1. Status Fungsional
1.1. Definisi Status Fungsional
Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional
mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat
karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi
kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta
kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan
suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care
(perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik.
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk
menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban
hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri,
pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain,
sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu.
1.2. Jenis-jenis pengukuran status fungsional
Saltzman dalam Ropyanto (2011) menjelaskan status fungsional
dapat dikaji melalui pengkajian fungsional dengan menggunakan alat ukur
untuk mendapatkan gambaran indikasi keparahan suatu penyakit,
memonitor perubahan sepanjang waktu, serta untuk pantauan
pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat ukur status
fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index of
Independence in Activities of Daily Living (IADL), Functional Independent
Meassure (FIM), Indeks Barthel.
1.3. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke
Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada
pasien stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada
pasien stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi
penyakit, dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya
yang mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support,
kelelahan, kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia
perkembangan, dan jenis ketergantungan yang dialami.
1.4. Status fungsional pada pasien stroke
Abraham Maslow menjelaskan lima hirarki kebutuhan dasar manusia
(five hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan
keselamatan dan keamanan, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan
harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow dalam Asmadi (2008)
menjelaskan bahwa kebutuhan yang sangat primer yang dibutuhkan oleh
manusia adalah kebutuhan fisiologis.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang
kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi
maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia
(Asmadi, 2008).
Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan
fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam
kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada
pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan
keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi
kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya
cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat
beraktivitas dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting,
makan, minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan
maupun berpindah tempat (Junaidi, 2011).
Status fungsional pada pasien stroke dapat diukur salah satunya
adalah dengan menggunakan Indeks Barthel sebagai istrumen untuk
mengukur kategori ketergantungan kemampuan fungsi yang dialami.
Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan disalah satu atau kedua
anggota ekstremitas atas (tangan) pasti mengalami kesulitan dalam hal
kebutuhan fisiologis, makan. Gangguan makan pada pasien stroke tidak
hanya dapat berakibat pada sistem pencernaan dan energinya tetapi dapat
berakibat juga dengan penurunan konsentrasi atau penurunan kognitif
memperhatikan gizi yang terkandung dalam makanan pasien, maupun diet
yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke (Sutrisno, 2007).
Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh
pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang
hingga ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi
kebutuhan mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh
dengan menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol,
penyikat gigi, dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari
kotoran, keringat, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang
dapat menempel di kulit (Ropyanto, 2011).
Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri
yang perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju
dapat dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit
terlebih dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang
terdekat seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya
kebutuhan mandi, berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga
pasien stroke dapat terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan
fisik yang dialami (Ropyanto, 2011).
Kebutuhan fisiologis seperti eliminasi urin BAK dan BAB atau
aktivitas toileting pada pasien stroke dapat dibantu oleh perawat maupun
keluarga. Namun, apabila pasien stroke masih dalam ketegori
ketergantungan ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien
stroke yang mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan
dalam aktivitas toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan
sehingga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan
perawat maupun keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan
yang bergizi dengan serat yang tinggi untuk membantu memperlancar
eliminasi (Ropyanto, 2011).
Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu
dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus
dapat memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk
melakukan pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh.
Keteraturan dalam mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat
meningkatkan status fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh
secara instan, tetapi diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran
(Ropyanto, 2011).
1.5. Pengukuran status fungsional pasien stroke dengan Indeks Barthel
Penelitian ini menggunakan Indeks Barthel untuk mengkaji status
fungsional pasien stroke. Indeks barthel merupakan instrumen pengukuran
status fungsional yang digunakan pada dewasa yang sedang dalam
perawatan klinis maupun dalam area rehabilitasi (Loretz, 2005 dalam
Ropyanto, 2011). Indeks Barthel ini merupakan skala yang dinilai
berdasarkan observasi oleh tenaga kesehatan, dapat diambil dari catatan
Domain dalam instrumen ini meliputi makan, berpindah tempat,
kebersihan diri, aktivitas toileting seperti mengontrol defekasi dan
berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, dan
berpakaian. Kemampuan untuk makan diberikan tiga aspek penilaian yaitu
skor 0 tidak mampu makan sendiri apabila pasien tidak mampu secara total
dan membutuhkan bantuan keseluruhan untuk melakukan seluruh aktivitas
makan seperti penyiapan makanan, memegang sendok dan piring, dan
menyuapi makanan kedalam mulut, dan pasien yang menggunakan NGT
(nasogastric tube). Skor 5 diberikan kepada pasien yang hanya
membutuhkan beberapa bantuan dalam aktivitas makan, seperti penyiapan
makanan, memegang piring, memotong makanan menjadi bagian
kecil-kecil dan pasien dapat melakukan sebagian seperti menyuapi sendiri
kedalam mulut. Skor 10 diberikan kepada pasien yang secara keseluruhan
mampu melakukan aktivitas makan secara mandiri, tidak membutuhkan
bantuan.
Mandi terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0 diberikan
kepada pasien yang secara total tidak mampu mandi sendiri, membutuhkan
keseluruhan bantuan seperti melepas baju, menggunakan sabun, shower
puff, air, mencuci rambut, tidak mampu nenegang gayung, tidak mampu
mengguyur air ke badan, tidak mampu menggosok dan membersihkan
badan. Sementara skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan
mandiri, yaitu mampu melakukan sebagian dengan bantuan atau
Perawatan diri terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0
diberikan pada pasien yang membutuhkan bantuan dalam melakukan
perawatan diri seperti berhias, menyisir rambut, mencuci muka, menyukur
jenggot, kumis, menggosok gigi, dan menggunakan bedak. Skor 10 diberi
pada pasien yang mampu secara mandiri tanpa bantuan dalam melakukan
perawatan diri.
Aktivitas selanjutnya yaitu berpakaian dengan 3 kategori penilaian,
yaitu skor 0 diberikan kepada pasien yang tidak mampu secara
keseluruhan dalam berpakain, mengenakan dan melepaskan pakaian,
menggunakan tali sepatu, membuka dan menutup reksleting, kancing, dan
penyiapan pakaian. Skor 5 diberikan pada pasien yang membutuhkan
sebagian bantuan dalam berpakaian, seperti kesulitan mengenakan pakaian
dibagian yang mengalami kelumpuhan namun sebagian lagi pasien mampu
melakukannya. Skor 10 diberikan kepada pasien yang mampu secara
mandiri melakukan seluruh aktivitas dalam berpakaian mulai dari
penyiapan pakaian, sampai dengan menggunakan pakaian dan
merapikannya sendiri.
Mengontrol anus dalam domain Bowel (BAB) mempunyai tiga
kategori penilaian, antara lain skor 0 inkontinensia yaitu tidak mampu
mengendalikan fungsi pengeluaran feses dan flatus. Pasien yang
menggunakan enema, pencahar dan menggunakan diaper juga diberikan
insidental diberikan skor 5, dan pasien yang dapat mengontrol pengeluaran
atau kontinensia diberikan skor 10.
Mengontrol kandung kemih mempunyai tiga kategori penilaian
antara lain skor 0 atau inkontinensia yang tidak mampu mengendalikan
pengeluaran urin dan yang menggunakan kateter atau yang menggunakan
diaper. Skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan insedental,
sementara skor 10 diberikan pada pasien yang kontinen, dapat mengontrol
pengeluaran urin tanpa menggunakan kateter.
Kategori penilaian dalam penggunaan toilet meliputi tidak mampu
yang diberikan skor 0 yaitu pasien yang membutuhkan bantuan total dalam
menggunakan toilet meliputi melepas dan menggunakan celana, pakaian
dalam, menyiram wc, membersihkan area genital, berjalan ke toilet,
beranjak ke atau dari kloset. Skor 5 diberikan pada pasien yang hanya
sebagian membutuhkan bantuan seperti membersihkan area genitalia,
sebagian aktivitas lain dalam penggunaan toilet mampu dilakukan. Skor 10
diberikan pada pasien dengan kemampuan mandiri dalam penggunaan
toilet tanpa bantuan.
Berpindah dari tempat tidur ke kursi atau ke kursi roda dan
sebaliknya memiliki empat kategori penilaian yaitu skor 0 pada pasien
yang tidak mampu karena tidak memiliki keseimbangan, skor 5 pada
pasien yang membuthkan banyak bantuan (bantuan mayor) lebih dari satu
orang, dan pada pasien yang dapat duduk. Skor 10 diberikan jika pasien
pasien yang dapat berpindah secara mandiri tanpa bantuan diberikan skor
15.
Aktivitas pergerakan atau mobilisasi dalam batas yang telah
ditentukan memiliki empat kategori penilaian, yaitu skor 0 yang tidak
mampu melakukan mobilisasi atau <5 meter. Skor 5 jika pasien mampu
mandiri mobilisasi > 5 meter dan pasien yang menggunakan kursi roda.
Skor 10 jika pasien mampu berjalan dengan bantuan verbal atau fisik satu
orang < 5 meter, dan skor 15 pada pasien yang mampu mobilisasi berjalan
mandiri tanpa bantuan orang > 5 meter atau pasien yang mampu berjalan
sendiri dengan tongkat.
Aktivitas terakhir yaitu naik dan turun tangga memiliki tiga kategori
penilaian yaitu skor 0 jika pasien tidak mampu secara total dalam menaiki
atau menuruni tangga, skor 5 jika pasien mampu menuruni dan menaiki
tangga dengan bantuan orang secara verbal atau fisik atau dengan
menggunakan tongkat atau berpengangan. Skor 15 diberikan jika pasien
mampu secara mandiri tanpa bantuan apapun dalam menuruni dan menaiki
tangga. Terdapat lima skala penilaian, berupa mandiri (81-100),
ketergantungan ringan (61-80), ketergantungan sedang (41-60),
2. Konsep Diri
2.1. Definisi konsep diri
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa konsep diri adalah
semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang membuat individu
mengetahui dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
Kozier, Glenora, dan Berman serta koleganya (2004) menjelaskan bahwa
konsep diri merupakan gambaran psikologis individu meliputi persepsi
atau ide pribadi yang kompleks, penampilan, keyakinan, dan kepercayaan
yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bertindak.
Definisi lain dari konsep diri menurut Potter dan Perry (2005)
merupakan citra subjektif dari percampuran yang kompleks antara
perasaan, sikap, dan persepsi bawah sadar maupun sadar, mencakup
bagaimana individu mengetahui dirinya dan seluruh aspek dalam
kehidupannya, yang bergantung pada aspek psikologis dan spiritualnya
serta memberikan kita pedoman dan acuan yang mempengaruhi
manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain.
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa konsep diri merupakan hal yang sangat penting ada dalam diri
individu, yang merupakan citra mental individu terhadap dirinya sendiri
mencakup bagaimana individu memandang dan menilai dirinya
berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta mempengaruhi
2.2. Perkembangan konsep diri pada masa dewasa awal hingga dewasa
akhir
Potter dan Perry (2005) menjelaskan mengenai perkembangan
konsep diri dewasa awal yang berusia 20-40 tahun memiliki hubungan
yang intim dengan keluarga dan orang-orang lain, memiliki perasaan yang
stabil dan positif mengenai diri, dan mengalami keberhasilan transisi
peran, serta meningkatnya tanggung jawab. Konsep diri pada masa ini
akan tetap terus berkembang, yang dapat diidentifikasi dari nilai, sikap,
dan perasaan tentang diri. Konsep diri merupakan kreasi sosial,
penghargaan, dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan
perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial yang ditetapkan.
Perkembangan konsep diri pada masa dewasa madya yang berusia
40-60 tahun mengalami proses penerimaan terhadap setiap perubahan
penampilan dan ketahanan fisik, mengevaluasi ulang tujuan hidup dan
merasa nyaman dengan penuaan, serta menunjukkan perhatian dengan
penuaan, memberikan pelajaran dan pengalaman yang berharga bagi
individu lain, serta menghargai bahwa masa lalu dan pengalaman mereka
sendiri adalah valid dan sangat bermakna. Konsep diri terus berkembang
hingga individu menjadi lansia. Konsep diri semasa lansia atau dewasa
akhir dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup, bercermin pada
hidup, meninjau kembali keberhasilan, dan kekecewaan. Konsep diri pada
2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Stuart dan Laraia (2001) menjelaskan bahwa faktor yang
mempengaruhi konsep diri antara lain teori perkembangan, significant
other (orang terdekat atau terpenting), dan self perception (persepsi diri
sendiri). Kozier, Glenora, Berman dan koleganya (2004) menambahkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri individu adalah
tumbuh kembang, keluarga dan budaya, stresor, pengalaman dari
kegagalan dan keberhasilan, serta penyakit, trauma, dan pembedahan.
2.4. Komponen konsep diri
Konsep diri terdiri dari 4 komponen menurut Potter dan Perry
(2005), meliputi gambaran diri (body image), harga diri (self-esteem),
peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity), sedangkan Stuart dan
Sundeen (1991) membagi konsep diri menjadi 5 komponen yaitu,
gambaran diri (body image), ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem),
peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity),
2.4.1. Gambaran diri (body image)
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa gambaran diri
merupakan sikap individu terhadap tubuhnya mencakup persepsi dan
perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan, dan potensi
tubuh saat ini, masa lalu, dan masa mendatang secara berkelanjutan
dan dipengaruhi dengan pengalaman baru individu.
Gambaran diri merupakan persepsi, perasaan, sikap, dan
maskulinitas, dan feminimitas, kegagahan fisik, daya tahan, dan
kapabilitas. Gambaran diri merupakan hal pokok dan dinamis karena
tubuh individu sering berubah seiring dengan usia, persepsi, dan
pengalaman-pengalaman baru yang diterima oleh individu dan dapat
berubah dalam beberapa jam, hari, minggu, atau bulan, bergantung
pada stimulus eksternal pada tubuh dan perubahan aktual dalam
penampilan, struktur, dan fungsi (Potter dan Perry, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri menurut
Potter dan Perry (2005), yaitu :
1. Faktor internal
Pandangan pribadi tentang karakteristik mengenai kemampuan
fisik, pertumbuhan kognitif, perkembangan hormonal, dan usia.
2. Faktor eksternal
Pandangan dan persepsi orang lain terhadap individu serta nilai
kultural dan sosial.
Perubahan gambaran diri juga dipengaruhi oleh stresor yang
dialami individu. Stresor yang mempengaruhi gambaran diri
menurut Potter dan Perry (2005), yaitu:
1. Perubahan penampilan, struktur, atau fungsi bagian tubuh
Amputasi, perubahan penampilan wajah karena kecelakaan,
mastektomi, kolostomi, ileostomi, hemiplegia, paraplegia,
kelumpuhan, operasi plastik dan lain-lain dapat mengakibatkan
2. Penyakit kronis
Penyakit jantung, stroke, ginjal, kanker, dan lain-lain yang
mencakup perubahan fungsi yang mengakibatkan tubuh tidak lagi
pada tingkat yang optimal dan mengakibatkan efek yang
signifikan pada gambaran diri individu.
3. Perubahan hormonal dan perkembangan fisik
Kehamilan, penuaan, dan menopause merupakan hal yang normal
dialami individu. Namun, hal ini dapat mengakibatkan perubahan
pada gambaran diri individu yang bergantung pada penerimaan
individu.
4. Efek pengobatan dan terapi
Kemoterapi, terapi radiasi, dan hemodialisa yang pada umumnya
menyebabkan perubahan pada penampilan seperti mengalami
kerontokan rambut, kulit kusam, dan timbul bintik kehitaman
dikulit mejadi stresor bagi gambaran diri individu.
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan gambaran diri positif
menunjukkan sikap bersyukur dengan perubahan fisik yang terjadi,
tetap menyukai, dan tidak menyalahkan Tuhan atas kondisi yang
dialami. Individu dengan gambaran diri negatif menunjukkan
penolakan untuk menyentuh bagian tubuh yang berubah,
ketidaknyamanan yang terus menerus dirasakan akibat perubahan
fisik yang terjadi, merasa tidak menarik akibat perubahan tubuh,
negatif, depersonalisasi, serta menolak menerima penjelasan
perubahan tubuh.
2.4.2. Ideal diri (self-ideal)
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan ideal diri merupakan
persepsi individu tentang perilaku individu berdasarkan standar,
aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu yang dipengaruhi oleh
norma, kebudayaan, keluarga, dan ambisi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ideal diri antara lain faktor spiritualitas,
kecenderungan individu dalam menetapkan ideal pada batas
kemampuannya, faktor sosial, kultural, dan budaya yang
mempengaruhi, ambisi dan keinginan yang kuat untuk bisa lebih dan
mencapai keberhasilan yang menyangkut harga diri individu, serta
perasaan cemas, kebutuhan yang realistis, dan keinginan untuk
menghindari kegagalan.
Ideal diri mempermudah individu dan berperan sebagai
pengatur internal dan membantu individu saat mengahadapi konflik
atau kondisi yang mengancam sehingga, tercapailah keseimbangan
fisik dan mental. Ciri-ciri individu yang mempunyai ideal diri yang
realistis menurut Stuart dan Sundeen (1991), antara lain:
1. Semangat untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan individu memiliki
2. Tidak ingin bergantung terhadap orang lain dan tidak
menyalahkan orang lain maupun Tuhan terhadap perubahan yang
terjadi walaupun tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
3. Giat dalam bekerja dan berusaha, serta tidak mudah menyerah.
Penetapan ideal diri sebaiknya harus cukup tinggi tetapi
realistis agar memacu individu untuk menggapainya. Namun,
individu yang tidak dapat memenuhi ideal diri sesuai standar dan
kriteria yang ditetapkan (tidak realistis) mengakibatkan harga diri
rendah, merasa lebih buruk dari yang lain, dan menyebabkan
individu tidak berdaya (Keliat, 2000).
2.4.3. Harga diri (self-esteem)
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa harga diri
adalah bentuk penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan
mempertimbangkan dan menganalisa seberapa jauh perilaku
individu sesuai dengan ideal diri. Apabila ideal diri berupa cita-cita
harapan keinginan tercapai, akan langsung menghasilkan perasaan
berharga didalam diri. Jika individu berhasil maka memiliki harga
diri yang tinggi, namun apabila individu selalu gagal mengakibatkan
individu memiliki harga diri yang rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri menurut Poter
1. Harga diri dipengaruhi oleh ideal diri.
Ideal diri yang dibentuk dari aspirasi, tujuan, nilai-nilai, dan
budaya serta standar perilaku individu. Individu yang hampir
memenuhi ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi, sementara
individu yang mempunyai variasi yang luas terhadap ideal diri
dan sulit untuk dicapai individu menyebabkan harga diri yang
rendah.
2. Evaluasi diri.
Evaluasi diri pribadi maupun evaluasi dari orang lain
mempengaruhi harga diri individu. Evaluasi diri yang baik
mengakibatkan peningkatan harga diri dan individu akan
mempertahankannya, namun evaluasi diri yang buruk
menyebabkan penurunan harga diri.
3. Harga diri dipengaruhi oleh sejumlah kontrol yang mereka miliki
terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup.
Banyak stresor yang mempengaruhi harga diri, yaitu
ketidakmampuan untuk memenuhi harapan orang tua atau orang
dicintai, kritik yang tajam, hukuman yang tidak konsisten,
persaingan atar saudara, kekalahan berulang, ketidakberhasilan
dalam pekerjaan, kegagalan dama berhubungan, penyakit,
pembedahan, kecelakaan, perubahan lain dalam kesehatan
menganggu individu semakin besar pula penurunan harga diri yang
terjadi (Potter dan Perry, 2005).
Stuart dan Sundeen (1991) menjelakan beberapa perilaku
individu dengan harga diri rendah, yaitu mengkritik diri sendiri dan
orang lain, putus asa, kecewa, malu, menarik diri dari interaksi
sosial, tertekan dan merasa tidak berguna, penurunan produktivitas,
gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, merasa
bersalah, mudah tersinggung, pandangan yang pesimis, dan memiiki
rasa khawatir berlebihan. Individu dengan harga diri tinggi
mempunyai keyakinan yang tinggi, berserah pada Tuhan, dan timbul
kepercayaan diri yang kuat.
2.4.4. Peran diri (self-role)
Peran diri mencakup harapan atau standar perilaku yang telah
diterima oleh keluarga, komunitas, dan kebiasaan yang didasarkan
pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Peran diri merupakan
label individu yang mempunyai berbagai peranan didalam kehidupan
yang terintegrasi dalam pola fungsi individu (Potter dan Perry,
2005).
Definisi peran diri menurut Stuart dan Sundeen (1991)
merupakan serangkaian pola perilaku ynag diharapkan oleh
lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai
kelompok sosial. Peran dibagi menjadi 2 yaitu peran yang telah
peran menjadi orangtua, anak, ibu, ayah dan lain-lain, sementara itu,
peran yang diterima (dipilih individu) seperti peran menjadi pelajar,
peran menjadi pekerja swasta, atau pekerja negeri, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam
menyesuaikan diri dengan peran yang dilakukan menurut Stuart dan
Sundeen (1991) yaitu:
1. Kejelasan perilaku dan penghargaan yang sesuai dengan peran.
2. Respon yang tetap dan konsisten terhadap peran yang dilakukan.
3. Kesesuaian dan keseimbangan antar semua peran.
4. Keselarasan budaya dan harapa terhadap peran.
5. Dukungan orang terdekat terhadap peran yang dilakukan.
6. Pemisahan situasi yang menciptakan ketidaksesuaian perilaku
peran.
Setiap individu memiliki lebih dari satu peran dan
memungkinkan untuk mengalami gangguan peran diri. Gangguan
peran diri atau stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak
jelas, peran yang tidak sesuai dengan nilai dan keinginan individu,
dan peran berlebih. Perilaku individu dengan gangguan peran atau
peran yang tidak memuaskan menunjukkan ketidakpuasan individu
terhadap peran yang sedang dilakukannya, mengingkari
ketidakmampuan menjalankan peran, kegagalan menjalankan peran
yang baru, ketegangan menjalankan peran yang baru (Potter dan
Stuart dan Sundeen (1991) menambahkan perilaku yang
timbul apabila individu mengalami peran diri yang tidak memuaskan
seperti perasaan tidak mampu, gagal, putus asa, apatis, dan kurang
bertanggung jawab. Sementara itu, individu yang dapat beradaptasi
dengan berbagai peran dan puas terhadap peran yang dilakukan akan
lebih meningkatkan perasaan berharga, dihormati, mempunyai
ambisi, semangat yang kuat, dan ingin terus meningkatkan kualitas
dalam peran yang sedang dilakukan.
2.4.5. Identitas diri (self-identity)
Identitas diri merupakan perasaan internal mengenai
individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari individu sepanjang
waktu dan dalam berbagai hal, yang menunjukkan individu berbeda
dan terpisah dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik
(Potter dan Perry, 2005). Rasa identitas terjadi secara kontinu timbul
dan dipengaruhi oleh situasi sepanjang hidup. Individu dengan rasa
identitas yang kuat akan merasa terintegrasi bukan terbelah.
Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa individu
dengan identitas diri yang jelas dilihat dari perilaku dan karakteristik
seperti individu mengenal dirinya secara terpisah dan berbeda
dengan orang lain, dan menyadari keunikan masing masing, tetap
bangga menjadi diri sendiri, mengenali dan menyadari jenis
seksualnya, sadar akan hubungannya masa lalu, saat ini, dan masa
dan direalisasikan, mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai
dengan penghargaan lingkungan sosialnya, menghargai, mengakui,
dan tetap percaya diri terhadap berbagai aspek tentang dirinya,
peran, nilai, dan perilaku secara harmonis.
Identitas diri dipengaruhi oleh stresor sepanjang hidup,
stresor tersebut adalah stresor kultural, stresor sosial, dan stresor
personal. Individu yang tidak dapat mengatasi dan tidak mampu
beradaptasi dengan stresor yang terjadi akan membuat individu
mengalami gangguan identitas diri.
Gangguan identitas diri atau individu yang memiliki identitas
diri yang tidak jelas ditunjukkan dengan perilaku ketidakpastian
memandang diri sendiri, penuh keraguan, menunjukkan individu
tidak mampu untuk mengambil keputusan, perilaku tidak percaya
diri, menganggap diri tidak sempurna, ketergantungan, kepribadian
yang bertentangan, masalah interpersonal, mempunyai perasaan
yang hampa (mengambang), kerancuan gender, tingkat ansietas yang
tinggi, dan ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain
2.5. Klasifikasi konsep diri
Potter dan Perry (2005) membagi konsep diri dibagi menjadi dua,
yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, bergantung pada kekuatan
individu dari komponen konsep diri. Konsep diri positif merupakan hal
yang esensial bagi kesehatan mental dan fisik. Individu yang memiliki
konsep diri positif memiliki respon yang adaptif terhadap suatu masalah
yang dihadapi, individu dapat menyelesaikan masalah secara jujur dan
realistis dan mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya atau disebut
dengan aktualisasi diri.
Konsep diri positif sangat baik dalam mendukung perkembangan
psikologis individu, meningkatkan interaksi atau hubungan yang lebih baik
dengan orang lain, menurunkan risiko gangguan fisik dan gangguan jiwa,
serta membuat individu dapat beradaptasi terhadap berbagai stresor yang
dapat menurunkankan kualitas hidup (Kozier et al., 2004).
Individu yang memiliki konsep diri yang sehat berarti memiliki
kepribadian yang sehat pula. Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan
bahwa individu yang memiliki konsep diri positif ditunjukkan melalui
citra tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realistis dan semangat
untuk menggapainya, harga diri yang tinggi, performa peran yang
memuaskan, dan rasa identitas yang jelas.
Individu yang memiliki konsep diri negatif berarti memiliki respon
yang maladaptif terhadap masalah yang dihadapi, memiliki citra tubuh
tidak memuaskan, dan identitas diri yang tidak jelas. Konsep diri negatif
yang dialami menyebabkan individu tidak percaya diri, menarik diri, dan
merasa tidak mampu untuk melakukan segala sesuatu, tidak dapat
mencapai tujuan dan harapan hidupnya. Individu dengan konsep diri
negatif dapat juga ditunjukan dari perasaan putus asa, tidak menyukai diri
sendiri, mengkritik diri sendiri, sering mengalami perasaan kecewa,
bahkan hingga menurunkan energi dan semangat menjalani hidup (Stuart
dan Sundeen, 1991).
2.6. Rentang respon konsep diri
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kekacauan Depersonalisasi diri positif rendah identitas
Skema 2. Rentang respon konsep diri (Stuart dan Sundeen, 1991)
Keterangan:
1. Respon adaptif apabila saat menghadapi masalah, individu dapat
beradaptasi dan dapat menyelesaikannya, atau individu memiliki
konsep diri positif dan meningkat memiliki aktualisasi diri yang baik.
2. Respon maladaptif apabila saat menghadapi masalah, individu tidak
dapat beradaptasi dan gagal dalam menyelesaikan masalah, atau
individu memiliki konsep diri negatif dengan adanya harga diri rendah,
depersonalisasi (tidak mengenal diri sendiri, tidak dapat membedakan
dirinya dengan orang lain, merasa asing dengan diri sendiri).
2.7. Konsep diri pada pasien stroke
Konsep diri merupakan hal yang dimiliki oleh setiap individu baik
individu yang sehat maupun individu yang sakit. Konsep diri dan persepsi
tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Individu
yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik dapat
meningkatkan konsep diri, dan sebaliknya individu yang tidak memiliki
keyakinan terhadap kondisi fisiknya dan kondisi kesehatannya, tidak
percaya dengan kesembuhan dapat mempengaruhi konsep diri menjadi
negatif (Potter dan Perry, 2005).
Individu dengan konsep diri positif dapat terjadi karena individu
dapat berpikir realistis, dapat menerima sakit yang dirasakan, lebih
bersikap optimis, penuh percaya diri, yakin sembuh, mampu menghargai
dirinya, dan mampu memandang aspek positif dari kondisi yang sedang
dialami. Hal ini dapat terjadi karena koping efektif yang dimiliki, terdapat
dukungan sosial (sistem support) yang didapat oleh keluarga, sahabat,
rekan sekerja, dan sebagainya, selain itu individu juga memiliki tingkat
spiritualitas yang baik, sehingga individu mudah menerima, bahkan
memiliki pemikiran yang positif tentang Tuhannya, mengganggap sakitnya
merupakan cobaan dan ujian yang harus dilalui, serta individu juga
individu sehingga individu semangat walaupun dalam kondisi sakit yang
dirasakan (Young, 2007).
Individu dengan konsep diri negatif dapat terjadi karena individu
hanya terpusat pada titik kelemahannya (penyakit), tidak memiliki
motivasi dan semangat yang kuat untuk sembuh, koping tidak efektif
untuk menghadapi masalah (penyakit), individu justru putus asa dengan
penyakit yang dialaminya, memandang dirinya lemah, tidak berdaya, tidak
berguna untuk hidup, selalu berpikir negatif, tidak dapat berbuat apa-apa,
kehilangan daya tarik terhadap hidup, hal ini dapat disebabkan karena
kurangnya dukungan sosial dari orang terdekat, selain itu tingkat
spiritualitas yang kurang baik, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang
dialami (Young, 2007).
Stroke merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi mendadak
(tiba-tiba) pada peredaran darah otak yang mengalami gangguan berupa
terhentinya suplai darah arteri ke otak yang dapat mengakibatkan defisit
neurologis dan gangguan fungsi yang diakibatkan oleh iskemik dan
pecahnya pembuluh darah (Kemenkes, 2010). Kondisi neurologis yang
timbul akibat stroke tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh
darah dan tergantung pada lokasinya. Secara fisik pasien stroke sering
mengalami kelemahan fungsi tubuh antara lain kelumpuhan wajah atau
anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak, gangguan
sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan sensorik),
afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan atau kesulitan memahami
ucapan), disatria, gangguan penglihatan atau diplopia, vertigo, mual,
muntah atau nyeri kepala (Arif et al., 2000).
Setiap perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya
stresor yang mempengaruhi konsep diri. Perubahan fisik yang terjadi dapat
mengakibatkan perubahan gambaran diri, harga diri, identitas diri, peran
diri, dan ideal diri juga terpengaruh. Secara psikologis individu dengan
stroke mengalami suatu “kehilangan” yang sangat besar dan berharga
dalam hidupnya, yakni “kehilangan” untuk bergerak dan bekerja,
kegagahannya, kekuatan anggota tubuhnya, kemandiriannya untuk dapat
melakukan aktivitas sehari-hari, dan keterampilannya (Wicaksana dalam
Huda, 2013).
Hal tersebut menyebabkan individu merasa tidak percaya diri dengan
keadaan dan kondisi yang sedang dialami dan mempengaruhi konsep diri
dalam kehidupannya. Individu dengan penyakit stroke tidak hanya
mengalami gangguan gambaran diri karena perubahan fisik yang terjadi,
individu juga memiliki perasaan takut, cemas dengan kondisinya, marah,
bahkan hingga depresi mungkin dapat terjadi. Individu merasa tidak
berguna dengan keterbatasan fisik dan gerak yang dialaminya, terjadi
perubahan peran seperti kepala rumah tangga yang terbatas melakukan
pekerjaan dan hubungan sosial tidak seperti dulu sebelum sakit, dan
Seseorang dengan penyakit stroke yang menerima dan merasa
mampu dengan kondisinya dapat menjadikan dirinya lebih semangat untuk
menjalani kehidupan dan berjuang untuk sembuh, dan sebaliknya individu
yang tidak mampu dan tidak menerima kekurangan dan keadaan yang
sedang dialami, akan semakin memperburuk kondisinya, baik kondisi fisik
maupun kondisi psikologis. Sangat penting bagi penderita stroke memiliki
konsep diri yang positif demi kesembuhan, mencegah terjadinya gangguan
psikologis seperti depresi, demi kelangsungan hidup dimasa depan yang