II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Investasi
Investasi yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau
pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan dalam tingkat
pengeluaran agregat. Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi
sebagai ”pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan
peralatan peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama
menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan
untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan”.
Persyaratan umum pembangunan ekonomi suatu negara menurut Todaro et al (2003) adalah : (1) Akumulasi modal, termasuk akumulasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia; (2) Perkembangan penduduk
yang disertai dengan pertumbuhan tenaga kerja dan keahliannya; dan (3)
Kemajuan teknologi.
Akumulasi modal akan berhasil apabila beberapa bagian atau proporsi
pendapatan yang ada ditabung dan diinvestasikan untuk memperbesar produk
(output) dan pendapatan di kemudian hari. Untuk membangun itu seyogyanya mengalihkan sumber-sumber dari arus konsumsi dan kemudian mengalihkannya
untuk investasi dalam bentuk (capital formation) untuk mencapai tingkat produksi yang lebih besar. Investasi di bidang pengembangan sumberdaya manusia akan
meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia, sehingga menjadi tenaga ahli
yang terampil yang dapat memperlancar kegiatan produktif.
Menurut Sukirno (1999) kegiatan investasi memungkinkan suatu
meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran
masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan
investasi, yakni (1) investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran
agregat, sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat,
pendapatan nasional serta kesempatan kerja; (2) pertambahan barang modal
sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi; (3) investasi selalu
diikuti oleh perkembangan teknologi.
Dengan semakin besarnya investasi pemerintah pada barang publik maka
diharapkan akan mendorong pertumbuhan sektor pertumbuhan sektor swasta dan
rumah tangga dalam mengalokasikan sumberdaya yang ada di suatu daerah. Hal
ini pada akhirnya akan menyebabkan makin meningkatnya PDRB.
a. Teori Investasi dari Keynes
John Maynard Keynes mendasarkan teori tentang permintaan investasi
atas konsep efisiensi marjinal kapital (Marginal Efficiency of Capital atau MEC). Sebagai suatu defenisi kerja, MEC dapat didefenisikan sebagai tingkat perolehan
bersih yang diharapkan (Expected net rate of return) atau pengeluaran kapital tambahan. Tepatnya, MEC adalah tingkat diskonto yang menyamakan aliran
perolehan yang diharapkan dimasa yang akan datang dengan biaya sekarang dari
kapital tambahan.
Secara matematis, MEC dapat dinyatakan dalam bentuk formula sebagai berikut :
Ck
=
𝑅𝑅1 (1+𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀)1+
𝑅𝑅2
(1+𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀)2
+
⋯
𝑅𝑅𝑛𝑛(1+𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀)3
+
...(1)Apakah suatu investasi itu dilakukan atau tidak, sangat bergantung pada
perbandingan antara present value (PV) di satu pihak dan Current Cost of Additional Capita (Ck) di lain pihak. Kalau PV > Ck, maka diputuskan investasi dilakukan, sebaliknya kalau PV < Ck diputuskan investasi tidak dilakukan.
Sedangkan hubungan permintaan investasi dan tingkat bunga (i) dengan MEC
tertentu , oleh keynes dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :
I = f (i) ... ………..(2)
Secara grafik, hubungan antara investasi dan tingkat bunga dapat digambarkan
sebagai berikut :
Tingkat bunga (i)
𝑖𝑖1
𝑖𝑖2
0 I = I (i)
Investasi (I)
Gambar 1. Kurva Permintaan Investasi
Sumber : Nanga, M (2005)
b. Teori Akselerator
Teori akselerator ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara
(final product), dimana permintaan akan barang modal dilihat sebagai permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan barang atau produk akhir. Teori ini mulai dengan mengasumsikan adanya capital-output ratio (COR) tertentu, yang ditentukan oleh kondisi teknis produksi. Hubungan antara kapital dan output
(COR) tersebut secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
K
Y = k ...(3)
Dimana K adalah jumlah kapital yang digunakan, Y adalah tingkat output agregat,
k adalah rasio kapital output yang tetap (fixed capital output ratio). Hal diatas menjelaskan bahwa untuk menghasilkan tingkat output Yt pada periode waktu t,
membutuhkan jumlah kapital sebesar Kt yang besarnya sama dengan k.Yt. Dari
hal diatas, persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi :
Kt = k . Yt ... ...(4)
Kt-1 = k . Yt-1 ...(5)
Karena investasi bersih (net investment ) pada kurun waktu t :
It = Kt - Kt-1
= k (Yt – Yt-1)
= k. Δ Yt ...(6)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa investasi netto adalah sama dengan
koefisien akselerator (k) dikali dengan perubahan dalam output agregat selama
kurun waktu t (Yt). Oleh karena k diasumsikan konstan, maka investasi netto
dengan sendirinya menjadi fungsi dari perubahan di dalam output agregat. Kalau
output agregat meningkat, maka investasi netto akan positif. Jika output agregat
meningkat dengan jumlah yang semakin besar, maka investasi netto akan
c. Teori Neoklasik
Teori Neoklasik tentang investasi merupakan teori tentang akumulasi
capital optimal. Stok kapital yang diinginkan ditentukan oleh output dan harga
dari jasa kapital relatif terhadap harga output. Harga jasa kapital pada gilirannya
bergantung pada harga barang-barang modal, tingkat bunga, dan perlakuan pajak
atas pendapatan perusahaan. Menurut teori ini, perubahan di dalam output atau
harga dari jasa capital relatif terhadap harga output akan mengubah atau
mempengaruhi, baik stok capital maupun investasi yang diinginkan.
e. Teori q dari Tobin
Teori ini menyatakan bahwa stok kapital dan investasi yang diinginkan
berhubungan positif dengan q, yaitu rasio antara nilai pasar (market value) dari modal terpasang perusahaan dengan biaya penggantian (replacement cost) modal terpasang perusahaan. Teori investasi q Tobin dapat dinyatakan :
I = I (q) ... ...(7)
Dimana kalau q meningkat, maka I akan meningkat pula. Selanjutnya hubungan q
dengan nilai pasar dari perusahaan dan biaya penggantian dari aset
perusahaan, dinyatakan :
Nilai Pasar dari modal terpasang
q =
Nilai Pasar dari Modal terpasangBiaya Penggunaan dari modal terpasang
...(8)
2.1.1. Sektor Pertanian
Mengutip pernyataan Gunnar Mirdal dalam Todaro (2003) yang
menyatakan bahwa dalam sektor pertanianlah ditentukan berhasil atau tidaknya
menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan maka negara itu
harus memulainya dari sektor pertanian khususnya. Intisari yang terkandung
dalam masalah kemiskinan yang terus meluas, ketimpangan distribusi pendapatan
yang semakin parah , laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, serta terus
melonjaknya tingkat pengangguran pada awalnya tercipta dari stagnasi serta
terlalu seringnya kemunduran kehidupan perekonomian di sektor pertanian.
Secara tradisional, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya
dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata.
Berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara barat, apa yang
disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural
yang cepat terhadap perekonomian, yakni perekonomian yang bertumpu pada
kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih
kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai
sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah berkembangnya
sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor-sektor” dinamis dalam strategi
pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Dewasa ini, nampak jelas bahwa para pakar ilmu ekonomi pembangunan
mulai kurang berminat untuk memberikan perhatian yang besar pada upaya
industrialisasi secara cepat. Nampaknya mereka mulai menyadari bahwa daerah
pedesaan umumnya, dan sektor pertanian khususnya ternyata tidak bersifat pasif,
tetapi jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan
ekonomi secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan
dinamis, dan bahkan sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan
secara keseluruhan.
Suatu strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap
dasar, yakni : (1) percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian
penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang
untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil, (2) peningkatan permintaan
domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan
perkotaan yang beroirentasi pada upaya pembinaan ketenagakerjaan, (3)
diversifikasi kegiatan pembangunan daerah yang bersifat padat karya, yaitu non
pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan
ditunjang oleh masyarakat pertanian. Karena itu, pada skala yang lebih luas,
pembangunan sektor pertanian kini diyakini sebagai intisari pembangunan
nasional secara keseluruhan oleh banyak pihak.
Harus diingat bahwa tanpa pembangunan daerah pedesaan/pertanian yang
integratif, pertumbuhan industri tidak akan berjalan dengan lancar, dan kalaupun
bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut akan menciptakan berbagai
ketimpangan internal yang sangat parah dalam perekonomian yang bersangkutan
Pada gilirannya, segenap ketimpangan tersebut akan memperparah
masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran (Todaro, 2003).
Menurut Analisa klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan.T (2003),
pertanian di negara-negara sedang berkembang (NSB) merupakan suatu sektor
ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap
Pertama, ekspansi dari sektor-sektor ekonomi non pertanian sangat bergantung
pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk kelangsungan
pertumbuhan suplai makanan, tetapi juga untuk penyediaan bahan-bahan baku
untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian tersebut,
terutama industri pengolahan, seperti industri-industri makanan dan minuman,
tekstil dan pakaian jadi, barang-barang dari kulit, dan farmasi.
Hal ini kemudian disebut sebagai kontribusi produk. Kedua, karena kuatnya bias agraris dari ekonomi selama bertahap - tahap awal pembangunan,
maka populasi di sektor pertanian (daerah pedesaan) membentuk suatu bagian
yang sangat besar dari pasar (permintaan) domestik terhadap produk-produk dari
industri dan sektor lain di dalam negeri, baik untuk barang-barang produsen
maupun barang-barang konsumen. Yang kemudian disebut sebagai kontribusi Pasar. Ketiga, karena relatif pentingnya pertanian (dilihat dari sumbangan outputnya terhadap pembentukan PDB dan andilnya terhadap penyerapan ternaga
kerja) tanpa bisa dihindari menurun dengan pertumbuhan atau semakin tingginya
tingkat pembangunan ekonomi, sektor ini dilihat sebagai suatu sumber modal
untuk investasi di dalam ekonomi. Jadi pembangunan ekonomi melibatkan
transfer surplus modal dari sektor pertanian ke sektor-sektor non pertanian. Hal ini
disebut sebagai kontribusi faktor-faktor produksi. Keempat,sektor pertanian mampu berperan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca
perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor
hasil-hasil pertanian atau peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian
terhadap pendapatan devisa adalah lewat pertumbuhan ekspor dan/atau
pengurangan impor negara tersebut atas komoditi-komoditi pertanian. Tentu,
kontribusi sektor pertanian terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung,
misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk
berbasis pertanian, seperti makanan dan minuman, tekstil, dan produk–produknya.
2.1.2. Investasi Pertanian
Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian
nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama,
Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam
penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal,
jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu
pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada
pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat
tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik.
Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.
Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia
diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini
merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari
sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar)
khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan.
Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi
agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai
untuk menanamkan modalnya. Ketiga, sektor pertanian tetap merupakan salah
satu sumber pertumbuhanoutput nasional yang penting. Keempat, sektor pertanian
memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini
terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro.
Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian
nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan kebijakan negara berupa kebijakan
fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi
sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan
revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple trackstrategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia.
Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan
memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan
investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta
pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan (Indra, 2008).
Menurut Soetrisno dan Kalangi (2006) menyatakan bahwa sektor
pertanian hanya akan mampu mengangkat kesejahteraan petani kalau
produktivitas pertanian ditingkatkan.
Produktivitas bukan semata pada output fisik/ satuan input, akan
tetapipada nilai tambah. Untuk itu diperluaskan beberapa hal, yaitu: (1)
peningkatan kepadatan investasi per satuan luas atau unit usaha pertanian, (2)
mengadakan restrukturisasi usaha pertanian menuju skala yang kompetitif dan
dan kelompok/koperasi/ perusahaan, (3) kembalikan pola pertanian dengan model
kesatuan yang terkait dengan industri pengolahan dan ekspor, dan (4) perlu
adanya reorientasi kebijakan bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah
kesejahteraan petani Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris.
Oleh karena itu, mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian.
Sehingga untuk pengembangan pertanian secara menyeluruh tentu dibutuhkan
jumlah investasi yang besar. Tanpa adanya investasi yang besar dalam
pengembangan infrastruktur penunjang serta peningkatan kualitas produk
pertanian maka akan sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain di
sektor ini.
2.1.3. Identifikasi Penyebab Investasi Pertanian Terhambat
Perkembangan investasi untuk sektor pertanian memiliki kecenderungan
yang terus menurun. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi penyebab
ketidaktertarikan investor untuk menanamkan modalnya ke sektor petanian,
diantaranya:
Pertama, sektor pertanian memiliki risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi dibanding sektor lain. Terlebih lagi dengan adanya climate change yang menyebabkan kemungkinan terjadinya fluktuasi produksi menyebabkan
ketidakpastian dan risiko yang dihadapi semakin tinggi.
Kedua, pada kasus pertanian di Indonesia, minimnya sarana pendukung yang tersedia menjadi salah satu faktor yang membuat investasi pada pertanian semakin
tidak menarik. Seperti yang telah banyak diketahui, saat ini sarana pertanian
seperti irigasi misalnya yang ada di daerah adalah peninggalan masa orde baru
pertanian berada di daerah, dan infrastruktur sepeti jalan yang ada pada beberapa
jalur misalkan pada jalur pantura kurang baik sehingga besarnya kemungkinan
terjadi kerusakan barang semakin tinggi.
Ketiga, masih sulitnya birokrasi yang ada apabila hendak mendirikan usaha pertanian yang memiliki skala ekonomi yang cukup besar sehingga menjadi
kurang menarik.
Keempat, masih tidak stabilnya iklim investasi di Indonesia. Hal ini berlaku secara keseluruhan, baik sektor pertanian maupun nonpertanian.
Kelima, masih tidak stabilnya iklim politik dan pada beberapa komoditi pertanian yang menjadi komoditi politik.
Keenam, masih maraknya pungutan-pungutan liar di Indonesia sehingga semakin meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan. Masih terdapatnya tumpang tindih
kebijakan antar departemen atau kementrian yang ada dan kurangnya koordinasi
antar instansi pemerintahan sehingga menimbulkan kebingungan pada investor
Ketujuh, adanya otanomi daerah yang terkadang kebijakannya tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat.
Kedelapan,
Sektor pertanian adalah sektor yang memiliki peran penting dalam
meningkatkan perekonomian, terutama perekonomian pedesaan. Saat ini tren
investasi pertanian memiliki tren yang mengalami penurunan. Karena pentingnya
peran investasi untuk mengembangkan sektor pertanian, diperlukan berbagai
kebijakan untuk membangkitkan iklim investasi dibidang pertanian.
anggapan bahwa investasi sektor pertanian tidak menarik
Hal yang paling utama untuk meningkatkan minat investasi bidang
pertanian adalah mensinergiskan kebijakan dalam pemerintahan, baik antara
departemen/kementrian di pemerintah pusat maupun dengan pemerintah daerah.
Dengan adanya kesinergisan kebijakan, maka investor mendapatkan suatu
kepastian kebijakan investasi sehingga mereka dapat lebih mudah untuk
mengambil keputusan investasi.
Pemerintah juga perlu melakukan upaya pendekatan kepada investor untuk
menanamkan modalnya dibidang pertanian. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memberikan kemudahan untuk investasi misalkan bantuan untuk merampingkan
jalur birokrasi, memberikan jaminan kestabilan politik dan keamanan investasi,
serta perbaikan infrastruktur sehingga dapat meminimalisasi risiko dan
ketidakpastian yang dihadapi.
Pengembangan permodalan dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani
untuk mengatasi keterbatasan permodalan dan lemahnya kelembagaan petani.
Kementerian Pertanian mengembangkan fasilitas pembiayaan dalam bentuk skim
kredit program dengan subsidi bunga dan penjaminan, serta melaksanakan
kegiatan pemberdayaan petani. Skim kredit program yang telah dikembangkan
adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang kemudian berubah menjadi Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan
Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), dan
Kredit Usaha Rakyat (KUR). KKP-E, KPEN-RP, KUPS adalah skim kredit
program dengan subsidi bunga, sementara KUR adalah skim kredit program
Dana kredit sepenuhnya berasal dari Bank Pelaksana. Tingkat realisasi
penyerapan skim kredit program KKP-E tersebut rata-rata masih rendah, berkisar
20% per tahun dari total komitmen bank pelaksana sebesar Rp. 8,779 triliun.
Komitmen bank dan realisasi serapan KPEN-RP secara kumulatif (2007 -2011)
per Oktober 2011 sebesar Rp. 1,818 triliun. Sedangkan komitmen bank dan
realisasi serapan KUPS secara kumulatif (2009-2011) per Oktober 2011 sebesar
Rp. 391,543 miliar.
Tabel 4. Komitmen Bank, Realisasi Serapan, Cakupan Komoditas Kredit Program Tahun 2011 (per Oktober 2011)
No Skim
Kredit Cakupan Komoditas
Komitmen
*) Komitmen bank untuk KPEN-RP th. 2007-2014 dan KUPS tahun 2009-2014 **) Realisasi KUR untuk sektor pertanian. Realisasi KUR untuk semua sektor usaha Rp. 24,404 triliun.
Dari hasil evaluasi, rendahnya tingkat serapan kredit program tersebut
disebabkan antara lain: 1) usaha pertanian dianggap perbankan mempunyai risiko
sertifikat lahan yang dipersyaratkan perbankan, 3) perbankan menerapkan prinsip
kehati-hatian mengingat risiko sepenuhnya ditanggung perbankan (kecuali KUR)
dan 4) khusus calon debitur KPEN-RP masalah status lahan belum bersertifikat
dan sebagain provinsi/kabupaten/kota belum memiliki RTRWP/RTRWK, 5)
untuk KUR sektor pertanian sudah disediakan penjaminan sebesar 80 % namun
suku bunga yang dibebankan petani cukup tinggi untuk KUR mikro (<Rp. 20 juta)
maksimum 22% dan KUR ritel (>Rp.20 juta) maksimum 14 % per tahun.
Menyadari bahwa mayoritas petani memiliki skala usaha yang kecil, akses
terbatas dan posisi tawar yang lemah di pasar, Kementerian Pertanian melakukan
kegiatan pemberdayaan kelembagaan petani antara lain melalui Lembaga Mandiri
yang mengakar di Masyarakat (LM3) dan Kelompok Tani/Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan). Sejak pelaksanaan kegiatan LM3 tahun 2007, Kementerian
Pertanian setiap tahunnya telah melakukan kegiatan pemberdayaan petani
rata-rata untuk 1.300 LM3.
Pada tahun 2011 kegiatan pemberdayaan dilaksanakan pada 1.033 LM3.
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) merupakan program
terobosan Kementerian Pertanian untuk mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan dan pengangguran di perdesaan serta meningkatkan kemampuan dan
keterampilan anggota Gapoktan sebagai pelaku usaha agribisnis. Pada tahun 2011,
dari target 10.000 desa, kegiatan PUAP berhasil dilaksanakan di 9.096
Desa/Gapoktan (Laporan Kinerja Kementan 2011).
Investasi rumah tangga petani mencakup komoditas perkebunan utama
(kelapa sawit, karet, kakao), peternakan (pembibitan sapi potong dan sapi perah)
berupa pembukaan kebun baru dengan rata-rata 1,67 ha untuk kelapa sawit, 1.10
ha untuk karet dan 0,91 ha untuk kakao, yang umumnya dilakukan pada tahun
1997.
Investasi tersebut didorong oleh harga komoditas yang tinggi sebagai
akibat krisris ekonomi yang menyebabkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah
melonjak tajam. Investasi untuk peternakan berupa pembelian sapi produk,
pembangunan kandang dan kebun rumput, dengan rata-rata 3 ekor untuk
pembibitan sapi potong dan 4 ekor untuk sapi perah. Sementara itu, investasi
untuk pompa air dan traktor tangan masing-masing adalah 1 unit.
2.1.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Investasi
Pendapatan nasional bisa naik atau turun karena perubahan investasi.
Kondisi ini tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga,
pertumbuhan penduduk, dan faktor-faktor dinamis lainnya (Samuelson dalam
Makmun, 2003)
Sementara itu, lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan
iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang mengahambat iklim
investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor tersebut antara
lain adalah sebgain berikut (BKPM,2004):
1) Prosedur yang panjang dan berbelit.
2) Tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah di bidang investasi serta
kebijakan antar sektor.
3) Kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya perumusan RUU Penanama
Modal
5) Stabilitas keamanan secara nasional relatife membaik
6) Kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan dalam menarik
penanaman modal di Indonesia.
Faktor penghambat utama investasi adalah kebutuhan modal yang besar
untuk memulai atau perluasan usaha, baik perusahaan besar maupun petani.
Meningkatnya harga input, upah tenaga kerja serta kondisi lingkungan dan iklim
yang kurang kondusif menghambat perkembangan usaha. Bagi perusahan besar,
otonomi daerah cukup menambah beban finansial dalam bentuk pembayaran
retribusi yang terlalu besar. Untuk sapi potong faktor penghambat utamanya
adalah rendahnya harga jual sapi akhir-akhir ini.
2.1.5. Tingkat Bunga dan Investasi
Peningkatan permintaan terhadap dana pinjaman akan mendongkrak
tingkat bunga equilibrium. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi arus
modal neto. Permintaan investasi juga bisa berubah karena pemerintah mendorong
atau membatasi investasi melalui undang-undang pajak. Sebagai contoh,
anggaplah pemerintah menaikkan pajak pendapatan perorangan dan menggunakan
peneriman tambahan tersebut untuk mengurangi pajak bagi orang-orang yang
menginvestasikan dananya ke modal baru. Perubahan dalam undang-undang pajak
seperti itu membuat banyak proyek investasi lebih menguntungkan dan, seperti
inovasi teknologi, meningkatkan permintaan akan barang- barang investasi
2.1.6. Investasi dan GDP
Investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah. Ketika
pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar dari
penurunan itu, berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi. Para ekonomi
mempelajari investasi untuk memahami fluktuasi dalam output barang dan jasa
perekonomian dengan lebih baik.
Model GDP seperti model IS-LM didasarkan pada fungsi investasi
sederhana yang mengaitkan investasi dengan tingkat bunga riil; I= I (r). Fungsi ini
mnenyatakan bahwa tingkat bunga riil menurunkan investasi. Ada tiga jenis
pengeluaran investasi, yaitu investasi tetap bisnis, investasi residensial dan
investasi persediaan.
Investasi tetap bisnis mencakup peralatan dan struktur yang dibeli
perusahaan untuk proses produksi. Investasi residensial, mencakup rumah baru
yang orang beli untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk disewakan.
Investasi persediaan mencakup barang-barang yang disimpan perusahaan di
gudang, termasuk bahan-bahan persediaan, barang dalam proses, dan barang jadi.
Kebijakan Pemerintah kedepan, investasi oleh perusahaan besar baik
PMDN dan PMA, maupun rakyat perlu ditempatkan dalam upaya peningkatan
PDRB pertanian, produksi pertanian, pendapatan petani dan penyediaan
kesempatan kerja. Namun undang-undang mengenai penanaman modal jangan
sampai lebih mengutamakan investasi PMA tanpa diimbangi investasi PMDN dan
rakyat yang memadai.
Hal ini perlu ditekankan jangan sampai lebih banyak Sumber Daya Alam
rakyat/petani kehilangan kesempatan untuk berusaha, utamanya di bidang
perkebunan.
2.1.7. Investasi dan Penentuan Tingkat Upah
Faktor produksi sering diklasifikasikan menjadi empat, yaitu tanah, tenaga
kerja, modal dan kewirausahaan. Pengklasifikasian terhadap keempat faktor
produksi tersebut atas perbedaan elastisitas penawaran parsial, karakteristik yang
terkandung pada setiap faktor produksi, dan imbalan yang diterima
masing-masing pemilik faktor produksi. Secara historis, pembedaan ini bersesuaian
dengan berkembangnya bargaining position antara tiga kelompok masyarakat, kapitalis, tuan tanah, dan tenaga kerja.
Kekuatan pasarlah yang kemudian menentukan berapa besar imbalan yang
akan diterima masing-masing. Tenaga kerja akan mendapatkan upah, tuan tanah
mendapatkan sewa tanah, pemilik modal mendapatkan tingkat bunga (Makmun
dan Yasin, 2003).
Pandangan ekonomi kapitalis terhadap tenaga kerja tidak terlepas dari
konsep faktor produksi atau input. Perkembangan iklim usaha menentukan
adanya penyesuaian perlakuan terhadap tenaga kerja. Pada awalnya ada
kecenderungan tenaga kerja dianggap sebagai suatu faktor produksi lainnya yang
memberikan kontribusi relatif tetap terhadap produksi. Pandangan ini yang
menghasilkan sistem pengupahan tetap terhadap tenaga kerja sebagaimana input
tanah mendapatkan sewa tetap dan modal mendapatkan bunga.
Adanya ketidakstabilan sifat dan karakter tenaga kerja, mendorong
perusahaan untuk memberikan perlakuan lain terhadap tenaga kerja. Jika tanah
Namun demikian, hal ini tidak cukup menjadikan alasan bagi aliran ekonomi
utama (mainstream economy) untuk melakukan pembedaan analisis terhadap faktor produksi lain.
Jika kemudian tenaga kerja dibedakan dengan entrepeuner (wirausaha) adalah lebih didasarkan atas perbedaan karakteristik intrinsik yang ada pada kedua
faktor produksi tersebut. Entrepreuner dipandang sebagai tenaga kerja yang berani mengambil resiko, sehingga ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan
resiko yang diambil dan nilainya belum tentu tetap.
Tenga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu untuk
meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan
modal, dan sebagainya) sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai
investasi dan perusahaan memberikan pendidikan kepada karyawannya sebagai
wujud kapitalisasi tenaga kerja.
2.2. Tenaga Kerja Pertanian 2.2.1. Definisi Tenaga Kerja
Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang
sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan lain (seperti : bersekolah
dan mengurus rumah tangga); walaupun sedang tidak bekerja mereka dianggap
secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Secara praktis,
pengertian tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja (Simanjuntak,
1985).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang ketenagakerjaan,
yang disebut sebagai tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Sumarsono (2003) menyatakan tenaga
kerja sebagai semua orang yang bersedia untuk bekerja.
Pengertian tenaga kerja tersebut meliputi mereka yang bekerja untuk
dirinya sendiri ataupun keluarga yang tidak menerima bayaran berupa upah; atau
mereka yang bersedia bekerja dan mampu untuk bekerja namun tidak ada
kesempatan kerja sehingga terpaksa menganggur. Dumairy (1996) mendefinisikan
tenaga kerja adalah penduduk yang berusia dalam batas usia kerja.
Sedangkan Badan Pusat Statistik mendefinisikan tenaga kerja (manpower)
sebagai seluruh penduduk dalam usia kerja (15 tahun keatas) yang berpotensi
memproduksi barang dan jasa. Sitanggang dan Nachrowi (2004) memberikan
ciri-ciri tenaga kerja yang antara lain :
1. Tenaga kerja umumnya tersedia di pasar tenaga kerja dan biasanya siap untuk
digunakan dalam suatu proses produksi barang dan jasa. Kemudian perusahaan
atau penerima tenaga kerja meminta tenaga kerja dari pasar tenaga kerja.
Apabila tenaga kerja tersebut telah bekerja, maka mereka akan menerima
imbalan berupa upah atau gaji.
2. Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumber daya manusia (SDM)
yang sangat dibutuhkan pada setiap perusahaan untuk mencapai tujuan. Jumlah
penduduk dan angkatan kerja yang besar di satu sisi merupakan potensi SDM
yang dapat diandalkan, tetapi disisi lain juga merupakan masalah besar yang
berdampak pada berbagai sektor
Tenaga Kerja = Angkatan Kerja + Bukan Angkatan Kerja
bukan angkatan kerja terdiri dari : golongan yang bersekolah, golongan yang
mengurus rumah tangga dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga
kelompok bukan angkatan kerja sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk
bekerja sehingga kelompok ini dinamakan potensial labor force (Simanjuntak, 1985).
Gambar 2. Komposisi Penduduk dan Tenaga Kerja.
Penduduk
Tenaga Kerja Bukan Tenaga Kerja
Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Menganggur Bekerja
Sekolah Mengurus Rumah Tangga
Penerima Pendapatan
Setengah Pengangguran
Bekerja Penuh
Kentara Tidak Kentara
Produktivitas Rendah
Penghasilan Rendah
Tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan ke dalam persoalan
tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan
persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu
perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya.
Pembedaan ini penting karena apa yang dikenal sebagai tenaga kerja
dalam usahatani tidaklah sama pengertiannya secara ekonomis dengan pengertian
tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan dalam perkebunan. Dalam usaha tani
sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas
ayah sebagai kepala keluarga, isteri, dan anak-anak petani. Anak-anak berumur 12
tahun misalnya sudah sudah dapat merupakan tenaga kerja yang produktif bagi
usaha tani. Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut bibit atau
pupuk ke sawah atau membantu penggarapan sawah.
Selain itu anak-anak petani dapat menggembala kambing atau sapi, itik
atau menangkap ikan dan lain-lain yang menyumbang pada produksi pertanian
keluarga. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan
sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah
dinilai dalam uang. Memang usahatani dapat sekali-sekali membayar tenaga kerja
tambahan misalnya dalam tahap penggarapan tanah baik dalam bentuk pekerjaan
ternak maupun tenaga kerja langsung.
Bahwa peranan kerja yang berasal dari keluarga petani sendiri memang
peranan yang penting tidaklah hanya khusus kita dapati di Indonesia saja. Juga di
negara-negara yang sudah maju pertaniannya, isteri dan anak-anak petani juga
ikut aktif menyumbang pada kegiatan produksi. Kalau seorang petani mengalami
tolong pada tetangga dan familinya dengan pengertian ia akan kembali
menolongnya pada kesempatan yang lain.
Dengan cara begini tidak ada upah uang yang harus dibayar dan ini dapat
menekan ongkos tenaga kerja. Sifat tolong menolong ini ada pada petani dimana
saja, dalam satu desa atau lebih. Kaslan Tohir menunjukkan bahwa di Indonesia
tolong menolong ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi daripada palawija.
Ini berarti bahwa tolong menolong memang benar-benar lebih banyak terdapat
pada tanaman daripada palawija. Ini berarti bahwa tolong menolong memang
benar-benar banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian
pekerjaan yang sama pada tanaman yang sama.
Petani yang menanam tembakau misalnya walaupun memerlukan lebih
banyak tenaga kerja tidak dapat mengharapkan bantuan tenaga secara gratis.
Pertama-tama ia akan mengerahkan tenaga kerja keluarga sendiri
sebanyak-banyaknya, baru setelah itu belum cukup maka diupahnya tenaga kerja tambahan
dari luar keluarga. Tenaga kerja dari luar dapat berupa tenaga kerja harian atau
borongan tergantung pada keperluan. Tenaga kerja untuk penggarapan sawah
biasanya diatur secara borongan.
2.2.2. Penawaran Tenaga Kerja.
Penawaran tenaga kerja merupakan suatu hubungan antara tingkat upah
dengan jumlah tenaga kerja. Menurut Ananta (1990) penawaran terhadap pekerja
adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah satuan pekerja yang disetujui
oleh pensuplai untuk ditawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan
tergantung pada beberapa faktor yang antara lain : banyaknya jumlah penduduk,
Ht E2
E3
E4 En
ditawarkan oleh angkatan kerja. Simanjuntak (1985) mendefinisikan penawaran
tenaga kerja merupakan jumlah usaha atau jasa kerja yang tersedia dalam
masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa.
Menurut Arfida (2003) penawaran tenaga kerja adalah menggambarkan
hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan.
Penawaran tenaga kerja dalam jangka pendek merupakan suatu penawaran
tenaga kerja bagi pasar dimana jumlah tenaga kerja keseluruhan yang ditawarkan
bagi suatu perekonomian dapat dilihat sebagai hasil pilihan jam kerja dan pilihan
partisipasi oleh individu. Sedangkan penawaran tenaga kerja dalam jangka
panjang merupakan konsep penyesuaian yang lebih lengkap terhadap
perubahan-perubahan kendala.
Upah
Gambar 3. Penawaran Tenaga Kerja. Sumber : Simanjuntak, 1985
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja
adalah tingkat upah, Pertambahan tingkat upah akan mengakibatkan pertambahan
jam kerja bila substitution effect lebih besar daripada income effect (Simanjuntak,
D S1
E1
E2
E3
E1
S2
E4
E5
1985). Pada gambar 3 terlihat bahwa besarnya penyediaan waktu bekerja
sehubungan dengan peningkatan tingkat upah (bila substitution effect lebih besar daripada income effect) akan mendorong tenaga kerja untuk mengurangi waktu senggangnya dan menambah jam kerja, ini dapat dilihat pada pergeseran titik dari
posisi E1 ke E2 dan ke E3 sehingga waktu untuk bekerja bertambah dari HD1 ke
HD2 ke HD3. Namun bila substitution effect lebih kecil daripada income effect
kenaikan tingkat upah juga dapat mengakibatkan pengurangan waktu bekerja,
yakni dengan perubahan upah dari dari BC3 menjadi BC4 yang menyebabkan
waktu untuk bekerja berkurang dari HD3 ke HD4 .
Upah
H Jumlah jam kerja
Gambar 4. Fungsi Penawaran Tenaga Kerja.
Dalam gambar 4, dijelaskan bahwa pada awalnya jumlah jam kerja akan
bertambah saat terjadi kenaikan tingkat upah yang ditunjukan oleh titik E1 E2.
Namun ketika telah mencapai jumlah waktu bekerja sebesar HD jam, tenaga kerja
akan mengurangi jam kerja ketika tingkat upah mengalami kenaikan (seperti yang
Kemudian terjadi penurunan jam kerja sehubungan dengan pertambahan
tingkat upah seperti yang ditunjukkan pada titik E4 atau pada penggal grafik S2
dan S3. Penurunan jam kerja pada saat terjadi kenaikan upah dinamakan
backward-bending.
2.2.3. Tingkat Partisipasi Kerja (TPK)
Tingkat partisipasi kerja (TPK) atau Labor Force Participation Rate
(LFPR) adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah
penduduk dalam usia kerja dalam kelompok yang sama. Dalam bentuk persamaan
matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝐴𝐴𝑇𝑇
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑥𝑥 100
Semakin besar TPK maka semakin besar angkatan kerja dalam kelompok yang
sama dan sebaliknya semakin besar jumlah yang masih bersekolah dan mengurus
rumah tangga maka semakin besar jumlah yang bukan angkatan kerja dan
akibatnya semakin kecil TPK. Menurut Simanjuntak (1985) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi besar kecilnya TPK diantaranya :
1. Jumlah penduduk yang bersekolah
Jumlah angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang bersekolah dan
mengurus rumah tangga. Semakin sedikit jumlah penduduk yang tergolong
angkatan kerja maka semakin rendah tingkat partisipasi kerja
2. Umur
Tingkat partisipasi kerja mula-mula meningkat sesuai dengan pertambahan
umur, kemudian menurun lagi menjelang usia pensiun (usia tua). Peningkatan
dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, semakin tinggi tingkat umur maka semakin
kecil proporsi penduduk yang bersekolah sehingga tingkat partisipasi kerja
pada kelompok umur dewasa lebih besar dari kelompok umur yang lebih muda.
Kedua, semakin tua seseorang maka tanggung jawabnya terhadap keluarga
menjadi semakin besar sehingga tingkat partisipasi kerja menjadi lebih besar.
3. Tingkat upah
Tingkat upah mempengaruhi penyediaan tenaga kerja melalui dua daya yang
berlawanan. Kenaikan tingkat upah disatu pihak akan meningkatkan
pendapatan (income effect) yang cenderung mengurangi tingkat partisipasi kerja. Dan dipihak lain peningkatan upah membuat harga waktu senggang
relatif lebih mahal, sehingga pekerjaan menjadi lebih menarik untuk
menggantikan waktu senggang (substitution effect). Daya subsitusi dari kenaikan upah akan mendorong kenaikan partisipasi kerja.
4. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin banyak waktu yang
disediakan untuk bekerja, sehingga akan meningkatkan partisipasi kerja.
5. Kegiatan ekonomi
Program pembangunan disatu pihak, menuntut keterlibatan banyak orang.
Dilain pihak program pembangunan membutuhkan harapan-harapan baru,
harapan untuk dapat ikut menikmati hasil pembangunan tersebut, maka tingkat
partisipasi kerja akan semakin besar.
2.2.4. Permintaan Tenaga Kerja
Pertambahan permintaan tenaga kerja tergantung pada pertambahan
D
VMPP1
Dalam siatem ekonomi pasar diasumsikan bahwa seorang pengusaha tidak dapat
mempengaruhi harga.
Disatu pihak, perusahaan bertindak sebagai price taker yaitu perusahaan
tidak dapat merubah harga dengan menurunkan maupun menaikan output yang
diproduksi. Dipihak lain pengusaha dapat menjual berapa saja produksinya
dengan harga yang berlaku. Dalam hal memaksimumkan laba, pengusaha hanya
dapat mengatur jumlah karyawan yang dapat dipekerjakannya (Simanjuntak,
1985).
Dalam hal meminta tambahan tenaga kerja suatu perusahaan akan
memperkirakan tambahan output yang akan diperoleh sehubungan dengan
penambahan tenaga kerja tersebut atau yang disebut dengan 𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿(marginal physical of labor). Selanjutnya pengusaha akan menghitung jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan output marginal tersebut atau disebut
dengan MR (marginal revenue). Sehingga MR (marginal revenue) sama dengan nilai dari 𝑉𝑉𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 yaitu besarnya 𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 dikalikan dengan harga per unit
𝑴𝑴𝑴𝑴=𝑽𝑽𝑴𝑴𝑽𝑽𝑽𝑽𝑽𝑽=𝑴𝑴𝑽𝑽𝑽𝑽𝑽𝑽𝑴𝑴𝑽𝑽
Dimana MR merupakan penerimaan marginal, 𝑉𝑉𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 merupakan nilai
pertambahan hasil marginal dari karyawan, 𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 merupakan marginal physical of labor dan P merupakan harga jual barang yang diproduksi per unit.
W
D = MPPL x P
Perempuan
W2
0
A N B
Gambar 5. Fungsi Permintaan Terhadap Tenaga Kerja.
Pada gambar 5. garis DD melukiskan besarnya nilai hasil marginal
karyawan (𝑉𝑉𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 - value marginal physical product of labor), pengusaha dapat terus menambah laba perusahaan dengan memperkerjakan orang hingga ON.
Dititik N pengusaha dapat mencapai laba maksimum dan nilai 𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿 x P sama
dengan upah yang dibayarkan kepada karyawan. Dengan kata lain pengusaha
mencapai laba maksimum bila :
MPPL x
Apabila pengusaha menambah pekerja/karyawan lebih besar dari ON
(misalnya OB) akan mengurangi keuntungan keuntungan pengusaha. Pengusaha
akan membayar upah dalam tingkat yang berlaku (W), pada nilai hasil marjinal
yang diperolehnya hanya sebesar 𝑊𝑊2 yang lebih kecil dari W. Jadi pengusaha
akan cenderung untuk menghindari jumlah karyawan yang lebih besar dari ON.
Penambahan karyawan yang lebih besar dari ON dapat dilakukan hanya bila
pengusaha yang bersangkutan dapat membayar upah dibawah W dan/atau
pengusaha mampu menaikan harga jual output yang diproduksinya.
P = W
Aspek lain yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari hubungan tingkat
upah, 𝑀𝑀𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿, harga barang dan jumlah karyawan yang dapat dipekerjakan adalah
bahwa sebagai reaksi terhadap peningkatan upah : (i). Pengusaha menuntut
yang dihasilkan karyawan senilai dengan pertambahan upah yang diterimanya;
atau (ii) Pengusaha terpaksa menaikan harga jual barang; dan/atau (iii) Pengusaha
mengurangi jumlah karyawan yang bekerja; atau (iv) Pengusaha melakukan
kombinasi dari dua diantara ketiga alternatif di atas atau kombinasi dari ketiganya
2.2.5. Angkatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Todaro (2003) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
Angkatan Kerja (AK) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif
yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti
akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih
besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar.
Meski demikian hal tersebut masih dipertanyakan apakah benar laju
pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar akan memberikan dampak positif
atau negatif dari pembangunan ekonominya. Selanjutnya dikatakan bahwa
pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada
kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut dalam menyerap dan secara
produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut. Kemampuan tersebut
dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input dan
faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa
bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan
dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja
Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja (dari sektor tradisional)
bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern, dengan demikian salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja.
Menurut Nicholson W. (1991) bahwa suatu fungsi produksi suatu barang
atau jasa tertentu (q) adalah q = f (K, L) dimana k merupakan modal dan L adalah
tenaga kerja yang memperlihatkan jumlah maksimal suatu barang/jasa yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara K dan L maka
apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan masukan lainnya
dianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang dapat diproduksi.
Tambahan keluaran yang diproduksi inilah yang disebut dengan produk fisik
marjinal (Marginal Physcal Produk).
Selanjutnya dikatakan bahwa apabila jumlah tenaga kerja ditambah terus
menerus sedang faktor produksi lain dipertahankan konstan, maka pada awalnya
akan menunjukkan peningkatan produktivitas namun pada suatu tingkat tertentu
akan memperlihatkan penurunan produktivitasnya serta setelah mencapai tingkat
keluaran maksimal setiap penambahan tenaga kerja akan mengurangi
pengeluaran.
Menurut BPS penduduk berumur 15 tahun ke atas terbagi sebagai
Angkatan Kerja (AK) dan bukan AK. Angkatan Kerja dikatakan bekerja bila
mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1
(satu) jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang
Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan menyebabkan semakin meningkatkan total produksi di suatu
daerah. (Budi Santosa, 2001).
2.2.6. Kesempatan Kerja
Tolak ukur kemajuan ekonomi, meliputi pendapatan nasional, tingkat
kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi pembayaran luar negri
(Makmun,2004). Menurunnya laju perekonomian di desa dan bertambahnya
jumlah tenaga kerja di desa serta meningkatnya harga konsumsi dan biaya
produksi di bidang pertanian jelas akan mengurangi kapasitas produksi pertanian
yang dihasilkan. Menurut Makmun dan Yasin (2003), pergeseran agregat supply,
secara teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan
pasar tenaga kerja, yang secara matematis ditulis:
Y = f ( N, T, SDM, INF )
Dimana:
N = produksi
T = teknologi
SDM = sumber daya manusia
INF = infrastruktur
2.2.7. Kegiatan Pertanian Masih Menjadi Andalan Penampung Tenaga Kerja
Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan
memiliki kultur budaya kerja keras, sesungguhnya merupakan potensi tenaga
juta tenaga kerja masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun
besarnya jumlah penduduk tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai
dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang cukup untuk mendukung pengembangan pertanian yang
berdaya saing.
Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat
ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat berkerja dan berusaha
di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka penduduk
Indonesia yang ada dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi
aneka komoditas bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia.
2.2.8. Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Bekerja dikegiatan Pertanian
Keputusan individu untuk bekerja ditentukan oleh motivasi individu
tersebut, motivasi individu untuk berparsipasi dalam sektor yang diinginkan
diklasifikasikan dalam dua tipe. Tipe pertama demand-pull motivation yang merupakan motivasi untuk mendifersifikasi pekerjaaan, berkaitan dengan upah
dan perbedaan resiko dari masing-masing pekerjaan. Sedangkan tipe kedua adalah
distress-push motivation yaitu motivasi yang berkaitan dengan ketidakcukupan pendapatan yang diterima dan ketiadaan peluang untuk kelancaran konsumsi dan
produksi, seperti kredit dan asuransi (Davis, 2003).
Kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pertanian terkait dengan
akses individu atau rumah tangga terhadap aktivitas tersebut. Sehingga antara satu
Dalam menentukan jenis pekerjaan, seorang individu disektor pertanian
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain : tingkat upah riil, luas tanah
garapan, pendapatan diluar sektor pertanian, status garapan, faktor kelembagaan
hubungan kerja dan kondisi agroekosistem (Sumaryanto, 1990).
Lebih lanjut menurut Nasir (2005) faktor yang mempengaruhi individu
dalam menentukan jenis pekerjaanya meliputi: pendidikan, usia, tingkat melek
huruf dan angka, serta pengalaman kerja dan pelatihan. Sedangkan menurut Susilo
faktor penentu pilihan individu untuk bekerja baik disektor pertanian maupun non
pertanian terdiri dari: pendidikan yang telah ditempuh oleh individu, investasi
daerah, usia individu, dan jenis kelamin individu tersebut.
Isyanto (2010) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi keputusan
angkatan kerja untuk bekerja dikegiatan pertanian meliputi faktor individu, faktor
usaha tani dan faktor wilayah. Faktor individu terdiri dari umur dan pendidikan
yang telah ditempuh oleh angkatan kerja. Faktor usahatani berkaitan dengan
tingkat pendapatan yang ditawarkan oleh kegiatan pertanian dan luas lahan yang
dimiliki dan digunakan untuk melakukan usaha tani tersebut. Sedangkan faktor
wilayah terkait dengan jarak antara kegiatan usaha tani dengan pasar untuk produk
pertanian tersebut.
2.3. Pengertian Produksi dan Fungsi Produksi
Ditinjau dari segi ekonomi pengertian produksi merupakan suatu proses
pendayagunaan sumber yang telah tersedia sehingga memperoleh suatu hasil yang
baik kualitas dan kuantitasnya, terkelola dengan baik sehingga merupakan suatu
Menurut Joesron dan Suharti (2003), produksi merupakan hasil akhir dari
proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau
input. Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah
mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output.
Secara klasik, biaya produksi hanya dihitung berdasarkan pengeluaran
tenaga kerja saja, karena teori klasik belum percaya pada mesinisasi.
Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain.
Jika salah satu faktor tidak tersedia, maka proses produksi tidak akan berjalan,
terutama tiga faktor utama, yaitu tanah, modal dan tenaga kerja.
Tanpa tenaga kerja, tidak ada yang dapat dilakukan, begitu juga dengan
faktor lainnya, seperti modal. Hubungan antara jumlah output (Q) dengan jumlah
input dalam proses produksi (𝑋𝑋1,𝑋𝑋2,𝑋𝑋3, … .𝑋𝑋𝑛𝑛), secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut:
Q = f (𝑋𝑋1,𝑋𝑋2,𝑋𝑋3, … .𝑋𝑋𝑛𝑛)
Dimana :
Q = Output
X = input
Kajian makroekonomi dan pengembangan secara khusus menggunakan
dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja, yang secara implicit
mempersamakan lahan atau tanah dengan modal dapat terakumulasi, sementara
tanah tidak.
Untuk menaksir parameter- parameternya harus ditransformasikan dalam
bentuk double logaritme natural (ln) sehingga merupakan bentuk linier berganda
terkecil ( ordinary least square). Ln Y = Ln 𝛽𝛽0R+𝛽𝛽
1Ln𝑋𝑋1 + 𝛽𝛽2Ln𝑋𝑋2 + 𝛽𝛽3Ln𝑋𝑋3 +
𝛽𝛽4Ln𝑋𝑋4 + 𝛽𝛽5Ln𝑋𝑋5 + e (Rahim, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi hasil pertanian diantaranya
: benih, hama dan penyakit, iklim (termasuk kecukupan air), pupuk yang
diberikan, dan kondisi tanah, permasalah di dalam faktor produksi pertanian
menurut Masyhuri adalah: masalah tanah, tenaga kerja, modal, manajemen dan
tanah garapan.
2.4. PDRB Sektor Pertanian
PDRB adalah gambaran perekonomian di suatu wilayah pada periode
tertentu. Beberapa kegunaan dari PDB/PDRB adalah mengetahui struktur
ekonomi suatu wilayah, mengetahui pertumbuhan ekonomi, perbandingan potensi
ekonomi secara regional maupun internasional, analisis ekonomi lebih lanjut dasar
perencanaan dan kebijakan ekonomi.
Pendekatan pengukuran PDB/PDRB dapat dinyatakan sebagai PDB/PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) danPDB/PDRB Atas Dasar Harga Konstan
(ADHK).
Metode Penghitungan PDB/PDRB atas dasar harga berlaku ada tiga
pendekatan penghitungan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan produksi
(PDB-Y), pendekatan pengeluaran (PDB-E) dan pendekatan pendapatan (PDB-I).
Teori PDRB atas dasar harga berlaku dengan pendekatan produksi
Dimana :
Output b,t
NTB
= Ouput/nilai produksi bruto atas dasar harga berlaku tahun t
b,t
Produksi
= Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku tahun ke t
t
Harga
= Kuantum produksi/indikator produksi tahun ke t
t
Rasio NTB = Perbandingan NTB terhadap Output (NTB/Ouput) = Harga produksi /indikator harga tahun ke t
Rasio NTBo
Menurut Arsyad (1999) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan
Produk Domestik Bruto/ Pendapatan Nasional Bruto tanpa memandang apakah
pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga
konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output
perkapita dalam jangka panjang.
= Rasio NTB pada tahun dasar (o)
Penekanan pada ”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan
atau perkembangan. Oleh karena itu pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi
biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek
tersebut relevan untuk dianalisa sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik
dapat dinilai efektifitasnya.
Output b, t = Produksit x Hargat
NTBb, t = Outputb,t – Biaya Antarab,t
atau dapat didekati dengan formula
Perhitungan PDRB berdasarkan Pendekatan Produksi adalah PDRB
merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah/region dalam suatu
periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai Produksi
Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya antara
yang dikeluarkan.
PDRB Sektor Pertanian adalah jumlah Nilai Tambahan Bruto dari sub sektor pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan, perternakan,
perikanan dan jasa pertanian) atau nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
unit-unit produksi di suatu wilayah / region dalam sektor pertanian pada periode
tertentu, biasanya satu tahun.
NTB Sub Sektor Pertanian adalah menggambarkan volume / kuantum produksi yang dihasilkan dan tingkat perubahan harga dari masing – masing
kegiatan sub sektor pertanian (NPB sub sektor x % Biaya Antara sub sektor)
NPB / Output sub sektor pertanian berdasarkan harga berlaku merupakan perkalian antara kuantum produksi sub sektor pertanian dengan harga produsen
masing – masing komoditi pada tahun yang bersangkutan.
Produksi adalah usaha menciptakan dan meningkatkan kegunaan suatu barang untuk memenuhi kebutuhan. Kita ambil contoh sekarung tepung. Tepung
merupakan bahan baku yang manfaatnya baru terasa bila telah diubah menjadi
roti, usaha pembuatan tepung menjadi roti merupakan kegiatan produksi. Tapi,
tidaklah mudah mengubah bahan baku mejadi barang siap konsumsi untuk dapat
melakukan kegiatan produksi seorang produsen membutuhkan faktor-faktor
semua kegiatan untuk menciptakan/menambah nilai/guna suatu barang/jasa.
Dalam kegiatan usahatani selalu diperlukan faktor-faktor produksi berupa lahan,
tenaga kerja, dan modal yang dikelola seefektif dan seefisien mungkin sehingga
memberikan manfaat sebaik-baiknya.
Untuk sektor pertanian berupa tanaman produksinya dapat dihitung dari
produktifitas subsektor (komoditas tanaman) contoh kelapa sawit dan lain-lain
dikalikan luas lahan tanaman tersebut sedangkan untuk subsektor peternakan
dihitung dari jumlah populasi ternak awal dan akhir serta ternak yang dipotong
ditambah hasil ikutan dari ternak tersebut.
2.5. Penelitian Terdahulu
Sitompul, (2007) dalam penelitiannya “ Analisis Pengaruh Investasi dan
Tenaga Kerja terhadap PDRB Sumatera Utara menyatakan bahwa hasil estimasi
menunjukkan bahwa invesatsi PMDN tahun sebelumnya, PMA tahun
sebelumnya, jumlah tenaga kerja, dan kondisi perekonomian berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara, hal ini berarti bahwa
pertumbuhan sektor ekonomi Sumatera Utara akan semakin meningkat dengan
meningkatnya investasi dan jumlah tenaga kerja (Sitompul, 2007).
Kalangi, (2006) dalam penelitiannya yang ”Dampak Investasi di Sektor
Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi
Pendapatan” dengan menggunakan pendekatan SAM (Social Accounting Matrix) menyatakan bahwa investasi untuk peningkatan output sektor pertanian memiliki
dampak yang lebih besar terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan rumah tangga, Persentase penyerapan tenaga kerja terbesar untuk
Semua sektor pertanian dan agroindustri memberikan pengaruh ke rumah
tangga akan melewati tenaga kerja nonpertanian serta modal swasta dan
pemerintah. Berdasarkan skenario yang dilakukan Kalangi, injeksi penanaman
modal pada sektor pertanian, agroindustri, dan sektor produksi lainnya baik yang
berasal dari dalam negeri maupun asing memberikan dampak yang positif bagi
peningkatan faktorial, rumah tangga, sektor produksi itu sendiri maupun sektor
produksi lainnya.
Nurlaela (2003) dengn judul penelitian “Dampak Investasi Sektor
Pertanian dalam Perekonomian Jawa Barat “ dengan menggunakan data
Input-Output 2000 Provinsi Jawa Barat, terlihat bahwa total investasi yang terbentuk
sebesar Rp 394.657 milyar akan menciptakan output tambahan sebesar Rp 428
.508 milyar, nilai tambah bruto sebesar Rp 371.931 milyar, peningkatan
pendapatan sebesar Rp 537.80 milyar dan menciptakan lapangan pekerjaan
sebanyak 54.799 orang. Selain itu, subsektor perikanan memiliki nilai multiplier
(pengganda) terbesar terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja dibanding
subsektor lainnya dalam sektor pertanian
Selanjutnya Makmun dan Yasin (2003), melakukan studi pengaruh
investasi dan tenaga kerja terhadap PDB sektor pertanian. Hasil analisis
menunjukkan bahwa investasi secara umum berdampak positif terhadap
pertumbuhan PDB dalam periode 1980-2002, namun apabila di break down
pengaruh investasi yang bersumber dari PMA tidak disignifikan. Hasil analisis
juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi pada pertengahan 1997 ternyata
berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan sektor pertanian.
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja sangat rendah,
sehingga penambahan jumlah tenaga kerja tidak berdampak pada peningkatan
produksi. Hal ini sejalan pula dengan tingkat efisiensi (return on scale) menurun. Ini berarti pula bahwa penambahan output di sektor pertanian hanya dilakukan
dengan cara memasukkan faktor teknologi dan mengurangi pekerja.
2.6. Kerangka Konseptual
Salah satu sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur
dengan Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Kabupaten Asahan secara umum memprioritaskan sektor pertanian sebagai
sektor unggulan dalam perekonomian wilayahnya. Sektor pertanian memberikan
kontribusi (share) yang relatif tinggi terhadap PDRB Asahan. Sektor pertanian
haruslah mendapat perhatian yang serius oleh pemerintahan daerah sehingga
diharapkan sektor pertanian mampu menjadikan sektor yang berdaya saing tinggi
dibandingkan sektor lainnya.
Pembangunan sektor pertanian (subsektor perkebunan, peternakan,
tanaman bahan makanan, perikanan, kehutanan) di Kabupaten Asahan seharusnya
menjadi pemicu untuk memperkuat pondasi pembangunan ekonomi sebagai
kabupaten yang berbasis agraris dan sumber daya alam.
Jumlah tenaga kerja pertanian yang memberikan kontribusi relatif tinggi
terhadap pengangguran di Kabupaten Asahan agar mendapat perhatian dari
pemerintah daerah untuk mengadakan program pendidikan dan pelatihan
agribisnis yang mandiri dan pemberian investasi dengan kredit dengan suku bunga
sehingga meningkatkan produksi dan pendapatan petani yang akan berkontribusi
terhadap PDRB sektor pertanian Asahaan
Dengan melakukan penelitian analisis pengaruh investasi dan tenaga kerja
pertanian terhadap PDRB Asahan, maka akan dapat diketahui faktor mana yang
lebih intensif dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB sektor pertanian
Asahan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Investasi Pertanian dan Tenaga Kerja Pertanian Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara.
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan dari beberapa hasil kajian empiris
yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah “
Investasi pertanian dan jumlah tenaga kerja pertanian berpengaruh positif terhadap
PDRB sektor pertanian Kabupaten Asahan”