• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Arbitrase Berbasis Syariah dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan perbankan syariah yang dikenal sebagai perbankan Islam (Islamic Banking) semakin kokoh setelah mendapat legalitas seiring kelahiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS 2008).1

Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), bulan Oktober 2011, menampilkan Jaringan Kantor Perbankan

Syariah (Islamic Banking Network) terdiri dari 11 Bank Umum Syariah (BUS) dengan 1365 jumlah kantor, 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan 327 jumlah kantor,

dan 154 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan 362 jumlah kantor. UUPS

2008 telah memperkuat secara kelembagaan serta mengintrodusir berbagai produk

usaha yang sesuai ketentuan hukum Islam, sekaligus memberi aturan mengenai

mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan antara nasabah dengan

perbankan syariah.

2

1

LNRI Tahun 2008 Nomor 94, TLNRI Nomor 4867, mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008.

Statistik ini memperlihatkan perkembangan perbankan syariah, sehingga secara

kuantitas semakin banyak akad yang terbit atas produk usaha yang terjadi antara bank

syariah dengan masyarakat pelaku bisnis. Meningkatnya hubungan hukum yang

terjadi di lingkungan perbankan syariah sedikit banyak akan berpengaruh pula

terhadap kemungkinan timbulnya sengketa antara perbankan syariah dengan nasabah

sebagai pengguna jasa perbankan.

2

(2)

Hukum telah menyediakan berbagai sarana bagi masyarakat yang terlibat

sengketa untuk menyelesaikannya. Setidaknya dikenal dua jalur penyelesaian

sengketa, yaitu melalui mekanisme peradilan dan mekanisme di luar peradilan. Kedua

jalur ini dimungkinkan oleh UUPS 2008 untuk digunakan dalam menyelesaikan

sengketa perbankan syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UUPS 2008, sengketa di

lingkungan perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama atau dapat dilakukan melalui mekanisme lain di luar peradilan

agama sesuai kesepakatan yang dicantumkan secara tegas di dalam akad dengan

mengindahkan prinsip syariah.3 Dengan demikian, selain secara litigasi melalui badan

peradilan agama, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga dilakukan secara

non-litigasi di luar peradilan dengan melakukan pilihan forum (choice of forum) yang ditetapkan dalam akad.4

3

Pasal 55 UUPS 2008 menyebut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

4

(3)

Eksistensi penyelesaian sengketa di luar peradilan telah diakui dengan

pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS 1999).5 Arbitrase merupakan cara

penyelesaian sengketa di luar peradilan yang dikenal masyarakat pebisnis. UUAAPS

1999 menyebut, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar

peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

pihak-pihak yang bersengketa.6 Ketentuan ini menunjukkan, arbitrase merupakan

forum penyelesaian sengketa di luar peradilan yang ditunjuk berdasarkan pilihan

para pihak yang bersengketa.7

Sesuai dengan ketentuan UUAAPS 1999, penyelesaian sengketa perbankan

syariah melalui jalur yang disepakati dalam akad merupakan pilihan penyelesaian

Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2010), hlm. 1. Budiono Kusumohamidjojo merinci, ciri utama dari kontrak adalah merupakan perjanjian yang dirumuskan secara tertulis oleh para pihak lengkap dengan ketentuan dan syarat-syarat serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya kewajiban dan sekaligus hak secara timbal balik. Karena itu, kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut juga sebagai perjanjian. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 7. Pasal 1313 KUH. Perdata merumuskan persetujuan atau perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian yang diberikan Pasal 1313 KUH. Perdata ini dipandang selain tidak lengkap, karena hanya menyebut perjanjian sepihak saja, juga rumusannya sangat luas, sebab dapat mencakup janji kawin yang termasuk lapangan hukum keluarga, dan juga mencakup perbuatan melawan hukum yang tidak memiliki unsur perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 89. Seharusnya rumusan Pasal 1313 KUH. Perdata diadakan perubahan dengan memantapkan perbuatan dimaksud adalah ‘perbuatan hukum’ dan menambah anak kalimat ‘atau saling mengikatkan dirinya’ untuk menunjukkan adanya perjanjian secara dua pihak. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 49. Dengan perbandingan yang dikemukakan, dalam konteks penulisan ini kata akad yang berasal dari bahasa Arab dipadankan dengan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Pandangan ini diperkuat dengan mengkaitkannya pada rumusan Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), ‘akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

5

LNRI Tahun 1999 Nomor 138, TLNRI Nomor 3873, mulai berlaku tanggal 12 Agustus 1999. 6

Pasal 1 butir 1 UUAAPS 1999. 7

(4)

yang dilakukan di luar peradilan agama, diantaranya melalui badan arbitrase syariah.8

Sebagai salah satu pilihan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar

peradilan agama, dipandang penting untuk mengetahui dan mengkaji prinsip yang

mendasari pola operasional arbitrase syariah. Melalui kajian ini pelaku bisnis dan

masyarakat perbankan syariah, dapat lebih memahami prinsip-prinsip yang mendasari

cara kerja arbitrase syariah.9

Studi terhadap prinsip arbitrase syariah dalam penyelesaian sengketa

perbankan syariah perlu dilakukan dengan didasarkan pada lima alasan pokok.

Pertama, pengaturan atau positivisasi perbankan syariah yang memberi aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah relatif baru, yakni sejak berlaku

UUPS 2008. Secara normatif UUPS 2008 memperkenankan arbitrase syariah sebagai

forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama melalui pilihan forum (choice

8

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 menyebut, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) ini telah dilakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU—X/2012, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meski Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar peradilan agama turut kehilangan peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Arbitrase syariah tetap memiliki peran untuk dapat menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara non litigasi di luar peradilan agama, sebab norma utama yang terumus dalam Pasal 55 ayat (2) UUPS 2008 memungkinkan adanya pilihan forum (choice of forum) arbitrase syariah bilamana para pihak menyepakati dalam akad yang dibuat secara jelas dan tertulis.

9

(5)

of forum), sehingga perlu di elaborasi prinsip-prinsip yang mendasari cara kerjanya dari perspektif hukum Islam.10

Kedua, arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi bangunan perbankan syariah yang berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar mekanisme

peradilan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah lebih efisien dan sejalan

dengan nilai-nilai keislaman yang menghargai prinsip persaudaraan untuk menjaga

hubungan silaturrahim sehingga hubungan kerja antarpihak yang bersengketa tetap

dapat berjalan harmonis.

Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (UUP 1992) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 (UUP 1998), tidak terdapat pengaturan yang memuat ketentuan

mengenai penyelesaian sengketa perbankan.

Ketiga, eksistensi arbitrase syariah memiliki prospek masa depan yang signifikan dengan melihat pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang pesat

mengikuti perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat. Hal ini ditandai dengan

munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah di luar perbankan syariah seperti

asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan reksa dana syariah yang dalam transaksi masing-masing juga berpotensi timbul sengketa.

Keempat, penggunaan arbitrase merupakan salah satu prinsip bisnis dalam Islam, termasuk perbankan syariah, yang relevan menyelesaikan sengketa untuk

terwujud kemakmuran ekonomi dan keharmonisan sosial para pihak. Bila terjadi

10

(6)

perselisihan dalam praktik bisnis, Islam menganjurkan penyelesaian dengan cara

arbitrase melalui arbiter yang bebas dan dapat dipercaya (In case of dispute, Islam encourages settlement through an independent and reliable arbitrator).11 Perintah arbitrase (tahkim) sudah qath’i dalam Alquran, yaitu untuk menyelesaikan perselisihan, mendamaikan dengan musyawarah.12

Kelima, pemahaman terhadap keberadaan arbitrase syariah relatif masih belum banyak diketahui, yang ditandai belum berperan secara optimal dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Fakta ini terlihat dari jumlah perkara

yang terdaftar di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), yaitu dalam

kurun waktu 1997-2009 hanya terdapat 17 perkara, dan baru memiliki 15 kantor

perwakilan di daerah.

Tujuan penyelesaian sengketa

melalui arbitrase syariah adalah mewujudkan perdamaian (sulh atau ishlah) guna mempertahankan hubungan silaturrahim antara para pihak yang bersengketa. Alasan

ini berkaitan dengan sejarah tahkim yang telah lama dikenal dalam sejarah peradilan Islam.

13

11

Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Business, (Malaysia: Pelanduk Publication, 2002), hlm. 95.

Implikasi yang diharapkan melalui kajian ini adalah agar

masyarakat dapat lebih mengetahui keberadaan dan cara kerja arbitrase syariah,

12

Muhamad Asro dan Muhamad Kholid, Fiqh Perbankan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 266.

13

(7)

sehingga dapat meningkatkan peran optimal dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lain di masa depan.

Penggunaan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya untuk menyelesaikan

sengketa perbankan syariah, di bidang keperdataan (muamalah), merupakan pilihan yang tepat.14 Arbitrase syariah menjadi sarana yang perlu dimanfaatkan oleh umat

Islam Indonesia dalam mengikuti perkembangan dan aktivitas perbankan syariah.

Dikatakan oleh Tahir Azhary, kehadiran arbitrase Islam di Indonesia merupakan

suatu conditio sine qua non.15

Berbagai kegiatan usaha perbankan syariah baik pada instrumen

penghimpunan maupun penyaluran atau pendanaan dalam bentuk pembiayaan, tidak

tertutup kemungkinan terjadi sengketa (dispute) antara bank dengan nasabah. Persengketaan dapat muncul karena tidak terpenuhi hak dan kewajiban atau timbul

ketidakpuasan dalam pelaksanaan akad atau perjanjian. Kompleksitas akad dan beda Arbitrase syariah pada perkembangan saat ini menjadi

salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Perkembangan industri

perbankan syariah menghendaki penguatan arbitrase syariah sebagai pilar

penyanggah, dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap kemungkinan terjadi

perselisihan dalam aktivitas perbankan syariah. Penguatan arbitrase syariah akan

memperkuat sistem hukum perbankan syariah dalam konteks penyelesaian sengketa

yang terjadi di lingkungan bank syariah.

14

Achmad Djauhari, “Peran Arbitrase Dalam Sistem Ekonomi Syariah”, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2 Tahun 2007, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI), hlm. 186. Salah satu faktor keistimewaan arbitrase adalah putusannya yang bersifat final dan

binding, yaitu tidak adanya upaya instansi hukum (banding, kasasi, maupun peninjauan kembali) sehingga secara ekonomis lebih efisien.

15

(8)

pendapat antara bank syariah dengan nasabah dalam memahami dan menginterpretasi

akad, serta berselisih dalam pelaksanaan prestasi bisa mengakibatkan terjadinya

pelanggaran perjanjian (breach of contract). Pelanggaran terhadap akad merupakan bentuk potensial terjadinya sengketa di lingkungan perbankan syariah. Dalam konteks

ini, aktivitas perbankan syariah memerlukan peran yuridis di dalamnya terutama

ketika terjadi konflik agar dapat diselesaikan secara adil. Penyelesaian sengketa

diharapkan tidak merusak hubungan bisnis yang tengah berjalan, sehingga

kelangsungan usaha para pihak tetap berlangsung secara produktif. Karena itu, aspek

penyelesaian sengketa dalam transaksi keuangan pada perbankan syariah menjadi

sangat penting,16 terutama mekanisme yang mampu menyelesaikan secara efektif dan

efisien dengan tetap menjaga hubungan silaturrahim, serta jauh dari publikasi yang

dapat memengaruhi reputasi bisnis para pihak yang bersengketa. Forum penyelesaian

sengketa yang memiliki karakteristik semacam itu tidak lain ada pada arbitrase.17

Secara konstitusional, penegakan hukum dan keadilan atas suatu sengketa,

termasuk sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah, hanya dapat

dilakukan oleh badan peradilan yang berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman

yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

18

16

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 109.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah

17

Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm. 4

18

(9)

di luar badan peradilan negara,19 yakni melalui arbitrase syariah, dimungkinkan bila

ditunjuk para pihak melalui kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Arbitrase

syariah mendapat tempat dalam UUPS 2008 sebagai salah satu forum penyelesaian

sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama. Pengakuan terhadap keberadaan

penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui arbitrase syariah terlihat dari banyak

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang

menetapkan agar penyelesaian sengketa dilakukan melalui badan arbitrase syariah,

bila gagal mencapai kesepakatan melalui musyawarah.20

Regulasi Bank Indonesia (BI) melaluiPeraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan

Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan kemudian diubah

dengan PBI Nomor 10/16/PBI/2008, menentukan penyelesaian sengketa antara bank

syariah dengan nasabah dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah bila

kesepakatan melalui musyawarah dan mediasi termasuk mediasi perbankan tidak

dapat dilakukan.Ketentuan ini disebut dalam Pasal 4 yang mengatur, sebagai berikut:

(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi

19

Sesuai ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LNRI Tahun 2006 No. 22, TLNRI No. 4611) dalam kaitan ini yang dimaksud peradilan negara dimaksud adalah pengadilan agama. Pasal 49 dan Penjelasannya menetapkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah, yang meliputi: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah.

20

(10)

sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.

(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Arbitrase syariah bisa digunakan sebagai salah satu pilihan mekanisme

penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Terminologi

arbitrase yang dikenal pada masa modern saat ini sebagai forum penyelesaian

sengketa di luar pengadilan (out court system), dalam perspektif hukum Islam sepadan dengan tahkim. Penunjukan tahkim didasarkan pada kesepakatan dua pihak yang menunjuk hakam (arbiter) untuk memberi keputusan hukum guna menyelesaikan persengkataan yang terjadi antara kedua pihak bersengketa

berdasarkan petunjuk hukum syarak.21 Legalitas tahkim (arbitrase) diakui dalam Alquran, Hadis maupun Ijmak ulama.22 Pengakuan terhadap arbitrase dalam hukum

Islam terlihat dalam Alquran, seperti mengenai penyelesaian perselisihan antara

suami-isteri melalui hakam (arbiter) sebagai juru damai (Q.S. An-Nisa’ [4]: 35 dan 128).23

21

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 8, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 374.

Dari sumber inilah arbitrase kemudian ditetapkan sebagai forum penyelesaian

sengketa dalam tradisi hukum Islam. Bila di telaah lebih seksama, arbitrase dalam

hukum Islam prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan persengketaan secara

22

Validitas yang menjadi dasar keabsahan tahkim atau arbitrase dalam hukum Islam diuraikan lebih lanjut pada Bab II disertasi ini.

23

(11)

damai. Penyelesaian secara damai terhadap setiap perselisihan sangat dianjurkan

dalam ajaran Islam. Arbitrase syariah memegang peranan dalam penyelesaian

sengketa perbankan syariah untuk memecahkan masalah secara kerjasama dengan

mewujudkan perdamaian melalui pihak ketiga yang netral dalam memberi keputusan.

Perdamaian (sulh) menjadi pola penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah (tahkim). Penggunaan sulh yang dilakukan di luar pengadilan, didasarkan pada kesepakatan para pihak untuk tidak menempuh jalur ajudikasi dalam

menyelesaikan sengketa mereka.24 Pola ini sangat fleksibel dan menjadi sarana

mewujudkan silaturrahim dan kemaslahatan manusia secara menyeluruh. Sulh tidak dilakukan bila mendatangkan kerusakan dan kemudaratan bagi manusia.25

Penyelesaian sengketa dalam hukum Islam adalah untuk menjaga hubungan

silaturrahim antara mereka yang bersengketa agar tetap terjalin dengan baik. Dalam

makna yang sama, filosofi penyelesaian sengketa dalam perspektif syariah tidak Konsep

perdamaian merupakan doktrin utama hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa.

Perintah untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa dinukilkan dalam Q.S

Al-Hujurat (49): 10 yang dikaitkan dengan hubungan persaudaraan di antara orang-orang

mukmin. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmad.”

24

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 206.

(12)

boleh memutuskan hubungan silaturrahim di antara para pihak yang berselisih.26

Selain itu, penyelesaian sengketa dari perspektif syariah sangat menjunjung tinggi

keadilan dan kepastian tanpa mengabaikan prinsip-prinsip ketuhanan (ilahiyah), kemanusiaan (insaniah), keseimbangan (al-wustha’), kerjasama (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah), dan kemaslahatan (maslahah), yakni mengupayakan kebajikan maksimal dan mengeliminasi segala bentuk kemudharatan.27

Arbitrase syariah merupakan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa

yang dilakukan melalui arbiter (hakam) berdasarkan prinsip syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Term arbitrase syariah menunjuk mekanisme penyelesaian

sengketa melalui arbitrase yang dilakukan berdasar syariat Islam untuk membedakan

dengan arbitrase non syariah. Arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus untuk

menyelesaikan sengketa di bidang muamalah berdasar ketentuan hukum Islam. Karena dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam, forum arbitrase yang

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah disebut arbitrase syariah.

Prinsip yang

melekat dalam mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah perlu di elaborasi

untuk memahami karakteristik dan cara kerja arbitrase syariah. Melalui pembahasan

ini diharap ditemukan pemahaman guna lebih mengetahui prinsip penyelesaian

sengketa melalui arbitrase yang sesuai syariat Islam.

26

H.M. Hasballah Thaib, ”Kata Pengantar” dalam Iman Jauhari, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2009)., hlm. ii. Filosofi

tahkim dalam Islamagar tidak terputusnya hubungan silaturrahim antara mereka yang bersengketa ini pula yang membedakan dengan filosofi arbitrase non syariah yang lebih didasarkan pada efisiensi dalam penyelesaian sengketa.

27

(13)

Prinsip syariah menjadi ruh yang senantiasa menyemangati dan memiliki

kedudukan fundamental dalam pelaksanaan arbitrase berbasis syariah. Prinsip syariah

yang melekat pada arbitrase syariah, pada dasarnya sebangun dengan yang berlaku

pada aktivitas perbankan syariah. Kegiatan keduanya senantiasa harus dilandasi dan

diikat oleh prinsip syariah yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah.28 Dengan

paradigma ini, Tuhan menjadi sumber nilai dan tujuan akhir. Berbagai aspek ekonomi

syariah, termasuk aktivitas penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah,

mendasarkan sistemnya kepada Tuhan. Selain itu, ekonomi syariah yang berbasis

pada agama adalah sistem yang memiliki akhlak, bersifat manusiawi, dan moderat.29

Penunjukan forum arbitrase syariah untuk menyelesaikan perkara perbankan

syariah bukan berarti tidak merespon keberadaan lembaga peradilan agama, sebagai

lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa perekonomian syariah. Apalagi

dimaksudkan untuk mereduksi kewenangan mutlak peradilan agama dalam

menyelesaikan sengketa di bidang perbankan syariah.30 Keberadaan arbitrase syariah

sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan syariah, tidak ditafsirkan

sebagai pernyataan tentang tidak pentingnya arti pengadilan dalam penataan sosial.31

28

Muhammad Alim, Pengantar Ilmu Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm.73.

Studi ini tidak dimaksudkan mempertentangkan keberadaan arbitrase syariah dengan

lembaga peradilan agama. Kajian berada pada posisi bahwa ruang peradilan bukan

29Ibid

., hlm. 72. 30

Ada pandangan yang melihat, bahwa pengakuan dan penunjukan badan arbitrase syariah melalui Fatwa DSN-MUI itu belum merespons peradilan agama sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mutlak di bidang ekonomi syariah. Padahal lembaga arbitrase syariah masih sangat terbatas kantor cabangnya di Indonesia. Lihat H. Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 51.

31

(14)

satu-satunya institusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan

syariah. Di sampingnya masih terdapat forum arbitrase syariah yang juga diakui

memiliki otoritas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Keberadaan

arbitrase syariah ditempatkan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa bagi bank

syariah dan nasabah guna menegakkan keadilan di luar pengadilan negara. Arbitrase

syariah merupakan salah satu jalur yang dapat digunakan dalam menyelesaikan

sengketa yang terjadi dalam aktivitas perbankan syariah berdasar pilihan para pihak

melalui akad.32

Menempatkan arbitrase syariah sebagai paradigma penyelesaian sengketa di

luar peradilan,

33

tidak berarti pengadilan dan arbitrase menjadi dua entitas yang

saling meniadakan, melainkan saling mengisi di dalam sebuah relasi mutualisme

sistem hukum.34

32

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa, terutama di bidang perdata selain bisa diselesaikan melalui peradilan, juga terbuka kemungkinan diselesaikan melalui forum penyelesaian sengketa lainnya. dan salah satu di antaranya adalah cara penyelesaian sengketa yang dikenal dengan sebutan arbitrase, dalam kajian ini difokuskan pada arbitrase berbasis syariah. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 No. 157, TLNRI No. 5076) menyebutkan, “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”

Prinsipnya tidak ada konflik yang berarti antara pengadilan yang

33

Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (pardigm) pertama kali dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution. Kuhn melihat, ilmu pengetahuan pada saat tertentu di dominasi oleh paradigma tertentu, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 4. Bernard Arief Sidharta mengatakan, paradigma adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala di interpretasi dan dipahami. Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 91. Dengan demikian, paradigma menjadi landasan atau keyakinan mendasar yang menjadi pemandu dalam membahas dan menginterpretasi isu hukum. Paradigma membantu merumuskan apa yang seharusnya dipelajari, isu apa yang seharusnya dikemukakan untuk dijawab aturan apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Pengertian paradigma lainnya dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang mengatakan paradigma sebagai parameter atau rujukan, acuan yang dipergunakan untuk berpikir atau bertindak lebih lanjut. Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 15.

34

(15)

sifatnya publik dengan arbitrase yang berwatak privat. Lembaga peradilan yang

mempunyai kekuatan memaksa, agar para pihak mematuhi perjanjian arbitrase dan

putusannya. Hanya perlu ditetapkan secara jelas wilayah masing-masing agar tidak

terjadi kesimpangsiuran antara pengadilan dan arbitrase.35 Dengan demikian, upaya

penguatan arbitrase syariah tidak dimaksudkan untuk meniadakan kewenangan dan

peran lembaga peradilan agama di bidang perbankan syariah.36

Pembicaraan mengenai pengembangan dan penguatan arbitrase selama ini

dilakukan karena adanya krisis yang dialami lembaga peradilan dalam menyelesaikan

sengketa. Pengadilan dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa

bisnis, tidak independen, bahkan para hakim telah kehilangan integritas moral dalam

menjalankan profesinya.

Baik peradilan agama

maupun arbitrase syariah diakui sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa

perbankan syariah, sesuai mekanisme dan kewenangan masing-masing. Keberadaan

arbitrase berbasis syariah sudah menjadi realitas yang diakui sebagai forum

penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar peradilan agama.

37

Akibatnya pelaku bisnis mencari alternatif yang mampu

menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien,38

35

Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hlm. 6.

dilaksanakan secara profesional,

dapat dipercaya (confidence), tidak begitu formal dan lebih fleksibel, putusannya

36

Eksistensi peradilan dalam menyelesaikan sengketa tidak mungkin direduksi oleh arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Kedudukan peradilan telah ditetapkan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yang diakui dan diperkokoh secara konstitusional melalui amandemen ketiga. Yang di cantumkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit.

37

Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 2. 38

(16)

bersifat final dan mengikat, serta terjaga kerahasiaan proses berperkara.39 Karakter

penyelesaian sengketa ini dimiliki arbitrase sebagai institusi penyelesaian sengketa di

luar peradilan. Selain itu, mekanisme arbitrase lebih informal, sehingga terbuka untuk

memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai

(amicable).40 Penyelesaian melalui arbitrase bersifat kooperatif dan non konfrontatif,41 yang dilandasi prinsip musyawarah dengan menghindari konfrontasi

yang dapat mengganggu hubungan produktif para pihak. Kelebihan dan sifat dasar

yang melekat pada forum arbitrase ini tentu saja menjadi landasan bagi arbitrase

syariah yang beraktivitas sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, adanya

mafia peradilan dengan modus jual beli hukum menempatkan arbitrase sebagai

pilihan para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan, sekaligus untuk

mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung atau lembaga peradilan di

bawahnya.42

Pengembangan dan penguatan arbitrase berbasis syariah perlu dilakukan guna

membangun kepercayaan masyarakat untuk menggunakan forum arbitrase

menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pilihan ini merupakan bagian dari

39

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 12-15. 40

Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002, hlm. 8.

41

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2011), hlm. 1; Anita D. A. Kolopaking, ”Asas Itikad Baik Sebagai Tiang Dalam Pelaksanaan Persidangan Arbitrase” dalam Idris, Rachmawati dan Imam Mulyana, eds, Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional, (Jakarta: Fikahati Aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum UNPAD, 2012), hlm. 42.

42

(17)

penyaluran kebebasan para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan (konsensus),43

untuk menentukan lembaga penyelesaian sengketa yang mereka anggap lebih tepat

dan efisien. Forum arbitrase terbentuk melalui kebebasan para pihak yang

bersengketa dengan menciptakan dan menyepakati sendiri hukum dan prosedur yang

dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka. Dikatakan Priyatna Abdurrasyid,

arbitrase merupakan hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure dan law of the parties).44

Untuk dapat disandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa lain bagi

masyarakat dalam mendapatkan keadilan (access to justice), dan untuk mengetahui aktualisasi penyelesaian sengketa perbankan syariah, perlu diketahui cara kerja

dengan mengadakan pengkajian untuk mengetahui serta mendalami prinsip-prinsip

arbitrase syariah. Pengkajian ini sekaligus akan memperkuat validitas arbitrase

syariah, sehingga tidak ada keraguan terhadap keberadaannya dalam menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah terutama di bidang perbankan syariah.

Belum banyak pengkajian berakibat pada kurangnya referensi dan informasi

bagi masyarakat pelaku bisnis maupun perbankan akan eksistensi dan prinsip yang

terkandung dalam arbitrase syariah. Keadaan ini bisa menjadi faktor berpengaruh

bagi pemahaman dan kepedulian masyarakat, sehingga forum penyelesaian sengketa

43

Kesepakatan merupakan merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian, yang oleh Eggens dikatakan sebagai tuntutan kesusilaan (zadelijk eis). Dalam kesepakatan ini diletakkan kepercayaan pada perkataan seseorang. Dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan ini, seseorang tersebut ditingkatkan martabatnya sebagai manusia setinggi-tingginya. Kalau seseorang ingin dihargai sebagai manusia, maka harus dapat dipegang perkataannya. Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 5.

44

(18)

melalui arbitrase syariah belum berkembang secara optimal.45 Menurut Adi

Sulistiyono, ada 7 (tujuh) faktor penghambat perkembangan penggunaan arbitrase,

yaitu:46

1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami pelaku bisnis; 2) belum adanya budaya

arbitration minded di kalangan pengusaha Indonesia; 3) banyak di antara mereka yang belum berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur peradilan. ...; 4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh pelaku bisnis...; 5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui arbitrase: 6) tidak mudah membawa dan menyadarkan pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan itikad baik. ....; 7) kurangnya pemahaman hakim-hakim tentang arbitrase, sehingga seringkali sengketa yang berdasarkan “klausul arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun Pengadilan Negeri tetap saja manangani sengketa tersebut. Walaupun pada akhirnya kesalahan tersebut dikoreksi oleh Mahkamah Agung, namun kasus itu sudah terlanjur memakan waktu bertahun-tahun.

Perkembangan yang belum optimal, dan sengketa yang diselesaikan masih

sedikit, tidak berarti arbitrase syariah gagal dalam melaksanakan perannya, sebab bisa

karena tidak ada sengketa yang terjadi atau sengketa dapat diselesaikan sendiri oleh

para pihak secara musyawarah.47

45

Masyarakat pebisnis di Indonesia dipandang belum familiar dengan forum arbitrase, karena pada umumnya sengketa bisnis yang terjadi cenderung untuk diselesaikan melalui pengadilan. Forum arbitrase banyak dipilih orang asing untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, karena itu pencantuman klausul arbitrase hampir terdapat dalam setiap kontrak bisnis internasional. Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 6;

Begitu juga karena jaringan yang masih sedikit

mengakibatkan masyarakat belum mengetahui akan kedudukan arbitrase syariah

46

Adi Sulistiyono Op. Cit., hlm. 142. Meskipun belum pernah dilakukan kajian mendalam, keadaan yang dikemukakan dalam literatur terhadap arbitrase non syariah tersebut juga disinyalemen terjadi bagi arbitrase syariah, paling tidak keadaan ini tercermin dari sengketa yang terdaftar di BASYARNAS sebanyak 17 (tujuh belas) perkara dalam kurun waktu 1997-2009. Tidak tertutup kemungkinan sedikitnya sengketa yang diselesaikan oleh BASYARNAS, karena tidak ada perselisihan yang terjadi di lingkungan perbankan syariah atau dapat diselesaikan secara internal melalui musyawarah.

47

Erman Rajagukguk, “Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase”, dalam

(19)

dalam lingkungan mereka. Kondisi yang demikian sejatinya bukan menjadi faktor

penghalang untuk mengadakan pengkajian dan pengembangan arbitrase berbasis

syariah. Kekurangan-kekurangan itu menjadi faktor motivasi untuk melakukan

pengkajian, sehingga penelitian terhadap substansi dan prinsip arbitrase syariah

menjadi keniscayaan yang perlu dilakukan.

Melalui penelitian ini akan dapat dipahami substansi dan prinsip arbitrase

syariah yang bermanfaat bagi penyusunan perangkat regulasi yang mendukung

operasionalisasinya. Penelitian dilakukan untuk menggali prinsip yang mendasari

pola kegiatan arbitrase syariah dan menyesuaikannya dengan kondisi dan

karakteristik bangsa Indonesia. Belum dipahami dan ditegakkan prinsip dan norma

hukum arbitrase syariah secara komprehensif dapat menjadi penyebab munculnya

berbagai persoalan dalam proses penyelesaian sengketa perbankan syariah. Prinsip

syariah yang menjadi dasar aktivitas arbitrase dalam hukum Islam masih memerlukan

perumusan dan pengkajian untuk menentukan kesesuaian dengan kehidupan bangsa

Indonesia, karena itu perlu terus dilakukan upaya aktualisasi secara

rasional-objektif.48

Di Indonesia, pola pengembangan arbitrase berbasis syariah, mengikuti pola

legislasi yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karena itu,

selain tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, arbitrase syariah juga senantiasa

mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengembangan arbitrase

syariah di Indonesia, dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah selain tetap

berada dalam koridor syariah, juga senantiasa mengindahkan peraturan

perundang-48

(20)

undangan yang menjadi payung yuridis keberadaan sistem penyelesaian sengketa di

luar peradilan, yaitu UUAAPS 1999).49 Pengkajian ini semakin relevan untuk

menentukan kesesuaian atau harmonisasi prinsip yang terkandung dalam UUAAPS

1999 dengan arbitrase berbasis syariah. Meskipun tidak tegas disebut, keberadaan

arbitrase syariah juga berpayung kepada UUAAPS 1999. Arbitrase syariah dipandang

sebagai arbitrase khusus yang menangani dan menyelesaikan sengketa ekonomi dan

bisnis berbasis syariah. Pengaturan dalam perundang-undangan membuktikan,

keberadaan arbitrase di Indonesia, termasuk arbitrase syariah, memang dikehendaki

oleh pemerintah sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di

luar pengadilan.50

Melalui pengkajian ini diharapkan masyarakat pelaku bisnis syariah, khusus

yang berhubungan dengan perbankan syariah dapat menentukan pilihan penyelesaian

sengketa yang mampu menjaga keharmonisan, silaturrahim, bersifat efektif dan

efisien, serta memuaskan pihak yang bersengketa. Penyelesaian yang tetap menjaga

silaturrahim, efektif dan efisien akan menjadikan hubungan mitra bisnis antara bank

syariah dengan nasabah tetap berjalan secara produktif.

Selanjutnya, kajian ini diharapkan menjadi informasi ilmiah bagi teoritisi dan

praktisi hukum dalam memahami prinsip arbitrase syariah sebagai salah satu jalur

49

Payung yuridis eksistensi arbitrase di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LNRI Tahun 1999 No. 138, TLNRI No. 3872). Undang-undang ini telah mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan arbitrase yang memuat Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7-26); Hukum Acara Arbitrase (Pasal 27-51); Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52-58); Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59-72); dan Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73-77); Secara normatif dan faktual undang-undang ini masih perlu diuji dengan nilai-nilai syariah sebagai landasan fundamental keberadaan arbitrase syariah.

50

(21)

dalam mendistribusikan keadilan. Dalam cakupan yang lebih luas, kajian ini

diharapkan dapat memengaruhi proses pengembanan hukum (rechtsbeoefening), yaitu kegiatan manusia berkenaan dengan ada dan berlakunya hukum di dalam

masyarakat. Kegiatan itu mencakup kegiatan membentuk, melaksanakan,

menerapkan, menemukan, meneliti, dan secara sistematika mempelajari dan

mengajarkan hukum yang berlaku.51 Dengan demikian, selain menjadi informasi

ilmiah bagi teoritisi dan praktisi hukum, studi ini juga dapat dijadikan sumber dalam

penyusunan kebijakan di bidang penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah,

khususnya sengketa di bidang perbankan syariah

B. Permasalahan

Berbagai persoalan yang menjadi permasalahan utama sekaligus menjadi

fokus yang membatasi pembahasan berikut dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana implikasi pengaturan UUPS 2008 terhadap arbitrase syariah

untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

2. Bagaimana validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam

dan hukum positif Indonesia.

51

(22)

3. Bagaimana prinsip yang melekat pada arbitrase syariah agar dapat

menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

C. Asumsi

Asumsi atau disebut juga dengan anggapan dasar adalah suatu hal yang

diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas.52 Asumsi

merupakan kejadian atau situasi yang dianggap benar, sehingga kebenarannya tidak

diragukan.53 Asumsi merupakan pernyataan yang diterima sebagai sesuatu yang

benar, tanpa harus dibuktikan secara empirik terlebih dahulu.54

Pertama, pengaturan UUPS 2008 berimplikasi pada pemberian penggunaan arbitrase syariah sebagai salah satu pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah. Pengaturan UUPS 2008 memberi penguatan bagi bangunan

perbankan syariah yang memungkinkan desentralisasi penyelesaian sengketa melalui

pilihan forum arbitrase syariah di luar peradilan agama. Penguatan arbitrase syariah

dengan di dukung politik hukum yang memadai akan menempatkan forum ini Untuk memberikan

arah bagi pelaksanaan kajian ini, disusunlah asumsi-asumsi berikut:

52

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 65. Dikatakan selanjutnya, bahwa asumsi berfaedah untuk memperkuat permasalahan, dan membantu peneliti dalam memperjelas menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data, instrumen pengumpulan data.

53

Consuelo G. Sevilla, et.al., Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 17. Selanjutnya dijelaskan, bahwa asumsi tidak sama dengan hipotesis, karena asumsi tidak memerlukan pengujian atau pembuktian.

54

(23)

memiliki eksistensi dan prospek signifikan untuk menyelesaikan sengketa perbankan

syariah.

Kedua,arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi perbankan syariah sebagai forum resolusi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Prinsip

syariah yang melekat pada arbitrase syariah memberi warna terhadap validitas dan

karakteristik yang membedakannya dengan arbitrase non syariah. Tujuan utama dari

validitas arbitrase syariah sebagai sarana penyelesaian sengketa perbankan syariah

adalah upaya mewujudkan perdamaian. Yurisdiksi arbitrase syariah menampakkan

bentuk dalam konteks modern yang meliputi bidang ekonomi syariah, antara lain

termasuk perbankan syariah. Fitur arbitrase syariah yang juga melekat pada arbitrase

non syariah harus disesuaikan sehingga tidak melanggar atau bertentangan dengan

ketentuan hukum Islam.

Ketiga, pengkajian terhadap prinsip arbitrase syariah perlu dilakukan sebagi upaya memperkuat keberadaan forum arbitrase, terutama setelah UUPS 2008

menetapkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah yang ditunjuk

berdasarkan kesepakatan para pihak dalam akad. Prinsip arbitrase syariah perlu di

elaborasi untuk mengetahui landasan kerja penyelesaian sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalis implikasi pengaturan UUPS 2008 bagi arbitrase syariah dalam

(24)

penguatan arbitrase syariah sebagai forum resolusi sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.

2. Menganalisis validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam

dan hukum positif Indonesia.

3. Menggali, menemukan, mengelaborasi dan menganalisis prinsip-prinsip

yang menjadi dasar arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa

perbankan syariah.

E. Manfaat Penelitian

Atas dasar tujuan yang telah dikemukakan di depan, penelitian ini akan

memberikan manfaat:

1. Secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya khasanah teori ilmu hukum

yang berhubungan dengan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan

syariah di luar pengadilan agama yang dilakukan melalui mekanisme

arbitrase berbasis syariah. Hasil kajian akan berguna bagi kegiatan

pengembangan hukum ekonomi Islam terutama sebagai referensi kegiatan

penelitian lebh lanjut.

2. Secara praktis bermanfaat bagi semua pihak berkepentingan, baik

masyarakat pelaku bisnis, perbankan maupun perumus kebijakan dan

pelaksana penegakan hukum, untuk menjadi informasi maupun

argumentasi hukum yang diperlukan terhadap urgensi arbitrase berbasis

(25)

F. Keaslian Penelitian

Sesuai tema pokok tulisan yang berkaitan dengan prinsip arbitrase berbasis

syariah dalam penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, akan diuraikan

hasil pelacakan yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Gambaran terhadap

hasil penelitian terdahulu perlu dikemukakan untuk mengetahui orisinalitas kajian

yang akan dilakukan.

Berkaitan dengan tema penyelesaian sengketa, Adi Sulistiyono menerbitkan

naskah yang berasal dari disertasi dengan judul “Mengembangkan Paradigma

Non-Litigasi di Indonesia.” Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan

dengan: (1) Penyebab krisis yang terjadi dalam lembaga peradilan, sehingga sampai

menyebabkan paradigma litigasi kehilangan kewibawaan dan kredibilitasnya

dihadapan masyarakat. (2) Meskipun paradigma non litigasi untuk menyelesaikan

sengketa mempunyai banyak keuntungan, dan masyarakat Indonesia mempunyai

budaya musyawarah, namun paradigma ini kurang berkembang untuk menyelesaikan

sengketa bisnis. Langkah apa yang harus diambil agar paradigma non litigasi bisa

menjadi salah satu pilihan pendekatan yang dipercaya masyarakat untuk

menyelesaikan sengketa bidang bisnis.55

55

(26)

Dari permasalahan yang diajukan, diperoleh kesimpulan, baik menyangkut

paradigma litigasi (PLg) maupun paradigma non litigasi (PnLg).56 Dalam paradigma

litigasi antara lain disimpulkan, bahwa kepercayaan masyarakat untuk menyelesaikan

sengketa pada pengadilan dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia dan

kurangnya sarana prasarana untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kinerja

pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan menjadi birokratis, formalistis,

mahal, lama, memihak pada pihak yang kuat dan putusannya sulit diprediksi. Lebih

dari itu, penyelesaian yang terjadi di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang

bersengketa dari nilai kemanusiaan dan keadilan. Pengadilan tidak lagi sebagai

tempat mencari keadilan, tetapi telah menjadi tempat untuk mencari kemenangan

hukum dengan cara yang bertentangan dengan hukum.57

Sementara untuk paradigma non litigasi diantaranya disimpulkan, bahwa tidak

berkembangnya paradigma ini, di samping belum terkomunikasikan keberadaannya

di masyarakat, juga karena budaya gugat menggugat dan kekerasan telah

menghinggapi dan menjadi bagian perilaku masyarakat Indonesia. Kondisi ini

disebabkan karena nilai-nilai musyawarah dan konsensus tidak dikembangkan

melalui sistem pendidikan, atau teladan dari pemimpin formal atau non formal. Untuk

56 Ibid.

, hlm. 11. Dalam penelitian yang dilakukan, Adi Sulistiyono menggunakan istilah Paradigma Non Litigasi (PnLg) bukan Alternative Dispute Resolution. Dalam pemahaman yang dikemukakan, arbitrase tidak masuk dalam lingkup paradigma non litigasi, karena arbiter dalam memberikan putusan masih menggunakan pendekatan adversarial (pertentangan) dengan hasil win-lose solution. Paradigma Non Litigasi (PnLg) diartikan kesatuan asumsi-asumsi, konsep, nilai-nilai dasar yang diyakini dan digunakan masyarakat secara terus menerus untuk menentukan cara dalam menyelesaikan sengketa dengan tidak menggunakan nilai-nilai yang melekat pada paradigma litigasi atau nilai-nilai adversarial yang menghasilkan penyelesaian sengketa win-lose solution, tapi mendasarkan pada konsensus atau musyawarah demi mencapai kepentingan bersama atau win-win solution.

57Ibid

(27)

menyelesaikan sengketa hukum, nilai musyawarah mengalami kesulitan menemukan

ruang yang mampu mewadahinya, diakibatkan adanya kebijakan unifikasi lembaga

peradilan pada masa orde lama yang menghapus peradilan desa dan peradilan adat.58

Penelitian lain yang berhubungan dengan forum arbitrase dilakukan Eman

Suparman bertajuk “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk

Penegakan Keadilan.” Studi yang di angkat dari disertasi ini dilakukan pada proyeksi

masalah utama, yaitu mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat

dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan

sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki kewenangan publik

untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan

penegakan keadilan substansial yang bermartabat.59

Hasil yang diperoleh adalah secara faktual putusan arbitrase senyatanya belum

merupakan putusan final, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, dan tidak mandiri.

Walaupun secara normatif eksplisit ditentukan bahwa putusan arbitrase bersifat tidak

dapat dimohonkan upaya banding dan kasasi, namun bukan itu indikator penentunya.

Idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan final dan mengikat itu sekaligus juga

memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga putusan benar-benar mandiri dan tidak

dikondisikan dependen terhadap kewenangan pengadilan negeri.

60

58Ibid

., hlm. 439.

Penelitian yang

dilakukan memfokuskan bahasan pada aspek pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase

yang bersifat final dan mengikat, sehingga para pihak dapat lebih cepat memperoleh

59

Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 17. 60Ibid

(28)

hak yang dituntutnya bila dibandingkan dengan menuntut hak melalui pengadilan

yang masih dapat menggunakan upaya hukum biasa maupun luar biasa.

Cicut Sutiarso melakukan pengkajian dalam disertasi yang diterbitkan

menjadi buku dengan judul “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis”.

Kajian ini memfokuskan pelaksanaan putusan arbitrase yang mempunyai kekuatan

final and binding yang dilaksanakan dengan mamakai prinsip pemeriksaan persidangan melalui pengadilan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penyajian dilakukan atas dasar bagaimana sebaiknya pengaturan lembaga arbitrase

dapat memberikan peranannya dalam penyelesian sengketa di luar pengadilan

berdasarkan asas-asas peradilan yang baik. Mengapa terhadap putusan arbitrase yang

bersifat final and binding masih dimungkinkan untuk ditunda atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan atau dibatalkan sama sekali melalui permohonan pembatalan ke

pengadilan negeri.61

Atas permasalahan yang disusun, dikemukakan pendapat bahwa berdasarkan

asas peradilan yang baik, proses pemeriksanaan permohonan pembatalan putusan dan

proses pemeriksaan permohonan perlawanan eksekusi putusan arbitrase tidak

menunda eksekusi putusan arbitrase. Dengan demikian, putusan arbitrase yang final and binding bisa dilaksanakan melalui pengadilan negeri dalam waktu yang cepat menurut prosedur yang sesuai dengan penerapan asas peradilan yang baik.

62

Penelitian lain terdapat dalam disertasi Darwinsyah Minin yang berjudul

“Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi

61

Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 32. 62Ibid

(29)

Nanggroe Aceh Darussalam.” Penelitian ini dilakukan dengan mengemukakan tiga

masalah: a) Bagaimana konsep hukum penyelesaian sengketa lingkungan yang

proporsional yang mampu memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi

masyarakat luas. b) Apakah penyelesaian sengketa lingkungan yang berdasarkan

kesepakatan secara adat sinkron dan efisien dibandingkan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. c) Mengapa penyelesaian sengketa lingkungan

berdasarkan kesepakatan melalui lembaga hukum adat belum secara optimal

digunakan di Indonesia, khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.63

Setelah melalui pengkajian, ditemukan hasil yang dirumuskan dalam

kesimpulan. 1) Konsep atau bentuk hukum penyelesaian sengketa lingkungan hidup

yang ideal dan proporsional memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi

masyarakat luas adalah kesepakatan damai hasil musyawarah yang dilakukan melalui

Lembaga Hukum Adat Plus (LHA-Plus).

64

63

Darwinsyah Minin, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2002), hlm. 28.

2) Tidak ditemukan adanya pertentangan

yang prinsipil, baik asas dan tujuan maupun fungsi dan peran dari pemangku

adat/LHA-Plus dengan fungsi dan peran dari koordinator, konsiliator (Pemerintah),

mediator (mediasi) dan arbiter (arbitrase) di dalam menyelesaikan konflik lingkungan

hidup. 3) Belum optimalnya penggunaan jasa LHA-Plus dalam penyelesaian konflik

lingkungan hidup inconcreto disebabkan oleh faktor kekeliruan dari pejabat berwenang (aparat penegak hukum) di dalam menafsirkan arti hukum dan penegakan

64

Lembaga Hukum Adat Plus (LHA-Plus) adalah gabungan antara perangkat adat dan unsur atau komponen Pemerintah Daerah (Pemda), para ahli atau ilmuwan bidang lingkungan hidup, baik yang berasal dari universitas maupun dari organisasi kemasyarakatan non-politik (LSM) yang concern

(30)

hukum.65

Berkaitan dengan bidang perbankan syariah beberapa pengkajian telah pernah

dilakukan. Muslimin H. Kara melakukan penelitian dengan tajuk “Bank Syariah Di

Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah.”

Publikasi yang berasal dari disertasi ini mengemukakan masalah pokok yang menjadi

objek kajiannya, yaitu bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia tentang perbankan

Islam.

Fokus penelitian ini terletak pada penyelesaian sengketa lingkungan hidup

dengan menggunakan kesepakatan, berdasarkan hukum adat yang berlaku di Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

66

Hasil yang diperoleh, bahwa persoalan perbankan dalam sistem ekonomi

Islam merupakan salah satu agenda yang mendapat perhatian serius dari umat Islam,

baik di Indonesia maupun negara-negara Islam lainnya. Faktor ekonomi dan politik

mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dikeluarkannya peraturan

perundang-undangan yang mengatur perbankan Islam. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam

mengembangkan perbankan Islam dapat diklasifikasikan dalam dua priode, yaitu

priode 1992-1998 sebagai peletakan dasar sistem perbankan Islam, dan priode

1998-1999 sebagai reformasi kebijakan perbankan Islam di Indonesia.67

65Ibid.

, hlm. 311-312.

Fokus penelitian

ini terletak pada bidang politik hukum terhadap keberadaan bank syariah, dan tidak

memberikan pembahasan terhadap penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam

hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah.

66

Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 9.

67Ibid

(31)

Utary Maharany Barus telah melakukan penelitian untuk kepentingan

penulisan disertasi berjudul “Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama

Dengan Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.

Perdata): Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah Dan Nasabahnya

Di Indonesia” Empat permasalahan pokok yang menjadi dasar penelitian telah

dirumuskan, yaitu: 1) Mengapa dalam pelaksanaan akad yang dibuat oleh perbankan

syariah dan nasabahnya berdasarkan sistem bagi hasil menurut hukum perjanjian

Islam, diperlakukan juga ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2)

Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum perjanjian Islam dan hukum

perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Mengapa hukum

perjanjian Islam berlaku bersama-sama Hukum Perdata Barat (KUH. Perdata) di

dalam akad perbankan syariah dapat berdampingan secara harmonis dalam

pelaksanaannya. 4. Mengapa penyelesaian sengketa antara perbankan syariah dan

nasabahnya selain berdasarkan prinsip syariah Islam juga tunduk pada

undang-undang nasional lainnya.68

Dari empat permasalahan itu, diperoleh hasil, pertama, penerapan hukum perjanjian Islam bersama-sama dengan hukum perjanjian menurut KUH. Perdata

dikarenakan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbankan syariah belum

lengkap, sehingga pelaksanaan hukum perjanjian Islam memerlukan hukum lain.

Kedua, ada persamaan antara hukum perjanjian dari KUH. Perdata dengan hukum

68

(32)

perjanjian Islam, meskipun tetap ada perbedaannya. Ketentuan hukum perjanjian

dalam KUH. Perdata yang dicantumkan dalam akad pembiayaan bank syariah tidak

bertentangan dengan Alquran dan As-Sunnah. Ketiga, karena adanya persamaan, maka hukum perjanjian dari kedua sistem hukum tersebut dapat berdampingan secara

harmonis dalam pelaksanaannya. Apabila kodifikasi hukum perjanjian Islam telah

terealisasi, akad pembiayaan bank syariah tidak lagi memerlukan hukum perjanjian

menurut KUH. Perdata. Keempat, kebutuhan pemakaian hukum lain ternyata lagi terjadi dalam pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase yang berdasarkan syariah

untuk menyelesaikan sengketa antara bank syariah dan nasabahnya.69

Meskipun dalam penelitian terakhir ini ada menyinggung mengenai arbitrase

berdasarkan syariah, namun tidak menukik pada pengkajian prinsip yang menjadi

fundamen kerja arbitrase syariah. Kajian lebih difokuskan pada penerapan hukum

perjanjian Islam yang diharmoniskan dengan ketentuan perjanjian menurut KUH.

Perdata.

Pengkajian lain dilakukan Hirsanuddin dalam suatu disertasi yang diterbitkan

dengan judul “Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan

Prinsip Kemitraan.” Fokus bahasan diarahkan pada salah satu produk bank syariah di

bidang pembiayaan dalam bentuk kemitraan (mudharabah). Hasil kajian menunjukkan, bahwa dalam praktik, pembiayaan mudharabah masih jauh dari harapan, karena bank syariah tidak terlalu berminat untuk menerapkannya. Hal ini

disebabkan karena pembiayaan mudharabah hanya cocok bila mudharib perbankan syariah memiliki karakter yang jujur dan bekerja keras.serta tidak berperilaku

69Ibid

(33)

negatif.70 Pembiayaan dengan skim mudharabah, baik dalam tataran wacana namun sulit dalam tataran aplikasi. Bank-bank syariah, baik di negara-negara yang

menerapkan bank Islam secara penuh maupun di negara yang menerapkan sistem

dual banking system seperti Indonesia masih sangat kurang dalam menyalurkan dana dengan skim mudharabah.71

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa penelitian

tersebut, dapat ditegaskan bahwa kajian yang dikerjakan memiliki nilai keaslian atau

orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Perbedaan kajian ini

dengan penelitian terdahulu terletak pada rumusan permasalahan dan objek serta

fokus penelitian yang mengkaitkan arbitrase syariah dengan penyelesaian sengketa

perbankan syariah. Keutamaan kajian terletak pada manifestasi syariah yang

dijadikan paradigma dalam penyelesaian sengketa perbankan melalui mekanisme

arbitrase syariah. Dengan demikian perspektif kajian ini berbeda bila dibandingkan

dengan penelitian terdahulu. Tegasnya, belum ada kajian yang dilakukan terhadap

arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari

perspektif ini diharapkan hasil kajian dapat diakomodasi sebagai informasi dan

sumber dalam pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase

syariah yang diakui dalam peraturan formal.

Penelitian ini memfokuskan kajian pada mudharabah

sebagai salah satu bentuk produk usaha perbankan syariah. Seperti penelitian

sebelumnya, penelitian ini juga tidak memberikan bahasan terhadap mekanisme

penyelesaian sengketa yang dapat terjadi di bank syariah.

70

Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 188..

71Ibid.

(34)

G. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kegiatan penelitian sejatinya dimulai dari pengetahuan yang sudah ada

sebagai hasil kajian dan studi yang dilakukan para ahli di bidang ilmu

masing-masing. Peneliti berikutnya memanfaatkan hasil temuan tersebut untuk kepentingan

penelitiannya, dengan mempelajari, mendalami, menelaah dan mengidentifikasi

pengetahuan tersebut untuk menjadi acuan atau referensi penelitiannya.72 Kajian

pustaka merupakan aktivitas penelitian yang sangat berguna dalam menemukan

teori-teori relevan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Kajian pustaka

diperoleh melalui buku teks, monograf, jurnal, disertasi maupun hasil-hasil penelitian

yang terdokumentasikan. Setelah masalah penelitian dirumuskan, langkah berikutnya

yang dilakukan adalah mencari teori, konsep serta generalisasi-generalisasi hasil

penelitian yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk penelitian yang akan

dilakukan.73 Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang

diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun

untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan

masalah yang telah disusun.74

Kegiatan penelitian senantiasa bersaling tindak dengan teori. Melalui

penelitian, pengkaji dapat menguji teori dan mengembangkannya sesuai dengan

72

Sudjarwo dan Basrowi, Manajemen Penelitian Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 58

73

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 18. 74

(35)

keluasan dan ruang lingkup ilmu yang dikaji. Teori akan mengarahkan kegiatan

penelitian dalam upaya memperluas cakrawala pengetahuan teoritis.75 Teori

bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji,76 serta

bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian,

berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.77 Teori dengan demikian dapat

digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus

berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam

memahami masalah yang menjadi objek penelitian.78

Teori menduduki tempat yang penting dalam penelitian, karena teori

memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara

lebih baik. Hal-hal yang semula terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan

dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Jadi, teori berfungsi

memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan

masalah yang dikaji.79

Tidak terkecuali hukum juga memiliki teori-teori hukum sebagai hasil

pemikiran mendalam dari pemikir-pemikir hukum.80

75

Agus Salim, Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 84.

Para ahli hukum melalui

karya-karyanya mengemukakan teori hukum sebagai aliran-aliran atau mazhab dalam ilmu

76

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op. Cit., hlm. 144. 77Ibid

., hlm. 146. 78

Secara umum teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengendalian (control) suatu gejala. Lihat Sudjarwo dan Basrowi, Op. Cit., hlm. 65.

79

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 253. 80

(36)

hukum, yang lahir dengan pendekatan masing-masing, seperti teori hukum alam,

positivisme, utilitarianisme, teori hukum murni, dan sebagainya.81 Seluruh pemikiran

sistematik teori hukum berkaitan dengan filsafat dan teori politik yang mendasarinya.

Seringkali titik tolaknya adalah filsafat, dan ideologi politik berperan sebagai

pelengkap. Teori hukum selalu berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut

pemikirnya yang bermula dari ajaran-ajaran filsafat dan teori politik. Tugas teori

hukum dalam formulasi Radbruch, adalah ”the clarification of legal values and postulates up to their ultimate philosophical foundations.”82

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori maslahah dan sistem hukum (legal system) yang terangkai dengan teori penyelesaian sengketa. Teori-teori di maksud dijadikan pisau analisis sekaligus wacana dalam menganalisis dan

menjelaskan masalah yang akan diteliti. Selain itu, kajian didukung teori Economic Analysis of Law yang berkaitan dengan konsep efisiensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.

.

Maslahah dengan bentuk jamak masalih berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi maslahat dalam bahasa Indonesia merupakan sinonim dari

kata ’manfaat’ dan lawan dari kata ’kerusakan’ (mafsadah).83

81

Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 253 dst. Perhatikan juga W. Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited, 1960). Mengenai kajian perkembangan pemikiran hukum Di Indonesia dapat diperhatikan kajian konprehensif yang dilakukan Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004).

Hukum bekerja untuk

82

W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 3-4. 83

Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah, guna atau kegunaan, dan manfaat. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,

(37)

sesuatu yang terhubung dengan kemaslahatan (maslahah) manusia, baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.84

Hukum Islam (syariah) berorientasi pada kemanfaatan dengan

menitikberatkan keserasian hukum untuk memajukan kemaslahatan. Pandangan ini

bertolak dari premis dasar, bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat.85

Imam Malik memberikan persyaratan untuk menggunakan maslahah, yaitu pertama, bersifat reasonable dan relevan dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan, dengan cara menghilangkan mudarat. Ketiga, harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.86

Al-Haramain al-Juwayni berpandangan, maslahah merupakan indikator dalam penentuan keberadaan hukum. Maslahah pada hakikatnya tidak lain adalah maqasid

atau tujuan dari syariat dalam menetapkan hukum.

87

Pemikiran Juwayni tentang

maslahah ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh muridnya Ghazali.88

84

Abu Yasid, Islam Moderat, (Jakarta: Erlangga, 2014), hlm. 99.

85

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogya: Tiara Wacana, 1991), hlm. 129

86

H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 142. Juhaya S. Praja mengemukakan, istilah maslahah diperkenalkan Imam Malik, kemudian diperjelas oleh para juris berikutnya. Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm. 162. Sementara Nawir Yuslem dengan mengutip penelitian Rudi Paret mengemukakan, penggunaan maslahah sebagai terminologi hukum (technical legal term) pertama kali digunakan al-Haramain al-Juwayni, sebab pada masaImam Malik dan juga pada masa Syafii terma itu belum eksis, sehingga konsep maslahah tentunya berkembang sesudah masa Syafii. Nawir Yuslem, Burhan fi Ushul Fiqh Kitab Induk Usul Fikih (Konsep Mashlahah Imam al-Haramain al-Juwayni dan Dinamika Hukum Islam), (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hlm. 5. Lihat juga Abdul Mun’im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 152.

87

Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 213. Juwayni membagi maslahah dalam lima kategori, yaitu: 1.

dharuriyah; 2. hajiyah; 3. tahsiniyah; 4. secara substansi pada dasarnya sama dengan ketegori ketiga, namun berbeda secara prosedur; 5. kemaslahatan yang tidak dapat dipahami maknanya secara terpisah antara unsur-unsur aktifitasnya, namun bila dirangkai secara integral baru kemaslahatannya terlihat.

88Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat dalam mencegah Tuberkulosis paru di Desa

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGI AN PERSYARATAN DALAM MEMPEROLEH GELAR SARJANA EKONOMI.. JURUSAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pengaruh brand awareness, perceived quality dan brand loyalty terhadap keputusan pembelian pada toko My Snacks Bangka

Dalam memanfaatkan sumber listrik dari cahaya matahari dengan menggunakan sistem fotovoltaik maka cara yang tepat adalah menyimpan energi listrik dari keluaran panel

Penelitian ini berdasarkan pada Yurisprudensi Nomor 11K/AG/2001 tanggal 10 Juli 2003 yang menyatakan bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan berupa pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan,

Think Pairs Share adalah model pembelajaran kooperatif dimana model pembelajaran ini memiliki tiga tahapan yaitu tahap pertama (Think) yaitu berpikir, tahap kedua (Pair)

Tabel 4.6 Rekapitulasi Lembar Observasi Keterampilan Guru Dalam Pembelajaran Matematika Melalui Metode Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Audio Visual Siklus