SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
KHUSUSNYA TERKAIT DENGAN PENGATURAN SANKSI ADMINISTRATIF
OLEH:
HARRY WITJAKSONO
(Ketua Pansus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2010 )
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua. Yth.
Bapak Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia Bapak Gubernur Bank Indonesia (BI)
Bapak Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bapak Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Bapak/ibu/Sdr. Pimpinan Bank Pemerintah/Swasta
Bapak/ibu/Sdr. Narasumber Bapak/Ibu/Sdr. Moderator
Bapak/Ibu/Sdr. Peserta Diseminasi
Perkenankanlah saya menyampaikan secara singkat tentang sejarah pembahasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU
2. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana; 3. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya oleh lembaga
keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas
(financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan
kepada penyidik;
4. Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan
standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap Negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special
Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak
Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi;
Undang-Undang ini pada tahun 2010 diajukan oleh Pemerintah yang pada periode DPR RI sebelumnya juga diajukan oleh Pemerintah namun tidak selesai dibahas.Pada periode 2010 pembahasan RUU tersebut dibahas oleh sebuah Pansus yang ditetapkan oleh BAMUS dan disahkan dalam sidang Paripurna. Keanggotaan Pansus terdiri dari lintas Komisi yaitu sebagian besar Anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) dan Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan). Hal ini sejalan dengan keputusan Badan Musyawarah (BAMUS) DPR RI tanggal 25 Februari 2010. Pansus mulai membahas RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU mulai pada bulan Mei 2010 dan secara intensif melakukan rapat-rapat baik dalam forum Panitia Kerja (Panja), Tim Perumus (Timus), maupun Tim Sinkronisasi (Timsin) pada bulan Juni hingga awal September 2010. Pembahasan RUU tersebut ditingkat Pansus berlangsung dengan terlebih dahulu melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak-pihak Penegak Hukum antara lain: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Mahkamah Agung, Advokat, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM), Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Perbankan, Akademisi dan para narasumber lainnya yang cukup penting dan berkompeten. Pansus juga melakukan kunjungan kerja kebeberapa daerah guna penyerapan aspirasi dan kunjungan ke negara Prancis dan Australia untuk melihat pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di kedua Negara tersebut.
Karena Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan TPPU ini di inisiasi oleh Pemerintah maka pihak Dewan melalui Fraksi-Fraksi yang ada mengajukan Daftar Isian Masalah (DIM) yang merupakan pokok-pokok pembahasan dalam Rapat Panja. Setelah disepakati hal-hal yang substansi maka pembahasan dilanjutkan ditingkat
Tim Perumus (TIMUS) dan diselesaikan ditingkat Tim Sinkronisasi (TIMSIN) untuk mensikronkan dengan undang-undang yang lainnya.
tersebut diserahkan oleh DPR RI kepada Presiden untuk ditanda tangani dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.
Anggota Pansus berjumlah 30 orang terdiri dari 9 Fraksi dengan susunan Pimpinan Pansus Sebagai berikut:
Ketua : H. Harry Witjaksono, SH (Partai Demokrat) Wakil Ketua : Edison Betaubun, SH, MH (Partai Golkar) Wakil Ketua : H. Irsal Yunus, SE, MM (Partai PDI-Perjuangan) Wakil Ketua : H. Andi Anzhar Cakra Wijaya, SH (Partai PAN)
Pokok-pokok Materi Yang Diatur
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai: 1. Redefenisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
Pada Undang-Undang sebelumnya defenisi pencucian uang adalah “Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2002) Sementara pada Undang-Undang ini, “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini”. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang). Dapat dilihat bahwa perubahan baru ini memperlebar definisi yang ada sehingga mampu menaungi perkembangan pencucian uang yang kian pesat.
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
per-jenis tindak pidana serta unsur-unsur yang diperluas agar dapat mencakupi perkembangan tindak pidana pencucian ini (Pasal 3 sampai pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang).
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana untuki pelaku TPPU;
Pengaturan baru mengenai penjatuhan sanksi pidana untuk pelaku TPPU diatur dalam pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dan pasal 10.
4. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi Administratif untuk Pihak Pelapor;
Pengaturan untuk mengatur sanksi administratif diatur dalam pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29 dan pasal 30.
5. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
Hal ini tercermin dari munculnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
(Know Your Custemer Rule) (Pasal 18 tentang penerapan Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang). Pada pengaturan sebelunya hanya berupa ketentuan Identitas Nasabah yang jelas pada setiap tingkat transaksi pada Penyedia Jasa Keuangan.( Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
terdapat dalam pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang)
6. Perluasan Pihak Pelapor;
Pada Undang-Undang baru ini pihak pelapor meliputi 2 (dua) kategori yakni Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang, dan/atau Jasa Lain. Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan. (pasal 17 undang-undang no. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)
7. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
23 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010) Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan. (pasal 13 Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang-Undang-Undang
nomor 25 tahun 2003) Hal ini juga diikuti dengan ketentuan baru transaksi yang dikecualikan untuk dilaporkan yakni: transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dengan Pemerintah dan Bank Sentral, transaksi untuk membayar gaji atau pensiun, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK sementara pada Undang-Undang sebelumnya meliputi: transaksi antar bank,transaksi dengan pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
8. Penataan mengenai Pengawasan Kapatuhan;
Bila pada Undang-Undang sebelumnya tidak didapati sanksi bagi pihak pelapor terkait pelaporan transaksi mencurigakan, maka pada Undang-Undang baru ini terdapat ketentuan tersebut, yakni pada Bagian Keempat, Pengawasan Kepatutan di BAB IV mengenai Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan,
Ketentuan pasal 31 hingga 34, Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 .
Bahwa instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban pihak pelapor adalah Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK.
9. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;
Pemberian kewenangan pada pihak pelapor untuk menunda transaksi merupakan ketentuan baru yang tidak terdapat pada Undang-Undang sebelumnya. Ketentuan ini memberikan kewenangan pihak pelapor untuk menunda transaksi selama maksimal 5 (lima) hari berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang baru ini, dan harus melaporkan pada PPATK dalam kurun waktu maksimal 1x24 jam terhitung penundaan transaksi tersebut dilakukan.(pasal 6 ayat 5)
Pada undang-undang baru ini dilakukan perluasan direktorat jenderal Bea dan Cukai untuk meminta informasi mengenai pembawaan uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau dalam bentuk instrumen lain yang senilai paling sedikit 100.000.000 (seratus juta rupiah). Serta ketantuan denda (administratif) sebesar 10% apabila orang yang membawa tersebut tidak melaporkan ataupun melaporkan tidak dengan jumlah sebenarnya pada Bea dan Cuakai. (pasal 34, pasal 35 dan pasal36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang)
11. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
dimana diatur bahwa Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan TPPU. Adapun “penyidik tindak pidana asal” yang disepakati dalam undang-undang ini adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. (pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang)
12. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK ;
dan Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi dan tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini.
13. Penataan kembali kelembagaan PPATK;
Kelembagaan PPATK kembali disusun ulang oleh undang-undang baru ini, struktur serta “konsistensi”-nya sebagai lembaga independen kembali dikukuhkan dengan kehadiran Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan “PPATK dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari
campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun” serta pembenahan struktur organisasi dan keuangan pada undang-undang ini. Namun tidak dapat dipungkiri “nafas” independensi tersebut seolah-olah ditahan oleh ketentuan Pasal 53 yang menyatakan kepala dan wakil kepala PPATK diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena dalam khasana teoritis suatu lembaga negara yang dikonstruksikan independen, pimpinan lembaga negara tersebut tidak dapat semena-mena diberhentikan ataupun diangkat oleh satu cabang keuasaan (dalam hal ini Presiden) namun melalui proses cheks and
balances oleh cabang kekuasaan lain (dalam hal ini DPR/Parlemen) serta proses
tersebut haruslah dikukuhkan dalam Undang-Undang yang terkait.
14. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;
Penambahan beberapa kewenangan baru pada PPATK termasuk ketentuan mengenai penghentian sementara transaksi yang mencurigakan oleh lembaga ini dapat ditemui dalam undang-undang baru ini.( pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana
Pencucian Uang)
38 undang-undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003.
16. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Pengaturan yang lebih rigid mengenai penyitaan harta kekayaan yang bersal dari tindak pidana dalam kasus pencucian uang (pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 2010)
Sehubungan dengan acara Diseminasi ini yang pada dasarnya berfokus pada penerapan denda administratif bagi pihak pelapor yang tidak melakukan kewajibannya untuk menyampaikan dan melaporkan. Hal mana memang sudah diamanahkan oleh Undang-Undang. Undang-Undang (pasal 31) menetapkan instansi yang berwenang melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi pihak pelapor dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. Pada saat pembahasan Undang-Undang tersebut belum lahir Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana diketahui setelah lahirnya undang-undang Pencegahan dan pemberantasan TPPU OJK terbentuk. Menurut saya PPATK dapat bertindak sebagai pihak yang berwenang menerapkan denda administrasi terhadap pihak pelapor karena PPATK melakukan tugas secara rutin melakukan pengawasan transaksi keuangan yang mencurigakan dan pada proses berikutnya PPATK dapat merekomendasikan pencabutan izin usaha pelapor pada pihak yang berwenang apabila ada indikasi kuat tindak pidana.
Demikianlah penyampaian pendapat saya tentang Sejarah Penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya Terkait Dengan Pengaturan Sanksi Administratif.
Terima kasih.