• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI PEMIKIRAN dan DEMOKRASI Kebang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DESKRIPSI PEMIKIRAN dan DEMOKRASI Kebang"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI PEMIKIRAN DEMOKRASI K. H. ABDURRAHMAN WAHID

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan meluasnya partai-partai berhaluan Islam kesetiap tempat dengan gaya yang menarik perhatian banyak orang, dan didukung oleh bertambahnya kesadaran dunia terhadapppp masalah demokrasi setelah runtuhnya ideologi komunis, permasalahannya kemudian beralih pada hubungan antara islam dan demokrasi, yang ramai dibicarakan dalam berbagai pusat penelitian dan media masa. Akibatnya muncul pertemuan-pertemuan, yang menghujat corak nuansa Islam dan kaum muslim.

Para pengkaji dan peneliti barat dengan gencar melakukan penelitian dan pengkajian tentang masalah tersebut (hubungan antara Islam dan demokrasi). Mayoritas diantara mereka menyimpulkan adanya pertentangan tajam antara islam dan demokrasi.

Sebuah artikel yang dimuat Washington Post pada maret 1992, yang bertajuk “Islam dan demokrasi tidak pernah sejalan“, dalam artikel tersebut, Amwes Berlmouter, si penulis artikel, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Al-jazair tidak hanya menyangkut masalah demokrasi di dunia ketiga atau negara-negara Islam, sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang. Tetapi, masalah terpenting yang menyangkut apa yang terjadi di Aljazair adalah hakekat sikap Islam –yang diibaratkan oleh penulis artikel ini sebagai-“ menentang dan tidak memperoleh

demokrasi”.

Mereka dengan panjang lebar berbicara tentang sistem liberalisme dan Nasionalis untuk dijadikan sebagai acuan pedoman dalam tatanan negara.

Tetapi jika ada yang berbicara tentang sistem Islami, mereka menganggap sebagai sesuatu “yang tidak ada”. Bahkan kadang mereka menyebut sebagai sesuatu “yang konservatif”, dan pada saat yang lain mereka menyebutnya sebagai “sistem yang kejam”.1

Dari berbagai macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penyusun mencoba mengkaji Demokrasi yang ada relevansinya dengan ajaran agama Islam. Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan juga salah.

Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tersebut di atas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung azas-azas yang mengatur ibadah, akhlaq dan muamalah manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol yang membawa banyak nilai-nilai positif.2

Bagi kebanyakan orang Barat, konsep “demokrasi Islam “ merupakan sesuatuanatema.3 Sebagian orang tidak

memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama, politik, pluralisme, lain sebagainya. Tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk citra kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan demikian, tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu sendiri, tapi pada hakekatnya, penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.4

Demokrasi merupakan sebuah idiom yang oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai pilihan sistim politik, menuntut persyaratan bagi terwujudnya sebuah masyarakat madani (Civil Society).5

Dalam perspektif pengelolaan negara bangsa, dimana pluralisme sebagai bagian dari Sunatullah (Natural law), memerlukan negara dan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan dipenuhinya prasyarat the rule of law6). Maka, jika kualitas demokrasi baik, kualitas hukum akan baik, dan jika demokrasi bobrok, hukumnya pun

akan jelek. 7Dengan demikian demokrasi adalah suatu keharusan dan sudah berjalan. Sejelek-jeleknya demokrasi

tetapi masih lebih baik dari sistem politik yang lain. Ketangguhan demokrasi ada pada aspek rationalitas yang dapat dikritik dan diperdebatkan (rational discourse) dan adanya kontrol dari rakyat. 8

Perkembangan di dalam negeri selain dipengaruhi oleh mulai munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi namun dipengaruhi oleh gerakan pro-demokrasi di luar negeri. Runtuhnya rezim otoritarium komunis di negara-negara eropa timur pada awal tahun 1990-an, oleh gerakan pro demokrasi (dan civil society) merupakan faktor eksternal yang mendorong dimulainya babakan baru menuju masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia. 9

Demokratisasi yang sedang diagendakan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini masih menghadapi banyak tantangan.10 Belum terwujudnya stabilitas politik – yang krusial bagi pemulihan ekonomi-, serta elit politik dan

(2)

dilihat dari perkembangan berikut : konflik dan fragmentasi politik yang semakin meluas di kalangan elit politik ; parpol-parpol yang kian rentan konflik dan perpecahan ; serta aksi-aksi demonstrasi yang cenderung tergelincir menjadi anarkisme.11

Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan Demokrasi tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Seperti disinyalir oleh Huntington, kawasan ini disebut sebagai penganut sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara berkembang yaitu : negara feodal dan negara birokratis. Di dalam kedua corak sistem politik itu ditandai oleh adanya pemusatan kekuasan. Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya demokrasi pada negara yang sistem politik semacam itu kecil sekali. Pandangan pesimisme Huntington mengenai tumbuhnya demokratisasi bila diterapkan dalam konteks Indonesia bisa dimengerti, karena sistem politik Indonesia sebalum Era-Reformasi adalah Feodal danBirokratis. Kedua sistem nilai ini ( Feodal dan Birokratis ) merupakan faktor penghambat demokratisasi.12

Salah satu kesulitan muncul sebagai kiblat para akademis ( politik) kurang berminat untuk mendiskusikan, menulis, atau meneliti secara akademis persoalan yang berkaitan dengan proses demokratisasi. Kecenderungan yang tampak saat ini adalah mereka lebih tertarik berbicara sebagai pengamat ( agak mirip selebritis ) di berbagai media ( terutama media kaca ). Mereka dengan kemampuan seadanya dan tanpa didukung pengalaman empiris

( penelitian ) diminta dan berusaha menanggapai persoalan-persoalan politik praktis bersifat temporer. Akibatnya, terasa ada kekosongan pengetahuan tentang arah demokrasi dan demokratisasi.

Dalam suasana demikian ini, unsur –unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang telah sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).13

Di indonesia sendiri, demokrasi-demokratisasi bagi sebagian orang, dipersepsikan secara beragam. Sebagian memandang demokrasi sebagai suatu keniscayaan sejarah. Ada pula yang menolaknya lantaran konsep demokrasi berbau barat (western terminology). Ada pula kelompok intelektual muslim moderat yang memposisikan diri dengan mencoba mensintesakan kedua kubu pemikiran tersebut. Dalam waktu bersamaan, ketika demokratisasi itu

diperjuangkan, fajar baru harapan muncul partisipasi publik atau masyarakat secara seimbang akan dapat diwujudkan. Dan tampaknya, sebuah masyarakat dengan nuansa emansipasi partisipatoris itulah menjadi obsesi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 14

Argumentasi penyusun memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang dikaji, karena keberaniannya, kekuatan, dan keyakinannya dalam mengemukakan pemikirannya tanpa ada rasa takut terhadap resiko yang akan dihadapi. K. H. Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid memang sangat sering memancing reaksi pro-kontra dan mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran ataupun perilakunya tak jarang yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat Islam. Ada yang memuji dan simpati , atau mencoba netral dan tak mau peduli, atau menyatakan terang-terangan ketidak senangan dan beroposisi terhadapnya.

Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan, bisa jadi kekontroversialnya muncul karena banyaknya kemampuan yang dimilikinya, atau mungkin juga ia memang memiliki karakter unik yang berbeda dari manusia kebanyakan.15 K. H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur yang menarik adalah watak liberal

yang melekat pada sosok Gus Dur selama ini ternyata masih ada walaupun ia berposisi sebagai decision

maker( membuat keputusan), bahkan mungkin orang yang paling penting tidak hanya bagi satu kelompok, tapi bagi banyak kelompok yang tentunya jauh lebih beragam, mulai dari tingkat tradisional sampai internasional dapat beradaptasi dengan baik.

Terlepas dari persoalan di atas, keunikannya justru merangsang banyak orang untuk melakukan segala penafsiran tentang orisinalitas pemikiran Gus Dur. Namun, dari sekian banyaknya tafsiran, penjelasan dan eksplorasi tentang Gus Dur tidak kemudian bisa dikatakan sebagai kesimpulan akhir tentang pemikiran Gus Dur.16

Mengenai penyusun memberikan batasan waktu terhadap kajian pemikiran K. H .Abdurrahman Wahid , yaitu mulai tahun 1999-2003. karena setelah habis masa jabatan K. H .Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, secara mengejutkan K. H .Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam masa cukup singkat kekuasaanya itu, K. H .Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum minoritas. K. H .Abdurrahman Wahid selama berkuasa menjadi Presiden telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi Presiden banyak sekali sumbangan K. H .Abdurrahman Wahid bagi bangsa. Bahkan, proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi (konflik dengan parlementer) menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.17

Setelah lepas jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid masih tetap gigih

(3)

yang diperjuangkan K.H. Abdurrahman Wahid, bukanlah demokrasi ala barat maupun timur, melainkan demokrasi yang memang bersumber dari martabat kemanusiaan, berupa nilai-nilai moralitas, intelektualitas, religiusitas dan hati nurani yang bersifat fithriah.18

B. Pokok Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan yang layak dikaji,yaitu : 1. Bagaimana pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.

2. Analisis terhadap pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.

C. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah : 1.Tujuan

1. Untuk menjelaskan bagaimana konsep demokrasi menurut K.H. Abdurrahman Wahid.

b. Untuk melihat manuver politik K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999- 2003. 2. Kegunaan

1. Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pemikiran Islam khususnya yang menyangkut tentang demokrasi.

2. Untuk memberikan kontribusi kepada penyusunan lebih lanjut, terutama yang berminat dibidang politik Islam.

D.Telaah Pustaka

Penyusun mencoba mengkaji dan menyajikan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid utamanya dalam perjuangannya yang gigih dalam menegakkan demokrasi. Memang sudah cukup banyak buku-buku atau tulisan yang membedah tentang pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid , diantaranya :

Buku Gus Dur NU dan masyarakat sipil, di dalam buku ini berisi tujuh artikel yang ditulis oleh orang dalam dan luar negeri. Di dalam buku ini ada satu artikel yang menulis tentang pembahasan K. H. Abdurrahman Wahid yaitu: “Pemahaman K. H. Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era pasca asas tunggal”, ditulis oleh : Douglas E. Ramage, Ph. D. Tulisan ini disusun untuk keperluan yang khas :mengkaji pikiran-pikiran dan perilaku politik pemimpin NU K. H. Abdurrahman Wahid berkenaan dengan pancasila. Menurut pendapat K. H. Abdurrahman Wahid, pancasila adalah serangkain prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan.19 Namun dalam tulisan ini tidak mencakup seluruh keberadaan

NU, terlebih lagi tentang politik Islam di Indonesia, serta tidak ada tulisan yang membahas tentang demokrasi dalam Islam. Sebagai editor buku ini adalah Ellyasa K. H. Dharwis.

Selanjutnya buku Tuhan tidak perlu dibela Abdurrahman Wahid di dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diambil dari majalah Tempo dasa warsa 1970-an dan 1980-an. Didalam buku ini terdiri atas tiga bagian . Bagian pertama, Refleksi kritis pemikiran Islam, Bagian kedua, intensitas kebangsaan dan kebudayaan , dan Bagian ketiga, Demokrasi ideologi dan pengalaman politik luar negeri. Disini Gus Dur menggambarkan bagaimana paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan ideologi antar kelompok dalam konteks kebangsaan Indonesia. Akan tetapi pada bab ketiga kurang memaparkan pengalaman demokrasi di dalam negeri (Indonesia), dan pemikiran-pemikiran demokrasi yang dikembangkan dari ajaran agama Islam, inilah yang menjadi konsern dan konsistensi yang tinggi oleh K. H. Abdurrahman Wahid dalam mensikapi, mengarahkan, dan sekaligus menjadi basis pemikiran kehidupan negara bangsa Indonesia.. Diterbitkan oleh LkiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford foundation.

Selanjutnya buku PKB jendela politik Gus Dur di dalam buku ini membahas bagaimana warga NU membangun suatu partai yang telah di deklarasikan pada 23 juli 1998 di kediaman Gus Dur Ciganjur, Jakarta. Dengan di beri nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah poilitik warga NU untuk berperan secara optimal. Karena selama pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik warga NU selalu di kebiri dan di pinggirkan secara sistematik. Maka kehadiran PKB ditingkat perpolitikan nasional sungguh merupakan kajian yang menarik, apalagi dikaitkan dengan tokoh sentralnya, Gus Dur, yang pada tutup tahun 1998 menyajikan “akrobat” politik yang benar-benar menakjubkan. Buku ini disusun oleh Asmawi atas dorongan dan prakarsa Fauzi Rahman, selaku direktur utama penerbit Titian Ilahi Press.

(4)

Dur) dan Amien Rais, bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pemikiran yang berbeda. Di dalam buku ini berisi kumpulan artikel tentang demokrasi dan politik. Terdapat dua artikel yang membahas tentang K. H Abdurrahman Wahid, yaitu :

1. Gus Dur dan perbedaan politik umatdi tulis oleh Muhammad AS Hikam. Di dalam tulisan ini ada tiga kepedulian utama pemikiran politik K. H. Abdurrahman Wahid, yaitu :

a. Revitalisasi khasanah Islam tradisional Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya kurang di pahami dan dikembangkan oleh NU.

b. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas.

c. pencarian jawaban atas persoalan konkrit yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia.20)

2. “Islam pluralisme dan demokratisasi” di tulis oleh K. H. Abdurrahman Wahid, menulis tentang perkembangan hubungan Islam dan sistem kekuasaan yang menunjukkan gambaran menarik pada dua puluh lima tahun pertama di masa orde baru. Selama kurun waktu itu, telah terjadi perkembangan gerakan Islam yang berlawanan arah akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu pihak, dapat disaksikan bahwa sebagai kekuatan politik formal, Islam telah berhasil di gusur dari panggung politik oleh

kebijakan dealiranisasi atau dekonfessionalisasi yang dilakukan pemerintah, sedangkan di pihak lain, kekuatan politik informal Islam berkembang dengan baik.21 Sebagai penyunting buku ini adalah Arief Afandi.

Buku membaca pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi di tulis oleh Umaruddin Masdar. Buku ini mengkategorisasikan sebagai upaya rekonsiliasi peradabanIslam barat menyangkut gagasan demokrasi. Penelitian buku ini berusaha menemukan titik temu dan merunut kompatibilitas Islam dan demokrasi. Melalui usaha elaboratif metodologi us}u>l fiqh, titik temu atau kompatibilitas itu akan dijadikan konteks diskursus intelektual Sunni vis a vis pemikiran politik Syi’i, dengan menjadikan pemikiran Amien Rais dan K. H. Abdurrahman Wahid sebagai obyek sentral penelitian.

Di dalam buku ini tidak membahas keberhasilan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid dalam membuktikan vitalitas dan telah mampu merubah kultur Islam tradisional dalam wacana dan kiprah modernitas. Karena pemikiran dan strategi pemberdayaan demokrasi yang diperjuangkan K. H. Abdurrahman Wahid terjadi banyak tantangan. Tantangan dan hambatan baik dari NU sendiri maupun dari kelompok di luarnya, termasuk negara, senantiasa muncul.

Selanjutnya buku Demokratisasi dan prospek hukum Islam di Indonesia studi atas pemikiran Gus Dur, ditulis oleh Abdul Ghofur, M.Ag, diterbitkan atas kerjasama Walisongo Press dengan pustaka pelajar. Buku ini di tulis oleh saudara Abdul Ghofur, yang merupakan hasil kerja kerasnya dalam menyelesaikan Tesis S.2 di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Buku ini mecoba memotret dan menyajikan pemikiran Gus Dur utamanya dalam perjuangannya yang gigih melakukan demokratisasi dan substansi hukum Islam. Di dalam buku ini menulis pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi, yaitu : pemikiran ke Islaman dan gagasan Demokratisasi K. H. Abdurrahman Wahid. Di dalam bab ini terdapat tiga kelompok dari empat tokoh, antara lain :

1. Greg Barton, 2. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 3. AS Hikam. Dari ketiga kelompok tersebut mengemukakan pendapatnya pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid seorang intelektual dan agamawan di kalangan tradisional Ahlussunnah Waljama’ah yang lebih mengedepankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual dan mencoba memadukan pemikiran khazanah pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat modern.

Di dalam bab ini K. H. Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam

tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidah-kaidah hukum (Qawa>id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat. Akan tetapi di dalam buku ini tidak ada dalil Al-Qur’an/Nash sebagai dasar demokrasi dalam Islam, dan di dalam buku ini tidak mengkaji tentang analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.

Dan juga masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas pemikiran

K. H. Abdurrahman Wahid, baik berupa buku, artikel, dan lain-lain. Dari berbagai karya tentang K. H.

Abdurrahman Wahid, sepanjang pelacakan data yang dilakukan penyusun, belum ada satu karya yang secara khusus membahas dan mengungkapkan secara jelas tentang pemikiran deskriptif K. H. Abdurrahman Wahid mulai tahun, dengan analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan demokratisasi.

E. Kerangka Teoritik

(5)

Definisi Demokrasi oleh Lincoln, yaitu pemerintahan rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Makna, tanpa diragukan lagi, telah tercakup dalam sistem pemerintahan Islam, kecuali bahwa pengertian istilah masyarakat harus dipahami secara tertentu dan menyeluruh.23

Sistem kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad S. A. W. ). Praktek adalah praktek yang

dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah Islam. Nas} (Al-Qur’an) yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan sistim pemerintahan/kenegaraan. Diantaranya adalah :

Dari ketiga ayat tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip :

1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat ( umat)

2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan Musyawarah ( Syu>ra)

3. Kepala pemerintahan adalah Imam atau khalifah, yaitu pelaksana Syari’ah (ajaran Islam). 4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).27

Imam Razi berkata saat menafsirkan ayat Al-Qur’an

مكنمرمل اىلو او لوسرل ا اوعيط او ل ا اوعيط ا اونم ا ني ذل ا اهياي

28

Perintah Allah S. W. T untuk taat disini bersifat pasti. Dan siapa yang diperintahkan untuk ditaati haruslah sosok yang ma's}um, sehingga perintah Allah itu tidak membawa pada perbuatan yang salah dan mengikuti kesalahan itu. Kemudian dia mengatakan bahwa sosok yang maksum itu tidak dapat dicerminkan seorang individu atau sebagian umat, namun merupakan bentuk kolektif umat itu, yang terwakilkan dalam diri ahli ijtihad.

Firman Allah Surat An-Nisa’ (4) : 59 dapat dijadikan dalil atas validitas Ijma’ sebagai sumber hukum. Disimpulkan dari situ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri itu adalah ahlul halli wal aqdi, dari ulama’ umat yang mampu berijtihad dan menyimpulkan hukum, jika mereka bersepakat dalam sesuatu.29

Muhammad Abduh menyamakan Ahl al-Hall Wa al-‘aqd dengan ulil Amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 59. Ia menafsirkan Ulil Amri atau Ahl al-Hall Wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat.30Ahl al-Hall Wa al-‘aqd lembaga yang paling dikenal sebagai

pelaksana syura.Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan secara eksplisit ditegaskan oleh Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) : 38.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai sekedar salah satu elemen demokrasi dan sesuai pula dengan kenyataan bahwa Islam menetapkan syu>ra baru dalam bentuk prinsip umum yang penjabarannya diserahkan kepada umat pada setiap masa dan tempat, maka semata-mata Syura tidak dapat menjamin tegaknya kehidupan yang

demokratis. Syu>raakan berhasil jika memang tersedia situasi dan kondisi yang kondusif, yakni ketika elemen-elemen demokrasi yang lain seperti kesetaraan, pertanggungjawaban, keadilan dan kebebasan benar-benar telah tegak dalam masyarakat. Tanpa tersedianya situasi dan kondisi semacam itu, mustahil untuk mengharapkan berlangsungnya Syu>ra dengan demokratis.31

Menurut Hasan al-Turabi : Sebagian orang mengartikulasikan demokrasi semuanya dan bukan didasarkan pada hakekat maknanya secara gramatikal-yakni pemerintahan oleh rakyat-bahkan juga bukan bagaimana demokrasi diartikan di barat. Sepanjang sejarah perjalanannya di barat, kata demokrasi dikaitkan erat dengan sekularisme dan hal itu tentu saja bertentangan dengan sifat gerakan Islam. Dengan politik yang amoral demokrasi tentu saja menjadi sesuatu yang ditentang. Sama sekali jauh dari sifat-sifat agama.32

Tujuan demokrasi dalam Islam adalah menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan penguasa yang sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Tiran. Karena maksud dari demokrasi ialah

pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang jika di Istilahkan menurut Islam : Jika mereka kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau menerima nasehat dan peringatan.33

Islam adalah agama yang mengajak kepada keadilan, melawan penindasan, menolak eksploitasi dan manipulasi serta membebaskan manusia dari praktek-praktek ekonomi dan politik tidak bermoral. Substansi ditegakkannya nilai dan praktek demokrasi adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum. Dan ini secara nyata tercermin dan dipraktekkan oleh Nabi dan al-khulafa ar-Rasyidun pada masa awal Islam.34

(6)

embel-embel ideologi tertentu. Apa yang diajarkan Nabi dalam praktek negara Madinah menunjukkan adanya kehidupan Demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.35

Menurut K. H. Abdurrahman Wahid , landasan demokrasi adalah keadilan dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang dan berarti juga kemandirian untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Intinya demokrasi menuntut adanya otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak mengakui adanya kemutlakan, sebab dasarnya demokrasi merupakan proses tawar-menawar dan negosiasi secara terus-menerus. Dengan demikian demokrasi selalu menyisakan hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan. Dalam konteks ini K.H. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan sekali jadi, tapi butuh waktu yang panjang dan kesabaran yang tinggi disamping juga keseriusan.36

Melalui pendekatan sejarah berkembangnya pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid pada waktu terbentuknya forum demokrasi. Forum demokrasi terbentuk setelah terjadinya peristiwa Tabloid Monitor dan didirikannya ICMI. Pada bulan oktober 1990 terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa telah terjadi peralihan serius dalam kebijakan rezim yang berkuasa terhadap Islam. Hal ini berkaitan dengan Tabloid pop Monitor. Tabloid ini mempunyai hubungan dengan harian Kompas dan the Jakarta post lewat penopang-penopangnya, yang merupakan orang-orang Cina Katolik.37

Munculnya ICMI dengan dukungan penuh Presiden Soeharto membuat khawatir K.H. Abdurrahman Wahid dan yang lain-lainnya, seperti Djohan Effendi, yang merasa bahwa Soeharto berencana menggunakan santri konservatif untuk mendukungnya dalam usahanya agar terpilih kembali sebagai Presiden. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini akan mendorong tumbuhnya sentimen sektarian dan dengan demikian akan dimainkan oleh kaum konservatif.

K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah teman yang sepaham dengannya merasa prihatin dengan meningkatnya arus sektarianisme atau aliran. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membentuk suatu organisasi untuk membela pluralisme dan demokrasi. Pada awal 1991, empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai kelompok agama dan masyarakat di Indonesia mendirikan Forum demokrasi. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi ketua dan juru bicara forum ini. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur akan membuat organisasi baru ini mendapatkan kepercayaan publik. Forum demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap lembaga-lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarian.38

Elaborasi demokrasi menurut K.H. Abdurrahman Wahid berangkat dari paradigma kontekstualisasi pemikiran Fiqh dan Qawa>id Al-Fiqh. K.H. Abdurrahman Wahid secara tegas dan siap memperlihatkan perhatiannya yang tinggi terhadap perubahan dan persoalan-persoalan masyarakat modern, termasuk masalah demokrasi dan hak asasi manusia. K.H. Abdurrahman Wahid menerima terhadap gagasan demokrasi modern dengan

sendirinya legitimasi secara Fiqh.39

Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, yang mengelompokkan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Neo-Modernisme. Pola pemikirannya mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergaulan modernisme dan hal ini tidak harus dengan menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang mendasari pemikiran ini adalah :

حلالا دي دجلاب ذالاو حلاصل ا مي دقلا ىل ةظففامملا

40

Mengisi proses perubahan pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu agenda krusial yang belum terselenggara adalah melakukan penataan ulang hubungan sipil militer dalam kerangka demokrasi yakni

membangun sebuah sistem politik yang menempatkan posisi militer dalam kerangka demokrasi, dengan meminjam Huntington (1957) sebagai militer profesional yang dikontrol secara obyektif oleh supremasi sipil. Sebagaimana pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi ternyata juga diikuti demilitereisasi. Biasanya, salah satu problem serius negara-negara demokrasi baru itu adalah membendung kekuasaan dan pengaruh politik militer, memposisikan militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis, lalu mejadikan angkatan bersenjata suatu badan profesional berkomitmen melindungi keamanan negeri.41

Strategi dalam istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua sumber daya yang tersedia yang dimiliki oleh suatu negeri untuk mecapai tujuannya dengan cara militer. Jika terjadi pertentangan kepentingan, pertentangan tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai, tetapi jika pada pihak lain, kemungkinan untuk mencapai

pemecahan yang tersisa adalah tindakan militer tetapi banyak faktor yang ikut mempengaruhinya secara langsung ataupun tidak langsung.42

Menilai kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai komandan militer. Nabi Muhammad SAW memiliki banyak sifat yang membuatnya disukai oleh setiap orang yang berhubungan dengannya dan yang membuatnya menjadi pujaan para pengikutnya. Beliau sangat ramah, sopan, rendah hati dan penyayang dan menarik hati orang-orang sehingga mereka bersedia untuk mengorbankan segalanya untuknya.43

(7)

Tujuan utamanya melakukan peperangan adalah untuk menghapuskan agresi dan penindasan dan memulihkan perdamaian di muka bumi. Qur’an menyebutkan prinsip ini dengan kata-kata berikut :

عيمسل اوه هن ا ل ا ىل لكوتو اهل حنج اف ملسلل اومنج ن او

Menurut Huntington, pemberlakuan prinsip supremasi sipil identik dengan kontrol yang efektif dari pihak sipil terhadap militer dengan membuat militer sebagai lembaga yang profesional.45 karenanya, dari sekarang

sebenarnya telah dituntut kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri Indonesia. Perjuangan itu haruslah di mulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah.46

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dalam melacak data, menjelaskan, menyimpulkan obyek pembahasan dalam skripsi ini penyusun menempuh metode-metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, library research, karena itu tehnik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literatur yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek bahasan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu dengan memaparkan pemikiran-pemikiran demokrasi dalam Islam kajian terhadap K. H. Abdurrahman Wahid yang nantinya dilakukan analisis dengan kerangka teori.

3. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini,adalah : Pendekatan normatif (Agama)

Normatif adalah prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup (bermasyarakat).47Pedekatan ini penyusun gunakan untuk mendekati masalah dalam skripsi dengan melihat

Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kaidah-kaidah menguji relevansi dan keabsahan Demokrasi dalam Islam serta pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.

4. Pengumpulan Data

Mengingat jenis penelitian ini adalah metode dokumentasi, yakni menelaah data primer dan sekunder. Sedangkan tokoh yang dikaji masih hidup, maka tokoh tersebut diposisikan sebagai sumber data primer. Namun sumber data primer berupa tulisan beliau yang sudah dijadikan buku, yaitu karya buku Tuhan tidak perlu di bela Abdurrahman Wahiddan Prisma pemikiran Gus Dur Buku ini merupakan kumpulan tulisan K. H Abdurrahman Wahid yang di edit oleh Muhammad Sholeh Isre dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta. Data sekundernya adalah buku-buku yang berkaitan dengan topik skripsi dan sumber data lainnya baik berupa jurnal, majalah, surat kabar dan lainnya. 5. Analisis Data

Analisis yang digunakan dengan analisa kualitatif dengan pemaparan secara deduktif, yaitu metode yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, untuk kemudian diperoleh pengertian yang bersifat khusus.

G. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, maka akan dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab saling erat kaitannya.

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjadi landasan ide dasar lahirnya dari skripsi ini. Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya yang melatar belakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam Islam kajian terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah keilmuan yang telah ada. Dalam bab ini di paparkan mulai dari latar belakang masalah sampai munculnya pokok permasalahan, Tujuan dan Kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika pembahasan.

Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang gambaran umum tentang demokrasi dalam sebuah pemahaman yang meliputi : pengertian Demokrasi, sejarah demokrasi, beberapa konsep Demokrasi, serta relevansi demokrasi dengan Islam. Bab II akan menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud demokrasi dan bagaimana demokrasi di dalam Islam. Penjelasan ini penyusun anggap perlu sebab untuk mengetahui apa sesungguhnya demokrasi. Setelah itu, perlu pula dijelaskan bagaimana hubungan demokrasi dengan ajaran agama Islam.

Bab ketiga, membahas tentang Biografi K. H. Abdurrahman Wahid meliputi :

(8)

dahulu harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya. Dan mengetahui apa latar belakang pemikiran dan gagasan yang dilontarkan tersebut secara global.

Selanjutnya Bab keempat, berisi tentang analisis terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi yang meliputi : Aplikasi demokrasi menurut K. H. Abdurrahman Wahid, K. H. Abdurrahman Wahid dan transisi demokrasi,. K. H. Abdurrahman Wahid dan militer dan demokratisasi. Bab ini memperlihatkan manuver politik tentangdemokrasi menurut pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.

Bab terakhir yaitu Bab kelima, sebagai bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran. Dalam uraian kesimpulan tersebut berisi tentang pokok pikiran sebagai hasil refleksi panjang penyusun. Didalam kesimpulan akan membandingkan pemikiran demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid dengan pemikiran tokoh Islam yang lain. Apakah pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid identik dengan salah satu tokoh Islam yang lain.

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG DEMOKRASI

A.Pengertian Demokrasi

Dalam arti harfiahnya, demokrasi (Inggris : Democracy) berasal dari bahasa Yunani, yani demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan. Dengan demikian demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat.48Prinsip

terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan(citizenship). Ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama, dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggungjawab dan membuka akses terhadap seluruh rakyat. Sebaliknya, prinsip ini juga membebankan kewajiban pada rakyat, untuk menghormati keabsahan pilihan-pilihan yang bersama secara sengaja, dan hak penguasa untuk bertindak dengan kewenangan, untuk mendorong efektivitas pilihan-pilihan ini, serta untuk melindungi negara dari ancaman-ancaman atas kelangsungannya.49 Secara faktual demokrasi telah menjadi

semacam spirit radikal yang bercakupan universal bagi individu dan sekelompok individu yang bernaung dibawah institusi negara untuk terlibat dalam perdebatan dan pergulatan publik dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal yang terbentuknya tata sosial yang adil, egaliter dan manusiawi.50

Sementara itu secara terminologis demokrasi sebagai berikut :

a. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.

(9)

Secara teoritis, bahwa demokrasi sejak semula mempunyai dua pengertian, yaitu : demokrasi dalam arti formil dan demokrasi dalam arti materiil. Arti demokrasi secara materiil, ialah bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara. Arti demokrasi secara formil hanya sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat yang kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat (Volonto general : dari Rousseau), akan tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang. Pengertian demokrasi materiil yang kian lama memberikan pengaruh dalam pengertian demokrasi hingga dewasa ini. walaupun demokrasi dalam arti formil tidak ditinggalkan, namun demokrasi dalam arti materiil di pandang sesuai dengan tujuan demokrasi yang sebenar-benarnya.

Dalam peneterapannya, demokrasi itu direalisir dalam dua tahap, yaitu : menyusun kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan. Pada tahap petama, demokrasi itu mempunyai sifat langsung dan pada tahap kedua sifatnya tidak langsung. Yang langsung, ialah adanya pemberian suara oleh 80 rakyat dalam pemilihan umum, sedangkan yang tidak langsung dalam penyusunan kekuasaan itu, ialah adanya keharusan tanggungjawab pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerjasama diantara kedua instansi itu mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan pemerintah.52

Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Definisi yang tepat sulit dirumuskan karena demokrasi merupakan sebuah entitas dinamis yang memiliki berbagai macam pengertian sepanjang waktu. Banyak dari dinamika ini berasal dari perubahan dalam masyarakat dan berbagai analis mengenai konsekuensi perubahan bagi demokrasi. Dengan pembangunan masyarakat diberbagai tingkat dan melalui cara yang berbeda-beda dewasa ini, tidaklah mengherankan bahwa makna demokrasi masih menjadi bahan perdebatan.

Untuk keperluan analitis, perlu membangun sebuah konsep yang memberikan identifikasi yang jelas mengenai apakah esensi dari demokrasi. Inti dari demokrasi politik mempunyai tiga dimensi : kompetisi, partisipasi, serta kebebasan sipil dan politik. Ketika mengkaji status demokrasi disuatu negara, langkah pertama yang harus diambil adalah melihat ketiga elemen tersebut. Dalam konteks ini perlu diperhatikan salah satu indeks demokrasi-misalnya, indeks Freedom House. Dalam rangka membuat penafsiran demokrasi secara komprehensif, juga harus mengkaji suatu negara secara cermat karena sistem demokrasi sangat bervariasi dalam hal pola kelembagaan dan dalam dimensi lainnya. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi kualitas demokrasi.53

B. Sejarah Demokrasi

Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang lebih sering disebut demokrasi langsung. Sebab Yunani waktu itu hanya sebuah negara kecil atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil (city state). Dalam logika sederhana, pelaksanaan demokrasi dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu yang mudah diterima akal.54

Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan budaya sebuah bangsa kecil yang juga menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian

dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.

Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketika orang-orang Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat.55

Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia menyaksikan berbagai bentuk sistem politik yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah

adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa tidak berhutang budi sedikitpun pada konsep demokrasi.

Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan politiknya ditandai oleh adanya

perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M. Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman Renaissance.56) Di Eropa muncul teori

(10)

dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide negara kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.

Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (1650-1800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).

Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga negara.57

C. Beberapa Konsep Demokrasi

Diantara sekian banyak aliran yang menamakan demokrasi, penyusun akan menjelaskan tiga macam demokrasi, yaitu dua kelompok aliran demokrasi yang terkenal di dunia dan satu demokrasi perwakilan di Indonesia, yakni demokrasi Liberal atau konstitusional, demokrasi kerakyatan atau Sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan dirinya atas komunisme, dan demokrasi pancasila.

1. Demokrasi Liberal

Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang berdasarkan pada kebebasan atau individualistis. Ciri khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Dimana konstitusi tersebut menjamin hak-hak warga negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif di imbangi oleh kekuasaan legislatif (parlemen) dan kekuasaan Yudikatif (lembaga hukum Yudikatif).58

Perkembangan pemikiran mengenai demokrasi liberal telah dirangkum oleh C. B. Mac Pherson dalam tiga model : 1. Demokrasi Protektif.

2. Demokrasi pembangunan.

3. Demokrasi ekuilibrium (keseimbangan). 59

Dari ketiga model demokrasi diatas tidak dibahas secara rinci, namun akan membahas tentang pemikiran pendapat demokrasi liberal, yang bertujuan untuk mengetahui beberapa isu penting yang muncul dalam berbagai panggung pemikiran mengenai demokrasi.

Ciri-ciri demokrasi liberal menurut M. Carter dan John Herz adalah bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional pembahasan-pembahasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan kelompok dengan menyusun penggantian pemimpin secara berkala, tertib, damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. Dalam hal sikap, demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan serta kesediaan untuk bereksperimen.

Henry B. Mayo menyebutkan bahwa demokrasi adalah dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Disamping itu, menurutnya demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun sistem pemerintahan, tetapi merupakam suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.60

2. Demokrasi komunisme

Istilah komunisme mulai populer dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di Prancis. Revolusi menghendaki pemerintahan parlementer dengan menghapuskan raja, tetapi hasilnya adalah penghapusan republik dan

naiknya Louis Philippe sebagai raja. Sebagai akibatnya muncullah perkumpulan-perkumpulan revolusioner rahasia di Paris pada tahun-tahun tiga puluhan itu, terutama ditahun empat puluhan. Tidak dapat dikatakan dengan pasti bila sebenarnya istilah komunisme itu muncul, tetapi istilah ini dipergunakan terhadap perkumpulan-perkumpulan serta paham-paham yang dianutnya.

(11)

komunis (1847) dikalanganorang-orang Jerman yang hidup dalam buangan diluar negeri (Paris); Manifesto Komunis merupakan garis pedoman liga itu.61

Tipe dari demokrasi Komunisme ini yakni demokrasi Proletar, Marxis Komunisme atau demokrasi Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain : Robert Awen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Faurier (1772-1837) di Perancis dan yang terpenting adalah Karl Marx (1825-1883). Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia dibebaskan dari keterikatan kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan pakasaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuataan yaitu perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan Borjuis (pemilik modal).62

3. Demokrasi pancasila

Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Demokrasi Pancasila, sebab Undang-Undang Dasar 1945 merupakan penjabaran dan perwujudan dari pancasila sebagai dasar falsafah negara. Istilah Demokrasi Pancasila secara formal pertama kali tertuang dalam TAP MPRS. NO.

XXXVII/MPRS/1968 yaitu ketetapan tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila.

Maksud dari pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila, didalamnya berisi pedoman, tata cara bermusyawarah dan cara pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dan atau berdasar suara terbanyak, jadi belum menggambarkan pengertian yang utuh, bulat tentang sistem pemerintahan berdasar Demokrasi Pancasila, atau hakikat Demokrasi Pancasila itu sendiri.

Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang bersumber pada falsafah hidup bangsa Indonesia Pancasila, yang perwujudannya seperti tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi yang membedakan Demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi dinegara-negara lain adalah predikat “Pancasila”, yang dijadikan landasan, dasar dalam mengembangkan kehidupan Demokrasi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.63

Demokrasi sebagai suatu cara hidup yang baik antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut :

Pertama: Segala pendapat atau perbedaan pendapat mengenai masalah kenegaraan dan lain-lain yang menyangkut kehidupan negara dan masyarakat diselesaikan lewat lembaga-lembaga negara. Cara hidup ini akan mengantarkan dan merupakan suatu kebiasaan menyelesaikan perselisihan melalui lembaga itu sehingga masalah itu dapat diselesaikan dengan tertib dan teratur.

Kedua, Diskusi. Sebagai suatu negara Demokrasi, dimana rakyat di ikutsertakan dalam masalah negara, maka pertukaran pikiran yang bebas demi terselenggaranya kepentingan rakyat, maka diskusi harus dibuka seluas-luasnya. Diskusi dapat berbentuk polemik didalam media massa, seprti surat kabar dan lain-lain. Di dalam diskusi atau musyawarah sebagai landasan kehidupan bangsa dan negara, demokrasi harus diberi saluran. Dalam hal ini semangat musyawarah, baik dalam lembaga-lembaga perwakilan maupun dalam wadah-wadah lainnya, seperti media massa sudah sewajarnya dibina terus-menerus.64

Penyelenggaraan ide tentang Demokrasi Pancasila yang perumusannya dapat dikembalikan terutama kepada sila ke-4 mempunyai kaitan langsung kepada sila lainnya, yang merupakan perwujudan pelaksanaan dan penghayatan pancasila dan hidup bangsa Indonesia.

Demi mencapai tujuan dan memperkembangkan usaha-usaha kearah kesejahteraan nasional serta memperkukuh ketahanan nasional bagi seluruh bangsa, maka pancasila dalam segala manifestasinya perlu diamalkan dan diamankan oleh segala lapisan masyarakat Indonesia, satu dan lain menghendaki tindak-tanduk manusia Indonesia yang berdasarkan moral pancasila yang tangguh dan kuat.65)

D. Relevansi Demokrasi Dengan Islam

Perbincangan agama dalam kontek demokrasi, sering kali berhadapan dengan persoalan yang bersifat empirik. Masalahnya, bukan karena pada basis empiriknya, agama dan demokrasi terdapat perbedaan. Agama berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran filosofis manusia.

Persoalannya kemudian adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis, misalnya dalam kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu menjelaskan adanya hubungan simbiosis-mutualisme antara agama dan demokrasi. Meskipun antara keduanya dikatakan mempunyai basis empirik yang berbeda, tapi hal itu bukan merupakan persoalan yang bersifat mendasar untuk mempertemukan antara agama dan Demokrasi. Dalam kaitan yang bersifat dialektis, agama memberi dukungan yang positif terhadap demokrasi, sebaliknya, demokrasi memberikan peluang bagi proses pendewasaan kehidupan beragama.

Setiap agama pada dasarnya mengandung konsep kemanusiaan sebagai cermin atas pengakuan secara apresiatif dan konstruktif terhadap manusia. Misalnya saja agama Islam. Salah satu tema pokok dalam Islam adalah masalah kemanusiaan, disamping persoalan yang bersifat teologis dan kosmologis. Dalam Al-Qur’an sebagai

(12)

tataran etis-teologis demikian inilah Islam sesungguhnya merupakan agama yang mendukung pelaksanaan

demokrasi. Dalam Al-Qur’an, tidak saja terkandung nilai etik demokratis, tapi juga nilai Instrumental dengan mana nilai-nilai etik demokrasi dapat diaktualisasikan.66

Sebenarnya Islam lebih dulu mencanangkan sendi-sendi bangunan substansi Demokrasi. Tapi rinciannya diserahkan kepada Ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia.67

Dewasa ini kaum Muslim mulai sadar untuk melakukan gerakan kebangkitan dalam agama setelah sebelumnya mengalami kelemahan dalam kurun waktu lama. Perasaan ini muncul ketika mereka menyadari posisinya dalam skala global dan membandingkan kondisi mereka dewasa ini dengan kejayaan di masa lalu, dan realitas sosial mereka dengan idealitas agama. Sejak kesadaran ini tumbuh, kaum Muslimin mengetahui betul kelemahan kondisi mereka dan berupaya segera bangkit menuju kondisi yang lebih baik.

Kaum Muslim dihadapkan pada serangan budaya Barat yang mereka ketahui lewat ekspansi kolonial dan media massa modern. Akibatnya, tampaklah kelemahan budaya, ekonomi, dan politik dalam menghadapi kekuatan dan dominasi kolonial. Semula, serangan itu mendorong mereka untuk melakukan perlawanan dengan kekuatan lemah sehingga menimbulkan fenomena kesadaran dan Revolusi Islam sejak abad lalu. Kemudian, mereka mewarisi pasang surut kehancuran. Jawaban mereka atas serangan itu mengalami kematangan setelah pertengahan abad ini. saat ini, mereka berusaha menyelamatkan jati diri dan eksistensi mereka dengan kembali kepada keaslian Islam dan mendorong mereka untuk mengejar Eropa serta menandinginya dalam bentuk kemajuan peradaban secara

menyeluruh.68)

Diantara kelebihan sistem Demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran, ialah menuntut kebeberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipun sistem ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari kekurangan.69

Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi demokrasi, tidaklah bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi legislasi Islami. Tapi memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu yang merupakan dasar pemerintahan diktator.

Bukanlah suatu keharusan bagi para pendukung Demokrasi untuk menolak kekuasaan Allah atas manusia.

Kebanyakan pendukung Demokrasi tidak pernah berpikir tentang ini perhatian mereka hanya tertuju untuk menolak kekuasaan atau pemerintahan diktator yang sewenag-wenang yang di praktekkan oleh para tiran yang angkuh dan sombong.

Kekuasaan Allah terhadap makhluk adalah suatu yang permanen. Kekuasaan itu ada dua macam :

1. Kekuasaan kauni kodrati, artinya hanya Allah-lah satu-satunya yang berwenang dijagat raya ini. Dia-lah yang mengutus alam semesta dengan Sunnah-nya yang tidak berubah, yang diketahui dan yang tidak diketahui. Hal ini seperti yang ternukil dalam al-Qur’an :

.ب اسمل ا عيرسوهو همكمل بقعمل مكمي ل او اهف ارط ا نم اهصقنن ضرل ا ىت أن ان ا اوري ملوا 70

Dalam ayat ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan hukum Allah adalah ketetapan-Nya yang mengatur jagat raya, bukan Syari’at atau legislasi.

2. kekuasaan syari’ah, yaitu kekuasaan untuk memberikan tugas, memerintah, melarang, membebankan kewajiban dengan paksa dan dengan pilihan. Untuk itu Allah mengutus berbagai Rasul, menurunkan beberapa kitab, membuat berbagai peraturan, menggariskan berbagai tugas, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.71

Demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas, dan mayoritas inilah yang berhak menunjuk pemimpin, menata berbagai persoalan, mendukung salah satu dari beberapa hal yang berbeda. Dalam sistem Demokrasi, pemilihan dan pemungutan suara merupakan suatu hal yang menentukan.

Di dalam Islam tidak bisa mendukung suatu pendapat hanya karena pendapat itu didukung oleh mayoritas. Tapi Islam melihat kepada pendapat itu sendiri. Apakah benar atau salah. Bila pendapat itu benar, maka diterima dan dilaksanakan, walaupun hanya didukung oleh satu suara, atau tidak yang mendukungnya sama sekali.

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DEMOKRASI K. H. ABDURRAHMAN WAHID

A. BIOGRAFI K. H. ABDURRAHMAN WAHID

(13)

Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas".

Gus Dur atau Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru".72Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara.73

Menurut Gus Dur, pada akhir tahun 1930-an, Wahid Hasyim dianggap sebagai salah seorang perjaka di Jombang yang paling diminati. Sebagai seorang rupawan dan cerdas, ia menerima banyak tawaran perkawinan dari keluarga-keluarga terkemuka selama beberapa tahun ia menolak semua tawaran ini. Tetapi pada suatu hari pada tahun 1930, Wahid Hasyim, yang ketika itu berusia 29 tahun, menghadiri upacara perkawinan seorang sanak saudaranya. Disana perhatiannya tercuri oleh seorang gadis muda berpakaian kerja biasa yang sedang membawa seember air untuk mencuci piring di dapur, jauh di bilik suasana pesta di depan. Ia, Sholichah, puteri K. H. Bisri Syansuri. Keesokan harinya ia menemui K. H. Bisri Syansuri dan melamar Sholichah. Dengan senang hati K. H. Bisri Syansuri menerima lamaran itu dan tahun itupun Wahid Hasyim mengawini Sholichah.74

Bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang mempunyai rasa cinta terhadap masyarakatnya, namun demikian ia sering merasa putus asa melihat cupetnya pikiran yang mengekang masyarakatnya ini. Wahid Hasyim yang pernah punya jabatan sebagai menteri Agama, ia merasa terganggu oleh sikap tergantung dan manja oleh sikap kementriannya. Namun demikian, Wahid Hasyim selalu cenderung tidak mau terganggu oleh apa saja yang tidak dapat

dikembalikannya. Pada tahun 1952, setelah bertahan selama lima kabinet, Wahid Hasyim kehilangan jabatan ini dalam salah satu pergantian menteri yang sering terjadi dalam periodenya ini. Sebagai menteri, ia akhirnya bertanggungjawab untuk mengorganisasi perjalanan Naik Haji di Indonesia sehingga beberapa ribu calon jamaah Haji tidak dapat pergi ke Makkah. Kemunduran ini menimbulkan mosi tidak percaya DPR terhadap Wahid Hasyim dan pada umumnya tak ada gunanya untuk mencoba meningkatkan reputasinya. Maka Wahid Hasyim pun dengan senang hati melepaskan jabatannya.

Pada hari sabtu tanggal 18 April 1953, Gus Dur bepergian menemani Ayahnya untuk suatu pertemuan NU di Sumedang, yang dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu beberapa jam saja dan terletak disebelah tenggara Jakarta. Dijalan menuju kota Bandung yang berliku-liku melalui pegunungan berapi dan menjadi punggung pulau Jawa. Ketika perjalanan berada antara Cimahi dan Bandung, Wahid Hasyim dan Gus Dur bersama dengan Argo Sutjipto, seorang penerbit yang merupakan sahabatnya, terjadi kecelakaan sekitar pukul 01.00 siang tetapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba ditempat kejadian sekitar pukul 04.00 sore. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan dan meninggal dunia. Beberapa jam kemudian Argo juga meninggal dunia. Wahid Hasyim, yang merupakan harapan banyak orang di Indonesia, telah menghembuskan nafas terakhir, ia berusia 38 tahun. Gus Dur baru berusia 12 tahun.75

Kakek K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari pihak ayahnya adalah K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan pendiri pesantren Tebuireng Jombang. K. H. Hasyim Asy'ari dilahirkan di Jombang pada bulan Februari 1871 dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Ia adalah salah seorang yang mendirikan NU pada tahun 1926 dan sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak mamberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun, ia juga seorang nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.

Keluarga K. H. Hasyim Asy'ari dengan bangga menyatakan bahwa mereka keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI dan terkenal sebagai salah seorang Raja terakhir kerajaan Hindu-Buddha yang besar di Jawa, kerajaan Majapahit. Lebih penting lagi, tokoh legendaris Jaka Tingkir, putera Brawijaya VI, dianggap sebagai orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut pulau Jawa, sedangkan puteranya, pangeran Banawa, dikenang sebagai orang pertama yang meninggalkan kerajaan untuk mengajar sufisme. Silsilah ini dianggap sebagai hal yang sangat baik dalam masyarakat tradisional Jawa.

Setelah belajar di Makkah selama tujuh tahun, Hasyim Asy'ari kembali ke Jombang dengan tujuan untuk mendirikan pesantren sendiri. Ia pun memilih desa Tebuireng, yang saat itu tak begitu jauh dari kota Jombang, tetapi pada akhirnya tertelan oleh kota ini. K. H. Hasyim Asy'ari tetap memilih Tebuireng, walaupun teman-temanya

(14)

pembaharuan terhadap pengajaran di Pesantren, suatu hal yang kemudian ditiru secara luas oleh pesantren-pesantren lainnya.76

Lalu kakek Gus Dur dari pihak Ibu, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Bisri Syansuri dilahirkan pada bulan september 1816 di daerah pesisir sebelah utara Jawa Tengah, sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Bersama dengan Hasyim Asy'ari, ia dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi didirikannya NU. Pada tahun 1917, ia memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri puteri di Pesantrennya yang baru di dirikan di Desa Denanyar, yang terletak diluar Jombang. Bisri Syansuri mengambil sebidang tanah yang luas, dan benar-benar tandus. Setelah beberapa lama tanah itu berubah menjadi komunitas yang makmur dalam pengembangan pertanian, pembelajaran, dan keruhanian. Bisri Syansuri telah membuktikan dirinya bukan sekedar seorang ahli fiqh, atau Yurisprudensi Islam, dan seorang administratur pendidikan yang berbakat, melainkan juga seorang ahli pertanian yang cakap. Pesantrennya di Denanyar terkenal oleh karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.77 Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari ulama' NU, yaitu K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) dan K. H. Bisri Syansuri merupakan tokoh NU, yang pernah menjadi Rais 'aam PBNU, dan sekaligus dua tokoh tersebut sebagai tokoh bangsa Indonesia.

2. Latar belakang pendidikan

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya. 78

Walaupun Ayahnya seorang menteri dan terkenal di kalangan pemerintahan Jakarta, Gus Dur tidak pernah bersekolah di sekolah-sekolah elit yang biasanya dimasuki oleh anak-anak pejabat pemerintah. Ayahnya pernah menawarinya untuk masuk ke sekolah elit, tetapi Gus Dur lebih menyukai sekolah biasa. Katanya, sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Gus Dur memulai pendidikan sekolah-sekolah dasarnya di sekolah-sekolah dasar KRIS di Jakarta pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat di sekolah ini tetapi kemudian ia pindah ke sekolah dasar Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.79

Dalam waktu yang pendek, Gus Dur tidak terlihat sebagai siswa yang cemerlang. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar dan mulai sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh seringnya ia menonton pertandingan sepak bola sehingga ia tak mempunyai cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Pada tahun 1954, sementara sang Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan enam anak, sedangkan Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelajarannya di SMEP. Ketika di kota ini, ia berdiam di rumah salah seorang teman Ayahnya, Kia Haji Junaidi. Yang menarik adalah bahwa Kiai Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.

Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia, hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah.80

Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur maka diaturlah agar ia dapat pergi kepesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak diluar sedikit Kota Yogyakarta. Disini ia belajar bahasa Arab dengan Kiai Haji Ali Maksum. Ketika tamat sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di Pesantren secara penuh. Ia bergabung dengan pesantren di Tegal Rejo Magelang, yang terletak disebelah utara Yogyakarta, ia tinggal disini hingga pertengahan 1959. disini ia belajar pada Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saat yang sama ia juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar di Jombang dibawah bimbingan Kakeknya dari pihak Ibu, Kia Bisri Syansuri.

(15)

rumah Kiai Ali Maksum. Pada masa inilah sejak akhir tahun 1950-an hingga 1963 Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.81

Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.82 Tidak terlalu jelas, apakah Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Bagdhad. Karena sebagain orang menganggapnya selesai dan memperoleh gelar LC. Namun sebagain yang lain menyatakan "tidak memperoleh gelar" atau "tidak selesai". Namun yang pasti, usai di Bagdhad, Abdurrahman Wahid ingin menguyam dunia pendidikan liberal Eropa.

Pada tahun1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.

Sekembalinya di Indonesia, ia kembali ke habitatnya semula yakni dunia pesantren. Dari tahun 1972 hingga 1974, ia di percaya menjadi dosen disamping Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Kemudian tahun 1974 sampai 1980 oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Selama periode ini ia secara teratur mulai terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Katib awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.83

3. Latar belakang sosial dan politik

Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan dan perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolit itu, Abdurrahman Wahid mulai muncul ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikran-pemikian briliannya pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM dan forum-forum diskusi.84 Menurut sementara sumber, sikap Abdurrahman Wahid itu sempat ditangkap oleh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Jakarta, utamanya yang bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian Penerangan dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial). Salah satu yang tanggap terhadap fenomena Abdurrahman Wahid pada saat itu adalah Dawam Raharjo. Oleh sebab itu, kemudian ia berusaha menghadirkan Abdurrahman Wahid di Jakarta dan menjadikannya sebagai salah seorang fungsionaris di LP3ES. Mulai saat itulah Abdurrahman Wahid tinggal di Jakarta dan bekerja di LP3ES dan bergaul luas dengan para aktivis LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri. LP3ES juga menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukkan minat yang besar terhadap dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan pengembangan masyarakat. Masih di ingat oleh Gus Dur betapa ia merasa terdorong oleh rasa hormat dan pengakuan yang dalam yang di tunjukkan oleh pimpinan lembaga ini terhadap apa yng dapat di sumbangkan pada organisasi ini.

Kepada LP3ES di berikan oleh Gus Dur pemahaman mengenai dunia pesantren dan Islam tradisional, dan dari lembaga ini ia belajar mengenai aspek-aspek praktis dan kritis mengenai pengembangan masyarakat. Kombinasi ini benar-benar cocok baginya.85 Pada tahun 1977 ia di dekati dan di tawari jabatan Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas Hasyim Asy'ari di Jombang. Dengan gembira ia menerima tawaran ini. Universitas Islam ini diberi nama kakek Gus Dur dan di dirikan oleh suatu konsorsium pesantren untuk memberikan pendidikan tingkat Universitas kepada lulusan Pesantren.86

Pada tahun 1979 Gus Dur mulai banyak terlibat dalam kepemimpinan NU, yaitu di Syuriah NU. Namun kegiatan di dunia pesantren tidak di tinggalkan, dengan mengasuh pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan.

Sebagai konsekwensi kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir tahun 1970-an, seperti sudah di singgung, dia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan latar belakang berbeda-beda, dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas sosial. Sejak saat itu juga, ia banyak mengadakan kontak secara teratur dengan kaum intelektual muda progresif dan pembaharu seperti Nurcholis Madjid dan Djohan Effendy melalui forum akademik maupun lingkaran kelompok studi. Kemudian dari tahun 1980-1990 berkhidmat di MUI (Majelis Ulama' Indonesia). Dan, sementara itu, dia juga memasuki pergaulan yang lebih luas.

Pada tahun 1982-1985 Abdurrahman Wahid masuk sebagai ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), bergaul akrab dengan para pendeta bahkan sampai pada aktivitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, menjadi ketua dewan juri Festival Film Nasional di tahun 70-an dan 80-an, banyak mendapat kritik dari kalangan Ulama', baik Ulama' NU maupun yang lainnya.87

(16)

formal, tradisi ini yang paling dominan-tetapi sebenarnya lebih dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup yang amat kaya dengan berbagai persentuhan nilai-nilai kultural yang kemudian secara dialektis mempunyai

pemikirannya.

B. Pemikiran Demokrasi K. H. Abdurrahman Wahid

1. Contoh Pemikirannya

K. H. Abdurrahman Wahid adalah salah seorang intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama' (PBNU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran. Diluar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit di bayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga-yang tidak boleh dilupakan-tingkat pemahaman terhadap

manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir K. H. Abdurrahman Wahid menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, juga ketika dia berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca Soeharto. Kendati demikian K. H. Abdurrahman Wahid tetap dan bahkan semakin populer, sebagai figur kharismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan pada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.

Salah satu aspek yang paling bisa di pahami dari K. H. Abdurrahman Wahid adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya China Indonesia, juga penganut kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak di untungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan terakhir ini. Dengan kata lain, K. H. Abdurrahman Wahid dipahami sebagai Muslim non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Yang secara luas tidak atau tepatnya kurang diapresiasi adalah bahwa K. H. Abdurrahman Wahid itu orang yang bangga sebagai seorang Muslim. Dia sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam sendiri. Lebih dari itu, K. H. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.88

Banyak warga Nahdliyyin sekarang ini yang masih menganggap Gus Dur itu mempunyai kemampuan Ghoib, bahkan Wali. Ini di kaitkan dengan kemampuan Gus Dur yang luar biasa dalam memahami dan menganalisis berbagai masalah yang di sertai dengan sepak terjangnya yang bagi banyak orang dianggap aneh

dan nyeleneh.89 Gus Dur (K. H. Abdurrahman Wahid) adalah sosok yang nyeleneh. Dalam bahasa

Indonesia, nyelenehberarti sesuatu yang berhubungan pikiran dan tindakan yang tidak umum, secara tradisi, budaya, dan sosial kemasyarakatan, bahkan juga sosial keagamaan.90

Wacana atau pola komunikasi politik yang dilakukan K. H. Abdurrahman Wahid, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan wacana dan pola komunikasi sufistik. Maka apa yang selama ini pada pribadi dan karakteristik Gus Dur, tak mesti dan tak harus di bedakan sebagai suatu nyeleneh (tidak wajar) maupun nyeleneh dalam kehidupan perpolitikan serta kebangsaan di Indonesia. Kenyelenehan yang khas pada K. H. Abdurrahman Wahid, terutama sekali pada spontanitas dan kecuekannya. Bagi masyarakat umum, tindakan dan sikap seperti itu merupakan karakteristik atau citra yang tak wajar.91

Untuk mulai memahami pola komunikasi yang dilakukan Gus Dur, yang kerap bersifat isyarat dan bernuansa Sufistik. Pada kasus Gus Dur, masalahnya menjadi unik dan rumit, pada waktu beliau berada di wilayah publik (pemerintahan) yang sangat memerlukan atau di perlukan suatu komunikasi yang efektif, akurat (secara rasional-matematis), verbal, terang dan jelas, sedangkan beliau-selaku pengendali taktik dan strategi politik, yang

menyangkut umat, negara dan bangsa-di tuntut juga untuk pandai-pandai menyampaikan pesan, baik yang bersifat verbal maupun non verbal.92

Walaupun dianggap sebagai orang aneh dan nyeleneh dan juga ada yang beranggapan mempunyai kemampuan ghoib pada diri Gus Dur, Gus Dur sendiri tak pernah merasa dirinya seorang Wali. Hasyim Wahid alias Gus Iim, adik Gus Dur, pernah memberi konfirmasi bahwa kehebatan Gus Dur dalam memahami dan menganalisis berbagai hal bukanlah karena wali tetapi karena sangat kaya dengan informasi. Sejak kecil, Gus Dur sudah membaca berbagai jenis buku yang berat-berat dalam berbagai bahasa, mulai dari soal agama, sejarah, politik, olah raga, seni, bahkan sampai humor-humor dari berbagai bangsa.93

Referensi

Dokumen terkait

Ini dikarenakan Fa kita adalah benar-benar Fa yang lurus, melalui jangka waktu Xiulian yang begitu lama anda sekalian juga sudah tahu, bahwa Fa ini mutlak bukanlah suatu teori

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bahwa daerah sekitar Villa Silma Kecamatan Cilember dapat layak atau tidak dijadikan tempat penanaman pada tanaman pisang,

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio keuangan yang terdiri dari lima rasio yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas, rasio

Struktur batuan ini massif sebab batuan ini terdiri dari susunan yang kompak dari setiap mineral-mineral dalam batuan, tidak menunjukkan adanya pori-pori, penjajaran mineral

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hasilnya adalah Earning Per Share (EPS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham pada industri perbankan

Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah penelitian Karawang bagian utara memiliki kelas kesesuaian lahan yang dominan sesuai untuk padi sawah, dengan tingkat

Fase pembungaan tiga provenan dan empat ras lahan cendana yaitu ras lahan Pegunungan Bromo, provenan Bu'at, ras lahan Karang Mojo, provenan Tilomar, ras lahan Wanagama I, ras

Kedelai yang diperjualbelikan oleh bapak Jamilan ternyata terjadi kenaikan harga, karena selain menjual tentunya bapak Jamilan juga menginginkan laba yang cukup,