• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar bahasa asing di era web 2.0 Apa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Belajar bahasa asing di era web 2.0 Apa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Belajar bahasa asing di era Web 2.0: Apa dan bagaimana?

Karin Sari Saputra Universitas Indonesia

(karinsarisaputra@yahoo.co.id)

Abstrak

Menghubungkan tema global pada kurikulum pengajaran bahasa merupakan efek kejut yang sangat ditunggu-tunggu di era web 2.0 seperti sekarang ini. Makalah ini menguraikan lima dimensi dasar perspektif global yang secara mengejutkan datang dari tokoh bernama Robert Hanvey pada tahun 1976. Esai penting yang ditulis oleh Hanvey berjudul, “Sebuah Pencapaian Perspektif Global” berhasil membuat ia yang pertama menyakinkan para pendidik bahwa kita hidup dalam sebuah komunitas global yang saling bergantung. Lima dimensi dari Hanvey menyediakan kerangka kerja yang bermanfaat bagi guru yang mengeksplorasi atau mengembangkan belajar global. Daftar dari lima dimensi tersebut: (1) Kesadaran Perspektif; (2) Pengetahuan tentang Kondisi Dunia; (3) Kesadaran Lintas-Budaya; (4) Pengetahuan tentang Dinamika Global, dan; (5) Pengetahuan tentang Alternatif. Belajar bahasa yang seakan terus menjadi momok baik bagi pendidik dan pemelajar patut memperhatikan bahwa esensi dari upaya menyukseskan dan/atau menguasai suatu bahasa adalah dengan adanya kekuatan mentoring dan kolaboratif. Menariknya, revolusi web 2.0 dan teori pengajaran bahasa asing menyuguhkan suatu fenomena yang tidak seharusnya diabaikan oleh para pengajar bahasa.

Kata kunci: belajar bahasa asing, web 2.0

______________________________________________________________________

A. Pendahuluan

(2)

sosial, dan berinteraksi dengan dunia secara nonlinier.” Jika kita amati dunia pendidikan saat ini maka menunjukkan perkembangan yang semakin dinamis, artinya terdapat suatu paradigma baru terkait hadirnya teknologi ditinjau dari perspektif budaya yang diikuti pula oleh kehadiran nilai-nilai mondial. Konkretnya, menurut Norton & Wiburg (2003: 2) menunjukkan bahwa pada mulanya manusia hanya memiliki budaya berbicara (oral culture) saja. Seiring dengan bergulirnya waktu seraya diikuti oleh pelbagai kemajuan yang dilakukan oleh manusia---seperti ditemukannya kertas berikut pena---maka dari yang semula hanya memiliki budaya berbicara, kemudian beralih pada budaya yang berkenaan dengan tulis-menulis (scribal culture). Perkembangan pun tidak dapat terbendung pasca penemuan kertas dan alat tulisnya tersebut. Pasalnya, lambat laun ketika alat cetak berhasil dibuat terjadi transformasi dari scribal culture ke arah print culture. Hingga sampailah kini peradaban manusia di abad ke-21 yang kembali terjadi alih perubahan budaya yang disebabkan oleh kemajuan teknologi pasca ditemukannya Internet.

(3)

untuk merepresentasikan bahwa siswa tidak lagi tergantung pada buku teks tunggal, teks klasik, atau esai. Web 2.0 mampu menciptakan komunitas daring (online) yang menawarkan implikasi yang menarik untuk proses pemelajaran (Peters, 2009: 10). Berikut gambar 1.1 adalah gambaran ringkasan dari Web 2.0 yang memungkinkan pengembangan siswa dibandingkan dengan metode yang didominasi teks (ibid.: 11).

Web 2.0 Didominasi Teks

Orientasi guru/siswa multipel Orientasi satu guru Siswa yang berbeda dengan topik yang berbeda Satu untuk semua

Bermacam-macam produk Satu jenis produk

Audiens multipel Satu audiens (guru)

Media multipel Berdasarkan teks saja

Kolaboratif Kompetitif

Sinkron dan asinkron Sinkron

Jadwal fleksibel Jadwal tidak fleksibel

Gambar 1.1 Kesempatan perkembangan siswa: Web 2.0 vs. Didominasi teks

Evolusi Web 2.0 memiliki implikasi penting bagi para pendidik global, khususnya guru bahasa asing jika dikaitkan di dalam konteks pengajaran bahasa. Crystal (2001) menunjukkan bahwa teknologi menawarkan kepada semua siswa, yaitu mereka memiliki kesempatan untuk belajar dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Hasil dari penggunaan teknologi berpotensi positif, artinya mengintegrasikan teknologi ke dalam pendidikan telah meyakinkan sejumlah negara (termasuk Indonesia) untuk memulai penggunaan Internet dan teknologi informasi dalam sistem pendidikan mereka untuk menghasilkan tenaga kerja yang terdidik, terampil dalam teknologi baru dan mampu menghadapi tantangan global (Miner, 2004; Almekhlafi, 2006; Lavin & Wadmany, 2006) (ibid.). Munculnya teknologi ruang informal yang menuntut pemelajar dan guru untuk memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi TIK dan untuk menggabungkan sumber daya yang tersedia bagi mereka untuk membentuk sendiri lingkungan belajar pribadi mereka. Perubahan dalam lingkungan operasional yang dijelaskan di atas menimbulkan tekanan yang berkembang untuk berpikir ulang dan mendesain kembali lingkungan pengajaran bahasa. Hal ini merupakan sebuah tantangan, khususnya bagi guru bahasa. Apalagi ruang lingkup belajar bahasa asing yang menuntut pemelajar agar dapat terpajan dalam lingkungan bahasa target terbantu dengan masuknya era perkembangan teknologi ini.

(4)

Alhasil, teknologi memainkan peran sangat penting dalam menciptakan kesempatan belajar yang lebih banyak bagi pemelajar bahasa asing agar dapat berkomunikasi dengan penutur jati baik berkomunikasi secara sinkron atau asinkron (ibid.). Di bidang

Computer Assisted Language Learning (CALL) seorang peneliti memeriksa dampak integrasi teknologi pada pengajaran dan pemelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL) dan/atau bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL) (Frigaard, 2002; Al-Mekhlafi, 2006; Timucin, 2006). Timucin (2006) melihat dengan teliti proses pelaksanaan suatu inovasi EFL dalam bentuk CALL dalam program persiapan di Universitas Turki. Studi Timucin menyelidiki efektivitas penggunaan multimedia (digunakan dengan buku teks) untuk mengajar siswa EFL, dan dampaknya pada praktik pengajaran guru. Titik fokus dari proyek ini adalah untuk mempromosikan kompetensi komunikatif dan otonomi pemelajar melalui penerapan alat teknologi. Peneliti menggunakan dua instrumen untuk mengumpulkan data, yaitu kuesioner dan wawancara semi-terstruktur. Salah satu temuan adalah bahwa guru menjadi lebih terlibat dalam mempersiapkan bahan tambahan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi baru, yakni membuat proyek baru yang tersedia untuk mereka gunakan. Temuan lain menunjukkan bahwa guru menjadi lebih tertarik dan terlibat dalam pertemuan dan diskusi dengan kolega dan administrator. Pertemuan-pertemuan dan sesi diskusi membawa guru dan administrator secara bersama-sama untuk berbagi ide dan merefleksikan praktik mengajar mereka sendiri. Apalagi, diskusi daring (online) menggunakan komunikasi sinkron dan asinkron memungkinkan pemelajar bahasa asing bereksperimen dengan bahasa mereka untuk negosiasi makna (negotiate meaning), sehingga menaikkan keluaran yang dapat dipahami (comprehensible output) (Swain, 1995).

(5)

materi pemelajaran pada salah satu situs; bukanlah pelencengan dari kurikulum. Peters (2009: 14) menyebutnya bahwa kegiatan ini dapat berfungsi sebagai cara untuk menghasilkan tingkat motivasi yang lebih tinggi, serta minat di lapangan melalui rangsangan dan keterlibatan. Memang tampaknya, perspektif global itu menurut definisi, membangkitkan topik luas dan tak terkendali yang harus dipertimbangkan. Jadi pertanyaannya adalah: Harus mulai dari mana?

B. Web 2.0 dan Diversitas Sosiokultural

Sependapat dengan yang diungkapkan oleh Solomon & Schrum (2010: 1) bahwa pencarian via Google “definisi Web 2.0” memunculkan hasil ratusan ribu tautan. Kendati demikian, Webopedia (www.webopedia.com/TERM/W/Web_2_ point_0.html) mendefinisikanya sebagai berikut:

Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk menggambarkan generasi kedua dari World Wide Web yang difokuskan pada kemampuan orang untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara daring (online). Web 2.0 pada dasarnya mengacu pada transisi dari halaman web HTML statis ke web yang lebih dinamis, lebih terorganisir, dan didasarkan pada melayani aplikasi web untuk pengguna. Fungsi lain yang disempurnakan dari Web 2.0 termasuk komunikasi terbuka dengan penekanan pada komunitas berbasis pengguna web, lebih terbuka dan bersifat berbagi informasi. Seiring waktu, Web 2.0 telah digunakan lebih sebagai istilah pemasaran daripada istilah komputer yang berbasis sains. Blog, wiki, dan layanan web semua dilihat sebagai komponen dari Web 2.0.

(ibid.)

(6)

memberikan kesempatan pemelajar untuk mengontrol proses belajar mereka sendiri, tetapi juga memberikan mereka akses yang siap untuk sejumlah besar informasi di mana guru tidak memiliki kekuasaan atau kontrol (Lam & Lawrence, 2002).

Para guru bahasa seyogianya telah cukup familiar dengan teknologi Web 2.0 seperti: Podcast, Wiki, Blog, situs dengan fasilitas media seperti Flickr dan YouTube, konferensi video, Google dokumen, VoiceThread, Vlogs dan masih banyak nama-nama yang lain. Melalui sejumlah teknologi Web 2.0 tersebut para siswa menciptakan kesempatan yang nyata dalam memeroleh bahasa asing mereka. Albert (2013: 5) menunjukkan dengan dilambari atau didasari dari segi teori pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition/SLA), masukan yang dapat dipahami (comprehensible input) dan bukti negatif (negative evidence) sangat penting untuk pemerolehan bahasa dan pemelajaran bahasa. Akan tetapi, kemaknawian masukan yang dapat dipahami (comprehensible input) dan bukti negatif (negative evidence) hanya akan tersedia jika: (a) pemelajar terlibat dalam komunikasi otentik dengan penutur jati dan/atau penutur jati terdekat---kendati demikian, pada konteks bahasa Inggris sebagai bahasa global konsep “penutur” jati dan non-jati menjadi kian kurang relevan, kemungkinan akan lebih tepat untuk berpikir mengenai tingkat kecakapan pengguna sebuah bahasa (Brown, 2007: 225)---dan (b) kecukupan waktu yang tersedia untuk berinteraksi. Lingkungan daring baik sinkron maupun asinkron memberikan kelebihan untuk menciptakan kesempatan belajar bahasa asing yang memenuhi kemaknawian

(7)

terangkum dalam poin-poin penting berikut, yakni: (1) saring teknologi untuk menghilangkan bias gender, kultural, dan etnis; dan (2) gunakan teknologi sebagai alat untuk menyediakan kesempatan pembelajaran yang aktif dan konstruktif untuk semua siswa dari semua latar belakang gender, etnis, dan kultural (ibid.). Web 2.0---sekali lagi ditegaskan---tak pelak memunculkan banyak keraguan dari guru-guru pengajaran bahasa kepada siswa mereka melihat kondisi di kelas. Penyebabnya sungguh menarik, guru di mana-mana telah dibebani dengan segala macam tuntutan dan enggan mengambil tanggung jawab baru; terutama jika manfaatnya mungkin tidak langsung pada peningkatan nilai (Peters, 2009: 14).

Contoh kasus, Marsha Goren, seorang guru pelajaran bahasa Inggris dan pemenang banyak penghargaan internasional, menemukan dirinya bingung dan khawatir ketika komputer pertama mulai tiba di sekolahnya. Ia mulai berpikir: Bagaimana saya akan menghadapi kotak kecil dengan layar itu? Goren menyadari bahwa ia sekarang dalam perjalanan baru: Saya harus berusaha memajukan siswa-siswa saya dan saya sendiri ke dunia masa depan, tidak meneruskan pendidikan mengenai dunia di masa lalu yang tidak akan mereka temui lagi. Perjalanan baru dimulai ketika ia bergabung dengan sebuah program daring, Friends and Flags, dan ia mulai melihat bagaimana program tersebut dapat membantu siswa dalam belajar bahasa Inggris dengan mudah dan menyenangkan, dengan berpasangan bersama siswa dari negara-negara lain dalam pelbagai proyek kreatif (ibid.: 21-2). Menurut Richards (2000) pada Young & Bush (2004: 10), seorang veteran guru bahasa Inggris SMA, dua jawaban setuju pada pertanyaan berikut mengindikasikan bahwa seorang guru seharusnya melakukan perubahan untuk mengimplementasikan teknologi:

 Akankah penggunaan teknologi meningkatkan percakapan di kelas?  Akankah hal itu memenuhi kesahihan proses belajar-mengajar di kelas?  Akankah tidak bermasalah bagi individual?

(8)

mempersiapkan instruksi, sebelum Anda memilih bahan, ancangan atau metode penting untuk dapat menyatakan secara jelas apa tujuan Anda" (hal. viii).

C. Pertalian Teori Pengajaran Bahasa Asing di dalam Praksis dan Multidisiplin Dalam konteks praktik mengajar di kelas, secara pribadi jika dilihat dalam faktor motivasi, penulis lebih memilih untuk mempersepsikan kesesuaian alasan dan/atau latar belakang yang berkenaan dengan peningkatan pemelajaran B2. Artinya, mengakomodasi keseluruhan hal-hal yang melatarbelakangi motivasinya untuk belajar B2. Pemahamaan akan hal ini akan dibawa pada kegiatan instruksi di kelas dan pemilihan bahan ajar yang sebisa mungkin memelihara motivasi tersebut ataupun dengan harapan dapat lebih meningkat kadar motivasinya. Motivasi akan melihat sikap belajar terhadap B2 secara positif atau sebaliknya. Penciptaan atmosfer yang menumbuhkan motivasi yang tinggi, yakni dengan menghadirkan sisi dari misal budaya negara bahasa target yang menarik dengan keanekaragaman konteks peristiwa dalam kehidupan nyata. Pandangan Cook (2008) yang mengkategorikan tiga faktor utama individu dalam proses belajar bahasa asing, di antaranya: motivasi, sikap, dan bakat sehingga dalam ungkapan lain bahwa salah satu alasan mengapa pemelajar B2 belajar lebih baik daripada yang lain tidak diragukan lagi karena mereka termotivasi (hlm. 136). Kita harus memahami bahwa tujuan pengajaran bahasa termasuk mengubah sikap masyarakat terhadap budaya lain dan menggunakan bahasa kedua secara efektif.

(9)

terkait dengan gaya mengajar guru di kelas. Banyak istilah dari scholar yang dikutip oleh Eliis (1985: 103). Di antaranya, Stevick’s (1980) yang menyatakan bahwa bisa saja pemelajar merasa nyaman jika ada ‘jarak’ antara guru dan siswa. Akan tetapi, lain halnya dengan Bailey (1980), misalnya berpendapat tentang demokrasi di kelas. Artinya, terjalin interaksi yang seimbang antar siswa maupun gurunya sendiri. Dan yang ketiga dari faktor personal, yakni teknik belajar individu. Jelas dikatakan bahwa setiap pemelajar itu unik. Mereka mempunyai ciri khasnya sendiri untuk menentukan gaya belajar yang sesuai bagi mereka. Namun, Ellis berpendapat teknik belajar yang cenderung sama pada setiap pemelajar, yaitu berkenaan dengan grammar (tata bahasa) dan pronunciation (pengucapan atau pelafalan). Para pemelajar sedapat mungkin akan menciptakan kondisi untuk mereka dapat berinteraksi dengan penutur jati. Alhasil, esensi kesuksesan belajar bahasa asing pada teori-teori pengajaran bahasa tidak sepenuhnya bergeser hanya saja faktor-faktor seperti motivasi, penghargaan pada siswa, dan kemaknawian dan/atau relevansi materi pembelajaran ke dalam dunia nyata mengunggulkan penggunaan teknologi di kelas bahasa. Web 2.0 sangat cocok dengan perkembangan terbaru dalam teori pemelajaran: Kita belajar lebih efektif dalam interaksi kelompok, dibandingkan melalui pemelajaran dalam kelas tradisional (Downes, n.d.)

Siswa juga memerlukan pemahaman bahwa multidisiplin ilmu pada bidang pemelajaran bahasa asing yang sedang mereka lakukan akan lebih menonjolkan keefektifan belajar bahasa asing. Dalam penegasan lain, jika berbicara dengan mengaitkan konteks budaya dan integrasi teknologi pada pemelajaran bahasa asing, maka hal itu sudah dapat dikatakan multidisiplin. Sehubungan akan hal tersebut, istilah “Keterampilan Abad ke-21” segera menyebar di antara pengambil keputusan pendidikan, penjabat pemerintah dan pemimpin industri (Peters, 2009: 33).

“Keterampilan ini mencakup belajar tentang budaya lain sebagai bagian integral dari studi sastra, sejarah, ilmu sosial, ilmu alam, seni, dan program lainnya di seluruh kurikulum. Hanya dengan belajar tentang agama, budaya dan cara hidup lain, maka siswa dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang beragam perspektif yang mencerminkan dunia secara keseluruhan dan orang-orang yang menghuninya”. (Council of Chief State School Officers, 2006) (ibid.).

(10)

membahas topik “Bagaimanakah cuaca hari ini? Apakah terasa panas atau sejuk (dingin)?” bandingkan jika dengan lebih mengelaborasi materi cuaca seperti ini: “Apakah semalam di rumahmu hujan deras? Saya penasaran bagaiman hujan bisa sederas itu, bagaimanakah proses terjadinya hujan?”. Selain tentu mereka (para siswa) belajar kemahiran berbicara seperti mempresentasikannya di depan kelas atau menuliskannya (kemahiran menulis), proses belajar mereka lebih bermakna karena bagi mereka topik tersebut benar-benar menarik---mereka alami dan temui dalam keseharian mereka. Tanpa mereka sadari, mereka pun belajar tentang geografi. Kecanggihan teknologi semakin memudahkan pengumpulan materi proses belajar mereka atau menampilkan secara nyata dalam layar virtual hasil kerja mereka tentang pendapatnya dalam diskusi kelompok. Akan tetapi, patut diperhatikan menurut Cofino (2008) diambil dari Peters (2009: 67) seringkali, guru mendirikan sebuah ruang daring (online) untuk siswa dan kemudian hanya membiarkan “mereka lakukan apa saja”---pada dasarnya membiarkan siswa berada di lingkungan yang baru (kadang-kadang karena guru tidak yakin di mana harus memulai). Hal ini tidak hanya menyediakan lahan subur untuk kelakuan buruk, namun jelas bukan sesuatu yang guru lakukan di dunia nyata, jadi tidak ada alasan untuk “membiarkan mereka lakukan apa saja” dalam lingkungan virtual. Guru harus menjadi model untuk perilaku daring yang sesuai, karena mereka berada di kelas nyata.

(11)

memberikan mereka dengan alat dan pilihan untuk pemecahan masalah secara kreatif, yang diperlukan dalam sebuah kebudayaan dunia yang beragam dengan tantangan dan peluang. Hanvey menjelaskan lima dimensi dasar perspektif global yang menyediakan kerangka kerja bermanfaat bagi guru yang mengeksplorasi atau mengembangkan belajar global.

Dimensi Pertama: Kesadaran Perspektif

Tujuan dari dimensi pertama adalah untuk membantu supaya siswa sadar bahwa tidak semua orang berbagi pandangan yang sama dengan mereka. Ini adalah langkah pertama dan dasar tentang jalan menuju kesadaran diri, tahap perkembangan yang setiap orang harus alami.

Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa Asing dengan Dimensi Pertama

 Mendiskusikan isu nasional penting dari sudut pandang negara lain---bagaimana pelbagai negara meliput peristiwa di Timur Tengah? Tsunami di Aceh? Pemilu di Indonesia? Gunakan surat kabar dan sumber-sumber media dalam bahasa target diambil dari pencairan di Google News (http://news.google.com) dengan fokus pada isu-isu dalam berita yang akrab bagi siswa dan minta siswa memerankan dirinya sebagai orang dari negara lain (dapat berperan sebagai public speaker atau

newscaster).

 Bergabung dengan serangkaian diskusi konferensi video, di mana sekolah-sekolah di negara yang berbeda saling berhubungan, seperti yang diselenggarakan oleh Global Nomads, pada satu topik masalah. Mintalah siswa mencatat pendekatan yang berbeda dan asumsi peserta yang berbeda (siswa belajar kemahiran menyimak dari situasi tersebut).

Dimensi Kedua: Pengetahuan tentang Kondisi Dunia

Dimensi kedua mendorong kesadaran siswa untuk menyadari, bahwa kondisi sekitar mereka kemungkinan tidak berlaku universal---bahwa kebanyakan orang di dunia di mana mereka lahir, menjalani hidup yang sama seperti orangtua mereka dan kakek-nenek, dan mobilitas banyak orang di masyarakat Barat yang telah maju, adalah sebuah fenomena baru.

(12)

 Gunakan layanan seperti ePals untuk mewawancarai siswa tentang lingkungan fisik dan ekonomi. Mintalah siswa membuat presentasi seperti blog, wiki, atau podcast yang menggambarkan masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang mereka pelajari. (Sebelum pelaksanaan tugas tersebut siswa diharuskan membaca pelbagai literatur dengan varian jenis teks (genre).

 Fokus pada satu masalah lokal dengan dampak global, seperti penggunaan lampu rendah energi atau tentang hari Bumi.

Dimensi Ketiga: Kesadaran Lintas-Budaya

Cara yang baik untuk menjelaskan dimensi ketiga kepada siswa adalah memberikan perbandingan stereotip dari kebijakan terhadap kemerdekaan dan kebebasan negaranya, dengan banyak budaya di seluruh dunia yang mengedepankan nilai-nilai harmoni berkelompok, hubungan timbal balik dan sistem keluarga besar.

Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Ketiga  Terhubung dengan ruang kelas di negara-negara di mana keluarga besar adalah

bagian dari norma yang lebih dihormati, seperti Indonesia, Meksiko dan Filipina; dan meminta siswa melakukan survei satu sama lain seperti sikap terhadap isu-isu adat, festival dan lain-lain.

 Gunakan hubungan kelas sebelumnya untuk membandingkan cerita pendek klasik atau cerita rakyat, dan meneliti bagaimana mereka mencerminkan kualitas yang terkait dengan nilai ditempatkan pada keluarga besar dibandingkan dengan upaya individu dan prestasi. (Siswa dapat memperkaya kosakata tentang hubungan keluarga dan memahami teks-teks naratif berupa cerita rakyat)

Dimensi Keempat: Pengetahuan tentang Dinamika Global

Tujuan dari dimensi keempat adalah untuk membuat siswa sadar akan relevansi budaya dari sudut pandang konsekuensi yang tidak diinginkan dari pertukaran budaya dan pengaruhnya. Sebagai contoh, sebuah tren yang muncul dalam satu kebudayaan bisa mengganggu bagi kebudayaan yang lain.

Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Keempat  Mintalah siswa dari setiap kelas di negara lain untuk mengembangkan daftar ikon

(13)

 Bandingkan situs khusus perusahaan multinasional yang ada di negara-negara yang berbeda, cari tahu perbedaannya dan mengapa hal tersebut bisa terjadi. (Dalam kasus tersebut siswa dapat memelajari tentang Business Culture).

Dimensi Kelima: Pengetahuan tentang Alternatif

Dengan perhatian baru-baru ini diberikan kepada pemanasan global, siswa kita mungkin memahami lebih baik mengenai dimensi kelima, dunia sebagai sebuah sistem komponen yang saling bergantung, dibandingkan yang dipahami para siswa ketika Hanvey menulis artikel ini pada tahun 1976. Indonesia baru-baru ini memperkenalkan sebuah mobil LCGC (Low Cost Green Car), memungkinkan jutaan orang Indonesia mengemudikan mobil untuk pertama kalinya, yang menyebabkan pencemaran tambahan tak terhitung---walaupun mengklaim sebagai green car dan selain itu menggunakan BBM bersubsidi---dan pemanasan global cenderung meningkat. Tapi bagaimana kita memberitahu keluarga Indonesia bahwa mereka tidak boleh memiliki mobil terjangkau? Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Kelima Mengembangkan PBB tiruan atau perjanjian global, seperti Kyoto, dengan kelas kolaborasi (alternatif selain melakukan debat dalam bahasa target). Tempatkan dalam diskusi suatu topik pada suatu masalah global, seperti HIV/AIDS, pemanasan global, atau terorisme.

 Mintalah siswa mengambil peran sebagai delegasi negara mereka yang harus bernegosiasi atau berkompromi (siswa dalam hal ini akan belajar tentang pelbagai ekspresi ujaran dalam bahasa target), mengenai isu-isu tertentu dalam rangka untuk mencapai suatu kesepakatan.

 Pasangkan siswa dari kelas kolaborasi dan minta mereka memainkan peran konsultan internasional yang perlu mengembangkan kampanye multimedia di negara masing-masing untuk membangun dukungan publik, berkompromi mengenai isu utama dengan dampak global.

E. Simpulan: Kekuatan Mentoring dan Kolaboratif

(14)

penilaian yang mencerminkan standar yang terkait dan tujuan dari mitra kolaboratif. Kesemua hal tersebut dibicarakan dan didiskusikan disertai pula perbandingan akan iklim kelas bahasa pada setiap sekolah yang berbeda serta strategi pengajaran untuk diterapkan. Semua guru berbeda dalam memilih format pelajaran, tetapi jika guru bahasa bersama siswa mereka dapat mendedikasikan sebuah alat Web 2.0 untuk rencana pelajaran dan sumber daya yang relevan, maka guru selayaknya seorang mentor dapat menunjukkan kepada siswa arti kolaborasi dan juga dapat membiarkan siswa tahu setiap hari bahkan setiap jam, bagaimana hasil kerja mereka dan peningkatan mereka akan kesuksesan pemerolehan bahasa target. Mereka (para siswa) seolah tidak menyadari proses pemerolehan bahasa target yang sedang mereka lakukan. Siswa juga dapat bekerja sendiri melalui materi yang ada tanpa intervensi aktif guru, dan mereka juga tahu bahwa semua yang mereka lakukan dengan alat Web 2.0 didokumentasikan. Terakhir, kita harus berpartisipasi dalam kolaborasi global. Siswa perlu berkomunikasi langsung dengan orang lain di planet ini karena bagaimana pun juga esensi dari belajar bahasa asing adalah dengan mempraktikkannya, daripada mengonsumsi informasi tentang pelbagai negara dan budaya secara tidak langsung melalui buku teks, guru, atau video. Pengalaman langsung adalah sumber dari banyak pelajaran penting---hal-hal yang lebih tertanam ke dalam diri mereka.

Daftar Acuan

Alberth (2013). Technology-enhanced teaching: A revolutionary approach to teaching Englsih as a foreign language. TEFLIN Journal, 24(1), 1-13.

Brown, H. D. (2007). Principles of language learning and teaching, Fifth Edition. NY: Pearson Education, Inc.

Cook, V. (2008). Second language learning and language teaching. London: Arnold. Downes, S. (n.d.). E-learning 2.0 diambil pada tanggal 8 Juli 2009 dari National

Research Council of Canada, http://eleranmag.org/subpage.cfm?section= articles&article=29-1

Ellis, R. (1985). Understanding second language acquisition. Oxford: OUP.Crystal, D. (2001). Language and the internet. Cambridge: Cambridge University Press. Lam, Y., & Lawrence, G. (2002). Teacher-student role redefinition during a

computer-based second language project: Are computers catalysts for empowering change?

Computer Assisted Language Learning, 15(3), 295-315.

Norton, P. & Wiburg, K. (2003). Teaching with technology: Designing opportunities to learn, second edition. Canada: Thomson Wadsworth.

(15)

Santrock, John W. (2004). Educational psychology, 2nd edition. New York: Mc-Graw-Hill.

Solomon, G. & Schrum, L. (2010). Web 2.0: How-to for educators. Washington, DC: International Society for Technology in Education (ISTE).

Swain, M. (1995). Three functions of output in second language learning. In G. Cook & G. Seidhofer (Eds.), Principles and practices in applied linguistics: Studies in honor of H.G. Widdowson (pp. 125-144). Oxford: Oxford University Press.

Timucin, M. (2006). Implementing CALL in the EFL context. ELT Journal, 60(3), 262-271.

Yamamoto, et al. (2010). Technology Implementation and Teacher Education: Reflective Model. USA: IGI Global.

Gambar

Gambar 1.1 Kesempatan perkembangan siswa: Web 2.0 vs. Didominasi teks

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melihat ibunya mengambil kain untuk mengeringkan lantai dengan cara menyeret kakinya yang dialasi dengan kain untuk mengeringkan lantai, Afif pun

Bagaimana fisik, sifat dan kepribadian, konsep diri, inteligensi, sosial, serta emosional anak tergantung dari orang tuanya.Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang

[r]

Tujuan dari tesis ini yaitu untuk menganalisis dan membandingkan besarnya beban maksimum pondasi tiang bor dengan menggunakan analisis tiang tunggal dengan menggunakan data bored

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan akuntansi atas aset tetap pada PT Mertex Indonesia dan kesesuaiannya dengan PSAK yang berlaku

Karena di dalamnya ada beberapa pengetahuan yang bermanfaat bagi remaja diantaranya : membahas tentang perubahan selama masa remaja agar siswa lebih memahami perubahan

Nabi Ibrahim SAW diangkat sebagai Imam (pemimpin) karena kualitas kepemimpinan yang dimilikinya. Beliau telah lulus dalam berbagai tes yang diujikan

Lokasi penyuntikan insulin disarankan dilakukan pada lokasi abdomen karena lebih efektif dalam mengendalikan kadar gula darah 2 jam setelah makan, mengubah lokasi injeksi