• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ASASI MANUSIA HAM SEBAGAI PROSES GLO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK ASASI MANUSIA HAM SEBAGAI PROSES GLO"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai Proses Globalisasi

Andi Sitti Rohadatul Aisy

Pendahuluan

Dewasa ini masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir semua belahan dunia. Sebenarnya sudah dari zaman dulu masalah hak asasi dikenal di banyak kawasan di dunia, tetapi yang paling banyak sumber tertulisya sehingga dengan demikian lebih terkenal ialah negara-negara Barat. Meskipun banyak di negara lain, termasuk negara-negara dunia ketiga, kebudayaan setempat telah mengenal hak-hak terterntu warganya, sekali pun tidak begitu eksplisit dirumuskan seperti di Barat. Dengan demikian konsepsi negara-negara Barat dari semula telah mendominasi pemikiran negara-negara yang tergabung dalam PBB yang seusai Perang Dunia II, telah merumuskan suatu dokumen yang dapat diterima secara universal. Hal tersebut dewasa ini masih berlangsung, sekali pun dunia sudah banyak berubah dan proses globalisasi telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia.

Deklarasi HAM yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa) maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing (Rudy, 2003, hal. 46). Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya. Pelanggaran HAM (Violence of Human Rights) bukan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan ketertiban, tetapi penculikan, penyanderaan, penyiksaan, larangan beribadah, dan sebagainya.

(2)

2

sudah lama dikenal dan selalu diasosiasikan dengan pemikiran di negara-negara Barat. Generasi kedua adalah hak ekonomi dan sosial yang gigih diperjuangkan oleh negara-negara sosialis di PBB, dengan dukungan negara-negara dunia ketiga. Terakhir, generasi ketiga adalah hak atas perdamaian dan pembangunan (development), yaitu pemikiran bahwa hak asasi harus dilihat dalam konteks kebudayaan masing-masing negara, karena hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam pelaksanaan hak asasi manusia itu.

Di era globalisasi neoliberal sekarang ini, periode Westphalia berada dalam persimpangan jalan. Tantangan terbesar dari negara-negara dan pemerintahan-pemeritntahan nasional tampaknya tidak lagi apakah mereka melakukan represi ataukah tidak. Negara-negara, seperti Singapura, Malaysia, China, dan beberapa yang lain memang masih melakukan represi politik meskipun tidak sampai pada pelanggaran HAM dalam skala besar yang bersifat serius. Selain itu, di banyak negara, diskriminasi masih sering terjadi. Bahkan, di negara-negara Eropa sekalipun yang mana isu HAM berawal dan diperdebatkan. Di negara-negara AS, Perancis, Inggris, dan juga Jerman masih diliputi prasangka etnis yang merisaukan. Sayangnya, di banyak negara maju dan demokratis, pemerintahan nasional tidak lagi mempunyai kemampuan yang memadai untuk mendorong perlindungan dan penghormatan HAM karena peran mereka yang semakin tergerus oleh pasar global. Dalam konteks inilah, persoalan HAM dewasa ini menjadi semakin kompleks dan penting. Privatisasi air bersih, misalnya, telah menyulitkan penduduk miskin untuk mendapatkan layanan air bersih, dan jelas hal ini bermasalah ditinjau dari segi HAM. Fakta paling mencolok terjadi dalam dunia pendidikan. Privatisasi di sektor ini telah membuat hanya orang-orang kaya mengenyam pendidikan tinggi berkualitas. Masyarakat miskin menikmati pendidikan seadanya, dan kadang malah tidak mendapatkan. Pelanggaran HAM bidang sosial budaya pun tak bisa dielakkan. Revolusi komunikasi dan peran media massa juga membuat pelanggaran HAM, bahkan yang terjadi di wilayah terpencil sekali pun, tidak dapat ditutup-tutupi.

(3)

3

Kontribusi globalisasi dan penegakan HAM tampaknya berada dalam dua sudut yang saling berseberangan. Pada satu sisi, globalisasi mempromosikan banyak usaha-usaha demokratisasi dalam skala luas. Di banyak negara, reformasi terjadi karena keterbukaan informasi yang mereka dapatkan dari internet. Melalui teknologi informasi juga masyarakat di belahan dunia manapun bisa saling berhubungan, bertukar informasi, dan juga membangun apa yang sering disebut sebagai “solidaritas dunia maya”. Dalam konteks semacam ini, teknologi informasi mampu mempromosikan demokratisasi politik dan sosial dalam skala luas. Dengan kata lain, globalisasi mempromosikan HAM, terutama di bidang kebebasan sipil, gender, dan juga perlindungan terhadap anak-anak. Meskipun demikian, globalisasi juga mempunyai sisi buruk yang bisa menjadi ancaman kapan saja bagi usaha-usaha menegakkan HAM.

Implikasi Globalisasi atas Implemantasi HAM

Globalisasi memarginalkan peran negara

Gagasan tentang peran negara dalam era globalisasi berangkat dari kecenderungan bahwa kemajuan-kemajuan di bidang teknologi komunikasi telah menciptakan apa yang disebut banyak ahli sebagai state bordless (Winarno, 2009). Menurut tesis Ohmae (dalam The End of Nation State, 1995, hal. 3), dalam globalisasi pasar dunia yang semakin kompetitif, negara bangsa atau nation-states tidak lagi memiliki sumber-sumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung dalam mewujudkan ambisi mereka. Lebih lanjut, Keohane dan Nye (dalam Power and Interdependence: World Politics in Transition, 1977, hal. 3-4) mengemukakan bahwa dalam dunia baru, yaitu dunia tanpa batas-batas negara atau a world without borders, negara-negara dan penguasa militer mereka tidak lagi memainkan peran penting. Bahkan peran mereka semakin memmudar, dan secara meyakinkan akan digantikan oleh peran penting yang semakin meningkat dari aktor-aktor nonteritorial seperti perusahaan-perusahaan multinasional, geraka-geraka sosial transnasional, dan organisasi-organisasi internasional. Pertanyaan sekarang bagaimana implikasi globalisasi semacam ini atas usaha-usaha memperjuangkan perlindungan tehadap HAM?

(4)

4

meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, termasuk dalam memajukan HAM. Oleh karena itu, menurut Feyter (Human Rights: Social Justice in the Age of the Market, 2005), meskipun globalisasi berpengaruh terhadap kapasitas negara untuk melaksanakan kedaulatan dalam batas-batas teritorialnya, tapi tidak mengurangi tanggung jawabnya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, negara beserta aktor-aktor lain mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak dasar atas warga negaranya.

Ketimpangan sebagai akibat neoliberalisme, suatu model pengorganisasian

sistem sosial dan ekonomi ala Darwinisme sosial.

Persoalan yang diciptakan oleh globalisasi (neoliberal) adalah sistem pengorganisasian sosial dan ekonomi ala Darwinisme yang memberikan peluang besar bagi perusakan negara dalam usahanya memenuhi hak-hak dasar warga negara. Salah satu ancaman serius terhadap pelanggaran HAM bidang ECOSOC. Ancaman itu terutama berasal dari konsepsi neoliberal mengenai kebaikan bersama. Dalam tatanan neoliberal, normatif etis yang biasa disebut “kebaikan bersama” tidak lagi diangggap sebagai tujuan yang secara intensional dikejar oleh agenda ekonomi-politik (intended motive), tapi hanya sebagai hasil sampingan (uintended consequences) kinerja ekonomi politik (Priyono, 2004). Sebaliknya, yang dikejar oleh agenda ekonomi politik neoliberal adalah “the accumulation of individual wealth”. Bidang-bidang yang dulu merupakan tanggung jawab pemerintah dan perusahaan sekarang menjadi tanggung jawab individu sehingga terjadi penggusuran dari social welfare menjadi self-care. Akibatnya, terjadi proses marginalisasi yang berlangsung secara agenda, yakni kelompok-kelompok miskin tidak hanya tersingkir oleh kinerja prinsip “daya-beli-menentukan-hak”, tetapi juga penghapusan jaring pengaman apabila mereka jauh.

Globalisasi menciptakan multiaktor dalam pelanggaran HAM

(5)

5

tenaga kerja, dianggap gagal memberikan perlindungan tenaga kerja perempuan ini. Mereka justru memberi konstruksi atas para pekerja ini dengan mengatakan sebagai “pahlawan devisa”. Padahal, sebenarnya, tidak lebih dari pengiriman tenaga kerja murah yang siap dieksploitasi kapan saja dengan standar kesehatan dan keselamatan yang rendah. Kemudian, berjalin dengan lemahnya penegakan HAM di negara-negara tujuan membuat kasus-kasus kekerasan mudah terjadi. Sebagai catatan, beberapa negara tujuan TKI adalah negara-negara yang mempunyai komitmen rendah dalam penegakan HAM. Tindakan kekerasan TKI mengalami pemerasan di dalam negeri setelah mereka tiba dan mengalami fase perjuangan panjang di negeri asing. Dengan demikian, kekerasan dan eksploitasi yang terjadi dalam satu orang TKI disebabkan oleh banyak aktor.

Berkaca dari fakta-fakta semacam itu, muncul suatu pertanyaan serius, lantas bagaimana menegakkan HAM di era globalisasi sekarang?

Tantangan Universalitas HAM

Telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu pencapaian dalam implementasi HAM, secara universal, dan sekaligus menjadi tonggak penerapan HAM secara global adalah keputusan PBB, yang dinyatakan dalam The Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948. Semenjak deklarasi tersebut, isu HAM menjadi sedemikian universal dengan beberapa catatan yang tidak bisa diabaikan. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian dalam deklarasi PBB tersebut tidak berarti bahwa HAM telah dengan sempurna bisa ditegakkan. Dalam implementasinya, sebagai konsepsi yang lahir daru dunia Barat, nilai-nilai HAM menghadapi beberapa masalah dasar terkait dengan universalitas karena perbedaan konsepsi dan interpretasi berkaitan dengan HAM itu sendiri. Ada tiga kendala atau tantangan atau tantangan yang selama ini menghambat implementasi HAM secara universal (Winarno, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, 2014, hal. 230).

(6)

6

pribadi manusia. Setiap pemerintahan di semua negara di dunia harus menghormati HAM yang harus dimanifestasikan dalam struktur, hukum, maupun kebijakan-kebijakan negara tersebut. Jika pemerintah melakukan hal yang berseberangan dengan penegakan HAM, maka sanksi atas pemerintah tersebut harus dijatuhkan. Lebih lanjut, negara-negara Barat deklarasi HAM diartikan perlindungan bagi seluruh cakupan kebebasan manusia dalam menghadapi kekuatan negara yang masif.

Bagaimanapun perlu dicatat bahwa interpretasi HAM oleh negara-negara Barat tersebut dengan tegas disanggah oleh negara-negara Sosialis. Sebaliknya, jika negara-negara Barat meyakini bahwa HAM pada dasarnya melekat dalam diri manusia sejak lahir, negara-negara Sosialis memercayai bahwa HAM merupakan konsep yang hanya hadir dalam tingkatan masyarakat dan negara, dan dalam tingkatan tertentu yang telah ditetapkan secara spesifik. Warga negara di negara Barat cenderung memiliki HAM sebagai hak individu, sementara di negara-negara sosialis kepemilikan HAM menghadapi beberapa pembatasan terhadap hak individu (Brown, 2001). Dalam konteks ini, perbedaan masing-masing negara dalam interpretasi HAM, khususnya China dan AS menjadi contoh yang nyata bagaimana negara Barat memberikan penekanan tentang konsep kebebasan dan HAM sebagai sesuatu yang inheren, sementara negara Sosialis, seperti China lebih ketat dama menerjemahkan makna HAM.

(7)

7

kewajiban, serta larangan terkait dengan pernikahan. Tantangan universalitas HAM adalah keberagaman juga dirasakan daalam agama lain, seperti Hindu. Hal ini dapat dilihat dari konsepsi kasta, yang mana seseorang harus menerima status atau tingkatan kastanya tanpa penolakan. Pemahaman ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi universalitas HAM. Lebih jauh, agama lain seperti Katolik menolak penggunaan alat kontrasepsi dan menganggap penolakan tersebut sebagai tanggung jawab moral dari universalitas normatif (Langlois, 2002). Kedua, berbagai tantangan terkait keberagaman agama tersebut semakin nyata dan digarisbawahi oleh pendapat yang menegaskan bahwa HAM tidak mampu berjalan bersama dengan konsepsi agama. Dengan kata lain, HAM cenderung dipahami sebagai konsep yang sekuler.

Ketiga, keberagaman budaya yang menggarisbawahi debat terkait nilai-nilai Asia Values dalam memahami universalitas HAM.Relativisme budaya mempercayai bahwa baik-buruk segala sesuatu pada dasarnya tergantung dari sudut pandang budaya (Donnelly, 2007). Relativisme kultural inilah yang kemudian membuat beberapa budaya menganggap bahwa universalitas HAM perlu memperoleh telaah kritis. Dalam konteks relasi HAM dengan budaya dan kekuasaan politik, salah satu bentuk relativisme budaya yang paling terkenal adalah kemunculan Asian Values. Nilai-nilai Asia ini pertama kali dicetuskan oleh Lee Kuan Yes yang menegaskan penggunaan budaya sebagai komponen utama dalam membedakan nilai-nilai Barat dan Timur (Asia), sekaligus sebagai bentuk resistensi terhadap universalitas HAM (Barr, 2000). Tantangan serupa terkait dengan penegakan HAM juga sempat muncul dari manatan Presiden Indonesia, Soeharto. Soeharto menegaskan bahwa HAM harus diterapkan berdasarkan interpretasi pemerintaah masing-masing negara mengingat kondisi ekonomi, sosial dan realitas budaya dalam masing-masing berbeda satu sama lain. Dalam konteks Indonesia, menurut Soeharto keberadaan HAM tidak boleh melupakan eksistensi dari masyarakat dan komunitas (Winarno, Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer, 2014, hal. 234).

(8)

8

di mana mereka beroperasi. Ancaman terhadap HAM juga bisa datang dari berbagai kelompok teroris yang tampaknya berada dan bertindak di luar kekuasaan pemerintah dan hukum. Lebih lanjut, penerapan HAM juga bisa terganggu oleh fanatisme agama, kebencian rasial, konflik etnis, dan oleh berbagai kekerasan yang muncul akibat ketidakacuhan dan keapatisan.

Penutup

Di samping beragamnya ancaman bagi HAM yang secara nyata di depan mata, juga terhampar beberapa harapan akan terjaminnya penrapan HAM. Pertama, HAM telah menjadi topik utama dalam agenda politik global. Kedua, meskipun sistem negara-negara masih merupakan bentuk dominan organisasi politik dewasa ini, tidak satu pun pemerintah yang berani menyatakan bahwa persoalan HAM tidak sah untuk dibicarakan secara internasional. Ketiga, sebagai akibat dari kecenderungan tadi, negara-negara telah menunjukkan kemauan politik untuk paling tidak melaporkan tindakan-tindakan yang mereka jalankan menyangkut pelaksanaan dan perlindungan HAM kepada badan-badan internasional. Keempat, kedinamisan yang terlihat dalam vialitas lembaga-lembaga internasional, salah satunya Komisi HAM PBB plus badan-badan di bawahnya telah membuktikan peningkatan potensi mereka. Kelima, vitalitas yang telah diperlihatkan oleh sistem HAM Eropa dan Inter-Amerika dan prospek perkembangan mekanisme serupa di bagian yang lain (Mochtar Mas’oed dalam Isu-Isu Global Masa Kini). Maka dari kelima hal ini dapat kita lihat bahwa dari tantangan-tantangan yang dihadapi terkait HAM sebagai proses globalisasi, negara sebagai aktor dan aktor non-negara lainnya dalam hal ini sebagaimasih memungkinkan adanya tingkat kesadaran akan pentingnya memperoleh dan melindungi hak-hak masyarakat sipil.

Referensi

Barr, M. (2000). Lee Kuan Yew and the 'Asia Values' Debate. Asian Studies Review , 310-311.

(9)

9

Donnelly, J. (2007). The Relative Universality of Human Rights. Human Rights Quarterly (29), 294.

Feyter. (2005). Human Rights: Social Justice in the Age of the Market. London: Zed Books.

Keohane, R. O., & Nye, J. S. (1977). Power and Interdepedence: World Politics in Transition. Boston: Little, Brown, and Company (Inc.).

Langlois, A. J. (2002). Human Rights: The Globalization and Fragmentation of Moral Discourse. Review of International Studies , 28 (3), 485.

Mas'oed, M., & Arfani, R. N. Isu-Isu Global Masa Kini. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Ohmae, K. (1995). The End of Nation State. (p. 3). Jakarta: The 1995 Panglaykim Memorial Lecture.

Priyono, H. (2004). Marginalisasi ala Neoliberal. Basis , 18.

Rudy, T. M. (2003). Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global. Bandung: PT Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “Analisis

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan yaitu (1) pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan model pembelajaran

Perancangan perangkat keras terdiri atas modul-modul yang berfungsi sebagai pengendali kerja dari motor konveyor dan buka/tutup sumber radiasi.. Sedangkan untuk

Kedudukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) lingkup Dinas Pertanian dan Kehutanan diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang pembentukan, organisasi dan tata kerja

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan

Berikut ini adalah tampilan dari halaman kelompok dari sistem klasifikasi dokumen , pada halaman ini dapat dilihat data kelompok yang telah disimpan dalam database

judul Penelitian Tindakan Kelas yakni “ Penerapan Model Pembelajaran Word Square Untuk Meningkatkan Keaktifan Dan Hasil Belajar Siswa Pada Pelajaran. IPS

TABEL 4.1 Apakah Ibu/Bapak selalu menggunakan program atau tayangan televisi sebagai media pembelajaran moral pada pelajaran PKn pada saat proses