A. PERAN METODOLOGI DALAM ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pembentukan dan pengembangan suatu ilmu berawal pada ketidaktahuan yang penuh arti. Hal itu tersirat pada pernyataan E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff sehubungan dengan usaha mengembangkan suatu teori internasional yang bersifat ilmiah: "Here is what. I know; what. do I not know that t is worth knowing". Dengan tahu sesuatu maka selikaligus tidak tahu sesuatu yang lain. Untuk tahu sesuatu yang tidak diketahui, langkah awalnya adalah dengan memunculkan berbagai persepsi berkaitan dengan sesuatu yang ingin diketahui. Sesuai dengan paradigmatis Thomas Kuhn, langkah selanjutnya adalah persaingan beberapa persepsi untuk memunculkan persepai yang dominan. Dengan munculnya persepsi yang dominan, disiplin ilmu sebagai normal science terbentuk. Dalam hal ini metodologi berarti merupakan pendinamisasian untuk pembentukan dan perkembangan suatu ilmu.
Dalam pengertian ilmiah yang paling ketat, suatu kumpulan pengetahuan baru dapat dinamakan ilmu bila mampu mendiskripsikan, mengeksplanasikan dan memprediksi segala fenomena yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Potensi suatu ilmu untuk melakukan fungsi-fungsi di atas, terletak pada metodologi keilmuan ilmu yang bersangkutan.
Disiplin Ilmu Hubungan Internasional yang punya pretensi untuk dapat menggambarkan, menjelaskan dan bahkan memprediksikan kejadian-kejadian internasional serta mengembangkan dirinya, termasuk dalam konteks ilmu sosial. Hal itu tergambar dari pernyataan Trygve Mathiesen dalam bukunya yang berjudul Methodelogy in The Study of International Relations sehubungan dengan obyek ilmu hubungan internasinal seperti berikut: “All international aspects of human social life: that is, the term designates all human behavior which originates on one side of state boundary and30affect human behavior on the other side of boundary'”. Sudah menjadi generalisasi yang kuat bahwa hubungan internasional sebagi ilmu sosial membutuhkan patokan-patokan yang lebih ketat dari pada ilmu alam. Konsep "kalor" atau "proton" dalam fisika dapat dikatan ada dalam satu pengertian universal tetapi konsep "stabilitas" atau "relations" dalam Studi Hubungan Internasional mempunyai makna yang tidak atau belum universal. Kejelasan batasan semakin terasa dibutuhkan sehubungan dengan ketiadaan uniformitas dan bahkan terdapat perubahan yang relatif cepat dalam fenomena Studi Hubungan Internasional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka preferensi-preferensi individual yang mutlak dapat mengacaukan analisa keilmuan yang dibuat, serta mengurangi kejelasan eksistensi Studi Hubungan Internasional. Kedua hal tersebut menghambat pengembangan studi ini karena sifat subyektif yang muncul merupakan kenyataan bahwa preferensi-preferensi tersebut tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi secara obyektif. Menurut Karl Popper hal yang demikian itu merupakan suatu yang bukan ilmu.
Dalam Studi Hubungan Internasional, pendekatan-pendekatan yang ada tidak mudah diukur dari standar yang sama tetapi tetap dapat dibandingkan dalam penerapannya. Dalam konteks globalisasi dengan penekanan utama perpaduan politik dan ekonomi, bila diterapkan aspek political economics international approach akan lebih banyak memberi kesempatan obyektif dari pada power approach. Selain itu, hasil analisa yang dicapai akan lebih tajam. Pemilihan pendekatan dan juga teori-toeri yang terkait, dalam hal ini, tidak dapat bersifat subyektif mutlak. Hasil akhir analisa atau pengembangan teori tetap harus terbuka bagi kritik bahkan tidat hanya yang bersifat membangun.
Kenyataan yang dimiliki Studi Hubungan Internasional tersebut di atas, tidak boleh tidak membutuhkan metodologi. Kebutuhan metodologi sebagai pendinamisasian teori dan metode serta pembatas scope obyek ilmu akan lebih terlihat berkaitan dengan pendapat
Trygve Mathiesen yang menyatakan bahwa Studi Hubungan Internasional adalah "a field of specialization, including the international aspects of several disciplines". Sedangkan menurut penelitian Kenneth W. Thompson, dalam Ilmu Hubungan Internasional sudah mulai ada penegasan obyek, ada pengembangan teori dan dalam proses pembentukan metode keilmuan yang padu. Bila kedua pendapat itu digabungkan atau dikombinasikan maka akan menghasilkan diagram sebagai berikut:
Diagram di atas merupakan gambaran langkah yang akan ditempuh Studi Hubungan Internasional sebagai sebuah ilmu yang mempunyai potensi untuk berkembang. Menurut Thomas Khun, suatu dasar sebuah ilmu tidak memadai bila bersifat stagnant. Berdasarkan pendapat itu, upaya untuk melangkah dari tahap proses multidispliner ke tahap Studi Hubungan Internasional yang interdispliner merupakan sesuatu yang niscaya atau tidak boleh tidak harus dilakukan.
Guna mencapai kondisi yang mandiri dalam konteks interdisipliner, paling tidak perlu adanya metode ilmiah yang padu, yang sama-sama dipegang dan dipersepsikan sebagai yang terbaik oleh para penstudi Hubungan Internasional. Dalam hal ini, posisi metodologi sebagai pendinamisan segala perangkat keilmuan Studi Hubungan Internasional untuk sampai sampai ke taraf interdisipliner tidak dapat diingkari lagi sangat signifikan.
B. PEMBENTUKAN TEORI
Keberadaan teori hubungan internasional tidak dapat disangkal lagi banyak memberikan manfaat bagi para penstudi Hubungan Internasional untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam lingkungan internasional. Menurut Dougherty dan Pfalzgraff, teori dapat diartikan sebagai alat intelektual yang dapat membantu kita untuk: to orient and organize our knowledge, to ask significant quiestions, to guide the formulation of prioritues, to formulate the design of research. Disamping itu menurut kedua ilmuwan hubungan internasional tersebut, sebagai alat intelektual, teori juga memberikan pada kita dalam hal:
1) to apply methods of scientific inquiry in ail way, 2) to relate knowledge in our own field to that of field
3) to enhance our ability to understand arid explain reality in a satisfying way.
Sementara itu Charles A. McClelland menjelaskan fungsi teori dalam Ilmu Hubungan Internasional sebagai berikut:
1) teori merupakan rangka dasar untuk mengatur fakta-fakta 2) teori merupakan pedoman untuk melaksanakan kegiatan,
3) teori merupakan seperangkat pernyataan mengenai keadaan yang diharapkan, 4) teori merupakan pikiran spekulatif, bebas, dan ada kaitan dengan dunia nyata, 5) teori merupakan abstraksi.
Seperti halnya pada ilmu-ilmu sosial lainnya, pembentukan teori dalam disiplin hubungan internasional tidak dapat dilepaskan dari prosedur terbentuknya teori dalam disiplin keilmuan. Menurut Walter L. Wallace proses keilmuan dan unsur-unsurnya itu dapat digambarkan seperti berikut.
Skema di atas terlihat bahwa teori dibentuk melalui fakta empiris yang diubah menjadi generalisasi empiris melalui sistem logika deduktif. Fakta empiris di sini tidak dibedakan apakah dalam bentuk perilaku atau sebuah kebij aksanaan .
Pada dasarnya teori dibedakan berdasarkan klasifikasi deductive theory dan
inductive theory. Dan apabila berdasarkan range dibedakan dalam. high, middle, dan low theory. Deductive theory dihasilkan dari abtraksi, aksioma umum, atau asumsi-asumsi, sedangkan inductive theory adalah formulasi dari fakta-fakta atau data yang tidak begitu banyak memperhatikan asumsi-asumsi yang bersifat umum. Selain itu perbedaan dalam
high, middle dan low range theory dapat dilihat dari atau menunjuk pada spektrum fenomena yang tercakup dalam teori.
dengan Grand Theories (berjangkauan universal) dan Middle Range Theories (berjangkauan menengah). Menurut George A. Lopes dan Michael S. Stohl, pembentukan Grand Theories
dilakukan melalu "interrelationships among a few or many variables purportedly explain a wide range of phenomena". Prosedur ini cenderung membawa teoritisi pada usaha untuk melakukan penyederhanaan fenomena secara berlebihan, yaitu dengan hanya
mempertimbangkan sedikit sekali variabel independen sehingga sering tidak relevan dengan kebutuhan untuk membuat kebijaksaan, seperti yang dilakukan oleh Hans J. Morgenthau dengan teori Balance of Power. Masih menurut kedua ilmuan di atas, pembentukan Middle Range Theories dilakukan melalui designed to explain or study a limited range of political phenomenawith a few variables". Akibatnya dapat dikatakan bahwa teori hubungan
internasional yang demikian berkaitan dengan masalah relevansinya dengan kebutuhan untuk membuat kebijaksanaan. Relevansi di sini diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan dunia empiris yang terdapat dalam aspek-aspek domestik, regional, sistemik dan hubungan antar aspek (linkage).
Bertalian dengan hal di atas, Michael P. Sullivan mengemukakan bahwa kemampuan teori hubungan internasional untuk menjelaskan dunia empiris didasarkan pada dua faktor yaitu: the degree of inner consistency and perfection of theory, dan the degree of its ficiel i ty to the empirical environment. Dari dua faktor itu tampak adanya tuntutan untuk
membangun teori hubungan internasional yang bersifat umum. Untuk memenuhi tuntutan ini, Quincy Wright memberikan karakteristik bagi pembentukan teori hubungan internasional yang bersifat umum, yang ciri-cirinya antara lain:
1) it must be comprehensive, 2) it should be comprehensible, 3) it should coherent,
4) it should be self-correcting, 5) it should be a body of knowledge, 6) it should contribute to understanding,
7) if possible, it should contribute to prediction, 8) it should contribute to evaluation,
9) it should have a normative orientation,
10) it should deal no only with the relations among state but also with the conditions of world community.
Melihat pada karakteristik teori hubungan internasional yang ditawarkan oleh Quincy Wright di atas, kita akan dihadapkan pada polemik antara Grand Theories dan
Middle-Range Theeories atau polemik antara kelompok Behavioralist dan Post-Behaviorist. Kelompok Behavioralist dan Grand Theories ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang bertitik tolak pada paham liberal melalui Positivist Tradition. Aliran ini berpandangan bahwa fenomena sosial berjalan teratur dan seragam sehingga dapat ditarik generaliasi menuju pembentukan teori yang bersifat umum. Pandangan ini banyak dianut oleh para penstudi Hubungan Internasional dari Amerika Serikat.
Berbeda dengan pandangan kelompok Post-Behavioralist dan Middle-Range Theories. Landasan intelektual yang digunakan oleh mereka adalah Credo of Relevance. Mereka mencari cara yang terbaik untuk memecahkan masalah sosial dengan membangun teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitiannnya. Metode ini banyak dilakukan oleh para penstudi Hubungan Internasional dari Inggris.
Baik pendekatan tradisional (paham idealis dan realis) maupun saintifik (paham
behavioralist dan post-behavioralist) mengklaim dirinya masing-masing bahwa metode pendekatan yang mereka gunakan telah memenuhi persyaratan ilmiah keilmuwan. Kedua pendekatan ini bersaing dalam mempengaruhi jalannya studi dan penelitian tentang hubungan internasional dan sebetulnya keduanya dapat saling melengkapi dan memanfaatkan hasil studi masing-masing.
Metode yang digunakan oleh pendekatan tradisionalis ini adalah metode observasi yang didasarkan pada pengalaman praktis dan studi sejarah. Cara pandang pendekatan tradisionalis ini oleh Charles A. McClellend disebut sebagai "wisdom outlook". Sedangkan pendekatan saintifik yang untuk saat ini sering digunakan oleh para penstudi Hubungan Internasional, menurut Richart Smith Beal dalam karyanya yang bartajuk Theory and The Scientific Study of International Relations, menawarkan tiga prosedur yang saling berkaitan yaitu :
1) pembentukan hipotesa yang dapat diuji, 2) pengujian hipotesa,
3) pengumpulan, pembandingan, dan pengintegrasian penemuan dari berbagai pengujian dan berbagai hipotesa.
Menurutnya, bilamana suatu hipotesa banyak didukung oleh bukti empiris maka dapat dibuat prediksi tentang probabilitas terjadinya suatu fenomena.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa membangun sebuah teori akan membawa kita pada kegiatan menata semua pengetahuan yang terlihat oleh pancaindera. Hal ini berarti akan menunjuk pada bagaimana pengetahuan itu diperoleh atau pada dasar-dasar filosofi apakah suatu ilmu pengetahuan yang ilmiah atau saintifik dibentuk.
Sehubungan dengan itu, William C. Olson yang mengutip pendapat Michael Banks mengemukakan, "It is naive and superficial to try to discuss International Relations solely on the basis of 'the facts". Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendapat Michael Banks itu dapat dijadikan pedoman sekaligus sebagai cambuk bagi para penstudi Hubungan Internasional untuk hirau pada teori-teori hubungan internasional dan terus mengembangkan teori-teori tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional.
Masih menurut pendapat Michael Banks, teori-teori dalam Ilmu Hubungan Internasional akan berkembang jika:
1) less parochial views of world affairs are taken and a new generation of holistic world thinkers emerges,
2) the fetish for nominal definition of terms dies,
3) radical reductionism is elimininated, if not eradicated, from the study of international relations.
Saran Banks itu akan semakin berarti manakala penstudi Hubungan Internasional senantiasa memperhatikan dan berpedoman pada sembilan prakondisi kegiatan berteori segaimana dikemukakan oleh James N. Rosenau seperti berikut:
1) To think theoretically one has to avoid treating the task as that of formulating an appropriate definition of theory,
2) To think theoretically one has to be clear as to whether one aspires to empirical theory or value theory,
3) To think theoretically one must be able to assume that human affairs are founded on an underlying order,
4) To -think theoretically one must be predisposed to ask about every event, every situation. or every observed phenomenon, "Of what is it an instance?",
5) To think theoretically bane must be ready to appreciate and accept the need to sacrifice detailed descriptions for broad observations,
6) To think theoretically one must be tolerant of ambiguity, concerned about probabilities, and dies trustful of absolutes,
7) To think theoretically one must be playful about international phenomena,
8) To think theoretically one must be genuinely puzzled by international phenomena, 9) To think theoretically one must be constantly ready to be proven wrong.
C. PENUTUP
Dengan demikian jelaslah bahwa pengembangan Ilmu Hubungan Internasional bila ditinjau berdasarkan dimensi ontologi dan epistemologi telah memiliki metodologi sebagai
pijakan teorisasi. Bukti Studi Hubungan Internasional telah memiliki metodologi tampak bahwa ilmu ini telah menjalankan fungsi deskripsi, eksplanasi, dan prediksi fenomena hubungan internasional. Fenomena cold war yang digambarkan sebagai kondisi balance of power merupakan fakta yang tak dapat ditolak. Kemudian fenomena nuklir antara Super Power yang dijelaskan dengan teori detereence juga merupakan bukti yang tak perlu diragukan lagi.
Kendatipun demikian, bukan berarti Studi Hubungan Internasional lepas dari kritik, utamanya kritik epistemologis. Seperti dikemukakan Rizal Sukma dalam Jurnal Ilmu Politik 15 (1995:7-9) bahwa kapasitas teori-teori hubungan internasional yang ada hanya terbatas pada kemampuan menjelaskan sesuatu yang sudah terjadi, dan inipun masih bisa diperdebatkan, maka banyak kritik-kritik epistemogis dialamatkan kepada Studi Hubungan Internasional.
Tema utama kritik epistemologi adalah penolakan terhadap pengertian "ilmu pengetahuan" dan epistemologi positivistik yang berlaku dalam studi hubungan internasiona. Menurut kritik ini, kelemahan utama dalam Studi Hubungan Internasional adalah bersandarnya bidang studi ini kepada pemahaman dan pengertian
"ilmu pengetahuan" yang berasal dari epistemologi positivisme. Dalam hal ini studi hubungn internasional menganggap filsafat ilmu positivisme itu sebagai sesuatu yang given, yang tidak perlu dipersoalkan lagi.
Seperti kita ketahui bahwa konsepsi epistemologi positivisme adalah berdasarkan asumsi bahwa terdapat realitas eksternal di luar diri penstudi, dan realitas tersebut terdiri dari fakta. Dalam hal ini, ilmuwan bertugas untuk menemukan "kebenaran faktual", mengkonseptualisasi, mengkategorisasi, dan menganalisis fakta tersebut. Kegiatan keilmuan ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat metode "ilmiah" dan "obyektif", dimana realitas eksternal tersebut dapat dideskripsikan melalui bahasa ilmiah universal yang netral dan bebas nilai.
Dari sudut pandang pengkritik (pascapositivisme), konsepsi ini merupakan ilusi tanpa dasar. Asumsi tentang adanya realitas eksternal yang independen dari ilmuwan hubungan internasional tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat, konsepsi tentang "data obyektif" yang diformulasikan oleh positivisme tidak berlaku bagi ilmu-ilmu sosial/kemanusiaan. Dengan kata lain, data demikian tidak eksis karena subject matter dari ilmu sosial ditandai oleh "dominasi aksi yang bermakna".