemukan L3 di dalam tubuhnya.

(9)

positif mikrofilaria yang dilakukan di laboratorium, sehingga dapat diketahui secara pasti perkembangan L3 di dalam tubuh vektor.

2. Agent Filariasis Limfatik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, yang menjadi agent parasit filariasis limfatik adalah Brugia malayi. Pada gambar tersebut dapat dilihat luas perbandingan ruang kepala antara panjang 2x lebar kemudian mempunyai selubung dan terdapat 2 inti yang terpisah pada ujung ekornya yang merupakan ciri khas Brugia malayi. Distribusi Brugia malayi sebagian besar berada di wilayah tropis walaupun dapat ditemukan pula di kawasan sub-tropis. Penyebaran parasit ini berada di timur jauh (kawasan asia tenggara) antara 75º BT - 140º BT dan sebagian besar ditemukan di kawasan rural12. Lokasi penelitian yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur berada pada 107º15′30′′ BT - 110º29′30′′ BT sehingga penelitian yang dilakukan Edeson tersebut dapat didukung oleh penelitian yang dilakukan ini. Keadaan alam secara umum di Kotawaringin Timur terdiri dari dataran rendah berupa rawa, hutan belantara serta daerah perbukitan dan pantai. Kondisi ini mendukung perkembangan Brugia malayi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sifat mikrofilaria di lokasi penelitian ada yang berperiodisitas periodik nokturnal dan subperiodik nokturnal. Periodisitas mikrofilaria sampai saat ini mekanismenya belum jelas diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme tersebut, seperti adaptasi mikrofilaria dengan kebiasaan mencari makan nyamuk, perbedaan tekanan O2 antara darah vena dan arteri,

serta aktivitas hospes11. Selain pendapat tersebut terdapat pendapat lain yang mempengaruhi periodisitas mikrofilaria yaitu berhubungan dengan hormon melatonin pada host13.

Hormon melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine), adalah hormon neurotropik dengan gugus antioksidan indolamina, yang disintesis oleh kelenjar pineal yang terletak di dalam otak dari senyawa asam amino triptofan. Proses sintesis dan pelepasan melatonin distimulus oleh kegelapan dan produksinya ditekan oleh cahaya. Hal ini memperlihatkan peranan melatonin dalam ritme circadian (ritme alami tubuh)13.

Untuk mempertahankan eksistensi tersebut, cacing filaria perlu menjaga agar kepadatan mikrofilaria dalam darah tepi tetap tinggi dengan cara 1) memproduksi mikrofilaria sebanyak mungkin, sehingga kepadatan dalam darah keseluruhan meningkat dikombinasikan dengan 2) adaptasi perilaku mikrofilaria terhadap perilaku menggigit (biting habit) nyamuk vektor9.

Hasil penangkapan nyamuk menunjukkan bahwa Mansonia uniformis menggigit dari pukul 21.00 – 22.00 waktu setempat kemudian menurun dan meningkat lagi pada pukul 23.00 – 24.00 waktu setempat. Kepadatan menusuk dan menghisap darah tersebut dilakukan dengan umpan orang dalam, sedangkan untuk umpan orang luar puncak menusuk dan menghisap darah adalah pada pukul 21.00 – 22.00 waktu setempat kemudian mengalami penurunan aktivitas secara bertahap. Dari hasil ini bisa diasumsikan bahwa penularan mungkin saja terjadi pada malam hari di dalam rumah ketika penduduk sudah tertidur.

3. Hospes (manusia) Filariasis Limfatik

(10)

mengalami mikrofilaremia. Terkait dengan penelitian Rahayu tersebut maka responden dalam penelitian ini tidak berisiko terinfeksi filariasis yang ditunjukkan dengan rendahnya mikrofilaremia penduduk. Dengan bertambahnya usia, mikrofilaremia cenderung meningkat, diikuti oleh kenaikan kepadatan mikrofilaria9.

Terdapat beberapa kemungkinan mengapa terjadi penurunan angka mikrofilaremia dan cronic disease rate di Desa Pamalian. Tidak ditemukannya penderita yang mengalami gejala kronis filariasis limfatik menurut pemaparan penduduk bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, hal ini dapat terjadi mengingat untuk terjadinya gejala kronis memerlukan proses yang cukup panjang. Setelah infeksi terjadi, yaitu ketika larva infektif telah masuk kedalam tubuh penderita, tidak secara langsung keberadaan mikrofilaria dapat dideteksi pada pemeriksaan darah9.

Infeksi Brugia malayi memerlukan waktu bertahun-tahun sehingga tampak gambaran elephantiasis, tetapi di daerah endemis filariasis (Sampit merupakan daerah endemis filariasis) munculnya gejala-gejala klinis kronis bervariasi, ada yang cepat ada pula yang lambat, bahkan ada pula yang tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria. Penduduk yang berasal dari luar daerah endemis biasanya menunjukkan gejala yang lebih tampak/serius dibandingkan dengan penduduk yang berada di daerah endemis15. Gejala yang dinamakan elephantiasis ini relatif jarang terjadi dan merupakan komplikasi lanjut dari filariasis. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua filariasis malayi di akhiri dengan elephantiasis11,16. Gejala yang timbul disebabkan terutama oleh reaksi radang terhadap cacing dewasa di kelenjar limfe maupun di saluran limfe. Reaksi radang ini juga dipengaruhi oleh reaksi imunologik seluler maupun humoral17.

Kemungkinan yang kedua yang mengakibatkan rendahnya kepadatan rata-rata mikrofilaria dalam darah dan sedikitnya penduduk mengalami mikrofilaremia adalah karena suksesnya pengendalian filariasis di daerah tersebut. Prinsip pengendalian filariasis limfatik adalah dengan cara mengurangi atau menghentikan penularan penyakit

(transmission control) dan mengurangi penderitaan karena penyakit (morbidity control).

Untuk memutus penularan penyakit dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) mengurangi atau menghilangkan sumber mikrofilaria melalui pengobatan terhadap manusia; 2) mengurangi kontak manusia dengan vektor; 3) mengkombinasikan 2 cara tersebut18. Pengobatan massal dan dikombinasikan dengan pengobatan selektif menggunakan diethylcarbamazine mampu menurunkan bahkan menghilangkan mikrofilaremia pada penduduk di Republik Korea, walaupun memerlukan waktu yang tidak sebentar (dari tahun 1950 - 2006)19.

Pengobatan massal yang telah lama dilakukan di Indonesia, khususnya di Sampit, memberikan hasil yang positif terhadap angka mikrofilaremia. Perlu diketahui bahwa sebelum dilakukan penelitian, pada akhir tahun 2010 di Kecamatan Kota Besi telah melakukan pengobatan massal tahap ke lima (pengobatan telah berlangsung selama 5 tahun), sehingga sangat wajar apabila hanya empat orang penduduk saja yang positif mikrofilaremia karena efek obat tersebut yang sangat efektif membunuh stadium mikrofilaria di dalam darah. Keempat penduduk ini mungkin saja tidak memakan obat yang telah diberikan karena efeknya yang tidak mengenakkan atau karena takut mengkonsumsi obat filariasis diakibatkan terjadinya kasus kematian saat pengobatan massal di daerah Tanggerang pada tahun 2010 lalu, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan wawancara secara mendalam. Kemungkinan yang lain adalah keempat penduduk ini selalu terinfeksi karena sumber penularan lainnya tetap ada. Sumber penularan yang dimaksud adalah adanya kucing hutan, kera dan lutung yang masih dapat ditemukan di perkebunan warga.

(11)

mengenai efek yang akan ditimbulkan dari obat ini kepada masyarakat maka banyak penduduk yang tidak akan memakan DEC21. Pengobatan massal dengan menggunakan albendazole dan diethilcarbamazine sangat efektif untuk menurunkan prevalensi filariasis. Penelitian yang dilakukan di Vanuatu pada tahun 2002 menyatakan pengobatan massal dengan kombinasi dua obat tersebut dapat mengurangi prevalensi filariasis berdasarkan antigen sebesar 63% (prevalensi dari 22% berkurang menjadi 0,8%) sedangkan prevalensi filariasis berdasarkan prevalensi mikrofilaremia berkurang sebesar 93%22.

Metode pengobatan yang lain yang dapat mendukung program eliminasi filariasis adalah dengan menggunakan garam yang telah dicampur dengan DEC dan iodine. Garam tersebut dicampur dengan 0,25% DEC dan 25ppm iodine untuk konsumsi selama satu tahun. Penelitian yang dilakukan di Miton, Haiti, mendapatkan hasil penurunan prevalensi dan intensitas mikrofilaria lebih dari 95% dan tingkat antigenemia berkurang sebesar 60% selama satu tahun konsumsi garam tersebut. Cacing dewasa pun berkurang walaupun tidak signifikan. Berdasarkan penelitian tersebut sangat sedikit masyarakat yang melaporkan efek samping penggunaan garam ber iodine dan DEC23.

Kemungkinan ketiga yang mengakibatkan menurunnya mf rate, ADR, CDR, dan kepadatan rata-rata mikrofilaria dalam darah di Desa Pamalian adalah semakin baiknya perilaku masyarakat setempat. Derajat kesehatan seseorang menurut teori H.L Blum dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan herediter. Perilaku merupakan suatu faktor yang penting dalam menentukan keadaan sakit atau sehat seseorang. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap individu. Adanya stimulus berupa pengetahuan akan membentuk sikap individu yang akan tercermin kedalam perilakunya. Walaupun, pada beberapa kasus hal ini berbeda, pengetahuannya baik tetapi perilakunya mencerminkan hal yang sebaliknya. Secara garis besar perilaku ini dibagi menjadi 3 faktor utama yaitu, faktor pembawa, faktor pendukung dan faktor pendorong. Ketiga faktor ini saling berinteraksi membentuk perilaku individu, dengan kata lain perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari orang tua atau masyarakat itu sendiri. Disamping itu keterbatasan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku24.

Keberhasilan suatu program merupakan interaksi dari berbagai faktor yang saling melengkapi sebagai satu kesatuan. Baiknya perilaku masyarakat di Desa Pamalian, pengobatan yang baik tidak akan dapat menunjukkan hasil yang optimal tanpa dukungan faktor yang lain, seperti lingkungan. Lingkungan fisik yang kurang baik di Desa Pamalian merupakan ancaman yang selalu ada sebagai media penularan filariasis limfatik. Masih banyaknya rumah yang tidak mosquito proof di Desa Pamalian merupakan salah satu faktor risiko penularan penyakit ini. Faktor penentu dalam keberhasilan program eliminasi di suatu daerah/Negara dipengaruhi oleh 1) tingkat endemisitas awal daerah filariasis limfatik; 2) efektivitas vektor (nyamuk); 3) aturan/prosedur pengobatan massal; 4) kepatuhan penduduk25. Perlu dilihat lebih jauh lagi dengan penelitian yang lain, apakah 2 atau 3 tahun lagi, mf rate, ACD, CDR, dan kepadatan mikrofilaria dalam darah penduduk di Desa Pamalian masih akan menunjukkan angka yang rendah pada tahun – tahun berikutnya. Selama faktor lingkungan tidak dimodifikasi untuk mengurangi risiko infeksi filaria, maka di desa ini mikrofilaremia masih akan tetap ditemukan.

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

(12)

2. Puncak kepadatan Mansonia uniformis menggigit orang (MBR) adalah pada bulan Juni (108,42/ekor/orang), dengan kepadatan menggigit orang di dalam rumah pada bulan Juni sebanyak 84,5/ekor/orang dan mengigit orang di luar rumah 132,33/ekor/orang. Puncak aktivitas menggigit Mansonia uniformis (Man Hour

Density) di dalam rumah adalah pada pukul 21.00 – 22.00 (7,57/ekor/orang/perjam),

sedangkan di luar rumah juga pada waktu yang sama (12,7/ekor/orang/perjam). 3. Spesies filaria di Desa Pamalian adalah Brugia malayi dengan ciri-ciri mempunyai

selubung dan perbandingan luas ruang kepala panjang 2x lebar. Ke-empat penduduk yang diperiksa memiliki periodisitas yang berbeda. Tiga orang penduduk (penduduk 1, 2, dan 4) menunjukkan periodik nokturnal dengan sifat gelombang yang harmonik. Penduduk ke-3 menunjukkan subperiodik nokturnal dengan sifat gelombang non harmonik dengan Microfilaria rate di Desa Pamalian adalah 1,04% dan kepadatan rerata mikrofilaria dalam darah (20 mm3) adalah 4,45. Acute diseases rate sebesar 5,44% sedangkan cronic diseases rate nol persen.

Saran

Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepada masyarakat agar berusaha memperbaiki rumah agar tidak terjadi penularan saat di dalam rumah, menggunakan repellent ketika keluar rumah pada malam hari, serta menggunakan kelambu yang terpasang dengan baik ketika tidur pada malam hari.

2. Kepada pemerintah agar memperhatikan sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan yang ada di lokasi penelitian.

3. Kepada peneliti lain agar melakukan penelitian lebih lanjut tentang: a. Penemuan vektor utama filariasis limfatik dan memetakannya.

b. Menemukan mikrofilaria di dalam hewan yang habitatnya berdekatan dengan pemukiman.

c. Deteksi mikrofilaria dengan cara yang efektif dan aplikatif untuk penerapan di lapangan.

d. Membandingkan efektivitas pengobatan DEC dengan garam DEC serta meneliti tentang kesulitan dalam pendistribusian garam DEC tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Helath Organization (2010), The Regional Strategic Plan for Elimination of

Lymphatic Filariasis 2010-2015. Regional Office for South-East Asia.

2. Gill, Geoff., Beeching, Nick (2004). Lecture Note: Tropical Medicine, 6th Ed, Wiley-Blackwell, West Sussex.

3. Depkes RI, (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.

4. Dinkes Kalimantan Tengah (2007). Profil Kesehatan Kalimantan Tengah Tahun 2007. 5. Mastur (2010). Angka Minum Obat Filariasis di Kotim di Bawah Standar:

http://www.news.id.finroll.com/home/archive/247748-angka-minum-obat-filariasis-kotim-bawah-standar.html

6. Joseph, Hayley Melissa (2010). “Lymphatic Filariasis Elimination: Residual Endemicity, Spasial Clustering and Future Surveillance Using The New Filariasis Celisa Diagnostic Assay” Ph.D Thesis in The School of Public Health, Tropical Medicine and Rehabilitation Sciences, James Cook University of North Queensland, Australia: http://eprints.jcu.edu.au/12000.

(13)

8. McGreevy, P.B., Bryan, J.H., Oothuman, P., and Kolstrup, N (1978). The Lethal Effects of The Cibarial and Pharyngeal Armatures of Mosquitoes on Microfilariae.

Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 72(4): 361 – 368.

9. Sudjadi, F.A., (1996). “Filariasis di Beberapa Daerah Endemik di Kalimantan Timur: Kajian Infraspesifik Brugia malayi Penyebab Penyakit dan Beberapa Segi Epidemiologinya”, Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

10. Ramadhani, Tri, (2008). Studi Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kota Pekalongan (Penekanan Pada Aspek Entomologi), Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

11. Soeyoko, (1998). “Filariasis Malayi di Wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah (beberapa faktor yang mempengaruhi penularannya)”, Jurnal

Berita Kedokteran Masyarakat, Gadjah mada University Press, Yogyakarta.

12. Edeson, MD (1962). The Epidemiology and Treatment of Infection Due to Brugia

malayi. Bull. Wld Hlth Org. 27: 529 – 541.

13. Challet, E. (2007). Minireview: Entrainment of the Suprachiasmatic Clockwork in Diurnal and Nocturnal Mammals. Endocrinology 148 (12): 5648–55

14. Rahayu, Nita (2008). Faktor Yang Berhubungan Dengan Penularan Filariasis di Puskesmas Lasung Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

15. Partono, F & Purnomo, (1987). Periodicity Study of Brugia malayi in Indonesia: Recent Findings and Modified Classification of the Parasite. Trop. Med.Hyg. 81: 657 – 662. 16. Markell, E.K., M. Voge., and D.T. John., (1986). Medical Parasitology. 6th Edition. W.B.

Saunders Company. Philadelphia

17. Kurniawan, Liliana (1990). Beberapa Aspek Imunologi dan Bioteknologi Dalam Penanggulangan Masalah Filariasis. Cermin Dunia Kedokteran. No. 64.

18. Ottesen, E.A., B.O.L. Duke., M.Karam., and K. Behbehani (1997). Strategies and Tools For The Control / Elimination of Lymphatic Filariasis. Bulletin of WHO. 75 (6): 491 – 503.

19. Cheung, Hyeng-Il., Kong, Yoon., Cho, Shin-Hyeong., Lee, Jong-Soo., Chai, Jong-Yil., Lee, Joo-Shil., Lee, Jong-Koo., Kim-Tong-Soo, (2009). “Successful Control of Lymphatic Filariasis in the Republic of Korea”, Korean J Parasitol, Vol. 47, No. 4: 323-335.

20. Hochberg, Natasha., Michel, Marie. C., Lammie, Patrick.J., Mathieu, Els., Direny, Abdel.N., Rochars, Madsen.B.D., and Addiss, David.G (2006). Symptoms Reported After Mass Drug Administration For Lymphatic Filariasis in Leogane, Haiti. Am. J.

Trop. Med. Hyg. 75 (5): 928 – 932.

21. Babu, B.V, (2010). A Qualitative Study on The Adverse Reaction of Mass Treatment For Lymphatic Filariasis in Orissa, India. Asian Pasific Journal of Tropical Medicine. 55 – 58.

22. Fraser, Margaret., Taleo, George., Taleo, Fasihah., Yaviong, James., Amos, Morris., Babu, Mark., and Kalkoa, Morris (2005). Am. J. Trop. Med. Hyg., 73(4): 753 – 758. 23. Freeman, A.R., Lammie, P.J., Houston, Robin., LaPointe, M.D., Streit, T.G., Jooste,

P.L., Brissau, J.M., Lafontant, J.G., Addiss, D.G., (2001). A Community – Based Trial for The Control of Lymphatic Filariasis and Iodine Deficiency Using Salt Fortified With Diethylcarbamazine and Iodine. Am. J. Trop. Med. Hyg. 65(6): 865 – 871.

24. Notoatmodjo, Soekidjo, & Sarwono, Solita. (1985). Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hlm. 23.

Gambar

Gambar 1.  Microfilaria Di Dalam Darah Penduduk Di Desa Pamalian
Gambar 2. Fluktuasi Puncak Kepadatan Mikrofilaria ( Brugia malayi) Dalam Darah Tepi
Gambar 3. Kepadatan  Mansonia uniformis Menggigit Orang di Dalam dan di Luar Rumah       per Bulan di Desa Pamalian (Februari – Juni 2011)
Gambar 4. Fluktuasi Aktivitas Menggigit  Mansonia uniformis perjam di Desa Pamalian    (Februari – Juni 2011)

Referensi

Dokumen terkait

PX1Y = Koefisien jalur kurs terhadap impor PX3Y = Koefisien jalur harga minyak dunia terhadap impor rX1X3 = Koefisien korelasi kurs dan harga minyak dunia Pengaruh tidak langsung

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 6 siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda meliputi kemampuan rendah, sedang dan tinggi dapat disimpulkan bahwa

Efektivitas desain dan operasi pengendalian intern pada prosedur pemberian kredit yang dijalankan oleh bank sangat diperlukan dalam rangka mengamankan aktiva pemsahaan,

Pada konteks masyarakat di Kelurahan Kisaran Naga bahwa konsep kebebasan sebagai warga dalam pandangan politik terhadap PILEG 2019 menjadi basis yang kuat, akan

Menjalin suatu komunikasi yang baik antara perusahaan dengan konsumen melalui program promosi merupakan hal yang penting karena promosi juga menentukan keberhasilan dari

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa besarnya pengaruh variabel kepemimpinan dalam wirausaha dan inovasi secara simultan terhadap variabel kinerja

Seorang perempuan, 30 tahun, janda, lulusan SMA, karyawan swasta, suku Sunda, beragama Islam, datang ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit

Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara.