• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual HA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual HA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL (HAKI) DALAM KERANGKA

HUKUM INDONESIA

Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi

Dosen : Bapak Ujang Rivai, SH., M.Si

Disusun oleh:

EDWIN RONALDO ( NIM. 5553121723 )

KELAS 3F

2013

JURUSAN ILMU EKONOMI

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa karena, atas berkat dan kehendak-Nyalah penulisan paper ini

dapat selesai tepat pada waktunya.

Dalam penulisan paper ini penulis menemukan cukup banyak

kesulitan, terutama keterbatasan mengenai penguasaan Ilmu Hukum.

Tetapi berkat bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak akhirnya

penulis pun dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Karena itu

penulis turut mengucapkan terima kasih kepada :

1. Pengampu Aspek Hukum dalam Ekonomi, Bapak Ujang Rivai, SH.,

M.Si atas kepercayaan yang telah diberikan untuk menulis paper,

serta membimbing dalam proses penulisan

2. Ayah dan Ibu penulis tersayang yang telah memberikan dukungan

atau motivasi secara moral, spiritual, dan materil.

Penulis menyadarai bahwa penulisan paper ini masih ditemukan

banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran dirasakan sangat dibutuhkan

untuk kemajuan penulis di masa yang akan datang.

Penulis berharap, agar dengan adanya paper ini dapat berguna bagi

semua orang.

Serang, 13 November 2013

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... II

DAFTAR ISI ... III

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.3 Ruang Lingkup ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

2.1 Asal Mula HaKI ... 3

2.1.1. Pengertian HaKI ... 3

2.1.2. Sejarah HAKI ... 4

2.1.3. Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia ... 4

2.1.4. Tujuan dan Alasan Perlindungan HAKI ... 9

2.1.5. Konsep HAKI ... 9

2.1.6. Jenis-Jenis HAKI ... 10

2.1.7. Sumber Hukum Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia ... 13

2.2 Sistem Dan Keberadaan HAKI Dalam Kerangka Hukum Indonesia Serta Hukum Internasional ... 14

2.2.1 HAKI dalam Kerangka Hukum Nasional ... 15

2.2.2 HAKI dalam Kerangka Hukum Internasional ... 16

2.2.3 HAKI dan Tantangan Globalisasi ... 17

BAB III PENUTUP ... 22

(4)

3.2 Dampak Positif dan Negatif adanya Hak katas Kekayaan

Intelektual ... 22

3.3 Solusi Atas Permasalahan ... 23

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Timbunya pemikiran kekayaan atas karya-karya intelektual pada

akhirnya digunakan untuk melindungi dan mempertahankan kekayaan

intelektual tersebut. Akhirnya, kebutuhan ini menciptakan pemikiran

perlindungan hukum atas kekayaan intelektual tadi, termasuk pengakuan

hak atas karya tersebut. Sesuai dengan hakikatnya, HAKI dikelompokkan

sebagai hak milik perorangan yang bersifat abstrak (tidak berwujud

namun dapat dirasakan). Jika dilihat dari latar belakang sejarah mengenai

HAKI, terlihat bahwa di negara-negara barat penghargaan atas hasil ide

atau pemikiran individu sudah lama diterapkan dalam budaya mereka,

yang kemudian diterjemahkan kedalam perundang-undangan. Hak Atas

Kekayaan Intelektual di negara-negara barat bukan hanya sekedar

perangkat hukum yang digunakan untuk perlindungan terhadap hasil

karya intelektual seseorang, akan tetapi juga dipakai sebagai alat strategi

usaha dimana suatu penemuan dapat dikomersialisasikan sebagai

kekayaan intelektual, ini memungkinkan pencipta tersebut dapat

mengeksploitasi ciptaannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi

penemuan tersebut dapat menyebabkan pencipta karya intelektual itu

untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi

contoh bagi yang lainnya. Sehingga akan timbul keinginan pihak lain

untuk dapat berkarya dengan lebih baik sehingga menimbulkan

kompetisi antar individu di dalamnya.

Di Indonesia penerapan HAKI baru dapat dilakukan akhir-akhir ini,

dikarenakan sudah maraknya kasus-kasus yang melibatkan kekayaan

intelektual didalamnya. Oleh karena itu,maka pada tahun 2002

(6)

pelaksanaan, dan penerapan HAKI di Indonesia. Dengan adanya UU

HAKI, diharapkan dapat lebih mengatur tentang hak-hak seseorang

terhadap karyanya, dan juga dapat menjerat pelaku kejahatan HAKI.

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan paper ini bertujuan agar dapat bermanfaat :

 Untuk pemerintah, agar dapat mengevaluasi permasalahan – permasalahan Ha katas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang terjadi

diIndonesia, selain itu agar dapat memfokuskan diri dalam

pendistribusian hak tersebut sehingga HaKI dapat diperoleh setiap

individu atas ide/pikirannya.

 Bagi penulis, untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi. Selain itu untuk mendapatkan pengalaman,

dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, wawasan yang lebih

luas, serta lebih memahami setiap permasalah yang terjadi mengenai

Hak atas Kekayaan Intelektual.

 Guna khususnya untuk Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

1.3 Ruang Lingkup

Penulisan paper ini dilakukan melalui pembatasan masalah, antara lain:

 Paper ini memuat permasalah – permasalahan sebab timbulnya pengakuan Hak atas Kekayaan Intelektual.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asal Mula HaKI

2.1.1. Pengertian HaKI

Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari kemampuan

intelektual manusia yang dapat berupa karyadi bidang teknologi, ilmu

pengetahuan, seni dan sastra. Karya ini dihasilkan atas kemampuan

intelektual melalui pemikiran, daya cipta dan rasa yang memerlukan

curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh “produk” baru dengan landasan kegiatan penelitian atau yang sejenis. Kekayaan

Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di

Malaysia) merupakan padanan bahasa Inggris intellectual property right.

Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut

adalah kecerdasan daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the

creations of the human mind) (WIPO, 1988:3).

Secara substantif pengertian HAKI dapat dideskripsikan sebagai hak

atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual

manusia. Karya-karya intelektual tersebut di bidang ilmu pengetahuan,

seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga,

waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan

karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan

manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat

menumbuhkan konsepsi kekayaan (Property) terhadap karya-karya

intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai aset

(8)

2.1.2. Sejarah HAKI

Kalau dilihat secara historis, undang-undang mengenai HAKI

pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada

tahun 1470. Caxton, Galileo dan Gutternberg tercatat sebagai

penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak

monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut

kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an

dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu

Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai

undang-undang paten pada tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI

pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk

masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention

1886 untuk masalah copyright atau hak cipta.

WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB

yang menangani masalah HAKI anggota PBB. Sebagai tambahan pada

tahun 2001, World Intellectual Property Organization (WIPO) telah

menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual

Sedunia. Sejak ditandatanganinya persetujuan umum tentang tarif dan

perdagangan (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko,

Indonesia sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk

melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya melalui

Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

2.1.3. Sekilas Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia

Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di

Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda

memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI

(9)

Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang

pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi

anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Propertysejak

tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary

and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu

tahun 1942 s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang

HKI tersebut tetap berlaku.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan

kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan

UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial

Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU

Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak

demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan

pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten

peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten

yang berada di Batavia ( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas

permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada

di Belanda.

Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan

pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama

yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman

No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan

paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G.

1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten

luar negeri.

Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU

No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU

Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek

(10)

mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961

dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang

tiruan/bajakan.

Pada tanggal 10 Mei1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris

[Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm

Revision 1967)] berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979.

Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena

Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah

ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).

Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun

1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU

Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982

dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan,

penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra

serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di

tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim

khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih

dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34

adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,

perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan

sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat

penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34 selanjutnya

membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru

dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di

tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah

diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah

(11)

Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU

No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang

Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan

bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin

meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan

kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.

Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia

menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta

sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.

Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan

pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM)

untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta

yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral

Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui

RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun

1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU

Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten

1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem

paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan

dalam pertimbangan UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten

diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan

suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini

disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum dan

khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat penting.

Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi

asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun

demikian, ditegaskan pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem

(12)

dunia internasional, namun juga karena kebutuhan nasional untuk

menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif.

Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No.

19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku

tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada

tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act

Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade

Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi

perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak

Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.

Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang HKI,

yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun

2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain

Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan

perundang-undangan di bidang HKI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001

Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten,

dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan

UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang

Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu

tahun sejak diundangkannya.

Catatan: Perubahan Nomenklatur Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

berdasarkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-02.OT.01.01 Tahun 2011

tentang Penyesuaian Penggunaan Nama Kementerian Hukum dan Hak

(13)

2.1.4. Tujuan dan Alasan Perlindungan HAKI

Perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual berujuan untuk

memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta

memberikan penghargaan atas buah kreativitas. Perlindungan ini

diberikan agar tumbuh inovasi-inovasi baru baik dibidang perindustrian

maupun seni dan ilmu pengetahuan. Adanya perlindungan terhadap hak

kekayaan intelektual juga menjadi suatu aset yang bernilai karena

memberikan hak-hak keekonomian yang besar. Adanya hak kekayaan

intelektual ini bahkan dapat menjadi suatu katalis bagi pertumbuhan

perekonomian suatu negara. Karena sifatnya yang universal,

perlindungan hak kekayaan intelektual haruslah didukung dan diakui

oleh negara-negara di dunia.

2.1.5. Konsep HAKI

Beberapa konsepsi hak kekayaan intelektual adalah sebagai berikut:

a. Hak Otoritas

Dengan hak yang didapat dari otoritas publik, tumbuhlah

ekslusivitas atau kepemilikan sehingga si pemilik dapat melarang

pihak lain menggunakan hak tersebut tanpa izinnya. Secara esensial

hak ekslusif ini adalah monopoli untuk jangka waktu dan dengan

syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu perjanjian-perjanjian yang

berkenaan dengan hak kekayaan intelektual dikecualikan dari

kategori monopoli yang dilarang.

b. Hak Privat dan Pasar

Masyarakat yang mendapatkan keselamatanya melalui mekanisme

pasar. Karya intelektual, yang telah mendapat atau telah dikemas

dengan hak ekslusif yang menjadikannya property pemiliknya,

menciptakan pasar (permintaan dan penawaran). Hal ini timbul

(14)

kebutuhan masyarakat banyak. Itulah sebabnya dalam hak kekayaan

intelektual, misalnya paten, dipersyaratkan adanya unsur penerapan

industrial yakni dapatnya hasil karya ini diterapkan dalam industri.

Secara ringkas hak kekayaan intelektual merupakan pendorong

pertumbuhan perekonomian.

c. Prinsip Berkesinambungan

Sistem pasar telah tercipta, mempertemukan pemegang hak

kekayaan intelektual dan masyarakat. Hubungan ini

berkesinambungan, sebab pada akhirnya masyarakatlah uang

membutuhkan barang-barang hasil temuan. Kreativitas terus

diperlukan. Sistem hak kekayaan intelektual sendiri, pada dirinya,

melekat unsur berkesinambungan atau estafet.

d. Satu Kesatuan

Hak kekayaan intelektual merupakan satu kesatuan sistem. Ini

berarti hak kekayaan intelektual mencakup berbagai bidang yang

luas, sehingga diperlukan pengikatan antara semua unsur agar

saling terkait menjadi satu.

e. TRIPs Mengikat

TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement merupakan dokumen yang

mengikat Indonesia yang telah meratifikasinya dengan UU No. 7

Tahun 1994. Berdasarkan hukum internasional, persetujuan

internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi

Negara itu sendiri

2.1.6. Jenis-Jenis HAKI

Kita semua tahu bahwa penghormatan tergadap HAKI (intellectual

property) adalah sebuah hal yang jarang ditemukan di Indonesia. Berikut

(15)

1. Hak Cipta (Copyright)

Hak cipta adalah hak dari pembuat sebuah ciptaan terhadap

ciptaanya dan salinannya. Pembuat sebuah ciptaan memiliki hak

penuh terhadap ciptaaannya tersebut. Hak-hak tersebut misalnya

adalah hak-hak untuk menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain.

Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta

tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.

Sebagai contoh Microsoft menjual produknya ke public dengan

mekanisme lisensi. Artinya Microsoft memberi hak kepada

seseorang yang membeli Windows untuk menggunakan perangkat

lunak tersebut. Orang tersebut tidak diperkenankan untuk membuat

salinan Windows untuk kemudian dijual kembali. Karena hak

tersebut tidak diberikan oleh Microsoft. Walaupun demikian

seseorang tersebut berhak untuk membuat salinan jika salinan

tersebut digunakan untuk keperluan sendiri, misalnya untuk

keperluan backup.

2. Paten (Patent)

Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten

melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada hak

cipta, seseorang yang lain berhak membuat karya lain yang memilki

hak cipta. Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk

membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah

ide yang dipatenkan.

Contoh dari paten misalnya adalah algoritma yang dipatenkan oleh

Google. Pagerak dipatenkan pada kantor paten Amerika Serikat.

Artinya pihak lain di Amerika Serikat tidak dapat membuat sebuah

karya berdasarkan algoritma pagerak, kecuali jika ada perjanjian

(16)

3. Merek Dagang (Trademark)

Merek dagang digunakan oleh pembisnis untuk mengiditifikasi

sebuah produk atau layanan.Merek dagang meliputi nama produk

dan layanan,beserta logo,symbol,gambaran yang menyertai produk

dan layan produk tersebut. Contoh merk dagang misalnya adalah

“Kentucky Fried Chiken.Yang disebut merk dagang adalah urutan

-urutan kata-kata tersebut beserta variasinya(misalnya “KFC”),dan logo dari produk tersebut.Jika ada produk lain yang sama atau mirip

misalnya “Ayam Goreng Kentucky”, maka itu adalah termasuk

sebuah pelanggaran merk dagan. Berbeda dengan HAKI lainnya,

merk dagang dapat digunakan oleh pihak lain selain pemilik merk

dagang tersebut, selama merk dagang tersebut digunakan untuk

merefrensikan layanan tersebut, selama merk dagang tersebut

digunakan untuk merefrensikan layanan atau produk yang

bersangkutan.

4. Rahasia Dagang (Trade Secret)

Berbeda dari jenis HAKI lainnya, rahasia dagang tidak dapat

dipublikasikan ke public. Sesuai namanya, rahasia dagang bersifat

rahasia. Rahasia dagang dilindungi selama informasi itu tidak

“dibocorkan” oleh pemilik rahasia dagang. Contoh dari rahasia

dagang adalah Kode sumber (source code) dari Microsoft. Microsoft

memiliki banyak competitor yang coba meniru windows. Dan

terdapat suatu proyek wine yang bertujuan menjalankan aplikasi

windows di linux. Pada suatu saat, kode sumber windows tersebar

di internet dengan tanpa sengaja. Karena kode sumber windows

adalah rahasia dagang, maka proyek wine tidak diperkenan melihat

atau mempergunakan kode sumber yang telah bocor tersebut.

Sebagai catatan kode sumber windows merupakan rahasi dagang,

(17)

Pada kasus lain, produsen prangkat lunak memilih untuk

mempublikasikan kode sumbernya (misalnya pada perangkat lunak

OpenSource). Pada kasus ini, kode sumber termasuk dalam hak

cipta, bukan rahasia dagang.

Sifat-sifat Hak Kekayaan Intelektual :

a. Mempunyai jangka waktu tertentu atau terbatas

Artinya setelah habis masa perlindungannya ciptaan atau penemuan

tersebut akan menjadi milik umum, tetapi ada pula yang setelah

habis masa perlindungannya dapat diperpanjang lagi, misalnya hak

merek.

b. Bersifat ekslusif dan mutlak

Maksudnya bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap

siapapun. Pemilik hak dapat menuntut terhadap pelanggaran yang

dilakukan oleh siapapun. Pemilik atau pemegang HAKI mempunyai

suatu hak monopoli, yaitu pemilik atau pemegang hak dapat

mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa

persetujuannya untuk membuat ciptaan atau temuan ataupun

menggunakannya.

2.1.7. Sumber Hukum Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia

Seperti telah disinggung di atas, Indonesia telah memiliki perangkat

hukum yang memadai di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual.

Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional di bidang

hak kekayaan intelektual seperti Paris Convention, Berne

Convention, maupun Trade Related Aspects of Intellectuals Property

Rights (TRIPs). Perangkat hukum di bidang hak keyaan intelektual yang

dipunyai Indonesia diantaranya adalah:

(18)

b. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

c. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

d. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

e. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

f. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

g. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

h. UU No. 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi Trade Related Aspects of

Intellectuals Property Rights (TRIPs)

2.2 Sistem Dan Keberadaan HAKI Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Serta Hukum Internasional

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu Systema. Untuk istilah

itu Shrode dan Voch mengartikannya “suatu keseluruhan yang tersusun

dari sekian banyak bagian (whole compoundded of several parts)”. Dalam tulisan ini penulis hanya memajukan beberapa rumusan saja, yaitu

sebagai berikut:

1) Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau

himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu

bentuk yang saling berhubungan atau saling ketergantungan yang

teratur; sesuatu himpunan bagian-bagian yang tergabungkan secara

alamiah maupun oleh budidaya manusia sehingga menjadi suatu

kesatuan yang bulat dan terpadu; suatu keseluruhan yang

terorganisasikan atau sesuatu yang organik; atau juga yang

berfungsi, bekerja atau bergerak secara serentak bersama-sama,

bahkan sering bergeraknya itu mengikuti suatu kontrol tertentu,

sistem tata surya, ekosistem, merupakan contohnya.

2) Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun,

terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum

dan sebagainya yang dibentuk oleh satu kesatuan yang logik dan

(19)

pemerintahan tertentu. Sistem teologi Agustinus, sistem sistem

pemerintahan demokratis, sistem masyarakat Islam, merupakan

contoh-contohnya.

3) Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau

metode pengaturan organisasi atau metode tata cara. Dapat juga

dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan pelaksanaan atau

pemrosesan dan juga dalam pengertian metode pengelompokan,

pengkodifikasian, dan sebagainya. Misalnya saja sistem

pengelompokan bahan pustaka menurut Dewey (Dewey Decimal

Clasification).

2.2.1 HAKI dalam Kerangka Hukum Nasional

Hal lain lagi yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem ini adalah

aspek budaya hukum(Culture of law), khusus mengenai perlindungan

Hak Atas Kekayaan Intelektual, dalam bidang hak cipta iklim budaya

Indonesia telah menawarkan suatu yang berbeda dengan budaya hukum

“Barat”. Para pencipta Indonesia sangat “berbesar hati” bila ciptaannya

diperbanyak atau diumumkan oleh orang lain. Para pelukis, pemahat dan

pematung di Bali sangat gembira, apabila karya ciptanya ditiru orag lain.

Begitu pula jika ada kunjunga pejabat luar negeri ke pabrik atau ke

berbagai pusat industri di Indonesia, biasanya para pejabat kita dengan

senang hati memperkenalkan temuan dan hasil temuan kita kepada

“publik luar” tersebut. Memberikan penjelasan, memperkenankan untuk

menggunakan tustel atau kamera video, bahkan sampai kepada

bagian-bagian yang spesifik yang di dunia Barat termasuk dalam Trade

Secrets atau Undisclosed Information. Dunia Barat telah lama

memperkenalkan sistem perlindungan yang demikian, sehingga jika kita

berkunjung ke suatu pabrik atau pusat industri mereka akan membatasi

aktivitas kita, misalnya larangan mempergunakan tustel, camera vidoe,

(20)

Terlepas dari itu semua, kiranya Indonesia sudah saatnya pula,

mencermati kembali segi-segi yang berkaitan dengan perlindungan Hak

Atas Kekayaan Intelektual ini dalam satu kerangka sistem.

2.2.2 HAKI dalam Kerangka Hukum Internasional

Dalam kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual,

maka dari segi substansif, norma hukum yang mengatur tentang hak

kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma hukum yang

dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada

norma-norma hukum Internasional. Di sini kita lihat hakikat hidupnya sistem

hukum itu. Ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntunan

masyarakat, dalam bidang intellectual property rights didasarkan pada

tuntunan perkembangan peradaban dunia.

Oleh karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakata

internasional, harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan

ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah

kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Embodying The Uruguay

of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh,

pada bulan April oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi

Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani

kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan oleh Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia.

Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat

peratutan yang extra-teritirial yang mennyangkut tentang perlindungan

Hak Kekayaan Intelektual, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka

WTO Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak harus memenuhi

(pengaturan) standard minimum. Dengan demikian Indonesia harus

(21)

perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menambah beberapa

peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.

2.2.3 HAKI dan Tantangan Globalisasi

1) WTO Sebagai Kerangka Hukum

WTO merupakan kerangka hukum sebagai kesepakatan

internasional dan dijadikan sebagai acuan dalam setiaptindakan para

pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

perlindungan HAKI dan penanaman Modal Asing disamping

hal-hal lain yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional.

Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yang

turut meratifikasi kesepakatan WTO, dengan sendirinya tunduk

pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut.

Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan

paraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO,

khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO

tersebut dimana HAKI termasuk didalamnya.

Khusus mengenai perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual,

Indonnesia telah memiliki perankat perundang-undangan yang

ebagian besar telah merujuk pada persetujuan TRIPs.

Menarik untuk disimak, ungkapan pakar ekonomi Rizal Ramli yang

mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia belum punya konsep

untuk menghadapi perdagangan bebas.

2) Landasan Konsepsional Mengenai HAKI

Dibalik sistem perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan

Intelektual ada serangkai pemikiran konsepsional yang dapat

diuraikan dibawah. Pemilik Hak Atas Kekayaan Intelektual telah

mencurahkan karya pikiran, tenaga dan dana untuk memperoleh

(22)

keperluan komersial maka dianggap wajah bahwa pemilik HAKI

tersebut mmemperoleh kompensasi atas penggunaan kekayaan

tersebut.

Secara simplistis, pertama, bentuk penggunaan komersial dari

Kekayaan Intelektual dapat dilakukan langsung oleh pemilik

kekayaan tersebut. Dengan demikian maka pihak pemilik dapat

secara langsung memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi

yang menyangkut penggunaan kekayaan intelektual tersebut.

Kedua, pemilik dapat menjual atau memperoleh kompensasi

finansial dengan membolehkan penggunaan hak atas kekayaan

tersebut kepada pihak lain. Ketiga, pemilik hak atas kekayaan

tersebut dapat mencegah pihak lain memperoleh dan

mempergunakannya.

3) Persetujuan TRIPs Hasil Akhir Perundingan

Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, perjanjian hasil

perundingan Putaran Uruguay sebagai suatu paket persetujuan

ditandatangani oleh para menteri negara-negara peserta. Setelah itu

masih ada lagi kewajiban pemerintah masing-masing negara peserta

yakni melaksanakan prosedur konstitusional yang berlaku untuk

meratifikasi sekaligus sebagai pengesahan keikutsertaan mereka

dalam persetjuan internasional tersebut.

Dalam penerapan persetujuan TRIPs selain mengacu pada standar

normatif yang jelas ditentukan; juga diharuskan negara-negara

anggota untuk menerapkan prinsip-prinsip GATT. Ada tiga prinsip

GATT yang menjadi dasar penerapan persetujuan itu

yakni: pertama, prinsipnational treatment, yakni pemilik HAKI asing

harus diberi perlindungan yang sama dengan warga negara dari

(23)

Kedua, prinsip most favoured nation (MFN) atau nondiskriminasi atas

pemilik HAKI asing dengan pemilik HAKI dari negara yang

bersangkutan atau negara lain. Tidak boleh ada perlakuan kepada

pihak asing yang berasal dari satu negara yang lebih baik dari pada

perlakuan terhadap pihak asing dari negara lain. Ketiga, aspek

transparansi, yang juga merupakan salah satu prinsip utama GATT

akan memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam

ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional

dalam bidang perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual.

4) Penerapan Aturan

Persetujuan juga menetukan prosedur yudisial (civil judical measure

and remedies)termasuk langkah yudisial yang bersifat sementara

untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAKI serta prosedur untuk

memperoleh bantuan dari lembaga pabean guna mencegah

terjadinya impor barang palsu. Dalam hal yang menyangkut

penggunaan merek dagang oleh pihak lain dan kegiatan pemalsuan

maupun pembajakan dalam skala komersial yang cukup besar,

negara anggota diminta menerapakan prosedur kriminal termasuk

sanksi dalam bentuk hukuman penjara dan denda yang cukup

memadai agar menjadi penangkal terhadap kegiatan tersebut. Dalam

beberapa ketentuan pidana mengenai perlindungan HAKI kecuali

hak cipta, undang-undang Indonesia menempatkan delik

pelanggarannya sebagai delik aduan, buka delik biasa.

Persetujuan tidak mengakui adanya perbedaan sistem hukum yang

berlaku di negara anggota ataupun perbedaan dalam kemampuan

administrasi dan kemampuan anggaran antara negara maju dan

negara berkembang. Jadi disini tida ada prioritas, diskriminatif

aturan, semuanya dipandang sama. Meskipun hal ini bagi negara

(24)

prosedur-prosedur administratif yang rini tersebut. Bagi negara berkembang

kewajiban dalam persatuan terebut merupakan beban karena mereka

terpaksa harus mengalihkan sumber dana dan sumber daya manusia

untuk menata tata tertib administrasi HAKI sehingga mengurangi

porsi dana untuk pembangunan pada sektor lain.

5) Intisari Persetujuan TRIPs dan Dampaknya Bagi Indonesia

Bagi negara berkembang, adanya kewajiban dalam melindungi

HAKI merupakan suatucost yang harus dipikuli sebagai imbalan

untuk mencapai perjanjian yang antara lain memberikan akses

kepasar yang lebih luas dan merumuskan aturan main yang lebih

jelas sehingga membatasi indakan unilateral yang dapat diambil oleh

negara maju.

Biaya tambahan memag tidak dapat dielakkan, manakala kita ingin

memulai untuk masuk ke alam pikiran negara maju. Akan tetapi

untuk kepentingan jangka panjang, itu harus dilakukan Indonesia

mengingat penanaman modal asing yang mengandung teknologi

tinggi hanya dapat dinikmati bila kita melindungi hak-hak pemilik

modal. Para investor akan enggan menerapkan teknologinya di

Indonesia apabila tidak ada perlindungan terhadap hak atas

teknologi tersebut.

Bagi negara seperti Indonesia, beban tersebut terutama terpusat pada

masalahenforcement atau penerapan kewajiban yang telah

disepakati. Karena dari itu semula Indonesia menganggap bahwa

periode transisi 5 tahun untuk menerapkan semua mekanisme HAKI

terlalu singkat. Namun dilihat dari segi kepentingan jangka panjang

bila investasi asing semakin diperlukan dan investor asing semakin

menghendaki adanya perlindungan HAKI yang efektif, maka cepat

(25)

WTO, diterma Indonesia sebagai aturan pokok pembentukan

organisasi perdagangan dunia. WTO adalah merupakan konvensi

internasional yang bersifa multilateral dalam tatanan

perundang-undangan Indonesia dan telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun

1994.

Selain memuat kesepakatan pemotongan tarif bea cukai dan

penghapusan berbagai hambatan perdagangan, juga

memberlakukan aturan main untuk beberapa isu baru yang

mempunyai implikasi yuridis bagi negara-negara di dunia

khususnya negar-negara lemah seperti isu tentang perlindungan

Hak Kekayaan Intelektual.

Isu tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ini merupakan

Mas’oed pada dasarnya bukan merupakan liberalisasi, tetapi berupa

perlindungan. Namun tetap mempunyai implikasi liberalisasi, sebab

dengan perlindunga itu, liberalisasi perdagangan dunia diharapkan

(26)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekayaan intelektual adalah kekeyaan yang timbul dari kemampuan

intelektual manusia yang dapat berupa karya di bidang teknologi,ilmu

pengetahuan,seni,dan sastra.Kata“intelektual” tecermin bahwa obyek

kekeyaan intelektual tesebut adalah kecerdasan daya pikir,atau produk

pemikiran manusia (the creations of the human mind) (WIPO,1983:3). Secara

substantive pengertian HAKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas

kekeyaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual

manusia.Tumbuhnya konsepsi kekeyaan atau karya-karya intelektual

pada akhirnya juga digunakan untuk melindungi atau mempertahankan

kekeyaan intelektual. HAKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan

yang sifatnya tidak terwujud. Banyak jenis-jenis HAKI diantaranya yaitu

hak cipta (copyright), paten (patent), merk dagang (tredmark), dan rahasia

dagang (tred secret).

3.2 Dampak Positif dan Negatif adanya Hak katas Kekayaan

Intelektual

Dampak Positif:

a. Melindungi kepentingan pencipta atas hail ciptanya

b. Mendorong orang untuk berinovasi untuk menghasilkan sebuah

karya cipta

c. Menciptakan rasa aman bagi setiap orang untuk menghasilkan

sebuah karya cipta yang bermanfaat bagi manusia.

Dampak Negatif:

a. Mengurangi jumlah uang untuk penelitian dan pengembangan

program computer

(27)

c. Mengurangi kemampuan penyaluran program computer yang

sudah ditingkatkan mutunya

d. Mengurangi hasil penjualan penyalur resmi.

3.3 Solusi Atas Permasalahan

1. Sebagai Pemerintah cara mengatasi permasalahan HAKI adalah

menindak tegas segala bentuk pelanggaran yang dapat merugikkan

HAKI setiap individu, serta menegaskan kemutlakan penghargaan

atas segala bentuk kekayaan intelektual yang dimiliki setiap

individu.

2. Sebagai insan akademisi, kita berkewajiban mendukung, membantu,

dan mengawasi setiap program pemerintahan untuk menyelesaikan

setiap permasalahan HAKI agar setiap program berjalan dengan

baik.

3. Sebagai Pendidik yang merupakan cermin anak didik dan seluruh

lapisan masyarakat, tidak cukup hanya melihat dari satu sisi saja

terhadap masalah HAKI, akan tetapi harus lebih memandang

dampak positif dan negatifnya terhadap masyarakat, bangsa, negara,

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, Jakarta, 1985.

Redaksi, Indonesia Perlu Perhatikan Hak Milik Intelektual, kompas,

Jakarta, 19 Februari 1986, hlm. 1.

Rizal Ramli, Pemerintah Belum Punya Konsep, Republika, Jakarta, 10

April 1996.

Saidin, OK.,aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,Rajawali Pers,

Jakarta, 1995

Shrode, William A; Voich, Jr, Organization and Management; Basic

System Concepta, Irwin Book Co, Malaysia, 1974.

Halaman Situs:

http://diecakusuma.blogspot.com/2012/06/makalah-haki.html

http://google.com/kekayaa-hak-intelektual

http://tmcahaya.blogspot.com/2012/12/hukum-hak-atas-kekayaan-intelektual.html

Referensi

Dokumen terkait

skripsi dengan judul “ Fitoremediasi Tanah Sawah Terkontaminasi Pb Menggunakan Kombinasi Pupuk Anorganik, Agrobacterium sp I 3 atau Kompos dengan Rami ” dapat

Pakaian adat batak karo untuk laki-laki menggunakan uis nipes beka buluh atau kain sebagai penutup kepala, sertali rumah-rumah atu hiasan leher, sertali rumah- rumah

Tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa dari 20 peserta didik yang menjadi sampel dalam penelitian ini, terdapat 2 peserta didik atau 10% yang memilih selalu mengulangi

Model Struktural Minat Mahasiswa Berkarir di Bidang Perbankan Syariah Sebagai Dasar Pengembangan Proses Pembelajaran.. Uraikan Tujuan atau Identifikasi masalah

permasalahan setara yang akan dibahas siswa dalam kelas. Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. 1) Guru memberi kesempatan luas kepada siswa untuk berfikir

Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode,

2.1.3 Keterkaitan dengan Produk Lain Termasuk Perolehan Bahan Baku Keterkaitan produk Dodol biji salak dengan produk lain adalah memanfaatkan biji salak yang dalam

Bila satu pa- sangan suami istri terancam bercerai, segala usaha harus dibuat oleh pasangan itu dan oleh anggota jemaat atau keluarga yang menggembalakan mereka untuk men-