Tugas Konflik Budaya, Analisis
Konflik Sampit (Etnis Dayak dan
Etnis Madura)
ANALISIS KONFLIK SAMPIT
(Etnis Dayak dan Etnis Madura) Abstrak :
Keberagaman etnis yang ada di Indonesia menyebabkan munculnya suatu konflik, karena pada dasarnya setiap etnis memiliki aturan-aturan atau adat istiadat sendiri yang dibuat dari kesepakatan bersama kelompoknya. Kehidupan etnis yang sangat kental memiliki ciri kehidupan yang tradisional dimana mereka menjaga dan berusaha mengembangkan kebudayaan serta adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek
moyangnya, mereka cenderung memiliki sikap taat dan patuh serta menjunjung tinggi aturan, nilai dan norma yang ada, dalam mempertahankan identitas kelompoknya mereka rela berkorban agar identitas yang selama ini mereka jaga tidak mudah goyah dan luntur. Konflik konflik antar etnis biasanya terjadi akibat dari kurangnya rasa hormat dan menghargai kebudayaan, adat-istiadat atau suatu kebiasaan yang dilakukan oleh etnis lain. Dalam analisis ini akan dibahas mengenai
konflik yang terjadi antar kedua etnis dengan mengambil fokus perhatian pada konflik yang terjadi di daerah Sampit,
Kalimantan Tengah yaitu etnis Dayak dan etnis Madura. Dijelaskan bahwa ada rasa ketidaksenangan terhadap para transmigran etnis Madura yang ditempatkan di daerah
Kata Kunci: Kategori konflik, konflik dari segi sistem budaya, penanggulangan konflik.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah disebabkan karena adanya rasa ketidaksenangan masyarakat Dayak
terhadap suku Madura karena para transmigran yang berasal dari suku Madura membentuk sekitar 21% populasi di
Kalimantan Tengah. Sehingga apabila populasi ini banyak
didiami oleh penduduk suku Madura, maka hukum hukum baru akan berlaku dan suku Dayak merasa terdesak akan hal itu, selain itu Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan juga merupakan
penyebab dari konflik tersebut. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu, selanjutnya disebabkan karena lemahnya penegakan hukum, hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal akibatnya dalam mengatasi masalah masyarakat main hakim sendiri, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak
mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan
pemerintah telah menghilangkan atau mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.
berbondong-bondong menyerbu etnis Madura dengan
membakar rumah-rumah penduduk, membunuh tanpa melihat faktor usia. Para aparat keamanan yanga ada di Kalimantan Tengah tidak dapat menghentikan konflik tersebut, akibatnya korban banyak yang berjatuhan, penggalan kepala berserakan di pinggir jalan. Disebutkan bahwa dalam pertempuran tersebut terdapat kurang lebih 1000 orang tewas dalam pemenggalan kepala yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.
2. ANALISIS KONFLIK
Berbicara mengenai konflik sampit yang terjadi antara dua etnis yang berbeda, etnis pada dasarnya diartikan sebagai sekumpulan orang atau kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan menganut dan
mempertahankan kebudayaan, aturan-aturan sendiri, menggunakan bahasa sendiri. etnis tidak selalu berjalan
dengan baik, apalagi melihat banyaknya etnis-etnis yang ada di Indonesia, baik itu etnis melayu, etnis jawa, etnis madura, etnis dayak dan lain sebagainya. permasalahan-permasalahan dapat timbul di dalam etnis baik itu antar etnis yang berbeda maupun dalam anggota etnis itu sendiri.
Kelompok etnis dapat dikenal sebagai populasi yang mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam bentuk budaya itu sendiri, membentuk suatu jaringan komunikasi dan interaksi antar kelompok, membangun suatu tujuan bersama untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan menjadi lebih baik,
menentukan ciri-ciri dari kelompoknya sehingga dapat diterima oleh kelompok lain.
Dalam kehidupan atau pada kenyataannya, hubungan antar etnis tidak selalu berjalan dengan baik, tidak selalu bisa
masalah yang dianggap serius. Etnis yang hidupnya
berdampingan atau bertetangga dengan etnis lain dalam satu wilayah dapat menimbulkan suatu konflik, biasanya konflik ini berupa konflik yang berhubungan dengan aturan-aturan yang tidak dapat diterima oleh kelompok lain, kekuasaan dalam sebuah wilayah juga mempengaruhi adanya konflik, karena dalam sebuah wilayah yang terdapat dua etnis akan
menimbulkan suatu persaingan dalam berbagai bidang, adanya rasa ketidak adilan dalam hukum juga menjadi pemicu
terjadinya konflik. Seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, konflik yang terjadi antara dua etnis yang berbeda, yaitu etnis Dayak yang memang dikatakan sebagai etnis asli dari penduduk Kalimantan Tengah dengan etnis Madura yang dapat dikatakan sebagai migran.
Konflik yang terjadi antara dua etnis ini dapat dikatakan sebagai masalah sosial, sebab masalah sosial itu sendiri disebut sebagai suatu bentuk kesulitan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri sehingga masalah-masalah tersebut membutuhkan adanya pemecahan masalah. Apabila dalam masalah itu dibiarkan begitu saja maka muncullah yang namanya konflik, seperti kasus ini yang terjadi pada suku Dayak yang tidak menginginkan keberadaan etnis Madura, dalam diri etnis Dayak ada rasa ketidaksenangan yang timbul sebagai masalah sosial, ia merasa terganggu dengan adanya etnis Madura yang berbondong-bondong melakukan migrasi ke kota Sampit, Kalimantan Tengah. Etnis Dayak yang memang asli etnis tersebut merasa dirinya akan tersingkirkan dari tanah mereka sendiri.
Jika dilihat dari bentuk konfliknya, etnis Dayak dan etnis Madura dapat dikategorikan ke dalam kelompok masyarakat yang
disebut sebagai Gemeinschaft atau paguyuban. Dalam
aturan-aturan yang telah dibuat. Dimana dalam konflik ini mereka saling bekerjasama dalam mengahadapi perang dengan etnis Madura, begitupun dengan etnis Madura. Adanya rasa
kekecewaan dan tidak terima jika salah satu anggota kelompoknya disakiti dan dibunuh. Dalam kehidupan
mengelompok ini biasanya, akan terjadi politik balas dendam dimana anggota-anggota lain akan membalas perbuatan yang telah dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh etnis Dayak, jika salah satu anggota mati maka etnis-etnis Dayak yang berada di pedalaman akan keluar secara berbondong-bondong untuk kembali membalas dan menghabisi dari yang telah dilakukan. Akibatnya konflik tidak akan terselesaikan hingga salah satu diantara dua etnis tersebut kalah dan terkikis dari tanah Sampit, Kalimantan Tengah.
Menurut Roni Nitibaskara kekerasan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
1. Kekerasan kolektif primitif yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok individu yang tidak bersifat secara politis dan luas lingkupnya terbatas pada komunitas lokal saja. Tindakan kekerasan yang terjadi dalam kategori ini adalah keributan (brawl), kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok pengaman masyarakat (vigilante group), kekerasan dalam bentuk main hakim sendiri oleh kelompok masyarakat, interaksi saling membenci antar kelompok yang berbeda.
2. Kekerasan kolektif reaksioner, dalam kekerasan cirinya adalah dilakukan oleh sekelompok kecil warga masyarakat yang melakukan potes secara kekerasan terhadap cara-cara
pemegang kekuasaan melakukan tugasnya.
3. Kekerasan kolektif modern, biasanya mempunyai tujuan jelas dan di organisasi untuk tujuan politik dan ekonomi.
mereka, perasaan saling membenci antar agama, adanya keributan, sehingga dalam penyelesaiannya mereka
menggunakan kekerasan untuk mengikis habis etnis Madura dari tanah mereka atau bisa disebut sebagai budaya main hakim sendiri.
Menurut Max Weber (dikutip oleh Robert Alexander) adanya pengelompokan pendatang dan penduduk setempat membawa implikasi pada interaksi kebudayaan yang dapat menimbulkan tiga hal :
1. Pengaruh yang dipaksakan untuk mencapai perubahan secara cepat akan menyebabkan ketidakmampuan melakukan perubahan karena harus mengubah adat-istiadat, kebiasaan dan gaya hidup (life style) yang sudah dibudayakan sejak kecil.
2. Pengaruh yang dipaksakan tanpa mengharap perubahan yang cepat, akan menimbulkan prasangka terhadap pihak luar yang seolah-olah enggan membagi kesejahteraan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka.
3. Pengaruh yang tidak dipaksakan tapi diadopsi ke dalam kehidupan atas kehendak mereka sendiri, akan menyebabkan penolakan terhadap semua pengaruh dari asing.
Hal ini dapat dilihat dari pengelompokan atau pembentukan berdasarkan latar belakang etnis dan budaya. Seperti
pembentukan yang dilakukan oleh para transmigran di Sampit, Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh etnis Madura sekitar 21% populasi. Dimana mereka bergabung dalam satu populasi membentuk satu tujuan yang sama. Dalam kehidupan
mengelompok ini biasanya sulit sekali untuk berinteraksi dengan lingkungannya, hal ini disebabkan karena sulitnya menerima kebiasaan-kebiasaan baru dan terlalu
mempertahankan tradisi kebudayaan sendiri.
kebutuhan ekonominya tersebut dapat terpenuhi. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh orang-orang Madura yang
melakukan transmigran menuju kota Sampit, Kalimantan Tengah, sumber daya yang cukup memadai membuat etnis Madura banyak berdatangan ke tanah tersebut.
Kemudian apabila dilihat dari segi budayanya, suku Dayak memiliki ciri-ciri kebudayaan yang primordial, dimana dalam hidupnya ia berorientasi pada dirinya sendiri. Mereka percaya bahwa dengan adanya hutan dan rawa terdapat dua
masyarakat yang hidup di dalamnya yaitu masyarakat hidup dan roh-roh manusia yang telah meninggal. Keduanya ini saling berhubungan setiap harinya melalui adat dan tradisi yang
mereka lakukan. Ketika adat dan tradisi itu dirusak oleh etnis-etnis lain maka mereka tidak segan-segan untuk
membunuhnya. Jadi suku Dayak disini, masih cenderung
bersifat tradisional, kepercayaan terhadap roh-roh halus masih sangat kental dan berusaha untuk menjaga serta
menghormatinya. Sementara kebudayaan etnis Madura
memiliki ciri kebudayaan keluar, mereka menganggap bahwa lahan hidup mereka tidak terbatas hanya di pulau Madura saja tetapi juga terdapat di luar pulau, sehingga perpindahanlah yang mereka lakukan untuk mencari sumber kehidupan.
Sehingga dari perbedaan budaya yang mereka memiliki akan menimbulkan pergesekan-pergesekan budaya yang dapat
memunculkan adanya sebuah konflik, baik itu konflik yang pada mulanya bersifat tertutup hingga terbuka, yang bisa
berdampak pada kehidupan kedua etnis tersebut.
etnis Dayak yang masih berada di pedalaman memiliki latar belakang pendidikan yang sangat minim, sehingga
penguasaan-penguasaan yang terjadi di wilayah Sampit dengan sangat mudah dikuasai oleh orang-orang Asing.
Jika dilihat dari perspektif teori konflik menurut Ralf Dahrendrof, dimana ia mengemukakan teori konflik sebagai teori konflik dialektik. Bagi Dahrendrof, masyarakat mempunyai dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami konflik jika sebelumnya tidak ada konsensus. Seperti etnis Dayak dan etnis Madura tidak akan mengalami atau terlibat konflik, jika mereka tidak pernah mengenal satu sama lain dan hidup bersama. Demikian sebaliknya, konflik bisa
mengantarkan orang kepada konsensus. Dalam fungsionalisme struktural ia juga mengatakan bahwa keseimbangan dan
kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan dalam teori-teori konflik, kestabilan atau keseimbangan terjadi karena
paksaan. Hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada
beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga kestabilan bisa dicapai.
Sedangkan dalam interaksionisme simbolik aksi dan interaksi yang dibuat oleh Mead tentang covert behavior atau tingkah laku yang tersembunyi dan overt behavior atau tingkah laku yang terbuka atau terang-terangan. Covert behavior adalah proses berfikir yang melibatkan arti dan simbol-simbol.
Sedangkan overt behavior adalah tingkah laku aktual yang dilakukan oleh seorang aktor. Ada beberapa overt behavior yang tidak selalu melibatkan covert behavior. Artinya, ada tingkah laku yang tidak didahului oleh proses berpikir. Covert behavior menjadi pokok perhatian dari interaksionisme simbolik sedangkan overt behavior menjadi pokok perhatian dari teori pertukaran.
adalah sebuah tindakan dimana seseorang bertindak dengan selalu mempertimbangkan orang lain dalam pikirannya.
Dengan kata lain, dalam bertindak manusia selalu mngukur dampak atau impaknya untuk orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Sekalipun ada manusia yang bertindak tanpa berpikir namun manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan sosial yakni tindakan yang terarah atau yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang-orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang lain
menginterpretasikan simbol-simbol itu dan mengarahkan
tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi. Dalam interaksi yang terjadi
antara etnis Dayak dan etnis Madura terdapat adanya interaksi yang kurang baik, adanya pemaknaan simbol-simbol yang
berbeda, dimana etnis Dayak memiliki anggapan kurang baik terhadap etnis Madura, begitupun sebaliknya sehingga
anggapan-anggapan negatif tersebut dapat memicu adanya konflik. Dalam teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk pada karya Mac Iver, Znaniecky dan Parsons
1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
Lebih jauh lagi jika dilihat dari tipe tindakan sosialnya Weber dalam paradigma definisi sosial. Dimana dalam teori ini
dimaksudkan bahwa tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Weber juga mengemukakan lima ciri pokok penelitian sosiologi yaitu
1. Tindakan manusia, yang menurut sia ktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain.
Selain daripada ciri-ciri tersebut tindakan sosial juga memiliki ciri-ciri lain dimana tindakan sosial juga dapat dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. Apabila dilihat dari segi sasarannya, konflik yang terjadi di Sampit merupakan konflik atau tindakan yang diarahkan kepada beberapa individu atau masyarakat, dimana anggota-anggota kelompok saling melakukan aksi bunuh-membunuh untuk mencapai tujuannya.
sosialisasi , misalnya mempunyai hubungan dengan tingkatan analisa ini. Menurut dia, sosialisasi terjadi ketika nilai-nilai yang dihayati bersama dalam masyarakat dinetralisir oleh anggota-anggota masyarakat itu. Dalam hal ini, anggota-anggota-anggota-anggota suatu masyarakat membuat nilai-nilai masyarakat menjadi nilai-nilai sendiri. Sosialisasi itu sendiri mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mepertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat. Kedua etnis antara Dayak dan Madura dalam sistem budayanya, mereka masih saling memegang teguh aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh
anggota kelompoknya, dimana etnis Dayak dengan kehidupan dan kebudayaan yang sangat kental, menjaga dan melestarikan kebudayaan dan adat istiadat. Sistem Parsons berikutnya yaitu sistem sosial. Kesatuan yang paling mendasar dalam analisa ini adalah interaksi berdasarkan peran. Menurut Talcott Parsons, sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas dengan antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok, institusi-institusi,
masyarkat-masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional.
Dalam menangani kasus tersebut, Coser dalam teorinya yang disebut sebagai Katup Penyelamat. Dimana ia menjelaskan bahwa, katup penyelamat merupakan suatu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu
membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Di sini, katup penyelamat digunakan untuk mengungkapkan rasa tidak puas karena keberadaan etnis Madura serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Katup penyelamat menyediakan sarana lewat pihak yang berkonflik yaitu dengan mengungkapkan
keluhan mereka kepada sebuah lembaga. Dengan cara tersebut memungkinkan terhindar dari konflik atau main hakim sendiri.
Konflik antara etnis Sampit dan Etnis Madura merupakan konflik yang didasari dari ketidaknyamanan etnis Dayak akibat dari adanya para transmigran dari Madura yang oleh pemerintah ditempatkan di pedalaman seperti hutan, hal ini mengakibatkan keberadaan etnis Dayak terganggu, kebijakan-kebijakan
pemerintah juga menjadi pemicu konflik tersebut, yaitu
mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat, oleh karena itu teori konflik dari beberapa tokoh dalam sosiologi seperti Talcott Parsons dengan teorinya sistem budaya, Ralf Dahrendrof yang menyebut konflik sebagai konflik dialektif, dimana manusia memiliki dua wajah yaitu konflik dan
konsensus dan Max Weber dengan tindakan sosialnya yang dapat digunakan dalam analisis ini.
SARAN
KONFLIK ANTAR AGAMA DI
LAMPUNG SELATAN
Konflik berdarah terjadi di Lampung Selatan. Sebanyak 14 orang tewas dalam bentrok yang terjadi dalam kurun waktu tiga hari antara warga Desa Agom, Kecamatan
Kalianda dengan warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji.
Perang antar warga itu pertama kali terjadi Sabtu, 27 Oktober 2012, pukul 23.00 WIB. Berbagai senjata tajam, termasuk senjata api rakitan digunakan untuk menyerang satu sama lain.
Bentrokan itu bermula ketika dua orang gadis asal Desa Agom yang tengah
mengendarai sepeda motor diganggu oleh pemuda asal Desa Balinuraga hingga jatuh dan luka-luka.
Kepala Desa Agom dan Balinuraga sebetulnya telah mengadakan perjanjian damai atas kejadian tersebut. Namun, keluarga kedua gadis tidak terima. Mereka lantas
mendatangi Desa Balinuraga untuk menemui pemuda yang mengganggu itu.
Namun, saat tiba di Desa Balinuraga, keluarga dan beberapa warga Desa Agom langsung diserang dengan senjata api. Akibatnya, satu orang tewas tertembus timah panas.
senjata tajam. Tak hanya menelan korban jiwa yang lebih banyak, bentrok kali ini menghanguskan 6 rumah.
Polisi langsung berupaya mendamaikan kedua kubu. Tokoh masyarakat dari kedua warga dipertemukan.
"Pihak kami telah melakukan upaya perdamaian sejak kemarin dengan menghadirkan para tokoh adat. Pembicaraan upaya perdamaian terus dilakukan hingga hari ini," ungkap Kapolres Lampung Selatan, AKBP Tatar Nugroho di Lampung.
Upaya perdamaian ini dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung. Selain itu, polisi juga langsung mendatangi kelompok-kelompok warga untuk memberikan imbauan damai. "Kami datangi kedua kampung agar warga tidak saling serang kembali," tutur Tatar.
Rupanya, pertemuan antar pemimpin kedua desa tidak berpengaruh. Aksi serang antar warga kembali terjadi, Senin, 29 Oktober 2012, pukul 14.00 WIB.
Sekitar 1.000 aparat kepolisian dan TNI sudah dikerahkan ke lokasi. Namun, warga yang jumlahnya ribuan itu, tak dapat ditangani hingga akhirnya warga berhasil masuk ke Desa Balinuraga melalui jalan perkebunan dan persawahan.
Dalam aksi penyerangan ini 7 orang tewas. Kebanyakan korban tewas tergeletak di areal perkebunan dan persawahan dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik. Setelah beberapa jam kemudian, warga penyerang meninggalkan Desa Balinuraga yang hancur lebur.
Total korban tewas sejak bentrok Sabtu hingga Selasa sebanyak 14 orang. Empat orang dari Desa Agom dan 10 orang dari Desa Balinuraga. Belasan orang lainnya mengalami luka-luka akibat senjata tajam.
Sebanyak 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa, 11 unit sepeda motor dibakar, 1 mobil minibus dan 2 mobil jeep dibakar, serta sebuah gedung sekolah juga dibakar massa.
Ribuan orang mengungsi
Kabid Humas Polda Lampung, AKBP Sulityaningsih, mengatakan, sebanyak 192 orang diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling. Ribuan lainnya mengungsi ke Mapolres Lampung Selatan.
Para pengungsi tersebut kebanyakan perempuan, orangtua dan anak-anak. Mereka berduyun-duyun membawa bungkusan pakaian. Wajah-wajah mereka menunjukan rasa cemas, takut akan keselamatannya.
Mereka kemudian menggelar tikar di sekitar Mapolres. "Kami dengar ada serangan balasan, dan akan menyerang warga Kalianda juga, padahal jaraknya jauh dari lokasi bentrokan. Saya takut dan langsung mengungsi ke Mapolres ini," ujar seorang warga, Asih, sambil menggendong bayinya.
Selasa dinihari, 30 Oktober 2012, ratusan warga pria berjaga-jaga di jalanan Kota Kalianda. Dengan memegang berbagai senjata tajam seperti, tombak, parang, dan bambu runcing. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi isu adanya serangan balik dari Desa Balinuraga.
Isu serangan balasan itu berhembus sejak Senin malam, dan membuat seluruh warga Kota Kalianda yang juga ibukota Lampung Selatan, panik. Suara pengumuman agar seluruh warga waspada berkumandang dari pengeras suara di masjid-masjid.
Kondisi di lapangan tampak lengang. Sebagian warga tidak berani keluar untuk beraktivitas seperti biasa. Mereka memilih untuk tetap di dalam rumah. Sebagian lagi masih bertahan di lokasi pengungsian. "Keluarga masih kami ungsikan. Takut ada serangan balasan," kata seorang warga Desa Agom.
Persoalan sepele
Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo menyatakan, bentrok antarwarga yang terjadi di Lampung Selatan sesungguhnya berawal dari masalah sepele.
Timur mengatakan, akar persoalan dapat dirunut "mulai dari kelompok yang
"Masalah sepele ini mempengaruhi dan melatarbelakangi semua," kata Kapolri. Lalu masalah itu kemudian berkembang dengan isu pelecehan seksual, hingga terjadi bentrokan.
Oleh sebab itu Kapolri meminta tokoh-tokoh masyarakat Lampung, ulama setempat, dan pemerintah daerah, bisa ikut meredam bentrok antarwarga di Lampung.
Kapolri mengakui peristiwa bentrok antarwarga di Lampung Selatan bukan terjadi kali ini saja. "Ini sudah terjadi berkali-kali. Artinya kita harus lebih keras lagi, terutama dalam membina dan mengelola wilayah itu. Masyarakat, tokoh, ulama, dan pemda harus bersinergi," ujar Timur.
Oleh karena itu, Kapolri meminta kepala daerah berperan aktif dalam mengatasi konflik yang terjadi di Lampung Selatan. "Tentu saja kami akan kedepankan pemerintah
daerah. Kami akan tegas demi hukum," kata Timur.
Bukan hanya di Lampung, konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia juga harus diselesaikan secara bersama-sama. Penegak hukum dan pemerintah daerah. "Tentu saja ada ciri khas masing-masing daerah. Ciri khas itulah yang harus
dikedepankan masyarakat untuk tindakan preventif," kata Kapolri.
Instruksi Presiden SBY
Peristiwa berdarah itu langsung disikapi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum bertolak ke Inggris, untuk menghadiri pertemuan puncak The Asia-Europe Meeting (ASEM). Presiden meminta segenap pemangku kepentingan turut bertanggung jawab mengatasi aksi kekerasan horisontal yang terjadi di beberapa tempat di
Indonesia, termasuk di Lampung Selatan.
Dia minta tanggung jawab itu tidak hanya dibebankan kepada aparat kepolisian dan TNI tetapi juga pemangku kepentingan lainnya.
"Saya menyerukan semua pihak harus ikut bertanggung jawab, semua pihak peduli, semua pihak bekerja," kata SBY di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa 30 Oktober 2012.
sekali lagi, hanya menyerahkan kepada aparat kepolisian dan komando teritorial TNI. Hanya dengan cara itu kita bisa mencegah secara optimal dan efektif," kata SBY.
Pernyataan presiden itu kemudian diperjelas oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto. Djoko mengatakan, maksud presiden itu adalah agar seluruh pemangku kepentingan seperti kepala daerah, tokoh masyarakat dan masyarakat sipil ikut bersama-sama mencegah.
"Poinnya adalah jangan semua diserahkan kepada TNI dan Polri. Semua tokoh masyarakat, pemda, gubernur, bupati, itu juga ikut dalam konteks itu," kata Djoko.
Kini, ratusan anggota polisi dari Polda Lampung, Brimob Polda Banten dan Sumsel diterjunkan menuju lokasi. Sebanyak 700 anggota TNI juga dikerahkan untuk mengamankan lokasi bentrokan