• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET,TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK KAMPUS TAMALANREA

JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN KM.10 MAKASSAR, 90245 TELEPON/FAX. (0411) 585024

BUKTI PENERIMAAN NASKAH ARTIKEL ILMIAH

JURNAL KRITIS

Diberitahukan bahwa, Naskah artikel ilmiah dengan judul :

Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi Sosial Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Jawa Timur

Yang diserahkan oleh : Nama : Abdul Kodir Program Studi : Ilmu Sosiologi

Universitas : Universitas Negeri Malang

Telah diterima untuk dipublikasikan pada KRITIS : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 2 No. 1. Juni 2016. ISSN - P : 2460-3848. ISSN - E: 2527-5887.

Demikian surat ini dibuat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 30 September 2016

(2)

Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi Sosial Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Jawa Timur

Abdul Kodir Dosen Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang

abdul.kodir.fis@um.ac.id

Abstrak

Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Hal tersebut muncul karena saat ini masyarakat dunia telah sadar bahwasanya adanya proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC hingga hari ini masih banyak menimbulkan permasalahan, seperti : perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik dan permasalahan sosial lainya yang segera harus ditangani. Oleh sebab itu masyarakat dunia mendorong korporasi untuk berkontribusi aktif dalam melaksanakan program pembangunan dimana mereka tinggal. Akhirnya negara lah yang memfasilitasi mereka melalui undang-undang yang mengatur tentang CSR itu sendiri. Di Indonesia regulasi mengenai CSR itu sendiri dijelaskan dalam UU PT No 40 tahun 2007, dan bahkan hal tersebut di respon hingga pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Khusus di provinsi Jawa Timur, regulasi mengenai CSR tersebut dijelaskan dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011. Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi yang terjadi antara agen dan struktur yang ada dalam peraturan daerah tersebut.

Fokus penelitian tersebut dianalisa dengan menggunakan teori strukturasi giddens mengenai dualitas agen – struktur (strukturasi) dalam peraturan daerah mengenai CSR sebagai strategi alternatif dalam upaya pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat relasi sosial sebagai objek penelitian. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa peraturan daerah tersebut merupakan merupakan kompromi politik dalam upaya mengakomodasi kelompok kepentingan yang ada. Adanya peraturan tersebut juga ingin mensinergiskan antara program CSR yang dilakukan perusahaan dengan program pemerintah provinsi daerah sebagai upaya percepatan pembangunan di wilayah Jawa Timur.

Kata kunci: CSR, Korporasi, Strukturasi, Pembangunan

Pendahuluan

(3)

msyarakat global terhadap proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang secara nyata menyebabkan masalah ekologi, HAM, dan permasalahan sosial lainya yang perlu untuk segera ditangani. Fakta-fakta kerusakan ekologi pada tingkat planet a.l dapat dilihat dari lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai bentuk invisible hand dari korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global, sehingga bisa melakukan proses produksi secara berkelanjutan (Bierman, 2001:45).

CSR dinilai sebagai produk internasional, yang dalam tujuan awalnya merupakan kerangka besar agenda pembangunan dunia yang ingin mengentaskan permasalahan yang ada di dunia khususnya di negara-negara berkembang terutama bertujuan mengentaskan kemiskinan (Fajar, 2010:6; Prayogo, 2011:34). Oleh karena itu diambilah kebijakan oleh PBB bahwasanya pihak korporasi/ non-state harus membantu dalam permasalahan pembangunan yakni melalui program CSR (Vogel, 2005: 13, Utting, 2000:27, Levy, 1997:126, Keck & Sikking, 1998: 57, Jepperson, 1991: 143).

Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyikapi isu mengenai CSR ialah dengan disahkannya UU No. 40 tahun 2007. Dalam hal ini sempat terjadi perdebatan terutama dari pihak pengusaha karena adanya CSR tersebut semakin menjadi beban baru bagi perusahaan untuk mengeluarkan laba diluar pajak pemerintah yang sudah di tetapkan. Akan tetapi keputusan tersebut sudah final dengan dikuatkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan uji material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Tidak hanya itu respon mengenai CSR tersebut hingga pada pemerintahan daerah, dalam hal ini ialah pemerintahan provinsi Jawa Timur yang mengeluarkan Perda No 4/2011 sebagai salah satu bentu upaya untuk mensinergiskan hubungan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat melalui pengaturan CSR yang sudah ditetapkan dalam Perda tersebut. Latar belakang mengenai munculnya Perda tersebut karena dinilai Jawa Timur mempunyai potensi besar berupa dana triliunan rupiah yang bisa digalang dari perusahaan-perusahaan khususnya BUMN yang ada di Jawa Timur guna membantu peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan masyarakat Jawa Timur melalui program CSR perusahaan tersebut.

Metode Penelitian

(4)

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu penentuan informan tidak didasarkan atas strata, kedudukan, pedoman atau wilayah tetapi didasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini menggunakan 9 informan yang masing-masing diwakili oleh agen-agen yang yang terlibat ataupun memeliki dampak dengan disahkannya Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 yang mengatur pelaksanaan Tanggung Jawab Perusahaan. Proses dalam pengumpulan data dan informasi di lakukan dengan observasi, wawancara mendalam (indepth interview) dan data-data sekunder.sedangkan proses analisis data menggunakan 3 tahap, yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

Giddens konsisten melihat struktur dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang tidak lepas dari tindakan manusia yang berada di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Mengenai hubungan antara struktur dan tindakan Gidden selanjutnya menyatakan sebagai berikut:

“The social environments in which we exist to do not just consist of random as -sortments of events or actions the are structured. There are underlying regu-larities in how people behave and in the relationships in which they sta nd with one another. To some degree it is helpful to picture the structural characteristics of societies as resembling the structure of a building. A building has walls, a floor

and a roof, which together give it a particular “shape” of form. But the metaphore can be very misleading if applied too strictly. Social system are made up of human actions and relationships: what gives these their patterning is their repetition across periods of time and distances of space. Thus the ideas of social reproduction and structure are very closely related to one another in sociological analysis. We should understand human societies to be like buildings that are at every moment being reconstructed by the very bricks that compose them. The actions of all of us are influenced by the structural characteristics of the societies in which we are brought up and live; at the same time, we recreate (and also to some extent alter) those structural characteristics in our action” (Giddens, 1993: 18).

(5)

Dalam teori strukturasinya Gidden mengaitkan struktur dan tindakan sosial itu dalam relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktek sosial dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara tersusun atau terstruktur yang berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus yang penting dari teori strukturasi adalah hubungan antara agensi dengan struktur (agency and structure), yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubungan dialektis antara agensi dengan struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus dijalankan manusia. Menurut Giddens, aktivitas “tidak dilakukan oleh aktor sosial namun secara berkelanjutan diciptakan ulang melalui sarana yang mereka gunakan untuk mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, agen menghasilkan sejumlah kondisi yang memungkinkan aktvitas-aktivitas ini” (Ritzer & Goodman, 2008: 569).

Agen adalah aktor, sedangkan agensi menurut Giddens terdiri atas peristiwa yang di dalamnya individu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan peristiwa itu tidak akan terjadi jika saja individu tidak melakukan intervensi. Agen, menurut Giddens “memiliki kemampuan menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak mungkin ada tanpa kekuasaan; jadi, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas untuk menciptakan perbedaan. Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhdap aktor, namun tidak berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan perbedaan. Bagi Giddens, secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Jadi teori strukturasi Giddens menempatkan kekuasaan pada aktor dan tindakan yang bertolak belakang dengan teori-teori yang cenderung mengabaikan orientasi tersebut dan justru mementingkan niat aktor (fenomenologi) atau struktur eksternal (fungsionalisme struktural)” (Ritzer & Goodman, 2008: 571).

Menurut teori strukturasi Giddens, hubungan antara agen dan struktur bersifat dualitas, bukan hubungan dualisme. Dalam pandangan Giddens, merupakan sesuatu yang sudah jelas jika dikatakan ada perbedaan antara pelaku (agen, aktor) dan struktur, sebagaimana dikatakan ada keterkaitan antara struktur dan pelaku atau sebaliknya. Persoalannya adalah, apakah perbedaan dan hubungan antara pelaku dan struktur itu bersifat dualisme (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal-balik)? Giddens melihatnya sebagai dualitas (duality) dan bukan dualisme sebagaimana yang telah menjadi pandangan umum ilmu-ilmu sosial yang mempertentangkan pelaku (agen) versus struktur (Priyono, 2002: 18).

Dualitas antara struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial. Struktur analog dengan langue (yang mengatasi ruang dan waktu), sedangkan praktik sosial analog dengan parole (dalam waktu dan ruang). Berdasarkan prinsip dualitas tersebut itulah dibangun teori strukturasi (Priyono, 2002: 19). Adapun ruang dan waktu menurut Giddens, bukanlah arena atau panggung tindakan, tetapi merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan, karena itu waktu dan ruang harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial (Priyono, 2002: 20). Mengenai relasi antara agen dan kekuasaan dalam struktur sosial, Giddens mengajukan pertanyaan penting: apakah watak hubungan logis antara tindakan dan kekuasaan? Berikut penjelasan Giddens tentang agen dan kekuasaan:

“...Meskipun penjelesan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang

(6)

-tervensi dunia, atau menjaga diri dari in-tervensi semacam itu, dengan dampak mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak

lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memen

-garuhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial bepusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak

memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu.

‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh

reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan

ob-jektivisme dan ‘sosiologi struktural’ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab -mazhab sosial itu menganggap bahwa pembatas-pembatas sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak memiliki pilihan’ sama ketika tidak kuasa menahan doro dorongan dari tekanan-tekanan mekanis” (Giddens, 2010: 22-23).

Giddens mengakui adanya konsep kekuasaan sebagai kemampuan transformatif, yang mendahului subjektivitas atau terbentuknya kemampuan introspeksi dan mawas diri, yang dalam ilmu sosial pada umumnya bersifat dualisme antara subjek dan objek. Dalam konsepsi tersebut kekuasaan-kekuasaan kerap kali didefinisikan dalam kaitan dengan maksud atau kehendak, yakni sebabagai “kemampuan untuk menggapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksudkan”. Para ahli lain seperti Parsons dan Foucault memahami kekuasaan sebagai suatu “kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial”. Dalam kaitan ini, sebagaimana pendapat Bachrach dan Baratz, Giddens juga memahami makna kekuasaan dalam dua sisi, yakni di satu pihak sebagai “kemampuan para aktor dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang disukai”, di pihak lain kekuasaan sebagai “mobilisasi bias yang dilekatkan ke dalam institusi-institusi”. Namun Giddens melihat kekuasaan dalam kaitan dualitas struktur. Dalam memaknai kekuasaan yang dipahaminya, Gidden memberikan penjelasan sebagai berikut:

(7)

dan ketergantuangan di antara para aktor atau kelompok dalam konteks-konteks interaksi sosial. Akan tetapi, semua bentuk ketergantungan menawarkan sejumlah sumber daya yang memberikan kemampuan bagi para bawahan untuk bisa memengaruhi aktivitas-aktivitas para atasan mereka. Inilah yang saya sebut dengan dielaktika kendali (dialectic of control) dalam sistem-sistem sosial” (Giddens, 2010: 24-25).

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.

Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.

Giddens memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu.

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulangulang.

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu.

(8)

pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan. Pada penjelasan sebelumnya, sudah dipaparkan secara jelas mengenai klarifikasi agen itu sendiri dan pendangan struktur dalam bingkai teori strukturasi. Mengenai dualitas struktur tersebut akan coba dijelaskan dalam penjelasan gambar di bawah ini :

STRUKTUR =

(sarana-antara) =

INTERAKSI =

Gambar: Skema Strukturasi Perda TSP

Pada bagan tersebut dijelaskan dualitas antara struktur dan agensi berlangsung sebagai berikut. Dalam kontek ini sudah di jelaskan bahwasanya yang disebut struktur ialah aturan atau sumberdaya dalam hal ini yang dimaksud Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau lazimnya disebut CSR. Sedangkan yang dimaksud agensi ialah para pelaku yang terlibat dalam pertautan tersebut yakni negara, perusahaan dan civil society.

Pada proses awalnya Perda tersebut bermula pada ranah dominasi, karena pembahasan awal sebelum Perda tersebut tersebentuk ialah berada pada ruang politik dalam koridor legislatif yang membuat kebijakan tersebut yang pada pembahasan awalnya juga melibatkan dari beberapa aktor. Dan juga pada tahapan pembahasan dan pembentukan Perda tersebut terjadi juga tarik menarik sebuah kepentingan mengenai aturan yang nantinya bahwasanya Perda tersebut dibentuk sebagai aturan yang mengikat atauhanya sebagai pendorong agar terbangunya perusahaan dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri.

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang

Signifikan

(Struktur)

Legitimasi

(Struktur) Dominasi

(Struktur)

Bingkai

interpretasi fasilitas norma

Komunikas

(Agen)

Kekuasaan

(Agen)

Sangsi

(9)

memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.

Setelah terjadi tarik ulur beberapa kepentingan dalam perumusan Perda tersebut, akhirnya Perda tersebut dapat disahkan dengan sebagai sumber hukum sehingga Perda tersebut mempunyai legitimasi untuk dijalankan dan dipraktekan kepada seluruh pihak yang terlibat. Meskipun pada prakteknya legitimasi mengenai Perda tersebut masih belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap sangsi yang nanti diberikan kepada pihak perusahaan jika perusahaan tersebut tidak mentaati isi Perda untuk melaksanakan program CSR karena Perda tersebut lahir dalam proses kompromi politik.

Dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kompromi politik ialah karena masing-masing agen itu sendiri juga mempunyai kekuasaan tersendiri. Pemerintah provinsi Jawa Timur dan DPRD Jatim sebagai agen yang mewakili negara mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam membuat Perda tersebut yang nantinya harus dipatuhi bersama terutama oleh pihak-pihak yang terkait dalam hal ini ialah dunia usaha yang ada di Jawa Timur. Dan juga Perusahaan yang berposisi sebagi agen juga mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk menentukan sampai berapa lama dia akan menginvestasikan modalnya di Jawa Timur, sejauh ini bisa diamati bahwasanya jika perusahaan terbebani dengan adanya turan yang mengikat terhadap kewajiban pelaksanaan CSR maka bisa saja para investor tersebut tidak akan menginvestasikan modalnya sehingga dampak yang terjadi proses pembangunan yang ada di Jawa Timur akan mengalami masalah terutama dalam penurunan kehidupan yang layak dan meningkatnya pengangguran. Sedangkan civil society sendiri mempunyai kewenangan juga bahwasanya dalam proses pelaksanaan CSR tersebut juga melibatkan masyarakat sebagai salah satu aktor dalam partisipasi pembangunan.

Untuk itu adanya masing-masing kepentingan dan kekuasaan untuk mengakomodasi tersebut ialah dengan cara dikomunikasikan melalui Perda yang mengatur pelaksaan CSR dan secara teknis diatur dalam Tim Fasilitasi. Bentuk komunikasi yang ada dalam Tim Fasilitasi tersebut ialah mengatur bagaimana pelaksanaan program CSR itu dengan cara memberikan peta sosial wilayah Jawa Timur yang masyarakatnya sangat membutuhkan. Dengan demikian signifikansi mengenai Perda TSP tersebut ialah bisa terlaksana dengan baik dan tepat sasaran kepada masyarakat yang berada di wilayah keselurahan Jawa Timur tidak hanya terfokus pada masyarakat Ring I disekitar perusahaan. Sehingga dalam hal ini peran serta dari dunia usaha turut terlibat secara aktif dalam membantu pembangunan pemerintah provinsi di Jawa Timur.

Kesimpulan

Peraturan Daerah tersebut dikatakan sebagai sebuah produk hukum yang sangat kompromis, dikarenakan dalam Peraturan Daerah tersebut ingin mengakomodasi semua stakeholders maupun shareholders yang ada di provinsi Jawa Timur. Kompromi kepentingan tersebut bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Daerah tersebut tidak diatur mengenai prosentase laba bersih yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan program CSRnya, semuanya diberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeluarkan jumlah dana untuk program CSR.

(10)

program CSR sehingga bisa dikatakan kekuatan hukum pada Peraturan Daerah tersebut tidak mengikat. Hal ini dikarenakan bahwa nantinya Peraturan Daerah tersebut tidak menjadi beban kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Dan ketika Peraturan Daerah ini menjadi beban tersendiri bagi perusahaan maka akan ditakutkan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mau menginvestasikan dan lari dari Jawa Timur dikarenakan perusahaan sendiri sudah terbebankan dengan pajak yang berlaku.

(11)

Daftar Pustaka

Bierman, F. The emerging debate on the need for a World Environment Organization. Global Environmental Politics, 2001, 1(1).

Denzin, Norman. K & Yoanna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Doh, P. J & T. R Guay, Corporate social responsibility, public policy, and NGO activism in Europe and the United States: An institutional-stakeholder perspective. Journal of Management Studies, 2006,43(1).

Fajar, Mukti. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nsional & BUMN di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Giddens, Anthony. 1993. Sociology. Second Edition. Cambridge-UK: Polity Press

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasa-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jepperson, L.R. 1991. Institutions, institutional effects, and institutionalism. In W. W. Powell, & P. J. DiMaggio (Eds.), The new institutionalism in organizational analysis. Chicago: University of Chicago Press

Keck, M.E & K. Sikkink. 1998. Transnational advocacy networks in international politics: introduction In M. E. Keck, & K. Sikkink (Eds.), Activists beyond borders: Advocacy networks in international politics, Cornell University Press: Ithaca. Levy, L. D. Environmental management as political sustainability. Organization and

Environment, 1997, 10(2).

Levy, D. L., & Newell, P, Multinationals in global governance. In S. Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for multinationals and other stakeholders, Edward Elgar: London, 2006. Hal 56.

Prayogo, Dody. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas di Indonesia. Depok: UI-Press

Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial : Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Tiara Kencana

Sell, S. K., & Prakash, A, Using ideas strategically: The contest between business and NGO networks in intellectual property rights. International Studies Quarterly, 2004, 48(1).

Utting, P. 2000. Business responsibility for sustainable development. United Nations Research Institute for Social Development: Geneva.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa ada hubungan antara kecanduan game online dengan tingkatan emosional.12] Penyebab kecanduan atau durasi bermain

itu, untuk dapat masuk di dalam database milik penyedia layanan internet atau situs komersial akan diadapat ratusan bahkan ribuan nomor kartu kredit. 2) Nasabah akan

Berdasarkan hasil pengamatan, walaupun dilihat dari susunan elemen kerja Bachtiar memiliki lebih banyak yang harus dilakukan tetapi kesemuanya tidak memiliki

Zoning Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat dibedakan menjadi 4, yaitu: zona penerimaan, zona pengunjung, zona pengelola dan zona servis yang di tata sedemikian

Hasil yang diperoleh adalah sebuah prototype quadcopter dilengkapi dengan kamera foto yang dapat menggambil foto udara objek wisata di kota Palembang dan menghasilkan

Data Warehouse pada Perusahaan Asuransi Syariah menghasilkan sebuah analisis data yang diperlukan untuk membuat suatu data warehouse dalam perusahaan asuransi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kooperasi dan kompetisi secara parsial terhadap kinerja perusahaan, pengaruh kompetisi dan kooperasi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lempung yang diaktivasi dengan NaOH efektif sebagai katalis heterogen untuk transesterifikasi minyak sawit dengan metanol