• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh Wita 111101093

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmad dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan”, untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh kesarjanaan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS, selaku Pembantu Dekan Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan pengetahuan, bimbingan, dorongan secara moral, masukan dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

(5)

4. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing akademik, seluruh dosen dan pegawai Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

5. Orang tua tercinta Alm Muhammad Ikhwan Pasaribu dan Ibunda Dahlia Suty Nasution terima kasih atas kasih sayang dan pengorbanan yang kalian berikan. Semoga anakmu ini bisa menjadi kebanggaan untuk kalian. Serta saudara tersayang kakak dan adik Liza Juliani, Dewi Sartika, dan Mega Silfia.

6. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 dan teman-teman teristemewa Lady Diana Puspita Dewi, Putri Nanda Sari, Otania Hosiana, Yori, Indri, Anggi, Nidya, Mesya, Cici, serta sahabatku Edwar Randa. Semangat untuk meraih impian kita.

Peneliti menyadari keterbatasan dalam skripsi ini, untuk itu peneliti mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Agustus 2015

(6)

DAFTAR ISI

1.2.1. Kehilangan objek eksternal ... 10

1.2.2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal ... 10

1.2.3. Kehilangan orang terdekat ... 11

1.2.4. Kehilangan aspek diri ... 11

1.2.5. Kehilangan hidup ... 12

1.3. Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan ... 14

1.3.1. Genetik... 14

1.3.2. Kesehatan fisik ... 15

1.3.3. Kesehatan jiwa/mental ... 15

1.3.4. Pengalaman kehilangan di masa lalu ... 15

(7)

2.5.1. Fase penyangkalan ... 20

2.5.2. Fase marah ... 21

2.5.3. Fase tawar-menawar ... 21

2.5.4. Fase depresi ... 21

2.5.5. Fase penerimaan ... 22

3. Respon psikologis pasien stroke ... 23

3.1. Kemarahan ... 23

3. Lokasi dan waktu penelitian... 30

4. Pertimbangan etik... 30

4.1. Prinsip manfaat... 30

4.2. Prinsip menghargai martabat manusia ... 32

4.3. Prinsip keadilan ... 33

5. Instrumen penelitian ... 34

5.1. Kuesioner data demografi ... 34

5.2. Kuesioner respon berduka ... 34

6. Validitas dan reliabilitas ... 35

6.1. Validitas ... 35

6.2. Reliabilitas ... 36

7. Pengumpulan data ... 37

7.1. Proses administrasi ... 37

7.2. Pengumpulan data pasien stroke... 37

8. Analisa data ... 38

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

1. Hasil penelitian... 40

1.1. Distribusi fase penyangkalan ... 40

1.2. Distribusi fase marah ... 41

1.3. Distribusi fase tawar-menawar ... 42

1.4. Distribusi fase depresi ... 43

1.5. Distribusi fase penerimaan ... 44

2. Pembahasan ... 46

2.1. Distribusi fase penyangkalan ... 46

2.2. Distribusi fase marah ... 47

(8)

2.5. Distribusi fase penerimaan ... 52

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Saran ... 54

3. Keterbatasan penelitian ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN 1. Lembar persetujuan menjadi responden penelitian ... 61

2. Instrumen penelitian ... 63

3. Jadwal tentative penelitian ... 65

4. Ethical Clearance... 66

5. Validitas isi instrument respon berduka (CVI) ... 67

6. Uji reliabilitas kuesioner respon berduka ... 69

7. Master tabel penelitian ... 71

8. Persetujuan validitas isi (content) ... 72

9. Persetujuan izin penelitian ... 74

10. Persetujuan izin pengambilan data ... 75

11. Persetujuan telah menyelesaikan penelitian ... 76

12. Lembar terjemahan abstrak ... 77

13. Taksasi dana penelitian ... 78

14. Lembar bukti bimbingan ... 79

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel tanda gejala berduka ... 19

Tabel 3.1 Definisi operasional variable penelitian ... 27

Tabel 5.1 Tabel fase penyangkalan ... 41

Tabel 5.2 Tabel fase marah ... 42

Tabel 5.3 Tabel fase tawar-menawar ... 43

Tabel 5.4 Tabel fase depresi... 44

(10)

DAFTAR SKEMA

(11)

Judul : Respon berduka pada pasiien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama : Wita Nim : 111101093 Jurusan : S1 Keperawatan Tahun : 2015

ABSTRAK

Respon berduka adalah respon emosional individu terhadap reaksi kehilangan yang dialaminya yang terdiri dari fase denial, anger, bargaining,

depresion, dan acceptance. Stroke adalah penyakit yang dapat menimbulkan adanya kecacatan, kelemahan fungsi tubuh, atau dampak negatif lainnya sehingga menimbulkan respon berduka pada orang yang mengalaminya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon berduka meliputi fase denial, anger,

bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Lokasi penelitian di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian kuesioner dan wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 responden dipilih dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami fase denial, fase bargaining, dan fase

acceptance. Sebagian kecil responden mengalami fase anger, dan fase depression. Direkomendasikan kepada seluruh perawat agar memahami tentang respon berduka pada pasien stroke dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga pasien stroke dapat melewati proses berduka yang normal.

(12)

Title of the Thesis : Mournful Responses of Patients Affected by Stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan

Name : Wita

Std. ID Number : 111101093

Faculty : Undergraduate (S1) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

A mournful response is an individual emotional response toward a reaction of loss which consists of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases. Stroke is a desease which can cause physical disability, weakness of body function, and other negative impacts that can cause mournful responses of a person affected by stroke. The objective of research was to find out the mournful responses which consisted of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases of patients affected by stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan. The research used a descriptive research design. The location of research was in the Neuorology Room at RSUP Haji Adam Malik, Medan. Data were collected by distributing questionnares and conducted structured interviews based on the questionnaires. The samples were 33 respondents, taken by using purposive sampling technique. The results of research showed that most of the respondents suffered from denial, bargaining, and acceptance phases. Some of them suffered from anger and depression phases. It is recommended that all nurses understand mournful responses of patients affected by stroke and provide appropriate cares so that they can pass the mournful processes normally.

(13)

Judul : Respon berduka pada pasiien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama : Wita Nim : 111101093 Jurusan : S1 Keperawatan Tahun : 2015

ABSTRAK

Respon berduka adalah respon emosional individu terhadap reaksi kehilangan yang dialaminya yang terdiri dari fase denial, anger, bargaining,

depresion, dan acceptance. Stroke adalah penyakit yang dapat menimbulkan adanya kecacatan, kelemahan fungsi tubuh, atau dampak negatif lainnya sehingga menimbulkan respon berduka pada orang yang mengalaminya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon berduka meliputi fase denial, anger,

bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Lokasi penelitian di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian kuesioner dan wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 responden dipilih dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami fase denial, fase bargaining, dan fase

acceptance. Sebagian kecil responden mengalami fase anger, dan fase depression. Direkomendasikan kepada seluruh perawat agar memahami tentang respon berduka pada pasien stroke dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga pasien stroke dapat melewati proses berduka yang normal.

(14)

Title of the Thesis : Mournful Responses of Patients Affected by Stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan

Name : Wita

Std. ID Number : 111101093

Faculty : Undergraduate (S1) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

A mournful response is an individual emotional response toward a reaction of loss which consists of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases. Stroke is a desease which can cause physical disability, weakness of body function, and other negative impacts that can cause mournful responses of a person affected by stroke. The objective of research was to find out the mournful responses which consisted of denial, anger, bargaining, depression, and acceptance phases of patients affected by stroke at RSUP Haji Adam Malik, Medan. The research used a descriptive research design. The location of research was in the Neuorology Room at RSUP Haji Adam Malik, Medan. Data were collected by distributing questionnares and conducted structured interviews based on the questionnaires. The samples were 33 respondents, taken by using purposive sampling technique. The results of research showed that most of the respondents suffered from denial, bargaining, and acceptance phases. Some of them suffered from anger and depression phases. It is recommended that all nurses understand mournful responses of patients affected by stroke and provide appropriate cares so that they can pass the mournful processes normally.

(15)

1. Latar belakang

Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes melitus, cedera dan penyakit paru obstruktif kronik serta penyakit kronik lainnya merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun (WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, penyakit tidak menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditas dan mortalitas penyakit tidak menular (PTM) semakin meningkat. Hal tersebut menjadi beban ganda dalam pelayanan kesehatan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.

Peningkatan penyakit tidak menular (PTM) berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan penyakit tidak menular (PTM) seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa jenis penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronik atau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi pasien dan keluarganya. Salah satu dampak penyakit tidak menular (PTM) adalah terjadinya kecacatan termasuk kecacatan permanen. Secara global, regional, dan nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (Kemenkes, 2013).

(16)

otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini disebabkan karena adanya sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah di dalam otak tersebut (Iskandar, 2011). Data World health Organization (WHO) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke, diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen. Dua pertiga dari kematian ini terjadi di negara-negara dengan sumber daya rendah.

Departemen kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa di perkotaan besar kematian akibat stroke pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di pedesaan sebesar 11,5 % (Depkes RI, 2013). Prevalensi stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut diagnosis dokter/gejala yang tertinggi pada

tahun 2013 ialah Provinsi Sulawesi Selatan (17,9 per 1000 penduduk), kemudian disusul DI Yogyakarta (16,9 per 1000 penduduk), dan Sulawesi Tengah (16,6 per 1000 penduduk). Prevalensi terendah terdapat di Provinsi Riau (5,2 per 1000 penduduk), kemudian disusul oleh Jambi (5,3 per 1000 penduduk), dan Lampung (5,4 per 1000 penduduk). Kenaikan prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni dari 7,4 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 17,9 per 1000 penduduk pada 2013. Penurunan prevalensi terbanyak terdapat di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu dari 14,9 per 1000 penduduk pada 2007 menjadi 8,5 per 1000 penduduk pada 2013 (Riskesdas, 2013).

(17)

jumlah pasien stoke sekitar 36 orang untuk perkiraan 1 bulannya. Dapat kita gambarkan pasien stroke untuk setiap tahunnya kurang lebih 432 orang.

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu dapat berdampak negatif atau buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008).

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa penyakit stroke mempengaruhi aspek-aspek kehidupan personal, sosial, pekerjaan, fisik, psikologis, ketergantungan dengan orang lain, dan ketergantungan secara ekonomi serta gangguan afektif lainnya. Dampak yang ditimbulkan penyakit stroke menyebabkan si penderita berada dalam kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi-konsisi tersebutlah yang mengakibatkan turunnya harga diri dan meningkatkan stress. Kondisi tersebut dirasakan sebagai bentuk kekecewaan atau krisis yang dialami oleh penderita. Tekanan-tekanan inilah yang berpeluang menimbukan masalah emosional (psikologis) yang ditunjukkan dengan terjadinya proses berduka pada pasien stroke. Namun hal ini dapat diminimalisir dengan kemampuan si penderita dalam menerima kehilangan yang dialaminya.

(18)

merupakan kehilangan fungsi tubuh akibat penyakit stroke yang menimbulkan kecacatan atau pembatasan, baik pembatasan sehari-hari maupun peran sosial yang memunculkan ansietas dan kesedihan. Penelitan lain menyebutkan bahwa pemicu munculnya rasa berduka pada penderita stroke karena ketidakmampuannya beradaptasi menerima kecacatan akibat stroke sehingga menimbulkan perasaan sedih dan tak berguna (Townend, et al., 2010).

Respon berduka yang muncul pada penderita stroke merupakan akibat lanjut dari kehilangan yang dirasakan oleh seseorang yang baru mengalami stroke. Seperti diketahui, berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Umumnya, respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan dimanifestasikan dengan perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain (NANDA, 2011). Kubler-Ross (1969 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan respon berduka berorientasi pada perilaku dan menyangkut kedalam 5 fase yaitu menyangkal (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).

(19)

Penelitian Putri (2010) mengatakan masalah berduka yang ditemukan pada pasien stroke tidak sampai menimbulkan perasaan depresi pada klien. Klien hanya mengalami tahap pengingkaran dan kemarahan pada hari pertama rawat, dilanjutkan dengan tahap tawar-menawar dan langsung pada tahap penerimaan yang ditunjukkan dengan respon klien yang berbeda-beda. Anjarsari (2010) melaporkan bahwa sepertiga dari 113 penderita pasca stroke mengalami depresi atau tekanan yang sangat besar dan akan semakin memberat dan makin sering dijumpai sesudah 6 bulan sampai 2 tahun setelah serangan stroke. Penelitian Huda dan Yatinden (2013) menunjukkan dari 104 pasien stroke terdapat 10 orang (9,6%) tidak mengalami depresi.

(20)

2. Perumusan masalah

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan secara serius. Hal ini dikarenakan penyakit stroke dapat menimbulkan dampak negatif pada orang yang mengalaminya, yaitu dapat berdampak negatif atau buruk pada kondisi fisik dan psikologis. Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008). Kondisi-kondisi yang dialami pasien stroke akan menggambarkan respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan?

4. Tujuan penelitian

1. Untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger,

(21)

5. Manfaat penelitian

5.1. Bagi Pendidikan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi pendidikan keperawatan mengenai respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke. 5.2. Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini akan berguna bagi perawat untuk mengetahui respon berduka pada pasien stroke sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan terkait bagaimana pasien stroke dapat menjalani proses berduka dengan normal.

5.3. Bagi Pasien stroke dan Keluarga

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi dan dorongan bagi pasien stroke, untuk dapat lebih mudah dalam mejalani proses berduka serta diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana proses berduka yang dialami pasien stroke, sehingga keluarga, saudara, sahabat dan masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi pasien stroke.

5.4. Bagi Penelitian Keperawatan

(22)

5.5. Bagi Institusi Rumah Sakit

(23)

1. Kehilangan (loss) 1.1. Definisi kehilangan

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).

Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatik. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi krisis, baik krisis situasional ataupun krisis perkembangan (Mubarak & Chayatin, 2007)

(24)

dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian ataupun seluruhnya.

1.2. Tipe Kehilangan

Potter dan Perry (2005) menyatakan kehilangan dapat dikelompokkan dalam 5 kategori: kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang telah dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup.

1.2.1. Kehilangan objek eksternal

Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau suatu aksesoris pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang tehadap benda yang hilang tergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. 1.2.2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal

(25)

situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit.

Perawatan dalam suatu institusi mengakibatkan isolasi dari kejadian rutin. Peraturan rumah sakit menimbulkan suatu lingkungan yang sering bersifat impersonal dan demoralisasi. Kesepian akibat lingkungan yang tidak dikenal dapat mengancam harga diri dan membuat berduka menjadi lebih sulit.

1.2.3. Kehilangan orang terdekat

Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja, dan kematian.

1.2.4. Kehilangan aspek diri

(26)

seperti ini, dapat menurunkan kesejahteraan individu. Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. 1.2.5. Kehilangan hidup

Sesorang yang menghadapi kematian menjalani hidup, merasakan, berpikir, dan merespon terhadap kejadian dan orang sekitarnya sampai terjadinya kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang takut tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama tidak akan pentingnya bagi setiap orang.

Setiap orang berespon secara berbeda-beda terhadap kematian. orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian menganggap kematian sebagai jalan masuk ke dalam kehidupan setelah kematian yang akan mempersatukannya dengan orang yang kita cintai di surga. Sedangkan orang lain takut perpisahan, dilalaikan, kesepian, atau cedera. Ketakutan terhadap kematian sering menjadikan individu lebih bergantung.

(27)

Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi, individu dimotivasi oleh kebutuhan harga diri yang menimbulkan rasa percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah aktualisasi diri, suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan. Apabila kebutuhan manusia tersebut tidak terpenuhi atau diabaikan karena suatu alasan, individu mengalami suatu kehilangan. Beberapa contoh kehilangan yang relevan dengan kebutuhan spesifik manusia yang diindentifikasi dalam hierarki Maslow antara lain:

1. Kehilangan fisiologis: kehilangan pertukaran udara yang adekuat, kehilangan fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau kondisi somatik lain yang menandakan kehilangan fisiologis.

2. Kehilangan keselamatan: kehilangan lingkungan yang aman, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia dalam hubungan profesional dapat dianggap sebagai suatu kehilangan keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa percaya antara klien dan pemberi perawatan.

(28)

4. Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai kehilangan setiap kali terjadi perubahan cara menghargai individu dalam pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri berubah. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu, dapat terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang dicintai.

5. Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat terancam atau hilang seketika krisis internal atau eksternal menghambat upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti berpikir kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan yang terkait dengan aktualisasi diri mencakup gagalnya rencana menyelesaikan pendidikan, kehilangan harapan untuk menikah dan berkeluarga, atau seseorang kehilangan penglihatan atau pendengaran ketika mengejar tujuan menjadi artis atau komposer.

1.3. Faktor presdisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan

Faktor predisposisi yang mempengaruhi reaksi kehilangan adalah genetik, kesehatan fisik, kesehatan jiwa, pengalaman masa lalu (Suliswati, 2005).

1.3.1. Genetik

(29)

optimistik dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan.

1.3.2. Kesehatan fisik

Individu dengan keadaan fisik sehat, cara hidup yang teratur, cenderung mempunyai kemampuan mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sedang mengalami gangguan fisik. 1.3.3. Kesehatan jiwa/mental

Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama mempunyai riwayat depresi, yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya, pesimistik, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap situasi kehilangan.

1.3.4. Pengalaman kehilangan di masa lalu

Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang bermakna di masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

1.4. Dampak kehilangan

(30)

khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

2. Berduka (grief) 2.1. Definisi berduka

Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal (Suliswati, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA, 2011).

Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berduka merupakan suatu reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan yang dirasakan.

2.2. Faktor penyebab berduka

(31)

2.2.1. Patofisiologis

Berhubungan dengan kehilangan fungsi atau kemandirian yang bersifat sekunder akibat kehilangan fungsi neurologis, kardiovaskuler, sensori, muskuloskeletal, digestif, pernapasan, ginjal dan trauma.

2.2.2. Terkait pengobatan

Berhubungan dengan peristiwa kehilangan akibat dialisis dalam jangka waktu yang lama dan prosedur pembedahan (mastektomi, kolostomi, histerektomi).

2.2.3. Situasional (Personal, Lingkungan)

Berhubungan dengan efek negatif serta peristiwa kehilangan sekunder akibat nyeri kronis, penyakit terminal, dan kematian; berhubungan dengan kehilangan gaya hidup akibat melahirkan, perkawinan, perpisahan, anak meninggalkan rumah, dan perceraian; dan berhubungan dengan kehilangan normalitas sekunder akibat keadaan cacat, bekas luka, dan penyakit.

2.2.4. Maturasional

(32)

kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait disfungsi fisik atau psikososial yang dialami.

2.3. Tanda dan gejala berduka

Terdapat beberapa sumber yang menjelaskan mengenai tanda dan gejala yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi, meliputi:

2.3.1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.

2.3.2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya, mulut kering, kelemahan.

2.3.3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidak sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.

2.3.4. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, penarikan sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.

(33)

Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul

Respon Berduka Tanda dan Gejala

Respon Kognitif - Gangguan asumsi dan keyakinan;

- Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan;

- Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal atau sesuatu yang hilang; - Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah

orang yang meninggal adalah pembimbing. Respon Emosional - Marah, sedih, cemas;

- Kebencian;

- Merasa bersalah dan kesepian; - Perasaan mati rasa;

- Emosi tidak stabil;

- Keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu atau benda yang hilang; - Depresi, apatis, putus asa selama fase

disorganisasi dan keputusasaan. Respon Spiritual - Kecewa dan marah pada Tuhan;

- Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan atau kehilangan;

(34)

Respon Perilaku - Menangis terisak atau tidak terkontrol; - Gelisah;

- Iritabilitas atau perilaku bermusuhan;

- Mencari atau menghindar tempat dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal;

- Kemungkinan menyalahgunakan obat atau alkohol;

- Kemungkinan melakukan upaya bunuh diri atau pembunuhan.

Respon Fisiologis - Sakit kepala, insomnia; - Gangguan nafsu makan; - Tidak bertenaga;

- Gangguan pencernaan;

- Perubahan sistem imun dan endokrin.

Sumber: Videbeck, 2008

2.4. Akibat berduka

(35)

berlangsung lama (Carpenito, 2006). Proses berduka yang maladaptif tersebut akan menyebabkan berbagai masalah sebagai akibat munculnya emosi negatif dalam diri individu. Dampak yang muncul diantaranya perasaan ketidakberdayaan, harga diri rendah, hingga isolasi sosial.

2.5. Respon berduka

Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan. Teori yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) mengenai tahapan berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap, yaitu sebagai berikut:

2.5.1. Fase penyangkalan (Denial)

Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan.

Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa tahun.

2.5.2. Fase marah (Anger)

(36)

agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepal, dan seterusnya.

2.5.3. Fase tawar menawar (Bargaining)

Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.

2.5.4. Fase depresi (Depression)

Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-lain.

2.5.5. Fase penerimaan (Acceptance)

(37)

objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Bowlby (1980 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan proses berduka akibat suatu kehilangan yang terdiri dari 4 fase yaitu, fase pertama mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan, fase kedua kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada, fase ketiga kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari dan fase keempat reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya.

John Harvey (1998 dalam Videbeck, 2008) mendeskripsikan fase berduka yaitu, fase pertama syok, menangis dengan keras, dan menyangkal, fase kedua intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif dan fase ketiga menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.

(38)

makan, kelelahan, ketidaknyamanan fisik yang umum, ketiga menghadapi (dealing) klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual, keempat pemulihan (healing), klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima.

3. Respon psikologis pasien stroke

Shimberg (1998) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis pasien stroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh pasien stroke yaitu :

3.1. Kemarahan

Kebanyakan pasien stroke, mengekspresikan amarahnya adalah hal yang sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat, dokter dan ahli terapinya. Pasien juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Pasien juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak.

3.2. Isolasi

Pasien kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan pasien sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-teman pasien meninggalkan pasien sendirian karena tidak mengetahui bagaimana harus bereaksi dengan pasien kelumpuhan tersebut.

(39)

Pasien stroke memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan. Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang pasien stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. Kecemasan yang berlebihan sebahagian pasien mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena pasien merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya.

3.4. Depresi

(40)

1. Kerangka konsep

Kerangka konsep penelitian ini menggunakan teori secara sistematis dimana fokus penelitian ini adalah respon berduka pada pasien stroke yang terdiri dari lima fase, yaitu fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance

(Hidayat, 2009). Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan otot, masalah bicara dan bahasa, masalah memori dan penalaran, kesulitan menelan, masalah penglihatan, penurunan kesadaran, dan berpotensi terhadap kematian (Barry, 2008). Kondisi-kondisi inilah yang berpeluang menimbukan masalah emosional (psikologis) yang ditunjukkan dengan terjadinya proses berduka pada pasien stroke. Dari uraian tersebut, kerangka konsep penelitian ini disusun untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Untuk itu dibuatlah kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Skema 3.1

Kerangka konseptual respon berduka pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

Respon berduka:

1. Fase penyangkalan (denial) 2. Fase marah (anger)

3. Fase tawar-menawar (bargaining)

4. Fase depresi (depression) 5. Fase penerimaan (acceptance) Pasien

(41)

2. Definisi operasional

Tabel 3.1 Definisi operasional variable penelitian

No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur

(42)

1. Desain penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian (Setiadi, 2007). Desain penelitian yang dilakukan peneliti adalah deskriptif yaitu untuk mengidentifikasi respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance pada pasien strokedi RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2015.

2. Populasi, sampel dan teknik sampling 2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, yang meliputi semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian (Arikunto, 2010). Berdasarkan hasil temuan yang sudah peneliti lakukan pada saat melakukan penelitian tanggal 10-13 Mei 2015 di ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan diperoleh jumlah pasien stroke yaitu 36 orang. 2.2. Sampel

(43)

Nursalam (2009) maka penentuan jumlah sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

dimana:

n= jumlah sampel N= jumlah populasi

d= tingkat signifikasi (0,05)

Sehingga didapat jumlah sampel untuk penelitian ini ialah 33 pasien stroke

2.3. Teknik sampel

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode Non Probability Sampling (Pengambilan sampel bukan secara acak atau Non Random) dengan teknik Purposive Sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(44)

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Alasan peneliti memilih rumah sakit ini sebagai lokasi penelitian, karena rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa keperawatan Universitas Sumatera Utara dan menjadi rumah sakit rujukan tertinggi diantara rumah sakit umum di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada tanggal 10 April sampai dengan 13 Mei 2015.

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilaksanakan setelah keluarnya keterangan kelayakan etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan keluarnya surat izin penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti harus memegang teguh sikap ilmiah dan menggunakan prinsip etika penelitian keperawatan. Etika penelitian ini mencakup perilaku atau perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat (Notoadmodjo, 2010). Etika penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah prinsip manfaat (beneficence), menghargai martabat manusia (respect for human dignity), dan mendapatkan prinsip keadilan (right to justice) (Polit & Beck, 2003).

4.1. Prinsip manfaat (principle of beneficence) a. Bebas dari bahaya (freedom from harm)

(45)

responden diberikan kuesioner dan diminta untuk mengisinya. Waktu yang diperlukan untuk mengisi adalah 10-20 menit. Pengisian kuesioner dilakukan saat responden tidak sedang dilakukan intervensi medis maupun keperawatan. Pada saat mengisi kuesioner, responden diberi kesempatan istirahat sesuai kebutuhan bila responden kelelahan. Setelah selesai mengisi kuesioner, peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya tentang segala yang terkait dengan penelitian ini. Beberapa responden yang tidak bersedia mengisi sendiri karena kondisi fisik atau kelelahan, maka proses pengisian kuesioner dibantu peneliti untuk membacakan dan menuliskan jawaban dalam kuesioner.

b. Bebas dari eksploitasi (freedom from exploitation)

Partisipasi responden dalam penelitian dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. Responden diberi penjelasan bahwa partisipasi mereka tidak dipergunakan untuk hal-hal yang dapat merugikan responden dalam hal apapun dan data yang diberikan responden hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.

c. Rasio risiko/ keuntungan (risk/ benefit ratio)

(46)

tindakan tertentu. Peneliti memberikan informasi kepada responden bahwa responden tidak mendapat keuntungan secara langsung dari penelitian, namun kemungkinan responden dapat lebih mengetahui pentingnya cara melewati respon berduka yang normal.

4.2. Prinsip menghargai martabat manusia (principle of respect for human dignity)

a. Hak untuk terlibat atau tidak terlibat dalam penelitian (right to self determination)

Responden diperlakukan secara manusiawi. Sebelumnya responden telah mendapat penjelasan tentang penelitian. Responden mempunyai hak menentukan kesedian mereka sebagai responden tanpa paksaan, sanksi apapun, atau berdampak bagi proses pengobatan dan perawatannya. Responden tetap mendapatkan pelayanan baik medis maupun keperawatan seperti biasanya sesuai prosedur.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari pelakuan yang diberikan (right to full disclosure)

(47)

responden. Kesediaan responden telah dibuktikan dengan menandatangani informed consent.

4.3. Prinsip keadilan (principle of justice)

a. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil (right to fair treatment)

Responden berhak mendapat perlakuan yang adil baik sebelum, selama, dan setelah berpartisipasi dalam penelitian tanpa ada diskriminasi. Setiap pasien stroke yang di rawat di ruang neurologi yang memenuhi kriteria inklusi mendapatkan kessempatan yang sama menjadi responden tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, suku, ataupun agama.

b. Hak untuk dijaga kerahasiaanya (right to privacy)

(48)

5. Instrumen penelitian

Kuesioner atau angket adalah kumpulan pernyataan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (yang dalam hal ini disebut responden), dan cara menjawab juga dilakukan dengan tertulis (Arikunto, 2009). Dalam kuesioner ini terdiri dari dua bagian dan dibuat dalam bentuk kuesioner, yaitu:

5.1. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner ini terdiri atas inisial responden, usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama menderita stroke, dan penyakit lain selain stroke. Responden diminta untuk memberi tanda check list (√) pada pilihan jawan yang sesuai

dengan responden.

5.2. Kuesioner respon berduka

(49)

6. Validitas dan reliabilitas 6.1. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notadmodjo, 2010). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrumen dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka, oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas. Pada penelitian ini menggunakan validitas isi, dimana validitas dikonsultasikan kepada seseorang dosen yang memiliki keahlian atau kompetensi yang sesuai dengan topik penelitian ini (Setiadi, 2007). Uji validitas kuesioner penelitian juga akan dilakukan dengan validitas konstrak (construct validity) setelah validitas isi yaitu dengan menguji cobakan kuesioner kepada 30 responden yang berada diluar sampel, namun memiliki karakteristik yang diasumsikan sama dengan kelompok sampel. Uji validitas konstruk dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi

(50)

terhadap 35 item pernyataan dan didapatkan 25 item pernyataan yang valid dan 10 item pernyataan yang tidak valid. Sehingga item yang tidak valid di drop atau dibuang. Item yang valid yaitu (item 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35). Item yang tidak valid yaitu ( item 1, 2, 5, 7, 13, 15, 18, 20, 23, 32). 6.2. Reliabilitas

Uji reliabilitas Instrumen adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan peneliti selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama. Reliabilitas indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten dan bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoadmodjo, 2010). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan terhadap 30 responden. Hasil uji validitas konstruk selanjutnya dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan analisa SPSS Cronbach Alpha dan didapatkan hasil 0,931. Berdasarakan Polit & Hungler (1995) yang menyatakan bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel apabila hasil uji lebih besar dari 0,70. Dapat disimpulkan bahwa kuesioner respon berduka meliputi fase denial, anger, bargaining, depression, acceptance

(51)

7. Pengumpulan data

Dalam pengumpulan data penelitian, peneliti mengikuti prosedur penelitian yang berlaku di tempat penelitian, baik prosedur administrasi maupun prosedur dalam pelaksanaan penelitian.

7.1. Prosedur administrasi

a. Mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan penelitian kepada Direktur Utama RSUP Haji Adam Malik Medan.

b. Setelah izin melakukan penelitian keluar peneliti melakukan pendekatan formal dan informal kepada penanggung jawab ruangan rawat inap ruang neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

7.2. Pengumpulan data pasien stroke.

(52)

berpedoman pada kuesioner. Peneliti melakukan hal yang sama kepada responden lain. Setelah data terkumpul peneliti melakukan analisa data univariat.

8. Analisa data

Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data untuk mengetahui respon berduka responden, kemudian melakukan analisa data melalui beberapa tahap antara lain: (1) Editing, yaitu dilakukan untuk memeriksa ketetapan dan kelengkapan data yang telah diisi oleh responden dengan maksud untuk memeriksa apakah kuesioner yang telah diiisi oleh respon den sesuai dengan petunjuk, apabila data belum lengkap taupun ada kesalahan data dilengkapi dengan mewawancarai responden. (2) Coding, yaitu data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketetapan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer. (3) Entri, data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan kedalam program komputer. (4) Cleaning Data, yaitu pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukkan data. (5) Saving, data yang telah diperiksa dilakukan penyimpanan data untuk siap dianalisa, (6) Analisis Data, data yang telah terkumpul dianalisis kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan data.

(53)

setiap variable penelitian (Notoadmodjo, 2010). Kemudian data yang dianalisa ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

(54)

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai respon berduka pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penyajian data dalam hal ini meliputi deskripsi karakteristik responden dan deskripsi respon berduka yang terdiri dari fase penyangkalan (denial), fase marah (anger), fase tawar-menawar (bargainning), fase depresi (depresion), dan fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan pada 33 responden dan dilaksanakan pada tanggal 10 April sampai 13 Mei 2015.

1. Hasil penelitian

1.1. Distribusi frekuensi dan persentase fase penyangkalan (denial) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(55)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase fase penyangkalan (denial) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak kadang pernah n (%) n(%) n(%) n(%)

1. Saya selalu menangis 18 1 1 13 melihat tubuh saya 54,5 3,0 3,0 39,4 tidak bisa digerakkan.

2. Saya tidak tau mau 22 1 0 10 berbuat apa dengan 66,7 3,0 0,0 30,3 kondisi ini.

3. Saya tidak percaya 9 2 2 20 kenapa Tuhan memberikan 27,3 6,1 6,1 60,6 cobaan seperti ini.

1.2. Distrribusi frekuensi dan persentase fase marah (anger) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

(56)

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase fase marah (anger) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak 1.3. Distribusi frekuensi dan persentase fase tawar-menawar (Bargaining)

pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

(57)

responden selalu menyatakan bahwa kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan disembuhkan.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase fase tawar-menawar (bargaining) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik

1.4. Distribusi frekuensi dan persentase fase depresi (depression) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik.

(58)

responden menyatakan tidak pernah berfikir bahwa hidup adalah kegagalan, 72,7% atau n=24 responden menyatakan tidak pernah merasa tertekan karena penyakit yang dialami, 87,9% atau n=29 responden menyatakan tidak pernah merasa tidak berguna.

Tabel 5.4 Distribusi dan frekuensi fase depresi (depression) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)

Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak

1.5. Distribusi frekuensi dan persentase fase penerimaan (acceptance) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(59)

n=17 responden selalu menyatakan bahwa hidupnya sama baiknya dengan orang lain, 51,5% atau n=17 responen menyatakan selalu dapat menerima penampilan tubuh, 57,6% atau n=19 responden menyatakan selalu dapat mengatasi rasa sakit akibat kondisi sakit yang dialami, 60,6% atau n=20 responden menyatakan selalu tidak malu bergaul dengan orang lain, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan tetap merasa berharga walaupun terkena stroke,

(60)

2. Pembahasan

2.1. Fase Penyangkalan (denial) Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responden menyatakan selalu menangis melihat tubuh saya tidak bisa digerakkan, 66,7% atau n=22 responden menyatakan selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini, dan 60,6% atau n=20 responden menyatakan tidak pernah tidak percaya kenapa Tuhan memberikan cobaan seperti ini. Dari hasil pernyataan diatas nilai yang tertinggi adalah pada pernyataan saya selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil wawancara dengan responden yang mengatakan sering merasa sedih karena tidak bisa mencari nafkah buat keluarga, tidak bisa mengikuti pengajian, dan tidak bisa berkumpul dengan teman-teman. Hal ini sejalan dengan teori kubble-Ross (1969 dalam Hidayat, 2009) yang mengatakan fase penyangkalan (denial) merupakan fase awal dimana individu menunjukkan reaksi syok, tidak percaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi yang ditunjukkan dengan beberapa reaksi fisik diantaranya menangis, gelisah, letih, lemah, pucat, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa.

(61)

dialami responden yaitu dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan, dimana pada waktu ini merupakan fase awal responden mengalami kehilangan dan berduka akibat penyakit stroke yang dialami. Hal ini sejalan dengan penelitian Triharini (2009) yang mengatakan lama individu didiagnosa kanker berpengaruh terhadap respon psikologis. Individu yang baru saja mengalami didiagnosa akan mengalami fase syok sebagai fase awal didiagnosa. Fase syok merupakan bagian dari fase penyangkalan (denial). Hal ini juga didukung oleh penelitian Isdamayanti (2011) yang mengatakan mayoritas responden mengalami fase

denial, bargaining, dan acceptance terhadap penyakit kankernya.

2.2. Fase marah (anger) Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,7% atau n=24 responden tidak pernah menyatakan saya menyalahkan orang lain akibat penyakit saya, 51,5% atau n=17 responden tidak pernah menyatakan saya benci dengan perubahan bentuk tubuh saya, 39,4% atau n=13 responden tidak pernah menyatakan saya marah karena sulit melakukan kegiatan, 48,5% atau n=16 responden tidak pernah menyatakan saya merasa tidak bahagia seperti dulu, 78,8% atau n=26 responden tidak pernah menyatakan saya marah kepada dokter karena tidak bisa menyembuhkan penyakit saya, 81,8% atau n=27 responden tidak pernah menyatakan saya menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepada saya.

(62)

teman, pemberi perawatan kesehatan, atau diri sendiri. Stuart dan Sundeen (1987 dalam Keliat, 1996) mengatakan marah akibat kehilangan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Banyak situasi kehidupan yang menimbulkan marah, misalnya fungsi tubuh yang terganggu sehingga harus masuk rumah sakit, kontrol diri yang diambil-alih orang lain akibat menderita sakit, peran yang tidak dapat dilakukan karena dirawat di rumah sakit, pelayanan perawat yang terlambat, dan banyak hal lain yang menimbulkan kejengkelan individu.

Berdasarkan keseluruhan pada pernyataan fase marah pada penelitian ini di dapatkan mayoritas responden tidak mengalami fase marah (anger). Hal ini dapat dilihat dari masing-masing pernyataan responden yang menyatakan tidak pernah menyalahkan orang lain akibat penyakitnya, tidak pernah benci dengan perubahan bentuk tubuhnya, tidak pernah marah karena sulit melakukan kegiatan, tidak pernah merasa tidak bahagia seperti dulu, tidak pernah marah kepada dokter karena tidak bisa menyembuhkan penyakitnya, dan tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yg terjadi kepadanya. Hal ini sejalan dengan penelitian Triwibowo (2012) yang mengatakan bahwa 9 orang dari pasien kanker yang berduka karena penyakit kanker yang dialaminya mereka tidak mengalami fase anger dan fase depression, melainkan hanya mengalami fase denial sebanyak 2 orang (22,2%), bargaining sebanyak 2 orang(22,2%), dan fase acceptance sebanyak 5 orang(55,56%).

(63)

menandakan responden memiliki tingkat spiritualitas yang positif terhadap Tuhannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara responden pada penelitian ini yang mengatakan, “ngapain saya harus menyalahkan Tuhan, memang ini

sudah takdir hidup saya diberikan Tuhan seperti ini, jadi saya terima saja dengan lapang dada”. Hal ini didukung dengan teori Kozier (2004) yang

mengatakan individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya secara positif pula. Dalam hal ini responden (pasien stroke) memiliki kepercayaan spiritualitas yang positif terhadap Tuhannya sehingga responden tidak menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepadanya.

2.3. Fase tawar-menawar (bargainning) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(64)

adalah fase dimana seseorang mencoba melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan, mengekspresikan rasa bersalahnya, dan melakukan kesepakatan secara halus seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah.

Secara keseluruhan mayoritas responden mengalami fase tawar-menawar dapat dilihat dari mayoritas responden selalu menyatakan kalau saja saya bisa menjaga kesehatan saya sejak dulu tentu kondisi saya tidak akan seperti ini, seandainya saya sembuh saya akan menjaga kesehatan saya, kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan segera disembuhkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2010) yang mengatakan masalah berduka yang dialami responden yaitu fase denial, anger, bargaining, dan dilanjutkan fase

acceptance, dalam hal ini responden tidak mengalami fase depression.

2.4. Fase depresi (depresion) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(65)

individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau bicara dan putus asa (Suliswati dkk, 2005). Pada fase ini individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, penderitaan yang berat, rasa bersalah, lekas marah, tidak tertarik dalam beraktivitas, gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi, perasaan negatif tentang dirinya, perubahan nafsu makan, dan berpikiran tentang kematian atau bunuh diri (Schub & Caple, 2010).

Berdasarkan keseluruhan pada pernyataan fase depresi pada penelitian ini di dapatkan mayoritas responden tidak mengalami fase depresi (depression). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden yang mengatakan tidak pernah merasa putus asa dengan penyakit yang dialami, tidak pernah merasa bahwa segala yang dilakukan adalah sia-sia, tidak pernah merasa kehilangan harapan karena penyakitnya, tidak pernah berfikir bahwa hidup adalah kegagalan, tidak pernah merasa tertekan karena penyakitnya, dan tidak pernah merasa tidak berguna. Hal ini didukung oleh penelitian Putri (2010) yang mengatakan bahwa masalah berduka yang ditemukan pada pasien stroke tidak sampai menimbulkan perasaan depresi pada klien. Hal ini juga didukung oleh peranan pendukung yang dapat mendukung mengurangi gejala depresi yaitu peranan dukungan keluarga. Dukungan keluarga mempunyai fungsi membantu klien saat menggunakan mekanisme kopingnya dalam berduka, sehingga dalam hal ini responden tidak sampai mengalami fase depresi akibat kehilangan dan berdukanya (Triwibowo, 2012).

(66)

hasil wawancara responden yang mengatakan “tidaklah saya sampai berpikiran

merasa tidak berguna, semua ini sudah diatur sama yang di atas kita hanya menjalani saja”. Hal ini berarti responden memiliki tingkat spritualitas yang positif terhadap Tuhannya, mereka tidak pernah berfikiran negatif terhadap pemberian Tuhannya. Hal ini didukung oleh penelitian Rowe dan Alen (2004) mengatakan spritualitas yang tinggi membuat invidu menjadi lebih kuat dan mempunyai gaya koping yang bervariasi, serta cenderung menggunakan koping yang lebih positif. Sehingga dalam hal ini responden tidak sampai menimbulkan fase depresi.

2.5. Fase penerimaan (acceptance) pada pasein stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,5% atau n=18 responden selalu mengatakan saya mulai menerima keadaan saya seperti ini, 51,5% atau n=17 responden selalu menyatakan saya merasa hidup saya sama baiknya dengan orang lain, 51,5% atau n=17 responden selalu menyatakan saya dapat menerima penampilan tubuh saya, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan saya dapat mengatasi rasa sakit akibat kondisi sakit saya, 60,6% atau n=20 responden selalu menyatakan saya tidak malu bergaul dengan orang lain, 57,6% atau n=19 responden selalu menyatakan saya tetap merasa diri saya berharga walaupun terkena stroke.

(67)

selalu menerima penampilan tubuhnya, selalu dapat mengatasi rasa sakit akibat kondisi sakitnya, selalu tidak malu bergaul dengan orang lain, selalu merasa dirinya berharga walaupun terkena stroke. Hal ini didukung oleh penelitian (Triwibowo, 2012) mengatakan mayoritas pasien kanker berada pada fase

acceptance, yaitu dari 9 orang pasien kanker 5 orang (55,6%) berada pada fase

acceptance. Hal ini juga didukung oleh mayoritas usia responden pada penelitian ini yaitu usia diatas 40 tahun. Kozier (2010) mengatakan usia mempengaruhi pemahaman dan reaksi seseorang terhadap kehilangan. Dan orang dewasa mulai menelaah kembali tentang hidup untuk mempertimbangkan pilihan yang tersedia untuk mencapai kesempurnaan (Potter & Perry, 2005).

(68)

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa hasil yang diperoleh dalam penelitian respon berduka pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah sebagai berikut:

1. Respon berduka responden (pasien stroke) yaitu mengalami fase penyangkalan (denial), tidak mengalami fase marah (anger),

mengalami fase tawar-menawar (bargaining), tidak mengalami fase depresi (depression), dan mengalami fase penerimaan (acceptance).

Pada fase denial mayoritas responden menyatakan selalu tidak tau mau berbuat apa dengan kondisi ini, pada fase anger mayoritas responden menyatakan tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi kepadanya, pada fase bargaining mayoritas responden selalu menyatakan kalau saya rajin berdoa saya yakin penyakit saya akan disembuhkan, pada fase depression mayoritas responden tidak pernah merasa tidak berguna, dan pada fase acceptance mayoritas responden menyatakan selalu tidak malu bergaul dengan orang lain. 2. Saran.

(69)

perawat, pendidikan keperawatan dan peneliti selanjutnya. Adapun saran peneliti sebagai berikut:

1. Kepada pendidikan keperawatan diharapkan dapat lebih memaksimalkan mempelajari asuhan keperawatan yang lebih holistik tentang respon berduka pada pasien stroke yang meliputi fase denial,

anger, bargaining, depression, acceptance.

2. Kepada praktek keperawatan terutama perawat diharapkan dapat lebih memahami proses berduka akibat kehilangan dari pasien stroke. Tidak Cuma respon fisik nya saja yang terganggu tetapi respon psikologis pasien stroke juga terganggu. Sehingga dalam hal ini perawat lebih memahami penderitaan yang dirasakan pasien stroke agar tahu bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien stroke.

3. Kepada pasien stroke diharapkan agar dapat melewati proses berduka yang normal, kemudian diharpakan kepada keluarga agar dapat memahami kondisi fisik dan psikologis yang dialami pasien stroke sehingga dapat memberikan motivasi yang membangun agar pasien stroke melewati proses berdukanya dengan normal.

4. Kepada peneliti selanjutnya, diharapkan peneliti dapat melakukan penelitian terkait bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi proses berduka pada pasien stroke yang meliputi fase

(70)

dapat lebih nyaman dan tenang dalam dalam menjalani proses berdukanya.

5. Kepada Institusi Rumah Sakit agar dapat meningkatkan kualitas perawat khususnya perawat di ruang neurologi untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan informasi mengenai bagaimana cara membantu pasien khususnya pasien stroke dalam menghadapi proses berdukanya dengan normal karena tidak hanya respon fisik yang harus ditangani tetapi juga respon psikologis.

3. Keterbatasan penelitian

(71)

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

(2009). Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

(2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendidikan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Barry, R, dkk,. (2008). Risk factors for stroke and type of stroke in persons with isolated systolic hypertension. Journal of The American Heart Association.

Diakses tanggal 20 Juli 2015, dari:

Buglass, E. (2010). Grief and bereavement theories. Journal of Nursing Standard, 24, 44-47. Diakses pada tanggal 3 oktober 2014 dari:

https://www.deepdyve.com/lp/royal-college-of-nursing-rcn/grief-and-bereavement-theories-QQmDzx0AW7.

Carpenito, J., Lynda. (2006). Buku saku diagnosa keperawatan: Handbook of nursing diagnosis. (10th ed). Jakarta : EGC.

Cronbach, L.J. (1963). Educational Psycology. Newyork: Harcow Bruce and World.

Fajar, I. (2009). Statitika untuk praktisi kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hasnani, F. Spiritualitas dan Kualitas Hidup Penderita Kanker Serviks. (2012).

Skripsi: Universitas Poltekes Kemenkes Jakarta.

Gambar

Tabel 3.1 Definisi operasional variable penelitian
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase fase penyangkalan (denial) pada
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase fase marah (anger) pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan (n=33)
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase fase tawar-menawar
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada fase ini t er j adi sensit isasi t er hadap indiv idu y ang sem ula belum pek a, oleh bahan k ont ak t an yang disebut aler gen k ont ak at au pem ek a.. Pr ot ein ini t

Tindakan keluarga pasien terhadap donor darah dibagi menjadi dua kelompok yaitu dari 100 responden hanya 35 orang yang pernah mendonorkan darah dan 75 orang tidak pernah

Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara pada. penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodromal,

56 623357 61 > 60 tahun Perempuan Protestan STEMI Tidak ada Tidak merokok Hipertensi Tidak hiperlipidemia Diabetes Melitus 57 625658 46 40 - 60 tahun Laki-laki Islam STEMI Ada

mengenali dan mengidentifikasi objek, 13,2% gangguan ingatan, 57,9% gangguan psikomotorik, 15,8% gangguan atensi, dan 39,5% gangguan fungsi eksekutif, sedangkan pada fase kronik

Tindakan keluarga pasien terhadap donor darah dibagi menjadi dua kelompok yaitu dari 100 responden hanya 35 orang yang pernah mendonorkan darah dan 75 orang tidak pernah

Pasien Saat Menjalani Hemodialisis Di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Saya sebagai peneliti mohon kesediaan bapak/ibu untuk menjadi responden pada penelitian ini. Penelitian

data tabulasi silang gambaran fungsi kognitif dengan jenis stroke didapatkan pada pengukuran visuospasial bahwa pasien pasca stroke dengan jenis iskemik yg mengalami