• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN SISTEM KEAMANAN MARITIM GUNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENINGKATAN SISTEM KEAMANAN MARITIM GUNA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN SISTEM KEAMANAN MARITIM GUNA MENDUKUNG

PEMBANGUNAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA

DALAM RANGKA MEMPERKUAT KETAHANAN NASIONAL

(2)

PENINGKATAN SISTEM KEAMANAN MARITIM GUNA MENDUKUNG PEMBANGUNAN INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA

DALAM RANGKA MEMPERKUAT KETAHANAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang. Ketahanan Nasional merupakan perwujudan geostrategi Indonesia yang berupa kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsug dapat membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan Negara, serta perjuangan mengejar tujuan nasional. Berdasarkan pengertian tersebut, maka Ketahanan Nasional Indonesia adalah strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara Indonesia untuk menentukan kebijakan, tujuan dan sarana-sarana untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia, serta memberi arahan tentang bagaimana merancang strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, aman dan sejahtera.1 Dengan memahami hakekat Ketahanan Nasional, maka sudah

seharusnya bangsa Indonesia menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada aspek maritim, karena sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 13.466 pulau besar dan kecil, dengan total luas wilayah 8.189.000 km terdiri dari luas perairan 6.279.000 km persegi (76,7%), dan sisanya 1.910.000 km persegi (23,3%) berbentuk daratan.2 Di samping itu, posisi

strategis kepulauan Indonesia diantara dua benua dan dua samudra menjadikan perairan Indonesia memiliki potensi besar sebagai jalur lalu lintas perdagangan dunia maupun jalur perlintasan militer yang cukup sibuk, di samping potensi sumber daya lautnya yang sangat melimpah. Jika melihat dari modal tersebut, serta unsur-unsur potensi maritim lainnya yang dimiliki bangsa Indonesia, maka pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia sesuai dengan visi pemerintah saat ini akan mungkin sekali terwujud. Namun, ada prasyarat penting yang harus diperhatikan dalam mendukung pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yaitu terjaminya

1 Sirjanti, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, (Jakarta : Graha Ilmu, 2009), h. 155.

(3)

keamanan maritim. Dengan adanya rasa kepastian dan perlindungan keamanan bagi seluruh aktivitas di bidang kemaritiman, maka berbagai upaya untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia akan dapat lebih mudah terwujud. Di sinilah letak urgensi perlu adanya peningkatan sistem keamanan maritim yang diyakini akan mampu mendukung pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, serta dapat memperkuat ketahanan nasional.

2. Maksud dan tujuan.

a. Maksud. Maksud penulisan naskah ini adalah untuk mengkaji dan memberikan gambaran mengenai peningkatan sistem keamanan maritim yang diyakini akan mampu mendukung pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia serta dapat memperkuat ketahanan nasional.

b. Tujuan. Tujuan khusus penulisan naskah ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam menentukan kebijaksanaan, serta bagi masyarakat luas.

3. Ruang Lingkup Permasalahan. Ada beberapa pokok persoalan yang akan dibahas dalam naskah ini, meliputi :

a. Bagaimanakah sistem keamanan maritim di Indonesia saat ini.

b. Strategi apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem keamanan maritim agar mampu memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan ketahanan nasional.

II. PEMBAHASAN

(4)

di dunia. Karena nilai strategisnya tersebut, maka konsekuensinya akan memunculkan tantangan yang cukup besar terhadap keamanan di wilayah laut Indonesia. Ancaman keamanan terhadap negara kepulauan dengan wilayah laut yang cukup luas dapat berupa pelanggaran wilayah, penyelundupan, pencurian ikan (illegal fishing), bajak laut (piracy), perompakan (sea robery), ancaman bahaya navigasi, hingga ancaman kekerasan berupa terorisme maritim, dan lain-lain. Posisi strategis dan luasnya wilayah laut Indonesia, serta besarnya potensi ancaman tersebut menjadi dasar bagi pemerintah selama ini untuk melibatkan bukan hanya satu lembaga kemaritiman saja dalam sistem pengamanannya, namun banyak lembaga / institusi yang memiliki kewenangan di dalamnya. Kewenangan yang tersebar inilah yang kemudian menjadi faktor kesulitan terbesar dalam mengintegrasikan lintas sektoral tersebut ke dalam sistem satu pintu (one gate system).3

Walaupun seluruh lembaga / institusi kemaritiman Indonesia sebenarnya telah berupaya keras untuk bersatu dalam mengamankan wilayah laut yurisdiksi nasional, namun di tengah keterbatasan dan permasalahan yang ada, upaya tersebut belum mampu mewujudkan wilayah laut yang aman. Indikasinya dapat dilihat dari data rekapitulasi pelanggaran periode 01 Januari s.d 31 Mei 2015 yang dikeluarkan Bakamla, di mana terdapat 25 kasus pencurian ikan, 54 kasus penyelundupan, 8 kasus perompakan/pembajakan, serta masih banyak pelanggaran lainnya. Sementara itu, khusus pembajakan selama 2014, Allianz Global Corporate & Specialty menggambarkan bahwa fokus pembajakan/perompakan kapal bergeser dari Somalia ke spot baru, yaitu Indonesia. Dari 141 serangan pembajakan di perairan Asia Tenggara selama tahun 2014, sebanyak 100 diantaranya terjadi di Indonesia. Meskipun serangan yang dilakukan gerombolan orang-orang tersebut tergolong pencurian oportunistik tingkat rendah, akan tetapi jika tidak kendalikan dapat meningkat menjadi serangan pembajakan terorganisir (AGCS, 2015).4 Dari besarnya

jumlah kasus pelanggaran tersebut, maka pengamanan maritim sampai saat ini masih terlihat belum kuat dan menyimpan berbagai pekerjaan rumah yang perlu segera diatasi.

Memang tidak mudah untuk menciptakan sistem keamanan maritim yang kuat, karena pelaksanaan fungsi penegakan keamanan di laut pada dasarnya merupakan fungsi yang sangat mahal dan cukup komplek. Sarana utama yang digunakan yaitu

3 Marsetio, DR, Sea Power Indonesia, (Jakarta : Unhan, 2014), h.85.

(5)

kapal dan pesawat udara, serta sistem teknologi pengawasan yang membutuhkan biaya pengadaan, pemeliharaan dan pengoperasian yang besar. Namun jika dilihat dari upaya yang dilakukan untuk menciptakan sistem keamanan maritim yang kuat selama ini, masih terkesan belum berjalan optimal. Hal ini dapat dilihat dari minimnya pembangunan infrastruktur serta pengadaan ataupun penambahan Alutsista dan Sarana Teknologi pengawasan. Sedangkan dalam aspek operasinya, pengamanan wilayah laut seperti yang dilaksanakan selama ini hanya menggunakan sarana kapal dan dibantu dengan data ataupun informasi yang didapat dari satelit, pesawat

surveillance maupun radar pantai yang dilakukan secara sektoral dan belum terkoneksi secara nasional, sehingga efektifitas penanganan keamanan di wilayah laut secara menyeluruh belum terlihat secara signifikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya instansi kemaritiman yang berhubungan dengan pengamanan wilayah laut yurisdiksi nasional menyebabkan munculnya berbagai permasalahan di lapangan, terutama menyangkut kemampuan, tugas dan peran instansi lintas sektoral tersebut yang selama ini bekerja dengan sebuah sistem baik dalam hal pengawasan, penggunaan sarana pengamanan, maupun pelaksanaan operasi penindakan yang bersifat sektoral sesuai kewenangannya masing-masing.

Dengan memperhatikan berbagai data dan analisa kondisi sistem keamanan maritim Indonesia tersebut, maka dapat dipastikan akan berpengaruh negatif terhadap upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal ini harus dipahami mengingat sektor keamanan maritim merupakan faktor yang memegang peranan penting bagi keberlangsungan berbagai pilar pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang digagas pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa untuk mewujudkan visi sebagai poros maritim dunia, Presiden Jokowi menuturkan ada lima pilar utama yang diagendakan dalam pembangunan.5 Pertama, membangun kembali

budaya maritim Indonesia. Budaya maritim tidak akan terwujud manakala lemahnya keamanan maritim menjadi hambatan yang menyebabkan masyarakat enggan untuk memanfaatkan potensi laut. Pilar kedua, yaitu Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus pengembangan industri perikanan. Dalam implementasinya hal ini jelas akan sangat dipengaruhi oleh kondisi keamanan maritim. Pilar ketiga, adalah memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun jalur tol laut, pelabuhan laut dalam (deep seaport),

(6)

logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim. Sasaran tersebut tidak akan tercapai sesuai harapan apabila tidak didukung oleh adanya jaminan keamanan maritim yang dapat menarik insvestor, mengingat baik dalam proses pembangunan maupun kegiatan operasional infrastruktur tersebut, akan berhubungan dengan kegiatan usaha dan investasi yang sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan. Pilar keempat, yakni dengan melaksanakan diplomasi maritim. Terkait dengan hal ini, keamanan maritim akan mempengaruhi keberhasilan diplomasi yang dijalankan. Apabila kemanan maritim lemah, maka akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan diplomasi maritim. Sedangkan untuk pilar kelima sudah tentu sangat berhubungan dengan keamanan maritim karena menyangkut upaya membangun kekuatan pertahanan maritim. Oleh karena itu, lemahnya sistem keamanan maritim akan berimplikasi negatif terhadap pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, termasuk terhadap ketahanan nasional, sehingga upaya untuk meningkatkan sistem kemanan maritim menjadi sangat penting untuk segera direalisasikan.

5. Konsep Peningkatan Sistem Keamanan Maritim yang Mampu Mendukung Pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Memperkuat Ketahanan Nasional. Pembahasan tentang peningkatan sistem keamanan maritim harus dapat dipahami dan dianalisa secara lebih konprehensif agar menghasilkan konsep yang lebih efektif. Pemahaman keamanan maritim bukan hanya penegakan hukum di laut saja, akan tetapi merupakan sebuah sistem terkait dengan keamanan laut yang lebih konprehensif. Keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut.6 Keamanan maritim sendiri memiliki

banyak pengertian, diantaranya dapat diartikan sebagai kegiatan sipil maupun militer untuk mengurangi resiko dan melawan kegiatan ilegal dan ancaman dalam ruang domain maritim. Konsentrasi keamanan maritim singkatnya berada pada penggunaan atau manipulasi tidak sah terhadap elemen domain maritim pada saat keadaan damai (Said, 2014). Istilah keamanan maritim digunakan untuk lebih memperluas makna daripada hanya sebatas keamanan laut. Konsep keamanan maritim bukanlah suatu konsep yang rigid / kaku, tetapi sangat fleksibel sesuai dengan pola pikir dan domain masalah maritim yang dibahas. Artinya, konsep keamanan

(7)

maritim bagi NKRI tidak akan sama dengan pihak manapun di dunia, sehingga ada rumusan dan batasan tersendiri yang khas sesuai kondisi nasional yang ada. Bertitik tolak dari persepsi tersebut sangatlah jelas bahwa pembahasan keamanan maritim di Indonesia memiliki lingkup yang cukup luas, mulai dari aspek keorganisasian sampai dengan pengoperasian yang terhubung dalam sebuah sistem.

Dari berbagai analisa mulai dari latar belakang dan kondisi sistem keamanan maritim Indonesia saat ini dengan berbagai permasalahannya, serta dengan yaitu : pertama, membangun dan mengembangkan elemen sea power Indonesia dengan titik berat pada pembangunan Armada patroli Bakamla dan pengembangan kekuatan TNI AL. Kedua, mengintegrasikan sarana pengawasan maritim yang dalam waktu dekat dapat dilakukan melalui pengintegrasian sarana teknologi

Surveillance System dan sistem jaringan informasi, serta pembentukan pusat pengawasan terpadu. Ketiga, mensinergikan seluruh otoritas lembaga kemaritiman dengan merevisi aturan perundang-undangan yang lebih konprehensif, serta mengefektifkan sistem kelembagaan.

a. Membangun dan mengembangkan elemen sea power / kekuatan laut Indonesia. Terkait dengan sea power, DR. Marsetio mengemukakan bahwa keberadaan kekuatan laut Indonesia sebagai means untuk mengamankan kepentingan nasional yang terkait domain maritim merupakan syarat yang tidak bisa ditawar.7 Oleh karena itu, upaya membangun dan

mengembangkan elemen sea power Indonesia menjadi faktor vital dalam peningkatan sistem keamanan maritim. Pakar kekuatan laut misalnya A.T. Mahan (The Influence of Sea Power upon History), Geoffrey Till (Sea Power: A Guide for the Twenty Century) dan Sam Tangredi (Globalization and Maritime Power), mengatakan bahwa elemen-elemen sea power yang dibutuhkan untuk

(8)

membangun negara maritim dalam aspek operasional, pada umumnya terdiri dari tiga elemen besar yaitu : pertama, kekuatan pengamanan atau dalam istilah teknis fighting instrument untuk melindungi asset dan kepentingan; Kedua, armada niaga, termasuk armada perikanan dan pelayaran rakyat; Ketiga, industri dan jasa yang terkait dengan laut. Dalam kaitannya dengan peningkatan keamanan maritim, maka elemen kekuatan pengamanan / fighting instrument harus mampu dikembangkan secara memadai. Jika melihat kondisi elemen sea power Indonesia saat ini, maka prioritas yang harus diwujudkan adalah upaya membangun Armada patroli Bakamla dan pengembangan kekuatan TNI AL.

Sebagaimana diketahui, dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2014 tentang kelautan dan Perpres No.178 tahun 2014 menjadi legitimasi dibentuknya badan single agency multy task (Bakamla), yang memiliki kewenangan satu komando menjalankan fungsi pengamanan laut Indonesia, dari yang sebelumnya hanya sebatas fungsi koordinasi, sehingga sudah selayaknya memiliki Armada patroli yang memadai. Untuk meningkatkan sistem keamanan maritim yang sejalan dengan visi pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pengadaan kapal patroli bagi Bakamla baik untuk ukuran kapal sekitrar 48m, 80m, maupun 110m perlu terus dilakukan secara bertahap.

(9)

dan pengadaan Alutsista TNI AL khususnya sesuai dengan program MEF (Minimum Essential Force) sudah sepantasnya dapat terealisasi lebih cepat, sekaligus mendukung terwujudnya TNI AL sebagai world class navy.

b. Mengintegrasikan sarana pengawasan maritim. Untuk meningkatkan sistem keamanan maritim, maka bangsa Indonesia akan membutuhkan sistem pengawasan yang lebih terintegrasi dalam menjaga luasnya wilayah laut dari kapal-kapal pencuri dan perusak lingkungan, mengawasi pelabuhan dan kapalnya dari perusak, perompak, perampok, teroris hingga sabotase. Bangsa Indonesia juga perlu mengawasi wilayah lautnya untuk mencegah pelanggaran perbatasan, spionase, ancaman navigasi, serta dari faktor-faktor lain yang menyebabkan instabilitas keamanan, seperti trafficking dan imigran ilegal. Dalam pelaksanaan pengawasan kelautan, maka stakeholders kemaritiman diharapkan memiliki suatu sistem deteksi, monitoring dan pelaporan secara cepat dan akurat melalui pembangunan Surveillance System berbasis teknologi informasi dan citra satelit yang memadai, serta dapat dioperasikan secara terintegrasi. Jika melihat kondisi kemampuan dan kekuatan nasional yang ada, maka pengembangan sistem pengawasan maritim dalam waktu dekat dapat dilakukan melalui pengintegrasian sarana teknologi Surveillance System dan sistem jaringan informasi, serta pembentukan pusat pengawasan terpadu.

Dalam proses pengintegrasian sarana teknologi surveillance system,

maka harus dilaksanakan secara konprehensif dengan memadukan seluruh sarana yang ada, baik yang dimiliki oleh TNI AL, Bakamla, KKP, TNI AU, Kementrian Perhubungan serta instansi lain yang memiliki kemampuan

surveillance, sehingga dapat bekerja secara terpadu dalam melaksanakan monitoring / pengamatan, komunikasi, surveillance (pengawasan) maupun

reconnaisance (pengenalan). Di samping itu, setiap instansi akan dapat lebih mudah untuk mencari, menemukan serta menganalisa data dan informasi yang diperlukan untuk menunjang tugasnya. Sedangkan dalam upaya mengintegrasikan sistem jaringan informasi, maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan pengamatan maritim di masing-masing stakeholders

(10)

tidak hanya dibentuk dalam aspek perangkat keras maupun perangkat lunak, namun juga dalam konteks proses data secara utuh yang mencakup deteksi, identifikasi, klasifikasi hingga pengolahan data yang lebih cepat. Kecepatan dan akurasi informasi sangat diperlukan agar pengawasan dan penindakan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat serta mengefektifkan sistem pertukaran informasi data, informasi perijinan, dan informasi lainnya diantara stakeholders

yang terlibat.

Sementara itu, pembangunan pusat pengawasan wilayah laut secara terpadu menjadi faktor penting dalam lingkup operasional sarana teknologi

Surveillance System dan sistem jaringan informasi yang telah diintegrasikan. Pusat pengawasan terpadu ini merupakan sistem yang terdiri dari kumpulan personel serta seperangkat peralatan berbasis teknologi Informasi, Komunikasi dan komputerisasi yang mengintegrasikan berbagai informasi yang berasal dari seluruh sistem pengawasan maritim yang dimiliki oleh tiap-tiap stakeholders kemaritiman yang ada, selanjutnya hasil analisa dari pusat dapat didistribusikan kembali kepada seluruh stakeholders kemaritiman yang ada untuk digunakan sebagai bahan informasi atau untuk kepentingan operasional dan pelayanan publik. Setelah pembangunan pusat pengawasan terpadu ini terbentuk, maka masing-masing stakeholders kemaritiman dapat mengirim perwakilannya sebagai LO (Liason Officer) sekaligus sebagai pengawak sistem sesuai dengan bidangnya. Hal ini diperlukan untuk menjembatani proses koordinasi dan komunikasi antar stakeholders, sehingga segala permasalahan dan persoalan yang terjadi berkaitan dengan keamanan maritim dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.

(11)

sinergitas yang soliditas dari semua stakeholder kemaritiman. Untuk menciptakan sinergitas seluruh otoritas lembaga kemaritiman, maka ada dua subtansi pokok yang perlu dilakukan, yaitu dengan merevisi aturan perundang-undangan yang lebih konprehensif, serta mengefektifkan sistem kelembagaan.

Dalam aspek perundang-undangan, ke depan diharapkan ada aturan dan kebijakan yang lengkap guna mendukung semua aspek yang dapat menjadi landasan hukum dalam meningkatkan sistem keamanan maritim secara terpadu. Di samping itu, piranti lunak tersebut harus mencakup dasar hukum terpadu yang melibatkan peran aktif berbagai aparat penegak hukum di laut (Bakamla, TNI AL, Polair, Bea Cukai, Imigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, TNI AU, LAPAN dan BPPT) yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih dalam pengamanan wilayah laut. Oleh karena itu perlu adanya inventarisasi semua peraturan perundang-undangan terkait keamanan maritim, untuk selanjutnya dilakukan evaluasi dan revisi terhadap aturan yang tumpang-tindih maupun kurang jelas, sehingga dalam produk regulasi dan legislasi selanjutnya akan menghasilkan aturan perundang-undangan yang lebih jelas, tegas dan lebih konprehensif.

(12)

yang lebih efektif untuk mewujudkan keamanan maritim nasional dan internasional, serta mampu mensinergikan semua stakeholder terkait dalam menjaga keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia.

III. PENUTUP

6. Kesimpulan.

a. Dengan tidak mendiskreditkan faktor lain dalam mendukung upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, aspek keamanan maritim merupakan salah satu prasyarat yang mutlak diperlukan, serta faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor pembangunan di bidang kemaritiman lainnya. Oleh karena itu, peningkatan sistem keamanan maritim harus senantiasa menjadi agenda utama dalam setiap rencana pembangunan nasional.

b. Untuk meningkatkan sistem keamanan maritim Indonesia secara efektif, maka dapat dilaksanakan melalu berbagai upaya, yaitu : pertama, membangun dan mengembangkan elemen sea power Indonesia dengan titik berat pada pembangunan Armada patroli Bakamla dan pengembangan kekuatan TNI AL. Kedua, mengintegrasikan sarana pengawasan maritim yang dalam waktu dekat dapat dilakukan melalui pengintegrasian sarana teknologi Surveillance System

dan sistem jaringan informasi, serta pembentukan pusat pengawasan terpadu. Ketiga, mensinergikan seluruh otoritas lembaga kemaritiman dengan merevisi aturan perundang-undangan yang lebih konprehensif, serta mengefektifkan sistem kelembagaan.

(13)

merupakan sebuah strategi yang sangat tepat dalam memanfaatkan potensi dan posisi geografis Indonesia yang strategis, sejalan dengan kaidah ketahanan nasional. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa terwujudnya pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan memberikan kontribusi positif terhadap penguatan ketahanan nasional. Dengan demikian, peningkatan sistem keamanan maritim akan mampu mendukung pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan dapat memperkuat ketahanan nasional.

7. Saran.

a. Upaya meningkatkan sistem keamanan maritim diharapkan dapat menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan nasional agar mampu mendukung terealisasinya visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

b. Sinergitas seluruh lembaga kemaritiman yang lebih solid diharapkan dapat menjadi dasar operasional bagi seluruh stakeholder untuk mendukung peningkatan sistem keamanan maritim.

Jakarta, Juni 2015

Lampiran : “A” : Alur Pikir.

(14)

PENINGKATAN SISTEM KEAMANAN MARITIM GUNA MENDUKUNG PEMBANGUNAN INDONESIA SEBAGAI

POROS MARITIM DUNIA DALAM RANGKA MEMPERKUAT KETAHANAN NASIONAL

(15)

DAFTAR GAMBAR/GRAFIK

LAMPIRAN “B”

Sumber : Badan Keamanan Laut tahun 2015

(16)

DATA KAPAL YANG HILANG SECARA GLOBAL

(17)

DATA PEROMPAKAN KAPAL SECARA GLOBAL

(18)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Cetakan.

Bantarto Bandoro, 2005, “Perpektif Baru Keamanan Nasional”, Centre for Strategic and Internasional Studies, Jakarta.

Makmur Keliat, 2009, “Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia”, Journal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13, Nomor 1, Juli 2009 (111-129), ISSN 1410-4946.

Laksamana TNI Dr. Marsetio, 2014. “Sea Power Indonesia”, Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta.

Laksamana TNI Dr. Marsetio, 2014. “Paradigma Baru TNI AL Kelas Dunia”, Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta.

Laksamana Muda TNI Slamet Yulistiyono. 2011. “Keamanan Maritim Dalam Manajemen Aspek Operasional”. Jakarta : dalam acara seminar Internasional Maritime Security di Hotel Nico tanggal 11 Juli 2011.

Sirjanti, dkk. 2009. “Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa”, Graha Ilmu, Jakarta.

B. Naskah Dokumen.

---. 2013. Telaahan Staf Sops kormar No. 01 / I / 2013.

---. Sumber data Badan Informasi Geospasial berdasarkan hasil survey geografi dan toponimi dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR). Hasil survey tersebut telah dilaporkan ke United Nations Group of Expert on Geograpichal Names (UNGEGN).

(19)

____. Undang-Undang RI. Nomor 3 Tahun. 2002 tentang “Pertahanan Negara", 2004, Fokusmedia, Jakarta.

____, Undang-Undang RI. Nomor 34 Tahun 2004 tentang “Tentara Nasional Indonesia”, 2004, Fokusmedia, Jakarta.

____, Undang-Undang RI. Nomor 32 Tahun 2014 tentang “Kelautan”.

____, Perpres No.178 tahun 2014 tentang “Pembentukan Bakamla RI”.

C. Website.

____. “Pembentukan Coast Guard Untuk Mengintegrasi Pengelolaan Pertahanan dan Keamanan Maritim”, http://indo-defense.blogspot.com/2012/06/pembentukan-coast-guard-untuk.html, diakses 21 Juni 2015.

Yudhoyono, Susilo Bambang.Geopolitik Kawasan Asia Tenggara :Perspektif Maritim” dalam http://mimerss.blogspot.com/2013/06/geopolitik-kawasan-asia-tenggara.html, diakses 21 Juni 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan memetakan objek wisata kota Jakarta Barat menggunakan metode Location Based Service yang memanfaatkan

Dengan memandang matematika sebagai aktivitas manusia pada seluruh peradaban di muka bumi pada saat kapanpun, penelusuran terhadap unsur- unsur matematika

Perhitungan return yang diharapkan dari suatu portofolio dapat diestimasi dengan menghitung rata-rata tertimbang dari return yang diharapkan dari masing-masing aset individual

yang negatif, ideal diri yang tidak realistis, harga diri rendah, peran yang.. tidak memuaskan, dan identitas diri yang tidak

Hingga saat ini Dalai Lama terus melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan hak otonomi Tibet seperti melakukan perjanjian, pidato, berdiskusi mengenai Tibet dengan pemimpin

Untuk mempermudah penulis dan tidak terjadi penyimpangan dalam membahas masalah yang ada, maka ruang lingkup penelitiannya adalah kompensasi dan motivasi kerja

Analisis hasil monitoring dan evaluasi untuk kegiatan monitoring, akan memberikan kesimpulan dan saran yang menggambarkan tingkat kecukupan dokumen dalam rangka