BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 KEPEMEMIMPINAN 2.1.1. Pengertian Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya sejarah
manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk
mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang
mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa
kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia
selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu.
Kepemimpinan secara harfian berasal dari kata pimpin. Kata pimpin
mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga
menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik
secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang
dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang
mempunyai kesamaan di dalam menjalankan kepemimpinannya. Tanpa
kepemimpinan, organisasi hanyalah merupakan kumpulan orang-orang yang tidak
teratur dan kacau balau. Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dan
bagaimana caranya seseorang memimpin hingga dapat membawa kelompok kerja
kearah keberhasilan yang maksimal. (Anoraga, 2000) menyatakan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi aktivitas orang lain melalui
komunikasi, baik individual maupun kelompok, ke arah pencapaian tujuan.
Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga
mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya,
pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara
hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari
orang-orang diluar kelompok atau organisasi. Kepemimpinan sebagai suatu alat,
sarana atau proses untuk membujuk orang agar bersedia melakukan sesuatu secara
sukarela/sukacita.
Ada beberapa faktor yang dapat menggerakkan orang yaitu karena ancaman,
penghargaan, otoritas dan bujukan. Sedangkan Dalam buku yang berjudul
Kepemimpinan: Dasar – dasar dan pengembangan, mengatakan bahwa menurut
Bernadine R.Wirjana dan Susilo Supardo, (2006,hal 3): “ Kepemimpinan adalah
suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk
mencapai misi,tugas atau sasaran dan mengarahkan organisasi dengan cara yang
membuatanya lebih kohesif dan masuk akal.
Sedangkan faktor keberhasilan seorang pemimpin salah satunya tergantung
dengan teknik kepemimpinan yang dilakukan dalam menciptakan situasi sehingga
yang dikehendaki. Dengan kata lain, efektif atau tidaknya seorang pemimpin
tergantung dari bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola
kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi tersebut.
Berdasarkan definisi yang sudah dijelaskan diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan aktivitas seseorang untuk
mempengaruhi individu, kelompok, dan organisasi sebagai satu kesatuan sehingga
kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan mempengaruhi semua anggota
kelompok dan organisasi agar bersedia melakukan kegiatan atau bekerja untuk
mencapai tujuan kelompok dan organisasi itu sendiri.
2.1.2. Teori-teori Kepemimpinan 1. Teori Sifat
Teori ini memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat yang
tampak dari pemimpin. Asumsi dasar dari teori ini adalah keberhasilan pemimpin
disebabkan karena sifat atau karakteristik dan kemampuan yang luar biasa yang
dimiliki seorang pemimpin, dan oleh sebab itu seseorang dirasa layak untuk
memimpin. Adapun sifat atau karakteristik, dan kemampuan yang luar biasa yang
dimiliki seorang pemimpin, antara lain:
a. Inteligensia
Seorang pemimpin memiliki kecerdasan diatas para bawahannya. Pemimpin
dengan cepat mengetahui permasalahan apa yang timbul dalam organisasi,
menganalisis setiap permasalahan, dan dapat memberikan solusi yang efektif, serta
dapat diterima semua pihak.
b. Kepribadian
Seorang pemimpin memiliki kepribadian yang menonjol yang dapat dilihat
dan dirasakan bawahannya, seperti:
1. Memiliki sifat percaya diri, dan rasa ingin tau yang besar.
2. Memiliki daya ingat yang kuat.
3. Sederhana, dan dapat berkomunikasi dengan baik kepada semua pihak.
4. Mau mendengarkan masukan (ide), dan kritikan dari bawahan.
5. Peka terhadap perubahan globalisasi, baik itu perubahan lingkungan, teknologi,
dan prosedur kerja.
6. Mampu beadaptasi dengan perubahan-perubahan yang timbul.
7. Berani dan tegas dalam melaksanakan tugas pokoknya, dan dalam mengambil
sikap, serta mengambil keputusan bagi kepentingan organisasi dan pegawainya.
8. Mampu menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada dalam organisasi.
c. Karakteristik fisik
Seorang pemimpin dikatakan layak menjadi pemimpin dengan melihat
2. Teori kepribadian perilaku
Dalam teori ini perilaku pemimpin merupakan sesuatu yang bisa dipelajari.
Jadi seseorang yang dilatih dengan kepemimpinan yang tepat akan meraih keefektifan
dalam memimpin. Teori ini memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku
kepemimpinan, yaitu: fungsi kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan. Terdapat dua
fungsi kepemimpinan, yaitu:
a. Fungsi yang berorientasi tugas.
b. Fungsi yang berorientasi orang atau pemeliharan kelompok (sosial).
(Suprayetno dan Brahmasari, 2008) menyebutkan beberapa tugas pemimpin
adalah sebagai berikut:
1. Peranan yang bersifat interpersonal. Maskudnya adalah seorang pemimpin
dalam organisasi adalah simbol akan keberadaan organisasi, bertanggung
jawab untuk memotivasi dan mengarahkan bawahannya.
2. Peranan yang bersifat informasional. Maksudnya yaitu seorang pemimpin
dalam organisasi mempunyai peran sebagai pemberi, penerima, dan
penganalisis informasi.
3. Peranan pengambilan keputusan. Maksudnya ialah seorang pemimpin
mempunyai peran sebagai penentu kebijakan yang akan diambil berupa
startegi-strategi untuk mengembangkan inovasi, mengambil peluang atau
3. Teori kepemimpinan situasional
Merupakan suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan
bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum
menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ataupun teori ini
mensyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku
manusia.
(Sholeha dan Suzy, 1996) mengemukakan bahwa dalam teori ini
kepemimpinan dipengaruhi oleh berbagai faktor situasi dalam organisasi dan faktor
situasi diluar organisasi, antara lain:
a) Faktor situasi diluar organisasi: sosial dan budaya yang berkembang, perubahan
globalisasi, dan kondisi perekonomian.
b) Faktor situasi dalam organisasi: kepribadian dan latar belakang
pemimpin,pengharapan dan perilaku atasan, tingkatan organisasi dan besarnya
kelompok, pengharapan dan perilaku bawahan.
4. Pendekatan terbaru dalam kepemimpinan
Menutup tinjauan mengenai teori kepemimpinan yaitu dengan menyajikan
tiga pendekatan lebih baru terhadap persoalan suatu teori atribusi kepemimpinan,
1. Teori Atribut kepemimpinan
Teori ini mengemukakan bahwa kepemimpinan semata – mata suatu atribusi yang
dibuat orang mengenai individu – individu lain.
2. Teori kepemimpinan karismatik
Teori ini merupakan suatu perpanjangan dari teori-teori atribusi. Teori ini
mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi (penghubungan) dari
kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati
perilaku- perilaku tertentu.
3. Kepemimpinan Transaksional lawan Transformasional
1) Pemimpin transaksional, pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut
mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan
tuntutan tugas.
2) Pemimpin transformasional, pemimpin yang memberikan pertimbangan dan
rangsangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.
2.1.3. Fungsi kepemimpinan
Fungsi artinya jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau digunakan sesuatu hal
atau kerja suatu bagian tubuh.sedangkan fungsi kepemimpinan berhubungan
masing-masing,yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam dan bukan
diluar situasi itu. Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi seperti :
a) Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam
tindakan atau aktivitas pemimpin.
b) Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-orang
yang dipimpin dalam melaksanakan tugas –tugas pokok kelompok/organisasi.
Sedangkan secara operasional dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok
kepemimpinan, adalah sebagai berikut :
A. Fungsi Instrusi
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator
merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan dimana perintah
itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang
efektif memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain
agar mau melaksanakan perintah.
B. Fungsi Konsultasi
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha
menetapkan keputusan,pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan,yang
mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai
mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan.
dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu
dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik untuk memperbaiki
dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
Dengan menjalankan fungsi konsultatif dapat diharapkan keputusan-keputusan
pimpinan, akan mendapat dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga
kepemimpinan berlangsung efektif.
C. Fungsi Partisipasi
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengatifkan orang-orang
yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam
melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan
secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri atau
mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi
sebagai pemimpin dan bukan pelaksana.
D. Fungsi Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang
membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan dari pimpinan. Fungsi
delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang penerima delegasi itu harus
diyakini merupakan pembantu pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi
E. Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif
mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang
efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Fungsi
pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi
dan pengawasan. Seluruh fungsi kepemimpinan tersebut diselenggarakan dalam
aktivitas kepemimpinan secara integral. Pelaksanaannya berlangsung sebagai berikut:
a) Pemimpin berkewajiban menjabarkan program kerja
b) Pemimpin harus mampu memberikan petunjuk yang jelas
c) Pemimpin harus berusaha mengembangkan kebebasan berpikir dan mengeluarkan
pendapat
d) Pemimpin harus mengembangkan kerjasama yang harmonis
e) Pemimpin harus mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan
masalah sesuai batas tanggung jawab masing- maing.
Sedangkan menurut Henry Mintzberg (Luthans, 1995 dalam Alimuddin,
2002), berdasarkan studi observasi yang ia lakukan secara langsung, membagi tiga
jenis fungsi pemimpin atau manajer :
1. Fungsi Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Fungsi ini dapat ditingkatkan melalui jabatan formal yang dimiliki oleh
seorang pemimpin dan antara pemimpin dengan orang lain. Fungsi interpersonal
a. Sebagai Simbol Organisasi (Figurehead). Kegiatan yang dilakukan dalam
menjalankan fungsi sebagai simbol organisasi umumnya bersifat resmi,seperti
menjamu makan siang pelanggan.
b. Sebagai Pemimpin (Leader). Seorang pemimpin menjalankan fungsinya dengan
menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan mendorong karyawannya
untuk mencapai tujuan organisasi.
c. Sebagai Penghubung (Liaison). Seorang pemimpin juga berfungsi sebagai
penghubung dengan orang diluar lingkungannya, disamping ia juga harus dapat
berfungsi sebagai penghubung antara manajer dalam berbagai level dengan
bawahannya.
2. Fungsi Informasional (The Informational Roles)
Seringkali pemimpin harus menghabiskan banyak waktu dalam urusan
menerima dan menyebarkan informasi. Ada tiga fungsi pemimpin disini yaitu :
a) Sebagai Pengawas (Monitor). Untuk mendapatkan informasi yang valid,
pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara kontinyu
terhadap lingkungannya, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin
hubungan dengan pihak luar.
b) Sebagai Penyebar (Disseminator). Pemimpin juga harus mampu menyebarkan
informasi kepada pihak-pihak yang memerlukannya.
c) Sebagai Juru Bicara (Spokesperson). Sebagai juru bicara, pemimpin berfungsi
3. Fungsi Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
Ada empat fungsi pemimpin yang berkaitan dengan keputusan yaitu :
a) Sebagai Pengusaha (Entrepreneurial). Pemimpin harus mampu memprakarsai
pengembangan proyek dan menyusun sumber daya yang diperlukan. Oleh karena
itu pemimpin harus memiliki sikap proaktif.
b) Sebagai Penghalau Gangguan (Disturbance Handler). Pemimpin sebagai
penghalau gangguan harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan situasi.
c) Sebagai Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator). Disini pemimpin harus
dapat memutuskan kemana saja sumber dana akan didistribusikan
kebagian-bagian dari organisasinya. Sumber dana ini mencakup uang,waktu, perbekalan,
tenaga kerja dan reputasi.
d) Sebagai Pelaku Negosiasi (Negotiator). Seorang pemimpin harus mampu
melakukan negosiasi pada setiap tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun
pihak luar.
Organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya serta mampu memenuhi
tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung pada para manajernya
(pimpinannya). Apabila pemimpin (manajer) mampu melaksanakan fungsi-fungsinya
dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat mencapai sasarannya.
Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif, yang mempunyai
2.1.4. Tipe - tipe kepimpinan
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, maka akan berlangsung
aktivitas kepemimpinan. Apabila aktivitas tersebut dipilah-pilah, akan terlihat gaya
kepemimpinan dengan polanya masing-masing. Gaya kepemimpinan tersebut
merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Adapun tipe
kepemimpinan itu sendiri adalah sebagai berikut :
1) Tipe kepemimpinan otoriter
Tipe kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan ditangan satu orang.
Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah
semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah, dan bahkan kehendak
pimpinan. Pimpinan memandang dirinya lebih dalam segala hal, dibandingkan
dengan bawahanya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah, sehingga
dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa diperintah. Pemimpin merasa dirinya
mempunyai hak istimewa, harus diistimewakan oleh bawahannya. Bawahan tidak
boleh dan tidak diberi kesempatan berinisiatif, mengeluarkan pendapat dan
menyampaikan kreativitasnya: inisiatif, pendapat, dan kreativitas dalam
melaksanakan tugas atau perintah, dipandang sebagai penyimpangan dan
pembangkangan. Pandangan seperti itu merupakan hak pimpinan, meskipun tidak
mustahil bahwa dengan inisiatif, pendapat, atau kreativitas bawahannya itu,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi lebih efektif dan efesien, daripada jika sepenuhnya
dilakukan sebagaimana diperintahkankan atasan. Akibat-akibat negative yang dapat
a. Anggota kelompok/organisasi menjadi manusia penurut, yang tidak berani
mengambil keputusan, sehingga sangat tergantung pada pimpinan.
b. Kesediaan anggota bekerja keras bersifat terpaksa dan berpura-pura, karena hanya
dilakukan bila diawasi. Disiplin dan kepatuhan bersifat palsu, karena didasari rasa
tertekan, takut dan ketengangan bahwa apabila terjadi kekeliruan akan mendapat
sanksi atau hukuman yang merugikan.
c. Organisasi menjadi bersifat statis, karena pemimpin sering kehabisan kreativitas
dan inisiatif, sedangkan bawahan tidak diberi kesempatan untuk itu.
Kepemimpinan dengan tipe otoriter seperti diuraikan diatas, banyak ditemui
dalam pemerintahan kerajaan Absolut, sehingga ucapan raja berlaku sebagai
undang-undang atau ketentuan hokum yang mengikat. Disamping itu sering pula terlihat tipe
ini dalam kepemimpinan pemerintahan diktator, sebagaimana terjadi dimasa Nazi
jerman dengan Hitler sebagai pemimpin yang otoriter.
2) Tipe kepemimpinan kendali bebas
Tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otoriter.
Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan
memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil
keputusan dan melakukan kegiatan menurut kehendak dan kepentingan
masing-masing, baik secara perorangan maupun kelompok-kelompok kecil. Pemimpin hanya
memfungsikan dirinya sebagai penasihat,yang dilakukan dengan memberikan
memerlukan. Kesempatan itu diberikan, baik sebelum maupun sesudah anggota yang
bersangkutan menetapkan keputusan atau melaksanakan sesuatu kegiatan.
3) Tipe kepemimpinan Demokratis
Tipe kepimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan
terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Pemimpin memandang dan
menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek yang memiliki
kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak,
kemampuan, buah pikiran, pendapat, kreativitas, inisiatif yang berbeda-beda dan di
hargai disalurkan secara wajar. Tipe kepemimpinan ini selalu berusaha untuk
memanfaatkan setiap orang yang dipimpin. Berdasarkan prinsip tersebut, dalam tipe
kepemimpinan ini selalu terlihat usaha untuk memanfaatkan setiap orang yang
dipimpin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan demokratis adalah
kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kegiatan-kegiatan pengendalian
dilaksanakan secara tertib dan bertanggung jawab. Pembagian tugas-tugas yang
disertai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, memungkinkan setiap
anggota mengetahui secara pasti sumbangan yang dapat diberikannya untuk mencapai
tujuan kelompok/organisasinya. Disamping itu mengetahui pula bagaimana
mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada
setiap jenjang dan didalam unit masing-masing.
Sedangkan menurut (Siagian, 1997) tipe-tipe kepemimpinan adalah sebagai
berikut :
1. Tipe Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau
ciri sebagai berikut:
1. Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi;
2. Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi;
3. menganggap bawahan sebagai alat semata-mata;
4. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat;
5. Terlalu tergantung kepada kekuasaan formalnya;
6. Dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
2. Tipe Militeristis
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang
pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer.
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki
a. Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan;
b. Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan
jabatannya;
c. Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan;
d. Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan;
e. Sukar menerima kritikan dari bawahannya;
f. Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
3. Tipe Paternalistis
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah
seorang yang memiliki ciri sebagai berikut :
a. Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu
melindungi (overly protective);
b. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil
keputusan;
c. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif;
d. Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya
kreasi dan fantasinya;
4. Tipe Karismatik
Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab
mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa
pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada
umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para
pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut
pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang
menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin
yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan,
umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma.
5. Tipe Demokratis
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin
yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena
tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa
manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia;
b. Selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan
kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya;
d. Selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai
tujuan;
e. Ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk
berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat
kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
f. Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;
g. Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis
bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang
paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang
pemimpin yang demokratis.
2.2. GAYA KEPEMIMPINAN
2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Ada suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami kesuksesan
dari kepemimpinan, yakni dengan memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan
oleh pemimpin tersebut. Jadi yang dimaksudkan disini adalah gayanya. Gaya artinya
sikap, gerakan , tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus, kekuatan,
kesanggupan untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan merupakan norma
perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Gaya kepemimpinan
kondusif dan membangun iklim motivasi bagi karyawan sehingga diharapkan akan
menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh seorang
pemimpin dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Dari gaya ini dapat diambil
manfaatnya untuk dipergunakan sebagai pemimpin dalam memimpin bawahan atau
para pengikutnya. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang
sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan
karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Menurut Prasetyo, gaya
kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang
diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi
orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Selain itu menurut (Flippo, 1987),
didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan
tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya
terlebih dahulu harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti
kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana caranya
memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka
miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi
para pengikutnya .
2.2.2. Faktor –faktor yang mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
Menurut studi tannenbaum dan Schmid menunjukan bahwa gaya dan
efektifitas gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh :
1. Diri pemimpin; Kepribadian, pengalaman masa lampau, latar belakang dan
harapan pemimpin sangat mempengaruhi efektifitas kepemimpinan disamping
mempengaruhi gaya kepemimpinan yang dipilihnya.
2. Ciri atasan; Gaya kepemimpinan atasan dari manager sangat mempengaruhi
orientasi kepemimpinan menejer.
3. Ciri Bawahan; Respon yang diberikan oleh bawahan akan menentukan efektifitas
kepemimpinan manajer. Latar belakang pendidikan bawahan juga sangat
menentukan pula cara manajer menentukan gaya kepemimpinannya.
4. Persyaratan tugas; Tuntutan tanggung jawab pekerjaan bawahan akan
mempengaruhi gaya kepemimpinan manajer.
5. Iklim organisasi dan kebijakan; Ini akan mempengaruhi harapan dan perilaku
anggota kelompok serta gaya kepemimpinan yang dipilih oleh manajer.
6. Perilaku dan harapan rekan; Rekan sekerja manajer merupakan kelompok acuan
penting. segala pendapat yang diberikan oleh rekan-rekan manajer sangat
mempengaruhi efektivitas hasil kerja manajer.
2.2.3. Peran penting gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin
diterapkan kepada bawahan sesuai dengan kedewasaan/kematangan bawahan
merupakan persyaratan mutlak keefektifan kepemimpinan dalam keberhasilan
organisasi. Dengan demikian kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin
hubungan pribadi yang baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin.
2.2.4. Jenis –jenis gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah,
ketrampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Adapun jenis – jenis
gaya kepemimpinan adalah
1. Gaya eksploitati- otoritatif
Gaya eksploitatif-otoritatif ini ditandai dengan sikap yang cenderung :
a) Memeras tenaga bawahan sedemikian sehingga mengabaikan hak-hak pegawai,
misalnya istirahat, cuti, upah lembur, penghargaan, upah yang tidak memadai
dengan usaha yang telah dikeluarkan pegawai serta hak-hak lain yang bersifat
manusiawi.
b) Tidak menghargai pendapat atau saran bawahan. Dengan kata lain bawahan tidak
diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat atau saran dalam pelaksanaan
pekerjaan. karyawan seakan-akan sebagai alat mati (robot) yang bergerak atas
c) Semua keputusan dilakukan sendiri oleh atasan, tidak dilimpahkan kepada
bawahan. Bahkan sampai pada masalah-masalah kecil ditangani sendiri oleh
atasan.
d) Mengutamakan sangsi hukuman sebagai usaha untuk menegakkan disiplin. Sama
sekali tidak ada pendekatan pendisplinan ini dari segi pendidikan dan kesadaran.
Rasa takut menjadi barometer bagi disiplin karyawan. Masalah keteladanan,
penggunaan cara-cara yang halus dan manusiawi tidak mendapatkan tempat
dalam usaha mendisiplinkan karyawan.
2. Gaya otoritatif
Gaya ini lebih lunak daripada gaya eksploitatif-otoritatif, namun mengenai
pengambilan keputusan masih tetap berada ditangan pemimpin secara keseluruhan.
Adapun ciri-ciri lebih lanjut dari gaya otoritatif ini adalah sebagai berikut :
a) Sedikit memberikan kelonggaran kepada bawahan untuk mengajukan saran dan
pendapat kepada pemimpin. Meskipun saran atau pendapat itu kemungkinan
diterima adalah 5 : 1, akan tetapi hal itu dirasakan oleh bawahan sebagai suatu
pengakuan atas hak bersuara bagi bawahan. Memenga dalam masalah
saran-pendapat dari bawahan kepada atasan tidak mungkin secara keseluruhan dapat
diterima begitu saja oleh atasan. Apabila hal ini terjadi, terasa adanya
‘kelemahan’ pada atasan itu atau ‘kekuatan’ pada bawahan.
b) Pengambilan keputusan berada ditangan pemimpin, hanya sedikit sekali
gaya kepemimpin ini sebagai rangkaian dari sentralistis pengambilan keputusan.
Kebebasan penuh orang- orang dalam menyelenggarakan pekerjaan, belum
tercermin.
c) Penerapan sanksi hukuman masih menonjol sebagai usaha menegakkan disiplin
orang- orang dalam organisasi. Dengan demikian motivasi kerja mereka adalah
rasa takut terhadap sanksi, sehingga hal demikian itu mengakibatkan tumbuhnya
perasaan was-was atau ragu-ragu, inisiatif tidak dapat berkembang, sehingga maju
mundurnya organisasi masih terngantung pada pemimpin seorang. Memang dari
segi kualitas sanksi hukuman barang kali lebih ringan daripada gaya
kepemimpinan jenis pertama. Tetapi meskipun demikian masih dirasakan sebagai
hal yang menakutkan.
d) Kurang adanya penghargaan terhadap hasil karya yang telah dilakukan oleh
orang-orang. Baik penghargaan yang bersifat moral-psilologis maupun yang
bersifat fisik-fasilitas, apalagi yang bersifat seremonial. Hal ini tidak sejalan
dengan sifat dasar manusia yang dihargai hasil karya yang telah dicapai
betapapun kecilnya, untuk kepuasan hati dan dapat membangkitkan rasa bangga
pada dirinya. Dengan begitu terangsang kegairahan dan kegembiraan dalam
menjalankan pekerjaan berikutnya.
3. Gaya konsultatif
Gaya ini lebih lanjut dirasakan oleh bawahan daripada gaya otoritatif, oleh
dalam melaksanakan tugas pekerjaan. Kelonggaran-kelonggaran itu sekaligus sebagai
ciri dari kepemimpinan yang bergaya konsultatif ini adalah :
Pemimpin memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengajukan
pendapat dan saran berkenaan dengan pekerjaan. Tidak saja pada tugas atau
pekerjaan dalam lingkungannya sendiri melainkan dapat lebih luas lagi. Kesempatan
demikian akan dapat mengembangkan kemampuan berfikir bawahan, tidak hanya
secara sektoral (berkotak- kotak) melainkan global dalam kaitan organisasi sistem.
a) Dalam hal pembuatan keputusan menejer sudah memperhatikan pendapat
bawahan serta memberikan kesempatan kepada bawahan ikut serta dalam proses
pembuatan keputusan. Bawahan sudah diberikan kebebasan dalam mengambil
keputusan sendiri atas tanggung jawabnya.
b) Pendisplinan kerja tidak lagi dilakukan semata-mata melalui motivasi negative
yaitu dengan ancaman sanksi, menakuti, tetapi sudah menggunakan motivasi
positif seperti pemberian perangsang, sistem penggajian progresif, pemberian
kemudahan-kemudahan terhadap pejabat-petugas tertentu, sistem bonus dan
premi.
c) Sanksi hukuman terhadap kesalahan masih tetap diperlakukan tetapi dengan
metode yang lebih bersifat edukatif dan secara bertingkat melalui
peringatan-peringatan. Hal ini didasari oleh rasa kemanusiaan dan sifat manusiawi yaitu
adanya kelemahan-kelemahan bawaan, lupa, sembrono (lalai), terburu-buru dan
lain sebagainya yang sama sekali tidak disertai unsur kesengajaan dengan
kesadaran atas kekeliruan dan membangkitkan semangat untuk memperbaiki
serta tidak mengulangi lagi kesalahan serupa dimasa mendatang.
4. Gaya partisipatif
Gaya ini merupakan tingkatan gaya yang paling tinggi dan terbaik dalam situasi
yang wajar dari ke 3 rangkaian urutan gaya kepemimpinan. Dengan demikian
masalah-masalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab termasuk pembuatan
keputusan telah dilaksanakan kepada pimpinan bawah. Gaya partisipatif ini memang
merupakan gaya yang amat didambakan meskipun sulit karena diperlukan sarana
pendukung yang tidak mudah yaitu, watak kepribadian pemimpin itu sendiri dan
lingkungan sekitarnya baik dalam bentuk sisitem (organisasi, manajemen dan
administrasi dengan dampak masing-masing) maupun dalam bentuk fisik kelompok
orang meliputi budaya, tradisi dan kepribadian kelompok yang dianut. Namun hal ini
tidak berarti bahwa gaya ini tidak mungkin hidup dan tumbuh dalam organisasi.
2.3. KEPUASAN KERJA 2.3.1. Definisi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual
setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda–beda sesuai dengan sistem
nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan
yang di rasakan. Biasanya orang akan merasa puas atas kerja yang telah atau sedang
ia jalankan sesuai dengan yang diharapkannya.
Kepuasan kerja merupakan salah satu komponen yang mendukung
tercapainya produktivitas yang dimaksud. (Davis, 1985) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai sekumpulan perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan
terhadap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dipandang sebagai perasaan senang atau
tidak senang yang relative, berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku.
Karena perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapat
didefinisikan sebagi sebuah sikap karyawan yang timbul berdasrkan penilaian
terhadap situasi dimana mereka bekerja. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukainya.
kepuasan juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Karyawan yang merasa
terpenuhi kebutuhannya akan mempersepsikan diri mereka sebagai karyawan yang
memiliki kepuasan atas pekerjaanya. Sebaliknya ketidakpuasan muncul apabila salah
satu atau sebagian dari kebutuhannya tidak dapat terpenuhi.
Sedangkan, menurut (Handoko, 2000:84) kepuasan kerja adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan mereka. Karyawan yang tidak memperoleh
kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada
gilirannya akan menjadi frustasi. (Siagian, 2006:295) berpendapat bahwa kepuasan
bersifat negatif tentang pekerjaannya. Banyak faktor yang perlu mendapat perhatian
dalam menganalisis kepuasan kerja seseorang. Apabila dalam pekerjaannya seseorang
mempunyai otonomi atau bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting
dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh umpan balik tentang hasil
pekerjaan yang dilakukannya, yang bersangkutan akan merasa puas. Bentuk program
pengenalan yang tepat serta berakibat pada diterimanya seseorang sebagai anggota
kelompok kerja. Situasi lingkungan berbuntut pada tingkat kepuasa kerja yang tinggi,
pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja dapat terwujud apabila analisis
tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi kerja, dan besar kecilnya organisasi.
2.3.2. Indikator Kepuasan Kerja
Ada 6 faktor utama yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
adalah sebagai berikut :
2.3.2.1. Komponen upah dan gaji
Gaji diartikan sebagai imbalan keuangan yang diterima karyawan seperti
upah, premi bonus, atau tunjangan-tunjangan keuangan lainnya. Dalam menetapkan
tingkat upah atau gaji, perusahaan dapat membuat keputusan dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Tingkat upah umum dalam masyarakat
b. Kebutuhan pokok tenaga kerja (karyawan) dan tingkat biaya hidup fisik
c. Kualitas karyawan
d. Persaingan antar organisasi
e. Kemampuan perusahaan untuk membanyar upah dan gaji yang cukup untuk
dapat menarik dan mempertahankan karyawan yang dibutuhkan.
Seseorang bekerja dalam organisasi mungkin mempunyai perbedaan
keterampilan, pengalaman, pendidikan dan senioritas. Mereka mengharapkan imbalan
keuangan yang diterima mencerminkan perbedaan tanggung jawab, pengalaman,
kecakapan ataupun senioritas. sehingga apabila kebutuhan gaji atau upah dapat
terpenuhi, maka karyawan akan memperoleh kepuasan dari apa yang mereka
harapkan.
2.3.2.2. Pekerjaan
Komponen pekerjaan sangat berperan dalam menentukan kepuasan kerja. Ada
dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yang berasal dari pekerjaan itu
sendiri (Arnold and Felman, 1986), yaitu variasi pekerjaan dan control atas metode
dan langkah-langkah kerja. Secara umum, pekerjaaan dengan jumlah variasi yang
noderat akan menghasilkan kepuasan kerja yang relatif besar. Pekerjaaan yang sangat
kecil variasinya akan menyebabkan pekerja merasa jenuh dan keletihan, dan
sebaliknya pekerjaan yang terlalu banyak variasinya dan terlalu cepat menyebabkan
2.3.2.3. Pengawasan
Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan, yaitu
usaha mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi untuk tujuan
tertentu. Beberapa pedoman pengawasan yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut :
a) Pengawasan hendaknya lebih menekankan pada usaha-usaha yang bersifat
prefentif
b) Pengawasan tidak ditujukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi kepada
hal-hal yang perlu disempurnakan dalam sistem kerja organisasi
c) Jika terjadi penyimpangan, tindakan korektif yang dilakukan seyogianya
bersifat edukatif.
d) Objektifitas dalam melakukan pengawasan dan pengendalian hanya dapat
dipertahankan apabila standar, prosedur kerja dan kreatifitas prestasi jelas
diketahui oleh yang diawasi atau yang mengawasi.
2.3.2.4. Promosi Karir
Promosi adalah perencanaan karir seseorang pada pekerjaan yang lebih dalam
bentuk tanggung jawab yang lebih besar, status yang lebih, skill yang lebih besar, dan
khususnya meningkatnya upah dan gaji. Dalam era manajemen modern, promosi
telah dianggap sebagai imbalan yang cukup efektif untuk meningkatkan morar
pekerja dan mempertinggi loyalitas terhadap organisasi. Selain itu, promosi berfungsi
Dengan demikian, usaha-usaha menciptakan kepuasan atas komponen promosi dapat
mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik dimasa-masa yang akan datang.
Ada beberapa alasan mengapa promosi harus diprogramkan dengan baik oleh
organisasi, yaitu :
a. Promosi adalah jenjang kenaikan karyawan yang dapat menimbulkan kepuasan
pribadi dan kebanggan, disamping itu adanya harapan perbaikan dalam
penghasilan.
b. Promosi dapat mengurangi angka permintaan berhenti karyawan,karena karyawan
mempunyai harapan positif ditempat kerja lain.
c. Promosi dapat membangkitkan semangat kerja karyawan dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi yang mereka juga berkepentingan.
d. Adanya peluang promosi dapat membangkitkan kemauan untuk maju pada
karyawan itu sendiri dan juga menimbulkan kesungguhan dalam mengikuti
pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh organisasi.
2.3.2.5. Kelompok kerja
Pengembangan keefektifan kelompok kerja adalah signifikan terhadap
kesuksesan program personel perusahaan dan terhadap pencapaian keberhasilan
karyawan.Di dalam kelompok, karyawan dapat menemukan pemahaman, pergaulan
dan kesetiakawanan dalam pekerjaan. seorang karyawan dapat mendiskusikan
masalah pekerjaan dan sering bahkan permasalahan-permasalahan personel dalam
rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat
keeratan hubungan mempunyai dampak terhadap mutu dan intensitas interaksi yang
terjadi dalam satu kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang
tinggi cenderung menyebabkan para karyawan puas berada dalam kelompok tersebut.
2.3.2.6. Kondisi kerja
Pengertian kondisi kerja disini adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan
kerja karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas, seperti
temperature, kelembaban, ventilasi, penerangan, kegaduhan, kebersihan tempat kerja,
kondisi alat-alat kerja, dan ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab.Dalam
pengertian sederhana, karyawan menginginkan kondisi kondisi disekitar
pekerjaannya baik karena kondisi tersebut mengarah kepada kenikmatan atau
kesenangan secara fisik. Ketidak jelasan mengenai tugas dan status menyebabkan
karyawan merasa acuh terhadap setiap pekerjaan yang harus dilakukannya,dan
seringkali menunggu untuk ditegur.
Selain itu, Harold E. Burt mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
A. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:
a) Hubungan langsung antar manajer dengan karyawan
b) Faktor psikis dan kondisi kerja
d) Sugesti dari teman sekerja
e) Emosi dan situasi kerja
B. Faktor – faktor individual yaitu yang berhubungan dengan:
a) Sikap
b) Umur
c) Jenis kelamin
C. Faktor-faktor luar yaitu hal-hal yang berhubungan dengan:
a) Keadaan keluarga karyawan
b) Rekreasi
c) Pendidikan
2.3.3. Teori Kepuasan Kerja
Menurut Wexley dan yulk bahwa teori-teori tentang kepuasan kerja dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu yang disebut sebagai : Discrepancy
theory, Equity theory ,Two factor theory. Masing- masing tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut :
1. Teori perbedaan ( Discrepancy theory )
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja
yang dirasakan. (Locke, 1969) juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang
bergantung pada apa yang menurut perasaanya atau persepsinya telah dicapai atau
diperoleh melalui pekerjaannya.Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak
ada perbedaan yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas
minimum yang diinginkan telah tercapai.
Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang
akan menjadi puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy
yang positif. Sebaliknya, semakin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar
minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka akan semakin besar pula
ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan.
2. Teori keseimbangan ( Equity theiri )
Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung
apakah ia akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi,
diperoleh orang dengan cara membandingkang dirinya dengan orang lain yang
sekelas, sekantor maupun tempat lain. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga
elemen, yaitu :
a) Input yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh karyawan
sebagai sumbangan atas pekerjaannya.
b) Out Comes yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh
c) Comparison Persons yaitu Kepada atau dengan siapa karyawan
membandingkan rasio input-outcomes yang dimilikinya. Comparisons
Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat
lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
3. Teori dua faktor ( Two factor theory )
Yang dimaksud dengan dua faktor tentang motivasi yang dikemukakan oleh
Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas dan faktor yang membuat
orang tidak puas. Dalam pandangan lain, dua faktor yang dimaksud dalam teori
motivasi Herzberg adalad adanya dua rangkaian kondisi. Kondisi pertama dimana
orang merasa sehat dan faktor yang memotivasi dan faktor ekstrinsik dan intrinsic,
sesuai dengan bagaimana cara pandang orang membahasnya. Menurut Herzberg, ada
serangkaian kondisi yang menyebabkan orang merasa tidak puas. Jika kondisi itu ada
dan tidak diperhatikan, maka orang itu tidak akan termotivasi, faktor-faktor itu
meliputi :
a) Kondisi kerja
b) Status
c) Keamanan kerja
d) Mutu dari penyedia
e) Upah
f) Prosedur perusahaan
Kondisi kedua yang di gambarkan Herzberg adalah serangkaian kondisi
intrinsik, kepuasan kerja yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan
tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi yang
baik.apabila kondisi tersebut tidak ada, maka kondisi tersebut ternyata tidak
menimbulkan rasa ketidak puasan yang berlebihan. Serangkaian kondisi itu biasa
disebut sebagai satisfiers atau motivator. Agar terdapat sifat kerja yang positif pada
para bawahan, maka menurut gagasan Herzberg, para manajer atau pemimpin harus
member perhatian yang sungguh-sungguh terhadap faktor-faktor motivator kepada
bawahan. Faktor itu adalah sebagai berikut :
a) Keberhasilan pelaksanaan (achievement)
Manajer harus dapat mempelajari dan memahami bawahan dan pekerjaannya,
dengan memberikan kesempatan kepadanya agar dapat berusaha mencapai hasil.
b) Tanggung jawab (responsibilities)
Menghindari pengawasan yang ketat merupakan salah satu cara agar tanggung
jawab benar-benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, yaitu dengan membiarkan
bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan
prinsip partisipasi.
c) Pengakuan (recognition)
Apabila bawahan telah melaksanakn pekerjaaanya dengan berhasil, maka
manajer harus memberikan pernyataan pengakuan atau keberhasilan tersebut.
yaitu langsung menyatakan keberhasilan ditempat pekerjaanya, memberikan
penghargaan, memberikan hadiah, dan memberikan kenaikan pangkat atau promosi.
d) Pengembangan (advancement)
Supaya faktor pengembangan benar-benar berfungsi sebagai motivator maka
manajer dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk mengerjakan pekerjan
yang lebih bertanggung jawab.
e) Pekerjaan itu sendiri (the work it self)
Manajer harus membuat langkah-langkah yang rill dan menyakinkan,
sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan
berusaha menghindari kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar
setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
2.3.3.1. Komponen - komponen pendekatan kepuasan kerja
Menurut smither (1998) menyebutkan beberapa pendekatan yang dapat
menjelaskan tentang kepuasan kerja yaitu :
a. Need fulfilmend (pemenuhan kebutuhan)
Pendekatan ini berbicara tentang pemenuhan kebutuhan merupakan jawaban dari
ketidakpuasan kerja. Kepuasan kerja terngantung pada berapa banyak
kebutuhan-kebutuhan individu yang telah terpenuhi pekerjaannya.
b. Expectancies (harapan)
Bahwa kepuasan adalah hasil dari apa yang diharapkan pekerja dari hasil usaha
dibandingkan apa yang sesungguhnya mereka dapat.
Sedangkan menurut Yudha kepuasan kerja merupakan kombinasi dari beberapa
komponen pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan Psikologi Sosial (the social psychological approach), Berkaitan
dengan bagaimana persepsi individu terhadap pekerjaan itu sendiri.
2. Pendekatan Ekonomi neo-klasik (neo -classical economic approach),
Berhubungan dengan berapa jumlah kompensasi yang diperoleh melalui
pekerjaan tersebut guna memenuhi kebutuhan hidupnya (termasuk
keluarganya).
3. Pendekatan Sosiologi (sociological approach),Menekankan bagaimana
kondisi hubungan interpersonal dalam konteks lingkungan sosial.
2.3.3.2.Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Ketidakpuasan kerja yang dirasakan karyawan tentu akan memberikan
konsekuensi logis bagi organisasi. Sebagai konsekuensi dari perilaku tidakpuas
(dampak ketidakpuasan kerja) dapat disebutkan sebagai berikut:
a) Keterlibatan dalam pekerjaan yang rendah
b) Ketidakhadiran yang tinggi
d) Munculnya penyakit dan gejala stress
e) Prestasi kerja menurun.
Selain itu dampak kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja adalah sebagai berikut:
1. Produktifitas atau kinerja (Unjuk Kerja)
Lawler dan Porter mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa
ganjaran instrinsik dan ganjaran ekstrinsik yang diterima kedua-duanya adil dan
wajar dan diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak
mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik yang berasosiasi dengan unjuk
kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi dengan kenaikan
dalam kepuasan kerja.
2. Ketidakhadiran dan Turn Over
Porter & Steers mengatakan bahwa ketidakhadiran dan berhenti bekerja
merupakan jenis jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidakhadiran lebih
bersifat spontan sifatnya dan dengan demikian kurang mungkin mencerminkan
ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan,
lebih besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Menurut (Robbins, 1996) ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan
pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan mereka.
Sedangkan ada 4 cara yang biasa dilakukan karyawan dalam mengungkapkan
ketidakpuasan kerjanya yaitu sebagai berikut :
a. Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan
pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.
b. Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha
aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran
perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
c. Mengabaikan (Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap
membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen
atau dating terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin
banyak.
d. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan
menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk
membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi
2.4. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian ini memiliki referensi dari berbagai sumber yang telah digabungkan
untuk mendukung penyusunan penelitian,termaksud dari penelitian-penelitian
terdahulu. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
Tabel 2.1 Tabel penelitian terdahulu
N
o
Peneliti Sumber Judul penelitian Hasil penelitian
1 Nova
Hasil penelitian uji regresi
berganda menunjukkan bahwa
gaya kepemimpinan dan
kepuasan kerja berpengaruh
terhadap kinerja karyawan di
RSUD Rokan Hulu.
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel
gaya kepemimpinan memiliki
Karyawan (Studi
FISE UNY, dengan koefisien
sebesar 1.587 dan signifikan
pada 0,000.
kuantitatif dan haisl
analisisnya bahwa adanya
Pengaruh yang signifikan
antara Gaya Kepemimpinan
Dan Motivasi kerja terhadap
Kepuasan Kerja Amggota
Detasemen C satuan III
4 Ramlan
Koefisien regresi (ß2) X2
sebesar 0,355.
2.5 KERANGKA BERFIKIR
2.5.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja
Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai
kelompok dalam suatu organisasi tertentu sangat tergantung pada mutu
kepemimpinan yang tepat dalam organisai yang bersangkutan.Perilaku pemimpin
merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Menurut (Miller et al, 1991) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan mempunyai
hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja para karyawan, Sedangkan Hani
pemimpin dapat dengan tepat mengarahkan tujuan perseorangan dan tujuan
organisasi.
Kepuasan kerja merupakan sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya. Semakin banyak aspek yang sesuai dengan keinginan individu tersebut
maka semakin tinggi kepuasan kerjannya. Salah satu faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan kerja ialah sifat penyelia yang tidak mau mendengar keluhan dan
pandangan pekerja dan mau membantu apabila diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh
(Blakely, 1993) dimana pekerja yang menerima penghargaan dari penyelia yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penilaian mereka sendiri akan lebih puas, akan tetapi
penyeliaan yang terlalu ketat akan menyebabkan tingkat kepuasan yang rendah.
Dari pengertian tersebut maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa apabila
gaya kepemimpinan yang diterapkan dapat dengan tepat mengarahkan tujuan
organisasi dengan aspek-aspek/tujuan yang diharapkan individu atas pekerjaannya
maka semakin tinggi kepuasan kerjanya.
Gambar 2.1 Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja karyawan KEPUASAN KERJA