SAP I
PENGANTAR DAN PENJELASAN
SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)
A. PENGANTAR
Hubungan internasional merupakan suatu gejala (phenomenon) kehidupan sosial. Karenanya dapat dipahami bila sebagian besar umat manusia dengan berbagai pertimbangan dan kepentingannya, ingin mengetahui dan memahami gejala kehidupan itu lebih detail lagi, baik sebagai obyek studi yang menghasilkan teori-teori yang bisa menjelaskan realitas kehidupan manusia di lingkungan internasional maupun sebagai obyek kajian yang menghasilkan kebijaksanaan berupa pedoman tingkah laku para negarawan dan warga negaranya.
Dewasa ini, keingin-tahuan mereka tentang fenomena tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dalam arti kuantitatif maupun kualitatif. Semakin banyaknya mereka yang hirau terhadap fenomena hubungan internasional, seperti bertambahnya pemerhati masalah masalah internasional pada berbagai media massa dan kian meningkatnya minat mahasiswa untuk menekuni program Studi Hubungan Internasional adalah indikasi peningkatan kuantitatif. Sedangkan semakin bertambahnya penstudi Hubungan Internasional yang giat untuk memikirkan kemajuan disiplin ilmu ini, terutama dalam teoritisasi-merupakan bukti konkrit peningkatan kualitatif. Setidaknya mereka telah memusatkan perhatian pada upaya menegakkan Ilmu Hubungan Internasional secara lebih mantap sebagai suatu bidang studi yang mandiri. Memang harus diakui bahwa sampai sekarang Studi Hubungan Internasional masih merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang belum mempunyai rangka konsepsi yang tegas dan rangka teori yang sistematis serta disiplin ini masih sangat tergantung pada cabang-cabang ilmu pengetahuan lain yang sudah tersusun lebih baik. Hal ini bisa dipahami mengingat perkembangan studi ini relatif baru.
Perkembangan Studi Hubungan Internasional melalui tahapan yang sesuai dengan pernyataan Thomas Kuhn bahwa perkembangan suatu disiplin ilmu tidak selalu terjadi peningkatan yang terus menerus dalam derajat yang lama. Dalam suatu waktu tertentu mungkin terjadi perkembangan yang pesat dengan perluasan atau penegasan scope obyek studinya, pembentukan konsep-konsep, teori-teori baru atau bahkan pendalaman metode keilmuannya; sedangkan pada saat yang lain hanya berupa konsolidasi dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai sebelumnya. Perwujudan tersebut di atas disebabkan adanya paradigma yang pada suatu saat dianggap mampu oleh para penstudi Hubungan Internasional untuk menghadapi berbagai fenomena, tetapi pada saat lain muncul berbagai anomali yang bahkan sampai menyentuh asumsi dasar dari paradigma yang bersangkutan sehingga menimbulkkan penolakan terhadap paradigma yang ada dan penerimaan terhadap paradigma baru yang dianggap mampu untuk menghadapi berbagai anomali tersebut. Dari latarbelakang itulah dapat dipahami bila dalam Studi Hubungan Internasional senantiasa timbul permasalahan baik dalam kerangka ontologis maupun epistemologis yang hingga kini bisa dikatakan belum terjawab secara komprehensip.
Rosenau, Joseph Frankel, Morton Kaplan, dan masih banyak yang lainnya, melakukan perdebatan yang serius berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Tujuan akhir dari perdebatan itu pada dasarnya dalam rangka mempertegas pengertian dan ruang lingkup studi ini serta dalam upaya memperoleh pendekatan dan teori-teori yang dapat menjelaskan secara memuaskan dalam Studi Hubungan Internasional.
B. EVALUASI/PENILAIAN
KOMPONEN NILAI PROSENTASE
TUGAS ABSTRAKSI MAKALAH 15 %
TUGAS PRESENTASI MAKALAH 15 %
UJIAN TENGAH SEMESTER 30 %
UJIAN AKHIR SEMESTER 40 %
JUMLAH NILAI AKHIR 100 %
C. METODE PEMBELAJARAN
PRESENTASI MATERI KULIAH
DISKUSI INTERAKTIF / STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)
PENUGASAN BOOK REVIEW DAN MAKALAH
D. FORMAT MAKALAH
HALAMAN JUDUL BAB I :PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah, Rumusan Masalah,
Kerangka Pemikiran/Teori) BAB II: PEMBAHASAN
1.
SAP II
PENGERTIAN, LINGKUP, AKAR, DAN MANFAAT
STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PENGERTIAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Hans J. Morgenthou dan Kenneth W. Thompson: “…the core of internatinonal relations is international politics, and…the subject matter of international politics is struggle for power among sovereign nations”.
George A. Lopes and Michael S. Stohl: International relations may be defined as a human activity in which individuals or groups from one nation interact, officially or unofficially, with individuals or groups from other nations. International relations involve not only face to face or direct phisical contact, but also economic transactions, the use of military force and diplomacy both public and private. The study of International Relations then encompasses activities as diverse as war humanitarian assistance, international trade, and investmen, tourism, and the olympic games. (International Relations : Contemporary theory and practice)
Menurut Trygve Mathisen dalam bukunya “Methodology in the sudy of International Relations” istilah Hubungan Internasional mempunyai beberapa arti yakni :
1. Suatu bidang spesialisasi yang meliputi aspek-aspek internasional dari beberapa cabang ilmu pengetahuan;
2. Sejarah baru dari politik internasional;
3. Semua aspek internasional dari kehidupan sosial umat manusia, dalam arti semua tingkah laku manusia yang terjadi atau berasal dari suatu negara dapat mempengaruhi tingkah laku manusia di negara lain;
4. Suatu cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (distinct discipline), bukan sub cabang dari ilmu pengetahuan tertentu.
J.C. Johari : Hubungan internasional adalah studi tentang interaksi yang berlangsung diantara negara-negara berdaulat, dan studi tentang pelaku-pelaku non-negara (non-state actors) yang perilakunya memiliki impak terhadap tugas-tugas negara bangsa
(International Relations and Politics: Theoritical Perspective, New Delhi, 1985)
Charles Mc Clelland : Hubungan internasional adalah studi tentang semua bentuk pertukaran, transaksi, hubungan, arus informasi, serta berbagai respon perilaku yang muncul diantara dan antar masyarakat yang terorganisir secara terpisah, termasuk komponen-komponennya.
Jadi berdasarkan ragam definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Hubungan Internasional adalah fenomena sosial yang sekaligus sebagai “disiplin ilmu” atau bidang studi mencakup aspek yang sangat luas dan kompleks; yaitu menyangkut semua aspek kehidupan sosial umat manusia, dalam arti semua tingkah laku manusia yang melintasi batas-batas negara.
B.. RUANG LINGKUP STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
B.1 . HASIL KONFERENSI UNESCO DI PARIS PADA TAHUN 1948 : 1. Politik Luar Negeri
2. Politik Internasional
B.2 ALIRAN ANGLO AMERICA :
1. Analisis Perbandingan Politik Luar Negeri 2. Hukum Internasional
3. Organisasi Internasional
4. Perbandingan Politik Dan Studi Kawasan 5. Studi-Studi Strategis
6. Komunikasi Internasional 7. Studi Perdamaian (Polemologi)
B.3. MENURUT KARL W. DEUTSCH dalam bukunya: ANALYSIS OF INTERNATIONAL POLITICS (1978) ADA DUA BELAS ISU UTAMA YG JADI FAKTOR-FAKTOR PENTING GUNA MENDALAMI RUANG LINGKUP HUBUNGAN INTERNASIONAL, YAITU:
1. BANGSA DAN DUNIA
bagaimana dan dalam bentuk apa hubungan antar bangsa?
2. PROSES TRANSNASIONAL DAN INTERDEPENDENSI INTERNASIONAL
Bangsa-bangsa di dunia semakin berdaulat, semakin dependen terhadap bangsa lain atau terjadi interdependensi?
3. PERANG DAN DAMAI
Apa yang menentukan perang dan damai dan mengapa itu terjadi? 4. KEKUATAN DAN KELEMAHAN
Bagaimana sifat kekuatan (power) atau kelemahan pemerintah atau bangsa dalam politik internasional? Apa sumber-sumber, batas-batas kekuatan dan kapan, bagaimana dan mengapa kekuatan itu berubah?
5. POLITIK INTERNASIONAL DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL
Apa yang bersifat politik dalam hubungan internasional dan bagaimana hubungan antara politik internasional dengan kehidupan bangsa-bangsa? 6. KEPENDUDUKAN VERSUS PANGAN, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Apakah jumlah penduduk dunia tumbuh lebih cepat daripada penyediaan bahan makan, energi dan sumber alam dan daya dukung lingkungan?
7. KEMAKMURAN DAN KEMISKINAN
Beberapa besar ketimpangan distribusi kekayaan dan penghasilan diantara bangsa-bangsa di dunia?
8. KEBEBASAN DAN PENINDASAN
Sebarapa jauh kepedulian bangsa-bangsa tentang kebebasan mereka dari bangsa lain dan kepedulian mereka di dalam negara sendiri?
9. PERSEPSI DAN ILUSI
Bagaimana para pemimpin dan warga suatu negara memandang bangsa mereka sendiri, dan bagaimana mereka memandang bangsa-bangsa lain dan perilaku mereka?
10. AKTIVITAS DAN APATI
Lapisan dan kelompok mana dalam masyarakat yang berminat aktif terhadap politik dan masalaha internasional?
11. REVOLUSI DAN STABILITAS
Dalam kondisi apa kemungkinan suatu pemerintah digulingkan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik?
12. IDENTITAS DAN TRASNFORMASI
kelompok dan bangsa) mempertahankan identitas mereka?
C. DISIPLIN ILMU YANG MENJADI AKAR STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL Yang dimaksud “akar” studi Hubungan Internasional adalah ilmu-ilmu yang telah ikut menyumbangkan perkembangan studi Hubungan Internasional. Menurut Suwardi Wiraatmadja paling sedikit ada delapan macam disiplin yang telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan/kemajuan studi Hubungan Internasional, yaitu:
1. Hukum Internasional 2. Sejarah Diplomasi 3. Ilmu Kemiliteran 4. Politik Internasional 5. Organisasi Internasional 6. Perdagangan Internasional
7. Praktik Hubungan Luar Negeri( Conduct of Foreign Policy)
D. MANFAAT BELAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL: 1. Mengenal kedudukan Indonesia di kawasan Asia-Pasifik.
Dari letak serta bangunan negara kita, dapat kita ketahui secara geopolitik atau ilmu bumi politik, posisi silang tanah air di antara dua samudra dan dua benua. Cara pandang seperti dikenal sebagai Wawasan Nusantara. Dengan wawasan ini kita memahami arti dari pengaruh-pengaruh luar negeri yang menyentuh
kepentingan nasional bangsa kita.
2. Mengenal peranan Indonesia di dalam ASEAN , dan dapat juga diketahui kedudukan dan peranan Indonesia di kalangan bangsa Asia-Afrika khususnya dan GNB pada umumnya.
3. Ilmu Hubungan Internasional kita membantu kita memahami makna dari perkembangan regional dan internasional yang ada dampak terhadap usaha-usaha pembangunan nasional. Contoh :
Dampak politik adalah situasi krisis di Kamboja
Dampak ekonomi adalah jatuhnya harga minyak OPEC terhadap penerimaan/pemasukan negara kita
Dampak sosial budaya misalnya pengaruh siaran berita luar negeri terhadap kelompok-kelompok masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Dampak kemajuan kecanggihan sistem dan alat pertahanan keamanan ialah misalnya lalu lintas kapal perang yang melewati Selat Malaka
Dampak kemajuan ilmu dan pengetahuan , misalnya penemuan-penemuan baru di bidang kedokteran dan teknologi.
E. BUKU ACUAN SAP II
Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990
Umar Suryadi Bakry, Pengantar Hubungan Internasional, JUP, Jakarta, 1999
SAP II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DI INDONSIA
A. AWAL PERTUMBUHAN STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri, Ilmu Hubungan Internasional sudah dikenal dan diakui sejak akhir Perang Dunia I tahun 1919. Ketika itu beberapa kalangan di Eropa memikirkan perlunya telaah secara sistematis agar bangsa-bangsa yang telah berperang satu sama lain belajar bersama menciptakan tertib dunia yang bebas dari peperangan. Karena itu, Ilmu Hubungan Internasional dapat juga disebut sebagai anak kandung dari Ilmu Hukum Internasional yang sejak abad ke-17 mengikhtiarkan hal yang sama, yaitu dunia yang bebas dan damai berkat kapatuhan bangsa-bangsa pada kaidah hukum internasional.
Kajian Ilmu Hubungan Internasional selama pra PD I hingga usai (1917 – 1919) berorientasi pada analisa:
Perjanjian hukum internasional
Prinsip-prinsip hukum internasional.
Hal ini karena para teoritisi HI maupun para negarawan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan normatif yang terjadi pada saat itu, yakni dunia penuh peperangan dan instabilitas dunia.
Dengan pendekatan normatif/idealis/yuridis formal tersebut mereka berharap: 1. Perang dapat dicegah
2. Konfllik dapat diselesaikan secara damai 3. Tercipta perdamaian dunia;
melalui peranan lembaga-lembaga internasional seperti : 1. mahkamah internasional
2. collective security
3. pembuatan aturan main (rule of the game). Asumsi dasarnya adalah :
1. Pada hakikatnya manusia itu baik dan cenderung mengejar kesejahteraan bersama;
2. Perang bukanlah sesuatu yang tidak dapat dihindari
3. Keselarasan hubungan antar-bangsa dapat dicapai dengan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan/hukum yang berlaku.
Tugas para teoritisi HI ketika itu yang dominan adalah :
1. Melaporkan masalah aktual yang sedang berkembang, 2. Mengemukakan berbagai cara pemeliharaan perdamaian.
Pada umumnya para teoritisi HI tersebut bertumpu pada studi/pengajaran seperti :
Sejarah diplomasi
Hukum Internasional
Orgnisasi Internasional
Filsafat Politik, dll.
B. EMBRIO JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL DI INDONESIA
Akademi Ilmu Politik yang didirikan pada tahun 1948 merupakan cikal bakal tempat lahirnya Ilmu Hubungan Internasional. Pada tahun 1949, Akademi Ilmu Politik bersama-sama dengan beberapa akademi dan fakultas lain dilebur menjadi Universitas Gadjah Mada, universitas negeri yang pertama di Indonesia.
Universitas Gadjah Mada yang pada mulanya terdiri dart e nam fakultas, sa'tu di antaranya adalah fakultas hukum. Pada tahun 1950, fakultas hukum diubah menjadi fakultas hukum dan ilmu sosial politik. Dua tahun kemudian, fakultas tersebut ditambah dengan bagian baru, yakni bagian ekonomi, sehingga namanya menjadi menjadi fakultas hukum, ekonomi dan sosial politik. Baru pada tahun 1955, bagian ilmu sosial politik dilepas menjadi fakultas tersendiri dengan nama Fakultas Sosial Politik.
Pada mulanya, di tahun 1957, fakultas ini mengembangkan lima jurusan, yaitu jurusan Administrasi Negara, jurusan Hubungan internasional, jurusan Publisistik, jurusan Sosiologi, jurusan Sosiatri. Namun pada tahun akademik 1964/1965 dibuka jurusan Pemerintahan sehingga fakultas sosial politik tersebut mempunyai enam jurusan.
Berdirinya Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta ini kemudian disusul oleh Perguruan Tinggi yang lain, negeri maupun swasta. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional antara lain Universitas Indonesia, Jakarta; Universitas Hasanudin,Ujung Pandang; Universitas Padjadjaran,Bandung; Universitas Jember, Universitas Riau, Pekan Baru, Universitas Airlangga, Surabaya. Sedangkan Perguruan Tinggi Swasta yang mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional jumlahnya tidak kurang banyaknya dengan Perguruan Tinggi Negeri, seperti Universitas Nasional, Jakarta; Universitas Parahiyangan , Bandung; Universitas Jayabaya, Jakarta; Akademi Hubungan internasional, Jakarta (sekarang diganti STYAGAMA), Universitas Kresten, Jakarta, Universitas Budi Luhur, Jakarta; Institut Ilmu Sosial dan Politik, Jakarta; Universitas Jombang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Veteran Jakarta dan Yogyakarta, Universitas Paramadina,Jakarta; Universitas Pasundan, Bandung, Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, dan lainnya.
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh Ilmu Hubungan Internasional tumbuh dan berkembang di Indonesia, dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain segi tenaga ahli, kurikulum dan pengajaran, publikasi dan riset.
C. TENAGA AHLI
Untuk tenaga ahli bagaimanapun juga harus diakui bahwa jumlah dan kualitas pakar Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia sangat menentukan perkembangan ilmu tersebut. Jika jumlah pakar cukup banyak dengan kualitas yang memadai maka ada harapan bahwa ilmu hubungan inter nasional akan berkembang lebih sernpurna, begitu pula sebaliknya.Yang dimaksud kualitas disini meliputi tingkat pendidikan, penelitian dan karya ilmiah yang dihasilkannya. Disamping itu, kualitas mengajar juga termasuk diperhitungkan.
Menurut Harsya W. Bachtiar dalam tulisannya yang bertajuk Directory of Social Scientists in Indonesia (Leknas, 1974) di Indonesia pada tahun 1974, yang menyandang gelar Ph.D. di bidang Ilmu Hubungan Internasional hanya empat orang. Dua orang mendapat gelar dari Amerika, satu orang dari Belanda dan satu orang lagi dari India. Seorang dari mereka bekerja pada dinas luar negeri, satu orang di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (di bawah LIPI), satu orang lagi bergerak pada organisasi gereja dan yang seorang lagi mengajar di Universitas Indonesia. Kemudian pada tahun 1990 yang berhasil mendapat gelar Ph.D. di bidang Ilmu Hubungan Internasional hanya tujuh orang saja.(17,5% dari jumlah Ph.D. bidang ilmu politik seluruhnya). Dari ke tujuh orang tersebut, dua orang mengajar di Universitas Gadjah Mada, dua orang mengajar di Universitas Indonesia, dan tiga orang sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
D. KURIKULUM
ilmu hukum dan sejarah. Hal ini nampak sekali dalam kurikulum yang diajarkan di Universitas Gadjah Mada (sebagai universitas yang mempunyai jurusan Ilmu Hubungan Internasional tertua di Indonesia dan berpengaruh pada universitas-universitas yang lain). Dalam kurikulum Universitas Gadjah Mada terdapat empat mata kuliah sejarah diplomasi dan dua buah mata kuliah hukum, yakni Sejarah Diplomasi Timur Jauh, Sejarah Diplomasi Timur Tengah, Sejarah Diplomasi Indonesia, Sejarah diplomasi Eropa, Hukum Internasional, dan Hukum Perdata Internasional.
Berbeda dengan universitas-universitas yang lain, Universitas Indonesia mempunyai warna yang berbeda dari Universitas Gadjah Mada. Meskipun pada awalnya Ilmu Hubungan Internasional hanya merupakan program studi, namun sejak awal kurikulumnya sudah banyak menekankan pada “Sistem Politik” daripada “Sejarah Diplomasi”. Di Universitas Indonesia mempunyai empat mata kuliah sistem politik, dan tidak mempunyai mata kuliah (tidak membahas secara khusus) sejarah diplomasi, karena sudah tercakup dalam mata kuliah politik internasional. Adapun mata kuliah sistem politik ter. sebut adalah - sistem politik negara-negara Barat - sistem politik Malaysia dan Singapura - sistem politik Filipina dan Muangthai - sistem politik Asia Timur. Sedangkan Universitas Gadjah Mada hanya mempunyai dua mata kuliah sistem politik, yaitu Politik dan Pemerintahan Amerika Serikat; dan Politik dan Pemerintahan Uni Soviet. Namun karena sekarang UniSoviet sudah runtuh, matakuliah ini telah dihapus. Akan tetapi sejalan dengan berkembangnya Ilmu Hubungan Internasional, maka secara berangsur-angsur pula kurikulum di Universitas Gadjah Mada diganti dengan mata kuliah-mata kuliah yang lebih bersifat politik internasional. Berbagai mazhab pemikiran dipelajari dalam mata kuliah Teori Politik Internasional, Teori Hubungan internasional, Organisasi dan Administrasi Internasional. Perkembangan Ilmu Hubungan Internasional juga dipelajari di Universitas Indonesia dengan nama matakuliah yang sama.
Perkembangan mazhab-mazhab tersebut kemudian lebih diperdalam dalam matakuliah Analisa Hubungan internasional, Masalah Negara Berkembang, Studi Wilayah, Strategi Pembangunan Sosial Ekonomi, Praktek Politik Internasional. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada mulanya ilmu hubungan interhasional yang berkerr:bang di Universitas Gadjah Mada cenderung pada pendekatan-pendekatan klasik (penekanan pada hukum dan sejarah) kemudian berkembang pada pendekatan realistik dengan salah satu buku pedomannya adalah
Politics Among Nations, yang membahas tentang konsep-konsep power yang dihubungkan dengan national interest, national power, perhitungan-perhitungan strategis dan lain-lain. Buku pedoman yang digunakan untuk membahas masalah tersebut antara lain Politics Among Nations, (Hans Morgenthou); International Politics A Framework for Analysis, (K.J. Holsti); The Analysis for International Relations, (Karl Deutsch); Contending theories of International Relations: A Compre hensive Survey, (James E Dougherty & Robert L. Pfaltzgraff,,Jr). Kemudian dari faham behavioralisme seperti David Easton, Gabriel Almond, Harold Lasswell sampai dengan Morton Kaplan juga disebut sebagai bahan kuliah di jurusan Ilmu Hubungan Internasional..
E. PUBLIKASI DAN RISET
Persoalan publikasi dan riset juga tak kalah pentingnya untuk diamati. Dalam hal ini bahan-bahan riset Ilmu Hubungan Internasional sangat terbatas. Lembaga yang bisa dicatat sebagai penyedia bahan-bahan riset dan yang sering mengadakan riset adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan LIPI. Tetapi bagaimanapun juga, untuk studi leteratur, bahan-bahan yang tersedia di kedua lembaga tersebut masih kurang memadai jika dibandingkan dengan obyek penelitiannya. Langkanya penelitian di bidang Ilmu Hubungan Internasional ini juga dikarenakan oleh masalah dana dan kemauan si peneliti itu sendiri (di samping juga tergantung situasi, kondisi dan lingkungan). Tahun 1977-1981, tidak ada satupun penelitian yang dilakukan , dan sebelum itu, hanya ada satu penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, yaitu tentang sejarah diplomasi Indonesia.
kabar dan buku-buku/textbook (termasuk buku-buku terjemahan). Pada tahun 1960 an, Universitas Gadjah Mada telah menghasilkan karya tulis, seperti Middle East Dilemma
(Ismail Gani), Politik Luar Negeri (Syaifullah Mahyudin), kemudian pada tahun 1970-an ,
Indonesian Foreign Policy: Its contiunity and Change (Ichlasul Amal) dan disusul oleh dosen muda yang lain seperti Mohtar Mas'oed dan Amien Rais. Selain menulis buku, mereka juga aktif menulis artikel di surat kabar maupun jurnal ilmiah. Di Universitas Indonesia, perkembangan publikasi Ilmu Hubungan Internasionalnya juga tumbuh dengan subur, terutama tulisan Juwono Sudarsono yang menghiasi berbagai Jurnal dalam negeri maupun asing. Pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Indonesia bekerjasama dengan Gramedia telah menerbitkan Jurnal Politik Internasional yaitu GLOBAL.
Disamping Perguruan Tinggi, perkembangan ilmu hubungan unternasional juga tumbuh di kalangan ABRI, khususnya di SESKOAD. Walaupun mereka masih fanatik dengan mazhab klasik/tradisional, akan tetapi juga mempelajari-perhitungan matematika untuk menghitung power.
F. PENUTUP
Itulah tinjauan historis Studi Hubungan Internasional di Indonesia, yang hingga kini harus dikembangkan terus. Mengingat Ilmu Hubungan Internasional sebagai salah satu bagian dari ilmu politik, dewasa ini makin perlu untuk dipahami secara lebih intens. Perkembangan dunia internasional yang makin cepat disertai dengan perubahan konstelasi politik domestik maupun internasional semakin mengusik para pengkaji Ilmu Hubungan Internasional untuk meninjau kembali segala teori dan analisa yang sudah dihasilkan oleh para teoritisi dan analis Ilmu Hubungan Internasional. Begitu juga yang terjadi di Indonesia, sebagai salah satu anggota masyarakat internasional, Indonesia tidak luput dari segala dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut. Terlebih dalam era krisis multi dimensi seperti sekarang ini, dimana modal dan bantuan asing sangat diperlukan untuk membantu menunjang kelancaran pembangunan nasional. Begitu juga kehidupan ekspor-impor, teknologi dan aspek kehidupan yang lain menjadi terganggu pula bila tidak segera diantisipai perubahan internasional itu.
Terlepas dari kepentingan nasional vital Indonesia sendiri, perubahan konstelasi ekonomi dan politik internsional dewasa ini juga perlu diamati secara sekssama. Hal ini demi kepentingan manusia semua, yaitu kepentingan manusia yang.bersifat universal seperti penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia, kepentingan untuk menciptakan/memelihara perdamaian, atau minimal bisa menekan konflik sampai dengan tingkat yang paling rendah. Tidak ada salahnya bila tujuan-tujuan yang idealis ini perlu dijaga dalam masa kehidupan politik internasional yang cukup realistis ini. Hal ini bukan masalah yang sederhana, karena melibatkan interaksi antar-bangsa dengan berbagai macam kepentingan nasional yang melekat dalam setiap.tindakan mereka. Kalau tidak ada peraturan yang baik disertai dengan pelaksanaannya yang konsekuen, tentu akan terjadi benturan-benturan yang akan menyalakan konflik-konflik. Dan tidak mustahil konflik tersebut akan berkembang menjadi perang terbuka dengan segala persenjataan yang canggih. Untuk itulah Ilmu Hubungan Internasional perlu dipelajari dan dikembangkan dengan seksama.
G. BUKU ACUAN SAP III
1. Alfian, Ilmu Politik di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1980. 2. Miriam Budiardjo dan Maswadi Rauf, Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
2.
SAP III
PERKEMBANGAN PENDEKATAN (MAZHAB) DAN ALIRAN
PEMIKIRAN STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PASCA PERANG DUNIA I
Sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri, Ilmu Hubungan Internasional baru dikenal setelah Perang Dunia I. Sebelum itu, Ilmu Hubungan Internasional dipelajari dalam bidang studi sejarah. Banyak tulisan kuno mengenai hubungan internasional yang ditulis pada pada abad keempat SM, seperti tulisan Mencius dari Cina, Kautilya dari India ataupun Niccolo Machiavelli. Kemudian pada abad 18 dan 19, di Eropa muncul tulisan sejarah tentang catatan diplomasi, strategi militer dan pelaksanaan hukum internasional, yang kesemuanya ini merupakan bahasan Ilmu Hubungan Internasional. Baru pada akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20, di Amerika muncul bidang Studi Hubungan Internasional sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan dalam kurikulum universitas.
Sebelum Perang Dunia I, kajian tentang hubungan internasional masih berorientasi pada analisis perjanjian dan prinsip-prinsip hukum internasional. Hal ini berlanjut sampai dengan usai Perang Dunia I, dimana kebutuhan yang bersifat normatif sangat mempengaruhi para teoritisi Hubungan internasional. Mereka berharap bahwa dengan pendekatan yuridis formal, perang akan dapat dicegah, konflik dapat diselesaikan secara damai. Dengan demikian stabilitas akan dapat dibentuk lewat peranan lembaga-lembaga internasional, seperti mahkamah dunia yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan pemaksaan terhadap pelaksanaan keputusan yang dibuatnya, disamping itu metode Collective Security juga berkembang pada saat itu, kemudian lahir pula hak penentuan nasib sendiri yang dipelopori oleh presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Hak tersebut harus dihormati dan dipati oleh negara-negara beradab yang terikat pada kesepakatan hukum. Berikut ini adalah pandangan idealis dari presiden Woodrow Wilson ketika meminta Konggres Amerika Serikat untuk membuat deklarasi perang terhadap Jerman pada tahun 1917 :
“Kita tidak mengejar tujuan-tujuan picik untuk diri sendiri. Tetapi kita adalah pelopor perjuangan hak-hak azasi umat manusia...Kita akan memperjuang kan hal-hal yang berada paling dekat dengan hati kita, yaitu untuk demokrasi, untuk hak mereka yang menginginkan bersuara dalam pemerintahan sendiri, untuk hak-hak dan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa kecil, untuk suatu dominion universal kebenaran dengan.jalan menggabungkan kekuatan bangsa-bangsa merdeka dalam rangka mencapai perdamaian dan keselamat an bagi seluruh bangsa dan membuat dunia itu sendiri akhirnya bebas merdeka” (M. Amin Rais 1989:92)
B. MENJELANG PERANG DUNIA II
dimata hukum. Untuk membuktikan hal itu, Juwono Sudarsono menunjuk buku karangan Edward Hallett Carr yang berjudul The Twenty Years' Crisis: 1919-1939. Buku ini mengatakan bahwa dalam masa 20 tahun telah terjadi krisis dalam sistim internasional. Krisis ini diakhiri dengan pecahnya Perang Dunia II pada bulan September 1939. Menurut Carr, pecahnya Perang Dunia II ini disebabkan oleh 'status quo' yang dimenangkan negara-negara Sekutu pada akhir Perang Dunia I tidak mampu menampung perasaan yang melanda negara- negara yang kalah perang dalam Perang Dunia I, sehingga negara-negara yang menang perang merasa perlu mempertahankan keunggulannya yang tercermin dalam perjanjian Versailles yang mengatur sistem internasional menurut kacamata si pemenang.
Hal yang sama diceritakan pula oleh Holsti dalam-bukunya International Politics: A Framework for Analysis.. Ia mengatakan bahwa pada saat itu para pengamat Hubungan internasional mulai sadar bahwa keamanan dan ekspansi, proses perdagangan dan diplomasi, serta sarana politik luar negeri lain seperti propaganda dan subversi mempunyai nilai yang bobotnya sama dengan perjanjian dan organisasi internasi ona1. Para pengamat kemudian mengadakan studi perbandingan yang lebih sistmatis tentang nasionalisme, pengaruh geografi terhadap politik luar negeri, pengaruh power terhadap kehidupan bangsa. Satu hal yang penting, yang membedakan pendekatan lama dan baru ini adalah bahwa pendekatan baru pembahasannya selain digunalan untuk menjelaskan fakta juga digunakan untuk melukiskan beberapa generalisasi atau teori mengenai politik internasional. Jadi dalam masa krisis tersebut, atau pada masa menjelang, Perang Dunia II, terdapat tiga alur dalam Studi Hubungan Internasional.
Alur pertama, Studi Hubungan Internasional yang dipelajari melalui penelaahan kejadian-kejadian utama (dalam surat kabar). Dari sini dicoba untuk membuat pola umum dari kejadian-kejadian tersebut. Asumsi dari alur ini adalah bahwa konflik dapat dihindari jika peristiwa-peristiwa penting tersebut selalu diikuti dengan seksama.
Alur kedua, mempelajari hubungan internasional dengan melalui organisasi internasional. Asumsinya adalah bahwa konflik bisa diselesaikan jika diciptakan aturan main atau tertib hukum yang didukung oleh perangkat organisasi, seperti Liga Bangsa-Bangsa.
Alur yang ketiga mendasarkan pada pemikiran Marxis-Leninis, yaitu menggunakan variabel ekonomi untuk menjelaskan terjadinya konflik Menurutnya yang mendorong Amerika Serikat terlibat dalam Perang Dunia I adalah kepentingan para usahawan dan investor.
Adapun para pengamat yang menganut pendekatan realisme ini antara lain Frederick Schuman, Lewis J. Richarson, Quincy Wright, Harold Lasswell. Kemudian pada masa sesudah Perang Dunia II dilanjutkan oleh Hans J Morgenthau, Nicholas Spykman, George .F Kennan, dan sebagainya
C. SESUDAH PERANG DUNIA II
Setelah Perang Dunia II, studi hubungan internasinal mengalami perubahan yang penting. Munculnya perang dingin Amerika Serikat-Uni Soviet, meletusnya konflik konflik regional seperti di Timur Tengah, Asia Timur serta munculnya negara-negara baru di Asia dan Afri'ka , ditambah dengan perlombaan persenjataan, semua itu memaksa para pembuat keputusan untuk meninjau keputusan keputusannya. Peristiwa tersebut juga mendesak para teoritisi hubungan internasional untuk berusaha menciptakan teori yang dapat menjelaskan gejala-gejala internasional yang sedang berlangsung.
“Prinsip-prinsip moral berada dalam hati seorang individu di dalam membentuk perilakunya, apakah dia sebagai warga negara atau pejabat pemerintah... Akan tetapi bi la tingkah laku individu tersebut melewati mesin organisasi politik dan lebur dengan tingkah laku jutaan in dividu lainnya untuk mencari penyaluran pada tindakantindakan pemerintah, maka tingkah laku itu mengalami suatu perubahan yang menyeluruh, dan konsep-konsep moral yang sama menjadi tidak lagi relevan. Suatu Pemerintah adalah agen, bukan seorang pemimpin; seperti agen-agen yang lain, pemerintah tidak akan berusaha menjadi kesadaran dari pemimpinnya”
(M. Amin Rais. 1989:92)
Selanjutnya Morgenthau menyatakan juga bahwa dalam hubungan antar-bangsa, masing-masing bangsa mendasarkan perilaku pada power/kekuatan, seperti ia kemukakan sebagai berikut:
“Politik internasional, seperti.halnya semua politik, adalah perjuangan memperoleh kekuasaan. Apapun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan menengahnya adalah kekuasaan.
Negarawan-negarawan dan bangsa-bang sa mungkin mengejar tujuan akhir berupa kebebasan, keamanan,kemakmuran atau kekuasaan itu sendiri. Mereka mungkin mendefinisikan
tujuan-tujuan mereka itu dalam pengertian tujuan yang religius, filosofis, ekonomis atau sosial. Mereka mungkin berharap bahwa tujuan ini akan terwujud melalui dinamika dalam tujuan itu sendiri, melalui takdir Tuhan, atau melalui perkembangan alamiah urusan kemanusiaan. Tetapi begitu mereka melaksanakan tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan politik internasional, mereka melakukannya dengan berupaya memperoleh kekuasaan (M. Amin Rais. 1989:92) Pemikiran Morgenthau ini kemudian disebut-sebut sebagai grand theory.
Kalau teoritisi sebelumnya hanya bertugas melaporkan masalah yang sedang berlangsung, atau mengemukakan berbagai cara pemeliharaan perdamaian, maka Morgenthau menunjukkan bahwa data politik internasional bisa dipadukan dalam model power politics. Hasil pemikiran Morgenthau antara lain menunjukkan bahwa:
1) bidang Studi Hubungan Internasional harus menyederhanakan fakta ke dalam generalisasi yang spesifik;
2) hubungan internasional pada hakekatnya menunjuk kan pola perilaku yang selalu berulang;
3) pokok bahasan (core subjects) dikaji untuk menelusuri sumber perilaku negara dalam mendapatkan power serta menetapkan pola hubungan tertentu seperti balance of power.
Disamping pemikir seperti tersebut di atas, pada saat itu berkembang pula kelompok-kelompok pemikir yang lain. Dengan kata lain, fenomena internasional yang muncul setelah Perang Dunia II telah menimbulkan perbedaan pokok dalam hal masalah yang dikaji, metode analisis, dan tujuan penelitian.
K.J. Holsti mengidentifikasikan kelompok lain tersebut sebagai berikut. Pertama, kelompok analisis tradisional yang terdiri dari para sarjana yang berorientasi deskriptif serta melakukan analisis politik dan lembaga internasional seperti berbagai bentuk politik luar ne geri, masalah internasional tertentu, serta lembaga lembaga internasional. Tujuan pengkajian mereka pada dasarnya adalah melaporkan dan menganalisis berbagai masalah internasional yang sedang berlangsung dan memperkirakan sumber masalah dan berbagai kebijaksaan alternatif untuk menanggulangi masalah bagi negara-negara tertentu atau bagi organisasi-organisasi internasional. Kedua, kelompok ahli strategi yaitu kajian mereka adalah pemahaman tentang the logic of deterrence dalam era nuklir, menganalisa pengaruh dari sistem senjata modern pada
mengkritik keputusan-keputusan tersebut.
Ketiga adalah kelompok Middle-Range Theory dimana kajian kelompok ini bersifat
problem oriented dengan meneliti secara seksama mengenai berbagai gejala spesifik, seperti bagaimana keputusan luar negeri itu ditetapkan, bagaimana ideologi mempengaruhi persepsie para pembuat keputusan, dan sebagainya. Beberapa pengkaji dari kelompok ini membuktikan bahwa maksud utama analisis ilmiah tidak hanya menjelaskan masalah tetapi mampu membuat ramalan. Menurut mereka, ramalan dapat dipercaya jika variabel utama yang mempengaruhi perilaku politik telah diidentifikasi, dan hubungan antar variabel lainnya telah ditetapkan. Banyak yang menyatakan pula bahwa model kajian seperti ini disebut juga faham behavioralisme dan saintifik yang menganggap bahwa ilmu politik bersifat value free. Faham ini mendefinisikan politik sebagai what the behavior of human illu strates to be. Lebih lanjut, politik didefinisikan berdasarkan perilaku yang dapat diamati dan bukan berdasarkan konsep yang abstrak. Kemudian dari pengamatan tersebut dibuat generalisasi yang dapat diuji terus menerus.
Keempat adalah kelompok Peace-Research dimana kelompok ini memadukan ciri-ciri analisis tradisional dengan penelitian empirik, yaitu masalah perang dan perdamaian. Tujuan penelitian bersifat normatif, sedangkan teknik yang dipergunakan bersifat ilmiah dan sistematis. Beberapa karya mereka banyak membantu pemahaman masalah-masalah tertentu, seperti berbagai proses yang mengarah pada terjadinya perang, eskalasi kekerasan, hubungan antara sifat kepribadian dengan gejala fanatisme, prasangka dan kerusuhan sosial , dan sebagainya. Faham ini juga sering disebut sebagai faham pasca-behavioralisme.
Dewasa ini perkembangan hubungan internasional dirasakan semakin kompleks dengan timbulnya berbagai gejala baru yang diakibatkan oleh perubahan konstelasi politik internasional. Seiring dengan tumbuhnya demokratisasi den liberalisasi pemikiran sekarang ini, konsep negara-bangsa bukan lagi merupakan konsep yang monolit, karena di dalam hubungan internasional sekarang ini telah tumbuh aktor-aktor utama lain yang menuntut dilibatkan dalam hubungan internasional, seperti kelompok-kelompok kepentingan atau Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sementara itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komunikasi telah pula memperumit hubungan internasional. Hubungan antar-individu dengan negara lain akan membawa dampak yang mungkin tidak diperhitungkan, atau dengan kata lain akan menimbulkan hubungan yang rawan konflik. Dan hal ini menjadi persoalan dalam teori hubungan internasional, dalam arti sampai dimana kemampuan teoritis dapat meramalkan dan mencegah timbulnya konflik.
Secara ekstrim memang kita bisa mengatakan bahwa sekarang ini tengah terjadi kevakuman dalam proses teoritisasi hubungan internasional. Keadaan ini sepertinya menunjukkan bahwa kita membutuhkan paradigma baru menjelaskan permasalahan yang ada, namun pada kenyatannya kita tidak bisa mengatakan bahwa pendekatan/paradigma lama sudah tidak mampu lagi untuk memecahkan masalahmasalah di dalam hubungan internasional. Jadi kesimpulannya bahwa perlu diadakan kaji-ulang terhadap teori-teori hubungan internasional yang telah disepakati di masa lalu. Langkah yang paling memungkinkan adalah dengan mengadakan versifikasi terhadap komponen-komponen yang ada dalam teori hubungan internasional, seperti konsep power politics, struggle for power, rational actor, dan lain-lain.
D. PERSPEKTIF KONTEMPORER STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
perkembangannya ternyata Ilmu Hubungan Internasional tidak saja menyoroti penyebab perang, tetapi juga menyoroti interaksi antar-negara. Aktor-aktor selain negara, seperti Organisasi Internasional, MNC, bahkan kelompok-kelompok teroris menjadi kajian dari ilmu ini juga.
Lebih jauh lagi mereka mengemukakan bahwa Ilmu Hubungan Internasional membahas pula kelompk-kelompok kepentingan dalam suatu negara dan faktor-faktor internal suatu negara. Dengan demikian permasalahan yang dibahas dalam Ilmu Hubungan Internasional memiliki banyak sudut pandang . Pembahasannya pun mencakup tidak hanya sejarah atau ilmu politik, melainkan juga menyangkut ekonomi, psikologi, psikologi sosial , dan sosiologi serta antropologi (budaya).
Persoalan yang dikedepankan Viotti dan Kauppi adalah seberapa luas pengetahuan yang dimiliki oleh seorang peneliti Hubungan Internasional untuk dapat memahami ilmu tersebut. Menurutnya, peneliti tidak harus mengetahui semua aspek ilmu pengetahuan tetapi cukup mengkajinya dari sudut pandang tertentu. Hal ini juga dikemukakan oleh Max Weber bahwa, “All Knowledge of cultural reality is always knowledge from particular points of view”. Selain hanya mendasarkan pada sudut pandang tertentu, Viotti dan Kauppi menjelaskan juga bahwa setiap hasil penelitian akan senantiasa dipengaruhi oleh doktrin, image of the world, ideologi, dan paradigma serta perspektif. Namun demikian bagaimanapun juga seorang peneliti harus berusaha untuk tetap value-free dan objective.
Pada mulanya perspektif atau paradigma Ilmu Hubungan Internasional dapat dikelompokkan menjadi kelompok realist dan idealist dan kelompok traditionalist dan
behavioralist. Kelompok realist dan idealist berkembang pada tahun 1930-an. Kedua kelompok ini menyoroti sifat dasar Politik Internasional serta tujuan-tujuan perdamaian. Kelompok
traditionalist dan behavioralist yang berkembang pada tahun 1960-an yang membahas mengenai metodologi. Kelompok tradisionalist menekankan penggunaan sejarah, hukum, filsafat dan metode-metode penelitian tradisional. Sedangkan kelompok behavioralist menyoroti penelitian dengan alat kuantitatif seperti konseptualisasi ilmu sosial, kuantifikasi variabel, pengujian hipotesa, dan pembentukan model sebab-akibat.
Dalam perkembangannya perspektif yang digunakan oleh ilmu Hubungan Internasional mengalami perkembangan menjadi realisme, pluralisme dan globalisme. James S. Rosenau menguraikan ketiga image tersebut dalam beberapa kategori, yaitu State-centric, Multi-centric, Global-centric.
Ketiga perspektif tersebut masing-masing memiliki asumsi yang berbeda sehubungan dengan pemahamannya tentang aktor, issue, dan proses yang terjadi dalam politik dunia. Keuntungan dari perbedaan image tersebut adalah diperolehnya hal-hal yang bersifat analitis yang membuatnya lebih teratur. Sedangkan kerugiannya adalah terabaikannya perspektif-perspektif yang lain dalam memahami suatu masalah.
Di samping mencermati perkembangan perspektif, Viotti dan Kauppi juga mencermati masalah teorisasi dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dalam pandangannya, teori biasanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan dengan fakta. Hal tersebut banyak ditemui pada teori-teori eksakta, sementara teori-teori dalam ilmu sosial berhubungan dengan fakta yang dapat menjelaskan dan menjadi perkiraan dasar terhadap fenomena atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat. Perihal teori ini kedua ilmuwan itu menyarankan juga bahwa peneliti tidak harus menguasai semua teori-teori yang dikembangkan Ilmu Hubungan Internasional, tetapi cukup menguasai beberapa teori saja yang relevan dengan permasalahn penelitiannya. Hal ini telah dikemukakan oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13 bahwa untuk memahami suatu permasalahan tidak diperlukan pengetahuan terhadap semua teori atau konsep, cukup beberapa teori dan konsep yang relevan saja atau yang biasa disebut sebagai policy-relevant theories.
pengambilan keputusan.
Teori normatif sangat berhubungan dengan nilai-nilai dan apa yang seharusnya terjadi, hal tersebut berbeda dengan teori empiris. Teori normatif tidak memperdulikan benar atau salah suatu preposisi.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, Viotti dan Kauppi menawarkan alternative image
yang terdiri dari realisme, pluralisme, dan globalisme. Bahasan utama dari ketiga image itu adalah menyangkut aktor/unit hubungan internasional berikut asumsinya. Pembahasan tentang realisme menyoroti konsep power dan balance of power. Sedangkan pluralisme menekankan pada proses pembuatan keputusan dan transnasionalisme. Globalisme menekankan pada konsep dependensi dalam konteks kapitalis dunia.
Jadi dengan demikian, kedua ilmuwan itu image realisme sama dengan apa yang dikemukakan kelompok tradisionalis, yaitu menekankan konsep power dan balance of power. Untuk itu, uraian selanjutnya hanya akan memaparkan image pluralis dan globalis karena perspektif realisme pada bab terdahulu dalam diktat ini telah dijelaskan.
1. Aspek-aspek Image Pluralisme
Dalam puralisme, state dan non-state actor adalah sama pentingnya. Individu juga punya pengaruh dalam hubungan internasional dan berperan dalam membentuk dunia damai/perang. State terbagai dalam komponen kecil (interest group) yang berkompetisi untuk membentuk keputusan luar negeri. Karena state bukan aktor yang koheren dan banyak kelompok kepentingan dimana decision making process dibuat oleh kelompok-kelompok itu. Yang paling kuat membuat lobi keputusan itulah yang menang. Bargaining dimenangkan bukan karena lobinya yang paling kuat dan bukan berarti yang terbaik. Misalnya Reagan adalah mantan Gubernur California yang terkenal akan produksi buah-buahan. Mereka ini pula yang mendukung Reagan menjadi presiden. Oleh karena itu, pada waktu Reagan berkunjung ke Jepang, ia menekan Jepang untuk membuka pasarnya untuk AS yang banyak dari California.
Image pluralisme ini mendasarkan pada filsafat Jean Bodin , Hugo Grotius, Adam Smith, John Locke, Emeri Cruse, dan Immanuel Kant. Menurut image pluralis, natinal interest dari suatu negara akan lebih terjamin bila dilaksanakan melalui perdagangan. Mengingat semua teori Ekonomi Politik Internasional pada dasarnya adalah teori pluralis.
Sebagaimana dikemukakan E. Cruse bahwa negara pada hakikatnya adalah individu yang rasional, dan akan lebih makmur kalau berdagang. Kant hampir mirip pendapatnya dengan Locke, yaitu manusia adalah rasional dan selalu ada goodwill dan mutual assistance antara mereka. Sementara Grotius berpendapat bahwa dalam sistem yang inter-state akan terbentuk
international society yang berinteraksi melalui social tradition. Jadi tiap negara dalam berinteraksi pasti dalam satu aturan.
Disisi lain ada kaitan erat antara pluralisme dan liberalisme. Liberalisme adalah dasar dari pluralisme. Dengan kata lain liberalisme merupakan unsur utama dari pluralisme. Faham pluralisme mengutamakan individu dan sekaligus sebagai level analisis yang penting. Individu harus ikut serta dalam decision making process, agar dapat menjamin keputusan itu tidak merugikan kepada pihak lain. Dalam decision making process, individu dan interest group juga ikut bermain dalam pembuatan keputusan-keputusan negara.
Ada beberapa argumentasi liberal yang penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan pluralisme. Pertama, ekonomi dunia akan lebih damai manakala negara mengembangkan perdagangan. Commerce will create peace. Pada Perang Dunia I , Amerika Serikat dan Eropa paling kuat perdagangannya. Pedagang tidak suka perang karena perang mahal. Dengan perdagangan orang lebih makmur dan karenanya tidak mau kehilangan kemamkmurannya. Argumentasi ini patah karena ternyata perdagangan tidak menjamin perdamaian. Perang terjadi karena kesalah fahaman.
perang karena rakyat punya stake holders. Jika terjadi perang maka yang paling menderita adalah rakyat. Dalam sistem demokrasi, kepentingan untuk tidak berperang dapat tersalurkan. Sebaliknya dalam sistem otoriter, keputusan untuk berperang dapat terjadi sangat cepat tanpa dirundingkan dengan rakyat. Misalnya invasi Irak ke Kuwait, ketika itu rakyat Irak tidak sempat melarang/mencegah keinginan Saddam Husen untuk melakukannya. Alasan inilah yang sering digunakan Amerika Serikat untuk menyebarkan demokrasi di dunia dalam rangka mencegah perang.
Argumen ketiga bertalian dengan aspek sosial budaya. Dalam pandangan liberalis, penetrasi interaksi antar-individu dan antar-negara akan meningkatkan pemahaman terhadap kebudayaan lain yang pada gilirannya akan mencegah kesalah fahaman antar-mereka dan pada akhirnya tercipta kondisi damai. Hal ini didasarkan banyak fakta bahwa dunia penuh peperangan oleh karena sebenarnya perang terjadi lantaran adanya mis-perception. Itulah ketiga argumen leberalis yang menjadi dasar pijakan pluralisme.
Selanjutnya adalah seperti apa teori-teori pluralisme dalam pembuatan kebijakan luar negeri ? Menurut Viotti dan Kauppi, teori ini sangat American-centris karena Asian values sangat unpredictable . Teori yang cukup banyak dibicarakan adalah teori yang berasal dari pemikiran Graham T. Allison, yaitu:
1. rational actor model yakni proses pembuatan keputusan didasarkan atas keuntungan maksimum dari negara;
2. organisational process model yaitu proses pembuatan keputusan didasarkan pada kepentingan pembuat keputusan (berasal dari kelompok mana);
3. bureaucratic politic model yaitu proses pembuatan kebijakan luar negeri merupakan proses birokratik sehingga kurang bisa diduga proses politiknya. Daam arti bahwa sejumlah pembuat keputusan memperjuangkan klik tertentu.
Perihal itu dikutip juga pandangan Holsti bahwa ada kesinambungan (linkage) antara faktor eksternal dan domestik dalam pembuatan keputusan luar negeri; kemudian struktur sistem juga sangat mempengaruhi keputusan negara. Dalam pandangan Viotti dan Kauppi, Holsti bukanlah realis karena ia memperhitungkan konteks domestik yang meliputi geografi dan topografi; sikap nasional; struktur pemerintahan; birokrasi; pendapat umum; dan pertimbangan etis.
Sementara itu, proses pembuatan keputusan pada tingkat internasional dan regional dipengaruhi oleh aktor non-formal yaitu individu dan social interest. Misalnya, di Uni Eropa banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang berperan dan lebih penting daripada aktor formal (pemerintah). Untuk itu, Uni Eropa akan mengkoordinir keputusan dalam hubungan luar negeri dan perdagangan dengan aktor non-formal.
Sebaliknya, proses pembuatan keputusan pada transnasional tergantung pada loyalitas dan
commitment negara anggota. Proses pembuatan keputusan pada tingkat ini dipengaruhi oleh aktor formal, seperti dalam PBB ada Duta Besar yang merupakan aktor formal yang menjaga Internasional harus melihat konteks dunia dari seluruh sistem. Misalnya kalau melihat Indonesia maka pelajari sejarah Indonesia masalalunya.
berdagang tidak akan menimbulkan perang. Ekonomi dalam globalis tidak sama dengan pluralis. Ekonomi dalam globalis adalah ekonomi kebendaan karena indikator ekonomi sebagai super-struktur. Kepentingan ekonom di atas segalanya. Sistem yang lain berada dibawah sistem ekonomi. Negara adalah instrumen dari ekonomi atau dari pemilik modal. Contoh ekstrim bahwa ekonomi merupakan faktor determinan adalah pada zaman dulu yang boleh ikut hanyalah orang-orang kaya, istri dari orang-orang kaya. Dengan kata lain budak tidak berhak untuk menyuarakan aspirasinya. Begitu pula hukum dibuat atau dirumuskan hanyalah untuk kepentingan yang paling berkuasa.
Kontras dengan globalisme, marxisme justru melihat sistem yang berubah yaitu semula dunia ini terdiri dari kerajaan-kerajaan menjadi negara industri yang menghasilkan industry allienation yaitu gelombang II dari kapitalisme. Bagi marxisme, kapitalisme memang menguntungkan tapi ternyata juga memberi dampak negatif pada sosial budaya masyarakat, yakni adanya eksploitasi individu. Buruh adalah salah satu alat dari produksi dan itu berarti merendahkan derajat manusia. Penyebab itulah yang menurut Karl Marx, pioner marxisme, pada akhirnya kapitalisme hancur dari dalam. Labour capital, mesin dan teknologi dimiliki oleh kaum borjuis. Ini artinya manusia sesungguhnya sama dengan mesin.
Selain itu menurut marxisme, keuntungan yang diperoleh pengusaha tidak mengucur semestinya kepada kaum buruh, yaitu kaum buruh menerima upah yang tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Pada tingkat negara hal yang demikian juga terjadi, yakni ada dominasi negara maju atas negara miskin. Kalau eksploitasi ini terjadi terus menerus maka akan timbul kesadaran kelas dan akan menyebabkan revolusi. Mengingat buruh dan majikan punya kepentingan yang berseberangan. Kesadaran kelas akan menimbulkan konflik kelas dan akan meruntuhkan kapitalisme, karena proletariat akan meruntuhkan juga kaum borjuis yang pada akhirnya proletariat menang dan akan menetapkan sistem komunis. Namun kenyataannya justru sebaliknya, komunisme kini telah membumi.
Pandangan mengapa tidak terjadi revolusi dikemukakan Hobson. Menurutnya kapitalisme menimbulkan overcapital, overproduction, dan underconsumption, namun tidak mengundang revolusi seperti yang dikatakan Marx dan tidak terjadi kejatuhan kapitalis. Faktornya adalah ternyata dalam masyarakat terjadi usaha untuk ekspansi ke luar negeri (jajahan) untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi yang baru seperti perluasan pasar, investasi, bahan mentah (raw material). Negara demi kepentingan kaum borjuis senantisa membantu upaya penjajah untuk mempertahankan negara jajahan. Misalnya, Belanda datang ke Indonesia semula berbentuk misi dagang (VOC) kemudian berubah menjadi penjajah. Hal ini karena mendapat dukungan dari pemerintah Belanda yakni ikut aktif untuk menjadi pelindung kepentingan borjuis Belanda di tanah jajahan.
Pandangan ekstrim datang dari Lenin. Ia mengemukakan kapitalisme menjadi penyebab perang. Menurutnya, imperialisme adalah the highest stage of capitalism. Kalau semua dunia terkotak-kotak menjadi koloni maka jika ada newcomer akan terjadi perang karena perebutan koloni. Kapitalisme tidak runtuh karena ada kolonisasi. Kapitalisme akan runtuh setelah imperialisme, yaitu tatkala negara jajahan akan bersatu dan berperang melawan penjajah. Karena itu ide komunisme internasional sangat populer. Jadi menurut Linen, perang terjadi karena sistem kapitalis. Kekuasaan kolonial tidak akan mau pindah karena merekalah yang menemukan daerah itu dulu. Perang terjadi karena kepentingan ekonomi negara.
sistem sedemikian rupa, yaitu negara jajahan tidak boleh menyentuh industrialisasi, sehingga negara-negara yang mampu memerdekan diri tetap harus masuk ke sistem itu. Sistem dimaksud adalah adanya ketergantungan negara jajahan kepada negara penjajah, atau adanya ketergantungan negara miskin terhadap negara kaya, dimana hal itu sengaja dibuat oleh negara kaya atau penjajah agar negara jajahan dan negara miski tetap lemah dan tergantung. Lantaran kalau negara tersebut tergantung maka tidak akan dapat mempertahankan kepentingannya.
Kedua adalah teori kapitalis dunia dari Immanuel Wellerstein. Teoritisi ini berpendapat bahwa struktur dunia terdiri dari negara core dan negara periphery. Antara core dan periphery
terdapat semi-periphery . Negara core adalah negara pusat, negara maju dan negara industri. Negara periphery adalah negara miskin, ekspor sangat tergantung dari raw material dan ekspor
agriculture, term of trad- nya rendah. Dalam hal ini perekonomian negara berdasarkan strukturnya dapat dilihat dari negara tradisional: agraris tinggi, sektor jasa tidak ada, industri sedikit. Kemudian dapat pula diamati dari negara maju: agraris rendah, industri banyak dan sektor jsa mulai banyak. Yang terakhir dapat dicermati dari negara paling maju: agraris sedikit, industri banyak, sektor jasa banyak
Dalam pandangan Wellerstein, negara core makin lama makin kaya . Hal ini terjadi karena negara core mengekplotasi negara semi-periphery, dan negara semi-periphery
mengeksploitasi negara periphery. Wellerstein menyetujui pendapat Walls, yaitu dunia ini terbentuk dari sistem power yang terstruktur. Posisi negara dalam sistem power yang terstruktur menentukan perilaku. Seperti diungkapkan Thucydides bahwa, “Big state do what they want to do, little state accept what they have to do”.
Wallerstein memasukkan proposisi Walls tersebut guna mendukung argumennya bahwa dalam periphery ada kaum borjuis dan proletar. Dalam semi-periphery juga ada kedua jenis msyarakat itu. Pada struktu yang demikian, maka masyarakat yang paling menderita adalah
proletar di negara periphery. Inilah yang dimaksukkan oleh Wallerstein sebagai multilevel exploitation. Proletar dalam core tidak akan berantakan karena energinya dipakai untuk eksploitasi ke bawah. Mereka tetap bisa mendapat keuntungan dengan eksploitasi ke periphery. Tidak ada cara untuk merubah struktur kecuali menghancurkan negara kaya karena dalam suatu negara miskin ada yang pro statusquo untuk tetap mendukung eksploitasi itu.
Begitulah perspektif yang ditawarkan Viotti dan Kauppi yang mereka sebut sebagai
alternative image. Untuk menerangkan gagasannya itu, mereka juga menyajikan intisari pemikirannya dalam bentuk matrik seperti berikut di bawah ini.
Alternative Images of International Relations : Underlaying Assumptions
REALISM PLURALISM GLOBALISM
1 ANALYTIC UNITS
State is the principle actor State and nonstate actors are important
Classe, sates, societis and nonsate actor operate as part of world capitalist system
DYNAMIC State is rational actor seeking to maximize it own
1. Paul Viotti dan F. Kauppi, International Relations Theory : Realism, Pluralism and Globalism, Maxwell MacMillan PC, Singapore, 1999.
2. K.J. Holsti, Internasional Politics: A Framework for Analysis, Prentice Hall, New Jersey, 1977.
3.
SAP IV
TEORI DAN KONSEP DALAM ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Pengertian Teori
SAP V
TINGKAT ANALISIS (
LEVEL OF ANALYSIS
)
DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PENGANTAR
Fungsi utama tingkat analisis adalah supaya penstudi mudah mengalisa suatu fenomena (event) hubungan internasional yang begitu kompleks aspek-aspeknya menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami, serta dapat menjelaskan dan meramalkan perilaku dalam hubungan internasional secara meyakinkan. Secara sederhana signifikansi mempelajari Tingkat Analisis dalam Studi Hubungan Internasional karena:
1. Dapat menjelaskan suatu peristiwa internasional, yang kemungkinan terdapat lebih dari satu faktor penyebab;
2. Dapat membantu kita memilah-milah faktor mana yang harus paling ditekankan; 3. Memungkinkan kita memilah-milah mana dampak dari sekumpulan faktor tertentu
terhadap suatu fenomena dan mana dampak dari kumpulan faktor lain terhadap fenomena itu;
4. Menghindari kemungkinan melakukan kesalahan metodologis terutama fallacy of composition dan ecological fallacy.
B. RAGAM TINGKAT ANALISIS:
David Singer berpendapat bahwa tingkat analisis dalam Studi Hubungan Internasional terbagi antara lain:
1. Individu
Asumsi dasarnya adalah bahwa interaksi internasional pada akhirnya merupakan akibat dari perilaku individu-individu yang terlibat di dalamnya. Untuk memahami hubungan internasional maka menjadi relevan bila melakukan penelitian terhadap sikap dan perilaku individu dari tokoh-tokoh utama para pembuat keputusan, seperti: kepala negara dan pembantunya, menteri luar negeri, menteri pertahanan, dll.
2. Kelompok Individu
Asumsi dasarnya adalah individu pada umumnya melakukan kebijakan yang bersifat internasional karena peranan dan kepentingan kelompok. Artinya, hubungan individu secara relatif tidak terlalu ditentukan oleh keinginan dan kepentingan individu melainkan lebih ditentukan oleh kelompok kecil individu. Guna memahami fenomena hubungan internasional maka yang dikaji secara sistematis adalah perilaku kelompok kecil dan organisasi tertentu yang terlibat langsung dengan keputusan-keputusan politik luar negeri suatu negara, seperti: kabinet, dewan penasehat, politbiro, birokrasi atau departemen, kelompok lobby, dll.
3. Negara Bangsa
4. Kelompok Negara Bangsa
Asumsi dasarnya adalah seringkali negara-bangsa tidak bertindak sebagai unit suatu negara, melainkan bertindak sebagai suatu kelompok negara. Dengan kata lain, interaksi yang terjadi dalam hubungan internasional membentuk suatu pola pengelompokan, sehingga unit analisa yang mesti diteliti adalah pengelompokan negara-bangsa seperti: aliansi, pengelompokan regional, blok ideologi, organisasi internasional, dll.
5. Sistem Internasional
Asumsi dasarnya adalah bangsa-bangsa di dunia dan interaksi diantara mereka merupakan suatu sistem yang menentukan perilaku aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat di dalamnya. Karena sistem internasional diasumsikan sebagai penyebab terpenting terjadinya perilaku negara-bangsa, maka analisis harus mempelajari sistem itu dan membuat generalisasi tentang sistem itu sebagai suatu keseluruhan (holistik), sehingga yang dipelajari adalah dinamika (perubahan dan kesinambungan) sistem internasional yang beranggotakan berbagai negara bangsa.
C. CARA MEMUTUSKAN TINGKAT AN ANALISIS YANG AKAN DIPAKAI 1. Membaca semua literatur, kemujdian membatasi masalah;
2. Menentukan dependent variable dan independent variable;
3. Menentukan analisis pada tingkat mana yang paling dianggap penting untuk diperhatikan;
4. Namun demikian, bisa saja diperegunakan 2-3 tingkat analisis secara simultan asalkan ada argumentasi dan fakta yang mendasarinya.
D. BUKU ACUAN SAP V
1. Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990
5.
SAP VI
AKTOR-AKTOR DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
A. PENGERTIAN AKTOR DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Yang dimaksud dengan aktor-aktor hubungan internasional adalah subyek-subyek
yang terlibat dalam proses dan dinamika hubungan internasional atau berbagai
hubungan yang melintasi batas-batas negara.
B. RAGAM AKTOR
Menurut Daniel S. Papp (1988) aktor-aktor atau partisipan dalam hubungan
internasional meliputi:
1. Negara-Bangsa (nations states);
Contoh : Amerika Serikat, Thailand, Indonesia, Arab Saudi, dll.
2. Organisasi internasional yang terkait dengan pemerintah (Inter-Government
Organizations);
Contoh : PBB, IMF, WHO, ILO, UNESCO, UNICEF, OPEC,M ASEAN,
UNI EROPA, NATO, dll.
3. Organisasi Internasional Non Pemerintah (Non-Government Organizations);
Contoh : Ford Foundation, Rockefeller Foundation, PLO, IRA, dll.
4. Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations)
Contoh : IBM, General Motors, Exxon, Nokia, dll.
5. Individu-individu dan aktor-aktor lainnya.
Contoh : Jimmy Carter, Muhammad Ali, Ramos Horta, Sekjen PBB, dll.
C. BUKU ACUAN
Umar Suryadi Bakry, Pengantar Hubungan Internasional, JUP, Jakarta, 1999
6.
SAP VII
KONSEP NEGARA BANGSA, POWER,
DAN KEKUATAN NASIONAL
A. PENGERTIAN KONSEP
Konsep adalah penyederhanaan (simplikasi) suatu fenomena. Ia merupakan abstraksi yang mewakili obyek. Konseptualisasi perlu dilakukan lantaran dalam setiap gejala/fenomena sosial pada umumnya dan hubungan internasional khususnya terdapat banyak fakta empiris yang kompleks dan rumit. Melalui konseptualisasi pula suatu teori dapat tersusun. Dengan kata lain, konsep pada dasarnya berfungsi sebagai “batu bata” dalam membangun suatu teori. Dan Ilmu Pengetahuan pada dasarnya merupakan kumpulan dari teori-teori.
Dalam Ilmu Hubungan Internasional terdapat banyak konsep. Dan konsep paling dasar yang mesti dipahami oleh penstudi pemula adalah konsep: nation-state (negara-bangsa) power, national power, national interest, foreign policy, dan diplomacy.
B. KONSEP NEGARA-BANGSA (NATION-STATE)
Menurut Couloumbus dan Wolfe, bangsa sebagai suatu konsep berkenaan dengan identitas etnik serta kultur dari sekolompok orang terntentu, berperan untuk menyelenggarakan hubungan yang bersifat emosional yang bersumber pada identitas kultural sehingga memungkinkan terjadi hubungan emosional tersebut. Sementara makna negara adalah suatu unit politik yang dikaitkan dengan teritorial, populasin, otonomi pemerintah, memiliki kewenangan untuk mengontrol wilayah berikut penduduknya serta memberikan legitimasi atas juridiksi politik dan hukum bagi warga negaranya.
Jadi secara konvergen maka istilah negara-bangsa digunakan untuk menggambarkan adanya pembauran atau perpaduan antara batas-batas kultur dan politik dalam konteks pelaksanaan kontrol politik yang dilakukan oleh suatu otoritas sentral atas suatu wilayah berikut penduduknya. Negara bangsa sebagai konsep diterima oleh kebanyakan negara di dunia lantaran kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar negara yang ada dewasa ini merupakan nation-state (negara-bangsa).
C.KONSEP POWER
Konsep power banyak digunakan dalam bahasan politik luar negeri dan politik internasional. Konsep ini mulai banyak dipakai analisis setelah Perang Dunia II bersamaan dengan kemunculan paradigma realis yang berkembang pesat saat itu.
Ada beberapa pengertian atau definisi power yang dikemukakan pakar Ilmu Hubungan Internasional :
Kautilya (negarawan India Kuno Abad ke-4)
Power adalah pemilikan kekuatan (suatu atribut) yang berasal dari tiga unsur yaitu pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian.
H.J. Morgenthau
Power merupakan suatu hubungan antara dua aktor politik (negara), dimana negara A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan negara B, yang bisa dilakukan secara kekerasan fisik sampai ke hubungan psikologis yang tidak kentara (halus).
K.J. Holsti
Coulumbis dan Wolfe
Power adalah mengacu pada unsur apa saja yang bisa menciptakan dan mempertahankan pengendalian aktor atau negara A terhadap aktor atau negara B. Dalam pengertian ini, power setidaknya memiliki unsur penting berupa daya paksa (force), pengaruh (influence), dan wewenang (authority).
Kesimpulannya:
Power berkaitan dengan adanya hubungan antara dua negara atau lebih, dimana suatu negara punya kemampuan (capability) untuk mengendalikan perilaku negara lain dalam hubungan internasional. Dalam hal ini power suatu negara bisa saja bersifat potensial (potential power) maupun terejawantahkan atau aktual (manifest power).
Yang dimaksud dengan potential power adalah kemampuan relatif suatu negara, yang terdiri dari kemampuan fisik (tangible elements/unsur yang nampak) maupun non fisik (intagible elements/unsur tidak tampak).
Tangible elements mencakup kekuatan militer, ekonomi, sumber alam, geografi, pupolasi, teknologi, dll.
Intangible elements meliputi unsur moral dan karakter nasional, leadership, kemampuan diplomasi, kekuatan budaya, kekuatan ideologi, kemampuan propaganda, dll.
Adapun yang dimaksud manifest power adalah kemampuan riil yang dimiliki suatu negara yang tampak ketika berhubungan dengan negara lain.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menganalisa power, yaitu meliputi:
1. Sumber Power
Faktor natural/tangible (luas wilayah, lokasi, cuaca, jumlah populasi, pendapatan, luas dan jaringan industri, sistem pendidikan, sistem transportasi, Iptek, kekuatan ekonomi dan sistem sosial, dll.
Faktor impulse organisasi/intangible (efisiensi birokrasi dan sistem pemerintahan, karakter nasional dan moral rakyat, dll)
2. Sifat Power
Power bisa bersifat persuasif hingga koersif.
3. Bentuk Power
Absolut, dimana power benar-benar nyata (kekuatan militer dan ekonomi)
Relatif, dimana power merupakan suatu kemampuan dari kapasitas suatu negara bila dihadapkan dengan kapasitas negara lain. Bentuk ini muncul bila suatu negara mampu merefleksikan power yang dimilikinya sedemikian rupa sehingga negara-negara lainnya, baik lawan maupun musuh akan memperhitungkan kekuatan negara-negara tersebut.
4. Scope/Ruang Lingkup Power
Semua model aktifitas pemerintah yang mengatur internal dan eksternal.
5. Pola-pola Power
Militerisme, aliansi, keamanan kolektif, world government.
D.KONSEP NATIONAL POWER (Kekuatan Nasional)
Kekuatan Nasional adalah kemampuan bangsa secara aktual maupun potensial yang
merupakan hal yang vital yang tidak dapat dipisahkan dari sistem negara bangsa. Ada dua unsur/elemen/faktor utama kekuatan nasional, yaitu :
1. Faktor natural yang berada di luar kendali manusia dan tak dapat diubah; (letak dan luas wilayah, sumber alam, dll.)
2. Faktor dorongan organisasi dan kemampuan manusia.
(populasi, jaringan industri, transportasi, sistem pendidikan, kekuatan militer, sifat dan kekuatan sistem sosial, politik, ekonomi, kualitas diplomat/diplomasi, karakter
pemimpin nasional, dan moral rakyat, efisiensi birokrasi, dll)
BUKU ACUAN
R. Soeprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Rajawali, Jkt. 1997
7.
SAP VIII
UJIAN TENGAH SEMESTER
LATIHAN SOAL-SOAL
1. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang pengertian dan ruang lingkupu Ilmu Hubungan Internasional.
2. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang aktor-aktor dalam hubungan internasional berikut contoh-contohnya.
Berilah tanda X pada jawaban yang paling benar di lembar jawaban yang telah disediakan!!!
1. Manusia cenderung baik dan dapat menselaraskan kepentingannya dengan manusia lain merupakan asumsi aliran pemikiran
a. tradisionalis, b. behavioralis, c. idealis, d. realis.
2. Disisi lain manusia cenderung struggle for power merupakan asumsi dasar aliran pemikiran.
a. tradisionalis, b. behavioralis, c. idealis, d. realis.
3. Yang menyatakan bahwa studi HI perlu dipelajari secara scientific adalah aliran pemikiran.
a. tradisionalis, b. behavioralis, c. idealis, d. realis.
4. Intisari pandangan aliran pemikiran pasca-behavioralis adalah a. Ilmu HI dipelajari secara kualitatif, b. Ilmu HI dipelajari secara kuantitatif,
c. Ilmu HI dipelajari secara kualitatif dan kuantitatif, d. Tidak mempersoalkan metodologi asal berorientasi pada kebijakan. 5. Hans J. Morgenthau dan E.H. Carr adalah tokoh pemikir aliran;
a. tradisionalis, b. behavioralis, c. idealis, d. realis.
6. Universitas yang membuka Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pertamakali adalah;
a. UI, b. UNHAS, c. UGM, d. UNPAD.
7. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh Ilmu HI tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat ditinjau dari segi;
a. tenaga ahli, b. kurikulum dan pengajaran, c. publikasi dan riset, d. semua benar.
8. Lembaga-lembaga berikut turut menunjang dalam pengembangan Ilmu HI di Indonesia, kecuali
a.PARPOL, b. CSIS, c. LIPI, d.SESKOAD.
9. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace yang terbit pada tahun 1948 merupakan buku yang kerap dijadikan rujukan penstudi HI adalah buah karya dari;
a. Karl Deutsch, b. Hans J. Morgenthau, c. K.J. Hoslti, d. James E. Dougherty.
10. Nama-nama berikut adalah pakar Ilmu HI di Indonesia, kecuali
a. Prof. Dr. Juwono Sudarsono, b. Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, c. Prof. Dr. Amin Rais,
d. Prof. Dr. Mochtar Mas’oed..
11. Tujuan Ilmu HI dikembangkan adalah dalam rangka, kecuali