• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke

di RSUP Haji Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh

Lady Diana Puspita Dewi

111101043

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

semua kasih karunia dan berkatNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan Status Fungsional dengan Konsep Diri Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan” dengan baik. Skripsi ini merupakan

salah satu persyaratan untuk mengikuti sidang skripsi dan memperoleh gelar

sarjana keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini peneliti banyak mendapat dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak, untuk itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai dekan di Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S,Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan 1 Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd sebagai dosen pembimbing yang

telah memberikan arahan, dukungan, dan masukan terhadap penyelesaian

skripsi ini.

4. Ibu Farida Linda Sari, S.Kep, Ns, M.Kep sebagai dosen pembimbing

akademik (PA) yang telah memberikan nasehat dan semangat selama

menjalani kuliah di Fakultas Keperawatan USU.

5. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB sebagai dosen penguji I dan

ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep sebagai dosen penguji II, yang telah

(4)

7. Direktur Utama RSUP Haji Adam Malik Medan dan seluruh pihak yang

membantu, memberikan izin untuk melakukan penelitian pada pasien

stroke.

8. Teristimewa kepada orang tua peneliti Papa dan Mama, adik-adik Ayu,

Yosi Agung, dan Yeremia Chrissiantoro yang telah mendoakan dan

memberikan semangat sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

9. Sahabat seperjuangan Wita, Putri, Tania, Juni, Kak Mega, Riahta, Abdi

yang telah memberikan semangat dan dukungan, serta dapat berdiskusi

bersama-sama. Semangat meraih impian kita dan menjadi nurse change

agent di tempat kita nanti teman-teman.

Peneliti menyadari keterbatasan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu

peneliti sangat mengharapkan kritik dan sarannya demi perbaikan dimasa

mendatang. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat, terimakasih.

Medan, Juli 2015

(5)

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

1.5. Pengukuran status fungsional dengan Indeks Barthel .. 12

(6)

2.3. Teknik sampling ... 40

1.2.1. Hubungan status fungsional dengan konsep diri ... 61

(7)

Lampiran 2. Instrumen penelitian ... 87

Lampiran 3. Jadwal tentatif penelitian ... 93

Lampiran 4. Ethical clearance ... 94

Lampiran 5. Nilai content validity index instrumen konsep diri ... 95

Lampiran 6. Hasil uji reliabilitas ... 97

Lampiran 7. Master data ... 99

Lampiran 8. Hasil uji normalitas data ... 101

Lampiran 9. Hasil penelitian Komputerisasi SPSS ... 103

Lampiran 10. Lembar pengesahan terjemahan abstrak ... 106

Lampiran 11. Surat uji reliabilitas dan pengambilan data... 107

Lampiran 12. Surat izin penelitian ... 108

Lampiran 13. Surat telah menyelesaikan penelitian ... 109

Lampian 14. Surat orisinalitas... 110

Lampiran 15. Taksasi dana penelitian ... 111

Lampiran 16. Lembar bukti bimbingan ... 112

(8)

Skema 1. Rentang respon konsep diri ... 30

(9)

Tabel 1. Definisi operasional ... 36

Tabel 2. Gambaran distribusi frekuensi data demografi ... 57

Tabel 3. Gambaran distribusi frekuensi status fungsional ... 58

Tabel 4. Gambaran distribusi frekuensi konsep diri ... 58

Tabel 5. Gambaran distribusi frekuensi komponen konsep diri ... 59

Tabel 6. Tabulasi silang status fungsional dengan konsep diri ... 61

(10)

NIM : 111101043

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Stroke merupakan penyakit yang disebabkan karena terganggunya aliran darah ke otak secara tiba-tiba, dapat menimbulkan kecacatan fisik berupa penurunan kemampuan motorik yang mengakibatkan penurunan kemampuan aktivitas dan berpengaruh terhadap status fungsional. Penurunan status fungsional menunjukkan peningkatan tingkat ketergantungan pasien stroke yang dapat mempengaruhi konsep dirinya. Konsep diri merupakan aspek psikologis personal yang sangat penting, mempengaruhi keyakinan, kepercayaan untuk bertindak dan berprilaku, selain itu juga mempengaruhi respon emosional terhadap kesembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status fungsional dengan konsep diri pasien stroke. Desain penelitian ini adalah korelasi. Sampel penelitian adalah pasien stroke yang dirawat inap di RA 4 RSUP Haji Adam Malik Medan berjumlah 33 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan

teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

melakukan observasi langsung terhadap status fungsional pasien stroke menggunakan Indeks Barthel dan menggunakan kuesioner konsep diri. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas status fungsional pasien stroke berada pada tingkat ketergantungan total (69,7%) dan mayoritas konsep diri pasien stroke adalah negatif (60,6%). Hasil analisis Spearman menunjukkan korelasi sebesar 0,005 dengan r = 0,477 kekuatan sedang, yang berarti ada hubungan positif antara status fungsional dengan konsep diri pasien stroke. Semakin rendah status fungsional pasien stroke maka semakin rendah konsep diri yang dimiliki. Dukungan dan intervensi psikologis pada pasien stroke sangat penting diberikan oleh keluarga dan perawat, agar pasien stroke memiliki semangat dan dapat beradaptasi dengan baik demi kelangsungan hidup.

(11)

Department : S1 (Undergraduate) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

Stroke is a disease caused by sudden disturbance of blood circulation to the brain. It can bring outphysical disabilties, such as the decrease in motoric ability which decrease the ability to act and influence the functional status. The decrease in functional status shows the decrease in dependence level of the patients who suffer from strokes and influence their self-concept which is very important personal psychological aspects which influence the belief, confidence to act and behave, and emotional responses to recovery. The objective of research is to find out the correlation of functional status with self-concept of patients who suffer from strokes. The research design is correlation. The sample is the patients who suffer from strokes and are treated in RA 4 RSUP Haji Adam Malik Medan whose total is 33 patients. Purposive sampling technique is used to determine the sample. The technique of collecting data is by direct observations to the functional status of patients who suffer from strokes using Barthel Index and questionnaires of personal concepts. The results of research show the majority of

patients’ functional status (69.7%) is on dependence level and the majority of

patients’ self-concept (60.6%) is negative. The result of analysis of Spearman shows a moderate strength (0.005 with r=0.477) which means there is positive correlation of functional status with self-concept of patients who suffer from strokes. The lower the functional status of patients who suffer from strokes, the lower self-concept they have. Supports and psychological interventions topatients who suffer from strokes from their family and nurses are very important so that the patients have the spirit and can adapt well for their survival.

(12)

NIM : 111101043

Jurusan : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Stroke merupakan penyakit yang disebabkan karena terganggunya aliran darah ke otak secara tiba-tiba, dapat menimbulkan kecacatan fisik berupa penurunan kemampuan motorik yang mengakibatkan penurunan kemampuan aktivitas dan berpengaruh terhadap status fungsional. Penurunan status fungsional menunjukkan peningkatan tingkat ketergantungan pasien stroke yang dapat mempengaruhi konsep dirinya. Konsep diri merupakan aspek psikologis personal yang sangat penting, mempengaruhi keyakinan, kepercayaan untuk bertindak dan berprilaku, selain itu juga mempengaruhi respon emosional terhadap kesembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status fungsional dengan konsep diri pasien stroke. Desain penelitian ini adalah korelasi. Sampel penelitian adalah pasien stroke yang dirawat inap di RA 4 RSUP Haji Adam Malik Medan berjumlah 33 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan

teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

melakukan observasi langsung terhadap status fungsional pasien stroke menggunakan Indeks Barthel dan menggunakan kuesioner konsep diri. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas status fungsional pasien stroke berada pada tingkat ketergantungan total (69,7%) dan mayoritas konsep diri pasien stroke adalah negatif (60,6%). Hasil analisis Spearman menunjukkan korelasi sebesar 0,005 dengan r = 0,477 kekuatan sedang, yang berarti ada hubungan positif antara status fungsional dengan konsep diri pasien stroke. Semakin rendah status fungsional pasien stroke maka semakin rendah konsep diri yang dimiliki. Dukungan dan intervensi psikologis pada pasien stroke sangat penting diberikan oleh keluarga dan perawat, agar pasien stroke memiliki semangat dan dapat beradaptasi dengan baik demi kelangsungan hidup.

(13)

Department : S1 (Undergraduate) Nursing Academic Year : 2015

ABSTRACT

Stroke is a disease caused by sudden disturbance of blood circulation to the brain. It can bring outphysical disabilties, such as the decrease in motoric ability which decrease the ability to act and influence the functional status. The decrease in functional status shows the decrease in dependence level of the patients who suffer from strokes and influence their self-concept which is very important personal psychological aspects which influence the belief, confidence to act and behave, and emotional responses to recovery. The objective of research is to find out the correlation of functional status with self-concept of patients who suffer from strokes. The research design is correlation. The sample is the patients who suffer from strokes and are treated in RA 4 RSUP Haji Adam Malik Medan whose total is 33 patients. Purposive sampling technique is used to determine the sample. The technique of collecting data is by direct observations to the functional status of patients who suffer from strokes using Barthel Index and questionnaires of personal concepts. The results of research show the majority of

patients’ functional status (69.7%) is on dependence level and the majority of

patients’ self-concept (60.6%) is negative. The result of analysis of Spearman shows a moderate strength (0.005 with r=0.477) which means there is positive correlation of functional status with self-concept of patients who suffer from strokes. The lower the functional status of patients who suffer from strokes, the lower self-concept they have. Supports and psychological interventions topatients who suffer from strokes from their family and nurses are very important so that the patients have the spirit and can adapt well for their survival.

(14)

Stroke merupakan salah satu jenis penyakit yang tergolong dalam penyakit

tidak menular (PTM) atau penyakit yang tidak disebabkan oleh proses infeksi dan

tidak disebabkan oleh agen biologi seperti virus, bakteri, atau parasit (Bustan,

2007). Stroke adalah gangguan fungsional yang terjadi secara mendadak

disebabkan karena kurangnya atau terputusnya aliran darah yang mengalir ke otak

akibat adanya gumpalan darah, endapan plak, atau karena pecahnya pembuluh

darah akibat tekanan darah yang tinggi secara tiba-tiba ke otak. Hal ini yang

mengakibatkan sel-sel otak mengalami kekurangan oksigen serta energi dan

menyebabkan kerusakan otak permanen yang berakibat kecacatan sampai dengan

kematian dini (Depkes RI, 2013).

Data WHO (2010 dalam Depkes RI, 2013) menunjukkan bahwa 63%

penyebab kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular yaitu

stroke atau setara dengan kematian 36 juta jiwa per tahun. Stroke juga merupakan

penyebab kematian tertinggi dari seluruh PTM setelah penyakit kardiovaskuler

dan kanker, serta menyebabkan terjadinya kecacatan termasuk kecacatan

permanen. World Stroke Organization (2011) menyatakan bahwa terdapat15 juta

orang terkena stroke setiap tahunnya dan setiap 6 detik meninggal karena stroke.

Angka kematian akibat stroke di Indonesia juga terus meningkat. Kejadian

terbanyak penyebab kematian utama hampir diseluruh RS di Indonesia juga

(15)

tahunnya, dan kematian stroke meningkat sekitar 15,4% yaitu dari 41,7% ditahun

1995 menjadi 49,9% ditahun 2001 dan terus meningkat menjadi 59,5% atau setara

dengan 8,3 per 1.000 penduduk ditahun 2007 (Riskesdas, 2007).

Data WHO (2011 dalam Riskesdas, 2013) menyatakan bahwa Indonesia

telah menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah pasien stroke terbanyak

dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total

kematian yang terjadi pada tahun 2001, dan pada tahun 2013 telah terjadi

peningkatan prevalensi stroke di Indonesia menjadi 12,1 per 1.000 penduduk.

Medan merupakan salah satu Kota di Indonesia yang juga mengalami

peningkatan prevalensi penyakit stroke. Pernyataan diatas didukung dengan data

survey yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam

profil kesehatan Indonesia (2013) menunjukkan di Kota Medan terdapat

peningkatan prevalensi penyakit stroke dari 7 per 1000 penduduk pada tahun 2007

menjadi 10 per 1000 penduduk ditahun 2013. Penelitian yang telah dilaksanakan

di ruangan neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan dari 10 April sampai 13 Mei

2015, didapati data total jumlah pasien stroke yang dirawat inap sebanyak 36

orang.

Penyakit stroke tidak hanya diderita oleh lansia namun stroke juga diderita

oleh dewasa awal dan dewasa madya yang sedang dalam kategori usia produktif.

Pasien stroke di Indonesia yang berada pada rentang usia 20-45 tahun mengalami

peningkatan 7,3% dari tahun 2005, dan kematian akibat stroke pada rentang usia

45-54 tahun sebesar 15,9% di perkotaan sedangkan dipedasaan sebesar 11,5%

(16)

Kondisi yang dapat terjadi pada pasien stroke beragam, seperti

kelumpuhan anggota gerak, bibir tidak simetris, bicara pelo atau apasia (tidak

dapat berbicara), nyeri kepala, penurun kesadaran, gangguan rasa, kelumpuhan

bahkan sampai dengan kematian (Vitahealth dalam Okthavia, 2014). Kehilangan

fungsi tubuh akibat penyakit stroke mengakibatkan produktifitas pasien stroke

terhalang dan berpengaruh pada status fungsional pasien stroke (Junaidi, 2011).

Status fungsional adalah suatu bentuk kemampuan fungsi individu untuk

melaksanakan aktivitas dan perawatan diri sehari-hari secara mandiri, dan

pemeliharaan diri. Indeks Barthel merupakan salah satu alat untuk mengukur

status fungsional individu dan memiliki penilaian lima tingkat ketergantungan,

yaitu mandiri, ketergantungan ringan, ketergantungan sedang, ketergantungan

berat, dan ketergantungan total (Ropyanto, 2011).

Gangguan status fungsional pada umumnya menyebabkan pasien stroke

membutuhkan bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas dan melakukan

perawatan diri seperti mandi, toileting, makan, minum, mengenakan pakaian,

berhias, kebersihan diri, berjalan maupun berpindah tempat (Fadlulloh, 2014).

Sekitar 22,70% pasien stroke bergantung pada pasangan ataupun perawatnya

dalam melakukan perawatan diri (Alaszewski, 2003).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ratnasari, Kristiyawati, dan

Solechan (2011 dalam Fadlulloh, 2014) pada 20 orang pasien stroke yang

menunjukkan 5% pasien stroke berada pada kategori status fungsional

ketergantungan ringan, 30% ketergantungan sedang (sebagian), 45%

(17)

(2012) menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar pada pasien stroke

dilakukan secara dependen dengan bantuan caregiver baik perawat ataupun

keluarga.

Pasien stroke secara psikologis mengalami suatu “kehilangan” yang sangat besar dan berharga dalam hidupnya, yakni “kehilangan” kebebasan untuk

bergerak, bekerja, kehilangan kegagahan, kekuatan anggota tubuh, dan kehilangan

kemandirian, hal ini berdampak pada konsep diri pasien stroke (Wicaksana,

2008). Konsep diri merupakan semua keyakinan kepercayaan dalam perasaan

yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam

beraktivitas, berhubungan, dan berinteraksi dengan orang lain dalam

kehidupannya yang terdiri dari lima komponen, yaitu gambaran diri, ideal diri,

harga diri, peran diri, dan identitas diri (Stuart dan Sundeen, 1991).

Konsep diri positif memberikan makna dan keutuhan (wholeness) bagi

seseorang, dan menghasilkan perasaan positif terhadap diri sehingga mudah

berubah dan mengenali kebutuhan serta mengembangkan pola hidup yang sehat,

namun seseorang yang memiliki konsep diri negatif memandang dirinya tidak

berguna lagi, putus asa, tidak berdaya, gagal, merasa ditolak, menarik diri,

menghindar untuk berinteraksi, murung, dan kehilangan semangat. Seseorang

dengan konsep diri yang negatif mengalami tingkat pesimistik yang tinggi, dan

akan mempengaruhi seluruh kehidupannya (Kozier et al., 2004). Berdasarkan

(18)

2. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimanakah hubungan antara status fungsional dengan

konsep diri pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan?”

3. Pertanyaan penelitian

3.1. Bagaimana gambaran karakteristik data demografi pasien stroke di

RSUP Haji Adam Malik Medan?

3.2. Bagaimana gambaran status fungsional pasien stroke di RSUP Haji

Adam Malik Medan?

3.3. Bagaimana gambaran konsep diri meliputi gambaran diri, ideal diri,

harga diri, peran diri, dan identitas diri pasien stroke di RSUP Haji

Adam Malik Medan?

3.4. Bagaimana hubungan antara status fungsional dan konsep diri pasien

stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan?

4. Tujuan penelitian

4.1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status

fungsional dengan konsep diri pasien stroke di RSUP Haji Adam

Malik Medan.

4.2. Tujuan khusus

4.2.1. Mengetahui gambaran karakteristik data demografi pasien

(19)

4.2.2. Mengetahui gambaran status fungsional pasien stroke di

RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.2.3. Mengetahui gambaran konsep diri meliputi gambaran diri,

ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri pasien

stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.2.4. Mengetahui hubungan status fungsional dengan konsep diri

pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan.

5. Manfaat penelitian

5.1. Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi atau

materi pendukung dalam proses pembelajaran dibidang keperawatan.

5.2. Pelayanan keperawatan

Penelitian ini memberikan manfaat bagi pelayanan keperawatan di

rumah sakit, maupun puskesmas agar dapat memberikan asuhan

keperawatan pada pasien stroke secara holistik, terutama aspek

psikologis pasien stroke.

5.3. Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian

selanjutnya dan memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan

status fungsional dengan konsep diri pada pasien stroke.

5.4. Institusi pelayanan kesehatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan informasi ilmiah untuk

(20)

yang tidak hanya memandang aspek fisik tetapi juga aspek psikologis

pada pasien stroke. Tenaga kesehatan dapat menjadi salah satu support

system yang memberikan motivasi dan membantu pasien stroke untuk

tetap berfikir positif terhadap penyakit yang dialami.

5.5. Penderita stroke dan keluarga

Penderita stroke sangat penting memiliki konsep diri yang positif

demi kesembuhan, selain itu penderita stroke sangat memerlukan

dukungan keluarga untuk mencegah terjadinya gangguan psikologis

seperti depresi demi kelangsungan hidup dimasa depan yang penuh

(21)

1. Status Fungsional

1.1. Definisi Status Fungsional

Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional

mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat

karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi

kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta

kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan

suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care

(perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan

bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk

menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban

hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri,

pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain,

sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu.

1.2. Jenis-jenis pengukuran status fungsional

Saltzman dalam Ropyanto (2011) menjelaskan status fungsional

dapat dikaji melalui pengkajian fungsional dengan menggunakan alat ukur

untuk mendapatkan gambaran indikasi keparahan suatu penyakit,

(22)

memonitor perubahan sepanjang waktu, serta untuk pantauan

pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat ukur status

fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index of

Independence in Activities of Daily Living (IADL), Functional Independent

Meassure (FIM), Indeks Barthel.

1.3. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke

Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada

pasien stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada

pasien stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi

penyakit, dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya

yang mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support,

kelelahan, kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia

perkembangan, dan jenis ketergantungan yang dialami.

1.4. Status fungsional pada pasien stroke

Abraham Maslow menjelaskan lima hirarki kebutuhan dasar manusia

(five hierarchy of needs), yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan

keselamatan dan keamanan, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan

harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow dalam Asmadi (2008)

menjelaskan bahwa kebutuhan yang sangat primer yang dibutuhkan oleh

manusia adalah kebutuhan fisiologis.

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang

(23)

kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi

maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis

merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia

(Asmadi, 2008).

Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan

fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam

kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada

pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan

keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi

kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya

cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat

beraktivitas dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting,

makan, minum, mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan

maupun berpindah tempat (Junaidi, 2011).

Status fungsional pada pasien stroke dapat diukur salah satunya

adalah dengan menggunakan Indeks Barthel sebagai istrumen untuk

mengukur kategori ketergantungan kemampuan fungsi yang dialami.

Pasien stroke yang mengalami kelumpuhan disalah satu atau kedua

anggota ekstremitas atas (tangan) pasti mengalami kesulitan dalam hal

kebutuhan fisiologis, makan. Gangguan makan pada pasien stroke tidak

hanya dapat berakibat pada sistem pencernaan dan energinya tetapi dapat

berakibat juga dengan penurunan konsentrasi atau penurunan kognitif

(24)

memperhatikan gizi yang terkandung dalam makanan pasien, maupun diet

yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke (Sutrisno, 2007).

Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh

pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang

hingga ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi

kebutuhan mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh

dengan menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol,

penyikat gigi, dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari

kotoran, keringat, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang

dapat menempel di kulit (Ropyanto, 2011).

Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri

yang perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju

dapat dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit

terlebih dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang

terdekat seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya

kebutuhan mandi, berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga

pasien stroke dapat terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan

fisik yang dialami (Ropyanto, 2011).

Kebutuhan fisiologis seperti eliminasi urin BAK dan BAB atau

aktivitas toileting pada pasien stroke dapat dibantu oleh perawat maupun

keluarga. Namun, apabila pasien stroke masih dalam ketegori

ketergantungan ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien

(25)

stroke yang mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan

dalam aktivitas toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan

sehingga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan

perawat maupun keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan

yang bergizi dengan serat yang tinggi untuk membantu memperlancar

eliminasi (Ropyanto, 2011).

Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu

dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus

dapat memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk

melakukan pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh.

Keteraturan dalam mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat

meningkatkan status fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh

secara instan, tetapi diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran

(Ropyanto, 2011).

1.5. Pengukuran status fungsional pasien stroke dengan Indeks Barthel

Penelitian ini menggunakan Indeks Barthel untuk mengkaji status

fungsional pasien stroke. Indeks barthel merupakan instrumen pengukuran

status fungsional yang digunakan pada dewasa yang sedang dalam

perawatan klinis maupun dalam area rehabilitasi (Loretz, 2005 dalam

Ropyanto, 2011). Indeks Barthel ini merupakan skala yang dinilai

berdasarkan observasi oleh tenaga kesehatan, dapat diambil dari catatan

(26)

Domain dalam instrumen ini meliputi makan, berpindah tempat,

kebersihan diri, aktivitas toileting seperti mengontrol defekasi dan

berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar, naik turun tangga, dan

berpakaian. Kemampuan untuk makan diberikan tiga aspek penilaian yaitu

skor 0 tidak mampu makan sendiri apabila pasien tidak mampu secara total

dan membutuhkan bantuan keseluruhan untuk melakukan seluruh aktivitas

makan seperti penyiapan makanan, memegang sendok dan piring, dan

menyuapi makanan kedalam mulut, dan pasien yang menggunakan NGT

(nasogastric tube). Skor 5 diberikan kepada pasien yang hanya

membutuhkan beberapa bantuan dalam aktivitas makan, seperti penyiapan

makanan, memegang piring, memotong makanan menjadi bagian

kecil-kecil dan pasien dapat melakukan sebagian seperti menyuapi sendiri

kedalam mulut. Skor 10 diberikan kepada pasien yang secara keseluruhan

mampu melakukan aktivitas makan secara mandiri, tidak membutuhkan

bantuan.

Mandi terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0 diberikan

kepada pasien yang secara total tidak mampu mandi sendiri, membutuhkan

keseluruhan bantuan seperti melepas baju, menggunakan sabun, shower

puff, air, mencuci rambut, tidak mampu nenegang gayung, tidak mampu

mengguyur air ke badan, tidak mampu menggosok dan membersihkan

badan. Sementara skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan

mandiri, yaitu mampu melakukan sebagian dengan bantuan atau

(27)

Perawatan diri terdiri dari dua kategori penilaian yaitu skor 0

diberikan pada pasien yang membutuhkan bantuan dalam melakukan

perawatan diri seperti berhias, menyisir rambut, mencuci muka, menyukur

jenggot, kumis, menggosok gigi, dan menggunakan bedak. Skor 10 diberi

pada pasien yang mampu secara mandiri tanpa bantuan dalam melakukan

perawatan diri.

Aktivitas selanjutnya yaitu berpakaian dengan 3 kategori penilaian,

yaitu skor 0 diberikan kepada pasien yang tidak mampu secara

keseluruhan dalam berpakain, mengenakan dan melepaskan pakaian,

menggunakan tali sepatu, membuka dan menutup reksleting, kancing, dan

penyiapan pakaian. Skor 5 diberikan pada pasien yang membutuhkan

sebagian bantuan dalam berpakaian, seperti kesulitan mengenakan pakaian

dibagian yang mengalami kelumpuhan namun sebagian lagi pasien mampu

melakukannya. Skor 10 diberikan kepada pasien yang mampu secara

mandiri melakukan seluruh aktivitas dalam berpakaian mulai dari

penyiapan pakaian, sampai dengan menggunakan pakaian dan

merapikannya sendiri.

Mengontrol anus dalam domain Bowel (BAB) mempunyai tiga

kategori penilaian, antara lain skor 0 inkontinensia yaitu tidak mampu

mengendalikan fungsi pengeluaran feses dan flatus. Pasien yang

menggunakan enema, pencahar dan menggunakan diaper juga diberikan

(28)

insidental diberikan skor 5, dan pasien yang dapat mengontrol pengeluaran

atau kontinensia diberikan skor 10.

Mengontrol kandung kemih mempunyai tiga kategori penilaian

antara lain skor 0 atau inkontinensia yang tidak mampu mengendalikan

pengeluaran urin dan yang menggunakan kateter atau yang menggunakan

diaper. Skor 5 diberikan pada pasien dengan kemampuan insedental,

sementara skor 10 diberikan pada pasien yang kontinen, dapat mengontrol

pengeluaran urin tanpa menggunakan kateter.

Kategori penilaian dalam penggunaan toilet meliputi tidak mampu

yang diberikan skor 0 yaitu pasien yang membutuhkan bantuan total dalam

menggunakan toilet meliputi melepas dan menggunakan celana, pakaian

dalam, menyiram wc, membersihkan area genital, berjalan ke toilet,

beranjak ke atau dari kloset. Skor 5 diberikan pada pasien yang hanya

sebagian membutuhkan bantuan seperti membersihkan area genitalia,

sebagian aktivitas lain dalam penggunaan toilet mampu dilakukan. Skor 10

diberikan pada pasien dengan kemampuan mandiri dalam penggunaan

toilet tanpa bantuan.

Berpindah dari tempat tidur ke kursi atau ke kursi roda dan

sebaliknya memiliki empat kategori penilaian yaitu skor 0 pada pasien

yang tidak mampu karena tidak memiliki keseimbangan, skor 5 pada

pasien yang membuthkan banyak bantuan (bantuan mayor) lebih dari satu

orang, dan pada pasien yang dapat duduk. Skor 10 diberikan jika pasien

(29)

pasien yang dapat berpindah secara mandiri tanpa bantuan diberikan skor

15.

Aktivitas pergerakan atau mobilisasi dalam batas yang telah

ditentukan memiliki empat kategori penilaian, yaitu skor 0 yang tidak

mampu melakukan mobilisasi atau <5 meter. Skor 5 jika pasien mampu

mandiri mobilisasi > 5 meter dan pasien yang menggunakan kursi roda.

Skor 10 jika pasien mampu berjalan dengan bantuan verbal atau fisik satu

orang < 5 meter, dan skor 15 pada pasien yang mampu mobilisasi berjalan

mandiri tanpa bantuan orang > 5 meter atau pasien yang mampu berjalan

sendiri dengan tongkat.

Aktivitas terakhir yaitu naik dan turun tangga memiliki tiga kategori

penilaian yaitu skor 0 jika pasien tidak mampu secara total dalam menaiki

atau menuruni tangga, skor 5 jika pasien mampu menuruni dan menaiki

tangga dengan bantuan orang secara verbal atau fisik atau dengan

menggunakan tongkat atau berpengangan. Skor 15 diberikan jika pasien

mampu secara mandiri tanpa bantuan apapun dalam menuruni dan menaiki

tangga. Terdapat lima skala penilaian, berupa mandiri (81-100),

ketergantungan ringan (61-80), ketergantungan sedang (41-60),

(30)

2. Konsep Diri

2.1. Definisi konsep diri

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa konsep diri adalah

semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang membuat individu

mengetahui dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.

Kozier, Glenora, dan Berman serta koleganya (2004) menjelaskan bahwa

konsep diri merupakan gambaran psikologis individu meliputi persepsi

atau ide pribadi yang kompleks, penampilan, keyakinan, dan kepercayaan

yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bertindak.

Definisi lain dari konsep diri menurut Potter dan Perry (2005)

merupakan citra subjektif dari percampuran yang kompleks antara

perasaan, sikap, dan persepsi bawah sadar maupun sadar, mencakup

bagaimana individu mengetahui dirinya dan seluruh aspek dalam

kehidupannya, yang bergantung pada aspek psikologis dan spiritualnya

serta memberikan kita pedoman dan acuan yang mempengaruhi

manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan

bahwa konsep diri merupakan hal yang sangat penting ada dalam diri

individu, yang merupakan citra mental individu terhadap dirinya sendiri

mencakup bagaimana individu memandang dan menilai dirinya

berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta mempengaruhi

(31)

2.2. Perkembangan konsep diri pada masa dewasa awal hingga dewasa

akhir

Potter dan Perry (2005) menjelaskan mengenai perkembangan

konsep diri dewasa awal yang berusia 20-40 tahun memiliki hubungan

yang intim dengan keluarga dan orang-orang lain, memiliki perasaan yang

stabil dan positif mengenai diri, dan mengalami keberhasilan transisi

peran, serta meningkatnya tanggung jawab. Konsep diri pada masa ini

akan tetap terus berkembang, yang dapat diidentifikasi dari nilai, sikap,

dan perasaan tentang diri. Konsep diri merupakan kreasi sosial,

penghargaan, dan penerimaan diberikan untuk penampilan normal dan

perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial yang ditetapkan.

Perkembangan konsep diri pada masa dewasa madya yang berusia

40-60 tahun mengalami proses penerimaan terhadap setiap perubahan

penampilan dan ketahanan fisik, mengevaluasi ulang tujuan hidup dan

merasa nyaman dengan penuaan, serta menunjukkan perhatian dengan

penuaan, memberikan pelajaran dan pengalaman yang berharga bagi

individu lain, serta menghargai bahwa masa lalu dan pengalaman mereka

sendiri adalah valid dan sangat bermakna. Konsep diri terus berkembang

hingga individu menjadi lansia. Konsep diri semasa lansia atau dewasa

akhir dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup, bercermin pada

hidup, meninjau kembali keberhasilan, dan kekecewaan. Konsep diri pada

(32)

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

Stuart dan Laraia (2001) menjelaskan bahwa faktor yang

mempengaruhi konsep diri antara lain teori perkembangan, significant

other (orang terdekat atau terpenting), dan self perception (persepsi diri

sendiri). Kozier, Glenora, Berman dan koleganya (2004) menambahkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri individu adalah

tumbuh kembang, keluarga dan budaya, stresor, pengalaman dari

kegagalan dan keberhasilan, serta penyakit, trauma, dan pembedahan.

2.4. Komponen konsep diri

Konsep diri terdiri dari 4 komponen menurut Potter dan Perry

(2005), meliputi gambaran diri (body image), harga diri (self-esteem),

peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity), sedangkan Stuart dan

Sundeen (1991) membagi konsep diri menjadi 5 komponen yaitu,

gambaran diri (body image), ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem),

peran diri (self-role), dan identitas diri (self-identity),

2.4.1. Gambaran diri (body image)

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa gambaran diri

merupakan sikap individu terhadap tubuhnya mencakup persepsi dan

perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan, dan potensi

tubuh saat ini, masa lalu, dan masa mendatang secara berkelanjutan

dan dipengaruhi dengan pengalaman baru individu.

Gambaran diri merupakan persepsi, perasaan, sikap, dan

(33)

maskulinitas, dan feminimitas, kegagahan fisik, daya tahan, dan

kapabilitas. Gambaran diri merupakan hal pokok dan dinamis karena

tubuh individu sering berubah seiring dengan usia, persepsi, dan

pengalaman-pengalaman baru yang diterima oleh individu dan dapat

berubah dalam beberapa jam, hari, minggu, atau bulan, bergantung

pada stimulus eksternal pada tubuh dan perubahan aktual dalam

penampilan, struktur, dan fungsi (Potter dan Perry, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran diri menurut

Potter dan Perry (2005), yaitu :

1. Faktor internal

Pandangan pribadi tentang karakteristik mengenai kemampuan

fisik, pertumbuhan kognitif, perkembangan hormonal, dan usia.

2. Faktor eksternal

Pandangan dan persepsi orang lain terhadap individu serta nilai

kultural dan sosial.

Perubahan gambaran diri juga dipengaruhi oleh stresor yang

dialami individu. Stresor yang mempengaruhi gambaran diri

menurut Potter dan Perry (2005), yaitu:

1. Perubahan penampilan, struktur, atau fungsi bagian tubuh

Amputasi, perubahan penampilan wajah karena kecelakaan,

mastektomi, kolostomi, ileostomi, hemiplegia, paraplegia,

kelumpuhan, operasi plastik dan lain-lain dapat mengakibatkan

(34)

2. Penyakit kronis

Penyakit jantung, stroke, ginjal, kanker, dan lain-lain yang

mencakup perubahan fungsi yang mengakibatkan tubuh tidak lagi

pada tingkat yang optimal dan mengakibatkan efek yang

signifikan pada gambaran diri individu.

3. Perubahan hormonal dan perkembangan fisik

Kehamilan, penuaan, dan menopause merupakan hal yang normal

dialami individu. Namun, hal ini dapat mengakibatkan perubahan

pada gambaran diri individu yang bergantung pada penerimaan

individu.

4. Efek pengobatan dan terapi

Kemoterapi, terapi radiasi, dan hemodialisa yang pada umumnya

menyebabkan perubahan pada penampilan seperti mengalami

kerontokan rambut, kulit kusam, dan timbul bintik kehitaman

dikulit mejadi stresor bagi gambaran diri individu.

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan gambaran diri positif

menunjukkan sikap bersyukur dengan perubahan fisik yang terjadi,

tetap menyukai, dan tidak menyalahkan Tuhan atas kondisi yang

dialami. Individu dengan gambaran diri negatif menunjukkan

penolakan untuk menyentuh bagian tubuh yang berubah,

ketidaknyamanan yang terus menerus dirasakan akibat perubahan

fisik yang terjadi, merasa tidak menarik akibat perubahan tubuh,

(35)

negatif, depersonalisasi, serta menolak menerima penjelasan

perubahan tubuh.

2.4.2. Ideal diri (self-ideal)

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan ideal diri merupakan

persepsi individu tentang perilaku individu berdasarkan standar,

aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu yang dipengaruhi oleh

norma, kebudayaan, keluarga, dan ambisi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi ideal diri antara lain faktor spiritualitas,

kecenderungan individu dalam menetapkan ideal pada batas

kemampuannya, faktor sosial, kultural, dan budaya yang

mempengaruhi, ambisi dan keinginan yang kuat untuk bisa lebih dan

mencapai keberhasilan yang menyangkut harga diri individu, serta

perasaan cemas, kebutuhan yang realistis, dan keinginan untuk

menghindari kegagalan.

Ideal diri mempermudah individu dan berperan sebagai

pengatur internal dan membantu individu saat mengahadapi konflik

atau kondisi yang mengancam sehingga, tercapailah keseimbangan

fisik dan mental. Ciri-ciri individu yang mempunyai ideal diri yang

realistis menurut Stuart dan Sundeen (1991), antara lain:

1. Semangat untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan standar

yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan individu memiliki

(36)

2. Tidak ingin bergantung terhadap orang lain dan tidak

menyalahkan orang lain maupun Tuhan terhadap perubahan yang

terjadi walaupun tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

3. Giat dalam bekerja dan berusaha, serta tidak mudah menyerah.

Penetapan ideal diri sebaiknya harus cukup tinggi tetapi

realistis agar memacu individu untuk menggapainya. Namun,

individu yang tidak dapat memenuhi ideal diri sesuai standar dan

kriteria yang ditetapkan (tidak realistis) mengakibatkan harga diri

rendah, merasa lebih buruk dari yang lain, dan menyebabkan

individu tidak berdaya (Keliat, 2000).

2.4.3. Harga diri (self-esteem)

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa harga diri

adalah bentuk penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan

mempertimbangkan dan menganalisa seberapa jauh perilaku

individu sesuai dengan ideal diri. Apabila ideal diri berupa cita-cita

harapan keinginan tercapai, akan langsung menghasilkan perasaan

berharga didalam diri. Jika individu berhasil maka memiliki harga

diri yang tinggi, namun apabila individu selalu gagal mengakibatkan

individu memiliki harga diri yang rendah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri menurut Poter

(37)

1. Harga diri dipengaruhi oleh ideal diri.

Ideal diri yang dibentuk dari aspirasi, tujuan, nilai-nilai, dan

budaya serta standar perilaku individu. Individu yang hampir

memenuhi ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi, sementara

individu yang mempunyai variasi yang luas terhadap ideal diri

dan sulit untuk dicapai individu menyebabkan harga diri yang

rendah.

2. Evaluasi diri.

Evaluasi diri pribadi maupun evaluasi dari orang lain

mempengaruhi harga diri individu. Evaluasi diri yang baik

mengakibatkan peningkatan harga diri dan individu akan

mempertahankannya, namun evaluasi diri yang buruk

menyebabkan penurunan harga diri.

3. Harga diri dipengaruhi oleh sejumlah kontrol yang mereka miliki

terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup.

Banyak stresor yang mempengaruhi harga diri, yaitu

ketidakmampuan untuk memenuhi harapan orang tua atau orang

dicintai, kritik yang tajam, hukuman yang tidak konsisten,

persaingan atar saudara, kekalahan berulang, ketidakberhasilan

dalam pekerjaan, kegagalan dama berhubungan, penyakit,

pembedahan, kecelakaan, perubahan lain dalam kesehatan

(38)

menganggu individu semakin besar pula penurunan harga diri yang

terjadi (Potter dan Perry, 2005).

Stuart dan Sundeen (1991) menjelakan beberapa perilaku

individu dengan harga diri rendah, yaitu mengkritik diri sendiri dan

orang lain, putus asa, kecewa, malu, menarik diri dari interaksi

sosial, tertekan dan merasa tidak berguna, penurunan produktivitas,

gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, merasa

bersalah, mudah tersinggung, pandangan yang pesimis, dan memiiki

rasa khawatir berlebihan. Individu dengan harga diri tinggi

mempunyai keyakinan yang tinggi, berserah pada Tuhan, dan timbul

kepercayaan diri yang kuat.

2.4.4. Peran diri (self-role)

Peran diri mencakup harapan atau standar perilaku yang telah

diterima oleh keluarga, komunitas, dan kebiasaan yang didasarkan

pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi. Peran diri merupakan

label individu yang mempunyai berbagai peranan didalam kehidupan

yang terintegrasi dalam pola fungsi individu (Potter dan Perry,

2005).

Definisi peran diri menurut Stuart dan Sundeen (1991)

merupakan serangkaian pola perilaku ynag diharapkan oleh

lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai

kelompok sosial. Peran dibagi menjadi 2 yaitu peran yang telah

(39)

peran menjadi orangtua, anak, ibu, ayah dan lain-lain, sementara itu,

peran yang diterima (dipilih individu) seperti peran menjadi pelajar,

peran menjadi pekerja swasta, atau pekerja negeri, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam

menyesuaikan diri dengan peran yang dilakukan menurut Stuart dan

Sundeen (1991) yaitu:

1. Kejelasan perilaku dan penghargaan yang sesuai dengan peran.

2. Respon yang tetap dan konsisten terhadap peran yang dilakukan.

3. Kesesuaian dan keseimbangan antar semua peran.

4. Keselarasan budaya dan harapa terhadap peran.

5. Dukungan orang terdekat terhadap peran yang dilakukan.

6. Pemisahan situasi yang menciptakan ketidaksesuaian perilaku

peran.

Setiap individu memiliki lebih dari satu peran dan

memungkinkan untuk mengalami gangguan peran diri. Gangguan

peran diri atau stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak

jelas, peran yang tidak sesuai dengan nilai dan keinginan individu,

dan peran berlebih. Perilaku individu dengan gangguan peran atau

peran yang tidak memuaskan menunjukkan ketidakpuasan individu

terhadap peran yang sedang dilakukannya, mengingkari

ketidakmampuan menjalankan peran, kegagalan menjalankan peran

yang baru, ketegangan menjalankan peran yang baru (Potter dan

(40)

Stuart dan Sundeen (1991) menambahkan perilaku yang

timbul apabila individu mengalami peran diri yang tidak memuaskan

seperti perasaan tidak mampu, gagal, putus asa, apatis, dan kurang

bertanggung jawab. Sementara itu, individu yang dapat beradaptasi

dengan berbagai peran dan puas terhadap peran yang dilakukan akan

lebih meningkatkan perasaan berharga, dihormati, mempunyai

ambisi, semangat yang kuat, dan ingin terus meningkatkan kualitas

dalam peran yang sedang dilakukan.

2.4.5. Identitas diri (self-identity)

Identitas diri merupakan perasaan internal mengenai

individualitas, keutuhan, dan konsistensi dari individu sepanjang

waktu dan dalam berbagai hal, yang menunjukkan individu berbeda

dan terpisah dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik

(Potter dan Perry, 2005). Rasa identitas terjadi secara kontinu timbul

dan dipengaruhi oleh situasi sepanjang hidup. Individu dengan rasa

identitas yang kuat akan merasa terintegrasi bukan terbelah.

Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan bahwa individu

dengan identitas diri yang jelas dilihat dari perilaku dan karakteristik

seperti individu mengenal dirinya secara terpisah dan berbeda

dengan orang lain, dan menyadari keunikan masing masing, tetap

bangga menjadi diri sendiri, mengenali dan menyadari jenis

seksualnya, sadar akan hubungannya masa lalu, saat ini, dan masa

(41)

dan direalisasikan, mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai

dengan penghargaan lingkungan sosialnya, menghargai, mengakui,

dan tetap percaya diri terhadap berbagai aspek tentang dirinya,

peran, nilai, dan perilaku secara harmonis.

Identitas diri dipengaruhi oleh stresor sepanjang hidup,

stresor tersebut adalah stresor kultural, stresor sosial, dan stresor

personal. Individu yang tidak dapat mengatasi dan tidak mampu

beradaptasi dengan stresor yang terjadi akan membuat individu

mengalami gangguan identitas diri.

Gangguan identitas diri atau individu yang memiliki identitas

diri yang tidak jelas ditunjukkan dengan perilaku ketidakpastian

memandang diri sendiri, penuh keraguan, menunjukkan individu

tidak mampu untuk mengambil keputusan, perilaku tidak percaya

diri, menganggap diri tidak sempurna, ketergantungan, kepribadian

yang bertentangan, masalah interpersonal, mempunyai perasaan

yang hampa (mengambang), kerancuan gender, tingkat ansietas yang

tinggi, dan ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain

(42)

2.5. Klasifikasi konsep diri

Potter dan Perry (2005) membagi konsep diri dibagi menjadi dua,

yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, bergantung pada kekuatan

individu dari komponen konsep diri. Konsep diri positif merupakan hal

yang esensial bagi kesehatan mental dan fisik. Individu yang memiliki

konsep diri positif memiliki respon yang adaptif terhadap suatu masalah

yang dihadapi, individu dapat menyelesaikan masalah secara jujur dan

realistis dan mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya atau disebut

dengan aktualisasi diri.

Konsep diri positif sangat baik dalam mendukung perkembangan

psikologis individu, meningkatkan interaksi atau hubungan yang lebih baik

dengan orang lain, menurunkan risiko gangguan fisik dan gangguan jiwa,

serta membuat individu dapat beradaptasi terhadap berbagai stresor yang

dapat menurunkankan kualitas hidup (Kozier et al., 2004).

Individu yang memiliki konsep diri yang sehat berarti memiliki

kepribadian yang sehat pula. Stuart dan Sundeen (1991) menjelaskan

bahwa individu yang memiliki konsep diri positif ditunjukkan melalui

citra tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realistis dan semangat

untuk menggapainya, harga diri yang tinggi, performa peran yang

memuaskan, dan rasa identitas yang jelas.

Individu yang memiliki konsep diri negatif berarti memiliki respon

yang maladaptif terhadap masalah yang dihadapi, memiliki citra tubuh

(43)

tidak memuaskan, dan identitas diri yang tidak jelas. Konsep diri negatif

yang dialami menyebabkan individu tidak percaya diri, menarik diri, dan

merasa tidak mampu untuk melakukan segala sesuatu, tidak dapat

mencapai tujuan dan harapan hidupnya. Individu dengan konsep diri

negatif dapat juga ditunjukan dari perasaan putus asa, tidak menyukai diri

sendiri, mengkritik diri sendiri, sering mengalami perasaan kecewa,

bahkan hingga menurunkan energi dan semangat menjalani hidup (Stuart

dan Sundeen, 1991).

2.6. Rentang respon konsep diri

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kekacauan Depersonalisasi diri positif rendah identitas

Skema 2. Rentang respon konsep diri (Stuart dan Sundeen, 1991)

Keterangan:

1. Respon adaptif apabila saat menghadapi masalah, individu dapat

beradaptasi dan dapat menyelesaikannya, atau individu memiliki

konsep diri positif dan meningkat memiliki aktualisasi diri yang baik.

2. Respon maladaptif apabila saat menghadapi masalah, individu tidak

dapat beradaptasi dan gagal dalam menyelesaikan masalah, atau

individu memiliki konsep diri negatif dengan adanya harga diri rendah,

(44)

depersonalisasi (tidak mengenal diri sendiri, tidak dapat membedakan

dirinya dengan orang lain, merasa asing dengan diri sendiri).

2.7. Konsep diri pada pasien stroke

Konsep diri merupakan hal yang dimiliki oleh setiap individu baik

individu yang sehat maupun individu yang sakit. Konsep diri dan persepsi

tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Individu

yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik dapat

meningkatkan konsep diri, dan sebaliknya individu yang tidak memiliki

keyakinan terhadap kondisi fisiknya dan kondisi kesehatannya, tidak

percaya dengan kesembuhan dapat mempengaruhi konsep diri menjadi

negatif (Potter dan Perry, 2005).

Individu dengan konsep diri positif dapat terjadi karena individu

dapat berpikir realistis, dapat menerima sakit yang dirasakan, lebih

bersikap optimis, penuh percaya diri, yakin sembuh, mampu menghargai

dirinya, dan mampu memandang aspek positif dari kondisi yang sedang

dialami. Hal ini dapat terjadi karena koping efektif yang dimiliki, terdapat

dukungan sosial (sistem support) yang didapat oleh keluarga, sahabat,

rekan sekerja, dan sebagainya, selain itu individu juga memiliki tingkat

spiritualitas yang baik, sehingga individu mudah menerima, bahkan

memiliki pemikiran yang positif tentang Tuhannya, mengganggap sakitnya

merupakan cobaan dan ujian yang harus dilalui, serta individu juga

(45)

individu sehingga individu semangat walaupun dalam kondisi sakit yang

dirasakan (Young, 2007).

Individu dengan konsep diri negatif dapat terjadi karena individu

hanya terpusat pada titik kelemahannya (penyakit), tidak memiliki

motivasi dan semangat yang kuat untuk sembuh, koping tidak efektif

untuk menghadapi masalah (penyakit), individu justru putus asa dengan

penyakit yang dialaminya, memandang dirinya lemah, tidak berdaya, tidak

berguna untuk hidup, selalu berpikir negatif, tidak dapat berbuat apa-apa,

kehilangan daya tarik terhadap hidup, hal ini dapat disebabkan karena

kurangnya dukungan sosial dari orang terdekat, selain itu tingkat

spiritualitas yang kurang baik, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang

dialami (Young, 2007).

Stroke merupakan keadaan gawat darurat yang terjadi mendadak

(tiba-tiba) pada peredaran darah otak yang mengalami gangguan berupa

terhentinya suplai darah arteri ke otak yang dapat mengakibatkan defisit

neurologis dan gangguan fungsi yang diakibatkan oleh iskemik dan

pecahnya pembuluh darah (Kemenkes, 2010). Kondisi neurologis yang

timbul akibat stroke tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh

darah dan tergantung pada lokasinya. Secara fisik pasien stroke sering

mengalami kelemahan fungsi tubuh antara lain kelumpuhan wajah atau

anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak, gangguan

sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan sensorik),

(46)

afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan atau kesulitan memahami

ucapan), disatria, gangguan penglihatan atau diplopia, vertigo, mual,

muntah atau nyeri kepala (Arif et al., 2000).

Setiap perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya

stresor yang mempengaruhi konsep diri. Perubahan fisik yang terjadi dapat

mengakibatkan perubahan gambaran diri, harga diri, identitas diri, peran

diri, dan ideal diri juga terpengaruh. Secara psikologis individu dengan stroke mengalami suatu “kehilangan” yang sangat besar dan berharga dalam hidupnya, yakni “kehilangan” untuk bergerak dan bekerja,

kegagahannya, kekuatan anggota tubuhnya, kemandiriannya untuk dapat

melakukan aktivitas sehari-hari, dan keterampilannya (Wicaksana dalam

Huda, 2013).

Hal tersebut menyebabkan individu merasa tidak percaya diri dengan

keadaan dan kondisi yang sedang dialami dan mempengaruhi konsep diri

dalam kehidupannya. Individu dengan penyakit stroke tidak hanya

mengalami gangguan gambaran diri karena perubahan fisik yang terjadi,

individu juga memiliki perasaan takut, cemas dengan kondisinya, marah,

bahkan hingga depresi mungkin dapat terjadi. Individu merasa tidak

berguna dengan keterbatasan fisik dan gerak yang dialaminya, terjadi

perubahan peran seperti kepala rumah tangga yang terbatas melakukan

pekerjaan dan hubungan sosial tidak seperti dulu sebelum sakit, dan

(47)

Seseorang dengan penyakit stroke yang menerima dan merasa

mampu dengan kondisinya dapat menjadikan dirinya lebih semangat untuk

menjalani kehidupan dan berjuang untuk sembuh, dan sebaliknya individu

yang tidak mampu dan tidak menerima kekurangan dan keadaan yang

sedang dialami, akan semakin memperburuk kondisinya, baik kondisi fisik

maupun kondisi psikologis. Sangat penting bagi penderita stroke memiliki

konsep diri yang positif demi kesembuhan, mencegah terjadinya gangguan

psikologis seperti depresi, demi kelangsungan hidup dimasa depan yang

(48)

1. Kerangka konsep

Penelitian ini menggambarkan hubungan status fungsional dengan konsep

diri pasien stroke. Konsep diri merupakan aspek psikologis yang sangat penting

dimiliki karena mempengaruhi individu untuk berinteraksi dan menjalani

kehidupan. Konsep diri sebagai variabel bebas bebas terdiri dari 5 komponen

yaitu gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri dengan

penilaian konsep diri negatif dan positif. Status fungsional pada pasien stroke

sebagai variabel terikat dengan penilaian meliputi tingkat kemampuan mandiri,

ketergantungan ringan, ketergantungan sedang, ketergantungan berat, dan

ketergantungan total.

Secara skematis kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai

berikut:

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Hubungan antar variabel

Skema 3. Kerangka penelitian hubungan status fungsional dengan konsep diri pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

(49)

2. Definisi operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau

fenomena (Hidayat, 2011). Definisi operasional dalam penelitian ini menjelaskan

mengenai kedua variabel yaitu status fungsional dan konsep diri, meliputi definisi,

alat ukur, hasil ukur, dan skala ukur.

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

(50)
(51)

Peran diri

Ha : Terdapat hubungan antara status fungsional dengan konsep diri pasien

(52)

1. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskripsi korelasi yaitu

pemecahan masalah penelitian dengan menggambarkan hubungan keadaan

variabel yang diteliti berdasarkan fakta-fakta, kemudian dianalisis, dan

diinterpretasikan (Nasir et al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara status fungsional dengan konsep diri pasien stroke.

2. Populasi, sampel, dan teknik sampling

2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau totalitas objek yang diteliti (Nasir

et al., 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang

dirawat di Ruang Inap Terpadu (Rindu) A4 RSUP Haji Adam Malik

Medan. Penelitian yang dilakukan di ruang neurologi pada 10 April

sampai 13 Mei 2015 didapati total pasien stroke yang dirawat inap

sebanyak 36 orang.

2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2010). Sampel dalam

(53)

Terpadu (Rindu) A4 RSUP Haji Adam Malik Medan dalam satu bulan

sesuai dengan jadwal penelitian yang dilaksanakan.

Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

rumus Slovin, yaitu:

s = N

1 + N(d2)

Keterangan :

s = jumlah sampel

N = total popolasi

d = tingkat kesalahan (0,05%)

Jadi, s = 36

1 + 36 (0,052)

s = 36

1,09

s = 33,02 = 33 orang

Maka, total sampel dalam penelitian ini adalah 33 orang

2.3 Teknik sampling

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

metode non probability sampling yaitu metode penentuan sampel yang

tidak memberi peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2009 dalam Nasir et al.,

2011) dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik

(54)

yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi

yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).

Penentuan kriteria sampel sangat diperlukan dan membantu

penelitian untuk mengurangi bias hasil penelitian (Nursalam, 2009). Maka,

kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pasien stroke dengan usia berkisar antara 25 sampai 75 tahun

2. Pasien stroke yang bersama dengan keluarga

3. Pasien stroke yang mengalami keterbatasan gerak

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan, ruang inap

terpadu (rindu) A4 dikarenakan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit

pemerintah pusat provinsi Sumatera Utara bertipe A, serta merupakan rumah sakit

rujukan se-Sumatera Utara dan sekitarnya. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan

pada 10 April sampai 13 Mei 2015 sesuai jadwal kegiatan penelitian yang telah

dibuat.

4. Profil RSUP Haji Adam Malik Medan

RSUP Haji Adam Malik adalah rumah sakit pendidikan yang berdiri pada

tanggal 21 Juli 1993, merupakan rumah sakit umum kelas A. RSUP Haji Adam

Malik memiliki visi untuk menjadikan rumah sakit pendidikan dan pusat rujukan

nasional yang terbaik dan bermutu di Indonesia pada tahun 2019, yang

(55)

penelitian, dan pelatihan dibidang kesehatan, yang paripurna, bermutu dan

terjangkau, melaksanakan pengembangan kompetensi SDM secara

berkesinambungan, serta mengampu RS jejaring dan RS di wilayah Sumatera.

RSUP haji Adam Malik Medan juga memiliki motto yaitu mengutamakan

keselamatan pasien dengan pelayanan PATEN: Pelayanan cepat, Akurat,

Terjangkau, Efisien, dan Nyaman.

5. Pertimbangan etik

Pertimbangan etik sangat penting dan wajib untuk diperhatikan dalam

melaksanakan penelitian ini, karena pertimbangan etik merupakan hal-hal dasar

yang mementingkan etika dalam menentukan, memberi penjelasan, dan menjaga

privasi pada responden. Penelitian ini menggunakan penerapan etika penelitian

menurut Hidayat (2011) yang terdiri dari 3 macam yaitu:

5.1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden, dengan cara mengisi lembar persetujuan. Lembar ini

dilengkapi dengan judul penelitian, manfaat, dan tujuan dalam penelitian,

sehingga responden mengerti maksud dan tujuan dilakukannya penelitian

melalui membaca dan mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh

peneliti. Lembar persetujuan diberikan kepada responden, bila responden

bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani lembar

persetujuan, namun jika responden menolak, maka peneliti tidak boleh

(56)

Peneliti juga perlu menjelaskan bahwa penelitian ini tidak berisiko bagi

individu yang menjadi responden, baik risiko fisik maupun risiko

psikologis.

5.2. Anonimity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak

mencantumkan nama responden atau hanya mencantumkan inisial

responden sesuai dengan persetujuan responden, jika tidak mencantumkan

nama, pada lembar tersebut diberikan kode pengganti nama responden.

5.3. Confidentiality

Informasi yang didapat dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan

hanya digunakan untuk pengembangan ilmu dan kepentingan riset

penelitian.

Penelitian ini juga menerapkan pertimbangan etik yang disesuaikan

dengan prisip-prinsip dasar etik oleh Polit dan Beck (2003), yaitu:

1. Menghormati harkat martabat manusia (Human dignity)

Peneliti menghormati harkat martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki

kebebasan berkehendak atau memilih dan bertanggung jawab secara pribadi

terhadap keputusannya sendiri. Hak otonomi responden sangat dihormati

selama pengumpulan data. Responden dalam penelitian ini adalah pasien

stroke yang masih mampu mengambil keputusan secara mandiri (

self-determination) untuk terus atau menghentikan menjadi responden secara

sepihak dalam proses pengumpulan data juga dihormati. Peneliti juga

Gambar

gambaran diri, ideal
Tabel 1. Definisi operasional
Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase data demografi pasien stroke
Tabel 3. Gambaran distribusi frekuensi dan persentase status fungsional
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pengujian Ho1 menggunakan uji t-test dengan hasil Ho1 diterima yang berarti bahwa harga saham sebelum dan sesudah publikasi tidak berbeda atau berarti informasi publikasi

Bahan-bnhan yang aangandung Hltrogon aabagal Aaina atau aalda dapat dltantukan aaeara tapat dangan aanggu- nakan aatoda Kjaldahl, aadang dales bentuk yang lain

Apabila nilai signifikansi kurang dari nilai alfa (α) 0,05 maka variabel tersebut dinyatakan positif mempengaruhi variabel dependennya. Berdasarkan hasil uji t, peneliti

[r]

Untuk menjawab perumusan pertama akan digunakan ananalisis deskriptif yaitu pembahasan secara teoritis. Saham dalam kondisi undervalue atau overvalue yaitu: a) “Jika nilai

Perbankan merupakan bagian dari sistem keuangan yang memegang peranan penting bagi kehidupan perekonomian di Indonesia dalam mengerakkan pembangunan.Dalam menjalankan

Hidroulic PressFurnace High Temperatur 46200. Cetakan Sampel

Keterpaduan sistem agribisnis sangat penting peranannya dalam industri berbasis agribisnis. Salah satu bagian dari subsistem agribisnis secara luas adalah pengembangan