• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN KOLABORATIF DOSEN MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN KOLABORATIF DOSEN MA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

RANCANG BANGUN FIKIH POLITIK INDONESIA: KONTRIBUSI AHMAD AR-RAISUNI

PENELITI: SYAIFUL BAHRI, MHI NIP. 198602202015031004

FANDI DIAN ARIFIN NIM. 931103916

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

KEDIRI

(2)

PROPOSAL PENELITIAN

Rancang Bangun Fikih Politik Indonesia: Kontribusi Ahmad ar-Raisuni A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang menganut dua dimensi sekaligus, dimensi normatif/sakral dan dimensi historis/profan.1 Satu sisi, Islam adalah agama langit yang bersumber langsung dari Tuhan. Sebagai agama langit, Islam mempunyai tata aturan yang semuanya bersumber dari wahyu, baik langsung maupun tidak langsung.2 Sementara itu, di sisi yang lain, Islam diturunkan kepada manusia yang tinggal di bumi. Perbedaan antara dua dimensi, langit dan bumi, membawa pada persoalan mendasar, apakah ketentuan-ketentuan dalam praktik berislam sehari-hari harus selalu sama persis dengan apa yang diturunkan dari langit, atau dapat disesuaikan dengan watak manusia di bumi yang bersifat dinamis?

Jawaban atas pertanyaan di atas akan membawa implikasi terhadap cara pandang dalam memahami Islam sebagai agama yang dianut dan diparktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika praktik berislam dipahami harus selalu sama persis dengan apa yang diturunkan dari langit, maka Islam akan menjadi agama kaku yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Sebaliknya, jika Islam dipahami dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan tanpa landasan wahyu, maka Islam akan menjadi agama bebas tanpa batas. Oleh sebab itu, memadukan dua dimensi tersebut merupakan pilihan ideal dalam beragama.

Fikih merupakan salah satu dimensi dalam Islam yang pada praktiknya memadukan dua dimensi di atas. Sebagai sebuah produk pemikiran manusia Fikih tentus saja bersifat historis. Namun demikian, setiap hasil rumusan dalam Fikih harus mempunyai landasan, baik langsung maupun tidak, dari wahyu. Pada kenyataannya, Fikih menempati posisi yang fundamental dalam kehidupan umat Islam. Ia menjadi rujukan fundamental dalam kehidupan keseharian yang berhubungan dengan persoalan hukum. Setiap persoalan yang timbul akan dicari solusinya dalam literatur Fikih. Fikih menjadi tolok ukur sejauh mana jawaban atas sebuah persoalan dapat diterima atau tidak.

Pentingnya posisi Fikih dalam Islam, terkadang justru menjebak pada pemahaman bahwa Fikih sudah pasti dijamin kebenarannya. Seringkali, Fikih

1 Dalam istilah lain disebut juga dimensi konstan-nonadaptabel (al-Sabat) dan elatis-adaptabel (al-Murunah).

Lihat Abu Yasid, Islam Akomudatif; Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 2.

(3)

diidentikkan dengan Syariah. Padahal, antara keduanya berbeda, baik dari segi substansi maupun konsekuensi yang ditimbulkannya. Meski berbeda, antara Fikih dan Syariah tidak dapat dipisahkan.

Secara etemologis, kata al-Fiqh bermakna paham (al-Fahm). Sedang secara terminologis, al-Fiqh diartikan sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis, diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.3 Sedang as-Syari’ah, dilihat dari segi bahasa mengandung dua makna, jalan yang lurus (al-Tariqah al-Mustaqimah) dan jalan yang dilalui air.4 Adapun secara terminologis, as-Syari’ah dimaknai sebagai semua aturan Allah yang ditetapkan bagi hamba-hambanya, baik menyangkut keyakinan, ibadah, akhlak, muamalah, maupun tatanan kehidupan lainnya, dengan cabang-cabang yang bermacam-macam, tujuannya untuk mewujudkan kebahagian dunia dan akhirat.5

Dari dua definisi tentang al-Fiqh dan as-Syari’ah di atas terlihat jelas bahwa antara keduanya mempunyai perbedaan yang sangat signifikan. Fikih berbicara tentang hukum praktis yang didapat dari proses ijtihad.6 Dengan kata lain, ruang lingkup dari Fikih hanya mencakup hal-hal praktis an sich. Sedang Syariah merupakan tata aturan dan pedoman yang mencakup segala aspek, meliputi hal-hal praktis, akidah, dan akhlak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebenarnya Fikih merupakan bagian dari Syariah.7

Perbedaan lain yang berdampak pada konsekuensi keduanya adalah dari sisi prosesnya. Fikih dihasilkan dari proses berpikir manusia (mujtahid) yang terbatas oleh ruang dan waktu. Konsekuensinya, Fikih bukanlah wahyu yang dijamin kebenaran dan pemberlakuannya. Apa yang masih relevan dari hasil pemikiran

3 Abdul Hamid Mahmud Tamhaz, Al-Fiqh al-Hanafi fi Saubhi al-Jadid, Vol. 1, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2009), h. 9. Lihat juga Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 16

4Muhammad Abdul ‘Ati Muhammad Ali, Al-Maqasid al-Syar’iyah wa Asaruhafi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar al-Hadis, 2007), 79.

5Manna’ Khalil al-Qattan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahibah, 1976), 10. Sedang menurut Muhammad Salam Mazkur, Syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya, agar mereka menjadi hamba yang beriman, beramal saleh dalam kehidupannya, baik yang berkaitan dengan perbuatan praktis, keyakinan, maupun etika. Lihat Muhammad Salam Mazkur, Al-Fiqh al-Islami, (Makkah: Maktabah Abdullah Wahbah, 1955), 11. Mahmud Syaltut memberi definisi yang lebih luas, yakni peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dijadikan pedoman dalam berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan dengan kehidupan itu sendiri. Lihat Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), 12.

6 Ijtihad merupakan aktivitas vital dalam Islam. Ijtihad adalah ruh utama agama yang menentukan relevan tidaknya jawaban atas persoalan-persoalan baru yang muncul. Dalam teori hukum Islam, ijtihad diartikan sebagai mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan solusi atas sebuah persoalan (hukum). Lihat Nadia Syarif al-‘Umari, Al-Ijtihad fi al-Islam, (Beirut: Muassasah Risalah, 1986), 20.

(4)

dipertahankan, dan sesuatu yang sudah tidak relevan dilakukan proses tinjauan ulang dan pembaruan. Sedang Syariah sudah dijamin kebenarnnya sebab ia adalah wahyu itu sendiri. Dengan demikian, antara Fikih dan Syariah dilihat dari konsekuensinya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan.8

Menunjukkan titik perbedaan antara Fikih dan Syariah sangat penting. Syariah sebagai prinsip universal yang dijamin kebenaran dan relevansinya dalam menjadi bingkai utama agama. Nilai normativitas yang dikandung Syariah menjadi kunci mengapa ia dianggap dijamin kebenarannya. Sedang Fikih hanya berkutat pada hal-hal praktis yang dibatasi oleh ruang waktu. Historisitas tersebut menjadi karakter utama dari sebuah pemikiran yang dilahirkan seseorang. Hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, dan orang-orang yang ada di sekitarnya.9

Salah satu bagian dalam Fikih membahas persoalan politik, atau dikenal dengan istilah Fiqh al-Siyasah. Secara garis besar, pembahasan Fikih dapat diklasifikasikan pada dua tema besar: Ibadah dan Muamalah. Ibadah mengurusi hal yang berhubungan dengan persoalan vertikal, sedang muamalah membahas hal-hal yang berhubungan dengan ranah horizontal. Dimensi muamalah, jika diperinci lagi, akan terbagi ke dalam banyak disiplin kajian. Ada yang berhubungan dengan Hukum Keluarga (Al-Ahwal al-Syakhsiyah), Hukum Pidana (Fiqh al-Jinayah), Hukum Politik (Fiqh al-Siyasah), Hukum Ekonomi (Nidzam al-Iqtisadiyah), dan aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan tata negara.10

Fikih Politik merupakan salah satu disiplin ilmu yang menarik untuk dikaji dan diskusikan. Tema-tema yang dibahas di dalamnya, seperti hubungan antara agama dan politik Din wa al-Siyasah), kepemimpinan Imamah), negara (al-Daulah), musyawarah (Syura), demokrasi, dan tema-tema lainnya, selalu memancing perdebatan panjang di kalangan ahli hukum Islam. Doktrin dalam Fikih Politik klasik mengenai tema-tema tersebut dalam anggapan sebagian kalangan, sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Soal kepemimpinan misalnya, dalam doktrin Fikih Politik klasik diasumsikan sebagai tugas pengganti kenabian, yakni untuk menjaga agama dan mengatur

8 Penyebutan lain untuk membedakan keduanya biasanya fiqh disebut hasil pemikiran keagamaan (Afkar al-Diniyah), sedang shariah disebut agama (al-Din). Pun demikian, bisa disebut juga Islam historis (fiqh) dan Islamnormatif (shariah).

9 Prinsip ini sangat populer dalam kajian hukum Islam dan tertuang dalam Legal Maxim, La Yunkaru al-Taghayyur al-Ahkam bi al-al-Taghayyur Azman. Lihat Muhammad Sidqi al-Burnu, Al-Wajiz fi I>dah Qawa’id al -Fiqh al-Kulliyah, (Beirut: Muassasah Risalah, 1996), 310.

(5)

pesoalan dunia (al-Imamah maudu’ah likhilafah an-Nubuwah fi hirasah al-Din wa Siyasah al-Dunya).11 Dalam doktrin ini, seorang pemimpin diberi beban menjalankan dua tugas sekaligus, sebagai pemimpin agama dan pemimpin administrasi Negara. Maka tidak heran jika dalam syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam, Fikih Politik klasik memberi kriteria yang sangat berat.

Ada empat syarat utama yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai pemimpin: (1) laki-laki dan harus berasal dari suku Quraisy; (2) harus mempunyai kompetensi untuk bertindak sebagai Qadi, meliputi status merdeka, berakal, berilmu, dan, adil; (3) harus mempunyai kemampuan mengatur dan menjalankan hukum-hukum pasti (al-Hudud) yang sudah diturunkan Allah; dan (4) yang ditunjuk harus orang yang paling unggul di antara yang lain.12 Sedang Al-Mawardi memberi tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak diangkat sebagai pemimpin: (1) Adil; (2) berilmu; (3) sehat rohani; (4) sehat jasmani; (5) sehat pemikiran; (6) berani; dan (7) berasal dari suku Quraisy.13

Syarat-syarat kepemimpinan di atas tentu saja tidak relevan jika diterapkan dalam konteks saat ini, terutama untuk konteks Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya pembaruan (Tajdid) dan tinjauan ulang (Muraja’ah) terhadap tema-tema yang dibahas dalam doktrin Fikih Politik klasik, agar tema-tema tersebut dapat relevan dan perkembangan konteks dan zaman. Untuk konteks Indonesia misalnya, upaya pembaruan dan tinjauan ulang diharapakan akan menghasilkan rumusan Fikih Politik baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia, yang disebut dengan Fikih Politik Indonesia.

Ahmad ar-Raisuni merupakan salah satu pakar pemikiran hukum Islam kontemporer. Pemikirannya tentang Maqasid al-Syariah menjadi salah satu rujukan bagi orang yang menaruh concern terhadap tema tersebut. Dari sekian banyak karya yang dihasilkan oleh ar-Raisuni, terdapat beberapa karya yang secara spesifik membahas persoalan politik. Dalam melihat persoalan Fikih Politik, ar-Raisuni meyakini bahwa disiplin kajian tersebut membutuhkan tinjauan ulang untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Fikih, termasuk di dalamnya Fikih Politik bukan dimensi sakral yang tidak menerima kritik dan perdebatan (ghairu qabil li al-Naqd wa al-naqsy). Sebagai hasil pemikiran keagamaan (al-Afkar al-Diniyah),

11 Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayat ad-Diniyah, (Kuwait: Maktabah Ibn Qutaibah, 1989), 3.

12Abi Ya’la Muhammad Husain al-Farra’, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000),

(6)

doktrin-doktrin dalam ilmu politik Islam dapat ditinjau ulang dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Terlebih, dalil-dalil yang membahas persolan ini dapat dibilang sangat sedikit. Kebanyakan, dalil-dalil dalam bidang ini berbicara secara global dan memaparkan prinsip-prinsip universal seperti musyawarah, berbuat baik dan adil, menepati janji, dan larangan berbuat dzalim.14

Sedikitnya dalil-dalil yang tersedia dalam bidang kajian ini memungkinkan para ahli hukum Islam untuk melakukan proses pembaruan dan tinjauan ulang terhadap isu-isu yang ada, dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip universal yang sudah digariskan oleh agama. Prinsip universal (Mabadi’ al-‘Ammah) menjadi bingkai dalam proses pembaruan dan tinjauan ulang. Dalam konteks ini, menggunakan Maqasid al-Syariah berupa perlindungan terhadap lima aspek fundamental dalam agama menjadi sangat penting.15

Pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Ilmu Politik Islam dapat menjadi pintu masuk dalam merumuskan Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Ilmu Politik Islam, untuk kemudian dijadikan landasan dalam membangun Fikih Politik yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.

Ada dua alasan mengapa penulis meneliti disiplin Fikih Politik menggunakan pemikiran Ahmad ar-Raisuni. Pertama, secara akademik, persoalan Fikih Politik termasuk kajian yang menarik untuk diperbincangkan. Di dalamnya terdapat isu-isu kontroversial yang sampai sekarang terus mengemuka khususnya dalam konteks keindonesiaan, seperti soal kepemimpinan dan syarat-syaratnya, bentuk Negara, relasi antara agama dan politik, serta relasi antara sistem Syura dan demokrasi. Kedua, pemilihan ar-Raisuni didasarkan pada pemikiran beliau yang banyak mengulas tentang tema-tema Fikih Politik yang berbeda dengan pemikiran tokoh-tokoh lain.16

B. Rumusan Masalah

14 Ahmad ar-Raisuni, Fiqh Saurah Muraja’at fi al-Fiqh al-Siyasi al-Islami, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2013), 12.

15 Lima aspek fundamental yang dilindungi dalam agama mencakup menjaga agama (Hifdz al-Din), menjaga jiwa (Hifdz al-Nafs), menjaga akal (Hifdz al-‘Aql), menjaga keturunan (Hifdz al-Nasl), dan menjaga harta (Hifdz al-Mal). Lihat Ahmad Ar-Raisuni, Muhadarat fi Maqasid al-Syariah, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2010), 152.

(7)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat dua problem akademik yang menjadi inti persoalan penelitian yang penulis lakukan. Problem-problem akademik tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur dasar pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Fikih Politik?

2. Apa kontribusi pemikiran tersebut dalam bidang Fikih Politik, terutama terhadap rancang bangun Fikih Politik Indonesia?

C. Tujuan dan Signifikansi Kajian

Adapun yang menjadi tujuan dan signifikansi kajian dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk melihat pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Fikih Politik, termasuk di dalamnya isu-isu yang ia kaji, untuk kemudian dijadikan sebagai basis teoretis dalam rancang bangun Fikih Politik Indonesia.

2. Signifikansi yang dicapai dari penelitian ini adalah, dengan membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan, kajian Fikih Politik Islam di Indonesia yang selama ini identik dengan kajian Fikih Politik masa lalu, dapat berubah dan disesuaikan dengan konteks Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang Fikih Politik (Fiqh al-Siyasah) sudah banyak dilakukan dengan menggunakan pelbagai perspektif dan pendekatan. Untuk memperjelas posisi penelitian yang penulis lakukan, memaparkan hasil-hasil penelitian terdahulu merupakan sebuah keharusan. Dalam telaah pustaka ini, penulis akan memaparkan beberapa hasil penelitian yang membahas tema yang sama. Selain untuk menjelaskan posisi penelitian, pemaparan telaah pustaka juga sangat berguna untuk menunjukkan signifikansi kajian.

Berdasarkan penelusuran yang sudah penulis lakukan, terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang membahas tema yang sama, yakni membahas persoalan politik Islam dan kontekstualisasi Fikih di Indonesia. Terdapat pula hasil penelitian yang membahas pemikiran Ahmad ar-Raisuni. Beberapa hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(8)

Dalam kesimpulannya, penulis artikel ini menyatakan bahwa dinamika wacana pemikiran politik Islam di Indonesia bersifat plural baik dalam ranah teoritis, maupun dalam ranah praktis.17

Kedua, artikel yang ditulis Efrinaldi berjudul: ‚Spektrum Fiqh Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik Kontemporer‛. Artikel ini mengkaji tiga spektrum besar dalam pemikiran Fiqh Siyasah mengenai hubungan antara agama dan Negara. Masing-masing dari tiga spektrum tersebut dikaji secara kritis untuk kemudian dipilih mana yang cocok untuk dijadikan landasan dalam dinamisasi pemikiran politik kontemporer, khususnya di Indonesia. Dalam kesimpulannya, penulis artikel ini menyatakan bahwa spektrum yang cocok untuk dijadikan landasan dalam dinamisasi adalah spektrum yang menganggap bahwa Islam tidak meletakkan pola baku dalam bernegara dan berpolitik. Yang ada hanyalah prinsip-prinsip universal yang harus menjadi landasan dan patokan dalam berbuat.18

Ketiga, artikel tentang upaya membangun Fikih Mazhab Indonesia yang ditulis oleh Gatot Suhirman berjudul: ‚Fiqh Mazhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia). Sebagaimana yang tertulis dalam judul, artikel ini mengkaji pemikiran salah satu tokoh besar pemikiran hukum Islam Indonesia, Hasbi as-Siddiqi, mengenai perlunya membangun kerangka fikih yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Dalam kesimpulannya, penulis artikel ini menyatakan ide Fikih Indonesia yang digagas oleh Hasbi merupakan cikal bakal pemikiran hukum Islam Indonesia yang mempunyai pengaruh terhadap generasi setelahnya. Selain itu, ide Hasbi tersebut telah membuka mata umat Islam Indonesia untuk menjadi pribadi sendiri dan bukan menjadi orang lain (Arab).19

Keempat, penelitian yang mengkaji pemikiran Ahmad ar-Raisuni yang dilakukan oleh Imam Faizal Baihaqi berjudul: ‚Aplikasi Konsep Maqasid al-Syariah Ahmad ar-Raisuni terhadap Penggunaan Wali Hakim Akibat Penetapan Wali ‘Adl‛. Sesuai dengan judulnya, penelitian ini mengkaji pemikiran ar-Raisuni tentang Maqasid al-Syariah yang kemudian diaplikasikan dalam kasus wali hakim dalam perkawinan. Dalam kesimpulannya, penulis penelitian ini menyatakan bahwa

17Zaprulkhan, ‚Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia‛ Jurnal Review Politik, Vol. 3 No 2, Desember 2013.

18Efrinaldi, ‚Spektrum Fiqh Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik Kontemporer‛ Jurnal Innovatio, Vol. XI No.2, Juli-Desember 2012.

(9)

penggunaan wali hakim akibat penetapan wali ‘adl sudah sesuai dengan konsep maqasid, yakni tercapainya kemaslahatan umum. Wali hakim merupakan sarana untuk mencapai tujuan berupa terlaksananya status perkawinan yang sah.20

Dari empat telaah pustaka yang sudah penulis sebutkan di atas, terdapat perbedaan yang sangat signifikan dengan tema yang penulis lakukan, terutama dari isu yang diangkat. Artikel pertama meski membahas tentang sejarah dinamika pemikiran politik Islam di Indonesia. Meski sama-sama membahas tentang Fikih Politik di Indonesia, namun penelitian tersebut hanya memfokuskan pada dinamika sejarah tanpa ada upaya membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan. Sementara penelitian yang penulis lakukan, selain mencoba membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan, juga menjadikan pemikiran ar-Raisuni dalam Fikih Politik sebagai landasan pemikiran.

Artikel kedua membahas spektrum pemikiran fiqh siyasah dan upaya dinamisasi pemikiran politik kontemporer. Fokus kajian dari artikel kedua mengarah pada spektrum pemikiran tentang hubungan antara agama dan politik (Negara), untuk kemudian dipilih mana di antara spektrum tersebut yang cocok dengan upaya dinamisasi ilmu politik Islam kontemporer. Sementara penelitian yang akan penulis lakukan fokus pada struktur dasar pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Fikih Politik untuk kemudian dijadikan landasan dalam membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan.

Sementara artikel ketiga mengkaji pemikiran Hasbi as-Siddiqi tentang fiqh mazhab Indonesia. Perbedaan antara kajian yang penulis lakukan dengan artikel tersebut terletak pada isu yang diangkat dan tokoh yang dikaji. Meski sama-sama membahas upaya membangun Fikih yang bercorak keindonesiaan, namun isu yang diangkat dalam artikel tersebut bersifat umum. Sedang kajian yang penulis lakukan lebih spesifik, yakni hanya dalam persoalan Fikih Politik. Selain itu, tokoh yang dibahas juga berbeda. Artikel ketiga mengakaji pemikiran Hasbi, sedang penulis mengkaji ar-Raisuni.

Telaah pustaka yang terakhir mengangkat pemikiran tokoh yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Meski sama-sama membahas pemikiran ar-Raisuni, terdapat perbedaan yang signifikan. Tema yang diangkat dalam penelitian Imam Faizal Baihaqi fokus pada teori Maqasid al-Syariah, sedang penulis fokus pada

20Imam Faizal Baihaqi, ‚Aplikasi Konsep Maqasid al-Syariah Ahmad ar-Raisuni terhadap Penggunaan Wali

Hakim Akibat Penetapan Wali ‘Adl‛ Skripsi tidak Diterbitkan, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan

(10)

pemikiran Fiqh Siyasah. Selain itu, penelitian yang dilakukan Faizal juga mengaplikasikan pada satu kasus dalam kajian hukum keluarga (Ahwal al-Syakhsiyah), sedang penulis mengaplikasikan pemikiran ar-Raisuni dalam bidang Fikih Siyasah sebagai landasan dalam upaya membangun Fikih Politik Indonesia yang bercorak Keindonesiaan

E. Kerangka Teoretik

Istilah Fiqh Politik dalam konteks penelitian ini merujuk pada istilah Fiqh al-Siyasah dalam bahasa Arab. Dilihat dari akar katanya, Fiqh al-Siyasah tersususn dari dua kata: Fiqh dan Siyasah. Fiqh secara bahasa bermakna paham. Sedang secara istilah bermakna ilmu tentang hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedang kata ‘Siyasah’ merupakan bentuk masdar dari akar kata يسوس ساس سياسة, yang bermakna mengatur.21 Siyasah juga diartikan sebagai menjalankan dan mengatur sesuatu yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan.22

Secara istilah, Fiqh Siyasah berarti pemahaman yang mendalam terhadap urusan-urusan umat, baik yang bersifat internal maupun eksternal, serta mengatur dan menjaga urusan-urusan tersebut agar sesuai dengan hukum-hukum syara’.23 Fiqh Siyasah juga didefiniskan sebagai ilmu yang membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan negara (al-Daulah) beserta perangkat-perangkatnya.24

Sedangkan Fikih Politik Indonesia dalam konteks penelitian ini merujuk pada arti Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan. Dalam arti lain, kajian-kajian yang diangkat di dalamnya disesuaikan dengan konteks Indonesia yang plural, baik secara agama, budaya, dan lainnya. Dengan demikian, yang dikehendaki dari istilah Fikih Politik Indonesia adalah kajian Fikih Politik yang tidak tercerabut dari konteks.

Kerangka teoretik yang penulis gunakan untuk mengkaji struktur dasar pemikiran ar-Raisuni dalam persoalan Fikih Politik adalah teori pembacaan kontemporer (al-Qira’ah al-Mu’asirah) Muhammad Abed al-Jabiri. Teori pembacaan kontemporer yang dirumuskan al-Jabiri dapat digunakan sebagai teori untuk membaca pemikiran ar-Raisuni yang terdapat dalam pelbagai karyanya. Sebagai

21 Yusuf Qardawi, Al-Din wa al-Siyasah Ta’sil wa Raddi Syubhat, (Dublin: Majlis al-Arubi li al-Ifta’ wa al -Buhus, 2007), 18.

22 Khalid ibn Abdillah al-Mazini, Tajdid Fiqh al-Siyasah al-Syari’yah al-Syura Namudzajan, (Beirut: Markaz

Nama’ li al-Buhus wa al-Dirasat, 2013), 15.

23 Khalid Fahdawi, Al-Fiqh al-Siyasi al-Islami, (Damaskus: Al-Awail li al-Nasy wa al-Tauzi’, 2008), h. 75.

(11)

sebuah warisan intelektual (al-Turas)25, karya-karya ar-Raisuni dapat dibaca menggunakan teori yang sudah al-Jabiri rumuskan.

Menurut al-Jabiri, pembacaan kontemporer (mu’asirah) mempunyai dua makna penting, yaitu pertama, bagaimana menjadikan ‚yang dibaca‛ itu kontemporer bagi dirinya (ja’lu al-Maqru’ mu’asiran linafsihi), dan kedua, bagaimana menjadikan ‚yang dibaca‛ bisa menjadi kontemporer bagi kita (ja’lu al-Maqru’ mu’asiran lana). Caranya, lanjut al-Jabiri, menjadikan ‚yang dibaca‛ bisa kontemporer bagi dirinya adalah dengan memisahkan ‚yang dibaca‛ tersebut dari kita/pembaca (fasluhu ‘anna). Sedang untuk membuat ‚yang dibaca‛ menjadi kontemporer bagi kita adalah dengan menyambung/mempertemukan ‚yang dibaca‛ tersebut dengan kita/pembaca (wa}luhu bina).26

Dengan demikian, cara pembacaan kontemporer bagi al-Jabiri adalah dengan melakukan dua hal. Pertama, memisah yang dibaca dengan pembaca (faslu al-Maqru’ ‘an al-Qari’). Kedua, menyambung/mempertemukan pembaca dengan yang dibaca (waslu al-Qari’ bi al-Maqru’). Secara prosedural, memisah yang dibaca dengan pembaca, menurut al-Jabiri adalah dengan melakukan tiga hal, yaitu:27

1. Analisa Struktural (al-Mu‘alajah al-Bunyawiyah).

Analisa struktural adalah langkah pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan pembacaan kontemporer. Analisa struktural dalam konteks ini adalah melihat struktur-struktur yang mengitari turas yang hendak dibaca. Termasuk dalam kategori struktur adalah struktur turas (teks) yang hendak dibaca. Pada dasarnya, analisa struktural diperlukan untuk melihat pengaruh struktur sekitar dalam proses ‚pembentukan‛ turas tersebut. Karena, seperti yang sudah dipahami, tak ada satupun bentuk turas, baik yang berbentuk teks maupun lainnya, yang bersih dari pengaruh sekitarnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa, pada tataran untuk memahami, yang harus diyakini adalah, tidak ada turas yang berdiri sendiri. Sehingga, untuk mendapatkan

25 Dalam Al-Quran tidak dikenal kata turas dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya, yang dimaksud turas (tradisi) menurut al-Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu. Dengan demikian, tradisi juga bisa berwujud teks yang dihasilkan dari pemikiran maupun realitas yang berwujud praktek keseharian. Lihat Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafisr Gender, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 109.

26 Abid al-Jabiri, Nahnu wa at-Turas Qira’ah Muasirah fi Turasina al-Falsafi, (Beirut: Markaz Saqafi

al-‘Arabi, 1993), 11-12.

(12)

pemahaman yang utuh terhadap turas, menganalisa struktur-struktur yang melatarinya menjadi sebuah keharusan.

2. Analisa historis (at-Tahlil at-Tarikhi)

Setelah melakukan analisa struktural, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan analisa historis. Analisa historis diperlukan untuk melihat hubungan antara pemikiran pemilik teks (baca: turas yang hendak dibaca) dengan wilayah historisitasnya, baik lingkup budaya, ideologi, politik, dan sosial. Analisa struktural, lanjut al-Jabiri, tidak hanya bertujuan untuk memahami secara historis pemikiran yang akan dipelajari, namun juga untuk melihat ‚kemungkinan-kemungkinan‛ historis (al-Imkan al-Tarikhi) dari langkah yang pertama tadi. Yang dimaksud dengan ‚kemungkinan -kemungkinan‛ historis dalam konteks ini adalah, kemungkinan yang bisa mengantarkan kita untuk meyakini secara jelas sesuatu yang dikandung oleh teks yang akan dibaca, dan sesuatu yang tidak dikandung oleh teks tersebut. Bahkan, ‚kemungkinan-kemungkinan‛ historis juga bisa memberi tahu kita adanya kemungkinan kandungan (makna) yang tidak disebut dalam teks tersebut.28

3. Menyingkap ideologi (at-Tarh al-Idiyuluji)

Analisa historis di atas tidak akan sempurna tanpa langkah yang ketiga, yakni melakukan penyingkapan ideologi. Yang dimaksud dengan ‚menyingkap ideologi‛ dalam langkah ini adalah, membuka selubung ideologi, baik ideologi sosial maupun politik, yang mengantarkan terhadap terbentuknya teks yang akan dibaca.29 Membuka selubung ideologis adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh untuk menjadikan teks tersebut komtemporer bagi dirinya (ja’lu al-Turas mu’asiran linafsihi).

Jika dipahami, ketiga langkah di atas tidak bisa berdiri sendiri. Untuk menjadikan turas kontemporer bagi dirinya, ketiga langkah tersebut harus dilakukan. Sehingga, tidak mungkin seorang pembaca akan bisa menjadikan yang dibaca kontemporer bagi dirinya, jika hanya melakukan satu langkah atau dua langkah saja, karena, seperti yang al-Jabiri katakan, ketiga langkah tersebut merupakan satu kesatuan.

28 Ibid., 24.

(13)

Setelah menjadikan turas kontemporer bagi dirinya, langkah selanjutnya adalah menjadikan turas kontemporer bagi kita (ja’lu al-Maqru’ mu’a}iran lana). Secara operasional, menjadikan turas kontemporer bagi kita adalah dengan mempertemukan pembaca dengan ‚yang dibaca‛ (waslu al-Qari’ bi al-Maqru’). Adapun mempertemukan pembaca (al-Qari’) dengan yang dibaca (al-Maqru’) adalah dengan membawa kembali yang dibaca tersebut kepada masa kini untuk melihat signifikansi dan relevansinya dengan problematika yang terjadi.30 Yang dimaksud dengan menjadikan ‚yang dibaca‛ bisa kontemporer bagi kita adalah apabila sudah bisa menemukan nilai atau signifikansi yang sesuai dengan konteks yang terjadi. Karena, seperti yang al-Jabiri katakan, turas bukan hanya poduk sejarah semata, namun juga merupakan sumber yang bisa dijadikan sebagai ‚pembentuk‛ tradisi baru.31 Dengan demikian, sebenarnya, yang dibaca (al-Maqru’) mempunyai dua posisi sekaligus, yaitu sebagai subyek dan obyek. Menjadi obyek karena ia adalah obyek yang dibaca, dan menjadi subyek karena darinya lah pengetahuan baru bisa digali.

F. Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai pada tujuan (way of doing anything).32 Oleh sebab itu, dalam mengkaji dan meneliti, metode sangat menentukan terhadap hasil yang akan dicapai. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan studi dan telaah terhadap buku-buku, literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada, sehingga data-data yang diperlukan dapat terkumpul untuk memecahkan persoalan yang akan diteliti.33

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilihat dari sifatnya, termasuk dalam penelitian deskriptif-eksplanatif, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu bagaimana konstruksi

30 Dalam tahap ini, penulis akan membawa pemikiran Fikih Politik ar-Raisuni ke dalam konteks Indonesia, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan teoretis dalam membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan.

31 Ibid., 25.

32 A.S Hornbay, Oxford Advanced Leaners Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1963), 533.

(14)

dasar teori-teori Fikih Politik yang dihasilkan oleh Ahmad ar-Raisuni, termasuk menjelaskan konteks atau situasi yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran tersebut, dan tentu saja kekurangan dan kelebihan pemikiran yang dihasilkan oleh ar-Raisuni.

3. Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah sumber utama yang dipilih peneliti dari sumber pertamanya.34 Dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah karya-karya Ahmad ar-Raisuni yang membahas tentang persolan Fikih Politik seperti Al-Fikr Islami wa Qadayana al-Siyasiyah al-Mu’asirah, Al-Ummah hiya al-Aslu Muqarabah Ta’siliyah liqadaya ad-Dimaqratiyah, al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawaiduhu, Fiqh al-Saurah Muraja’at fi al-Fiqh al-Siyasi al-Islami, al-Ta’addud al-Tandzimi li al-Harakah al-Islamiyah, Fiqh al-Ihtijaj wa al-Taghyir.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah segala jenis data yang berhubungan dengan tema yang penulis kaji, baik dalam bentuk dokumen, artikel, dan lainnya. Data sekunder berguna sebagai data pendukung yang akan penulis gunakan untuk membandingkan maupun memperkuat data primer.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan dokumentasi yang berbentuk catatan-catatan, buku-buku, dan jurnal yang berkaitan dengan topik pembahasan. Setelah data dikumpulkan kemudian dianalisa dan diklasifikasikan.

5. Metode Analisa Data

Dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, penulis akan menggunakan metode deskriptif-analitis. Metode deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskipsikan suatu keadaan, peristiwa, obyek, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan

(15)

variabel-variabel yang dapat dijelaskan.35 Dalam hal ini penulis akan mendeskripsikan konstruksi dasar pemikiran Fikih Politik ar-Raisuni, kemudian dianalisa secara kritis, untuk kemudian dijadikan landasan dalam membangun Fikih Politik yang bercorak keindonesiaan.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini dapat terarah, maka perlu dilakukan sistematisasi pembahasan sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan, di dalamnya terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikansi, telaah pustaka, kerangka teoretik, dan metode penelitian. Penempatan item-item tersebut di Bab I bertujuan untuk memberi gambaran yang jelas arah penelitian yang akan penulis lakukan.

Bab II berisi pembahasan isu-isu yang terdapat dalam Fikih Politik klasik. Penempatan isu-isu dalam Fikih Klasik di Bab II bertujuan untuk memberi gambaran secara umum isu apa saja yang sudah dibahas oleh ahli Politik Islam klasik. Penulis meyakini bahwa sebelum membahas pemikiran ar-Raisuni tentang Fikih Politik, membahas pemikiran yang sudah dirumuskan sebelumnya menjadi sebuah keharusan. Bab III berisi pemikiran Ahmad ar-Raisuni tentang doktrin Fikih Politik, meliputi biografi singkat, karya-karya, dan inti pemikirannya.

Bab IV berisi kontekstualisasi pemikiran Fikih Politik ar-Raisuni dalam konteks keindonesiaan, sekaligus memaparkan rancangan Fikih Politik baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.

Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban atas problem akademik yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Di dalam Bab V, penulis juga akan memaparkan saran-saran konstruktif bagi penelitian ini juga bagi penelitian yang akan datang tentang tema yang sama.

(16)

Rancangan Daftar Isi Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Signifikansi D. Telaah Pustaka

E. Kerangka Teoretik F. Metode Penelitian G. Sistematika Pembahasan Bab II Tinjauan Umum Fiqh Siyasah

A. Definisi Fikih Politik (Fiqh Siyasah) B. Isu-isu dalam Kajian Fikih Politik Klasik Bab III Pemikiran Fikih Politik Ar-Raisuni

A. Biografi Intelektual Ar-Raisuni

B. Konstruksi Dasar Pemikiran Fikih Politik Ar-Raisuni C. Isu-isu Fikih Politik Ar-Raisuni

Bab IV Kontekstualisasi Pemikiran Fikih Politik Ar-Raisuni A. Kontekstualisasi Fikih Politik Ar-Raisuni

B. Rancang Bangun Fikih Politik Bercorak Keindonesiaan Bab V Penutup

(17)

Daftar Pustaka a. Buku dan Kitab

Al-Burnu, Muhammad Sidqi, Al-Wajiz fi Idah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassasah Risalah, 1996.

Al-Farra’, Abi Ya’la Muhammad Husain, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000.

Al-Jabiri, Muhammad Abed, Nahnu wa al-Turas Qira’ah Muasiah fi Turasina al-Falsafi,

(Beirut: al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1993.

Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad , Al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayat ad-Diniyah, Kuwait: Maktabah Ibn Qutaibah, 1989.

Al-Mazini, Khalid ibn Abdillah, Tajdid Fiqh al-Siyasah al-Syari’yah al-Syura Namudzajan, Beirut: Markaz Nama’ li al-Buhus wa al-Dirasat, 2013.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, Kairo: Maktabah Wahibah, 1976.

Al-Samara’i, Nu’man Abdurrazaq, Al-Nizam al-Siyasi fi al-Islam, Riyad: Maktabah al-Malik Fahd, 2000.

Al-‘Umari, Nadia Syarif, Al-Ijtihad fi al-Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1986.

Ar-Raisuni, Ahmad, Fiqh Saurah Muraja’at fi al-Fiqh al-Siyasi al-Islami, Kairo: Dar al-Kalimah, 2013.

..., Muhadarat fi Maqasid al-Syariah, Kairo: Dar al-Kalimah, 2010.

..., Al-Fikr al-Islami wa Qadayana al-Siyasiyah al-Mu’asirah, Kairo: Dar al-Kalimah, 2013.

..., Al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawaiduhu, Rabat: Dar al-Baido’, 2000.

..., Al-Ummah Hiya al-Aslu, Muqarabah Ta’siliyah li Qadaya Dimaqratiyah, Beirut: al-Syabkah al-‘Arabiyah li al-Abhas wa al-Nasyr, 2012. 

Brata, Sumardi Surya,Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Fahdawi, Khalid, Al-Fiqh al-Siyasi al-Islami, Damaskus: Al-Awail li Nasy wa

al-Tauzi’, 2008.

Hornbay, A.S., Oxford Advanced Leaners Dictionary of Current English, tp: Oxford University Press, 1963.

Mazkur, Muhammad Salam, Al-Fiqh al-Islami, Makkah: Maktabah Abdullah Wahbah, 1955.

Muhammad Ali, Muhammad Abdul ‘Ati, Al-Maqasid al-Syar’iyah wa Asaruhafi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar al-Hadis, 2007.

Nazir, M., Metode Penelitian, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Punaji, Setyosar,Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Jakarta: PT. Kencana, 2010

Qardawi, Yusuf, Al-Din wa al-Siyasah Ta’si>l wa Raddi Syubhat, Dublin: Majlis al-Arubi li al-Ifta’ wa al-Buhus, 2007.

(18)

Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar TafisrGender,

Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.

Yasid, Abu, Islam Akomudatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama

Universal, Yogyakarta: LKiS, 2004. 

Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah Risalah, 1976.

Zuhaili Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2013.

b. Artikel Ilmiah dan Skripsi

Zaprulkhan, ‚Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia‛ Jurnal Review Politik, Vol. 3 No 2, Desember 2013.

Efrinaldi, ‚Spektrum Fiqh Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik Kontemporer‛ Jurnal Innovatio, Vol. XI No.2, Juli-Desember 2012.

Gatot Suhirman, ‚Fiqh Mazhab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as -Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia)‛ Jurnal Al-Mawarid, Vol. XI No. 1, Februari-Agustus 2010.

Imam Faizal Baihaqi, ‚Aplikasi Konsep Maqasid al-Syariah Ahmad ar-Raisuni terhadap Penggunaan Wali Hakim Akibat Penetapan Wali ‘Adl‛ Skripsi tidak

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat permasalah yang telah diuraikan diatas dijadikan landasan pijakan alasan penulis untuk mengkaji bagaimana peranan rekrutmen politik di Partai

Pada Kawasan 1 dibutuhkan 23 sumur yang disebar di sepanjang saluran drainase dengan diameter sumur resapan 1,25 m, jarak antar sumur 6,25 m, dan kedalaman

Temuan bahwa evaluasi formatif berbantuan komputer dapat meningkatkan kemampuan analisis butir soal, maka informasi ini akan merupakan masukan berharga bagi guru pada

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan oleh para pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Quran merupakan Kalam Allah yang tiada

Jadual koefisien regresi logistik dari pemboleh ubah-pemboleh uabh ketersampaian terhadap minat masyarakat, memperlihatkan bahawa hanya pemboleh ubah masa yang

pemerintahan desa yang didanai melalui APBD dengan alokasi anggaran sebesar Rp.. Permusyawatan Bamus dengan jumlah peserta yaitu sebanyak 79 orang Anggota Bamus

Bobot Nilai Waktu Referen si 5-6 Keseimbangan Energi  Kandungan energi makanan  Nilai energi makanan  Kebutuhan energi  Cara menaksir kebutuhan energi Ceramah,

22 Kuntowijoyo Identitas Politik Islam, (Cet.. landasan teologis inklusif, menjadikan pandangan pemerintah berubah, dan mengokomodir kepentingan politik Islam di bidang