• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVETION ON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN FRAMEWORK CONVETION ON"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Dosen Pengampu: Reza Triarda, S.Sos., MA

Disusun Oleh: Agustinus Cahya Eka Putra

155120401111068

Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya Malang

(2)

Kata Pengantar

Merdeka!!!

Sebelumnya saya ingin menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa kehendak dan restunya, tentunya proposal penelitian ini tidak akan bisa

terselesaikan. Rasa terimakasih juga kepada keluarga dan kawan kawan saya yang mendukung proses saya hingga sejauh ini.

Serta rasa terimakasih terbesar saya kepada Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) yang telah mengenalkan saya kepada masyarakat dan supaya tidak buta terhadap realitas sosial yang ada didalam masyarakat kita. Sehingga saya bisa mengkritisi realitas realitas yang ada di masyarakat saat ini. Terutama perihal industri rokok Indonesia yang saat ini semakin terjepit dalam pasar bebas dan sistem internasional yang menindas.

Penelitian ini saya persembahkan kepada pelaku industri rokok rumahan dan para petani tembakau yang masih meraskan penderitaan dan penindasan oleh oknum oknum pemerintah serta institusi internasional yang telah mencipatakan sebuah rezim yang diskriminatif dan menindas.

Sebab tanpa adanya massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu lenyapkan steriliteit dalam gerakan mahasiswa! Nyalakan terus obor kesetiaan kepada kaum Marhaen! Agar semangat Marhaenisme bernyala nyala murni! Dan agar murni tidak terbakar mati

-Bung

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar...1

Daftar Isi...2

BAB I...3

PENDAHULUAN...3

1.1. Latar Belakang...3

1.2. Rumusan Masalah...5

1.3. Batasan Variabel...5

BAB II...6

TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1. Kajian Teori...6

World System Theory:...6

BAB III...14

METODELOGI PENELITIAN...14

3.1. Lokasi Penelitian...14

3.2. Jenis dan Sumber Data...14

3.3 Metode Pengumpulan Data...14

3.4. Analisis Data...14

3.5 Penarikan Kesimpulan...15

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri tembakau, lebih khusus lagi industri rokok kretek, boleh dikatakan merupakan salah satu industri pertama yang lahir dan berkembang di negeri ini. Usia industri ini telah lebih dari seratus tahun, setara dengan usia kegiatan eksploitasi migas di tanah air. Ia gfrcberkembang sangat pesat sejak abad ke-19 dan telah menghasilkan produksi yang diekspor ke negara-negara Eropa pada masa itu. Awal mula industri ini berasal dari daerah Kudus, Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, rokok kretek telah menjadi komoditas ekspor yang utama, selain ekspor hasil kebun, hasil tambang dan sumber daya alam lainnya. 1

Namun saat ini industri rokok kretek Indonesia dihadapkan kepada permasalahan permasalahan besar. Permasalahan pertama adalah hilangnya produsen rokok kretek rumahan karena kalah bersaing dengan perusahaan besar. Memang Indonesia adalah surga bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun, dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan industry kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri ini.2 Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%

Selain itu, perdagangan bebas saat ini benar-benar sudah disiapkan untuk

kepentingan kekuatan modal besar dunia untuk menguasai pasar domestik dimanapun di penjuru bumi. Setelah perang dunia pertama berakhir, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) 1 Salamuddin Daeng, dkk, 2011,“Kriminalisasi Berujung Monopoli”, Indonesia Berdikari, Jakarta, Hal. 1 2 Thomas Sunaryo, 2013, Kretek Pusaka Nusantara, Serikat Kerakyatan Indonesia, Jakarta. Hal. 54

(5)

seolah menjadi regulator dunia bagi semua peri kehidupan umat manusia termasuk dalam hal kesehatan. Pada tahun 2005, WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi

pengendalian tembakau, konvensi internasional bagi kesehatan yang pertama.

Pada tahun 2013, sudah 174 negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia, telah meratifikasi beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta

pembuatan area khusus perokok, namun belum sepenuhnya meratifikasi semua poin dalam konvensi tersebut mengingat betapa besar dampak sosial ekonomi budaya bagi bangsa pengembang tradisi kretek ini.3 Namun nampaknya melalui beberapa pihak di pemerintahan, tidak lama lagi Indonesia akan sepenuhnya tunduk terhadap konvensi usulan Negara

amerika serikat tersebut. Seperti apa yang disampaikan oleh anggota legislatif, Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf pada sebuah media massa nasional: “Indonesia mesti segera menandatangani dan merevisi konvensi tersebut.” Sedangkan dari pihak eksekutif pemerintahan, Ibu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan hal yang serupa. Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif menunjukkan keseriusan pemerintah untuk cepat atau lambat akan meratifikasi seluruh poin konvensi FCTC. Bloomberg LP yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian penggunaan tembakau dan meningkatkan penjualan obat-obatan penyembuh gangguan kesehatan diakibatkan kegiatan merokok. Menurut majalah Forbes edisi Maret 2009, Michael Bloomber, sang pemilik memiliki kekayaan sebesar 16 milyar dollar, dan menjadi orang tersukses di amerika pada masa krisis moneter saat ini, kekayaan tersebut termasuk dari penjualan obat-obat penghenti merokok.

Namun terlepas dari segala dana bantuan dan sikap pemerintah yang tergesa-gesa dalam permasalahan industry rokok. Petani dan industry rokok kecil yang kembali menjadi korban dalam hal ini. Contohnya di Kota Malang, dimana petugas bea cukai Malang, yang selalu melakukan razia da penyitaan terhadap rokok rokok yang dikatakan illegal, dan disertai penutupan pabrik rokok kecil. Kemudian yang menjadi permasalahan ialah, dimana peran negara dalam menciptakan kesejahteraan warganya, yang justru lebih memihak pada

(6)

pihak korporaso seperti Bloomberg, apakah industry tembakau pada akhirnya hanya dikuasai oleh pemilik modal, apakah petani tembakau dan pelaku industri rokok rumahan merasakan kesejahteraan atau semakin tersiksa dengan kebijakan pemerintah ini?

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengaruh penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) terhadap industri rokok di Indonesia?

1.3. Batasan Variabel

1. Variabel Independen: Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) 2. Variabel Dependen: Industri Rokok Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(7)

Dasar dasar atau temuan yang didapatkan dari penelitian yang sudah dilakukan terdahulu, peneliti anggap perlu sebagai data pendukung. Data pendukung disini digunakan untuk mendukung argumentasi peneliti terkait dampak penerapan Framework Convention on Tobacco Control, dimana fokus dari penelitian terdahul dijadikan acuan dalam terkait dengan masalah diatas. Berikut bebrapa peneilitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang diangkat oleh peneiliti.

No .

Tahun Peneliti Masalah

Penelitian

Temuan Hal Penerbit Variabel

yang sudah tidak bisa terpisahkan dari

(8)

atau kebijakan Assembly ke-56 pada 2003.

Order Studies

2.2. Kajian Teori World System Theory:

World System Theory adalah cabang dari perspektif maxisme dalam hubungan internasional. Bagi beberapa kalangan, dengan berakhirnya perang dingin, runtuhnya partai komunis di Rusia dan di Eropa Timur, disertai dengan kemenangan “pasar bebas”

kapitalisme. Sudah menjadi bahasan umum imana ide Marx dan disiplin ilmunya sudah dapat diamankan dan dihancurkan dari sejarah. Eksperimen besar komunisme sudah gagal. Namun dengan semakin masifnya mekanisme pasar dalam setiap aspek kehidupan saat ini, telah menjadi argument bahwa, thesis Marx perihal kapitalisme jauh lebih relevan saat ini jika dibandingkan dengan zamannya. Terutama perihal analisisnya mengenai krisis ekonomi kapitalis. Kaum kapitalis orthodox memprediksi bahwa sistm pasar bebas akan maju menuju equilibrium atau titik keseimbangannya dan bisa stabil. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, krisis stok pasar 1987 dan krisis ekonomi asia 1997 membuktikan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang tidak dapat memberikan kesimbangan.4 Hal tersebut yang kemudian menjadi landasan bagi peneliti untuk menggunakan perspektif Marxisme karena masih relefan digunakan terutama dalam hubungan internasional, karena pemikiran pemikian marx yang masih relevan dengan kondisi ekonomi politik global, disamping runtuhnya partai komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur. Analisis marxis dalam hubungan internasional digunakan untuk mencari aktor aktor kapitalis yang bermain dibalik peristiwa peistiwa internasional.

(9)

Berawal dari teori Marxisme yang hanya fokus pada sistem produksi melalui pembagian kelas, Immanuel Wallerstein mengembangkannya ke dalam dunia yang lebih luas. Wallerstein mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk dominasi oleh organisasi internasional yang kemudian disebut oleh Wallerstein sendiri dengan nama World System.

Dalam World System Theory, Wallenstein menjelaskan bahwa imperialism adalah tahapan puncak dalam proses kapitalisme. Mengutip pernyataan Lenin bahwa imperialism

menjadi peringatan bagi kita terhadap dua hal yang menjadi bayangan sistem global kedepannya. Yang pertama adalah kegiatan politik, internasional dan domestic dileburkan dalam sistem perekonomian kapitalis global. Kedua adalah negara tidak lah menjadi aktor tunggal dalam politik internasional, didalamnya masih terdapat kelas kelas sosial yang dapat memberikan pengaruh signifikan dalam kapitalisme global.Wallenstein kemudian membagi

Sumber: Immanuel Wallerstein, 2006, “World System Analysis”, Duke University Press, London

(10)

negara di dunia menjadi tiga bagianyang pertama negara: Core adalah negara-negara dunia pertama atau negara maju yang telah berdiri sebelum Perang Dunia I terjadi. Negara tersebut adalah negara yang memiliki sistem ekonomi kapitalisme, pemerintahan yang demokratis, upah pekerja yang tinggi, mampu mengimpor bahan mentah dan mengeskpor barang hasil industri, investasi yang tinggi dan jaminan kesejahteraan bagi rakyat. Yang kedua negara:

Semi Periphery adalah negara-negara dunia kedua yang berdiri setelah Perang Dunia I. Negara tersebut adalah negara dengan sistem pemerintahan yang teradang otoriter meskipun tida semua, mengekspor barang jadi dan bahan mentah serta mengimpor barang industri dan bahan mentah. Yang ketiga negara:

Periphery adalah negara-negara dunia ketiga yang berdiri setelah Perang Dunia II. Negara tersebut kebanyakan memiliki pemerintahan yang tidak demokratis, mengekspor bahan mentah dan mengimpor barang hasil industri, upah pekerja dibawah etentuan upah minimum regional, dan tidak ada layanan kesehatan ataupun jaminan kesejahteraan bagi rakyat5

Negara semi periphery memegang peranan penting dalam sistem ekonomi dan politik internasional. Negara-negara tersebut juga memegang peran penting dalam menjaga stabilitas struktur politik dalam sistem internasional. Seperti halnya pada masa kolonialisme dan imperialisme yang menerapkan sistem kapitalisme dan perdagangan bebas sehingga menguntungkan negara penjajah, sistem kapitalisme ini juga menguntungkan negara maju pada sistem ekonomi internasional antara negara core, semi periphery dan periphery. Sehingga negara kaya menjadi semakin kaya dan negara miskin menjadi semakin miskin.

Bagi Wallerstein, bentuk dominan dari organisasi sosial yang ia sebut world system, yang dalam sejarah kemudian terbagi menjadi dua yaitu world empires dan world economies. Perbedaan antara world empires dan world economies adalah tentang kebijakan mengenai distribusi sumber daya. Dalam rezim kapitalis global, menggunakan sentralisasi sistem politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi sumber daya dari negara pheripheral kedalam negara core.6

2.3. Operasionalisasi Konsep

(11)

Merujuk pada kasus dimana telah terjadi ratifikasi terhadap Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diatur oleh WHO pada 21 Mei 2003, dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005. FCTC kemudian menjadi perjanjian internasional yang paling besar keterlibatannya dalam sejarah PBB karena jumlah keterlibatannya mencapai 172 negara.

Pada awalnya, agenda global anti tembakau merupakan pelaksanaan dari proyek prakarsa bebas tembakau (Tobacco Free Inisiative) yang diluncurkan WHO pada bulan Juli 1998. Proyek ini memberikan gambaran konkrit dari perubahan arah kebijakan WHO di bawah kepemimpinan Gro Harlem Brundtland, yakni dominannya paradigma yang melihat kesehatan publik (public health) bukan sebagai problem struktural (sosial ekonomi), namun sebagai masalah hubungan individual antar manusia yang menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia lain.7

Salah satu hal sangat penting dalam pelaksanaan proyek bebas tembakau adalah ketika WHO yang sejak awal pelaksanaan proyek telah didukung oleh korporasi-korporasi farmasi besar dunia meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Dimana dalam salah satu pasal FCTC, yaitu pasal 14 berbunyi “Demand reduction measures concerning tobacco dependence and cessation” dan Pasal 22 yang merupakan rujukan dari Pasal 14.2 (d) Konvensi tersebut. Pasal ini dijadikan sebagai dasar hukum internasional dalam pengajuan NRT sebagai obat-obatan penting yang dianjurkan WHO (WHO Model List of Essential Medicines) yang diajukan pada bulan Maret 2009.8

Di Indonesia kebijakan kontrol tembakau tidak pernah menjadi prioritas kebijakan kesehatan publik pemerintah sebelum tahun 1990an. Menteri Kesehatan di masa Suharto menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tidak memiliki niatan untuk mengatur tembakau dalam paying hukum. Konsekuensinya, industri tembakau tumbuh subur di masa Suharto. Pergantian kepemimpinan dari Suharto ke B.J. Habibie di tengah kekacauan politik dan ekonomi pada Mei 1998 membawa angin perubahan dalam isu kontrol tembakau. Pemerintahan BJ Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional dibawah naungan Badan Obat dan Makanan, Kementrian Kesehatan sebagai wadah konsolidasi antara LSM dan staf

(12)

pemerintah dalam isu kontrol tembakau. Lebih lanjut, regulasi pemerintah pertama untuk kontrol tembakau ditetapkan tahun 1999.

Selain makin ketatnya regulasi kontrol tembakau, disisi lain perusahaan perusahaan nasional yang bergerak pada industri rokok mulai dikuasai oleh asing satu per satu. PT Philip Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi

kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005. Selain itu BAT masih menguasai saham Bentoel sebesar 85,55%, meskipun setelah menjual sebagian sahamnya kepada UBS AG London Branch, perusahaan asing yang lain pada 25 Agustus 2011. Sebelumnya British American Tobacco menguasai 99,74% kepemilikan Bentoel setelah mengambil alih 85,13 persen saham Bentoel Internasional Investama dari PT Rajawali Corpora dan para pemegang saham lainnya senilai US$494 juta pada juni 2009.9

Sedangkan saat ini banyak negara maju berkebijakan melindungi industri tembakau dan pasar rokok dalam negerinya. Ambil contoh Negara Amerika Serikat sebagai promotor FCTC belum juga meratifikasinya. Negara ini telah mensubsidi industri tembakau dalam negerinya dari tahun 1995 hingga 2010 sebesar $US 1.138.558.705. Bahkan dengan disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A) “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act” atau Tobacco Control Act) oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, bermakna bahwa Amerika serikat melarang impor rokok beraroma dan perasa (flavored cigarettes) termasuk rokok kretek dari Indonesia, namun anehnya rokok beraroma menthol produk dalam negeri mereka masih dijial bebas. Aksi diskriminatif sepihak pemerintah Amerika Serikat tersebut membuat Indonesia berhenti mengekspor rokok kretek ke negara tersebut sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta.

Hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana bisa Amerika Serikat yang berlaku sebagai pelopor terbentuknya sebuah rezim internasional untuk mengkontrol tembakau dengan wujud Framework Convention on Tobacco Control, kemudian tidak meratifikasi isi perjanjian tersebut, dan justru semakin memproteksi industri rokok mereka, bahkan mengeluarkan kebijakan yang sebenarnya diskriminatif dengan melarang masuknya

(13)

rokok beraroma dan perasa. Apakah FCTC memang dibentuk atas sebuah landasan kesehatan belaka, atau memiliki sebuah motif didalamnya?

Oleh karenanya sudut pandang perspektif marxisme sangat relevan digunakan dalam kasus ini. Terutama jika melihat industri rokok di Indonesia, jika merujuk pada teori

Wallenstein pada World System Theory, dimana dalam rezim kapitalis global, menggunakan sentralisasi sistem politik yang mana kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk meritribusi sumber daya dari negara pheripheral kedalam negara core.

Dalam kasus di Indonesia, retribusi sumber daya dari negara phripheral kedalam negara core, memang tidak terjadi secara langsung, nmaun terjadi melalui perpanjangan tangan negara kapitalis yaitu perusahaan perusahaan besar dunia yang bergerak disektro industri rokok. Penguasaan pasar rokok Indonesia ditambah pengambilalihan saham perusahaan rokok nasional.

Hal tersebut semakin diperparah dengan kebijakan diskriminatif Amerika Serikat tentang pelarangan impor rokok berasa dan beraroma. Serta regulasi dari FCTC yang mengikat negara negara berkembang untuk membatasi industri tembakau mereka. Hal ini sangat mencekik bagi para pelaku industri rokok kecil, dimana dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:

200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri ini. Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%.10

(14)

*Sumber: Thomas Sunaryo, Kretek Pusaka Nusantara

Sedangkan yang terjadi di Kota Malang sekarang, telah ada regulasi yang ketat mengenai pengendalian industri rokok. Dimana pada April 2009, Kantor Bea dan Cukai Malang mencabut izin sebanyak 157 pabrik dan membekukan 56 pabrik rokok.

Sebelumnya, tahun 2007, sebanyak 20 perusahaan rokok skala kecil (golongan 3) di Malang terancam mendapatkan sanksi berupa pencabutan izin operasional dan hukuman pidana karena melanggar tiga aturan cukai rokok. kemunculan dan kehilangan pabrik rokok selama 2004-2008, dengan kecenderungan bahwa pencabutan izin usaha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2008, mencapai 1801 izin usaha yang dicabut.11 Sedangkan saat ini tercatat, jumlah pabrik rokok yang ada di Malang hanya tinggal 40 pabrik di 2014 ini dari sebelumnya yang mencapai 387 pabrik pada 2009.

Penyebab banyaknya industri rokok di Malang yang tutup disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari melambungnya harga pita cukai rokok, naiknya harga bahan baku seperti cengkeh dan tembakau hingga regulasi pemerintah. Bukan malah melindungi atau

mengembangkan industri rokok dalam negeri, regulasi pemerintah justru seperti mematikan usaha rokok nasional. Dimana regulasi yang dinilai memberatkan pengusaha industri rokok kecil, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200 Tahun 2008. Salah satu item peraturan itu, sebuah pabrik rokok yang memiliki luas area pabrik di bawah 200 meter persegi harus tutup.

(15)

2.4. Hipotesa

Berdasarkan data yang sudah ada dan konsep yang digunakan maka peneliti dapat mengambil sebuah hipotesa dimana, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah instrument politis yang digunakan oleh aktor aktor internasional dalam

melanggengkan usaha dan ekspansi pasar rokok dan farmasi, dan sarana dalam melakukan ekspansi pasar di negara negara berkembang terutama di Indonesia.

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

(16)

terbesar di Indonesia, yaitu merk Gudang Garam, sehingga peneliti menganggap Kabupaten Kediri menjadi daerah yang dapat dijadikan sampel.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dambil untuk penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang dikumpulkan dari narasumber dan dari berbagai literatur melalui kajian pustaka. Data tersebut berupa data kualitatif. Narasumber yang akan diwawancarai adalah:

1. Pelaku Industri Rokok 2. Pekerja Perusahaan Rokok 3. Masyarakat Sekitar

4. Pejabat Instansi Pemerintahan yang Berwenang

3.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Kualitatif, dengan menggunakan teknik wawancara dan studi literatur. Data yang diperoleh dari hasil wawancara akan diolah sesuai indikator yang sudah ditentukan.

3.4. Analisis Data

Setelah data yang dikumpulkan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan penyusunan secara sistematis dan logis. Teknik pengelolaan data menggunakan analisis hasil wawancara terhadap pelaku industi rokok dan petani tembakau (sample) yang bersangkutan mengenai dampak yang dirasakan dengan adanya regulasi pengaturan industri rokok ataupun tembakau, baik oleh pemerintah ataupun oleh WHO. Hasil analisis ini

digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada, agar muncul data baru menganai dampak dari kebijakan Framework Convention on Tobacco Control.

3.5 Penarikan Kesimpulan

Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik korelasi rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai rekomendasi atas sebuah permasalahan dan juga untuk peneliti-peneliti selanjutnya.

(17)

Daftar Pustaka

Baylis, John dan Steve Smith, 2001, “The Globalization of World Politics”, Oxford University Press, New York

(18)

Arifin Zainul, “Ratusan Pabrik Rokok di Malang Gulung Tikar”, Diakses dari:

http://bisnis.liputan6.com/read/2056288/ratusan-pabrik-rokok-di-malang-gulung-tikar

“Izin Ratusan Pabrik Rokok di Malang Dicabut", Diakses dari Tempo.co

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengarungi permasalahan ini, kita tentu tetap harus mengawal segala kebijakan dan kerja sama yang baik dengan berbagai pihak untuk bisa meminimalisir perkembangan

Täydentävässä opetuksessa opettajat opettavat yhdessä koko luokkaa niin, että opettajilla on omat tehtävänsä, joista on sovittu etukäteen. Tässä mallissa opet- tajat eivät

The hydration calcium silicates in mortar have been retarded by the presence of both sugar and also sugar cane liquid at early stages; (3) Retarding effect of concrete specimen’s

Pada penelitian ini, informan utama adalah empat bidan konselor ASI, informan triangulasi adalah kepala puskesmas dan bidan koordinator masing-masing empat orang, kepala seksi

1) Produk pengembangan berupa multimedia interaktif pembelajaran ini dapat digunakan sebagai sumber belajar agar proses pembelajaran menjadi lebih inovatif dan bermutu. 2)

• Saksi mengaku tidak pernah menggunakan handphone Terdakwa (berbeda dengan suradi yang pernah menggunakan handphone untuk keperluan dinas). Saksi mengaku pernah dititipkan

Pada akhir bulan Februari 2018, terjadi banjir yang cukup besar di daerah Irigasi Rawa Seputih Surabaya, banjir ini diakibatkan curah hujan yang tinggi yang

Keenam jenis ekstrak yang berasal dari tanaman akar tuba, kirinyuh, huni, widuri, ketapang, dan ekstrak gamal yang diuji berpotensi dan efektif sebagai bio- akarisida untuk