• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakteristik Arsitektur Khas Pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Karakteristik Arsitektur Khas Pada"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EDISI

VOLUME

NOMER

ISSN

04

02

Juni 2014

2087-27 9

3

(2)

JURNAL ARSITEKTUR UBL

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Diterbitkan oleh Universitas Bandar Lampung.JA! UBL merupakan media pendokumentasian, sharing, dan publikasi karya ilmiah yang berisi karya-karya riset ilmiah mengenai bidang ilmu

perancangan arsitektur dan bidang ilmu lain yang sangat erat kaitannya seperti perencanaan kota dan daerah, desain interior, perancangan lansekap, dan sebagainya.

ISSN: 2087-2739

PELINDUNG

Ir. H. M. Yusuf Barusman, M. B. A. (Universitas Bandar Lampung)

PENASEHAT

Dr. Ir. Hery Riyanto, M. . (T Universitas Bandar Lampung)

PENANGGUNG JAWAB

Ardiansyah. ST., MT. (Universitas Bandar Lampung)

DEWAN REDAKSI

Prof. Dr. Julaihi Wahid (Universitas Sains Malaysia) Prof. Dr. Ir. H. Slamet Tri Sutomo, M.S. (Universitas Hasanuddin)

Prof. Ir. Totok Rusmanto, M.Eng Universitas Diponegoro. ( ) Dr. Ing. Ir Gagoek Hardiman. (Universitas Diponegoro) Dr. Ir. Hery Riyanto, M. . (T Universitas Bandar Lampung)

David Hutama, ST., M.Eng (Universitas Pelita Harapan)

MITRA BESTARI

Dr. Ir. Budi Prayitno, M.Eng. (Universitas Gajah Mada) Dr. Eng. Ir. Ahmad Sarwadi, M. Eng. (Universitas Gajah Mada) Dr. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng.Ph. D. (Universitas Gajah Mada)

Prof. Ir. Eko Budiardjo, M.Sc Universitas Diponegoro ( ) Prof. Ir. Liliany Sigit Arifin, M.Sc., Ph. D. (Universitas Petra)

Dr. Budi Faisal (Institut Teknologi Bandung)

REDAKSI PELAKSANA Ardiansyah. ST., MT.

TIM GRAFIS DESAIN Ari Apriyadi

Meipina

ALAMAT REDAKSI DAN DISTRIBUSI Program Studi Arsitektur,

Fakultas Teknik

Gedung I, Universitas Bandar Lampung Jalan Zainal Abidin Pagar Alam No.26

Labuhan Ratu, Bandar Lampung Lampung

Telp.:0721-773988 Fax.:0721-701467

E-mail.:psars_ubl@yahoo.co.id a/ rdiansyah.mt@gmail.com / ardiansyah@ubl.ac.id

Penyuntingan menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas HVS A4. Panjang 10-20 halaman. Font yang dipakai adalah Times New Roman dengan ukuran

12. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Dewan Redaksi. Penyuntingan dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.

(3)

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM REDAKSI

DAFTAR ISI

DARI REDAKSI

STUDI KARAKTERISTIK ARSITEKTUR KHAS PADA WARUNG TEGAL DI JABODETABEK (Muhammar Khamdevi & Iqbal Rasyid Nasution)

PENGEMBANGAN KAWASAN KAMPUNG IKAN RAMAH LINGKUNGAN UNTUK MENDUKUNG PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN

(Galing Yudana & Bambang Pujiasmanto)

PENGUATAN SINERGI ANTARA PASAR TRADISIONAL DAN MODERN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN EKONOMI KERAKYATAN

( Istijabatul Aliyah)

SALURAN DRAINASE DAN TROTOAR SEBAGAI ELEMEN ESTETIKA KORIDOR JALAN (Studi Kasus Jalan RA Kartini, Bandar Lampung)

(Ilham Malik)

EKSPLORASI ARSITEKTUR SEBAGAI SALAH SATU METODE DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR MAHASISWA AKTIF DI JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

(Ari Widyati Purwantiasning)

TINJAUAN LAYOUT STAN DAN SIRKULASI PADA BANGUNAN EXHIBITION

DI JAKARTA

(Muhammad Syahroni & Ardiansyah)

PEDOMAN PENULISAN

FORMULIR BERLANGGANAN

i ii iii

1

10

22

32

40

48

(4)

DARI REDAKSI

Puji sukur kepada Allah SWT, atas terbitnya kembali Jurnal Arsitektur Universitas Bandar Lampung (JA! UBL), Volume 4, Nomor 2, Edisi Juli 2014. Pada terbitan ke 7 ini, Redaksi semakin mengedepankan usaha untuk mencapai standar akreditasi jurnal ilmiah dengan cara menyesuaikan format penulisan sesuai dengan standar jurnal internasional. Redaksi juga memperkuat barisan reviewer dalam Dewan Redaksi kami dengan mengundang para pakar dan akademisi level nasional dan mancanegara yang lebih kompeten di bidang-bidang yang sesuai dengan jurnal ini. Cita-cita Redaksi adalah menjadi jurnal ilmiah arsitektur yang terakreditasi dan oleh karena itu, Redaksi mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah memotivasi dan membantu keberlanjutan terbitnya JA! UBL ini.

Redaksi kali ini memuat 6 (enam) judul jurnal / karya ilmiah yang telah melalui proses review yang cukup panjang. 4 (empat) judul ditulis oleh para peneliti yang berasal dari berbagai universitas di Indonesia diantaranya Universitas Mercu Buana, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, sedangkan selebihnya berasal dari peneliti di lingkungan Program Studi Arsitektur, Universitas Bandar Lampung selaku penerbit dan pengelola dari JA! UBL ini.

Tema edisi kali ini adalah Arsitektur dan Peran Sertanya dalam Kehidupan Masyarakat. Pada edisi ini dapat dibaca jurnal/karya ilmiah yang berkaitan dengan peranan kajian atau studi arsitektural dalam memecahkan masalah dan memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Misalnya seperti yang ditulis oleh Muhammad Khamdevi dan tim yang meneliti tentang bagaimana mengidentifikasi karakterisik khas warung Tegal dalam bidang Arsitektur. Juga bagaimana misalnya Galing Yudana dan tim melakukan kajian tentangpengembangan kawasan kampung ikan ramah lingkungan untuk mendukung penguatan ekonomi kerakyatan.

Pada tulisan selanjutnya, Istijabatul Aliyahmeneliti tentangpenguatan sinergi antara pasar tradisional dan modern dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan ekonomi kerakyatan. Yang lebih detil adalah saluran drainase dan trotoar sebagai elemen estetika koridor jalan oleh Ilham Malik. Lalu kajianeksplorasi arsitektur sebagai salah satu metode dalam proses belajar mengajar mahasiswa aktif di jurusan arsitektur universitas muhammadiyah jakarta olehAri Widyati Purwantiasning. Dan yang terakhir Muhammad Syahroni dan tim menulis tentang tinjauan layout stan dan sirkulasi pada bangunan exhibition di jakarta.

Kami mengundang para peneliti, dosen dan praktisi yang mempunyai ketertarikan di bidang arsitektur seluas-luasnya untuk mengirimkan tulisannya dengan syarat dan cara yang termuat di halaman terakhir JA! UBL ini. Kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnal maupun isi jurnal ini, sangat kami harapkan.

(5)

STUDI KARAKTERISTIK ARSITEKTUR KHAS PADA

architecture product that is developed by the people without the intervention of an architect. It is one of many traditional restaurants that are growing in Indonesia. The form of the building is an expression of its culture that it carried. But the competition against the modern (western) restaurant caused threats to its existence and s i m u l t a n e o u s l y d i m i n i s h i t s u n i q u e characteristics. This study aims to identify the characteristics of Warung Tegal in the field of architecture, as documentation attempt to be used as a useful reference in the future. This study used qualitative methods to analyze the objects more. The results of the study were divided into three systems. Spatial Systems; the space shape tends to be simple and rectangle, the space arrangement consists of a terrace, main hall (dining and pantry / food display window), service (kitchen and toilet) and sleeping room, the food ordering by appoinment to the food display window, and sellers take orders, the food display table is “L” shaped and situated on the left side or the right side of the room, and the door is generally amounts to 2 (two) and situated on the left and right sides. Physical Systems and Figural Quality; the building materials tend not specific but contemporary, the use of blue color on the walls, the window is woods composition, or glass, or standing board, or none at all, the signage on the front facade, the gable roof havethe sloping sides at the front and rear, between the front and rear spaces there is a dividing wall that separates the private space and the public space. Stylistic Systems; the blue color as Tegal identity, the adoption of porch (veranda) of tegal's traditional houses, the woods composition adopted the“klontongan” shop door, the food display table is the development of the warung's traditional table, and the use of

glass shop windowas the adoption of a general shop window.

Keywords:Warung Tegal, Vernacular Architecture, Culinary Tourism, Identity, Brand Image

(6)

2 bersifat privat dan ruang yang bersifat publik.

Sistem Stilistik; warna biru sebagai ciri khas Tegal, adopsi teras (emperan) rumah tradisional tegal, susunan kayu pada jendela lebih khas dan mengadopsi pintu warung klontongan, meja etalase adalah perkembangan dari meja gelar warung tenda, dan penggunaan etalase kaca merupakan adopsi dari etalase toko.

Kata Kunci:Warung Tega Arsitektur Vernakular, Wisata Kuliner, Identitas, Citra Mer ke

1 PENDAHULUAN

Warung Tegal (Warteg) adalah salah satu dari berbagai jenis warung makan dan rumah makan tradisional yang menyajikan makanan dan pel ay anan y an g men cermi nkan k arak ter masyarakat daerah Tegal. Sajian yang disuguhkan umumnya tidak spesifik, terdiri dari banyak ragam sayur dan lauk. (Juanda, 2004). Terdapat banyak versi mengenai sejarah Warteg. Satu versi menyatakan bahwa warteg muncul ketika banyaknya proyek pembangunan infrastruktur di Jakarta tahun 50-an dan 60-an, di mana imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek berbentuk bedeng proyek.

Versi kedua bermula dari setting gegeran Mataram-Batavia antara Sultan Agung dan VOC, dimana terjadi pengerahan warga Tegal sebagai p r a j u r i t p e n g g e m p u r V O C d i B a t a v i a (Hastiyanto, 2010). Versi yang paling kuat adalah berasal dari keterangan Koperasi Warung Tegal (KOWARTEG). Warteg ternyata sudah ada di sudut-sudut kota Tegal berupa warung-warung tenda seperti halnya warung tenda yang umumnya tersebar di wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa, seperti Angkringan di Yogyakarta dan Wedangan di Solo. Sedangkan Warteg tertua di Jakarta adalah Warteg Pak Warno di dekat lapangan udara kemayoran yang berdiri tahun 1948 dengan ukuran 3x4 m2 dan pertama kali melakukan terobosan penggunaan etalase kaca. Setelah itu, Wartegnya berkembang menjadi lebih permanen seperti Warteg yang kita lihat sekarang (Putra, 2012).

Di Indonesia, rumah makan atau restoran biasanya diasosiasikan sebagai tempat makan dengan usaha skala besar untuk pelanggan dari kalangan menengah ke atas. Sedangkan, tempat makan dengan usaha skala kecil untuk pelanggan dari kalangan kelas menengah ke bawah biasanya

disebut warung makan atau kedai makan (Ayodya, 2007). Ciri khas warung makan adalah tempat makan dengan ruang dan perabot sederhana (Ayodya, 2010).Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, warung adalah tempat menjual makanan, minuman, kelontong, dsb; kedai; lepau (Alwi, 2007).Untuk karakter rumah makan etnis (tradisional), terutama di Asia, biasanya diekspresikan pada desain dari dasar pemikiran dan ritual presentasi dan pelayanan makanan. Pemasaran, makanan tradisional dan metode penyiapan mungkin telah dimodifikasi sesuai cara Barat (Neufert, 2002).

J a m a n d a h u l u , w a r u n g a t a u k e d a i diidentikkan dengan tempat minuman keras, bermain judi sekaligus bermain wanita. Sekarang masih ada sisanya dan biasa disebut warung "remang-remang". Namun semenjak Islam datang ke Indonesia, warung menjadi tempat usaha yang lebih bermanfaat, seperti warung toko, warung kopi dan warung makan (Eson, 2011). Syekh Maulana Malik Ibrahim pernah membuka warung di Desa Sembalo, Gresik, menjual barang kebutuhan pokok dengan harga murah. Di warung inilah beliau memulai dakwah Islam di Gresik (Syamsu, 1999). Sampai saat ini, Gresik juga terkenal sebagai kota "warung kopi".

Bukti masakan warisan budaya masa lalu masih bisa dinikmati hingga kini, namun sayangnya belum ada dokumentasi sejarah yang ditulis secara lengkap oleh para ahli sejarah mengenai kuliner Indonesia, terutama rumah makan. Lebih buruk, belum ada kebijaksanaan yang mendukung pengembangan kuliner asli Indonesia (Alamsyah, 2008).

Rumah makan tradisional Indonesia juga selalu mengalami persaingan yang sangat berat terhadap menjamurnya restoran-restoran luar negeri akibat era globalisasi, seperti McDonald, KFC, Starbucks dan lain-lain. Hal ini telah menyebabkan terjadinya penjajahan baru yang awalnya hanya dalam dimensi ekonomi, sekarang telah menyentuh dimensi budaya. Fenomena ini disebut Imperialisme Kebudayaan (cultural imperialism) yaitu fenomena di mana perusahaan multinasional besar dan media dari negara-negara maju mendominasi negara-negara berkembang. Barat tidak saja menanamkan modal dan infrastruktur fisik, namun sekaligus memaksakan modal budayanya untuk diterima sebagai nilai tunggal peradaban manusia mendatang (Schiller, 1976).

(7)

Edward Said menggunakan istilah “orientalism” untuk menunjuk bagaimana peradaban kita, Timur, dikonseptualisasi oleh kebudayaan, paradigma dan ilmu pengetahuan Barat mu lai era k o lon ial is me. Hal in i menunjukkan cara Barat mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai Timur. Dengan adanya kesadaran poskolonial ini, memicu kesadaran bahwa walau penajajahan secara fisik telah berakhir, namun penjajahan pikiran, jiwa, dan bu daya masih terus berlangsung. Lokalitas dihakimi, dianggap m e n y i m p a n g d a n d e n g a n n y a b e r u s a h a disingkirkan. Masyarakat yang terjajah biasanya menempuh proses "mimicry" atau peniruan dalam menghadapi wacana penjajah mengenai emansipasi dan kesetaraan dengan kaum penjajah (Said, 2003). Hal atau cara “modern” dianggap dan diukur sebagai hal atau cara Barat.Lalu mereka mengikutinya dan meninggalkan cara Timur atau budaya tradisional sendiri. Sehingga bekas-bekas identitas dirinya pun menjadi terkikis pelan-pelan hingga hilang.

Rumah makan tradisional adalah salah satu objek warisan budaya secara fisik dan telah bertransformasi mengikuti arus waktu sejarah. Penelitian tentang arsitektur vernakular dan tradisional hingga kini cenderung hanya membahas rumah, kampung maupun kota tua. Maka perlu upaya untuk mendokumentasikan, sebagai langkah awal dalam melestarikan karakteristik lokalitasnya, terutama secara arsitektural. Arsitektur vernakular berkembang dari arsitektur rakyat yanglahir dari komunitas etnik dan berlandaskan tradisi etnik, serta d i b an g u n o l eh t u k an g be rp en g al am an , menggunakan teknik dan material setempat, s e rt a m er u p ak an j a wa b a n at as s e t t i n g lingkungan tempat bangunan berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi (Turan, 1990). Ia akan menjadi arsitektur tradisional jika melalui proses turun-temurun yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal sehingga menciptakan tatanan perancangan (Suharjanto, 2011).

Karakteristik rumah makan diperlukan sebagai identitas. Tiap bangunan membutuhkan identitas supaya dapat dengan mudah dikenali dan dipahami oleh masyarakat, terutama tipologi fungsi bangunan tertentu maupun budaya atau kedaerahan. Identitas tersebut

disampaikan dengan bahasa arsitektur tertentu untuk mengungkapkan ekspresi dan karakter yang diinginkan melalui pemakaian elemen-elemen dan unsur-unsur pembentuk bangunan yang merupakan kombinasi dari metode dan gaya tertentu.

Manusia dalam mengamati lingkungannya selalu berupaya untuk menemukan karakter terpenting pada lingkungan dan menyimpannya dalam ingatan sebagai penanda (Bell et al, 1996). Citra identitas akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya (Lynch, 1982).

Dalam Semiotika, penanda memiliki dua entitas, yakni "signifier" sebagai citra suara dan "signified" sebagai konsep, yang keduanya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan (Berger, 1998). Penanda bisa berupa verbal atau penanda visual non-verbal, terutama tulisan dan g am b a r (Zo e s t, 1 9 9 2 ) . S i s te m p e n an d a mencerminkan asumsi masyarakat sebagai pembaca tanda pada waktu tertentu. Hal itu, tergantung pengalaman pribadi dan budaya pembaca maupun konvesi yang dialami dan diharapkan pembaca (Barthes, 1957). Salah satu contoh adalah penggunaan atap Bagonjong diasumsi oleh masyarakat di Jabodetabek sebagai penanda pada Rumah Makan Padang (Khamdevi, 2012).

Identitas juga bersinggungan dengan pengertian “brand image”(Citra Merek) secara luas, yang merupakan salah satu cara pemasaran dalam sebuah strategi bisnis, terutama pada restoran.Brand atau merek adalah suatu nama, kata, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari semuanya yang mengidentifikasikan pembuat atau penjual produk dan jasa tertentu (Kotler et al, 2003).

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah kriteria-kriteria karakteristik arsitektur khas Warung Tegal (Warteg) sebagai referensi bagi para arsitek maupun pengusaha dalam merancang maupun mengembagkan perancangan Warung Tegal.

(8)

4

JA! No.4 Vol.2 Muhammar Khamdevi Iqbal Rasyid,

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang di dalamnya memaparkan teori dasar, studi kasus, dan analisis. Metode kualitatif adalah metode penelitian sifatnya deskriptif dan induktif. Pada metode ini, penelitian berangkat dari data yang ada yang diperoleh dari studi literatur, observasi, dokumentasi dan wawancara.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purposif, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2012). Pemilihan sampel bersifat sementara, menggelinding seperti bola salju, disesuaikan dengan kebutuhan, dan dipilih sampai jenuh (Lincoln dan Guba, 1985).

D a l a m p e n g u m p u l a n d a t a , m e t o d e triangulasi digunakan untuk menguji kredibilitas data (Sugiyono, 2012). Lalu data-data yang dikumpulkan tersebut dianalisis bagaimana karakteristiknya secara arsitektural.Untuk mengetahui karakteristik bangunan dapat dilakukan dengan manganalisis:

1. Sistem spasial: pola ruang, orientasi, hirarki

2. Sistem fisik dan kualitas figural: wujud fisik, bahan/material, dan pembatas ruang 3. Sistem stilistik: atap, kolom, bukaan, dan

ornamen

(Habraken, 1988).

3. Hasil dan Pembahasan

Berikut hasil studi karakteristik arsitektur khas warung tegal di wilayah Jabodetabek adalah:

1. SistemSpasial

Keruangan Warteg sangat sederhana sekali. Luas bangunan Warteg bervariasi, tergantung dari kondisi bangunan dan lahan yang terbangun dan tersedia. Biasanya lebar bangunan Warteg sebesar 3 hingga 4 meter.

Di depan Warteg terdapat sebuah teras. Teras ini diperuntukkan sebagai Ruang Tunggu sekaligus Ruang Area Merokok diperuntukkan bagi pembeli jika tempat duduk sedang penuh. Selain itu teras ini juga berfungsi sebagai tempat berteduh. Lebar teras biasanya antara 1 hingga 3 meter. Biasanya pada teras disediakan bangku panjang untuk duduk.

Gambar 1.

Situasi ruang di Warteg Karang Tengah, Ciledug, Jakarta Barat (atas) dan Warteg Sederhana, Kebon

Jeruk (bawah)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2013 dan 2014

(9)

m e n g g u n a k a n b a n g k u s a t u a n n a m u n berhimpitan. Perlakuan ini dimaksudkan untuk m e n c i p t a k a n s u a s a n a k e b e r s a m a a n d a n pelanggan dapat dengan mudah memilih makanan dan supaya dapat menambah nafsu m a k a n p a r a p e l a n g g a n a g a r m e n a m b a h pesanannya lagi.Pada sisi dalam etalase adalah ruang pemilik atau penjual Warteg untuk melayani pengunjung. Di sisi dalam ini juga terdapat tempat penyiapan nasi, alat-alat makanan dan minuman.

Gambar 2.

Denah Warteg Widya, Rawa Bokor (kiri), Warteg Barokah, Daan Mogot (tengah), dan Warteg Sari Kembang, Meruya Selatan (kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2013 dan 2014

Sedangkan di belakang ruang utama terdapat dapur, toilet dan ruang hunian sebagai tempat tinggal pemilik Warteg. Ruang belakang ini dipisahkan oleh dinding, sehingga tidak terlihat oleh pelanggan dan juga menjaga privasi. Ruang hunian biasanya adalah kamar tidur. Jika Warteg sedang tutup, ruang utama Warteg dapat digunakan sebagai ruang keluarga.

Secara umum kegiatan penjual dan pembeli sama seperti rumah makan biasa. Satu yang khas adalah kegiatan memesan makanan yang dilakukan pembeli dengan menunjuk makanan yang diinginkan pada etalase, sedangkan penjual mengambil pesanan tersebut di depan pembeli. Selain itu ada kegiatan memesan tapi tidak makan di tempat, melainkan dibungkus untuk dimakan di luar Warteg. Berikut skema kegiatan pembeli di Warteg pada umumnya:

Gambar 3.

Skema kegiatan pembeli di Warteg Sumber: Analisis Pribadi, 2014

2. SistemFisik dan Kualitas Figural

Tiap elemen fisik bangunan menggunakan bahan bangunan yang tidak spesifik dan cenderung menggunakan bahan bangunan kontemporer. Pondasinya menggunakan pondasi batu kali. Lantainya menggunakan semen beraso maupun keramik biasa. Dinding menggunakan batu bata atau triplek kayu atau kombinasi keduanya. Langit-langit menggunakan triplek kayu. Rangka atap menggunakan kayu, dan tidak spesifik jenis kayunya. Untuk penutup atap diselesaikan dengan genteng keramik atau asbes.

Gambar 4.

Fisik Bangunan Warteg Karang Tengah, Ciledug (atas) dan Warteg Widya, Rawa Bokor

(bawah)

(10)

6 Muhammar Khamdevi Iqbal Rasyid, JA! No.4 Vol 2

Perlakuan yang khas pada fisik bangunan terlihat dari penggunaan cat warna biru pada dinding bangunan. Ada yang berwarna biru penuh, ada yang sebagian, dan ada yang tidak sama sekali. Penggunaan warna biru ini mencerminkan Tegal sebagai Kota Bahari, dan sudah menjadi identitas. Selain itu penggunaan susunan kayu pada fasade, terutama jendela bangunan umumnya sangat lekat dengan identitas Warteg. Jika Warteg buka, satu papan dicopot, lalu papan-papan yang lain diberi jarak, sehingga berfungsi sebagai jendela untuk pencahayaan dan penghawaan. Jika Warteg tutup, jendela ini tertutup rapat. Namun sekarang ada beberapa Warteg yang tidak lagi menggunakan jendela susunan kayu ini, melainkan kaca. Ada pula yang tidak memiliki fasade, baik kayu maupun kaca, karena luas bangunan yang kecil dan terbatas dan pintunya menggunakan rolling door. Sehingga beberapa Warteg menggunakan papan berdiri, seakan-akan ada 2 (dua) pintu masuk seperti Warteg pada umumnya, tapi ada juga yang tidak sama sekali. Walaupun begitu semua jenis fasade ini terdapatsignage nama Warteg (pada dinding, kaca maupun papan).

Gambar 5.

Jenis-jenis Fasade Warteg Karang Tengah, Ciledug(1), Warteg Kharisma Bahari, Pondok Pinang (2), Warteg Barokah, Lenteng Agung (3),

Warteg Citra Bahari, Kebayoran Lama (4) Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2013 dan 2014

Ruang yang dibentuk oleh elemen-elemen fisik ini umumnya sederhana dan berbentuk persegi. Bentuk atap umumnya berjenis atap pelana. Kebanyakan tiap sisi miringnya menghadap depan dan belakang bangunan. Ada beberapa Warteg atapnya tidak demikian, namun pada depan bangunan, terutama teras ditutup lagi

dengan atap miring menjorok ke depan.

3. Sistem Stilistik

Penggunaan warna biru sangat kental pada Warteg pada umumnya. Dan warna ini justru juga melekat pada mata pembeli. Warna biru itu sudah menjadi ciri khas Tegal sebagai Kota Bahari. Hal ini juga terlihat pada lambang Kota maupun Kabupaten Tegal. Warna birunya pun tidak spesifik. Bisa warna biru apa saja.

Penggunaan teras dan adap teras pada depan bangunan Warteg mengadopsi teras (emperan) pada arsitektur rumah tradisional Tegal. Beberapa Warteg ada yang memasih memakai tiang penopang atapnya, namun kebanyakan justru tidak memakai karena lebar terasnya pendek.

Gambar 6. Rumah Tradisional Tegal

Sumber: Website Pemkot Tegal, 2013

Dari berbagai jenis fasade Warteg, fasade yang sangat kental di mata pengunjung yang menjadi ciri khas Warteg adalah yang menggunakan susunan kayu pada jendelanya. Susunan kayu ini umumnya dipakai pada pintu warung klontongan.

Gambar 7.

Teras Warteg Egar Sari, Pondok Aren (kiri), Pintu Warung Klontongan (tengah)

(11)

Etalase kaca berbentuk “L” merupakan perkembangan dari meja gelar Warung Tenda, di mana diletakkan berbagai macam jenis makanan yang dijual. Penggunaan etalase memberikan keamanan dari polusi udara, lalat (kebersihan dan kesehata) dan juga kecurangan yang mungkin dilakukan pembeli. Penggunaan etalase kaca ini mendapat pengaruh dari etalase-etalase toko. Sedangkan bentuk “L” dari meja etalase ini adalah penyesuaian optimal dari penggunaan ruang.

4. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Warteg memiliki karakteristik arsitektur khas sebagai salah satu warung makan tradisional yang berkembang di Indonesia. Ia memiliki tipologi yang unik yang berbeda dari warung makan ataupun rumah makan lainnya. Kriteria-kriteria yang dihasilkan dari penelitian ini tidak hanya menjadi dokumentasi dari sejarah arsitektur Indonesia tapi juga menjadi referensi dalam perancangan selanjutnya untuk menjaga kearifan lokalnya yang berdasar pada arsitektur rakyat (vernakular). Bahkan hasil penelitian ini justru mendorong dan membuka pengembangan rancangannya di masa datang sehingga arsitek tidak terjebak pada romantisme belaka.

Secara garis besar, karakteristik arsitektur khas Warteg adalah sebagai berikut:

Sistem Spasial

 Bentuk ruang cenderung sederhana dan persegi

 Susunan ruang terdiri dari Teras, Ruang Utama (makan dan pantry/etalase), Servis (Dapur dan Toilet) dan Ruang Hunian  Pembeli memesan makanan yang ada di

e t a l a s e k a c a , p e n j u a l m e n g a m b i l pesanannya

 Meja Etalase berbentuk “L”, di sisi kiri maupun di sisi kanan ruang

 Pintu umumnya berjumlah 2 (dua) pada sisi kiri dan kanan

Sistem Fisik dan KualitasFigural

 Bahan bangunan tidak spesisfik dan cenderung kontemporer

 Penggunaan warna biru pada dinding  Jendela berupa susunan kayu atau kaca

atau papan atau tidak ada sama sekali

Signage pada fasade depan

 Atap pelana yang umumnya sisi miring pada depan dan belakang

 Antara ruang depan dan belakang terdapat dinding pembatas yang memisahkan antara ruang yang bersifat privat dan ruang yang bersifat publik

Sistem Stilistik

 Warna biru sebagai ciri khas Tegal (Kota Bahari)

 Adopsi teras (emperan) rumah tradisional tegal

 Susunan kayu pada jendela lebih khas dan mengadopsi pintu warung klontongan  Meja etalase adalah perkembangan dari

mejagelar warung tenda

 Penggunaan etalase kaca merupakan adopsi dari etalase toko

5. Daftar Pustaka

Alamsyah, Yuyun (2008). Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional. Jakarta: PT. Elex Media komputindo.

Alwi, Hasan (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ayodya, Wulan (2007). Kursus Singkat Usaha Rumah Makan Laris Manis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Ayodya, Wulan (2010). Mengenal Usaha Warung Makan. Jakarta: Esensi Erlangga Group.

Barthes, Roland, (1957). Mythologies. New York: The Noonday Press.

Berger, Arthur Asa, (1998). Media Analysis Techniques, 2nd edition. Thousand Oakes: Sage Publications.

Bell et al (1996). Environmental Psychology. New York: Harcourt Brace Collage Publishers. Agreement. Seoul: Asian Congress of Architect.

(12)

8 Khamdevi, Muhammar (2012). The Shifting

Meaning Of Bagonjong Roof On Padang Restaurant In Greater Jakarta Today: An Interdisciplinary Study. 2nd CONVEEESH & 1 3 t h S E N VA R I n t e r n a t i o n a l Conference, Yogyakarta: Universitas Duta Wacana.

Juanda (2004). Analisis karakteristik usaha warung tegal di kebayoran baru jakarta s e l a t an d a n i m p l i k a s i n y a t e r h a d a p pemberian kredit mikro pada pt bank bni. Masters thesis, Institut Pertanian Bogor.

Kotler, Philip & Armstrong (2003).Marketing Management, 11th edition. New Jersey: Prentice Hall.

Lincoln, Y.S. dan Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry, California: Sage Publication.

Lynch, Kevin (1982). The Image of The City. London: MIT Press.

Moleong. L. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rosda.

Neufert (2002). Architect's Data: Third Edition. London: Blackwell Science.

Putra, Budi (2012). Rubrik "Tempo Doeloe": Sejarah Koperasi Warteg Jakarta. Jakarta: Tempo Edisi 17-23 Desember 2012.

Said, Edward W. (2003). Orientalism, New Edition. New york: Vintage Books, A Division of Random House.

Schiller, Herbert I. (1976). Communication and C u l t u r a l D o m i n a t i o n . N e w Yo r k : International Arts and Sciences Press.

Stainback et al (1988). Understanding & Conducting Qualitative Research. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company.

Sugiyono (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Suharjanto, Gatot (2011). Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau Dan Bangunan Bali. ComTech Vol.2 No. 2. Hal: 592-602.

Syamsu, Muhammad (1999), Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera.

Turan, Mete (1990). Vernacular Architecture: Paradigms of Environmental Response. Aldershot: Avebury.

Van Zoest, Aart (1992). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Vidler, Anthony(1998). The Third Typology. Massachusett: MIT Press.

(13)
(14)

PEDOMAN PENULISAN

JURNAL ARSITEKTUR UBL

1.

A r t i k e l m e r u p a k a n k a j i a n b i d a n g a r s i t e k t u r d a n p e r e n c a n a a n d a l a m bentuk artikel hasil penelitian maupun artikel konseptual

2. Aritkel yang dikirim belum pernah dipublikasikan dan atau tidak sedang dikirim ke jurnal lain.

3. Artikel diketik pada kertas ukuran A4 dengan spasi ganda, type huruf Times New Roman 12,

panjang artikel 20-25 halaman. margin atas, bawah dan samping 1 inci.

4. Biodata dan alamat korespondensi dinyatakan dalam lembar terpisah (alamat kantor,

alamat rumah, hp, email, telpon rumah).

5. Naskah dikirim ke redaksi dengan alamat :

Program Studi Arsitektur

Fakultas Teknik

Gedung I, Universitas Bandar Lampung

Jl. Z. A Pagar Alam 26, Labuhan Ratu, Bandar Lampung,

Lampung.

Telp : 0721-773988

Fax : 0721-701467

Email :psars_ubl@yahoo.co.id/ardiansyah@ubl.ac.id/Ardiansyah.mt@gmail.com

Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan file naskah dalam CD dengan Microsof Word 2007

6. untuk berlangganan dapat mengirimkan surat permohonan resmi atau menghubungi kealamat dan

nomor telepon yang tercantum diatas.

(15)
(16)

www. ubl. ac.id

www. facebook.com/informasi.UBL

@Arsitektur_UBL

ALAMAT REDAKSI DAN DISTRIBUSI Program Studi Arsitektur

Fakultas Teknik,

Universitas Bandar Lampung Gedung I,

Gambar

Gambar 1.Situasi ruang di Warteg Karang Tengah, Ciledug,
Gambar 2.Denah Warteg Widya, Rawa Bokor (kiri),
Gambar 6. Rumah Tradisional TegalSumber: Website Pemkot Tegal, 2013

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa bentuk relasi yang diterapkan tersebut, memberikan beberapa implikasi terhadap upaya untuk mewujudkan keluarga sakinah, antara lain: Implikasi terhadap cara pandang

PRIMARY RESERVE MERUPAKAN SUMBER UTAMA BAGI LIKUIDITAS BANK, TERUTAMA UNTUK MENGHADAPI KEMUNGKINAN TERJADINYA PENARIKAN OLEH NASABAH BANK, BAIK BERUPA PENARIKAN

Berikut adalah hasil pengujian analisa besar butir, Batas Plastis, Batas Cair, Kadar Air, serta Berat Jenis tanah tanpa campuran fly ash untuk mengetahui jenis

Mengingat salah satu representasi keberadaan bahasa adalah produk- produk budaya tulis maka penguatan daya tahan dan daya sebar bahasa Sunda perlu pula dilakukan

Vol.. Sedang yang tak berpenghuni adalah 9 rumah. Hal ini karena mereka telah memiliki rumah di luar Kampung Naga. Tetapi para keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar,

Dalam ketujuh keunggulan pemanfaatan Internet Marketing yang diungkapkan Tjiptjono, penulis melihat bahwa Crematology Coffee Roaster mendapatkan manfaat yang

Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.. Kami selaku

Ditinjau dari aspek pasar, usaha pabrik gula masih memiliki potensi besar, karena kebutuhan gula pasir masyarakat masih belum dapat dipenuhi oleh pabrik gula dalam negeri