Ketika sastra dicetak:
perbandingan tradisi tulisan tangan dan cetakan dalam bahasa Sunda pada
paruh kedua abad ke-19
Dr Mikihiro MORIYAMA
Professor of Indonesian Studies
Faculty of Foreign Studies
Nanzan University
Pengantar
Keberaksaraan cetak (print literacy) mengubah unsur-unsur tradisi penulisan dan
praksis-praksisnya.1 Keberaksaraan cetak juga menjadi wahana bagi bentuk-bentuk baru dari
unsur-unsur kebudayaan, mencangkokkan tradisi dengan modernitas. Tentang bahasa,
cetakan menahan sifat menyimpang dan kelenturan bahasa, membakukan ciri kelisanan
dan ciri khirografik2 berbasis keberaksaraan.
‘Tulisan menyusun kembali kesadaran’—demikian diktum terkenal dari Walter J.
Ong yang diringkaskan dari teorinya tentang efek kelisanan, keberaksaraan khirografik
dan keberaksaraan cetak. Kesadaran manusia ditransformasikan ketika budaya kelisanan
diambil alih oleh budaya keberaksaraan. Hal yang sama juga dapat dikatakan ketika
cetakan menggantikan tulisan tangan: cetakan memperkuat dan mentransformasi
efek-efek tulisan atas pikiran dan perasaan manusia (Ong 1982: 117).
Dengan diterbitkannya buku pertama berbahasa Sunda, Kitab Pangadjaran Basa
Soenda, tahun 1850, tulisan Sunda memasuki suatu era baru. Penerbitan mula-mula
diusahakan oleh beberapa orang Belanda, seperti K.F. Holle (1829-1896), yang menaruh
perhatian serius dan sangat peduli pada masyarakat lokal, tetapi memiliki ide-ide yang
sangat jelas tentang bagaimana sebaiknya ‘sahabatsahabat Sundanya’ itu harus dibantu
-dan ide-idenya itu belum tentu paling bagus. Holle -dan sahabat Sun-danya, Moehamad
Moesa (1822-1886), telah memberikan pengaruh besar dalam bidang pendidikan dan
buku-buku sekolah. Pengaruh mereka menghilang setelah waktu berganti ke abad 20.
Pencetakan buku-buku dikerjakan terutama oleh percetakan milik Pemerintah
Landsdrukkerij di Batavia, yang letaknya dekat dengan jantung tanah. Penduduk Jawa
Barat sudah terbiasa dengan naskah-naskah jauh sebelum buku-buku cetakan pertama
muncul di tanah Sunda. Buku-buku terbitan baru lebih mudah diperoleh daripada
naskah-naskah, dan dapat menyentuh khalayak yang sangat luas. Hal ini telah menimbulkan
pelbagai konsekuensi yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh tuan-tuan penjajah
(Belanda).
Hasil-hasil terbitan Landsdrukkerij menawarkan bahan bacaan sebagai bentuk
visual baru, aksara baru (Latin), dan jenis-jenis tulisan baru. Konsep tulisan dan bacaan
1 Saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Suryadi dari Universitas Leiden atas penerjemahan
naskah dari bahasa Inggris dan juga atas bantuan rekan saya, Bapak Henri Daros untuk mengecek naskah ini.
2
pun mulai berubah. Karena itu juga hubungan antara pembaca dan pengarang dalam teks
jadi ikut berubah, dan pelbagai tulisan dengan gaya baru berkembang dalam hal mana
Belanda memegang peranan penting melalui pengadaan buku-buku sekolah dan
terjemahan atau saduran-saduran dari buku-buku Eropa. Sekolah-sekolah dan buku-buku
sekolah telah menciptakan golongan pembaca dan penulis baru. Terbentuklah khalayak
baru yang berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi
sepenuhnya buta huruf. Mereka masih terkait erat dengan tradisi lisan yang tetap dominan
di Jawa Barat untuk jangka waktu yang masih panjang. Makin banyak saja anak-anak
Sunda yang mulai membaca dan menulis dalam Bahasa Sunda. Pendidikan model baru
itu menghasilkan kawula baru dalam masyarakat bangsa terjajah. Demikianlah, melalui
buku-buku cetakan dalam huruf Latin, pendidikan model baru itu telah menghasilkan
tradisi keberaksaraan modern. Bagaimanapun, efek-efek dari semua ini jauh lebih dahsyat
dari yang diperkiraan Belanda.
Munculnya budaya keberaksaraan cetak dan segala sesuatu yang timbul menyertai
kehadirannya – buku-buku sekolah, koran-koran, cerita-cerita terjemahan – telah
menggoncangkan jagat kehidupan orang Sunda. Demikianlah umpamanya, mereka harus
mendefinisikan kembali pengertian semula tentang seni-seni lisan, juga tentang ‘buku’,
dan mereka harus membiasakan diri untuk mengenal dan merasakan nilai kesusastraan
dalam tulisan.
Pengamatan pada hasil-hasil kesusastraan Sunda dari masa paruh kedua abad
ke-19 menunjukkan bahwa para penulis Sunda mencoba mengadopsi satu cara baru untuk
memberi makna kepada alam lingkungan mereka. Salah seorang tokoh kunci yang tadi
telah disebutkan di atas adalah Moehamad Moesa (Moriyama 1990). Moesa adalah seorang
yang berasal dari golongan kaum menak Sunda yang hidup di antara tradisi dan
modernitas. Dia telah menulis 14 buku yang mencakup pelbagai topik. Karya-karya
Moesa menyandang peran penting dalam kehidupan kesusastraan Sunda, dan
memperoleh pengakuan dari kalangan kaum melek huruf Sunda dan juga di kalangan
pegawai-pegawai kolonial Belanda. Buku-bukunya dipakai di sekolah-sekolah
pemerintah bersubsidi dan dibaca oleh khalayak luas, dan menawarkan satu cara baru
untuk memahami dunia modern. Oleh karenanya buku-buku tersebut menduduki posisi
penting dalam perkembangan tulisan Sunda baru. Makalah ini akan membahas perubahan
tradisi penulisan Sunda dengan masuknya teknologi cetak dengan menitikberatkan
1. Dari Budaya Naskah ke Budaya Cetak
Dalam budaya naskah dengan sifat oral-aural yang kuat, para pembaca menyuarakan
teks yang ditulis tangan yang diletakkan di hadapan mereka. Sering juga pembacaan
naskah merupakan kegiatan bersama dan kadang kala diadakan dalam acara
adat-istiadat ataupun ritual. Tapi sama halnya ketika orang membaca sendirian: tampaknya
selalu ada perasaan bersama dimana kata-kata harus dibagi bersama. Membaca naskah
dengan bersuara juga masih merupakan motivasi utama: di dalam naskah-naskah,
kata-kata berdesak-desakan bersama atau ruang di antara kata-kata-kata-kata itu sempit, sehingga
membaca merupakan suatu kegiatan yang dari segi kesusastraan hakekatnya tidak lain
mengapresiasi kata-kata yang berada dalam proses pelafalannya: orang menafsirkan
sebuah teks secara oral-aural.
Tradisi membaca naskah tidak hilang seketika setelah munculnya buku-buku
cetakan mekanis, tetapi terjadi perubahan dalam aktivitas membaca. Dengan begitu
bagus dideskripsikan oleh Walter Benjamin sebagai berikut: ‘yang dibikin hancur di
zaman reproduksi mekanis adalah aura karya seni. Ini adalah proses simptomatis yang
sifat-sifat pentingnya berada di luar batas dunia seni. Orang boleh membuat generalisasi
dengan berkata: teknik reproduksi memisahkan objek yang direproduksi dari ranah
tradisi. Dengan membuat banyak reproduksi ia telah menggantikan adanya berbagai
perbedaan salinan yang unik. Dan reproduksi memungkinkan si pelihat atau pendengar
bertemu dalam situasinya yang unik untuk mengaktifkan kembali obyek yang
direproduksi’ (Benjamin 1970: 223). Reproduksi mekanis memiliki sifat baru:
masing-masing buku memiliki bentuk yang sama dalam penampilan dan ketikan huruf-hurufnya
betul-betul sama pada setiap halaman, berbeda dengan keanekaragaman yang mencolok
yang terdapat dalam naskah-naskah. Keseragaman yang timbul karena percetakan
memperkuat kecenderungan ke arah penguatan kesatuan suatu komunitas bahasa. Lagi
pula, masyarakat mulai berbagi rasa dalam tulisan dan pengetahuan tentang
perkembangan baru, dan dengan demikian menjadi suatu komunitas baru. Muncullah
praktek-praktek budaya yang baru dalam membaca dan menulis yang menciptakan
pola-pola solidaritas dan rasa kebersatuan yang hangat di dalam mana otoritas
naskah-naskah mulai dipertanyakan – dan budaya naskah-naskah mulai melemah.
Budaya keberaksaraan cetak terbentuk seiring dengan budaya keberaksaraan
dalam komunitas penutur bahasa Sunda di Jawa Barat pada paruh kedua abad ke-19.3
Sejumlah karya yang dibaca berbentuk naskah dan yang lainnya dibaca secara terpisah
dalam bentuk cetakan. Para pembaca tidak berhenti memakai naskah-naskah yang
memiliki makna kultural tersendiri, suatu ‘aura’ yang tidak mungkin digantikan oleh
buku-buku cetakan. Dan lagi, mereka yang membaca naskah-naskah di masa lalu adalah
orang yang sama yang juga mulai membaca buku-buku cetakan. Selama jumlah sekolah
terus meningkat, demikian pula halnya yang terjadi dengan buku-buku cetakan, dan
lingkaran mereka yang terbentuk oleh budaya keberaksaraan cetak akan semakin luas.
Budaya keberaksaraan cetak merupakan dasar bagi jumlah pembaca modern,
memperkenalkan inovasi-inovasi dan perubahan dalam khazanah tulisan berbahasa
Sunda.
Di dalam tradisi pernaskahan Sunda, tidak ada pungtuasi yang jelas sebagaimana
kita kenal dalam buku-buku cetakan.4 Ketiadaan hal ini menimbulkan arus tertentu pada
tulisan, di mana hanya pembacaan yang dapat menentukan kapan harus berhenti. Ini
berbeda dengan teks-teks cetakan, dimana tanda koma, titik dan setiap pergantian
paragraf membuat pembacaan berhenti. Cara baru mengatur teks telah menimbulkan
efek kepada cara berpikir orang (Ong 1982: 117). Dalam teks-teks cetakan, kata-kata
tampak lebih jelas, dan oleh karenanya jauh lebih mudah dibaca dibanding membaca
naskah-naskah. Sifat mudah dibaca ini cenderung memudahkan orang membaca dengan
cepat dan akhirnya dalam hening – yang pada gilirannya menuju kepada konseptualisasi
lain dan pandangan dunia lain yang di dalamnya akumulasi informasi menjadi lebih
penting daripada pembagian informasi di dalam komunitas.
Buku-buku itu hadir dan memiliki konsep-konsep yang sama dengan buku-buku
Eropa. Dalam buku-buku cetakan, halaman-halaman judul muncul pertama. Di situ
diinformasikan kepada pembaca tentang judul buku, pengarangnya, lengkap dengan
pekerjaan dan berbagai gelar yang disandang oleh sang pengarang, pencetak dan
penerbit (biasanya sama), dan tempat serta tahun terbitan. Sebagai contoh, kita dapat
membaca informasi seperti itu di halaman judul buku Ali Moehtar (lihat Gambar 1).
3
Dalam kasus bahasa Melayu, seorang penulis profesional dari Batavia, Muhammad Bakir, memiliki 76 judul naskah untuk disewakan pada akhir abad ke-19, sementara buku-buku cetakan juga dibaca orang (Chambert-Loir 1991). Ini memberikan sebuah contoh yang bagus tentang tumpang-tindih jumlah pembaca.
4 Cara menulis naskah mengenal tanda-tanda tertentu untuk membantu pemahaman teks walaupun tidak
sejelas pungtuasi Barat. Juga peraturan pembuatan puisi seperti dangding (tembang) atau pantun
Perwajahan buku cetakan dirancang oleh Landsdrukkerij yang dikelola oleh orang
Belanda.
Gambar 1. Karya Moehamad Moesa, Ali Moehtar, 1864.
Perbedaan-perbedaan antara buku cetakan dan naskah Sunda jelas dalam hal judul.
Naskah-naskah biasanya tidak memiliki judul dalam pengertian orang Eropa. Untuk
tujuan yang bersifat praktis, orang biasanya menyebut judul naskah-naskah menurut
nama tokoh utama dalam ceritanya, atau menamainya dengan mengambil satu frase dari
teks itu. Sedangkan buku cetakan memiliki judul. Lagi pula, ada buku yang memiliki
dua halaman judul, satu dalam bahasa Belanda dan lainnya dalam bahasa Sunda,
terutama pada masa awal pencetakan buku-buku itu (lihat Gambar 1). Barangkali,
halaman judul dalam bahasa Belanda dimaksudkan untuk menyenangkan para penguasa
dan pembaca Belanda – tetapi halaman judul itu juga dimaksudkan untuk memberi
suatu efek kepada pembaca dari kalangan orang Sunda: mereka dicerahkan lewat
Buku-buku cetakan abad ke-19 menyuguhkan nama dan identitas pengarangnya.
Nama dan pekerjaan atau pangkat si pengarang dalam jajaran administrasi kolonial
dicetak juga di halaman pertama. Penulis atau penyalin kini menjadi ‘pengarang’ yang,
dengan ‘wibawa’ pribadi, menyisihkan tradisi pernaskahan ke pinggir dan membuatnya
jadi marginal. Penulis atau penyalin tidak terlalu jelas identitasnya ataupun anonim
dalam tradisi pernaskahan. Dengan kata lain, dia tidak bertanggung jawab langsung atas
penulisan. Judul dan nama telah menempatkan pengarang pada posisi yang bertanggung
jawab dan bebas dari tugas untuk mentransmisikan pengetahuan para nenek moyang.
Dapat dikatakan bahwa pengarang menyampaikan pengetahuannya sendiri, dan dia
melegitimasikan pengetahuan tersebut bersama dengan identitasnya. Sang pengarang
membuat dirinya sendiri jadi jelas, menawarkan para pembacanya cara-cara baru untuk
menyusun pengetahuan.
2. Konsep Baru untuk Kitab, boekoe
Salah seorang sarjana Belanda terkemuka yang menguasai beberapa bahasa daerah di
Hindia Belanda, R.J.P.F. Gonggrijp,5 memberikan ringkasan dalam bahasa Melayu
tentang inisiatif pemerintah dalam kegiatan percetakan, sebagai berikut:
Dhoeloe-kala sabeloemnja orang tahoe ilmoe menera itoe, maka segala kitab djoega tersoerat dengan kalam. Koetika itoe segala kitab terlalo mahal arganja dan adalah sedikit orang sadja jang mengarti membatja dan toelis. Tetapi pada sakarang ini Kangdjeng Goebernemen mengaloewarkan kitab jang moerah sakali sopaja segala orang ketjil, besar, boleh membatja, dan sopaja orang beroleh goena deri pada batjanja itoe (Gonggrijp 1866: 6).
Gonggrijp memakai istilah kitab untuk merujuk pada buku-buku secara umum, sebuah
kata untuk buku-buku dalam bentuk naskah maupun cetakan.
Setiap naskah dinamai menurut kandungan isinya, sifat dan bentuk tulisannya
dalam tradisi. Demikianlah umpamanya, dalam bahasa Sunda terdapat berbagai istilah,
seperti carios atau carita (cerita, kisah), wawacan (puisi naratif), dongeng (cerita),
sajarah (sejarah), serat (tulisan). Hal ini terefleksi dalam judul-judul buku cetakan yang
awal, seperti Tjaritana Ibrahim (Cerita Ibrahim) dan Wawatjan Radja Soedibja. Tugu, sampai kepulangannya kembali ke Belanda tahun 1864. Segera dia diangkat lagi menjadi pengajar, dan memperoleh gelar professor di Sekolah Pegawai Kolonial di Delft pada tahun 1872. Di sana dia mendirikan kursus bahasa Sunda yang pertama di Belanda. Lihat juga Van der Putten (2000: 116-121). 6
bahasa Sunda muncul tahun 1881: Boekoe Batjaan Salawe Toeladan Pikeun
Moerid-Moerid Pangkat Panghandapna (Buku Bacaan 25 Cerita Teladan untuk Murid Sekolah
Paling Rendah), disusun oleh W. van Gelder, guru kepala Sekolah Pelatihan Guru di
Bandung. Secara berangsur-angsur kata boekoe digunakan untuk semua bentuk buku
cetakan. Gagasan baru tentang buku dibawa masuk ke dalam kebudayaan Sunda seiring
dengan penyebaran buku-buku cetakan. Di lain pihak, istilah kitab tetap dipakai sebagai
istilah untuk buku-buku yang memberikan nasehat, dan dalam praktek, maksudnya
lebih sering berupa nasehat-nasehat keagamaan.7 Kitab Injil adalah istilah yang dibuat
untuk menyebut terjemahan Injil, sementara buku-buku yang mengandung pesan-pesan
Islam diberi nama kitab kuning (Bruinessen n.d.).8 Pendek kata, pemakaian istilah kitab
oleh Gonggrijp untuk merujuk semua bentuk buku rupanya tidak bertahan lama.
Hal lain yang penting dalam pernyataan Gonggrijp di atas adalah harga kitab
dalam bentuk naskah. Sebelum orang Eropa tiba, naskah-naskah tidak pernah menjadi
komoditi yang diperjualbelikan; naskah-naskah itu dianggap sebagai harta-benda yang
disucikan ataupun bukti nyata ilmu pengetahuan. Para sarjana Eropa bersedia membayar
untuk memperoleh naskah-naskah itu. Ini tidak hanya mengubah fungsi dan status
naskah-naskah itu, tetapi juga mengilhami orang pribumi yang melek huruf untuk
memproduksi lebih banyak naskah dan menjualnya kepada siapa saja yang bersedia
membayar untuk naskah-naskah tersebut. Inilah yang menjadi cikal-bakal pembentukan
taman bacaan (Chambert-loir 1991).
Gonggrijp berharap ‘setiap orang’ akan membaca buku-buku ketika harganya
sudah jadi lebih murah, tetapi tidak demikian halnya yang terjadi: buku-buku memang
lebih murah daripada naskah, tetapi tidak benar-benar untuk setiap orang. Di samping
itu, jumlah orang yang melek huruf tetap kecil dan memang tidak ‘setiap orang’ akan
membaca. Lagi pula, bertolak belakang dengan harapan-harapan Gonggrijp,
naskah-naskah terus diproduksi dan ‘dikonsumsi’ dalam masyarakat penutur bahasa Sunda,
bahkan juga setelah pengenalan buku-buku cetakan.
Pengenalan buku-buku cetakan ke dalam ranah tulisan Sunda pada pertengahan
abad ke-19 tidak mengubah kebiasaan membaca orang Sunda secara drastis.
7
naskah masih berada bersama dengan buku-buku dan belakangan juga koran dan
majalah yang tersebar baik dalam jalur pendidikan maupun jalur komoditi. Dengan kata
lain, cetakan tidak berarti mengakhiri budaya naskah. Namun demikian, secara
berangsur-angsur muncul satu kelompok dalam masyarakat yang menjadi terbiasa
dengan buku-buku cetakan. Bagi orang tertentu, membaca buku secara
berangsung-angsur mulai menjadi sebuah aktivitas sehari-hari sebagaiman dilihat di bagian terakhir
makalah ini.
Di lain pihak, tidak dapat dielakkan bahwa penggunaan buku-buku sekolah
telah mengubah konsep-konsep yang telah ada tentang tulisan dan bacaan, terutama
sifatnya yang terkait dengan kesenangan dan hiburan di wilayah penutur bahasa Sunda.
Itu dapat terkait dengan apa yang oleh Gonggrijp disebut goena (guna). Sedangkan
Moehamad Moesa juga mengatakan dalam bukunya, ‘membaca bersenang-senang tidak
berguna’. Tentu saja kadang-kadang kita membutuhkan cerita-cerita seperti Rama dan
Angling Darma untuk kegembiraan. Tetapi kita harus membaca cerita-cerita yang
bermanfaat (manpaat)’. Dilanjutkannya sebagai berikut:
Sanget paneda kawoela, Saya sungguh-sungguh memohon ka Goesti raboel alamin, kepada Tuhan pencipta alam ijeu teh djadi manpaät, bahwa ini akan bermanfaat keur watjaeun moerangkalih, sebagai bacaan untuk anak-anak, soepaja djadi lantip, sehingga mereka akan menjadi pintar ahirna manggih rahajoe, dan akhirnya akan pemperoleh kedamaian. anoe kagoengan poetra, Mereka yang punya anak,
oelah rek koerang pamerdih, jangan lupa untuk mendorong
ka poetrana sing matja ijeu tjarita. anak-anaknya untuk membaca cerita ini.
Malaoer djeung matja tjarita, Ini lebih baik daripada membaca cerita anoe bohong taja hasil, yang bohong, tak ada hasilnya
matak bae kasamaran, yang menimbulkan kebingungan manahna maroerangkalih, dalam pikiran anak-anak.
maroekan enja boekti, Mereka jadi percaya bahwa itu benar. noe diseboet sakti wedoek, Hal yang dikatakan sakti dan kebal boga pikir noeroetan, [anak-anak] ingin meniru mereka hajang wedoek reudjeung sakti, ingin menjadi kebal dan sakti
3. Buku Cetakan dan Wawacan, Suatu Genre Tradisional
Jumlah buku yang dicetak pada paruh kedua abad ke-19 kurang lebih 200 judul. Sulit
untuk mengatakan apakah jumlah ini besar atau tidak, tetapi dalam tinjauan kembali jelas
bahwa buku-buku cetakan itu, yang membantu perkembangan sekolah-sekolah,
mengubah tulisan Sunda dan oleh karenanya juga mengubah kehidupan budaya di Jawa
Barat. Usaha-usaha percetakan lokal mulai berdiri, bentuk tulisan baru – jurnal-jurnal,
koran-koran dan cerita-cerita terjemahan – berkembang, dan kelompok orang yang
memiliki gagasan-gagasan progresif muncul dalam masyarakat. ‘Cetakan’ hanya
merupakan salah satu sarana menuju modernisasi dalam tulisan Sunda. Juga ada sarana
lain: lembaga-lembaga Islam, perkembangan bahasa Melayu, usaha-usaha kolonial untuk
membakukan ‘bahasa Sunda’, pembangunan sekolah-sekolah. ‘Tulisan modern Sunda’
merupakan simpul yang mengikat semuanya secara bersama-sama.
Ketika teknologi percetakan diperkenalkan ke dalam tulisan Sunda pada
pertengahan abad ke-19, wawacan sangat digemari orang Sunda. Oleh karena itu
sarjana-sarjana Belanda berkesimpulan bahwa ini adalah genre yang ‘paling tradisional’ dan
‘paling bergengsi’ di antara berbagai bentuk tulisan Sunda dan sarana paling baik untuk
pendidikan. Pemerintah kolonial menerbitkan publikasi berbahasa Sunda dalam bentuk
wawacan. Dari 87 buku bacaan, 51 publikasi di antaranya merupakan teks wawacan,
yakni hampir 60% dari jumlah keseluruhan. Banyak wawacan dipublikasikan dalam dua
periode: pertama pada tahun 1860-an, kemudian sekitar pergantian abad. Pada tahun
1860-an kebanyakan publikasi berbentuk wawacan, khususnya yang diterbitkan oleh
Landsdrukkerij. Ini merupakan hasil dari pengaruh K.F. Holle, yang percaya bahwa
wawacan paling efektif dalam memperkuat secara langsung identitas orang Sunda dan
membawa pencerahan.
Namun, wawacan secara berangsur-angsur kehilangan posisi dominannya: bentuk
puitiknya dan konvensi-konvensi berceritanya tidak cocok lagi dengan sifat yang
menyertai cetakan dan tuntutan modernitas. Makin banyak prosa yang diproduksi dalam
bentuk cetakan. Sudah barang tentu bentuk tulisan berinteraksi dengan dan mengubah
kebiasaan membaca. Secara berangsur-angsur perhatian orang terhadap cerita-cerita
tradisional yang ditulis dalam bentuk puisinya makin berkurang, yang biasanya
digunakan dalam acara-acara yang bersifat ritual. Juga, melagukan dan mendaraskan
tidak lagi satu-satunya cara membaca seperti dibahas di bawah ini. Tulisan prosa dalam
Tak pelak lagi, wawacan cetakan tidak teramat disukai oleh kalangan orang Sunda
yang melek huruf cetak, meskipun telah dipromosikan oleh Holle dan pemerintah
kolonial.
Holle dan Moesa boleh jadi tidak meramalkan bahwa orang akan lebih menyukai
terjemahan-terjemahan dan saduran-saduran yang berbentuk prosa itu daripada wawacan.
Bukankah wawacan itu ‘asli’ dan tulisannya adalah bentuk puitik yang digemari orang
Sunda, lebih daripada yang lain? Sebagai hasilnya, kedua segi yang amat istimewa itu -
‘keaslian’ dan bentuk puitik - tidak dapat memuaskan murid-murid yang mendambakan
modernitas. Ini merupakan fenomena yang bersifat paradoks: Belanda mempromosikan
wawacan sebagai sarana untuk mencerahkan pikiran orang Sunda; tetapi wawacan
cetakan, dengan sedikit pengecualian, tidak betul-betul sukses. Wawacan dan buku
cetakan semakin tidak (mungkin) dapat didamaikan, demikianlah tampaknya.
Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa wawacan tidak disukai. Katalog
Ekadjati (1988) memperlihatkan bahwa di banyak tempat di Jawa Barat wawacan telah
terpelihara dalam bentuk naskah. Wawacan Amar Sakti atau Wawacan Ogin, misalnya,
dapat ditemukan di berbagai tempat. Tampaknya karya ini sering disalin dengan tangan;9
naskah-naskah baru bahkan masih dibuat pada pertengahan abad ke-20 (Ayatrohaedi 1991).
Wawacan terus beredar dalam tradisi khirografik, terpisah dari wawacan cetakan.
Kenapa terjadi wawacan cetakan tidak digemari lagi? Memang orang Belanda
menganggap wawacan sebagai genre sastra tradisional Sunda yang ‘paling murni’ dan
‘paling bagus’ sehingga mereka mencoba menggunakannya untuk membawa informasi
guna mencerahkan pikiran orang. Holle meminta atau menyuruh para penulis Sunda
untuk mengarang wawacan yang akan dipublikasikan. Wawacan menjadi primadona,
meminggirkan genre-genre yang lain. Akan tetapi kemudian, wawacan cetakan itu lebih
bersifat informatif dan didaktik ketimbang wawacan ‘tradisional’ yang terdapat dalam
naskah-naskah dan dikarang terutama untuk hiburan. Demikianlah umpamanya,
Wawacan Seca Nala (Wawacan Secanala) yang diterbitkan tahun 1863, oleh Holle dan
Moesa dimaksudkan untuk memberi informasi kepada para petani dan pedagang
mengenai segala sesuatu dan gagasan-gagasan yang dianggap berguna. Segi ‘berguna’ itu
suatu nilai penting dalam penulisan baru yang dikemukakan oleh Gonggrijp di atas.
Bentuk tulisan tradisional itu amat dikenal oleh penduduk, tetapi wawacan seperti itu
9 Sumber: komunikasi pribadi dengan penduduk lokal Sunda pada bulan Agustus dan September 1995.
mengandung berbagai hal yang tidak dikenal dan aneh, yang pelan-pelan membawa
kematian pada wawacan. Kandungan baru dalam bentuk-bentuk genre yang lama: ini
merupakan kombinasi yang ganjil, yang juga mencirikan begitu banyak usaha pendidikan
lain di Hindia Belanda, dan membawanya menuju ke arah kegagalan.
4. Perubahan Bentuk Penulisan dan Perubahan Cara Membaca
Wawacan, dalam pengertian umum, adalah puisi naratif panjang yang dimaksudkan untuk
dipertunjukkan di depan khalayak. Wawacan selalu didendangkan, dan kadangkala
dinyanyikan dengan suara keras, yang dikarang dalam bentuk sajak yang disebut
dangding. Dangding menjadi suatu tradisi setelah golongan menak dan guru-guru agama
Islam dalam wilayah penutur Bahasa Sunda meminjamnya dari tradisi kesusastraan Jawa,
macapat, tatkala Kerajaan Mataram-Jawa menguasai Jawa Barat. Kalau dangding
dinyanyikan disebut juga tembang. Dangding sebagai suatu bentuk puisi dikagumi di
lingkungan kaum menak Sunda dan merembesi kaum élitenya.
Moehamad Moesa menyadari kelemahan dangding kalau dilihat dari segi
pemahaman isi. Dalam kata pengantar salah satu bukunya, Dongeng-dongeng
Pieunteungeun (Cerita-cerita Teladan), Moesa menjelaskan mengapa dia tidak menulis
dalam bentuk dangding:
Eta dongeng anoe reja, Kebanyakan cerita
teu dianggit make dangding, tidak dikarang dalam bentuk dangding, ngan make pada kalimah, tetapi dalam bentuk kalimah.
lain soesah njijeun dangding, Tidak berarti bahwa susah membuat dangding, ngan eta leuwih hasil, tetapi [kalimah] akan lebih baik hasilnya tara kasedek koe lagoe, jarang tersendat oleh lagu-lagu.
tjarita bisa kebat, Cerita dapat bergerak maju dengan cepat, tara katarik koe dangding. Jarang terhela oleh dangding,
Didangoena ngeunah gampang kaharitna. Enak didengar dan mudah dimengerti. (Moesa 1867: 5).
Kalimah adalah kata kunci di sini, dan kata itu mungkin paling bagus jika diterjemahkan
sebagai ‘prosa’. Moesa menjelaskan mengapa prosa lebih disukai daripada puisi
(dangding): cerita-cerita yang dikarang dalam bentuk kalimah dapat bergerak maju lebih
cepat ketimbang dalam bentuk puisi, di mana jalan ceritanya sering dibikin
tersendat-sendat oleh unsur-unsur hiasan (ornamentasi). Di samping itu, prosa lebih jernih dan jelas.
Dengan demikian, akibat kemunculan teknik-teknik percetakan, tulisan Sunda mengikuti
suatu jalan baru, di mana sifat mudah dibaca dan mudah dimengerti menjadi hal yang
lebih penting daripada unsur-unsur seninya. Sudah barang tentu ada ironi dalam
kenyataan bahwa Moesa merasa terdorong untuk menegaskan kelebihan prosa dalam
dangding sebelum memulai ceritanya yang berbentuk prosa – kenyataan ini dibaca seperti
sebuah momen simbolik masa transisi. Pada saatnya suara menjadi hening, demikian
yang disaksikan sendiri oleh Moesa, dan dangding akan kehilangan posisi superiornya
dalam khazanah tulisan Sunda. Anak perempuan Moesa, Lenggang Kantjana, membuat
beberapa catatan menarik tentang prosa dan kegiatan membaca:
Ijeu koe koela disalin, Ini saya yang menerjemahkan dipindahkeun kana soenda, dipindahkan ke bahasa Sunda
tapi diomongkeun bae, tapi diucapkan dalam bentuk prosa saja, hanteu dikarang koe tembang, tidak dikarang dalam bentuk tembang. saperkara soesahna, Pertama, sulit
neangan omongan roentoet, untuk mencari-cari omongan yang runtut parele bener dangdingna. yang harus bersesuaian dengan dangding.
Sanadjan teu salah dangding, Walaupun tak ada yang salah dengan dangding,
ari teu beres omongan, jika omongan tidak beres, tangtoe henteu djadi sae, tentu saja tidak akan jadi bagus. kaoela remen manggihan, Saya sering menemukan
noe ngarang basa soenda, orang-orang mengarang dalam bahasa Sunda, ngan ngoeroes bae dangdingdoeng, tapi hanya memperhatikan aturan dangding,
basana pabeulit pisan. Sehingga susunan katanya sangat membingungkan.
Kadoea anoe dipambrih, Kedua, apa maksudnya di sini,
noe matak henteu koe tembang, alasan menulis tidak dikarang dalam bentuk tembang
baris aoseun diilo, adalah bahwa dia dibaca dalam hati njalira di pagoelingan, ketika kamu sendirian di tempat tidurmu djeung dina korsi gojang, atau di kursi goyang.
eta kitoe noe dimaksoed, Itulah yang saya maksud dengan noeroetan oerang Eropa. mengikuti orang Eropa.
(Lenggang Kantjana 1887: 1-2)
Di dalam kata pengantar kumpulan cerita terjemahannya, Lenggang Kantjana memakai
kata omongan dengan arti prosa. Lenggang Kantjana telah menjadi orang pertama yang
menyatakan dalam tulisan bahwa membaca dapat dilakukan seorang diri, untuk diri
sendiri, bahkan mungkin dalam hening. Cerita-cerita adalah baris aoseun diilo, ‘sesuatu
yang dibaca dalam hati’, demikian dia berpendapat; diilo mengacu kepada membaca
sendiri atau dengan suara yang lemah dan membaca cepat (Coolsma 1913: 240).10 Membaca
sebuah buku adalah aktivitas yang bisa dilakukan sendirian, dalam hening yang dapat
dilakukan oleh para pembaca Sunda sambil tiduran di tempat tidur atau duduk di kursi
goyang, persis seperti yang dilakukan oleh orang Eropa. Omongan dan diilo adalah istilah
perubahan posisi prosa dan puisi dalam penulisan Sunda. Pemasukan mesin cetak ke
dalam tradisi penulisan Sunda mengubah pemahaman tentang penulisan orang Sunda
yang ada pada pertengahan abad ke-19.
Penutup
Dari oralitas ke keberaksaraan perlu dikaitkan dengan sarana atau media penulisan.
Ketika media cetak memasuki dunia keberaksaraan, pelbagai segi kebudayaan berubah:
perwujudan ‘buku’, bentuk tulisan, dan cara membaca. Perubahan semacam itu
tampaknya terjadi juga ketika muncul radio dan televisi sebagai teknologi baru. Oralitas
dan auralitas kembali memasuki dunia pemikiran orang dengan cara yang tak dikenal
sebelumnya. Namun, itu berbeda dari budaya oral-aural dalam pernaskahan dahulu. Juga
visualitas mulai menginvasi pemikiran orang dan semakin menjadi dominan dalam
kehidupan orang. Mungkin saja sebagian orang yang tak melek huruf di Indonesia
langsung saja masuk ke dunia ‘audio-visual’ tanpa melalui keberaksaraan. Melihat dan
mendengar pernah sangat penting dalam kesenian dan kesusastraan di
komunitas-komunitas tradisional, tapi itu akan menjadi penting dalam arti dan arah yang lain. Yaitu
dari komunitas ke individualitas. Orang tidak lagi berbagi perasaan dengan orang lain tapi
menyendiri di depan layar liquid-crystal termasuk komputer pribadi. Apakah sastra pun
akan ikut berubah dalam pelbagai segi sebagaimana terjadi ketika mesin cetak memasuki
dunia sastra?
10 Kata diilo masih dipakai dalam pengertian ‘membaca dalam hati’ (maca ku hate) (Satjadibrata 1954:
Daftar Pustaka
Ayatrohaedi; Abdurachman, 1991. Wawacan Ogin Amarsakti, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pesantren Milieu’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (2 and 3): 226-269.
---, n.d, Lijst van Kitab Kuning. Religieuze literatuur in het Arabisch, Maleisch schrift, [her] uitgegeven in Indonesia, Malaysia of Singapore, verzameld in 1987 door Martin van Bruinessen, mimeographed.
Chambert-Loir, H., 1991. ‘Malay Literature in the 19th Century; The Fadli Connection’, in J.J. Ras and S.O. Robson ed., Variation, Transformation and Meaning.
Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw, pp. 87-114,
Leiden: KITLV Press.
Coolsma, S, 1913. Soendaneesch-Hollandsch woordenboek, 2nd. edition, Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij.
Ekadjati, E. S., ed. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Tokyo: The Toyota Foundation. Eringa, F.S., 1984. Soendaas-Nederlands Woordenboek, (mede met gebruikmaking van
eerder door R.A.Kern bijeengebrachte gegevens), Dordrecht, Cinnaminson: Foris Publications Holland.
Gonggrijp, J.R.P.F., 1866. Kitab pengadjaran akan goena anakh-anakh jang bahroe mengarti membatja, Batavia: Landsdrukkerij.
Lenggang Kantjana, 1887. Warnasari jilid III, Batavia: Landsdrukkerij.
Moesa, Moehamad, 1867. Dongeng-dongeng Piêntêngên, Batavia: Landsdrukkerij. Moriyama, Mikihiro, 1996. ‘Discovering the 'language' and the 'literature' of West Java:
an introduction to the formation of Sundanese writing in 19th century West Java’,
Southeast Asian Studies 34 (1): 151-83.
---, 2000. ‘Moehamad Moesa, print literacy, and the new formation of knowledge in nineteenth-century West Java’, Indonesia and the Malay World 28 (80): 5-21. ---, 2003. A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of
Writing in Nineteenth-Century West Java, Dissertation, State University of Leiden.
Ong, Walter J., 1982. Orality and Literacy. The Technologizing of the Word, London, New York: Routledge.
Putten, Jan van der, 1997. ‘Printing in Riau. Two Steps Toward Modernity’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (4):717-736.