DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN RASIO GINI DI INDONESIA
TESIS
MUHAMMAD ABDUH NPM: 1206333452
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA
DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN RASIO GINI DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi (M.E.)
MUHAMMAD ABDUH NPM: 1206333452
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK MANAJEMEN INFRASTRUKTUR PUBLIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Muhammad Abduh
NPM : 1206333452
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Departemen : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomi
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Dampak Pembangunan Infrastruktur di Perdesaan Terhadap Peningkatan Rasio Gini di Indonesia
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Jakarta Pada tanggal: 16 Januari 2016
Yang menyatakan,
Nama : Muhammad Abduh
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul : Dampak Pembangunan Infrastruktur di Perdesaan Terhadap Peningkatan
Pembangunan Desa di Indonesia mengalami penguatan dengan disahkannya UU 6/ 2014 tentang Pembangunan Desa, Dalam UU ini sedikitnya ada 3 (tiga) isu besar yang dibicarakan meliputi, Kesejahteraan, Pembangunan Infrastruktur, dan Pembangunan Ekonomi. Dan penelitian ini berusaha melihat pola keterkaitan ketiga isu tersebut. Penelitian ini dibangun menggunakan teori Cobb-Douglass
pada level Kabupaten/ Kota, dengan menjadikan variabel kesejahteraan sebagai indikasi keberhasilan pembangunan infrastruktur perdesaan, dan pembangunan perekonomian, dengan rentang waktu analisis tahun yang di sesuaikan menjadi 6 serial waktu untuk kepentingan analisis lanjutan. Dalam tataran teknis, kesejahteraan direpresentasikan sebagai rasio gini pengeluaran konsumsi masyarakat, yang bersumber dari data SUSENAS, BPS. Sementara pembangunan ekonomi direpresentasikan melalui variabel deflator ekonomi, sebagi proxy dari data inflasi. Definisi pembangunan infrastruktur yang sangat kompleks, disimplifikasi dengan menerapkan Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis
pada PODES yang diklasifikasi menjadi tiga dimensi utama yang meliputi: Dimensi Sosial, Fisik, dan Finansial. Keterbatasan data terkait rentang waktu –dalam konteks data panel, dan juga minimnya landasan teori untuk keperluan analisis lanjutan, serta potensi endogenitas dalam
masing isu diatas, menyebabkan model yang diterapkan memerlukan perlakuan khusus. Yakni dengan menerapkan analisis regresi instrumental dengan versi Generalized Method Moment Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis yang dibangun atas dasar
literatur dengan kasus penelitian sejenis, yakni Infrastruktur memiliki dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan, sementara peningkatan harga berpotensi menurunkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Areas in Indonesia
Rural Development in been strengthened with the enactment of Law 6/2014 on Rural Development, In this Act there are at least three (3) major issues discussed include, Welfare, Infrastructure and Economic Development. This study tries to see the pattern of the third link issues. This research was built using the theory at the level of Kabupaten/ Kota, by making variable welfare as goal indicator of rural infrastructure and economic development policies, during – which simplified into 6 serial time due to further analysis. In a technical scope, the welfare was represented as gini ratio of private consumption, taken from SUSENAS, BPS. While economic development is represented through the variable economic deflator, as a proxy of inflation data. Due to complexity of infrastructure development definition simplification was required using Principal Analysis through some of PODES data, that classified into three main dimensions which include: Social, Physical, and Financial. Limitations of data panel data context, and also the lack of a theoretical basis for the purposes of further analysis, as well as the potential endogeneity in each of the above issues, causing the model is applied requiring special treatment. Namely by applying a regression analysis with the instrumental version of the Moment Method Results of the analysis showed conformity with the hypothesis that is built on the basis of the literature with a case similar research, the infrastructure has a positive impact on improving the welfare, while an increase in the price of potentially reduce the welfare of rural communities.
HALAMAN PENGESAHAN ………... iv
KATA PENGANTAR ………... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………. vi
ABSTRAK ……….. vii
ABSTRACT ………... viii
DAFTAR ISI ……….. ix
DAFTAR GAMBAR ………. xi
DAFTAR TABEL ……….. xii
DAFTAR LAMPIRAN………... xiii
1. PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang 1 1.2 5 1.3 6 1.4 6 1.5 Manfaat Penelitian 6 1.5.1 6 1.5.2 6 1.6 Sistematika Penulisan 2. KERANGKA PEMIKIRAN ANALISIS ….……… 9
2.1 2.2 12 2.3 Kondisi Kesejahteraan di Indonesia dan 13 2.4 16 2.5 Dampak Infrastruktur Terhadap 21 2.6 23 25 Kerangka Berpikir Pemecahan 26 3. METODOLOGI ………. 27
3.1 3.2 3.3 3.4
3.5 32
3.6.2 36
4. GAMBARAN UMUM ………... 42
4.1 42
4.2 44
4.3
4.4 Hubungan Sederhana 50
5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 52
5.1 52
5.2 55
6. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 62
6.1 62
6.2 64
Data Persentase Jumlah Penduduk Desa
1 Data Perbandingan PDB Terhadap PDB per Kapita Menurut Lapangan
ha Tahun 2
Data Besar Selisih Pendapatan Kota terhadap Desa
3 Framework Analisis Sederhana Hubungan Infrastruktur dan Pemberantasan
Kemiskinan 11
Perumusan Hipotesis Dampak
an Kesejahteraan 25
45 46 Scatterplot Hasil Skoring
Data Hasil Skoring Komponen 1 Setelah di Standarid Deviasi Perkembangan Deflator
Hasil Estimasi Parsial
Tabel 2.1: Dimensi Pembentuk
Tabel 2.2: Analisis Komponen utama Pembentuk 20
Tabel 2.3: Dampak Infrastruktur pada Pengentasan Kemiskinan di
22
Tabel 3.1: 31
Tabel 4.1: Perbandingan Ketimpangan Pengeluaran 42
Tabel 4.2: 43
Tabel 4.3: Distribusi Data
Tabel 4.4: Sebaran data Deflator 50
Tabel 5.1: Ringkasan Regresi 53
Tabel 5.2: Ringkasan Regresi 55
Tabel 5.3: 56
Tabel 5.4: Distribusi Jumlah Kabupaten/ Kota Untuk Kepentingan Intervensi Kebijakan
Lampiran 1. Trend Pekerja Sektor Pertanian pada Masyarakat Desa dan Pola Konsumsi
Lampiran 2.
Lampiran 3. Uji Korelasi Spearman Indeks Infrastruktur Lampiran 4. Hasil Estimasi Principal
Lampiran 5. Hasil Rotasi Matrix
Lampiran 6. Hasil Skor per Komponen Menurut
Kasier Meyer Olkin Sample Adequacy Test Hasil Estimasi Parsial
struktur dan
Hasil Regresi dengan OLS mixed model
Lampiran 10. Hasil Regresi dengan OLS Random Effect dengan Maximum Likelihood Lampiran 11. Hasil Regresi dengan OLS Fixed Effect
Lampiran 12.
Belakang
UU 6/2014 tentang desa yang ini disahkan, diharapkan bisa membawa angin segar dalam penguatan kebijakan pembangunaan desa. Desa sebagai sebagai salah satu satuan wilayah terkecil di Indonesia (secara administratif) diharapkan bisa diorganisir sedemikian rupa sehingga bisa mencapai tujuan pembangunannya yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kuaitas hidup manusia penghuninya serta berperan dalam menanggulangi kemiskinan. Hal ini diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Tujuan pembangunan diatas setidaknya menyinggung tiga isu penting dalam
pembangunan desa, yakni: dan Pertumbuhan ekonomi. Terkait
masalah kesejahteraan, desa tidak bisa kita pisahkan dengan pola ekonomi dari di Indonesia terutama kedekatannya dengan sektor pertanian.
Pertanian:
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0.00
Gambar 1.1: Data Persentase Jumlah Penduduk Desa yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja Tahun 2005-20121
Sumber:BPS, dan CEIC (diolah)
Hubungan yang erat antara desa dengan pertanian ini, setidaknya bisa dilihat dari dua cara pandang: (1) Struktur dan (2) Struktur ketenagakerjaan. Secara
data Podes 2014 menunjukkan bahwa ada sekitar desa di Indonesia dengan kategori penduduk sebagai petani. Hal ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2008 dimana desa dengan jenis ini mencapai Hal serupa ditunjukkan bila dilihat dari struktur ketenaga kerjaannya. Hampir dalam satu dekade kebelakang penduduk desa yang bekerja di sektor ini mencapai 61,48 kemudian diikuti jauh dibawahnya oleh sektor Perdagangan, Rumah Makan, dan Hotel sebanyak dan sektor Jasa sebesar Sehingga dengan demikian sektor ini dianggap bisa merepresentasi perdesaan secara sektoral.
Besarnya interaksi warga desa dengan sektor pertanian ini, kemudian membuat produktivitas marginalnya relatif lebih rendah dibandingkan lain (Rustiadi, 201). Bila kita melihat data Produk Domestik Bruto tahun 2014 lalu, sektor pertanian masuk dalam kategori 3 besar. Namun ketika dilihat dari besaran PDB perkapita, justru menjadi sektor paling bawah, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1.2.
Pertanian
0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00 800.00 0.00
Sebenarnya ketika dibandingkan, rendahnya produktivitas di perdesaan ini tidak hanya terjadi pada sektor pertanian saja (sebagai sektor utama perdesaan), tapi kepada
pendapatan tenaga kerja di perdesaan terhadap perkotaan pada 2012 mencapai Rp 540 ribu, atau
Padahal bila kita melihat sisi konsumsi dari masyarakat desa, rasio (porsi) antara data pengeluaran masyarakat desa untuk tujuan Makanan terhadap Non Makanan terus mengalami penurunan. Hingga tahun 2012 rasionya bahkan kembali turun sekitar mencapai 1,44 dari 1,83 pada 2003, dan terus turun hingga 2012. Hal ini memiliki arti masyarakat desa harus bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah mulai berkembang (dari sekedar kebutuhan primer, menjadi kebtuhan sekunder) ditengah keterbatasan produktivitas mereka.
2
Gap Upah per Bulan
Kota thd Desa
(Rp/bln); & Data Rasio Makanan terhadap Non-Makanan di Desa Tahun 2000-2012Sumber: CEIC, dan BPS (diolah)
kelurahan (sebagai representasi kota pada level desa administrative pen) yang
Sementara itu berdasarkan aksesibilitas terhadap listrik PLN di desa relatif lebih rendah terhadap kelurahan. Dengan persentase juta KK) berbanding juta KK). Sementara Keluarga di desa yang tidak bisa mengakses listrik cukup tinggi dengan
KK).
Kombinasi atas rendahnya produktivitas dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat desa inilah, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, memberikan rasionalitas warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang lebih baik. Maka dari itu mobilisasi, baik secara geografis maupun sektoral, merupakan sebuah keniscayaan bagi penduduk desa.
Fenomena urbanisasi ini disebut Rustiadi et al (2011, halaman 314) sebagai indikasi tidak baiknya hubungan antara kota (beserta sistemnya). Ditambahkannya fenomena ini tidak lain adalah bentuk respon dari masyarakat karena adanya ekspektasi peningkatan kesejahteraan bagi penduduk desa yang melakukan aktivitas urbanisasi ini. Makin besar kesenjangan berpengaruh pada makin tingginya arus mobilisasi ini. Akibatnya terjadi pemusatan jumlah penduduk pada
metropolitan, yang tidak diiringi dengan peningkatan daya tampung dari
tersebut. Hal ini berkonsekuensi pada timbulnya penyakit urbanisasi (kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kualitas kesehatan, dan kriminalitas) sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas masyarakat perdesaan. (Rustiadi et al 2011, halaman 314)
Disisi lain, fenomena urbanisasi yang begitu cepat di Indonesia, mengakibatkan orientasi pembangunan nasional pada dua dekade terakhir lebih berpihak pada perkotaan dengan maksud mendorong pertumbuhan (growth). Harapan trickle down effect justru berubah menjadi backwash effect. Akibatnya dikotomi tersebut menyebabkan kesenjangan antar keduanya. Maka dari itulah perlu dicari cara untuk bisa menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota tadi. Dan atas dasar latar belakang tersebut penelitian ini menjadi penting.
Melihat realita ketimpangan ini upaya pembangunan ini tentunya menghadapi berbagai tantangan dalam prakteknya. Perlu diketahui bahwa menurut definisinya
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan / atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dengan demikian tantangan tersebut bisa diartikan sebagai jawaban mengenai cara mengelola keberagamaan pembangunan desa yang sifatnya desentalistik, dengan jumlah desa yang perlu dikelola mencapai unit desa (menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Tantangan ini sebenarnya dikembalikan kepada iktikad baik pemerintahan yang menaungi desa (Kabupaten/ Provinsi maupun Pusat) dalam meregulasi desa sesuai kewenangannya sehingga tidak terjadi tumpang tindih baik yang sifatnya vertikal
1.2Definisi & Perumusan Masalah
Hal yang menggembirakan bagi kebijakan pembangunan desa di Indonesia dengan disahkannya UU 6/2014 tentang desa adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dijadikan sebagai tujuan pembangunan desa, yang disejajarkan dengan peningkatan kualitas hidup dan penanggulangan kemiskinan yang diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (lihat
Merujuk pada tujuan pembangunan desa seperti disebutkan diatas, bahwa sedikitnya ada tiga indikator utama dalam mengukur pembangunan desa, yakni:
dan proses penciptaan harga. Maka dari itulah perlu dilakukan studi lebih lanjut dalam rangka menjawab pertanyaan “Bagaimana Pengaruh Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa?”
1.3Ruang Lingkup
Penelitian ini mebahas pengaruh infrastruktur perdesaan dan tingkat ekonomi di Indonesia terhadap tingkat kesejahteraan penduduk di perdesaan. Pemilihan jenis infrastruktur yang dijadikan indikator analisis juga dipilih dengan ketersediaan data yang sanggup merepresentasikan desa di Indonesia, dan juga mengacu pada tentang analasis sejenis yang pernah dilakukan baik di dalam, maupun luar negeri. Dengan pertimbangan teknis analisis kuantitatif yang akan digunakan, maka data akan coba diagregasi hingga level kabupaten.
1.4 Tujuan Penelitan
Tujuan dari penelitian kali ini adalah:
1. Mengetahui perkembangan ketimpangan pengeluaran penduduk desa, dan perkembangan pembangunan infrastruktur desa di Indonesia
2. Melihat pola interaksi antara kesejahteraan masyarakat desa, pembangunan infrastruktur di desa, dan pembangunan Faktor Harga (sebagai representasi dinamika ekonomi)
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapka akan bermanfaat baik secara teoritis, maupun praktis. Hal tersebut antara lain:
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai sumbangan penting dalam memperluas wawasan bagi kajian ilmu perencanaan dan pengambilan kebijakan publik khususnya dibidang Keterkaitan
2. Menjadi landasan yang sifatnya metodologis dan akademis bagi acuan pengembangan indeks infrastruktur desa dimasa mendatang.
3. Menjadi landasan metodologis dalam menganalisis keterkaitan antara tingkat kesejahteraan di desa, terhadap pembangunan infrastruktur dan kondisi perekonomiannya.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Sebagai alat bantu mengkoordinasikan intervensi, program/ bantuan di
level desa. Sehingga tercegah dari tumpang tindih dalam intervensi kebijakan program, maupun bantuan langsung atas suatu wilayah.
2. Pemanfaatan Indeks Pembangunan Desa yang merupakan salah satu produk dari penelitian ini juga bisa digunakan sebagai bahan evaluasi perkembangan pembangunan desa secara nasional.
3. Sebagai acuan dalam mengarahkan kebijakan terkait pengentasan kemiskinan di infrastruktur perdesaan.
4. Dalam jangka panjang, mempermudah kegiatan evaluasi atas intervensi yang telah dilakukan atas daerah yang bersangkutan.
1.6Sistematika Penulisan
Penelitian ini ditulis dalam 5 bab yang meliputi:
Bab 1 Pendahuluan: Sebagai pembuka, bab ini menjelaskan Latar Definisi &
Perumusan Ruang Tujuan dan Manffat Penelitian.
Penjelasan tersebut diharapkan bisa memberikan bagi para pembaca mengetahui urgensi penelitian, serta mengetahui yang akan dibahas, sehingga bisa meminimalisir bias pemahaman dalam membahas, dan penggunaan penelitian ini untuk kebutuhan studi lanjutan, maupun pemanfaatannya dalam kebijakan.
Bab 2 Kerangka Pemikiran Analisis: Didalamnya akan dibahas mengenai
ilmiah yang menjadi dasar/ koridor berpikir ideal penelitian terkait pembangunan desa
dengan berbagai dimensinya, terutama terkait isu dan
Bab 3 Metode Penelitian: Penelitian kali ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Maka dalam Bab III ini peneliti menjelaskan alasan penggunaan pendekatan ini dalam rangka menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur desa dan ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya dijelaskan metode analisis dan model yang digunakan dalam penelitian kali ini. Metodologi yang dibangun dalam penelitian kali ini merupakan penyesuaian terhadap konsep dan metode yang telah dibahas dalam Bab II. Selanjutnya dijelaskan Jenis dan Sumber Data yang digunakan dalam penelitian, serta bentuk/ definisi operasional yang dimasukan dalam model dalam bentuk Sehingga pada akhirnya digambarkan bentuk model dalam penelitian kali ini.
Bab 4 Gambaran Umum: Dalam Bab III dijelaskan definisi operasional dari
variabel dalam model. Definisi operasional ini terdiri dari dalam model yang akan dianalisis dalam model penelitian. Sehingga dalam bagian ini peneliti coba mendeskripsikan tersebut, sebagai gambaran bagi para pembaca mengenai kondisi perkembangan Kesejahteraan masyarakat Pembangunan
serta Ekonomi yang diwakili oleh indeks deflator dari
sesuai rentang waktu data yang digunakan dalam penelitian. infrastruktur dalam penelitian kali ini didapatkan dengan melakukan Analisis Komponen Utama/ Principal Component Analysis terhadap berbagai data infrastruktur yang terpilih. Maka dalam bab ini pula coba dipaparkan ringkasan hasil perhitungannya, sebelum dimasukkan dalam model penelitian yang akan dibahas lebih lanjut dalam Bab
Bab 5 Hasil penelitian dan Pembahasan: Berbagai variabel tersebut akan dianalisis dalam model penelitian yang dibangun, dan dijelaskan pada Bab III. Hasil dari analisis variabel tersebut akan diuji dan disimpulkan secara statistik sehingga bisa diketahui Bagaimana Pengaruh Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa.
2.1 Landasan Teori
Rustiadi (2010) menjelaskan bahwa secara filosofis pembangunan dapat diartikan sebagai yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapian aspirasi setiap warga yang paling Masalah pembangunan, dalam hubungannya dengan kesejahteraan pada negara berkembang, merupakan salah satu isu yang kerapkali dibahas dalam berbagai ruang ilmiah, maupun dalam ruang politik pengambilan kebijakan, terutama setelah berakhirnya perang dunia kedua, hingga saat ini (Dharmawan, 2006).
Salah satu teori pembangunan yang akrab dengan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya era Presiden Soeharto (lihat Robinson, 2012) adalah Jenjang Pembangunan yang dirumuskan oleh Walt Whitman Rostow. Dalam Rostow pembangunan sebuah bangsa dibagi menjadi lima tahap meliputi: (1) Masyarakat tradisional (the traditional society (2) Prasyarat lepas landas (the precondition for (3) Lepas landas (the (4)
ke arah kedewasaan (the to (5) Masa konsumsi tinggi (the age of high mass ). Dari proses penawaran konsep inilah kemudian lahir produk perencanaan pembangunan seperti Rencanan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) pada saat itu.
Isu pembangunan, khususnya di negara berkembang ( Countries) kerap dikaitkan dengan isu kemiskinan. Dalam merespon isu kemisikinan ini, para pakar telah berjuang keras dalam rangka mengenali karakteristiknya sehingga dapat memberikan alternatif solusi untuk keluar daripadanya
Berkebalikan dari angka PDB perkapita tersebut, menurut perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) angka indeks gini Indonesia justru meningkat dari pada 2002, menjadi 0,41 pada 2012 lalu. Hal ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan distribusi kesejahteraan antar penduduk di Indonesia. Dalam konteks pada Bab I dijelaskan bagaimana terjadinya peningkatan gap upah antara penduduk pada satu dekade terakhir. Hal ini kemudian
berimplikasi pada ketidak harmonisan hubungan antara maupun
dalam desa itu sendiri.
Tawaran atas kajian para pakar yang kerap diajukan untuk masalah kemiskinan ini adalah pembangunan infrastruktur. Dalam laporan Ash Center for and (2013) dibawah School dijelaskan bahwa penguatan infrastruktur keras (hard) maupun lunak (soft) di Indonesia bisa membantu dalam meringankan biaya transaksi dan logistik, serta meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang. Belajar dari infrastrutktur yang murah dan upah tenaga kerja yang murah menjadi kunci dari peningkatan FDI dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dengan berbasis Strategi Ekspor ( ) (Sahoo et al, 2010).
Gambar 2.1: Framework Analisis Sederhana Hubungan Infrastruktur dan Pemberantasan Kemiskinan
Sumber: Ali & Pernia, Asian Development Bank (2003)
kegiatan ekonomi yang (5) Meningkatnya penjangkauan pelayanan dasar mencakup identitas hukum, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan sarana ekonomi yang inklusif bagi masyarakat kurang mampu termasuk penyandang disabilitas dan (6) Meningkatnya perlindungan sosial, produktivitas dan pemenuhan hak dasar bagi
penduduk kurang mampu (RPJMN I).
2.2Kebijakan Terkait Pembangunan Desa di Indonesia
Upaya pembangunan desa semakin dikuatkan dengan adanya UU 6/ 2014 tentang Desa. Hal ini ditempuh agar terbentuk peningkatan kualitas hidup dari masyarakat desa itu sendiri (pasal 6 (1) UU 6/2014).Tentunya pasca pengesahan UU ini, pemerintah sebagai eksekutor kebijakan bisa memformulasikan kebijakan yang tepat agar UU tersebut bisa terwujud.
Desa merupakan sebuah entitas unik di negeri ini, karena melibatkan unsur budaya lokal ditengah sistem negara yang sifatnya positif. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam
Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mendefinisikan desa sebagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jumlah desa di Indonesia juga sangat banyak . Berdasarkan data Potensi Desa (PODES) 2014, jumlah desa terbanyak ada di Jawa Tengah unit desa, sementara terendah ada di Kepulauan Riau sebanyak unit desa. Sementara itu dari keseluruhan desa tersebut, sekitar nya merupakan desa dengan kegiatan mayoritas ada di sektor pertanian.
Indonesia sebenarnya sudah merespon hal ini dengan diterbitkannya UU Nomor 26 Tahun tentang Penataan Ruang. Dalam latar belakangnya penerbitan UU ini merupakan jawaban terjadinya ketimpangan antar daerah, termasuk antara Kota dan Desa. Salah satu hal yang diatur dalam UU ini adalah pembentukan kawasan Agropolitan sebagai kawasan budi daya yang proses pembuatannya bisa diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang juga disinkronisasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD)
masing Kabupaten/Kota.
luas (termasuk perkebunan, perikanan, dan kehutanan) maupun perumahan. Harapannya adalah agar fenomena seperti urbanisasi yang tidak berimbang bisa diantisipasi. Terlebih, pembentukan agropolitan ini juga bisa dijadikan landasan dalam pembentukan pusat pertumbuhan baru.
Perlu juga diketahui bahwa konteks kawasan budi daya dalam UU tersebut juga meliputi peruntukan pertambangan, industri, pariwisata, hingga, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan dan keamanan. Tentu saja Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam hal ini memegang peranan penting dalam melakukan intervensi pengembangan wilayah ini.
Terkait dengan pembangunan desa, UU 6/2014 setidaknya membedakan desa dalam dua dimensi kewilayahan yakni: (1) Desa sebagai entitas wilayah individu sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 1. Selain itu (2) Desa dalam konteks Kawasan Perdesaan, sebagaimana terutang dalam pasal 1 ayat yang tidak lain merupakan kesatuan dari desa tadi. Dua konteks ini penting juga dipahami karena terkait dengan pembagian kewenangan pusat dan daerah, serta strategi kolaborasi intervensi pemerintah secara vertikal secara harmonis.
2.3 Kondisi Kesejahteraan di Indonesia dan Pengukurannya
Kemiskinan dan Pertumbuhan ekonomi bisa dilihat sebagai hubungan yang sifatnya Tantangan & Tanggung Jawab. Dimana tantangan terkait bagaimana memberikan makan kepada yang miskin, sementara tanggung jawab pertumbuhan ekonomi lah untuk proses tersebut atas keuntungan yang dihasilkan dalam prosesnya 2005). Upaya memberikan makan kepada penduduk suatu negara sebagaimana disebutkan diatas, terjadi melalui proses ditribusi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dari
masing penduduknya. Tentunya konsep pertumbuhan pendapatan memiliki hingga suatu batas aman tertentu memiliki pendekatan yang sangat beragam. itu bisa dilihat dari sudut pandang subsiten (subsistence kebutuhan dasar (basic serta deprivasi relatif (relative deprivation).
sendiri merupakan penjumlahan dari Kemiskinan Makanan dan Kemiskinan Non Makanan
Kemiskinan Makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi ikan, daging, telur
dan susu, sayuran, minyak dan lemak, dll). Sementara
Kemiskinan Non Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan jenis komoditi di pedesaan. Sumber data yang digunakan dalam proses perhitungan ini menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
Kemiskinan Makanan adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan
Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga kalori dari komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung
Dimana :
j : Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100
kilokalori).
Pjk : Harga komoditi k di daerah j.
jk : daerah j.
jk : Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
J : Daerah (perkotaan atau pedesaan)
Selanjutnya j tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100
Dimana :
Kjk : Kalori dari komoditi k di daerah j
HKj : Harga
Fj : HKj x 2100
Dimana :
Fj Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara
dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.
Kemiskinan Non Makanan merupakan penjumlahan nilai kebutuhan
minimum dari terpilih yang meliputi perumahan, sandang,
pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun terdiri dari sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum
perkomoditi dihitung dengan menggunakan suatu rasio
pengeluaran tersebut terhadap total pengeluaran
Dimana:
NFp : Pengeluaran minimun atau garis kemiskinan non makanan daerah p).
i : Nilai pengeluaran per daerah p (dari
Susenas modul konsumsi).
Ri : Rasio pengeluaran menurut daerah (hasil
SPPKD 2004).
I : di daerah p.
P : Daerah (perkotaan atau pedesaan).
Sementara itu ukuran yang juga populer digunakan untuk mengetahui fonemena distribusi kesejahteraan pada suatu masyarakat adalah koefisien gini. Koefisien didasarkan pada kurva yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk (TNP2K, 2015).
1 - ∑n fp
i x (Fci + Fct-1)
Dimana:
GR: Koefisien
fpi: Frekuensi penduduk dalam
Fci: Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran Fct-1: Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke
Hasil dari perhitungan rasio tersebut akan berkisar pada 0 sampai 1. Dimana 1 merupakan kondisi dimana terjadi ketimpangan yanga sangat sempurna (tinggi) anatar satu penduduk terhadap penduduk dengan tingkat pendapatan diatasnya.
2.4 Komponen Penyusunan Indeks Infrastruktur
total keseluruhan desa yang memiliki moda trasnportasi darat pada tahun 2014, hanya ada sekitar desa yang memiliki jalan yang sudah diaspal, ditambah ada jalan yang diperkeras, dan sisnya ada sekitar desa yang jalannya masih terbuat dari tanah. Hal ini berkebalikan dari kelurahan (sebagai representasi kota pada level desa) yang
Sementara itu berdasarkan aksesibilitas terhadap listrik PLN di desa relatif lebih rendah terhadap kelurahan. Dengan persentase juta KK) berbanding juta KK). Sementara Keluarga di desa yang tidak bisa mengakses listrik cukup tinggi dengan
KK).
Kombinasi atas rendahnya produktivitas dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat desa inilah, meskipun rasionya masih ada diatas daerah perkotaan, yang memberikan rasionalitas warga desa untuk mendapatkan akses pekerjaan dan fasilitas penyedia kebutuhan hidup yang lebih baik. Maka dari itu mobilisasi, baik secara geografis maupun sektoral, merupakan sebuah keniscayaan bagi penduduk desa.
Gambar 2.2: Contoh Kurva Produksi Suatu Komoditas dalam Tahun ke N
Infrastruktur sebagai faktor input dalam peningkatan produktivitas dalam menghasilkan barang dan jasa, memiliki terminologi yang kompleks untuk diterjemahkan. Kompleksitas ini sudah memasukkan faktor sosial (seperti sekolah dan rumah dan juga faktor ekonomi (seperti transportasi) sebagaimana diungkapkan oleh et al dan juga dalam UN .
Juga termasuk infrastruktur terkait Komunikasi Manajemen Banjir,
Air, dan serta Modal Intelektual (Stewart, 2010). Namun secara konsep paling tidak infrastruktur bisa mempengaruhi dalam dua cara: (1) Secara langsung, berkontribusi pada
sektor yang dilihat melalui pembentukan PDB sebagai input dalam proses produksi dari beragam
(2) Secara tidak langsung, melalui peningkatan (TFP) dengan
meringankan biaya transaksi, dan biaya lain sehingga produksi menjadi lebih efisien (Bottini et al, 2013). Secara ringkas laporan dari UN (tanpa tahun) mencoba gambarkan dampak dari investasi sebuah proyek infrastruktur dalam meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penurunan Marginal dan meningkatkan keuntungan penjualan (yang dalam hal ini dicontohkan pada kasus produksi Jagung)
Dalam mengatasi kompleksitas terminologi tersebut, para peneliti kuantitatif biasanya mensimplifikasi dengan menggunakan berbagai metode ekonometrik, yang salah satunya adalah
metode Analisis Komponen Utama atau Metode ini akan
digunakan untuk mendeskripsikan variabel infrastruktur dalam penelitian kali ini yang akan dijelaskan pada Bab III.
Pertama adalah penelitian yang dilakukan Moser & Felton dalam melakukan simplifikasi terhadap asset yang akan dijadikan ukuran dalam analisis kesejahteraan di Ekuador.
Moser & Felton menggunakan metode Yakni yang mampu
mengakomodasi variabel diskret secara panel dengan tahun data dan
2004. Dimensi dalam indeks ini terdiri dari empat buah yang terdiri dari:
Tabel 2.1: Dimensi Pembentuk Indeks Asset Versi Moser & Felton (2007)
Dimensi Kategori Aset Komponen Index
Material Atap Material Dinding Material Lantai
Fisik Perumahan
Dimensi Kategori Aset Komponen Index Tipe Toilet
Radio
Sepeda Sepeda Motor
Tape Rekaman Aset Konsumtif
Komputer Tipe Pekerja:
PNS
Pekerja Swasta
Wirausaha Keamanan Pekerja
Pekerja Kontrak Kulkas
Mobil Aset Produktif
Mesin Jahit Remittance Finansial/ Produksi
Transfer/ Rental
Pemasukan Sewa Level Pendidikan:
Tdk Sekolah
SD
SMP
SMU/K
SDM Pendidikan
Perguruan Tinggi Jointly headed household Other households on solar Household
households Kegiatan Komunitas:
Mengikuti Klp Olahraga Modal Sosial
Komunitas
Mengikuti Keg. Komunitas
Sumber: Moser & Felton (2007)
Tabel 2.2: Analisis Komponen utama Pembentuk Indeks Infrastruktur Versi Chittarajan
Dimensi Indikator
diirigasi dari total lahan Elektrifikasi: KK desa yang dialiri listrik
KK desa yang memiliki akses pesawat telepon Fisik
Transportasi: Densitas Jalan desa per 1000 Ha lahan. Pendidikan: Angka Melek Huruf
Kesehatan: Jml tempat tidur rumah sakit per total penduduk
of rumah dengan kondisi baik dari total rumah di perdesaan Sosial
(proxy of housing amenities)
akses layanan bank pada anggota KUD Finansial
dagang dalam koperasi
Sumber: Nayak Chittaranjan. "Rural Infrastructure in Odisha: An Inter-District Analysis", PRAGATI: Journal of Indian Economy. JOURNAL PRESS INDIA: www.journalpressindia.com
Dalam & Serven (2014) infrastruktur dibagi menjadi dua terminologi, yakni menurut ketersediaannya, dan kualitasnya. Menurut ketersediaannya, diindikasikan melalui jumlah line telepon per 1000 pekerja 1 jumlah daya listrik per 1000 pekerja
2 dan total panjang jalan dengan kualitas baik (km) per luas daerah (km2) 3
Sebagaimana digambarkan dengan persamaan berikut:
Pl[z]u = 0.6159*ln[Z1/L]u + 0.6075*ln[Z1/L]u + 0.5015*ln[Z3/A]u
Sementara itu menurut kualitasnya, diindikasikan melalui lama pemasangan line telepon
1 Besarnya distribusi output dan besar listrik yang hilang dari total daya tersalur 2 dan
Total jalan 3). Hal ini digambarkan dengan:
Pl[qz]u = 0.5923* [Q1]u + 0.5814* [Q1]u + 0.5578*[Q3]u
kemudian dimasukkan dipakai sebagai variabel independen regresi untuk mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan juga ketimpangan pengeluaran penduduk.
(2013) juga melakukan penyususnan indeks infrastruktur dengan melibatkan tiga indikator utama yang meliputi Aksesibilitas rumah tangga terhadap Sanitasi, Aksesibilitas rumah tangga terhadap listrik, dan juga aksesibilitas rumah tangga terhadap air bersih pada level tertentu dengan hasil persamaan sebagai berikut:
INFSTOCK = 0.571*ln(SAN/HH) + 0.594*ln(WATER/HH) + 0.571*ln(ELEK/HH)
2.5Dampak Infrastruktur Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Hubungan antara penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur ini sendiri sebenarnya telah lama dipercaya memiliki hubungan yang positif. Dalam Wealth of
Nation yang ditulis Adam Smith pada tahun dijelaskan bahwa infrastruktur publik,
membantu masyarakat pada sebuah kerajaan meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan kelancaran kegiatan arus barang dagang
Sebuah paper yang ditulis oleh Andersen & Shimokawa (2006) berusaha mengkompilasi berbagai analisis yang dilakukan di beberapa negara mengenai dampak infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan. Kesimpulan dari kompilasi tersebut menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur pertanian, maupun berdampak positif terhadap pengentasan kemiskinan di berbagai negara. Upaya analisis dampak ini umumnya menggunakan metode
Simultaneous Equation Model (SEM), untuk mengontrol endogenitas tanpa kehilangan efek
infrastruktur dalam jangka panjang melalui diferensiasi & Shimokawa, 2006).
Tabel 2.3: Dampak Infrastruktur pada Pengentasan Kemiskinan di Negara-Negara Berkembang
Negara Tahun Metode Sumber Pengukur
Kemiskinan Infrastruktur Efek
Jalan kualitas baik: 5.53 Jml
kemiskinan kota direduksi
per km 3.61
Inv. Jalan kualitas baik 8 Jml
kemiskinan kota direduksi
per juta
yuan Inv. Jalan kualitas rendah Jalan kualitas baik:
Inv. Jalan kualitas baik 13 RRT
yuan Inv. Jalan kualitas rendah 161
Inv. Jalan 123.8
Inv. Irigasi India SEM & Thorat
(2000)
Jalan (per juta Shilling) 26.53
a 2001 SEM
per juta bath Inv. Listrik Jalan feeder
Uganda SEM
& Rao
Jml
Negara Tahun Metode Sumber Pengukur
Kemiskinan Infrastruktur Efek
(2004) dikurangi per juta
Shelling Jalan Tarmac Inv. Irigasi
2002 SEM
Fan, Huong, & Long
(2004)
Jml kemiskinan
dikurangi per juta
dong Inv. Jalan 132.34
Pipa air
Listrik 0
43
2000
lannya
Mortalitas bayi per
1000 Tdk ada kemajuan sanitasi
(1) Inv. Investment Quintile Regression Simultaneous Equation Model. (2) adalah koefisien yang signifikan pada
Sementara itu Sumarto & De Silva (2015) dalam analisisnya di Indonesia terhadap tingkat anak dalam kaitannya terhadap infrastruktur mendeterminasi secara signifikan. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi secara positif tingkat nutrisi anak. Sementara itu anak yang lebih tua, anak keluarga yang memiliki banyak anak, dan yang memiliki rentang kandungan lebih singkat memiliki kecenderungan mengalami malnutrisi. Sementara terkait dengan postur tubuh di desa
juga cenderung lebih kecil (stunt & De Silva, 2015).
Adapun Fitrani (2005) mencoba melihat fonemena konvergensi pertumbuhan pada level kabupaten kota di Indonesia selama tahun dengan menggunakan model Solow. Dalam penelitiannya kondisi perlakuan dibedakan menjadi absolute, dan kondisional. Dalam model ini, faktor infrastruktur, pendidikan, dan jumlah penduduk memiliki pengaruh dalam mempercepat konvergensi tersebut.
2.6 Dasar Pembentukan Model
2.6.1 Penelitian Sahoo et al (2010)
Desa sebagai penyangga utama kekuatan ekonomi menjadi perhatian utama dalam kegiatan pembangunan disana. Hal ini termasuk dalam pembangunan infrastrukturnya. Sahoo et al mencoba mengkur seberapa besar dampak dari pembangunan infrastruktur tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan model dasar dan di modifikasi menjadi model berikut:
Ln GDPt = αt + δit + β1 ln Kpvtt + β2 ln Kpubt + β3 ln LFt + β4 ln Indext + β5 ln HEexpt + et
Dimana GDPt adalah PDB Kpvtt adalah investasi domestik Kpub investasi domestik LF adalah total dari tenaga Index adalah indeks sementara
HEexp adalah pengeluaran (expenditure) per kapita untuk urusan kesehatan dan sekolah. Hal ini
dengan asumsi dasar (β1 , β2 , β3 , dan β4) >0. Perlu diketahui bahwa penelitian ini menggunakan cukup panjang dari
Sahoo et al (2010) mengatakan bahwa, keberadaan variabel infrastruktur dalam analisa dampak terhadap pertumbuhan ekonomi kerap mengundang perdebatan. Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan terhadap endogern dalam model. Hal ini diatasi dengan menggunakan pendekatan Auto Regressive-Distributed Lag Model (ARDL) bersama dengan
General Method of Moment untuk membatasi endogenitas tersebut. Sehingga bisa
diketahui apakah ada pengaruh jangka panjang (long-run effect) dalam model yang menyebabkan terjadinya bias intepretasi. Atau dibahasakan ketika kondisi jangka panjang menunjukkan β1 =β2 =β3=β4=0. Namun terlebih dahulu perlu diketahui arah keterkaitan antara infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dengan melakukan uji Kausalitas
2.6.2 Penelitian Calderon & Severen (2014)
Penelitian ini memberikan evaluasi empiris dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi (growth) dan peningkatan distribusi pendapatan (income) dengan menggunakan data panel yang dikumpulkan dari 121 negara dalam rentang waktu
digunakan komponen infrastruktur, yang dipisahkan dalam dua terminologi yakni ketersediaan, dan kualitas. Upaya mendeskripsikan infrastruktur ini ditempuh dengan menggunakan metode Hal ini disebabkan tingginya keragaman indikator infrastruktur yang dijadikan fokus dalam penelitian ini. Adapun faktor prediksi yang digunakan sebagai wakil variabel regresi adalah Faktor Komponen ke 1 (cp1).
Hasil dari pengukuran penelitian ini menunjukkan pembangunan infrastruktur memiliki peran yang sangat positif dalam rangka mereduksi kemiskinan. Lebih jauh simulasi pada
negara Amerika Latin, peningkatan ketersediaan dan kualitas infrastruktur secara sangat signifikan berdampak positif pada akselerasi pertumbuhan dan penurunan ketimpangan.
2.7Perumusan Hipotesis
Berdasarkan tinjauan beberapa penelitian diatas, maka diketahui bahwa Infrastruktur desa memiliki peran positif terhadap peningkatan kesejahteraan, yang diwujudkan melalui pengurangan ketimpangan pengeluaran antar penduduk desa. Dengan memodifikasi model yang dibuat oleh Ali & Pernia, Asian Development Bank (2003) maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
DIMENSI INFRASTRUKTUR
Sosial
Fisik Finansial
Pemerataan Distribusi Pengeluaran Masyarakat Desa
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Inflasi Level Kabup/Kota
Gambar 2.3: Perumusan Hipotesis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa
2.8 Kerangka Berpikir Pemecahan Masalah
Kerangka berpikir pemecahan masalah dalam penelitian ini bisa digambarkan sebagai berikut: ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DESA TERHADAP PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA
Latar Belakang Fakta:
Tingkat kesejahteraan masyarakat desa masih rendah, hal ini ditunjukkan dalam angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan kota.
Harapan:
Bisa diketahui Infrastruktur desa memiliki peran positif terhadap peningkatan kesejahteraan, yang diwujudkan melalui pengurangan ketimpangan pengeluaran antar penduduk desa.
Penelitian Tentang Tititk Potensial Untuk Dijadikan Lokasi Prioritas Pusat Pertumbuhan Pengembangan Keterkaitan Desa
Tujuan 1. Mengetahui perkembangan ketimpangan pengeluaran penduduk desa, dan
perkembangan pembangunan infrastruktur desa di Indonesia 2014.
2. Melihat pola interaksi antara kesejahteraan masyarakat desa, pembangunan infrastruktur di desa, dan Faktor Harga
Hipotesis 1. Infrastruktur desa memiliki peran positif terhadap peningkatan kesejahteraan, yang diwujudkan melalui pengurangan ketimpangan pengeluaran antar penduduk desa. 2. Faktor Harga memiliki korelasi yang positif terhadap peningkatan ketimpangan penduduk
Pembuktian Hipotesis
Indeks Infrastruktur Desa 2014 Data yang Digunakan:
SUSENAS 2013
Deflator Ekonomi Kab/Kota (Stat PDRB Konstan 2000 & Harga Berlaku) Tahun
3.1Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dikarenakan kebutuhan penelitian ini dalam mencapai tujuannya adalah hasil yang sifatnya empiris. Yakni mengetahui perkembangan ketimpangan pengeluaran penduduk desa, dan perkembangan pembangunan infrastruktur desa di Indonesia dari tahun dan melihat pola interaksi antara kesejahteraan masyarakat desa, pembangunan infrastruktur di desa, dan pembangunan ekonomi.
Hal ini seperti apa yang digambarkan Sukamolson (tanpa tahun), bahwa penelitian kuantitatif adalah representasi sesuatu menggunakan angka termasuk didalamnya memanipulasi observasi untuk tujuan mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang terjadi dalam observasi tersebut. Upaya mnemanipulasi observasi ini juga bisa diartikan sebagai analisis dengan emnggunakan metode matematis. Tentunya untuk melakukan hal ini data yang digunakan didalamnya haruslah bisa diperlakukan secara matematis (Sukamolson).
3.2 Metode Analisis & Model
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap penurunan ketimpangan kesejahteraan penduduk di perdesaan. Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Berangkat dari tujuan yang serupa dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh maupun Sahoo et al (2010), maka model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
INF
Sementara itu, hal yang juga menjadi perhatian dalam rangka pembentukan model adalah pembentukan variabel infrastruktur yang dilakukan pada tahap penyiapan data.
infrastruktur dalam penelitian kali ini dimanifestasikan dalam sebuah indeks infrastruktur, dengan merujuk pada pendekatan penyusunan indeks infrastruktur yang digunakan
Ketiga dimensi tersebut memiliki beberapa variabel (yang akan dijelaskan kedepan), yang selanjutnya tersebut diseleksi dengan menggunakan Principal Component
Analysis Principal Analysis digunakan untuk melakukan simplifikasi
terhadap data yang digunakan untuk mewakili faktor infrastruktur dalam model. Faktor infrastruktur ini juga digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan infrastruktur di perdesaan
by name by address.
3.3 Jenis & Sumber Data
Data yang digunakan seluruhnya bersumber dari Badan Pusat Statistik, yang terdiri dari dua data mikro, dan satu data generik. Data mikro tersebut terdiri dari:
Sensus Potensi Desa (PODES) dengan tahun publikasi
dan 2014. Beberapa informasi data ini diolah secara khusus untuk mendapatkan variabel
Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2003 hingga 2013. Sementara dikarenakan ketidak adaan variabel pengeluaran pada tahun 2000 dan 2001 maka digunakan data gaji pada Survey Ketenaga Kerjaan Nasional (SAKERNAS). Data SUSENAS ini digunakan khusus untuk mencari variabel Rasio yang diperoleh dari variabel pengeluaran perkapita.
Sementara itu data generik yang digunakan adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) level Kabupaten Kota untuk kategori harga tetap tahun 2000 dan harga berlaku. Selain digunakan untuk mewakili variabel pendapatan perkapita, data ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat inflasi khususnya di Kabupaten, dengan menggunakan pendekatan deflator. Hal ini disebabkan ketidak tersediaan observasi di Kabupaten ketika menggunakan data inflasi generik.
3.4Penentuan
Sesuai dengan tujuanya, konteks penelitian ini lingkup pembahasannya mengenai pengaruh infrastruktur perdesaan dan tingkat ekonomi di Indonesia terhadap tingkat kesejahteraan penduduk di perdesaan. Pemilihan jenis infrastruktur yang dijadikan indikator analisis juga dipilih dengan ketersediaan data yang sanggup merepresentasikan desa di Indonesia, dan juga mengacu pada tentang analasis sejenis yang pernah dilakukan baik di dalam, maupun luar negeri. Dengan pertimbangan teknis analisis kuantitatif yang akan digunakan, maka data akan coba diagregasi hingga level kabupaten.
Hal yang akan menjadi kendala dalam perlakuan terhadap data adalah definisi mengenai kawasan perdesaan dan ketersediaan datanya di Indonesia. Bila merujuk pada dikursus yang dilakukan oleh PBB/ United Nations, definisi desa sangat beragam negara sesuai dengan karakteristik pengambilan keputusan dari klasifikasi desa negara tersebut (United Nations). Lebih lanjut, PBB juga menjelaskan beberapa isu penting yang beredar dalam debat mengenai definisi penetapan kawasan perdesaan tersebut adalah: (1) tujuan (2) kriteria dikotomi terhadap daerah non perdesaan, maupun daerah urban (United Nations).
Di Indonesia sendiri definisi desa juga beragam, hal ini juga terjadi antara kebijakan yang berlaku, terhadap ketersediaan data. Sebagaimana dijelaskan dalam UU 6/2014 pasal 1 dimana Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebenarnya data Mikro Sensus Potensi Desa (PODES) sudah mengakomodir keinginan dari UU tersebut. Namundemikian data lain yang banyak digunakan sebagai indikator nasional seperti Survey Sosial Ekonomi Nasional Survey Ketenaga Kerjaan Nasional maupun data lain dengan fokus analisis tertentu, memiliki pendekatan yang dimiliki oleh internal BPS.
Adapun definisi desa dalam BPS sendiri adalah sebagaimana digambarkan dalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik nomor Tahun 2010 mengenai kriteria suatu kawsan dikategorikan sebagai perkotaan meliputi: (a) Sekolah Taman (b) Sekolah
Menengah (c) Sekolah Menengah (d) (e) (f) (g)
Rumah (h) Hotel /Bilyar /Diskotek /Panti Pijat (i) Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik.
Dikarenakan penggunaan data dalam penelitian ini melibatkan berbagai data
maka peneliti definisi desa disesuaikan dengan peraturan kepala BPS no Yang dalam lembar pertanyaan dalam PODES dan SUSENAS di cantumkan dalam pertanyaan bagian I nomor 105.
Selanjutnya beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi:
Ketimpangan : Adalah variabel terikat (dependent) dalam model yang mewakili kesejahteraan masyarakat desa. ini adalah data hasil pengukuran koefisien gini
penduduk desa yang diolah dari data SUSENAS tahun untuk variabel total pengeluaran. Data tahun 2000 dan 2002 diambil dari variabel total gaji uang & barang dari data SAKERNAS. Penghitungan gini ratio menggunakan alat bantu STATA12 dengan fungsi
ineqdeco”.
masing variabel penyusunnya. Adapun komposisi awal dari indeks infrastruktur ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1: Desain Dimensi dan Variabel Penyusun Indeks Infrastruktur
Dimensi Kode Indikator
Rasio KK Pengakses PLN thd Total
Rasio KK Pengakses Jaringan Telp. thd Total Fisik
Inverse Rasio Panjang Jalan Terdekat ke Pusat Pemerintahan per Total
Rasio Jml TK thd Total KK Rasio Jml
Rasio Jml Rasio Jml
Rasio Jml RS thd Total Rasio Jml RS Bersalin thd Rasio Jml Poliklinik
Rasio Jml Puskesmas Poliklinik thd Total
Rasio Jml Puskesmas Pembantu Poliklinik thd Total Rasio Jml Praktek Dokter Poliklinik thd Total Rasio Jml Parktek Bidan
Rasio Jml Posyandu Poliklinik thd Total Rasio Jml
Rasio Jml
Inverse Rasio Jml Pemukiman Pinggir Sungai thd Inverse Rasio Jml Rumah di bh SUTET thd Total KK Sosial
Inverse Rasio Rasio Jml
Rasio Jml BPR thd Rasio Jml KUD thd Total Rasio Jml
Finansia l
Inverse Rasio
3.5Teknik & Instrumen Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
3.5.1 Studi Pustaka
Mengumpulkan dan mempelajari pustaka yang meliputi
undangan maupun statuta lain yang berkaitan dengan pembangunan desa, dan infrastruktur. Juga
tentang serta dokumen ilmiah lain yang terkait dengan
pembangunan kerangka berpikir pembangunan ekonomi regional, statistik penyusunan indeks, dan analisis ekonomi makro.
3.5.2 Studi Data
Pencatatan, pengumpulan, dan pengelompokkan data yang terkait dengan tujuan analisa Pembangunan infrastruktur perdesaan, dan dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk desa.
3.6 Pengolahan Data & Pengujian Hipotesis
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana dampak dari pembangunan infrastruktur di perdesaan terhadap kualitas hidup dari masyarakat perdesaan. Hal yang harus dijawab ketika kita akan menganalisis isu ini adalah kita harus terlebih dahulu tahu mengenai definisi dari infrastruyktur tersebut. Maka dari itu penelitian akan dibagi menjadi dua tahap: Pertama, adalah tahap pendefinisian dan kedua, adalah tahap penyusunan model dampak infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan yang ditunjukkan dari penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk di perdesaan.
3.6.1 Principal Component Analysis (PCA)
Infrastruktur adalah hal yangat kompleks untuk diterjemahkan. Ia bisa jadi adalah bandara, stasiun kereta apai, pelabuhan, bisa juga telepon umum. Itu baru yang untuk publik, belum masuk terminologi apakah infrastruktur itu berguna atau milik swasta. Maka dari itu perlu dibatasi terlebih dahulu masalah definisi infrastruktur ini.
saja variabel yang akan dianalisa tetap kompleks. Hasil dari ringkasan dari penelitian terdahaulu, setidaknya ada 3 dimensi umum terkait definisi infrastruktur ini. (1) adalah dimensi (2) dimensi dan (3) dimensi financial. Ketiga dimensi ini memiliki definisi
data yang tersedia. Untuk mensimplifikasi masalah pendefinisian ini, peneliti menggunakan metode
Principal Component Analysis atau disebut Analisis Komponen Utama. Metode ini
berupaya mensimplifikasi informasi dari yang kompleks secara lebih sederhana tanpa menghilangkan potensi informasi/ karakteristik dari proses simplifikasi tersebut. Terkait proses simplifikasi tersebut, sendiri (lihat Hair et al, 2014) dianggap bertujuan untuk meringkas (summarization) dan juga mereduksi (reduction) data. Meringkas adalah mengklasifikasikan data dalam dimensi/ konsep yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah variabel awalnya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan mereduksi data, melalui pengajuan sejumlah nilai empiris (factor/ component score) untuk tiap dimensi/ konsep tersebut (Hair, 2014).
Dalam prosesnya informasi ini dilihat dari segi varians yang ada dalam
variabel. Manfaat dari penggunaan metode ini adalah membantu dalam mendefinisikan secara sederhana sebuah konsep yang kompleks, juga mengindari bias dari proses penggabungan seluruh varibael yang dianalisis, atau multikolinearitas antar sesama variabel (Hair et al, 2014).
ini adalah sebagai berikut: 1. Desain Analisis Komponen:
Desain analisis komponen ditentukan oleh konsep maupun perspektif dari analisis yang sedang dilakukan. Salah satu hal kritis dalam tahap ini adalah penentuan variabel yang masuk dalam proses analisis (Hair et al, 2014). Seperti dijelaskan diatas, analisis komponen infrastruktur kali ini memiliki ruang lingkup kepemukiman didaerah perdesaan. Data yang digunakan adalah data panel yang bersumber dari Sesnus Potensi Desa. Dengan jumlah variabel yang dimasukkan dalam analisis mencapai 26 buah, dengan merujuk pada teori
kecukupan sampel. Salah satu metode uji yang digunakan untuk tujuan ini adalah
Meyer Olkin (KMO) Test. Hasil uji dari variabel akan ditunjukkan dalam indeks antara Menurut Hair et al (2014) intepretasi dari indeks ini bisa dibagi menjadi 3, meliputi: (1) berkategori sangat (2) KMO sekitar 0.6 berkategori
variabel tertolak. 3. Analisis Komponen Utama/
Tahap ini adalah proses utama dari rangkaian yang dilakukan. Perlu diketahui bahwa proses peringkasan dan reduksi data dalam ditempuh dengan upaya memaksimalkan varians (ragam) dalam kombinasi linear yang dilakukan. Secara statistik komponen dibahasakan sebagai:
z=x.u dan u.u’=1
Dimana = 1, 2, 3 p adalah Components Loading yang merupakan tujuan dari
pelaksanaan Sementara kombinasi linear dengan pola tertentu dibahasakan sebagai u =
u1, u2, u3, …., up Dan variabel asli (original) yang akan dipertahankan semaksimal
mungkin informasinya x = x1, x2, x3 …, xp
Solusinya didapatkan dengan melakukan dekomposisi eigenvalue dari matrix korelasinya, melalui principal axes yang terbentuk dalam scatterplot yang terbentuk dari dua variabel yang dikorelasikan. Komponen dengan eigenvalue diatas 1 dianggap bisa merepresentasikan informasi yang diinginkan. Atau dibahasakan dalam u(D)2 yang tidak lain diterjemahkan sebagai korelasi variabel original (x) terhadap komponen yang membentuknya (z). Hal ini juga bisa diartikan bahwa komponen dengan nilai dibawah 1 tidak cukup bervariasi (representative) untuk dijadikan variabel baru yang memiliki informasi yang diinginkan (Hair et al (2014) & Katchova (tanpa tahun)).
Secara lebih teknis proses identifikasi eigenvalue tersebut dipecahkan dengan persamaan
(R-λI ) u = 0
Proporsi variance dari variabel xi yang dimasukkan dalam faktor c pertama merupakan total dari kuadrat factor loadings ∑� 2. Maka kondisi saat , total
�=����
proporsi tersebut adalah ∑� 2=1.
�=���� 4. Rotasi Matrix
Perlu diketahui bahwa proses perolehan komponen diatas kadang masih belum dianggap belum terlalu efsien dalam statistik. Karena tujuan utama dalam proses adalah meringkas, dan mereduksi variabel hingga penejlasan variansnya berada bersifat absolute, bahkan hingga satu komponen saja bila memungkinkan (Katchova, tanpa tahun). Pilihan untuk merotasi disini bisa dibedakan sebagai berikut menurut Katchova (tanpa Tahun) & Hair et al (2014):
rotation: Perpendicularity/ Orthogonal/ tegak lurus terhadap sumbu (komponen rotasi tetap tidak berkorelasi). Alternatifnya adalah:
o Varimax rotation bertujuan menjaga struktur tetap simpel dengan memfokuskan
pada baris kolom factor loadings.
o Quartimax rotation menjaga struktur tetap simpel dengan memfokuskan pada
baris matriks factor loadings
rotation: Membiarkan korelasi antar komponen rotasi. Tujuannya agar sumbu rotasi sedekat mungkin terhadap kelompok variabel origin. Sasarannya untuk membantu dalam intepretasi hasil. Alternatifnya adalah: Promax rotation
Untuk penelitian ini rotasi dilakukan dengan menggunakan varimax rotation. Harapannya adalah untuk memaksimalkan kuadrat factor loadings (kuadrat penyusun variance) antar variabel yang dijumlahkan untuk seluruh faktor sesuai saran Katchova (tanpa Tahun).
Banyaknya variabel baru atau variates atau komponen dari yang dapat diekstrak dari variabel data asal adalah sebanyak variabel dalam data yang pertama
menangkap jumlah terbesar dari varians dalam kombinasi linier dari:
Dimana w(1)j: koefisien bobot dari variabel pada persamaam kombinasi linier
Komponen kedua atau adalah besaran yang merupakan kombinasi linier dari semua variabel yang teramati yang tidak berkorelasi dengan dan menangkap sejumlah terbesar varians dari total varians tersisa yang tidak tertangkap oleh varians Secara
sebagai
PC(m) = w(m)1X1+ w(m)2X2 + ……+ w(m)pXp, dengan kendala
Dan demikian seterusnya hingga komponen yang dianggap valid (eigenvaluenya)
3.6.2 General Method Momment (GMM)
Persamaan dasar untuk melihat hubungan penurunan ketimpangan penduduk terhadap pembangunan faktor pembangunan infrastruktur dan dinamika ekonomi adalah model
Douglass. Namun demikian persamaan pada model tersebut dicurigai memiliki unsure endogenitas disamping korelasi antar waktu dan juga bias akibat efek spesifik dari
masing kabupaten/kota dalam proses estimasinya. Oleh karena itu eksploitasi data terutama antar waktu sangat dituntut disini.
Masalah yang dihadapi saat melakukan estimasi dengan menggunakan model jenis ini adalah terjadinya autokorelasi. Yakni variabel independen (Y ) tahun sebelumnya berpengaruh pada variabel dependen (Yt).Hal ini biasa terjadi pada analisis time-series.Diuji dengan
atau Lagrange-Multiplier Test (sample Ditolong dengan mengubah persamaan model menjadi generalized difference equation; memasukkan lag-variabel dalam variabel control (variabel independen)
Perlu diketahui bahwa Autokorelasi menyebabkan estimator OLS dan estimator konvensional lain (termasuk persamaan simultan 2SLS) menjadi bias & inkonsisten. Meskipun
tidak terjadi korelasi serial dalam unit (Baltagi, 2001).Meskipun dilakukan transformasi first
difference untuk menghilangkan heterogenitas, korelasi antara indepvar vs residual tetap ada.
Peningkatan jumlah sampel juga tidak bisa
dipaksakan menyebabkan bias (Hsiao, Solusi ideal menambah waktu. korelasinya akan Praktisnya: perlu dicari estimasi yang menjebatani OLS dengan within group estimator
Masalahanya adalah tenggat waktu yang tersedia dalam penelitian ini –juga dalam penelitian & Severen sangat pendek, meskipun observasinya banyak (panel). Oleh karena itu Blundell dan Bond menawarkan alternatif model yang efisien dalam penggunaan lag. (Blundell & Bond & Baltagi (2001)). Hal ini ditempuh dengan metode estimasi Generalized Method of Moments terhadap model
berdasarkan instrument internal dan eksternal menngunakan disagregasi dan sintesis pengukuran kualitas dan kuantitas infrastruktur.
persamaan dasar digambarkan secara matematis sebagai berikut.:
Yit – yit-1 = αyit-1 + Ø’Kit + ɣ’Zit+μt+Ƞi+ɛit
= αyit-1 + β’Xit + μt+Ƞi+ɛit
Disini K adalah variabel kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi / ketimpangan seperti inflasi, variabel ukur financial, termasuk didalamnya pertumbuhan, dan faktor regresi ketimpangan.. Sementara adalah vektor dari infrastruktur yang telah diukur. Term μt dan Ƞ
melambangkan sebuah faktor umum (common factor) yang tidak terobservasi yang mempengaruhi seluruh negara, dan karakteristik dalam negara yang tidak terobservasi. Padahal karakteristik dari negara ini menurut
(2002) perlu diperhitungkan karena memberikan dampak peningkatan terhadap ketimpangan dalam institusi tersebut.
Maka dari itu model terlebih dahulu dirubah dalam bentuk dengan 2004):
Dengan mengasumsikan bahwa tidak terjadi gangguan waktu, dan tidak juga terjadi korelasi antar waktu, dan juga mengasumsikan variabel penjelas secara lemah bersifat eksogenus (yakni dengan tidak berkorelasi dengan kejadian jangka panjang dari variasi error antar waktu), nilai variabel endogen dan eksogennya memberikan instrument yang sifatnya valid.
Atau dibahasakan sebagai 2014):
yi,t-s (ɛi,t - ɛi,t-1 i,t-s (ɛi,t - ɛi,t-1
Kondisi ini mendefinisikan estimasi meskipun simplifikasi ini, terdapat beberapa keterbatasan. Saat variabel penjelas persisten dari waktu kewaktu, lagged level mereka adalah instrumen yang lemah untuk persamaan turunan (differences) nya & Arellano, Blundell & Bond, Hal ini meningkatkan varians asimtot dari estimator dan menciptakan bias sampel kecil.1 Sementara itu Oliviera et al (2005) menyebutkan bahwa
Persamaan first-difference. GMM-diff ditrasnmisi untuk menghilangkan karakteristik panel
(Ƞi). Sehingga variabel endogen pada lag & tepat. Asalkan tidak ada random error
(Oliviera. et.al, 2005).
Metode Diuji dengan korelasi serial pada 1st difference instrument tidak boleh lemah, kalau tidak akan downward bias. Koreksi dilakukan melalui kombinasi dengan persamaan persamaandalam bentuk level, sehingga tetap orthogonal terhadap Ƞi (Blundell &
Bond, terikat (indepvar) dalam bentuk level harus berkorelasi dengan (Ƞi) selama
Situasinya mengijinkan2. Sementara instrument untuk regresi dalam level adalah turunan lag
(lagged differences) dari yang bersangkutan. Hal ini adalah
instrumen yang cocok dibawah asumsi tambahan dari ketiadaan korelasi antara turunan (diff)
1 Problem tambahan dari simple difference estimator berhubungan dengan perhitungan error. Dimana penurunan
(differencing) bisa membuat bias menjadi lebih buruk, dikarenakan eror dalam variabel melalui peningkatan sinyal rasio noise (Griliches & Hausman, 1986).
2 Dalam Kasus ARDL seri 1st difference dapat tidak berkorelasi dengan (Ƞi) asalkan seri tersebut memiliki rata-rata