• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian stres kerja - HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN STRES KERJA PADA ANGGOTA BRIMOB DETASEMEN B PELOPOR SAT BRIMOB POLDA NUSA TENGGARA BARAT - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian stres kerja - HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN STRES KERJA PADA ANGGOTA BRIMOB DETASEMEN B PELOPOR SAT BRIMOB POLDA NUSA TENGGARA BARAT - UMBY repository"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Kerja

1. Pengertian stres kerja

Stres kerja adalah kondisi dinamik yang di dalamnya individu menghadapi peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demans) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting (Robbins & Judge, 2008). Stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan tuntutan psikologi atau fisik yang berlebihan pada seseorang (Luthans, 2006).Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2011).

Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja karyawan. Stres kerja sebagai rasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya. Stres kerja dapat terjadi pada setiap jajaran, baik pemimpin (manajer) maupun yang dipimpin, staf dan para tenaga ahli/profesional di lingkungan suatu organisasi (Nawawi, 2006).

Menurut Wijono (2012) stres kerja (occupational stress) didefinisikan sebagai suatu kondisi dari hasil penghayatan subyektif individu yang dapat

(2)

berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis dan sikap individu. Stres kerja merupakan perwujudan dari kekaburan peran, konflik peran dan beban kerja yang berlebihan. Kondisi ini selanjutnya akan dapat mengganggu prestasi dan kemampuan individu. Rivai dan Mulyadi (2010) menyatakan stres kerja adalah ketidak seimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya seperti produktivitas menurun, tidak masuk kerja dengan alasan yang dicari-cari, sering ada konflik dengan pimpinan atau antar karyawan. Stres merupakan tuntutan-tuntutan eksternal mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara objektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

(3)

2. Aspek-aspek Stres Kerja

Secara umum, seseorang mengalami stres pada pekerjaan akan menampilkan gejala-gejala yang meliputi tiga kategori umum, meliputi gejala fisik, psikologis dan perilaku (Robbins & Judge, 2008), yakni :

a. Gejala Fisiologis, bahwa stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung, dan pernapasan, menimbulkan sakit kepala, dan menyebabkan serangan jantung.

b. Gejala Psikologis, stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam bekerja. Dan dalam bekerja muncul ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, konsentrasi berkurang dan menunda-nunda pekerjaan.

c. Gejala Perilaku, mencangkup perubahan dalam kebiasaan hidup, gelisah, merokok, nafsu makan berlebihan, dan gangguan tidur.

Beehr dan Newman (1978) dalam Setyono, et al (2007) mengaktegorikan gejala stres ke dalam beberapa aspek, yaitu (1) kecemasan dan ketegangan, (2) bingung, marah dan sensitif, (3) menunda atau menghindari pekerjaan, (4) prestasi dan produktivitas menurun, (5) meningkatnya frekuensi absensi, (6) meningkatnya agresifitas, (7) menurunnya kualitas hubungan interpersonal.

(4)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek stres kerja adalah gejala fisiologi, gejala psikologi, gejala perilaku, kecemasan dan ketegangan, binggung, mara, sensitif, menunda atau menghindari pekerjaan, prestasi dan produktivitas menurun, meningkatkan frekuensi absensi, meningkatkan frekuensi absensi, meningkatkan agresifitas serta menurunnya kualitas hubungan interpersonal, indikator pada fisik, indikator pada psikologism indikator pada perilaku. Dari kesimpulan tersebut maka penulis memilih aspek menurut Robbins dan Judge (2008) karena hasil wawancara awal yang dilakukan oleh penulis sesuai dengan gejala yang ditunjukkan oleh subjek dan mampu mewakili kondisi nyata yang dialami oleh anggota Brimob Detasemen B Pelopor Polda NTB.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2008) timbulnya stres di pengaruhi oleh beberapa faktor-faktor :

a. Faktor Organisasi

Dalam faktor organisasi berpengaruh juga terhadap stres kerja karyawan dimana semua aktivitas di dalam perusahaan berhubungan dengan karyawan. Seperti tuntutan kerja atau beban kerja yang terlalu berat, kerja yang membutuhkan tanggung jawab tinggi sangat cenderung mengakibatkan stres tinggi.

(5)

Adanya lingkungan sosial turut berpengaruh terhadap stres kerja pada karyawan. Dimana adanya dukungan sosial berperan dalam mendorong seseorang dalam pekerjaannya, apabila tidak adanya faktor lingkungan sosial yang mendukung maka tingkat stres karyawan akan tinggi.

c. Faktor Individu

Adanya faktor individu berperan juga dalam mempengaruhi stres karyawan. dalam faktor individu kepribadian seseorang lebih berpengaruh terhadap stres pada karyawan. Di mana kepribadian seseorang akan menentukan seseorang tersebut mudah mengalami stres atau tidak.

Menurut Luthans (2006) ada beberapa penyebab stres kerja: a. Stressor Ekstraorganisasi

Stressor ekstraorganisasi adalah faktor penyebab stres yang berasal dari luar perusahaan yaitu perubahan sosial, kesulitan menguasai globalisasi dan dukungan keluarga.

b. Stressor Organisasi

(6)

c. Stressor Kelompok

Stressor kelompok dapat di kategorikan menjadi dua area, yaitu: rekan kerja yang tidak menyenangkan dan kurangnya kebersamaan dengan rekan kerja.

d. Stressor Individu

Terdapat kesepakatan mengenai dimensi situasi dan disposisi individu yang dapat mempengaruhi stres.

Menurut Handoko (2011) penyebab stres ada dua, yaitu on-the-job dan off-the-job. Penyebab-penyebab stress on-the-job antara lain beban kerja yang berlebihan, tekanan atau desakan waktu, kualitas supervisi yang jelek, iklim politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung-jawab, kemenduaan peranan, frustrasi, konflik antar pribadi dan antar kelompok, perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan, serta berbagai bentuk perubahan. Sedangkan penyebab stres off-the-job antara lain kekuatiran finansial, masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah-masalah fisik, masalah-masalah perkawinan (misal, perceraian), perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal, serta masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.

(7)

individu, on-the-job dan off- the- job. Penulis mengambil aspek individu dari Robbins & Judge (2008) dengan pertimbangan bahwa aspek tersebut sesuai dengan perilaku asertif. Menurut Alberti dan Emmons (2008) aspek-aspek perilaku asertif berhubungan dengan individu dalam bertindak, membela diri serta mengekspresikan diri. Apabila seseorang mampu berperilaku asertif maka stressor individu dapat berkurang. Rahmadita (2016) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan asertif yang tinggi maka akan cenderung memiliki stress kerja yang rendah. Suhartini dan Riswari (2011) menyebutkan ada pengaruh asertif terhadap stres kerja

B. Perilaku Asertif

1. Pengertian Perilaku Asertif

(8)

yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya layak atau benar (Suranata, 2010).

Llyod (1990) mengemukakan perilaku asertif merupakan sikap yang aktif, langsung dan jujur dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan bersikap asertif, kita memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain. Perilaku ini juga mendorong hubungan yang jujur dan terbuka. Beddel dan Lennox (1997) memberikan pengertian mengenai perilaku asertif yakni perilaku yang mendukung tingkah laku interpersonal yang secara simultan akan berusaha untuk memenuhi keinginan individu semaksimal mungkin dengan secara bersamaan juga mempertimbangkan keinginan orang lain karena hal itu tidak hanya memberikan penghargaan pada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain.

(9)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan asertif adalah sikap atau perilaku pribadi yang menyangkut ekspresi keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, serta perasaan-perasaan secara tepat, jujur dan relatif terbuka menyatakan kebutuhan perasaan dan pikiran-pikiran yang apa adanya, dan langsung mengarah ke tujuan.

2. Aspek-aspek Perilaku Asertif

Aspek-aspek perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2008) dibagi menjadi lima yaitu:

a. Bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, meliputi kemampuan untuk membuat keputusan, mengambil inisiatif, percaya pada yang dikemukan sendiri, dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan mampu berpartisipasi dalam pergaulan

b. Mampu mengekspresikan perasaan jujur dan nyaman, meliputi kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah, menunjukkan afeksi dan persahabatan terhadap orang lain serta mengakui perasaan takut atau cemas, mengekspresikan persetujuan, menunjukkan dukungan, dan bersikap spontan. c. Mampu mempertahankan diri, meliputi kemampuan untuk berkata “tidak”

apabila diperlukan, mampu menanggapi kritik, celaan, dan kemarahan dari orang lain, secara terbuka serta mampu mngekspresikan dan mempertahan pendapat.

(10)

e. Tidak mengabaikan hak-hak orang lain, meliputi kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain.

Menurut Stein dan Book (2004) komponen dasar asertifitas dapat dibagai menjadi tiga aspek yaitu

a. Kemampuan mengungkapkan perasaan (misalnya untuk menerima dan mengungkapkan perasaan marah, hangat dan seksual).

b. Kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka (mampu menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas, meskipun secara emosional sulit melakukan ini dan bahkan sekalipun kita mungkin harus mengorbankan sesuatu).

c. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi (tidak membiarkan orang lain mengganggu dan memanfaatkan kita).

Rathus dan Nevid (2009) mengemukakan ada sepuluh aspek dari perilaku asertif yaitu:

a. Bicara asertif

Tingkah laku ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu rectifying statement (mengemukakan hak - hak dan berusaha mencapai tujuan tertentu dalam suatu situasi) dan commendatory statement (memberikan pujian untuk menghargai orang lain dan memberi umpan balik positif)

b. Kemampuan mengungkapkan perasaan

(11)

c. Menyapa atau memberi salam kepada orang lain

Menyapa atau memberi salam kepada orang-orang yang ingin ditemui, termasuk orang baru dikenal dan membuat suatu pembicaraan.

d. Ketidaksepakatan

Ketidaksepakatan menampilkan cara yang efektif dan jujur untuk menyatakan rasa tidak setuju.

e. Menanyakan alasan

Menanyakan alasannya bila diminta untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak langsung menyanggupi atau menolak begitu saja

f. Berbicara mengenai diri sendiri

Membicarakan diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman dengan cara yang menarik, dan merasa yakin bahwa orang akan lebih berespon terhadap perilakunya daripada menunjukkan perilaku menjauh atau menarik diri.

g. Menghargai pujian dari orang lain

Menghargai pujian dari orang lain dengan cara yang sesuai.

h. Menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang yang suka berdebat. Mengakhiri percakapan yang bertele tele dengan orang yang memaksakan pendapatnya

i. Menatap lawan bicara

(12)

Menampilkan perilaku yang biasanya melawan rasa cemas, biasanya kecemasan sosial

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku asertif adalah bertindak menurut kepentingan sendiri, membela diri sendiri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, menerapkan hak-hak pribadi, tidak menyangkal hak-hak-hak-hak orang lain, kemampuan mengungkapkan perasaan, kemampuan dalam mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka, kemampuan untuk mempertahankan hak orang lain, bicara asertif, kemampuan mengungkap perasaan, menyapa atau memberi salam kepada orang lain, ketidaksepakatan, menanyakan alasan, berbicara mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang lain, menolak untuk menerima begitu saja pendapat orang yang suka berdebat, menatap lawan bicara, respon melawan rasa takut. Dari pemaparan tersebut maka penulis memilik aspek menurut Alberti dan Emmons (2008) karena hasil wawancara awal yang dilakukan oleh penulis sesuai dengan gejala yang ditunjukkan oleh subjek dan mampu mewakili kondisi nyata yang dialami oleh anggota Brimob Detasemen B Pelopor Polda NTB

C. Hubungan Antara Perilaku Asertif terhadap Stress Kerja Pada Anggota Brimob Datasemen B Pelopor Sat Brimobda NTB

(13)

dan mengganggu kemampuan seseorang menanganinya atau coping (Santrock, 2007). Salah satu bentuk coping adalah asertif yaitu keterampilan sosial agar seseorang mampu mengungkapkan ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Menurut Alberti dan Emmons (2008) aspek-aspek asertif adalah bertindak menurut kepentingan sendiri, membela diri sendiri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, menerapkan hak-hak pribadi dan tidak menyangkal hak-hak orang lain.

(14)

juga selanjutnya orang yang stres kerja dapat menurunkan kinerja individu seperti hasil kerja, pengetahuan perjaan dan inisiatif (Jum’ati dan Wuswa, 2013).

(15)

Aspek ketiga dari Alberti dan Emmons (2008) yakni mampu mempertahankan diri, aspek tersebut meliputi kemampuan untuk berkata “tidak” apabila diperlukan, mampu menanggapi kritik, celaan, dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta mampu mengekspresikan dan mempertahan pendapat. Jika anggota memiliki kemampuan untuk berkata “tidak”, mampu menanggapi

kritikan, celaan dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta memiliki kemampuan mengekspresikan dan mematahkan pendapat maka stres kerja akan rendah. Hal ini didukung dengan Robbins dan Judge (2012) yang menyebutkan stres kerja dapat diakibatkan adanya konflik peran, tugas dan kepemimpinan. Sebaliknya jika anggota tidak memiliki kemampuan untuk berkata “tidak”, tidak mampu menanggapi kritikan, celaan dan kemarahan dari orang lain secara terbuka, serta tidak memiliki kemampuan menekspresikan dan mematahkan pendapat maka stres kerja akan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan peran yang ambigu ketika pekerjaan dan jabatan kerja tidak jelas dapat menimbulkan stres kerja.

(16)

stres kerja. Penelitian Natalia & Haryanto (2010) menyebutkan pelatihan komunikasi mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres kerja.

Sebaliknya, jika anggota tidak memiliki kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, serta tidak mampu mengadakan suatu perubahan, dan tidak dapat menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain maka stres kerja pada anggota akan tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Greenberg (2002) yang menyebutkan komunikasi seperti menyampaikan pendapat atau gagasan dapat menimbulkan stres kerja. Penelitian Hutagalung (2014) juga menyebutkan komunikasi interpersonal mempunyai pengaruh terhadap penurunan stres kerja.

(17)

juga menyebutkan ekspresi menulis dan mengambar dapat menurunkan stres pada anak.

Rahmadita (2016) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan asertif yang tinggi maka akan cenderung memiliki stres kerja yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja pada karyawan adalah perilaku asertif yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Hasil penelitian Suhartini dan Riswari (2011) menyebutkan ada pengaruh asertif terhadap stres kerja, Perilaku asertif karyawan seperti menyampaikan pendapat dan mengungkapkan perasaan dapat mengurangi stres kerja. Khan (2012) menyatakan semakin tinggi perilaku asertif maka tingkat kecenderungan depresi yang dimiliki akan semakin rendah, depresi sendiri diakibatkan oleh stres yang berkepanjangan. Individu yang asertif biasanya mampu mengadakan dan membina hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain, serta mampu menyatakan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakan kepada orang lain. Kondisi ini membuat individu ini jarang mengalami gangguan stres, karena bila memiliki masalah biasanya individu ini dapat menyatakannya dengan tepat kepada orang lain, sehingga mendapat banyak keuntungan seperti memperoleh solusi, mendapatkan dukungan sosial dan dapat menjelaskan beban mental akibat masalahnya itu.

D. Hipotesis

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai Dengan Peraturan Bupati Sragen Nomor 116 Tahun 2016 Tentang Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, Dinas Kesehatan mempunyai

Sistem drainase di Kabupaten Barru memanfaatkan topografi yang cukup terjal dan berbukit-bukit.Dengan kondisi seperti itu, air hujan yang jatuh dapat mengalir

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap guru SMA Negeri di Kabupaten Sukabumi, diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut : 1) Penghargaan

Ovisno kemijskom, mehaničkom i toplinskom ponašanju materijala aktivacijsko talilo se može prilagoditi-mijenjati. To bi značilo da takvo talilo ima dobru sposobnost

Kabupaten Toba Samosir, terdiri atas satu sub komponen yaitu: 1) Sub Komponen Pelaksanaan Prakerin Di DU/DI. Berdasarkan jawaban yang telah diberikan baik oleh responden guru

Majelis hakim menemukan fakta di persidangan yang pada pokoknya bahwa Termohon tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri dengan maksimal,

Setiawan (2009) menyatakan derajat kelangsungan hidup ikan maanvis (P. scalare) semakin menurun seiring peningkatan kepadatan. Penggantian air dan penyifonan yang

1) Analisis data observasi untuk mengetahui aktivitas siswa, guru dan pengelolaan pembelajaran selama pembelajaran menggunakan model pembelajaran Visual Thinking