• Tidak ada hasil yang ditemukan

147852012 strategi perlawanan petani tambang tradisional dalam menjaga kelangsungan hidup di tengah rendahnya imbal jasa2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "147852012 strategi perlawanan petani tambang tradisional dalam menjaga kelangsungan hidup di tengah rendahnya imbal jasa2"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PERLAWANAN PETANI TAMBANG TRADISIONAL

DALAM MENJAGA KELANGSUNGAN HIDUP DI TENGAH

RENDAHNYA IMBAL JASA

(2)

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik yang terbarukan – renewable–, mapun yang tidak terbarukan – non renewable

–. Tambang minyak dan gas merupakan salah satu dari sekian kekayaan alam yang dimiliki oleh indonesia.

Hengkangnya kolonial dari bumi Indonesia meninggalkan warisan tambang, khususnya; tambang Minyak dan gas yang dikelola oleh rakyat secara tradisional, yakni sumur-sumur tua tinggalan kolonial Belanda.

Berdasarkan data Direktorat Jendral Minyak dan Gas –Dirjen Migas– dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral–Dept ESDM–, persebaran lokasi sumur-sumur tua1yang dikelola oleh rakyat, hampir meliputi keseluruhan wilayah yang ada di Indonesia, diantaranya : di Kalimantan Timur terdapat 3.143 sumur, Sumatera bagian Selatan 3.623 sumur, Sumatera bagian Utara 2.392 sumur, Sumatera bagian Tengah 1.633 sumur, Jawa Tengah dan Jawa Timur 2.496 sumur, Seram 229 sumur, Papua 228 sumur, dan Kalimantan Selatan 100 sumur, total keseluruhan jumlah sumur-sumur tua ialah 13.824 sumur dan diantaranya 745 sumur dinyatakan masih aktif.2

Pada saat penelitian ini dilakukan, di desa wonocolo terdapat 35 sumur tua tua tinggalan kolonial, dari jumlah sumur-sumur tua tersebut diperkirakan mampu menghasilkan minyak mentah –crude oil– berkisar 50.000 liter atau sekitar 314 barel per hari.3

1

Sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang di bor sebelum tahun 1970 dan pernah di produksikan, serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat kontrak kerja sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 01 Tahun 2008 tentang pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua

2

Rebutan ‘ngoreti’ Sumur Minyak Tua Peninggalan Belanda.http://www.antarjatim.com 3

(3)

Aktifitas penambangan pada sumur-sumur tua telah dilakukan oleh masyarakat Wonocolo dan sekitarnya sejak tahun 1942, dan keberadaan sumur-sumur minyak tradisonal dijadikan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat desa Wonocolo dan sekitarnya.

Kepala desa wonocolo–lurah Wattah– memiliki ’peran staretgis’ antara tahun 1942-1988 dalam pengelolaan dan pengusahaan sumur-sumur tua, peran tersebut diantaranya : keseluruhan keputusan berada ditangannya, terutama yang berkaitan dengan penentuan harga, cara penjualan/pemasarannya, cara pengangkutan dan pembayarannya, dan pembatasan akses warga dalam pemanfaatan Sumur-sumur tua(Lap Penelitian, UGM;2006).

Pelaksanaan dari ’peran strategis’ yang dimiliki oleh kepala desa diantaranya berdampak pada; a). ke-tidakmerataan kesejahteraan masyarakat – akses terhadap sumur-sumur tua–, b). skema pembagian keuntungan penjualan minyak yang sangat tidak adil yakni; penambang hanya mendapatkan 20% dari total penjualan4dan, c). meletakkan penambang hanya sebagai buruh tambang– bukan ’pemilik sumur’.

Kondisi ini sejalan dengan pemikiran Marshal D. Shalins (dalam Eric R. Wolf, 1985;3-4) tentang dunia ekonomi dan dan sosial mayarakat pedesaaan yakni :

Di dalam perekonomian-perekonomian primitif, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasil-penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kekerabatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Akibatnya adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi didalam masyarakat primitif terdesentralisasi, bersifat lokal dan kekeluargaan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (1) hubungan-hubungan pelaksanaan dan eksploitasi dibidang ekonomi serta hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan itu, yakni ketergantungan dan pertuanan, tidak diciptakan didalam sistem produksi; (2) karena

4

(4)

tidak ada rangsangan yang ditimbulkan oleh pertukaran hasil bumi dengan sejumlah besar barang dipasar, maka ada kecenderungan untuk membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh produsen-produsennya.

Dengan demikian, ‘peran strategis’ yang dijalankan oleh kepala desa telah menempatkannya sebagai produsen tambang yang menguasai alat produksi, dan menempatkan masyarakat penambang sebagai buruh tambang yang menyediakan tenaga dalam proses produksi, sehingga relasi produksi yang dibangun dalam sistem ini ialah feodal-pertuanan.

Aktifitas penambangan yang dilakukan oleh masyarakat Wonocolo, dalam perjalanannya dirasakan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku yakni; UU No. 44 tahun 1960 jo UU No. 08 tahun 1971, dalam UU tersebut menetapkan Pertamina sebagai pemegang kekuasaan atas pengelolaan dan pemanfaatan minyak dan gas bumi. Kemudian, pada tahun 1987 Desa Wonocolo masuk kedalam wilayah kuasa pertambangan –WKP– Pertamina Unit Ekonomi Produksi III lapangan Cepu.5

Pola penanganan tambang minyak di daerah Wonocolo dan Hargomulyo, Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, Jawa Timur, kemudian diatur dalam SK Menteri Pertambangan dan Energi No.0714.K/M.PE/88.

Penjualan hasil produksi secara bebas, kegiatan produksi sumur-sumur tua untuk subsisten, dan pembatasan akses pengelolaan sumur, merupakan bentuk-bentuk yang melekat pada fase ’penguasaan secara tradisional’ sumur-sumur tua dibawah komando kepala desa.

Namun bersamaan dengan keluarnya SK Mentamben tersebut. Pola-pola tersebut tidak dapat diberlakukan kembali, yang terjadi selanjutnya, ialah; pengetatan dalam penjualan hasil tambang yakni dengan bentuk penjulan hanya melalui ’satu pintu’ yang telah ditetapkan/menjalin kontrak kerja sama dengan

5

(5)

Pertamina yaitu; KUD Bogo Sasono, kemudian dalam melaksanakan aktivitas produksi sumur-sumur tua, terjadi transformasi dari ekonomi produksi untuk susbsisten petani menjadi ekonomi produksi untuk komoditi.

Pengaturan selanjutnya, yang sangat membebani masyarakat penambang ialah, terkait dengan rendahnya imbal jasa yang diberikan oleh Pertamina. Sebagaimana diungkapkan oleh Suyoto, imbal jasa yang diterima untuk setiap satu drum–setara 230 liter–minyak mentah diberikan imbal jasa oleh Pertamina sebesar Rp. 47. 500, menurutnya, imbal jasa yang diberikan Pertamina sangat kecil dan seharusnya setiap satu drum minyak mentah diberikan imbal jasa Rp. 100. 000, dengan rasionalisasi; dalam sehari aktivitas produksi sumur minyak, sedikitnya membutuhkan 60 liter solar untuk penggerak diesel.6

B. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi

Kajian mengenai petani dalam perspektif ekonomi moral yang dipelopori oleh; James C. Scott, dalam bukunya “ Senjatanya Orang-orang yang kalah; Bentuk perlawanan sehari-hari kaum tani“. Perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani, dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup kaum tani. Dan tata perilaku ekonomi petani diikat oleh system moral, yang berfungsi agar terpeliharanya keamanan subsistensi.

Perlawanan petani di Asia Tenggara pada awal abad 20, yang disebabkan oleh kondisi ekonomi –namun tidak menjadi variabel independen– petani, (James C. Scott, 1981 dalam Fadjar Pratikto, 2000;13):

Eksploitasi7 yang semakin memeras petani mungkin saja merupakan suatu penyebab yang diperlukan bagi pecahnya suatu pemberontakan, akan tetapi penyebab itu masih jauh dari

6

Jeritan Penambang minyak Tradisional. www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun2006 7

(6)

mencukupi dalam masalah ini maka konteks struktural dari pemberontakan, jalan survival dan jalan tanpa pemberontakan serta anatomi penindasan merupakan sentral yang perlu diperhatikan.

Sebentuk gaya khas perlawanan petani Asia – perlawanan sehari-hari– ialah perlawanan normal yang dilakukan secara berkesinambungan antara kaum tani dan orang-orang yang mengambil keuntungan dari petani.

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani tidak sampai pada tahap pembangkangan secara terbuka dan dilakukan secara kolektif, bentuk-bentuk perlawanan ini antara lain ; mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar, dan melakukan sabotase, bentuk perlawanannya sedikit sekali atau sama sekali tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan, dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak-pihak yang berkuasa atau dengan norma-norma elit.(Scott, 2000;40).

Ketika pemberontakan untuk membongkar struktur yang menindas terlalu mahal untuk dilakukan dan hasilnya juga tidak berketentuan – kecuali memunculkan struktur baru yang sama saja menindas atau bahkan lebih menindas lagi–, maka resistensi sehari-hari menjadi senjata yang paling ampuh bagi kaum peasant dan terutama golongan miskin(Sairin, dkk. 2002:245) Sejalan dengan pemikiran Scott, March Bloch (Scott, 2000;38) mengungkapkan ;

Karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, maka pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang lestari. Pertarungan yang sabar dan diam-diam yang dilakukan dengan tekad yang kuat oleh masyarakat-masyarakat desa selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil daripada percikan-percikan gelora seketika itu.

(7)

untuk ditumpas – short lived –, maka pilihan yang paling rasional dari sekian pilihan aksi ialah strategi aksi perlawanan yang berlama-lama dan berkesinambungan yang dipercaya oleh petani akan lebih mendatangkan hasil yang lestari bagi gerakan tersebut, singkatnya strategi aksi yang di utamakan dalam pola perlawanan seperti ini ialah mendahulukan selamat – safety first

dan menjauhkan bahaya.

Model perlawanan yang lebih mengutamakan dahulukan selamat ini menjadi pilihan yang sangat rasional bagi petani, meliputi ; (Mustain, 2007:24-25):

a) Tidak digunakannya organisasi formal oleh petani

b) Petani mempertahankan bentuk perlawanan mereka pada skala kecil, untuk menghindari kerugian organisasi perlawanan yang berlebihan terhadap mobilisasi simpatisan/massa aksi

c) Petanimengadopsi taktik “konspirasi diam”8

d) Petani melakukan aksi perlawanannya secara sembunyi-sembunyi, rahasia dan dilakukan pada malam hari – nocturnal threats by masked men

Secara eksplisit model perlawanan dahulukan selamat -safety first-, menjadi penanda awal yang digunakan oleh petani tambang tradisional dalam merespon penetrasi negara dengan bentuk perlawanan yang tersembunyi dan dilakukan di malam hari – nocturnal threats by masked man -, atau dalam konteks ini -petani tambang Wonocolo- dengan cara melakukan penyulingan minyak mentah jauh dari jangkauan publik (aparat kepolisian, Pertamina dan lain-lain).

8

Brown menyebutkan bahwa “konspirasi diam” petani terdiri atas tiga unsur;(1) penolakan untuk

(8)

Ciri khas yang paling kentara dari perlawanan sehari-hari petani, bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk perlawanan lain adalah dalam hal penolakan yang implisit terhadap tujuan-tujuan publik dan simbolik, jika di dunia perpolitikan yang terlembaga bersifat formal, terbuka, berkenaan dengan perubahan sistematis yang bersifat de jure, maka perlawanan petani itu informal, sering tidak terbuka dan pada umumnya hanya berkenaan dengan hasil-hasil yang langsung bersifatde facto.(Scott, 2000;43-44).

Ecstein mengungkapkan bahwa meskipun senyatanya petani tampaknya pasif, sungkan dan diam, namun kaum tani dapat melakukan perlawanan atas hal-hal yang tidak mereka sukai dengan jalan mengurangi produksi atau menganggap ‘sepi’ atas informasi-informasi penting dari penindasnya. Pola-pola perlawanan yang tersembunyi dan terkesan terselubung tersebut merupakan pilihan yang paling ‘rasional’ dibandingakan bila berhadap-hadapan secara konfrontatif dengan para penindasnya. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan dilancarkannya konfrontatif secara terbuka dengan para penindasnya, jika ambang batas toleransi yang dimiliki kaun tani telah habis juga disertai dengan pertimbangan ruang dan waktu yang sangat memungkinkan bagi berkecamuknya gerak perlawanan petani. (Mustain, 2007;31)

Perlawanan yang dilakukan oleh petani tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi secara langsung, namun yang menjadi titik pijakan dari perlawanan gaya tersebut ialah bertahan hidup–survival–dalam sistem tersebut.

Perlawanan yang dimaksud oleh Scott ialah :

(9)

Dari ungkapan Scott, Mustain menilai ada tiga hal penting yang berkenaan dengan gerak dan gerakan yang dilakukan oleh petani;Pertamatidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil aksi bersama, Kedua

perlawanan merupakan masalah sangat pelik, Ketiga definisi ini mengakui apa yang dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis (misal : gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap- hormat) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.(Mustain, 2007;25)

Kemudian yang tak kalah penting dalam menjelaskan perlawanan petani ialah ‘kerawanan struktural’ yang melibatkan ekologi, sistem harga dan monokultur, merujuk pada pandangan Moore. Baginya dimana derajat eksploitasi yang sangat tinggi hingga melampaui ambang batas subsistensi, maka kondisi ini memberikan jalan bagi lahirnya gerakan petani, juga perubahan-perubahan yang sifatnya insidental dalam bidang ekonomi yang mengacaukan pengaturan-pengaturan subsistensi seperti kenaikan harga, pajak, kegagalan panen dan sebagainya, merupakan deretan variabel yang turut memicu kemarahan, frustasi yang kemudian cukup menjadi pemantik bagi bergeloranya gerak perlawanan manusia petani(Pratikto, 2000;13).

(10)

Maka tepat pula kiranya jika kaum tani akan mempertahankan sekuat tenaga neraca keseimbangan diantara tuntutan internal –dalam melakukan pemenuhan bagi kebutuhanya sendiri- dan jugaexternal needed, sehingga tidak mengherankan jika kemudian kaum tani harus menempuh resiko akan datanganya ketegangan-ketegangan bagi sebuah keseimbangan(Eric R. Wolf, 1985;19).

Bagi Scott, apapun bentuk perlawanan yang dilancarkan oleh petani, pada dasarnya merupakan upaya dari petani untuk kembali dalam kehidupan yang menjamin adanya ‘keamanan subsistensi’ yang pernah mereka dapatkan dan alami, sebelum sistem ekonomi pasar memporak-porandakan bangunan tersebut.

C. Petani dalam Perspektif Teori Rasional

Landasan utama teori rasional ialah, memandang bahwa manusia pada dasarnya rasional dengan selalu mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam setiap aktivitasnya, dengan tetap mengakui adanya faktor determinan seperti solidaritas masyarakat petani yang kuat, susbsistensi perekonomian petani dan hubungan produksi masyarakat parakapitalis, titik tolak pendekatan ini memberikan tekanan yang lebih terhadap aspek individual dalam bingkai analisisnya.

(11)

Weber (dalam Siahaan, 1983:218-22)menyatakan, bahwa tindakan sosial seseorang dipengaruhi oleh empat faktor :

1. Zweck rational, adalah tindakan sosial yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional didalam merespon kondisi eksternalnya(termasuk tanggapan terhadap orang lain diluar dirinya dalam upaya mencapai tujuan maksimal dengan pengorbanan yang seminimal mungkin).

2. Wert rational, juga merupakan tindakan yang rasional, tetapi mendasarkan diri pada keyakinan akan nilai-nilai absolut tertentu, seperti : nilai keagamaan, estetika dan etika atau nilai lainnya yang diyakini.

3. Affectual, merupakan suatu tindakan sosial yang lahir adanya dorongan rasa marah terhadap seseorang atau tindakan yang didasari oleh rasa cinta, kasih sayang dan sebagainya.

4. Traditional, adalah tindakan sosial yang berhubungan dengan orientasi atau dorongan tradisi masa lampau, yang dianggap mulia dan berdasarkan pada hukum-hukum normatif yang menjadi kesepakatan masyarakat.

(12)

Beberapa representasi masyarakat pre-industri mengidealkan kehidupan desa-desa petani. Gambaran-gambaran kehidupan petani yang romantis ini terlalu berlebihan dan menyesatkan kita kedalam pemikiran bahwa transformasi masyarakat ini dipaksakan pada petani dan selalu mengganggu atau merusak kesejahteraan kolektif mereka.

Pandangan akan desa yang harmonis yang memberikan jaminan sosial bagi kehidupan di dalamnya, dan sebagai garda penjagaan dari ancaman hidup di bawah garis subsistensi. Asumsi akan kehidupan desa yang sedemikian rupa, mendapat kecaman dari Popkin, dalam pandanganya bahwa desa-desa kaum tani lebih tepat dilihat sebagai sebuah korporasi, bukan sebagai komun; dan hubungan patron-klien harus di lihat sebagai relasi eksploitatif bukan sebagai hubungan paternal. (Sairin dkk, 2002:222)

Menurut Popkin dalam Sairin, dkk(2002;223) ciri-ciri desa masyarakat petani yang di duga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah :

1. desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama, sebaliknya dalam desa terbuka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual.

2. desa tradisional, hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya dalam desa terbuka kekaburan batas desa dan dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari.

3. dalam desa tradisional ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan selama bukan tanah ulayat.

4. pada desa tradisional perasaan sebagai warga desa sangat kuat, sebaliknya konsep kewargaan tidak ada dalam desa terbuka.

(13)

manipulasi, tidak tertutup kemungkinan adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena mereka memiliki pengaruh atau kekuasaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayar justru lebih rendah. Kedua, ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman bahkan memungkin mereka lebih bebas dari sistem yang ada selama ini. Hubungan patron klien yang terjadi bukan karena tradisi melindungi yang lemah melainkan suatu hubungan eksploitatif untuk mendapatkan sumber daya murah. Para petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil, seperti mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali bukan karena belas kasihan. Ketiga, kepemilikan lahan lebih kecil, artinya dari proses produksi. Melalui ekonomi kepemilikan terbatas maka kelompok yang berkuasa membatasi kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing. Ke-empat konsep perasaan, sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok atau elit yang berkuasa dengan memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi mereka terpelihara. Alhasil Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional.(Sairin dkk, 2002:223-226 )

Selanjutnya, dalam pandangan ekonomi moral yang memandang protes-protes politik dan ke-agama-an para petani sebagai reaksi dari krisis subsistensi ataupun ‘kerawanan-kerawanan struktural’ untuk mengggambarkan dimana protes-protes itu akan terjadi, Popkin memberikan sangahannya (Pratikto, 2004;14) :

(14)

Dalam pernyataan popkin tersebut ada beberapa poin penting yang dapat menjelaskan terkait dengan gerak perlawanan yang dilakukan oleh petani yakni : bahwa krisis subsistensi atau kerawanan struktural an sich belum cukup memadai untuk menjadi ‘amunisi’ bagi bergeloranya perlawanan petani, singkatnya petani akan melakukan perlawanan jika petani lokal –local power–

memiliki intermediasi-koneksitas dengan sumber-sumber kekuatan diluar desa–

external power–.

Hasil penelitian Samuel L. Popkin, di Vietnam menunjukkan bahwa : 1). Gerakan yang dilakukan oleh petani adalah gerakan yang menentang feodalisme, tidak ditujukan untuk mengembalikan tradisi lama(restorasi), tapi untuk membangun tradisi baru dan bukan untuk memusnahkan ekonomi pasar akan tetapi mengontrol kapitalisme, 2). Ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif tidak memiliki kaitan yang signifikan, 3). Kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Dengan kata lain ada perbedaan yang mencolok antara rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok(Musatain, 2007;44) hal ini dikarenakan di reduksi-nya perilaku sosial mejadi pilihan rasional pada level indivudu(Ben Agger; 2003;316)

Olson menjelaskan bahwa keikutsertaan petani dalam perlawanan lebih didasarkan atas dasar pertimbangan untung dan rugi yang akan didapatkan petani dari ketidakpuasan atas kondisi status quo. Olson(Mustain, 2007;61-62) mengatakan :

“... aksi kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat aksi bagi sang aktor, meskipun manfaat bagi aktor tidak selalu bersifat ekonomi. Tujuan dan manfaat aksi yang dijadikan pertimbangan oleh aktor menggambarkan bekerjanya variabel ‘pilihan rasional’ yang dilakukan oleh aktor. Ketika hal itu diabaikan oleh aktor, maka tindakannya dapat dikatakan kurang rasional. Suatu tindakan biasanya berkaitan dengan aksi yang bertujuan mengamankan tujuan non ekonomi”.

(15)

dan rugi, bukan hanya manusia yang didikat oleh nilai-nilai moral. Bila mereka bereaksi terhadap faktor-faktor yang menekan mereka maka bukan karena ” tradisi mereka ” terancam oleh ekonomi pasar yang kapitalistik namun karena mereka ingin memperoleh kesempatan hidup dalam tatanan ekonomi baru.

Studi yang dilakukan oleh Scott (1993) dan Popkin (1986) di perdesaan Asia, mengenai perlawanan petani di masa kolonial, menunjukkan tiga faktor utama yang menimbulkan kemarahan kaum petani pedesaan, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, dan kemorosotan status sosial.

Pada prinsipnya, perlawanan yang dilakukan oleh petani, menurut Scot dan Popkin, disebabkan oleh suatu sistem proses produksi yang menghimpit dan perlawanan yang dilakukan ialah ditujukan bagi kelangsungan hidup–economic survival- petani.

Penelitian yang terkait dengan manusia petani – perlawanan petani – memang bukanlah hal baru dalam literasi ilmu sosial, beberapa diantaranya ialah penelitian yang dilakukan oleh Musatain (2007), Petani Versus Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara., dalam kajian ini Mustain memberikan perhatian yang lebih mendalam terhadap gerakan/aksi reklaiming yang dilakukan oleh petani Kalibakar-Desa Simojayan dan Tirtodipuran-Malang atas tanah yang dikuasai oleh Negara dan atau swasta yang didukung negara.

Kemudian kajian lintas disiplin ilmu-Sosiologi, geologi, Kesehatan, lingkungan, dan Hukum- yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dengan tema kajian; Basis Pemberdayaan Masyarakat Desa Wonocolo pasca Penambangan Minyak Secara Tradisional Terhadap Sumur-sumur Tua, fokus kajian ini ialah memberikan advokasi arah kebijakan yang berkaitan dengan konsep pemberdayaan petani tambang dan masyarakat sekitar penambangan, serta konsep pengelolaan lingkungan.

(16)

gerayak merupakan puncak/kulminasi dari berbagai problem sosial, ekonomi dan politik yang tak terselesaikan, dalam konteks tersebut momentum kelangkaan pangan dijadikan pemantik bagi sebuah organisasi politik untuk menggerakan massa tani, Fadjar Pratikto memberikan catatan bahwa kegagalan politik radikalisasi petani disebabkan faktor taktis organisasi dan faktor struktural yakni dengan masih terpeliharanya hubungan patron-klien antara petani lapisan kaya dan miskin.

Sementara itu Jamses C. Scott(2000) hadir dengan karya monumentalnyaWeapons of the Weaks : Everyday Form of Peasent Resistence., memperkenalkan gaya gerakan perlawanan petani Asia melalui hikayat petani miskin di sedaka Malaysia, yang terancam kesejahteran dan status sosialnya akibat dari penetrasi kapital ke desanya, kebijakan pemerintah-dalam konteks Revolusi Hijau- Scott menilai telah memporak-porandakan bangunan sosial budaya petani miskin, yakni keamanan subsistensi, sehingga melahirkan sebentuk perlawanan terhadap orang-orang kaya dan negara.

(17)

Dinamika Pengelolaan dan Penguasaan Tambang Minyak Tradisional di Desa Wonocolo

Tambang Minyak di Era Kolonial

Keberadaan ladang minyak di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, berawal dari ditemukannya sumur minyak oleh seorang sarjana teknik dari Belanda yakni; Adrian Stoop.

Setelah berhasil menemukan keberadaan ladang minyak di Jawa Pada tahun 1886, Adrian Stoop kemudian mendirikan perusahaan Dordtsche Petroleum Maatschappij –DPM, adalah perusahaan asing pertama di Indonesia yang mengelola minyak dan sekaligus sebagai titik awal pertambangan minyak di tanah Jawa–( Lusiyati, 2008 dan Kontras, 2004).

Penemuan sumur minyak bumi, bermula dari desa Ledok sekitar 10 km dari Cepu, Jawa Tengah. Sumur Ledok I dibor pada bulan Juli 1893 yang merupakan sumur pertama di daerah Cepu. Pada tahun 1897, Adrian Stoop kemudian melakukan pengeboran di Gelur, dan dalam perkembanggannya usaha pengeboran sumur-sumur minyak meluas, meliputi ; lapangan minyak Kawengan, Nglobo, Semanggi, Lusi dan desa Wonocolo(Lusiyanti, 2008).

Pada tahun 1911, DPM dibeli olehBataafsche Petroleum Maatschappij -BPM-9, BPM menguasai lapangan minyak Cepu, selama 31 tahun, penguasan BPM berakhir setelah Jepang menduduki nusantara.10

9

BPM merupakan anak perusahaan gabungan dari Koninklijke dan Shell Transport and Trading

Company (1907). “Sejarah Singkat Berdirinya Pertamina”.

http//:www.transparansi.or.id/majalah/edisi7/7berita_9 10

Setelah kemerdekaan Indonesia BPM kemudian berubah menjadi PTMRI, Permigan, Pusdik Migas, PPTMBG Lemigas, PPT Migas dan terakhir menjadi Pusat Pendidikan dan Latihan Minyak Bumi dan

Gas (Pusdiklat Migas). “Mobil Tandai Babak Baru Cepu”, Suara Merdeka, Kamis, 19 Januari 2002,

dalam “Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bojonegoro, Jawa

(18)

Pada saat terjadi perebutan kekuasaan, dengan masuknya Jepang ke Hindia Belanda –Indonesia–, Belanda tidak dengan begitu saja meninggalkan sumur-sumur minyak yang telah diusahakannya dalam keadaan normal, namun, Belanda menerapkan strategi bumi hangus atas ladang-ladang minyak di Indonesia, termasuk sumur-sumur minyak yang berada di Wonocolo.

Jepang menyadari keberadaan sumur-sumur minyak tersebut memiliki nilai ekonomis, namun tentara Jepang tidak memiliki keahlian dalam mengoperasikan –proses eksploitasi dan eksplorasi– sumur-sumur minyak tersebut(Lusiyati, 2008).

Keberadaan tambang minyak pada era penjajahan–Belanda dan Jepang– , selain digunakan sebagai bahan bakar bagi armada-armada perang dalam peperangan, minyak juga dijadikan sebagi komoditi ekspor.11

Di Bawah Kuasa Kepala Desa

Hengkangnya Belanda dan Jepang, dari tanah Jawa membuat sumur-sumur tua menjadi terbengkalai, termasuk yang berada di desa Wonocolo. Keberadaan sumur-sumur tua tinggalan kolonial ini, pada mulanya belum mendapatkan perhatian dari pemerintah dan masyarakat sekitar sumur tua, dan masyarakat juga belum memiliki pengetahuan yang memadai dalam pengoperasian sumur-sumur minyak tersebut.

Di Indonesia, berdasarkan data BP Migas jumlah sumur minyak warisan penjajah kolonial Belanda sebanyak 13.824 sumur dan diantaranya 745 sumur masih aktif. Menurut data Ditjen Migas Departemen ESDM, 5.000 buah sumur-sumur tua tinggalan kolonial masih dapat diaktifkan kembali dengan produksi

11

Pada masa Hindia Belanda terdapat dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM, yaitu BPM dan Stanvac. Sedangakan pada zaman pendudukan Jepang penyediaan dan pemasaran BBM untuk masyarakat sangat terbatas karena BBM yang dihasilkan terutama digunakan untuk keperluan perang. “Nasionalisasi Usaha Pertambangan Minyak Di Indonesia.”.

(19)

antara 5.000 hingga 12.000 barel per hari. Lokasi sumur tua tersebut tersebar hampir diseluruh Indonesia diantaranya : di Kaltim 3.143 sumur, Sumatera Bagian Selatan 3.623 sumur, Sumatera Bagian Utara 2.392 sumur, Sumatera Bagian Tengah 1.633 sumur, Jawa Tengah dan Jawa Timur 2.496 sumur, Seram 229 sumur, Papua 228 sumur, dan Kalimantan Selatan 100 sumur.12

Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Migas (PPTM), Cepu; Ir. Mokhtisar, mengungkapkan, bahwa :

Pada tahun 1890-an, Belanda membangun sekitar 550 sumur minyak, yang tersebar didaerah Blora, Tuban, dan Bojonegoro, dan sebagian besar sumur-sumur minyak tersebut terletak di Desa Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro.13

Jumlah sumur minyak tradisional peninggalan kolonial di desa Wonocolo, pada saat penelitian ini dilakukan berjumlah sebanyak 35 sumur tua yang aktif ditambang oleh masyarakat.

Sejak puluhan tahun lalu, para penambang mengais rupiah dari muncratnya minyak mentah dari sumur peninggalan Belanda tersebut. Dan aktivitas penambangan pada sumur-sumur tua telah ditekuni secara turun temurun oleh masyarakat.

Aktivitas penambangan pada sumur-sumur minyak warisan kolonial, pada mulanya dikelola dan dimotori oleh seorang kepala desa Wonocolo, yakni; lurah Wattah Wartosentono, pengelolaan sumur-sumur tua diperkirakan telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1942.

Kepala desa Wonocolo –lurah Watah– memiliki peran yang strategis dalam usaha penambangan minyak secara tradisonal, peran tersebut meliputi : keseluruhan keputusan berada ditangannya terutama yang berkaitan dengan penentuan harga, cara penjualan/pemasarannya, cara pengangkutan dan pembayarannya.

12

Rebutan ‘ngoreti’ Sumur Minyak Tua Peninggalan Belanda.http://www.antarjatim.com 13

(20)

Pada fase penguasaan sumur-sumur tua secara tradisional ini, hasil-hasil penambangan minyak dari sumur-sumur tua, dijual masyarakat secara langsung kepada tengkulak melalui koordinasi dengan kepala desa.14

Kondisi yang terjadi di pedesaan Wonocolo, kiranya sejalan dengan pemikiran Marshal D. Shalins (dalam Eric R. Wolf, 1985;3-4) tentang dunia ekonomi dan dan sosial mayarakat pedesaaan yakni :

Di dalam perekonomian-perekonomian primitif, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasil-penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kekerabatan, dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Akibatnya adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi didalam masyarakat primitif terdesentralisasi, bersifat lokal dan kekeluargaan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (1) hubungan-hubungan pelaksanaan dan eksploitasi dibidang ekonomi serta hubungan-hubungan sosial yang berkaitan dengan itu, yakni ketergantungan dan pertuanan, tidak diciptakan didalam sisitim produksi; (2) karena tidak ada rangsangan yang ditimbulkan oleh pertukaran hasil bumi dengan sejumlah besar barang dipasar, maka ada kecenderungan untuk membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh produsen-produsennya.

Paparan diatas sedikitnya menegaskan bahwa; penguasan sumur-sumur tua secara defacto dikuasai oleh kepala desa, dan dalam hal akses pengelolaan dan pemanfaatan sumur-sumur tua, yakni hanya yang memiliki kedekatan hubungan kekerabatan dan kedekatan emosional dengan kepala desa saja yang dapat melakukan segala aktivitas penambangan pada sumur-sumur tua menyangkut; angkat dan angkut hasil-hasil tambang.

Dalam pelaksanannya “peran strategis” kepala desa tersebut memiliki sejumlah keuntungan, diantaranya15:

14

Sebelum ada Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1987 dan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 177/130/m.pe/87, tentang pelimpahan wewenang pengelolaan lapangan minyak Cepu dari PPT Migas ke Pertamina, liang sumur yang ada di sekitar Desa Wonocolo dikuasai oleh kepala desa setempat. Sumur-sumur subsdi. http://kompas-cetak/0004/09/foto/sumul6.htm

15

(21)

1. Kemudahan dalam melakukan negosiasi harga secara langsung dengan calon pembeli

2. Sistem pembayaran juga dapat dinegosiasikan, bahkan dapat diijonkan, ketika penambang terdesak membutuhkan uang untuk keperluan tertentu

3. Pemasaran lantung lebih luas, sehingga memiliki peluang menaikkan harga jual dan,

4. Koordinasi langsung dilakukan dengan perorangan, sehingga lebih luwes

Namun keuntungan-keuntungan yang dimunculkan oleh kepala desa – dalam sistem patron-klien– bukanlah berasal dari kebaikan hati pemimpin tradisional/kepala desa, hal ini dapat dilihat dari, terbatasnya akses keterlibatan masyarakat dalam melakukan eksplorasi sumur-sumur tua, kemudian bagaimana penentuan harga diputuskan, dan prosentase bagi hasil dari barang tambang tersebut. Sehingga relasi mutual patron-clients yang dibangun oleh kepala desa lebih mencerminkan nuansa eksploitatif.

Dengan skema pembagian keuntungan penjualan minyak sebagai berikut : 20% dari keuntungan penjualan minyak jadi hak 10 orang pengurus usaha. Yang 20% lainnya dialokasikan untuk tunjangan lima pamong desa terpilih. Sebesar 10% lagi untuk upeti anggota Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Dan akhirnya, menurut teori, 15% dari hasil minyak bumi untuk kas dan 25% buat pembangunan desa. Sisanya, 10%, untuk pemeliharaan perlengkapan. Ungkap Sukoco.16

Dalam pandangan Popkin bahwa desa-desa kaum tani lebih tepat dilihat sebagai korporasi, bukan sebagai komun; dan hubungan patron klien harus dilihat sebagai relasi eksploitatif bukan sebagai hubungan paternal. (Sairin dkk,

16

(22)

2002:222). dan berikut relasi eksploitatif yang dihadirkan dari relasi patron-klien dalam penambangan sumur-sumur tua;17

1. distribusi menjadi tidak merata, artinya mereka yang dekat dengan kepala desa yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dan kemudahan

2. dampak dari butir 1 berakibat pada kesejahteraan yang tidak merata 3. para penambang hanya menjadi buruh saja

Terbatasnya akses keterlibatan bagi masyarakat sekitar, dalam melakukan eksplorasi sumur-sumur tua yang dijalankan oleh kepala desa, berakibat pada ketidak-merataan kesejahteraan masyarakat. bahkan yang terjadi kemudian ialah penumpukan kapital–material dan non material–disatu tangan yakni kepala desa.18

Dalam pengamatan lapangan yang peneliti lakukan, menunjukkan; bahwa sisa-sisa bangunan rumah kediaman lurah Wattah sangat besar dan lebar, dan tergolong mewah pada zamannya memberikan bukti telah terjadinya penumpukan kapital ditangan patron-kepala desa-;

Rumah Mbah Watah memang tampak lain. Hampir semua bagian penting terbuat dari kayu jati berukir. Apa yang dipajang di dalamnya? Kendi-kendi berlapis emas. Dan di luarnya, mobil cukup banyak, apalagi buat ukuran desa. "Mbah hanya punya sembilan mobil," Ungkap Sukoco, Carik Wonocolo.19

Hal ini kemudian diperkuat oleh pengalaman seorang warga yang pernah bertugas memperbaiki rumah kepala desa, yakni dalam hal pengupahan; warga tersebut tidak menerima upah dari tangan sang kepala desa secara

17

Laporan Penelitian, "Basis Pemberdayaan Masyarakat Desa Wonocolo Pasca Penambangan Minyak Secara Tradisional Terhadap Sumur-sumur Tua". UGM, 2006

18

Wawancara dengan masyarakat non penambang Pak Suro 19

(23)

langsung, namun ia disuruh mengambil upahnya sendiri disalah satu ruangan yang dipenuhi uang.20

Penguasaan tunggal yang dibangun kepala desa selama 1942 hingga 1988 dalam hal penguasaan sumur-sumur minyak tidak hanya memadukan kekuasaan kapital materi dan non materi, namun juga membentuk kekuatan simbolik, berupa patung dirinya yang dikelilingi oleh warga, dan dimaknai sebagi bentuk pengayoman kepala desa kepada wargannya.

Pada tahun 1987, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 177/K/87, yang mengatur tentang pelimpahan pengelolaan lapangan minyak Cepu dari PPT Migas ke Pertamina. Wilayah Kuasa Penambangan –WKP– Pertamina Unit Ekonomi Produksi III – UEP–, seluas 973 km2, meliputi ; 4 Kabupaten, yaitu : Grobogan, Blora, Bojonegoro dan Tuban. Maka melalui penyerahan WKP ini sejumlah lapangan minyak, yaitu : Kawengan, Lapangan Ledok, Desa Wonocolo. Kecamatan Kasiman (Kedewan). Kabupaten Bojonegoro, berpindah ke Pertamina UEP III Cepu.21

Tahun 1988, menjadi akhir dari penguasaan sumur-sumur tua secara tradisional, ditandai dengan keluarnya SK Menteri Pertambangan dan Energi No.0714 K/30/M.PE/88 tentang pola penanganan tambang minyak didaerah Wonocolo dan Hargomulyo, Kecamatan Kasiman. Bojonegoro, Jawa Timur. Maka pola-pola penguasaan tradisional yang semula dikelola oleh kepala desa dengan sistem patron-clients menjadi luluh-lantah.22

20

Wawancara dengan masyarakat (non penambang), Pak Budi 21

Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bojonegoro, Jawa Timur”,

www.kontras.org/buku/Laporan_Brojonegoro.pdf. Kebijakan pemerintah ini merupakan turunan dari UU No 44 tahun 1960 jo UU No. 8 tahun 1971, yang menegaskan bahwa pengusahaan pertambangan migas dilakukan oleh Negara, dengan Perusahaan Negara (Pertamina) sebagai Pelaksana atau Pemegang Kuasa Pertambangan. “Tinjauan Historis Yuridis Terhadap Pengusahaan Pertambangan

Minyak Bumi Dan Gas Di Indonesia”.

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/HisYuridis_usahamigas.pdf 22

(24)

Pertamina kemudian menunjuk KUD Bogo Sasono, sebagai mitra Pertamina dalam melakukan eksplorasi penambangan minyak pada sumur-sumur tua.

Masuknya Negara

'Intervensi' ataupun perluasan Negara dalam sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak (penguasaan SDA) dapat dibenarkan, sepanjang intervensi tersebut untuk menjaga dan merealisasikan keadilan diantara anggota masyarakat, sehingga sangat mungkin, jika kemudian terjadi peralihan dalam hal pengelolaan sumur-sumur tua.

Salim G. P dalam Sabian Utsman(2007;40), mengungkapkan kaitan masuknya Negara dalam penguasaan atas sumberdaya alam dapat di benarkan dalam bingkai distribusi keadilan :

….., cukup pantas kiranya untuk mengatakan bahwa intervensi Negara yang dimaksud Ibnu Taimiyah tak lain adalah untuk menjaga dan merealisasikan keadilan diantara anggota-anggota masyarakat dan mencegah semua bentuk kerugian yang mungkin di derita oleh salah seorang anggota masyarakat dan mendengar semua bentuk kerugian yang mungkin di derita oleh salah seorang anggota msayarakat akibat tindak pelanggaran anggota lainnya didalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, intervensi Negara menghendaki agar hak-hak setiap orang terjamin secara sempurna.

Bukan hanya itu, intervensi Negara di maksudkan pula agar kepentingan umum di dahulukan dan di letakkan lebih tinggi ketimbang kepentingan pribadi. Kepentingan umum disini tidak harus berkaitan dengan kepentingan semua angota masyarakat secara keseluruhan, melainkan bisa saja hanya menyangkut orang atau kelompok tertentu tetapi yang mempunyai nuansa bagi keutuhan dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan.

(25)

Perubahan tata kelola sumur minyak tradisional, diawali pada tahun 1987, yakni ditandai dengan penyerahan lapangan minyak yang semula dikelola oleh PPT Migas, menjadi wilayah kuasa pertambangan Pertamina UEP III Cepu, lapangan minyak tersebut diantaranya meliputi : Kawengan, Lapangan Ledok, dan Desa Wonocolo.

Setelah adanya pelimpahan lapangan minyak tersebut, maka pengelolaan lapangan minyak/sumur-sumur tua tinggalan kolonial diatur dalam SK Menteri Pertambangan dan Energi No.0714 K/30/M.PE/88, bersamaan dengan keluarnya SK Mentamben tersebut maka tata kelola sumur-sumur tua di desa Wonocolo, tidak lagi dapat dikuasai secara tradisional oleh kepala desa.

Perubahan tata kelola sumur-sumur tua tersebut meliputi : penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi dan pemasaran lantung,23 upah, distribusi hasil penambangan, akses terhadap sumur.

Tabel

Perubahan Tata Keloa Sumur-sumur Tua

Isu Sistem Pengelolaan

Kepala Desa Sistem Upah

Penentuan Kebijakan, terkait dengan proses produksi dan pemasaran hasil

Kepala Desa Pertamina bekerja sama dengan KUD Bogo Sasono

Distribusi hasil penambangan Mencakup

Tertutup Terbuka

Upah penambang, dana kesusutan, biaya transport, fee

23

(26)

KUD, biaya penampungan,

Sumber: diadaptasi dari Laporan Penelitian, "Basis Pemberdayaan Masyarakat Desa Wonocolo Pasca Penambangan Minyak Secara Tradisional Terhadap Sumur-sumur Tua". UGM, 2006.

Kepala desa dalam sistem pengelolaan sumur-sumur tua, memiliki peran yang sangat starategis, yakni; seluruh keputusan dalam proses produksi lantung yang meliputi; angkat dan angkut lantung dibawah koordinasi kepala desa, dan pemasaran hasil lantung pada saat ini dilakukan secara terbuka, artinya penambang dapat secara langsung memasarkan hasil tambangnya kepada pembeli.

Sedangkan pada, sistem upah, proses produksi dan pemasaran hasil tambang ditentukan oleh Pertamina dan dalam pemasaran hasil tambang masyarakat penambang, diharuskan menyetorkannya melalui KUD Bogo Ssasono.24

Pemasaran lantung, pasca keluarnya SK Mentamben tidak lagi dapat diperjualbelikan secara terbuka sebagaimana pada era dibawah kuasa kepala

24

(27)

desa, masyarakat penambang diharuskan menjual hasil tambangnya ke KUD Bogo Sasono yang telah mengingkat kontrak dengan Pertamina. Kerjasama KUD Bogo Saono dengan Pertamina ini diperpanjang setiap 4 tahun sekali.25

“Seharusnya, para penambang menyetorkan hasil tambangnya ke KUD, akan tetapi imbal jasa yang diterima para penambang dirasa gak cocok, maka penambang menjual langsung ke pengepul”.

Dalam hal pemberian upah, dalam pelaksanaanya terjadi perbedaan satuan nilai yang digunakan oleh masing-masing institusi, KUD Bogo Sasono menetapkan satuan nilai imbal jasa hasil tambang/lantung didasrakan pada satuan drum, sedangakan satuan imbal jasa yang seharusnya diberikan ialah per liter, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pertamina. Dalam pewawancaraan yang peneliti lakukan, bahwa perbedaan satuan nilai imbal jasa ini tidak diketahui oleh masyarakat penambang.

Tabel

Perbedaan Satuan Nilai Imbal Jasa

Tahun

Satuan Nilai Imbal Jasa (Rp) Pertamina /

liter

KUD Bogo Sasono / Drum

2001 231, 27

-2002 234, 96

-2005 296, 57 100. 000 s/d 150. 000

2006 366, 93 100. 000 s/d 200. 000

2007 550,00 200. 000 s/d 250. 000

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Perubahan dalam tata kelola sumur-sumur tua, yang kemudian diusahakan oleh Pertamina melalui KUD Bogo Sasono, akan dijabarkan kedalam sub bab berikut,

25

(28)

Menjadi Buruh

Untuk sebagian besar penduduk yang berada di Kecamatan Kedewan terutama masyarakat Desa Wonocolo, lebih memilih berprofesi sebagai petani tambang dari sumur-sumur tua yang telah di usahakan secara turun-temurun.

Kondisi tanah desa Wonocolo yang tidak subur, sehingga tidak memungkinkan masyarakat untuk bercocok tanam, guna memperoleh penghasilan tambahan diluar sektor pertambangan minyak tradisional, kemudian letak desa yang jauh dari keramaian serta akses jalan yang kurang memadai, turut menutup akses masyarakat dalam melakukan usaha perdagangan.

Sejak berlakunya SK Mentamben No. 0241 K/33/M.PE/1988, maka segala pengelolaan dan koordinasi penambangan tidak lagi berada dibawah kuasa kepala desa, yang mengatur dan mengkoordinir penjualan dan pemasaran minyak dari sumur-sumur tua.

Keluarnya SK Mentamben tersebut menandakan babakan baru dalam pengelolaan dan penambangan minyak tradisional. Babakan baru tersebut diawali dengan perombakan posisi ‘penguasa’ yang semula ditempati oleh kepala desa sebagai 'pemilik kuasa' atas pemasaran dan penjualan minyak tradisional, digantikan oleh KUD Bogo Sasono sebagai koordinator pengelolaan dan penambangan minyak tradisional.

Semua beban yang di keluarkan oleh penambang, terkait; ongkos angkat dan angkut minyak berada pada wilayah KUD Bogosasono, yang telah menjadi partner kerja dari pemerintah yakni Pertamina. Sedangkan posisi yang tidak berubah ialah para penambang, tetap pada possisi semula yakni sebagai buruh yang hanya berperan mengangkut minyak dari dalam sumur yang kemudian disetorkan ke Pertamina melalui KUD Bogo Sasono.

(29)

untuk komoditi Pertamina dan kemudian yang tak kalah pentingnya ialah transformasi dari klas petani tambang menjadi buruh tambang bagi komoditi..

Ketiadaan kontrol yang dimiliki oleh penambang tradisional akan barang tambang yang dihasilkannya, menjadi ciri tersendiri dalam transformasi ekonomi produksi komoditi, yakni rendahnya nilai imbal jasa yang diberikan Pertamina melalui KUD Bogo Sasono dan tidak di libatkannya petani tambang dalam proses pengajuan kenaikan nilai imbal jasa serta ketidaktahuan penambang akan standart satuan nilai yang digunakan dalam imbal jasalantung–antara per liter dan per drum–,

Aktivitas produksi, angkat dan angkut pada sumur tua di tujukan bagi pemenuhan pasar komoditi dan pencarian laba yang kompetitif, yang mana hal ini tidak terjadi dalam ekonomi produksi subsisten petani tambang, sebagaimana diungkapkan oleh Wolf (1985;3-4), bahwa ; bagian terbesar dari penghasilan produksi digunakan sebesar-besarnya untuk petani tambang sendiri dan atau untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kekerabatan.

Ketiadaan kontrol akan barang tambang, dan aktivitas produski ditujukan bagi komoditi, kemudian memicu petani tambang dalam mencari surplus-surplus ekonomi dari hasil tambang yang dihasilkannya guna mencukupi pemenuhan kebutuhan ekonomi produksi sumur tua dan rumah tanggga petani.

Masyarakat desa Wonocolo yang sebagain besar berprofesi sebagai petani tambang dalam pola pembangunan demikian di arahkan kepada sebuah konstruksi sosial-ekonomi ketidakberdayaan yang terlembaga –culture poverty–.

(30)

powerless element), 2) kondisi bergantung dan tak berdaya tersebut membuat petani tidak memiliki pilihan-pilihan karena ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani (sistem sosial-ekonomi), dan 3) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior dalam interaksi pasar.

Harapan akan terjadinya persemaian keadilan yang menyangkut pemerataan kesejahteraan, atas perubahan pola penguasaan dan pengelolaan minyak tradisional, semakin terabaikan.

Dalam suatu perbincangan antara peneliti dengan para penambang menunjukkan fakta lain, yakni; jarak persemaian kesejahteraan yang diimpikan oleh petani tambang semakin kabur, di karenakan imbal jasa yang di berikan oleh KUD Bogo Sasono dan Pertamina tidak setara dengan ongkos produksi yang dikeluarkan oleh penambang. Sebagaimana di utarakan oleh penambang :

“Imbal jasa yang kami terima dari KUD tidak setara dengan apa yang telah kami keluarkan malah sering nombok, apalagi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.” Poniman.26

“Sebelum Koperasi Bogo Sasono berdiri pada tahun 1988, kehidupan masyarakat penambang cukup sejahtera karena mengelola sendiri minyak mentah dari sumur minyak tradisional. Tapi setelah berdiri Koperasi Bogo Sasono yang di prakarsai oleh Pertamina, kami malah menjadi buruh saja dengan diberikan upah jasa ongkos angkut saja”, Ungkap Wihanto.27

Pada titik inilah kaum petani pedesaan telah mengalami akumulasi modal primitif28 – Primitive Modal Accumulation – dengan ditandai dengan

26

Wawancara dengan penambang 27

Warga minta hak pengelolaan sumur minyak tradisional, www.bojonegoro.com 28

(31)

dua bentuk tranformasi yakni; (1) kekayaan alam diubah menjadi modal dalam dalam ekonomi produksi kapitalis; dan (2) kaum petani diubah menjadi buruh upahan (Mustain, 2007; 168)

Perubahan yang lebih sistemik ini, menandakan telah berlangsungnya transformasi dari ekonomi produksi subsistensi menjadi ekonomi produksi komoditi, dan juga turut mentransformasikan dari klas petani pada satu sisi menjadi buruh upahan disisi lainnya.(Noer Fauzi, 2003; 4-5, Mustain, 2007; 168).

Perubahan pola penguasaan dan kepemilikan sumur-sumur minyak tradisional ternyata tidak banyak mengalami perubahan yang cukup berarti bagi perbaikan nasib masyarakat penambang.

Masyarakat penambang tetap saja menjadi buruh tambang yang tak memiliki daya dalam menentukan nilai barang tambang yang telah mereka usahakan, bahkan dalam suatu perbincangan penulis dengan penambang, petani tambang merasa "nyaman" ketika berada dibawah sistem patron-client, dibandingkan dengan pola penguasaan dan pengelolaan sumur tua saat ini.

Jam Kerja dan Upah Kerja

Jalanan berbatu dan di kelilingi oleh hutan jati, menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh para penambang dalam perjalanan mengais rupiah, dan di dalam hutan jati itu pula petani tambang sumur-sumur tradisional bekerja memluntur,29 minyak dari sumur-sumur tua tinggalan kolonial.

Aktivitas penambangan yang di lakukan oleh penambang tidak memiliki batasan waktu yang baku, hal ini di karenakan oleh kondisi sumur-sumur tua yang terkadang, dalam sehari hanya dapat menyemburkan minyak mentah dari dasar sumur berlangsung selama 3-5 jam, atau bahkan ada 29Memluntur

(32)

beberapa sumur yang mampu berproduksi selama 24 jam dan adapula dari sekian sumur tersebut tidak beroperasi untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Jam kerjo teng mriki ra mesti, kadang seminggu memluntur mung

patang dino kadang yo iso prei sak minggu, yo sak metune minyak nang sumur, kadang ono seng sedino ful metu lantung'e kadang yo mung telu nganti patang jam-an ae memluntur’e”. Yudi.30

“Artinya, Jam kerja disini tidak memiliki ketentuan yang baku, terkadang dalam seminggu hanya empat hari saja kerjanya, bekerjanya cuma pada saat minyak dalam sumur menyembur, terkadang ada yang dalam satu hari ful sumur-sumur minyak penambang mampu mengeluarkan minyak, dan terkadang hanya tiga hingga empat jam saja dalam satu hari bekerjanya. Yudi”

Dalam perjanjian yang telah disepakati antara KUD Bogo Sasono dan Pertamina No. 893/D00000/2004-S0, harga minyak mentah kotor dikurangi kadar air dari hasil pengukuran sistem gauging serta standart lainya adalah sebesar Rp. 234, 96 per liter harga tersebut termasuk didalamnya pokok biaya sebagai berikut : penambang (Rp 161,56). Susut (Rp 6,90), angkut (Rp 17), Fee KUD Bogosasono (Rp 14) pembangunan desa (Rp 2), fee daerah (Rp 18), PPH (Rp 13,3), dan tunjangan perangkat desa (Rp1,5).31

Penunjukan ‘satu pintu’ dalam memasarkan hasil-hasil barang tambang yakni hanya melalui KUD Bogo Sasono, dalam perjalanannya menimbulkan keresahan baru, seperti halnya terkait dengan rendahnya nilai jual barang tambang yang ditetapkan oleh Pertamina melalui KUD Bogo Sasono dan juga nilai imbal jasa yang diberikan oleh KUD Bogo Sasono kepada masyarakat penambang tidak didasarkan atas satuan liter.

30

Wawancara dengan penambang Pak Yudi 31

(33)

Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pertamina, namun KUD menggunakan satuan nilai per drum – setara dengan 200 liter – atas minyak mentah–crude oil–.

Perbedaan satuan nilai imbal jasa, yang di dasarkan per drum oleh KUD Bogo Sasono memiliki selisih harga yang sangat signifikan, yakni jika satuan nilai imbal jasa pada tahun 2007 per liter adalah Rp. 550, maka nilai imbal jasa yang seharusnya diterima petani penambang ialah Rp. 550 x 200 = 110.000,

Namun satuan nilai imbal jasa, yang diberikan oleh KUD Bogo Sasono–di dasarkan per drum–ke Petani sebesar Rp. 90.000. nilai lebih dari imbal jasa yang diterima oleh KUD Bogo Sasono ialah Rp. 20.000, dalam wawancara lapangan yang penulis lakukan bahwa petani penambang-pun tidak mengetahui jika besaran nilai imbal jasa lantung ditentukan berdasar pada satuan nilai per liter.

Tabel

Perbedaan Satuan Nilai Imbal JasaLantung32

Tahun Satuan nilai imbal jasa (Rp)

Pertamina KUD Bogo Sasono Pengepul 1999 142,85 --- ---2000 182,55 --- ---2001 213,27 ---

---2002 234,96 30.750

2005 296,57 37. 500 100. 000 s/d 150. 000

2006 366,93 47. 500 100. 000 s/d 200. 000

2007 550,00 90. 000 200. 000 s/d 250. 000

Sumber : diolah dari berbagai sumber

32

(34)

Adanya perbedaan satuan nilai imbal jasa yang ditetapkan oleh masing-masing institusi Pertamina dan KUD Bogo Sasono semakin memperkecil nilai imbal jasa yang diterima oleh penambang.

Pada perkembangan selanjutnya, kecilnya nilai satuan imbal jasa baik yang digunakan oleh Pertamina maupun KUD Bogo Sasono menimbulkan ‘keresahan’ bagi masyarakat petani tambang dalam melakukan pemenuhan kebutuhan bagi aktivitas produksi dan ekonomi rumah tangga petani, maka jalan yang ditempuh petani tambang dalam bingkai pemenuhan kebutuhan produksi dan ekonomi rumah tangga petani dengan melakukan penjualan keluar dari sistem yang telah di tentukan yakni, penjualan tanpa melalui KUD Bogo Sasono, Pak Yanto Mengungkapkan bahwa :

ngedol lantung langsung nang pengepul iku untunge luweh akeh timbangane didol nang KUD Bogo Sasono. Batine iso di enggo kasarane ngeh mangan dino-dino karo di enggo tuku rencek lan solar enggo trek”.33

(Artinya, Menjual minyak langsung ke pengepul itu untungnya lebih banyak daripada dijual ke KUD Bogo Sasono, keuntungannya dapat digunakan paling tidak untuk makan sehari-hari, untuk beli rencek– kayu bakar–dan untuk beli solar untuk menghidupkan mesin truk). Ungkapan petani tambang tersebut menyiratkan bahwa aktivitas penjualan tanpa melalui KUD Bogo Sasono ini dirasakan oleh petani tambang lebih "menjanjikan" dalam pemenuhan aktivitas produksi dan ekonomi rumah tangga petani.

Penjualan tanpa melalui KUD Bogo Sasono ini bukanlah sebuah aktivitas yang lahir tanpa alasan mendasar, Para penambang menilai harga yang dipatok oleh Pertamina tidak manusiawi lagi. Sehingga pengiriman

33

(35)

Minyak ke KUD Bogo Sasono hanya membuat nasib mereka semakin terpuruk.34

Pada tahun 2005, Satu drum (200 liter) crude oil dihargai oleh pertamina sebesar Rp. 37.500, namun jika crude oil tersebut disuling dan dijual ke pengepul (ilegal) maka petani penambang memperoleh imbal jasa berkisar antara Rp 100.000-150.000.

Dengan demikian, maka penjulan minyak mentah secara langsung yang dilakukan oleh petani penambang tanpa melalui KUD Bogo sasono, hal ini dikarenakan pasar ilegal lebih mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi petani tambang dalam memenuhi ekonomi produksi sumur tua dan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. sedikitnya dalam seminggu membutuhkan 100 liter solar untuk menggerakkan mesin mobil dengan harga solar per liter sebesar Rp. 4.700.35

34

Duka Lara Penambang Minyak Tradisional http://bloranet.com 35

Sedikitnya dalam seminggu membutuhkan 100 liter solar untuk menggerakkan mesin mobil dengan harga solar per liter sebesar Rp. 4.700. Kehidupan penambang minyak di perbatsan Bojonegoro –

(36)

Strategi Petani Tambang Dalam Menjaga Kelangsungan Hidup Ditengah

Rendahnya Imbal Jasa

Penyulingan Mandiri

Transformasi dari ekonomi produksi untuk subsisten, menuju ke ekonomi produksi untuk komoditi, menghadapkan masyarakat petani kepada dua pilihan yakni; pertama, tetap bertahan dengan kondisi susbsistensi-nya ditengah perubahan yang terjadi dalam tata kelola sumur-sumur tradisional, kedua yakni "larut" dalam transformasi ekonomi tersebut, dengan mendasarkan pada persemaian keadilan ekonomi baik melalui penjualan hasil tambang melalui pintu legal – KUD Bogo Sasono – ataupun illegal – penjualan ke pengepul–.

Berdasarkan, pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 01 tahun 2008, tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan minyak Bumi Pada Sumur Tua, pada pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa : KUD atau BUMD Wajib menyerahkan seluruh produksi minyak bumi dari hasil pelaksanaan memproduksi minyak bumi kepada Kontraktor.

Namun, dalam pelaksanaannya Peraturan Menteri ESDM tersebut, tidak mampu membendung aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam proses produksi–penyulingan, penjualan–yang sesungguhnya aktivitas tersebut bertentangan/melanggar dengan Undang-undang Migas no 22 tahun 2001 dan Permen ESDM No 01 tahun 2008.

(37)

dan adanya perbedaan nilai imbal jasa yang dipatok oleh KUD Bogosasono (per drum) bukan per liter, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Pertamina.36

"Penyulingan yang dilakukan oleh penambang, untuk mengisi perut dan untuk membiayai kegiatan produksi, karena imbal jasa yang diberikan KUD Bogo Sasono tidak mencukupi untuk kedua hal tersebut" ungkap Pak Poniman.37

“Sebelum Koperasi Bogo Sasono berdiri pada tahun 1988, kehidupan masyarakat penambang cukup sejahtera, karena mengelola sendiri minyak mentah dari sumur-sumur tradisional. Tapi setelah berdiri Koperasi Bogo Sasono yang diprakarsai oleh Pertamina, kami malah menjadi buruh saja dengan diberikan upah jasa ongkos angkut saja’.38

Sejak tahun 1956,39 penambang telah mampu melakukan penyulingan secara mandiri, dengan proses penyulingan yang sangat sederhana yakni; dengan cara mendidihkan minyak mentah di dalam drum yang tertanam didalam tanah,

Proses penyulingan lantung petani penambang tradisional masih menggunakan kayu–rencek–sebagai bahan bakar utama dalam pengolahannya.

Proses pemasakan lantung menjadi barang jadi, –bensin, minyak tanah, solar– sedikitnya, membutuhkan waktu empat hingga lima jam bara api yang menyemburkan api secara terus menerus pada drum yang berisi 200 liter

lantung. Yang kemudian di alirkan melalui pipa yang di rendam air sebagi pendingin pipa, kemudian dialirkan ke bak penampungan.

Pada bulan oktober 2006, empat desa penghasil minyak –Kedewan, Hargomulyo, Dangilo, Mbeji dan Wonocolo- membuat kesepakatan kolektif, yang berisi tentang; penghentian pengiriman minyak mentah ke KUD Bogo 36

Dalam kesepakatan yang dibuat oleh Pertamina dan KUD Bogo Sasono mendefinisikan kerja "penambangan" meliputi; mengangkat minyak bumi dari dasar sumur dan mengangkut minyak mentah tersebut ke bak-bak penampungan yang telah disepakati bersama yang kemudian dikirim ke Pertamina, sehingga aktivitas penyulingan merupakan aktivitas illegal–illegal refinery

37

Wawancara dengan penambang 38

Warga minta hak pengelolaan sumur minyak tradisional. www.bojonegoro.com 39

(38)

Sasono. Para penambang lebih memilih melakukan penyulingan secara sendiri dan kemudian dijual kebeberapa penampungan di daerah Tuban, Blora, dan Bojonegoro, selanjutnya di kirim ke Surabaya dan Semarang.40

Dalam pengamatan lapangan, proses penyulingan minyak mentah yang dilakukan oleh petani tambang tradisional, tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi ataupun ditempat yang tertutup dan jauh dari keramaian dan juga tidak dilakukan pada malam hari.

Namun, proses penyulingan lantung dilakukan ditempat yang terbuka dan berada disepanjang/bersebelahan dengan sumur-sumur tua yang di eksplorasi oleh petani penambang, dan penyulingan minyak mentah dilakukan lebih banyak di siang hari.

Penyulingan lantung dilakukan, atas kesadaran penuh petani penambang akan resiko yang harus di hadapinya kemudian, seperti; penangkapan oleh pihak berwajib, dalam perbincangan yang penulis lakukan dengan penambang (Pak Yudi) mengungkapkan :

Nek, pisan pindo ditangkepi Polisi Yo lumayan sering mas dibenke ae, tapi nek suwe-suwe ditangkepi terus yo engko nek wes mangkel

penambang’e, seng nangkepi dikeroyok”.

(Artinya, kalau sesekali ditangkap Polisi ya lumayan sering mas tapi dibiarkan saja, akan tetapi kalau Polisi sudah terlalu sering menangkapi penambang, dan jika para penambangnya mulai hilang kesabarannya maka penambang akan mengeroyok Polisi yang menangkapi penambang).

“Takut sih takut mas, tapi mau bagaimana lagi. Apapun akan kami lakukan untuk tetap memperoleh uang meskipun resikonya ditangkap polisi,” terang Pagimin.41

Singkatnya, masyarakat penambang melakukan penyulingan minyak mentah sendiri merupakan usaha penambang untuk "menaklukan" pasar disatu 40

Duka Lara Penambang Minyak Tradisional, http://bloranet.com

41

(39)

sisi dan pada sisi lainnya, pasar tersebut digunakan oleh penambang sebagai penjaga bagi kelangsungan hidup petani tambang.

Sebagaimana di ungkapakan Popkin, memandang bahwa pelibatan diri kaum tani dalam ekonomi pasar tidaklah disebabakan karena terancamnya keamanan subsistensi, melainkan karena kaum tani melihat bahwa pasar lebih menjanjikan dalam hal perubahan kehidupan bagi petani (Sairin dkk, 2002:221-222).

Pengurangan Suply Hasil Tambang

Undang-undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, pada pasal 53 (huruf a, b, c dan d,) disebutkan bahwa: pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga minyak tanpa memiliki izin usaha adalah terlarang.

Namun dalam pelaksanaanya, UU Migas tersebut tak bermakna bagi petani tambang difrensiasi nilai imbal jasa, yang diberikan oleh Pertamina yang sangat rendah sedangkan nilai imbal jasa yang sangat 'menjanjikan' diberikan oleh pasar ilegal, kondisi sangat menjanjikan ini (lihat tabel 3.3, hal, 65), memicu petani penambang dalam melakukan aktivitas penjualan hasil tambang keluar dari system kontrak kerja yang telah disepakati antara Pertamina dan KUD Bogosasono.

Penjulan lantung yang dilakukan oleh petani penambang tanpa melaui system (KUD Bogo Sasono) berdampak pada berkurangnya supply hasil tambang yang diterima Pertamina melalui KUD Bogosasono.

(40)

melakukan penyulingan sendiri, maka supply hasil tambang yang diterima oleh Pertamina hanya mencapai 7 hingga 8 rit saja perhari.42

Berkaitan dengan berkurangnya suplay lantung ke Pertamina, hal ini pun dapat dimaklumi oleh pengurus KUD Bogosasono, Sukrihadi mengungkapkan :

Di karenakan nilai imbal jasa yang diterima oleh penambang sangat kecil sehingga tidak mampu menutup ongkos produksi, usaha yang dilakukan oleh KUD Bogo Sasono terkait dengan rendahnya nilai imbal jasa yang diterima oleh penambang ialah dengan cara mengajukan kenaikan nilai imbal jasa ke Pertamina.43

Rendahnya imbal jasa yang diterima oleh petani tambang telah mencapai suatu titik persinggungan bagi penambang, yang ditandai dengan semakin meluasnya penyulingan secara nyata, dan kemudian pengurangan suplay, bahkan para petani tambang sampai pada keputusan, untuk tidak lagi menyetorkan hasil tambang kepada KUD Bogo Sasono.

Berkaitan dengan penghentian setoran hasil tambang ke Pertamina melalui KUD Bogo Sasono, Humas Pertamina EP Region Jawa, Area Cepu, Anggadewi Widyastuti, mengatakan bahwa ;

Minyak mentah dari sumur tradisional di Kedewan dan Kasiman sejak Agustus tahun(2006) hingga kini (maret 2007), tak lagi disetor ke Pertamina. Padahal, kontrak kerja Pertamina dengan KUD Bogo Sasono baru berakhir pada 2009.44

Terjadinya penurunan suplay hasil tambang yang disetorkan oleh penambang ke KUD Bogo Sasono, sangat berkaitan erat dengan rendahnya nilai imbal jasa yang diterima oleh petani tambang yang pada perjalanan selanjutnya

42

Mujib Rahman http://www.gatra.com/2006-04-24/majalah/beli.php?pil 43

Wawancara dengan Pengurus (ketua) KUD Bogo Sasono 44

(41)

juga berdampak pada pemutusan hubungan kerja antara Pertamina dan KUD Bogo Sasono, Sukrihadi mengungkapkan ;45

Bahwa pemutusan hubungan kerja antara Pertamina dan KUD Bogo Sasono di karenakan tidak tercapainya kesepakatan dalam penentuan nilai imbal jasa antara Pertamina dan KUD Bogo Sasono, menurutnya nilai imbal jasa yang di berikan oleh Pertamina terlalu rendah.

Kaitannya dengan pengurangan suplay lantung yang dilakukan oleh petani penambang, Ecstein (dalam Mustain, 2007;31) menyatakan, bahwa meskipun senyatanya petani tampaknya pasif, sungkan dan diam, namun kaum tani dapat melakukan perlawanan atas hal-hal yang tidak mereka sukai dengan jalan mengurangi produksi atau menganggap ‘sepi’ atas informasi-informasi penting dari penindasnya.

Penjualan tanpa Melalui KUD Bogosasono

Ketidakpuasan yang dialami oleh penambang akan rendahnya nilai imbal jasa, yang diberikan oleh Pertamina, tidak hanya berakhir pada penyulingan minyak mentah secara mandiri dan pengurangan supply hasil tambang, rangkaian kekesalan petani tambang tersebut berujung pada penambang tidak lagi menyetorkan hasil tambangnya ke KUD Bogo Sasono, kontestasi gerak perlawanan petani tambang selanjutnya 'di sempurnakan' dengan penjualan hasil tambang tanpa melewati pintu KUD Bogo Sasono.

Penjualan hasil tambang yang dilakukan oleh para petani tambang tidak lagi dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi, namun hal itu dilakukan secara terbuka dan nyata, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Jasa Produksi PT Pertamina EP :

Kalau sekarang ini, penjualan minyak mentah tersebut keluar masih terjadi. Bahkan dilakukan secara terang-terangan, meskipun pembeli

45

(42)

tahu jajaran Polres Blora, Jateng tidak Kompromi dengan penjualan minyak mentah keluar wilayahnya.46

Dalam pengamatan dilapangan, transaksi penjualan minyak mentah dilakukan secara langsung antara penambang dan pembeli ditempat dimana terdapat sumur-sumur minyak, dan dalam sekali angkut pembeli –illegal- yang kebanyakan menggunakan kendaraan roda dua mampu membawa hinga empat jerigen berisi 40 liter minyak mentah.

Baik petani penambang maupun pembeli, mengetahui bahwa aktivitas penjualan yang mereka lakukan adalah terlarang, bahkan penangkapan sudah sering dialami oleh rekan-rekan mereka. Dalam perbincangan penulis dengan penambang kaitannya dengan hal penangkapan yang dilakukan oleh pihak berwenang, Poniman mengungkapkan ;

Kalau dulu pada tahun 2002-an sering ada penangkpan dan razia yang dilakukan oleh polisi, tapi nek sekarang sudah hampir tidak ada lagi penangkapan.47

Aktivitas penjualan minyak tanpa melalui KUD Bogo Sasono, bukanlah tanpa alasan, adalah nilai imbal jasa yang diberikan oleh Pertamina sangat kecil, sebagaimana di katakan Skockpol (dalam Mustain, 20007;193) bahwa; orientasi penjulan yang dilakukan oleh petani tambang adalah untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya spesifik dan konkrit.

Sehingga aktivitas penjualan dimaksudkan bagi keberlangsungan kehidupan petani, yakni; tercukupinya kebutuhan hidup sehari-hari dan tertutupinya ongkos produksi pengusahaan minyak dan mendapatkan lebih banyak profit. Sebagaimana diungkapkan oleh Penambang :

Negdol lantung langsung nang pengepul iku batine luweh akeh, timbangane didiol nang KUD Bogo sasono, batine iso di engo

46

Pertamina Cepu Tertibkan Penjualan MInyak Mentah Tradisionil Bojonegoro. www. kapanlagi.com 47

(43)

kasarane ngeh mangan sedino-dino karo di enggo tuku rencek lan solar enggo trek. Pak Yanto.48

(Artinya ; menjual minyak mentah langsung ke pengepul –ilegal– itu untungnya lebih banyak, dari pada menjual minyak mentah ke KUD Bogo Sasono, keuntungannya dapat digunakan setidaknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, beli kayu bakar dan untuk beli solar untuk menghidupkan mesin truk)

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa, petani tambang melakukan penjualan langsung tanpa melalui KUD Bogo Sasono, lebih didorong oleh adanya kewajiban untuk menjemukan Penyulingan minyak mentah secara mandiri, pengurangan supply hasil tambang, penjualan tanpa melalui KUD Bogo Sasono, lebih didorong oleh faktor ketidakpuasan yang didera petani tambang terkait nilai imbal jasa, dan rangkaian aktivitas penjulan tanpa melalui KUD Bogo Sasono, penyulingan mandiri dan pengurangan suplay hasil tambang bersifat taktis dan spesifik.

48

(44)

KESIMPULAN

Hasil kajian ini memperlihatkan, bahwa Peralihan tata kelola dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumur-sumur tua, yang semula berada pada kuasa kepala desa, yang kemudian dalam perkembangannya, pengelolaan dan pemanfaatan sumur-sumur tua masuk dalam wilayah kuasa penambangan Pertamina, yang mengikat kontrak kerja sama dengan KUD Bogo Sasono.

Peralihan tata kelola sumur-sumur tua, dirasakan oleh petani tambang semakin memperkecil jumlah pendapatan yang diterima oleh petani tambang, dan rendahnya imbal jasa ini, membuat petani tambang mengambil inovasi-inovasi tindakan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada, dikarenakan adanya keharusan bagi petani tambang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi produksi sumur minyak dan kebutuhan rumah tangga petani.

Jalan yang ditempuh petani tambang, untuk mecukupi kebutuhan produksi dan rumah tangga petani, petani menempuh jalan penyesuaian-penyesuaian, yang diwujudkan petani tambang melalui : Penjualan tanpa melalui KUD Bogo Sasono, Penyulingan secara mandiri dan Pengurangan supply tambang ke Pertamina.

Rangkaian aktivitas angkat dan angkut yang digunakan oleh petani disebabkan oleh bebarapa faktor, yakni adanya

1. Perbedaan nilai imbal jasa yang diterapkan oleh masing-masing institusi (KUD Bogo sasono dan Pertamina), perbedaan nilai imbal jasa ini berdampak pada semakin kecilnya imbal jasa yang diterima oleh petani tambang.

Referensi

Dokumen terkait

 Secara ideal, sumber daya manusia yang diharapkan untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah mereka yang selama ini telah bekerja di sektor kesehatan

Kalau satu video satu menit full satu berita, mungkin aku akan sering pakai Instagram KamiBijak dan lebih puas lihat berita.. Ke depannya kamu akan gunakan KamiBijak

Paedahe panliten iki yaiku: (1) panliten iki bisa menehi kawruh menyang pendidikan sastra, lan (2) panliten iki bisa didadekake referensi kanggo panliten

Berdasarkan hasil yang di dapat dari diagram pareto, bahwa cacat yang paling dominan yaitu insang berlendir, mata merah, kornea agak keruh dengan persentase

Penanganan data dengan melakukan secara manual ini mempunyai beberapa kendala, diantaranya menyebabkan terjadinya kesalahan dalam proses rekapan penjualan

melakukan eksperimen, yaitu (1) Melakukan pengujian klasifikasi algoritma Naive Bayes menggunakan data original yang masih terdapat data kosong (2) Mengisi data

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pernyataan standar akuntansi syariah, audit syariah, pengawasan syariah, Islamic

“Long Term Debt to Equity Ratio (LDER) atau rasio hutang jangka panjang terhadap modal merupakan rasio yang digunakan perusahaan untuk mengukur proporsi hutang