• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PERAWATAN IBU PASCA PERSALINAN (SE’I DAN TATOBI) DI KECAMATAN AMANUBAN BARAT, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TRADISI PERAWATAN IBU PASCA PERSALINAN (SE’I DAN TATOBI) DI KECAMATAN AMANUBAN BARAT, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

130

SELATAN, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Postpartum Care Tradition (Se’i and

Tatobi) in Amanuban Barat Sub District, Timor

Tengah Selatan District, Nusa Tenggara Timur Province

Kartika Handayani1, Rachmalina S Prasodjo1 1

Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I.

Email: kartikalitbang@yahoo.com

Diterima: 3 Agustus 2017; Direvisi: 8 Desember 2017; Disetujui: 21 Januari 2018

ABSTRACT

The number of mortality rate is a barometer status due to public health, especially the number of mother and infant mortality rate (AKI and AKB). Timor Tengah Selatan district, Nusa Tenggara Timur province, viewed from the side of geographic and socio-economic conditions were still in critical conditions whereas the maternal and infant mortality rate in the year 2009-2012 was still high. There is unique tradition in

Timor Tengah Selatan district, namely Se’i (fogging) and Tatobi (hot compresses) that were given to the mother after they give birth. Se’i and Tatobi were a series of activity aimed to care pregnant mothers during the puerperium consist dietary restriction, fogging, roasting, and hot water compress for 40 days. This research was a qualitative research conducted to dig deeper about the tradition of Se’i and Tatobi, which held in Amanuban sub district, in Timor Tengah Selatan district, Nusa Tenggara Timur Province. The research was done by means of in-depth interviews to 10 mothers after 0-40 days delivery, biological mothers, mother-in-law, husband, midwives, and community leaders. The results of interview showed there was fear of feeling from mother post childbirth if they do not follow these series of tradition. It is recommended to health workers to improve the health services by using the approach of the culture and local customs, by providing counseling about pregnancy, birth, post birth, and baby care through ways that easily digested by their reason and logic.

Keywords:Tradition,Se’i, Tatobi, postpartum care

ABSTRAK

Angka kematian merupakan barometer status kesehatan masyarakat terutama kematian ibu dan kematian bayi (AKI dan AKB). Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur dilihat dari sisi geografis dan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya masih merupakan daerah kritis dimana angka kematian ibu dan bayi pada tahun 2009-2012 masih tinggi. Di daerah tersebut terdapat tradisi unik, yaitu

pengasapan (Se’i) dan kompres panas pada ibu pasca persalinan (Tatobi). Tradisi Se’i dan Tatobi merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk merawat ibu selama masa nifas yang terdiri dari pantangan terhadap makanan, pengasapan, pemanggangan, dan kompres kain panas selama 40 hari. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang tradisi Se’i dan Tatobi di kecamatan Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) pada10 orang ibu pasca melahirkan 0-40 hari, ibu kandung, ibu mertua, suami, bidan, dan tokoh masyarakat. Hasil wawancara menunjukkan ada perasaan ketakutan dari ibu pasca persalinan bila tidak mengikuti pantangan dan anjuran yang dikatakan oleh orangtua, kerabat dan tetangganya. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk menggunakan pendekatan budaya dan adat istiadat setempat dalam peningkatan pelayanan kesehatandengan memberikan penyuluhan sekitar kehamilan, kelahiran, pasca kelahiran, dan perawatan bayi melalui cara-cara yang mudah dicerna oleh daya nalar mereka.

(2)
(3)

131

PENDAHULUAN

Kondisi derajat kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih memprihatinkan, antara lain ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007 yaitu dari 390 menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menunjukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 (Kementerian Kesehatan 2016). Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan pendekatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas kepada masyarakat melalui Making Pregnancy Safer (MPS) atau penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.Tiga pesan kunci MPS adalah : (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terampil; (2) setiap komplikasi obstetri dan neonatal ditangani secara adekuat; (3) setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanggulangan komplikasi keguguran yang tidak aman.

Salah satu daerah di Indonesia yang masih mempunyai angka AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) tinggi adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2011, jumlah AKI di Kabupaten Timor Tengah Selatan periode 2010 sampai dengan 2011 mengalami penurunan yang fluktuatif setiap tahunnya. AKI pada tahun 2010 sebesar 595,7 per 100.000 KH. Sedangkan AKI dari tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu 289,4 per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah AKB tahun 2010 sebanyak 108 sedangkan AKB tahun 2011 mengalami penurunan drastis menjadi 66 (Kementerian Kesehatan, 2011). Salah satu penyebab masih tingginya AKI adalah masih banyaknya kelahiran yang ditolong oleh dukun bayi lewat cara tradisional dan belum memenuhi standar kesehatan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan

masih sangat rendah, sebagian besar masih ditolong dukun atau keluarga sendiri. Jarak yang jauh dan medan yang berat seringkali menyulitkan pelaksanaan pelayanan, menyebabkan pelayanan kesehatan masih sering dilakukan oleh dukun tradisional dengan menerapkan kebiasaan budaya setempat.

Kepercayaan ibu hamil pada dukun masih sedemikian besar, sehingga walaupun ada bidan di desa setempat namun belum dimanfaatkan dengan maksimal. Hal yang membahayakan untuk keselamatan ibu melahirkan dan bayi baru lahir berkaitan dengan pola perilaku, kebiasaan dan tradisi nenek moyang yang masih dipegang erat oleh masyarakat. Tradisi dan kepercayaan tradisional adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh suatu suku bangsa di dunia termasuk di Indonesia. Seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan di mana masih banyak ibu yang sesudah melahirkan melakukan tradisi Se’i (Rachmalina Prasodjo, et.al.,

2015). Tradisi Se’i adalah tradisi dimana ibu

dan bayi yang baru dilahirkan duduk atau berbaring dihangatkan dengan asap dari kayu yang dibakar, dilakukan selama 40 hari. Masyarakat setempat meyakini bahwa tradisi ini dapat bermanfaat untuk mempercepat pemulihan kesehatan ibu setelah melahirkan dan bayinya menjadi lebih kuat. Mereka percaya bahwa melahirkan akan mengakibatkan kondisi badan ibu menjadi ‘dingin’ yang membahayakan darah dan suhu tubuh ibu. Selain itu jika tidak melakukan tradisi Se’i akan membuat ibu dan bayinya

rentan akan hawa dingin, angin, ‘hawa’ jahat

dan penyakit (Prasodjo 2009). Praktek tradisi menghangatkan tubuh ibu yang selesai melahirkan selama masa nifas ternyata juga ditemui dan merupakan budaya di beberapa negara di Asia Selatan (Yamashita, T., et.al., 2014).

(4)

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 130 - 139

132

keluar selama 40 hari kecuali ke WC/kamar mandi, anjuran untuk tidak mengkonsumsi makanan seperti daging, ikan, telur, sayur-sayuran, dan garam. Selain tradisi panggang (Se’i), para ibu di Kecamatan Amanuban Barat juga mengenal tradisi lain untuk perawatan pasca persalinan, yaitu tradisi Tatobi. Tatobi adalah kegiatan pembersihan badan sekaligus penghangatan dan pemulihan kondisi badan bagi ibu yang baru melahirkan. Kegiatan Tatobi ini yang harus dilakukan berbarengan dengan kegiatan Se’i dan merupakan satu kesatuan dengan kegiatan tersebut.

Artikel ini merupakan hasil penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan mengetahui tradisi/budaya perawatan ibu pasca persalinan di Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2009 – 2012. Secara geografis, Kabupaten Timor Tengah Selatan berada di ketinggian 0 -500 meter di atas permukaan laut dan pada 124,4° - 124,49° Bujur Timur dan 9,24° - 10,00° Lintang Selatan. Secara topografis keadaan permukaan tanah sebagian besar adalah daerah berbukit dan bergunung, dengan kemiringan rata-rata 50%. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam terhadap responden yang dipilih secara purposif yaitu ibu nifas (postpartum) 0-40 hari yang tinggal di Kecamatan Amanuban. Sebanyak 10 orangibu nifas yang terdiri dari

3 ibu melakukan tradisi Se’i di hari ke 1-7, 3

ibu melakukan tradisi Se’i hari ke 7-14, dan 4

ibu melakukan tradisi Se’i selama 40 hari. Semua ibu yang melakukan tradisi Se’i adalah penduduk lokal setempat. Di samping wawancara mendalam dilakukan pengamatan terhadap 5 dari 10 orang responden dengan kunjungan rumah. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui tentang rangkaian tata cara pelaksanaan tradisi perawatan pasca persalinan yaitu panggang (Se’i) atau Tatobi; perawatan selama 0-40 hari di dalam rumah bulat (Ume’ Kbubu). Selain itu diamati juga cara perawatan diri sendiri dan cara perawatan bayi serta ibu yang baru bersalin.

Juga kehidupan sehari-hari keluarga yang

ibunya sedang melakukan Se’i dari bangun

tidur pagi sampai mau tidur malam, siapa saja yang membantu dalam menjalani tradisi Se’i tersebut. Pengamatan juga dilakukan padapola tempat tinggal dan rumah adat

”ume ’kbubu” serta bentuk dan

(5)

133

HASIL

Tradisi dan Konsep Budaya Tentang Ibu Pasca Melahirkan

Hasil wawancara menunjukan bahwa perawatan nifas yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu di kecamatan Amanuban Barat merupakan serangkaian kegiatan yang merupakan ketentuan yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Perawatan nifas yang dilakukan terhadap ibu-ibu pasca persalinan terdiri dari beberapa kegiatan antara lain panggang (Se’i), dan Tatobi, dimana tradisi ini bagi sebagian masyarakat Timor, menuntut si ibu tidak meninggalkan rumah bulat selama 40 hari, hal ini menyebabkan target program imunisasi tidak tercapai. Hal ini dikuatkan oleh ungkapan salah seorang ibu:

“Ya, semuanya di rumah bulat, melakukan panggang selama 40 hari sonde boleh keluar rumah. Setelah melakukan upacara di gereja bayi baru boleh dibawa ke

luar rumah.” (Ibu Nifas, 35 tahun)

Menurut informan, nilai-nilai yang

mendasari dilakukannya ‘Se’i’ adalah

terutama untuk kesehatan ibu yang baru melahirkan agar kesehatannya cepat pulih dan cepat kuat. Selain itu dengan melakukan

‘Se’i’ diharapkan ibu tidak cepat hamil

kembali. Se’i dapat menjarangkan kehamilan. Tradisi Se’i masih dilakukan karena menurut sebagian besar informan, orangtua mereka memberitahu bahwa Se’i dilakukan dengan maksud agar ibu yang baru melahirkan kuat dan cepat sembuh. Selain itu tradisi tersebut dimaksudkan agar menghangatkan bayi sehingga bayi tidak cepat sakit karena kedinginan. Namun saat ini ada juga beberapa ibu yang sudah tidak

melakukan Se’i.

Tradisi Se’i dan Tatobi sebagai Tradisi Perawatan Ibu Pasca Melahirkan di Kecamatan Amanuban Barat.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa di kecamatan Amanuban Barat semua responden ibu pasca persalinan melakukantradisi panggang (Se’i) selama 40 hari di Ume Kbubu (Rumah Bulat). Posisi ibu berada diatas tempat tidur dan bara api terletak dibawah tempat tidur ibu,jarak bara api dengan posisi ibu sekitar 40-50 cm. Ibu

nifas yang melaksanakan tradisi berdiang (Se’i) hanya memperoleh informasi tentang manfaat berdiang (Se’i) dari orangtua dan dukun yang merawatnya dengan keyakinan bahwa panggang/berdiang (Se’i) akan bermanfaat bagi kesehatannya. Orangtua dan dukun dianggap sebagai pihak yang dapat dipercaya baik dari aspek kedekatan maupun kemampuan merawat, walaupun tanpa adanya penjelasan yang bersifat ilmiah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan:

“Orang tua biasanya menyuruh sei.” (Ibu nifas, 35 tahun).

“..kata orang tua biar kuat dan cepat sembuh. Kalau kena dingin malah cepat sakit juga bayinya.” (Ibu nifas, 30 tahun)

Perawatan ibu pasca persalinan yang biasa dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Amanuban Barat merupakan serangkaian tradisi yang mempunyai ketentuan-ketentuan turun temurun dari nenek moyang mereka. Bagi para ibu, jika tidak melakukan serangkaian tradisi pasca persalinan, akan dikucilkan secara sosial oleh masyarakat di sekelilingnya. Kegiatan Se’i dan Tatobi ini bagi masyarakat disana sifatnya wajib untuk dilakukan, sebab jika tidak dilakukan maka masyarakat disana percaya bahwa akan tejadi musibah atau malapetaka yang akan menimpa keluarga berkaitan dengan kesehatan ibu dan bayinya, seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan:

”..“…sebenarnya tidak ada sanksi

dan hukuman, baik secara adat maupun secara sosial, tapi menurut orang-tua sebelum 4 malam (maksudnya adalah 4 hari pertama setelah persalinan), jika kita keluar, kita bisa mati karena keluar kena angin” (Tokoh masyarakat, 54 tahun)

(6)

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 130 - 139

134

upaya memenuhi kebutuhan orang-orang yang tergabung dalam masyarakat yang bersangkutan (Suhardjo, 1989). Tatobi sebenarnya adalah kegiatan membersihkan diri atau mandi dengan menggunakan air panas (perkiraan suhunya 60 s/d 75oC). Air panas tersebut juga dicampur dengan daun kosambi dan daun lagundi, dimana kedua daun tersebut dipercaya mempunyai khasiat bagi kesehatan. Daun kosambi dan lagundi direbus sampai mendidih kemudian handuk dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut dan selanjutnya handuk tersebut ditempelkan pada seluruh bagian tubuh responden ibu melahirkan. Sebelum ditempelkan handuk, tubuh dilumuri terlebih dahulu dengan minyak kelapa. Proses mandi dilakukan di tempat tidur, sehingga air yang digunakan untuk Tatobi jatuhnya tidak di atas bara api untuk Se’i dan bara api, tetap menyala. Air yang digunakan untuk Tatobi pertama dipanaskan di tungku kemudian dituang ke dalam wadah (biasanya baskom) dan tidak disiramkan secara langsung, tapi dengan menggunakan secarik kain. Air panas diambil dan kain tersebut ditempel-tempelkan dengan agak sedikit keras menekan badan ibu untuk memberikan efek pijatan ke seluruh badan ibu yang baru melahirkan termasuk ke bagian muka, kepala dan daerah kewanitaan sampai air tersebut habis.

Kegiatan Tatobi ini dimaksudkan untuk membuat segar dan memulihkan kondisi ibu nifas, membuat hangat, membersihkan badan, mencegah “darah putih naik ke kepala” (menurut istilah mereka agar tidak sakit, tidak gila dan bahkan agar tidak mati), dan merangsang keluarnya air susu ibu. Menurut responden, kegiatan Tatobi ini tidak menyakitkan dan tidak membuat luka (membuat kulit melepuh), karena sebelum dilakukan Tatobi tubuh ibu kerap kali dilumuri dahulu oleh semacam minyak kelapa untuk melindungi kulit mereka. Minyak tersebut tidak hanya dilumurkan di badan tapi dicampurkan juga ke dalam air panas untuk Tatobi. Kegiatan Tatobi ini dilakukan 2 sampai dengan 3 kali dalam sehari tergantung dari kebutuhan setiap ibu yang nifas.

Pada saat seorang wanita hamil, biasanya menjalani lebih banyak pantangan dibandingkan dengan keharusan. Sebaliknya, apabila ia melahirkan, ia lebih banyak

menjalani keharusan daripada menjalankan pantangan. Keharusan-keharusan ini lebih banyak berhubungan dengan makanan, ramuan obat-obatan, serta praktek-praktek perawatan tradisional. Hal ini berbeda dengan ibu yang sedang melakukan Se’i dan Tatobi. Para ibu yang sedang melakukan Se’i dan Tatobi tidak mendapatkan pantangan dalam hal makanan maupun ramuan obat-obatan. Tetapi dari hari pertama melahirkan sampai hari ke empat setelah melahirkan, ibu nifas tidak boleh turun dari bale (tempat tidur), dalam istilah mereka tidak boleh “turun tanah”. Untuk mandi dan buang air, ibu nifas diperbolehkan turun dari bale (tempat tidur), tetapi dilakukan di rumah bulat itu dan tidak di luar rumah bulat. Selama nifas, bayi tidak boleh dibawa keluar rumah (rumah bulat). Selama nifas, ibu melahirkan tidak ada pantangan untuk makan sesuatu, yang tidak boleh adalah melakukan kerja yang terlalu berat seperti mengangkat air.

Kegiatan Se’i-Tatobi ini merupakan

suatu kebiasaan temurun dari nenek moyang mereka dahulu yang sudah menjadi adat dan merupakan suatu keharusan bagi suatu keluarga yang baru mempunyai bayi dan ibunya sedang menjalani masa nifas, untuk melakukannya. Ada sanksi secara sosial bagi mereka yang tidak mau melakukan kegiatan Se’i dan Tatobi ini yaitu sanksi secara

’Folksway’. Ibu yang melahirkan akan

dicemooh oleh masyarakat sekitar dan diasingkan dari pergaulan/kehidupan sosialnya, sehingga bukan hanya si ibu yang

tidak mau melakukan Se’i-Tatobi yang

terkena sanksinya, tapi juga seluruh keluarga terutama keluarga dari pihak perempuan. Hal ini jugalah yang menyebabkan tradisi ini sampai sekarang masih berlangsung. Bahkan pelakunya tidak hanya dari golongan masyarakat bersatus sosial dan ekonomi rendah saja, tapi juga dari anggota masyarakat yang sudah berpendidikan tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan beberapa ibu :

“ Sebelum Tatobi, biasa saya kasi pake minyak kelapa yang saya masak sendiri“.

(7)

135

“Biasa kalo mau Tatobi, gosok minyak kelapa dulu supaya ibu pung badan jangan melepuh“.

”Orang kita orang timor dan biasa dengan kebiasaan melakukan S’ei dan Tatobi, kalau tidak melakukan S’ei maka nanti ibu tidak kuat untuk menanam jagung dan membantu di kebun”

Menurut tokoh adat setempat, Tatobi merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan pada masa nifas, hal ini didukung oleh pernyataan :

“Tatobi harus dilakukan kalo baru melahirkan dan biasanya orang tua atau suami yang membantu ibu untuk Tatobi“ .

Salah seorang ibu (Ibu D) sangat patuh dengan tradisi-tradisi perawatan pasca persalinan. Ibu tersebut mengikuti aturan yaitu selama 4 hari setelah persalinan tidak turun dari tempat tidur dan menginjak tanah. Ini merupakan larangan yang jelas. Selain itu Ibu D juga melakukan kegiatan Tatobi, dikatakan bahwa ini adalah kebiasaan. Jadi harus melakukan Tatobi, dengan maksud agar jalan lahir tempat keluarnya anak (maksudnya adalah rahim dari si ibu) harus dikasih air panas agar luka bisa cepat sembuh. Alasannya bahwa dahulu orang-tua mereka melakukannya karena tidak ada obat, sehingga menggunakan air panas untuk mempercepat penyembuhan luka. Lebih jauh lagi bahwa Tatobi dilakukan hanya menempelkan kain yang sudah diberi air panas (catatan; airnya air panas, bukan air mendidih. Jika dirasa terlalu panas, maka ditambahkan air dingin sedikit sampai suhunya sekitar 70 sampai dengan 80OC). Sedang untuk menghindari luka, mereka menggunakan minyak kelapa yang dicampurkan ke dalam air yang akan digunakan untuk Tatobi, sebagai bahan campuran. Si ibu yang melahirkan selama 4 hari pertama setelah persalinan, tidak boleh bergerak sama sekali. Tidak boleh tunduk dan hanya boleh berbaring. Jadi si ibu hanya diam tidak bergerak di atas dipan yang di bawahnya ada bara yang menyala di dalam rumah bulat Ume Kbubu. Ume Kbubu adalah rumah tradisional yang berbentuk oval-bulat dengan daun rumbia/ilalang yang disusun dari bagian atap sampai menjumbai ke tanah. Rumah ini hanya memiliki 1 buah pintu

dengan tinggi maksimal 1,5 meter dan tanpa jendela.

Diam dalam hal ini tidak bergerak secara berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar “darah putih tidak bercampur dengan darah merah yang bisa mengakibatkan

pusing-pusing”. Agar bara yang menyala bagus

panasnya, maka mereka menggunakan kayu cemara yang mereka sebut sebagai kayu kasuari. Dipan/bale-bale tempat si ibu berbaring pun terbuat dari kayu kasuari yang terkenal kuat. Beberapa rumah bulat/rumah lopo dan yang mereka tempati juga menggunakan kayu kasuari sebagai tiang penegak berdirinya rumah. Ibu D melakukan Tatobi sehari sebanyak tiga kali, yaitu pada pagi hari, siang hari (kira-kira pukul 12),dan sore hari (kira-kira pukul 3 atau 4 sore). Berkaitan dengan kepatuhan para ibu dengan tradisi perawatan pasca persalinan, salah seorang ibu mengatakan:

”...memang saya sering ada batuk

-batuk. Bahkan si bayi pun batuk-batuk tapi karena semua ini sudah tradisi dan kebiasaan jadi harus dilaksanakan.” (Ibu D, 35 tahun)

Peran lain yang tidak kalah penting dalam perawatan ibu pasca persalinan adalah dukun (atusit). Dukun berperan dalam perawatan ibu hamil pada masa sebelum melahirkan, pada saat melahirkan, dan setelah melahirkan. Pada masa kehamilan, ibu dukun ini berperan dalam mengontrol dan memijat kandungan ibu. Untuk proses kelahiran pada siang hari biasanya ditangani oleh bidan sedangkan untuk proses kelahiran pada malam hari ditangani oleh dukun. Setelah kelahiran bayi, dukun sangat berperan dalam proses tradisi Tatobi karena dalam pelaksanaan Tatobi dukunlah yang menempelkan handuk hangat ke tubuh ibu yang melakukan tradisi tersebut. Selain itu dukun juga berperan sebagai perantara kepada 3 pemimpin adat yaitu pendeta, kepala desa, dan tetua adat. Perantara ini bertugas untuk menyampaikan atau melakukan ritual sesuai dengan tradisi atau adat yang berlaku.

Peran Keluarga Dalam Perawatan Ibu Pasca Persalinan

(8)

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 130 - 139

136

mertua, dibantu oleh dukun. Hampir semua wanita di lokasi penelitian memiliki daya tahan fisik yang kuat, sebab beberapa menit setelah persalinan seorang ibu harus kembali ke bale-bale yang di bawahnya sudah

disiapkan bara api untuk

memanaskan/mengasapkan badan. Demi terlaksananya tradisi perawatan ibu pasca persalinan, semua keluarga rela berperan demi kelanggengan tradisi yang telah mereka percaya. Suami mengurus nyala api siang-malam selama 40 hari karena menurut keyakinan mereka, api tidak boleh padam. Api padam berbahaya bagi diri sang istri karena dingin dan membuat badan tidak kuat. Untuk itu, dalam kegiatan Se’i ini memerlukan adanya orang yang membantu untuk mengurusi si ibu yang baru melahirkan, mencukupi segala kebutuhannya, termasuk menjaga bara api untuk kegiatan Se’i. Biasanya tugas ini dibebankan pada orangtua atau mertua atau keluarga terdekat dari si ibu nifas. Peran suami dalam kegiatan

Se’i ini adalah menyiapkan sarana dan

prasarana seperti tempat untuk kegiatan Se’i dan mencari kayu-kayu bakar agar cukup untuk selama 40 hari. Sebelum melahirkan, seorang wanita yang sedang hamil akan mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya sebagai persiapan untuk melakukan tradisi Se’i sesudah ia melahirkan. Selama melakukan Se’i, yang bertanggung jawab dalam menyediakan makanan adalah mama dari ibu nifas. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada informan, sebagai berikut :

“ mama mantu saya yang bantu

untuk buat api“ (ibu nifas, 23 tahun)

“ Suami saya pak yang biasa bantu“ (Ibu nifas, 32 tahun)

Menurut tokoh adat setempat, panggang dalam masa nifas merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan oleh ibu dan bertujuan untuk menguatkan tubuh ibu seperti pernyataan berikut ini :

“ Ibu yang baru melahirkan harus panggang supaya ibu pung badan kuat “

Dalam penelitian ini, pandangan masyarakat NTT tentang wanita pasca persalinan yang melakukan tradisi Se’i dapat diubah dengan memberikan penyuluhan sekitar kehamilan, kelahiran, pasca kelahiran,

dan perawatan bayi melalui cara-cara yang mudah dicerna oleh daya nalar mereka. Dalam penyuluhan tersebut petugas tidak hanya mengarahkan pada ibu, wanita hamil saja tetapi perlu juga diarahkan pada para suami karena mereka terlibat dalam proses Se’i tersebut, termasuk dukun dan keluarga si ibu.

Dalam kehidupan masyarakat di wilayah penelitian, tampak adanya beberapa hal positif maupun yang bersifat merugikan kesehatan maupun pelaksanaan program. Hal yang positif antara lain adalah para ibu cukup tanggap terhadap adanya sistem kesehatan modern, walaupun cara kesehatan tradisional masih kuat. Berkenaan dengan pelayanan kesehatan modern di desa, hasil wawancara menunjukkan warga cenderung memilih bidan di Pustu atau Puskesmas saat memeriksakan kehamilannya. Begitu juga saat melahirkan, mereka cenderung untuk memilih ditolong oleh bidan, meskipun setelah itu mereka dirawat oleh dukun selama masa nifas dan saat melakukan tradisi Se’i.

PEMBAHASAN

Hampir sebagian besar etnik di Timor, terutama masyarakat perdesaan masih mempunyai tradisi maupun budaya yang kuat dalam kehidupannya (Windi, Y. K., & Whittaker 2012). Begitu pula halnya dengan masyarakat di Amanuban Barat, wanita mempunyai peran khusus dalam rumah tangga, salah satu tradisi yang masih dijalankan secara patuh di Kecamatan Amanuban Barat adalah tradisi perawatan ibu pascapersalinan (Prasodjo, 2009). Tradisi ini masih susah dihilangkan terutama di etnik pedalaman seperti Boti (di Timor Tengah Selatan) dan Hauteas (di Timor Tengah Utara), oleh karena masyarakat masih sangat patuh terhadap semua perintah Raja, sehingga masyarakat cenderung lebih memilih perawatan pasca melahirkan oleh dukun dari pada tenaga kesehatan (Prasodjo, et.al., 2015).

(9)

137

seperti ini, pihak puskesmas atau pihak program pembawa intervensi harus berusaha memberikan pemahaman melalui sistem pengetahuan mereka. Hal ini sesuai dengan hasil Buntoro dan pendapat Foster dan Anderson, yang mengatakan bahwa wanita yang baru melahirkan dianggap berada dalam kondisi dingin, berbeda halnya dengan saat ketika ia sedang hamil, yang dianggap berada dalam kondisi panas. Maka dalam kondisi dingin setelah melahirkan sang ibu dan juga bayinya dianggap memerlukan pemanasan (Buntoro, 2006; Anderson 2006). Pada kenyataannya panggang juga dapat ditemui di berbagai daerah, hal ini sesuai dengan pendapat Meutia F. Swasono, bahwa dilingkungan masyarakat yang menganut keyakinan mengenai dikotomi panas-dingin, kondisi wanita pasca persalinan dianggap mempunyai kualitas dingin, karena itu dalam beberapa kebudayaan wanita pasca persalinan diharuskan menjalani masa berdiang dekat tungku atau bara yang terus menerus menyala selama berberapa hari agar ibu dan bayinya berada dalam keadaan hangat (Swasono,1998). Kelembaban yang tinggi (80%) dalam rumah bulat Ume ‘Kbubu dapat berpengaruh pada kesehatan Ibu dan bayinya, hal ini sesuai yang diungkapkan oleh (Anwar, Athena 2014) dimana kelembaban yang tinggi merupakan kelembaban optimal untuk kehidupan beberapa jenis bakteri, tungau dan jamur yang bersifat allergen. Selain itu kelembaban relatif yang tinggi akan mempercepat laju reaksi SOx dan NOx dengan uap air membentuk asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Kedua asam tersebut berperan dalam etiologi perkembangan penyakit saluran pernafasan dan gangguan fungsi paru.

Berkaitan dengan keadaan Ume Kbubu yang menjadi lokasi para ibu paska melahirkan melakukan tradisi Se’i dan tatobi, Athena menjelaskan bahwa jika pencahayaan alami yang terukur di Rumah Bulat cenderung rendah, bahkan satu Rumah Bulat terukur 0 lux yang berarti sinar matahari sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan tersebut. Pencahayaan alami (matahari) berperan cukup besar terhadap kualitas udara dalam ruang, karena dapat mengurangi kelembaban dan dapat ultra violet dari sinar matahari dapat mendegradasi bakteri patogen seperti bakteri penyakit TB dan saluran

pernafasan. Rendahnya pencahayaan alami selain dapat menyebabkan ketidaknyamanan juga karena gelap, juga berisiko terhadap kesehatan karena mikroorganisme yang telah berada di ruangan akan tetap mencemari ruangan. Hal ini kemungkinan menjadi faktor penyebab tidak nyamannya ruangan dan tingginya proporsi ibu maupun bayi yang gangguan saluran pernafasan di Rumah Bulat (Anwar, Athena 2014). Keterpaparan pada pencemaran udara dalam ruang yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar berhubungan dengan kesehatan termasuk

Acute Lower Respiratory Infection (ALRI)

seperti pneumonia pada anak. Anak-anak yang tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar yang berpotensi menimbulkan pencemaran, mempunyai risiko dua sampai 4 kali dibandingkan dengan anak-anak di rumah tangga yang menggunakan listrik (Barnes, B. R., Mathee, A. Thomas 2009).

Semua dampak kesehatan yang pada ibu dan bayi berkaitan dengan tradisi masyarakat. Kuatnya masyarakat mempertahankan tradisi ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo bahwa seseorang menerima kepercayaan dari orangtua, kakek dan nenek berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmojo, 2008). Praktek budaya dan kuatnya kepercayaan pada tradisi adalah hal yang biasa bagi etnik hampir di dunia ini, termasuk Indonesia. Dari 1.331 etnik yang ada di Indonesia, sekitar 370 etnik masih melakukan tradisi budaya dalam kehidupannya (Rachmalina Prasodjo, et.al., 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(10)

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 16 No 3, Desember 2017 : 130 - 139

138

persalinan pada usia tersebut meningkatkan AKI dan janin 4-6 kali lebih besar dibandingkan wanita yang hamil dan bersalin di usia antara 20-30 tahun. Usia ibu melahirkan kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dan jika dialami ibu melahirkan pertama kali maka akan mempunyai risiko mengalami partus lama (Malidah, 2002).

Dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak, dilakukan dengan pendekatan

Continuum of Care yang dimulai sejak masa pra hamil, hamil, bersalin dan nifas, juga untuk bayi, balita, hingga remaja (pria dan wanita usia subur). Pada tahap persalinan dan nifas, diupayakan agar setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui pengembangan rumah tunggu kelahiran di daerah dengan akses sulit dan kemitraan bidan dan dukun untuk daerah dengan proporsi persalinan oleh dukun yang masih tinggi. Setelah melahirkan, diupayakan agar setiap ibu mendapat pelayanan nifas, termasuk keluarga berencana (KB) pasca persalinan. Hal yang juga tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah masalah kuatnya tradisi atau budaya suatu masyarakat yang berhubungan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (Kementerian Kesehatan, 2016). Pada masyarakat Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi NTT, ditemukan aspek kebudayaan yang dapat berpotensi menjadi masalah kesehatan, yaitu kedudukan wanita dalam tatanan adat istiadat setempat serta eratnya beban kerja wanita baik sebelum hamil maupun sesudah hamil. Bila keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, dikuatirkan akan semakin banyak kasus anemia, ISPA, luka bakar, bahkan kematian pada ibu dan bayi yang dilahirkannya.

Masyarakat (terutama ibu yang baru melahirkan) sangat taat pada adat istiadat yang telah diwariskan secara turun temurun

seperti melakukan Se’i, jika dilanggar ada

sanksi adat yang harus dipatuhi. Ada ’nilai -nilai’ yang melekat pada tradisi Se’i yang membentuk simbol persekutuan manifestasi dari tali persaudaraan diantara anggota keluarga.

Ada ketakutan dari para ibu pasca persalinan bila tidak mengikuti pantangan dan anjuran yang dikatakan oleh orangtua,

kerabat dan tetangganya, karena apabila terjadi suatu gangguan terhadap bayinya, maka pihak perempuan yang dipersalahkan karena dianggap tidak berhati-hati dalam mengurusi kehamilannya dulu.

Ibu pasca persalinan lebih banyak menjalani keharusan daripada menjalankan pantangan. Keharusan-keharusan ini lebih banyak berhubungan dengan makanan, ramuan obat-obatan, serta praktek-praktek perawatan tradisional.

Selama ini ibu nifas yang melaksanakan tradisi panggang (Se’i) memperoleh informasi tentang manfaat panggang (Se’i) dari orangtua dan dukun dengan keyakinan bahwa panggang (Se’i) akan bermanfaat bagi kesehatannya. Perawatan pasca persalinan yang dilakukan oleh ibu nifas bertujuan untuk mengembalikan tubuh ibu seperti keadaan sebelum hamil, menjadikan badan ibu cepat kuat sehingga ibu dapat membantu suaminya untuk bekerja kembali.

Saran

Untuk dapat mewujudkan pembangunan kesehatan yang baik, maka pemerintah perlu melakukan suatu upaya kesehatan melalui sarana kesehatan seperti Puskesmas. Sarana tersebut merupakan sarana yang paling dekat dengan masyarakat. Melalui program dari Puskesmas masyarakat dapat meningkat kesehatannya yaitu melalui program penyuluhan kesehatan. Dari penyuluhan kesehatan masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan kesehatan yang akhirnya akan diterapkan masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

(11)

139

Perlu diyakini bahwa penggalangan partisipasi seluruh tokoh masyarakat (adat, pemerintah, pendeta dan kesehatan) dapat memberikan solusi terhadap masalah ini dan sekaligus menggerakkan masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas kesehatannya.

Kemitraan antara bidan dengan dukun bayi dalam rangka alih peran pertolongan persalinan oleh bidan desa dapat meminimalkan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan balita. Melalui kemitraan ini diharapkan semua persalinan yang ditangani oleh dukun bayiberalih kebidan desa, kecuali hal-hal yang berhubungan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, F.&, 2006. Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI Press.

Anwar, Athena, Rachmalina S.Prasodjo., 2014. Kesehatan Ibu dan Bayi Yang Melakukan Tradisi Sei dan Gambaran Kesehatan Lingkungan Rumah Bulat (Ume Kbubu) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 5, No. 1. April 2014, 5(1 April 2014), pp.53–61.

Barnes, B. R., Mathee, A. Thomas, L.& B.N.H. energy, 2009. Indoor Air Pollution and Child Respiratory Health in South Africa. Journal of Energy in Southern Africa, 20, pp.4–13. Buntoro, A., 2006. Rumah Bulat jadi sumber penyakit

di Nusa Tenggara Timur? [Round house as the source of health problems in NTT Province?].

Kementerian Kesehatan, 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kesehatan, D., 2011. Profil Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2011,

Liamphuttong, P. and D.E., 2005. Research Methods, 2nd ed., Oxford, England.

Malidah, 2002. Penyakit Dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas, jakarta: EGC.

Notoatmojo, S., 2008. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, jakarta: Rineka Cipta.

Prasodjo, R., 2009. Studi kejadian kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi yang melakukan budaya Sei di kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (Unpublished research report), Jakarta.

Rachmalina Prasodjo, D. Anwar Musadad, Salut Muhidin, Jerico Pardosi & Silalahi, M., 2015. Advocate Program for Healthy Traditional Houses, Ume Kbubu, in a Timor Community: Preserving Traditional Behavior and Promoting Improved Health Outcomes. Journal of Health Communication, 20(1), pp.10–19.

Suhardjo, 1989. Sosio Budaya Gizi, Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.

Swasono, M.F., 1998. Kehamilan dan kelahiran dalam konteks budaya dan implikasinya terhadap kesehatan bayi dan ibu, jakarta: UI Press. Windi, Y. K., & Whittaker, A., 2012. Indigenous round

houses versus “healthy houses”: Health, place

and identity among the Dawan of West Timor, Indonesia. Health & Place 18th ed., Yamashita, T., Suplido, S. A., Ladines-Llave, C.,

Referensi

Dokumen terkait

Integrasi sosial positif terjalin dengan baik antara Etnis Nusa Tenggara Timur terhadap. masyarakat kelurahan Tegal Panggung Yogyakarta terlihat dari saling

Dari sisi kualitas Universitas Muhammadiyah Kupang menduduki urutan ke-2 PTS se-Nusa Tenggara Timur, hal ini berdasarkan penilaian akreditasi dari KOPERTIS Wilayah

Upaya Hukum Yang Ditempuh Oleh Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tengara Timur Memperbaiki Kebijakan Pemekaran Wilayah Yang Berbasis

Terlihat bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang relatif tanpa ancaman dari masyarakat; terlihat dari perkembangan skor indikator “ancaman kekerasan atau penggunaan

Penyelidikan terdahulu, di lapangan panas bumi Atadei, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur telah melakukan pemboran 2 Sumur Eksplorasi, AT-1 dan AT-2

Abstrak-- Penelitian ini mengkaji konflik pertambangan di kawasan Torong Besi, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai konsekuensi dari protes masyarakat

Tradisi mengunyah sirih pinang pada masyarakat Nusa Tenggara Timur masa kini adalah sirih pinang lengkap, yaitu sirih pinang yang terdiri dari darun sirih, buah pinang kering

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa masalah perkawinan dalam adat masyarakat Suku Rote Nusa Tenggara Timur khusunya Kecamatan Rote Barat Laut penentuan nilai