• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hipogonad 2.1.1 Definisi

Late onset hypogonadism (LOH), juga dikenal sebagai sindrom defisiensi testosteron terkait usia atau disebut juga sebagai andropause merupakan sebuah sindrom yang terjadi pada pria akibat turunnya produksi hormon testosteron, yang sejalan dengan bertambahnya usia dan ditandai dengan gejala defisiensi testosteron.

Penurunan serum testosteron terjadi oleh karena kegagalan hipotalamus untuk mensekresikan gonadotropin releasing hormon (GnRH), dan peningkatan sensitifitas dari hipotalamus-pituitari untuk melakukan feedback negatif efek dari testosteron. Perubahan yang memperbesar kejadian hipogonad terjadi pada hipotalamus dan testis. Penuaan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada organ-organ reproduksi berupa berkurangnya ukuran dan fungsi dari ovarium, labia, rahim, penis dan testis (Klentze, 2003).

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormon dan akan mempengaruhi organ targetnya. Kadar serum testosteron pria muda yang sehat berada pada kisaran (9,8 -10,4 nmol/L) (Harman et al., 2001).

Penurunan kadar serum testosteron merupakan keadaan yang berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi secara bertahap, sehingga mengakibatkan

(2)

terjadi penurunan sekitar 1-2% per tahun (Araujo et al., 2004). Penurunan drastis dari kadar testosteron bioavailable (hingga 50%) dan testosteron bebas biasanya terjadi setelah usia 30 tahun (Kalra et al., 2010). Pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah aktif sekitar 0,8-1,6% per tahun ketika memasuki usia sekitar 40 tahun. Saat mencapai usia 70 tahun, pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah sebanyak 35% dari kadar semula (Nieschlag et al., 2005).

Temuan dari Baltimore Longitudinal Study of Aging (2006), menunjukkan bahwa 30% pria pada dekade kedelapan memiliki nilai total testosteron dalam rentang hipogonadisme (6,9-10,4 nmol/L), dan 50% memiliki nilai testosteron bebas yang rendah (0,17-0,31 nmol/L), serta diperkirakan 500.000 kasus baru LOH terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Goldenberg, 2011).

Masa andropause dapat terjadi oleh karena kegagalan testis (hipogonadisme primer), hipofisis dan kegagalan hipotalamus (hipogonadisme sekunder), serta disfungsi yang berkaitan dengan usia (umumnya kombinasi hipogonadisme primer dan sekunder). Penyebab paling umum dari hipogonadisme primer termasuk sindrom klineferter, distrofi myotonic, anorchidism bawaan, dan radiasi atau kemoterapi. Penyebab dari hipogonadisme sekunder meliputi sindrom kallman dan idiopatik hipogonadisme, tumor hipofisis termasuk prolaktoma (Bebb, 2011). Pada proses penuaan normal pria selain terjadi penurunan hormon testosteron, juga terjadi penurunan hormon-hormon lain seperti: penurunan dehydroephyandrosteron (DHEA/DHEAS), insulin growth factor (IGF) dan growth hormone (GH) (Braunstein, 2011).

(3)

Asosiasi Urologi Eropa pada tahun 2012 membagi hipogonadisme pada pria menjadi empat kelas, yakni (Indrayanto, 2011):

1) Hipogonadisme primer disebabkan oleh insufisiensi testis.

2) Hipogonadisme sekunder yang disebabkan oleh disfungsi hipotalamus-hipofisis.

3) Hipogonadisme onset lambat.

4) Hipogonadisme karena insensitivitas reseptor androgen.

American Association of Clinical Endocrinologists juga membagi keadaan hipogonadisme menjadi dua kelas, yakni hipogonadisme hipogonadotropik dan hipogonadisme hipergonadotropik.

2.1.2 Etiologi

Penurunan hormon pada hipogonad terjadi secara perlahan sehingga seringkali tidak menimbulkan gejala. Keluhan baru timbul jika ada penyebab lain yang mempercepat penurunan hormon testosteron dan hormon-hormon lainnya. Beberapa penyebab tersebut antara lain:

1) Faktor lingkungan:

a. Bersifat fisik: bahan kimia yang bersifat estrogenik yang sering digunakan dalam bidang pertanian, pabrik dan rumah tangga.

b. Bersifat psikis: suasana lingkungan yang buruk, kebisingan dan perasaan tidak nyaman.

2) Faktor organik (perubahan hormonal): disebabkan karena penyakit-penyakit tertentu seperti diabetes, varikokel, prostatitis kronis, kolesterol dan obesitas.

(4)

3) Faktor psikogenik: penyebab psikogenik sering dianggap sebagai faktor timbulnya berbagai keluhan andropause setelah terjadi penurunan hormon testosteron.

2.1.3 Fisiologi

Testosteron merupakan hormon seks steroid pria (androgen) yang terpenting, yang terbentuk dari kolesterol. Testosteron disekresikan oleh sel-sel interstitial Leydig di dalam testis. Testis mensekresi beberapa hormon kelamin pria, yang secara bersamaan disebut dengan androgen, termasuk testosteron, dehidrotestosteron dan androstenedion. Testosteron jumlahnya lebih banyak dari yang lain sehingga dapat dianggap sebagai hormon testiskuler yang terpenting (Nieschlag et al., 2010).

Androgen pada umumnya (testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion, 17-ketosteroid) sangat dibutuhkan untuk perkembangan sifat-sifat seks primer maupun sekunder (maskulinitas) pada laki-laki. Testosteron sebagian besar (95%), disekresikan oleh sel Leydig di dalam jaringan testis dan sisanya (5%) diproduksi oleh kelenjar adrenal, disamping hormon-hormon steroid yang disebutkan tadi, testis juga memproduksi androgen yang kurang poten (bersifat androgen lemah) seperti DHEA dan androstendion (Baziad, 2002 dalam Braunstein 2011).

Sel-sel Leydig selain memproduksi estradiol, juga mensekresikan (dalam jumlah yang sangat kecil) estron, pregnenolon, progesteron, 17-alfa-hidroksi-progesteron. Dehidrotestosteron dan estradiol tidak hanya disekresikan oleh sel-sel Leydig dari testis saja, tapi hormon-hormon seks steroid tersebut dapat juga dibentuk oleh prekursor androgen dan estrogen pada jaringan seperti jaringan

(5)

perifer dari kelenjar adrenal, bahkan 80% dari hormon steroid yang ditemukan dalam peredaran darah berasal dari prekursor androgen (Harman et al., 2001).

Androgen atau testosteron dalam peredaran darah pada umumnya didapatkan dalam bentuk yang terikat dengan suatu molekul protein (binding protein), dan hanya sebagian kecil saja terdapat dalam bentuk yang bebas sebagai free testosterone. Free testosterone hanya dapat ditemukan sekitar 1,6%-2% saja atau sebesar 0,47 – 2,44 ng/dl (Davison, 2006). Pada remaja sekitar 38% testosteron terikat pada protein albumin, selebihnya sebanyak 60% terikat pada globulin, sedangkan pada orang tua testosteron yang terikat dengan globulin sebesar 75% dan terikat pada albumin 23%. Testosteron yang terikat dengan globulin sangat kuat sehingga sulit lepas menjadi free testosteron berbeda dengan ikatan testosteron dengan albumin yang lemah dan mudah lepas (Guyton dan Hall, 2008).

Komponen aktif dari testosteron adalah testosteron terikat albumin dan testosteron bebas yang kemudian diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol dan oleh enzim 5α reduktase menjadi dehidrotestosteron. Free androgen index (FAI) menunjukan hubungan antara konsentrasi testosteron dengan protein pengikat androgen. Kadar normal testosteron pada pria berada pada kisaran 300ng/dl-700ng/dl, sedangkan FAI berkisar 70-100%, bila FAI < 50%, gejala-gejala andropause akan muncul (Surampudi et al., 2012).

Pada sel-sel targetnya hormon testosteron umumnya akan diubah menjadi dehidrotestosteron, namun di dalam hepar sebagian besar testosteron akan diubah menjadi berbagai macam metabolit, misalnya menjadi androsteron,

(6)

epiandrosteron dan etiokholanolon. Metabolit-metabolit tersebut setelah berkonjugasi dengan glucuronic acid akan dikeluarkan melalui urin sebagai 17-ketosteroid. Penentuan kadar 17- ketosteroid di dalam urin, perlu disadari bahwa hanya sekitar 20-30% ketosteroid urin berasal dari testosteron, sedangkan selebihnya berasal dari metabolit hormon steroid adrenal dan lainnya. Dengan demikian penentuan kadar 17- ketosteroid urin tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan kadar steroid dari testis (McCence dan Huether, 2008).

Kadar testosteron dan kadar testosteron sex hormone binding globulin (SHBG) diklasifikasikan berdasarkan usia seperti tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Kadar Testosteron Dan Kadar Testosteron SHBG Kadar testosteron Kadar testosteron SHBG

Usia ng/dl Usia nmol/l

20 - 39 400 - 1080 13 -15 13 - 63 40 - 59 350 - 890 16 - 18 13 -71

>50 350 - 720 >19 11 - 54

(Guyton dan Hall, 2008). Penurunan kadar hormon testosteron pada pria menimbulkan beberapa gejala dan keluhan pada berbagai aspek kehidupan, antara lain :

1) Ganguan vasomotor

Tubuh terasa panas, berkeringat, insomnia, rasa gelisah dan takut terhadap perubahan yang terjadi.

2) Gangguan fungsi kognitif dan suasana hati (psikis)

Mudah lelah, menurunnya konsentrasi, keluhan depresi, dan hilangnya rasa percaya diri, menurunnya motivasi dan inisiatif terhadap berbagai hal.

(7)

3) Gangguan virilitas

Menurunnya energi dan tenaga secara signifikan, menurunnya kekuatan dan massa otot, perubahan pertumbuhan rambut dan kualitas kulit, penumpukan lemak pada daerah abdominal, osteoporosis karena berkurangnya densitas tulang serta fraktur tulang yang meningkat.

4) Gangguan seksual

Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktivitas seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi spontan, berkurangnya kemampuan ejakulasi, mengecilnya testis dan menurunnya volume ejakulasi, menurunnya libido yang berimbas pada menurunnya minat terhadap aktivitas seksual (Guyton dan Hall, 2008). 2.1.4 Penatalaksanaan pada hipogonad

Penatalaksanaan terutama ditujukan agar dapat mengurangi keluhan maupun masalah saat memasuki usia tua. Pada tahap pencegahan, memperbaiki faktor psikologis yang terganggu mempunyai arti penting dalam mempertahankan kesehatan secara umum. Selain faktor psikologis, pria juga perlu menjaga kebugaran jasmani dan menerapkan pola hidup sehat (Wibowo, 2003).

Tujuan penanganan hipogonad yaitu untuk menormalisasikan level serum testosteron dan memperbaiki simptom atau keadaan patologis yang dapat dialami oleh karena defisiensi testosteron. Pengobatan utama hipogonad saat ini adalah pemberian androgen replacement therapy, walaupun hormon yang menurun pada hipogonad terdiri dari bermacam-macam hormon, namun pemberian hormon-hormon multiple saat ini belum lazim dilakukan dan dalam tahap penelitian.

(8)

Terapi pengganti yang saat ini hanya dapat diberikan khususnya pada pria hipogonad adalah pemberian hormon testosteron, pemberian terapi perlu dilakukan dengan hati-hati dan konsentrasi testosteron perlu tetap dikontrol mengikuti terapi testosteron, serta tetap memperhatikan kontraindikasi sebelum pemberian terapi (Dandona et al., 2009).

2.1.5 Syarat pemberian testosterone replacement therapy

Syarat pemberian suntikan hormon testosteron menurut FDA, khususnya pada pria harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Pria dewasa dengan keadaan defisiensi atau hilangnya endogenous testosteron, seperti keadaan hipogonad primer dan sekunder, maupun hypogonadotropic hypogonad.

2) Terdapat tanda dan gejala hipogonadisme karena penuaan (menggunakan kuisioner ADAM) disertai dengan catatan level testosteron yang rendah. 3) Terkait dengan fungsi seksual (menggunakan domain IIEF-15).

4) Harus dievaluasi dulu penyakit yang menyertai, faktor kausatif, kejadian akut dan medikasi yang potensial menyebabkan penurunan testosteron. 5) Terdapat indikasi seperti peningkatan komposisi tubuh, penurunan minat

seksual, insomnia, sleep apnea, penurunan densitas tulang dan massa otot, kerontokan rambut, hilangnya mood dan perasaan depresi.

6) Kontraindikasi seperti kanker prostat dan kanker payudara.

7) Dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan bentuk tubuh (genekomastia dan lemak viseral), tekanan darah, rambut, kulit dan pemeriksaan genital seperti: ereksi penis (skor 1-4), jika skor yang didapat

(9)

pada pria 1-3 maka pria tersebut mengalami disfungsi ereksi dan pemeriksaan testis menggunakan orchidometer.

8) Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan hormon testosteron (di bawah 300 ng/dl), LH dan FSH, lipid, insulin, kardiovaskuler dan glukosa. 9) Preparat testosterone replacement therapy yang digunakan sesuai kebutuhan

dan pemberian dengan dosis yang tepat serta sesuai dengan demografi penderita dan catatan klinis sebelumnya (jika ada).

10) Evaluasi, follow up dan monitoring selama pemberiannya (Anonim, 2015).

2.2 Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) 2.3.1 Karakteristik tikus

Tikus yang digunakan untuk penelitian di laboratorium terdiri dari beberapa galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley, yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya, dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium. Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan dalam jumlah yang cukup besar (Kusumawati, 2004). Tikus putih (Rattus norvegicus) berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat.

Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan dan dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, jika dipegang dengan cara yang benar tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit,

(10)

tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan pada tikus lebih menguntungkan.

Tabel 2.2 Data Biologis Tikus

Karakteristik Ukuran

Berat badan

Jantan : 300 - 400 gram Betina : 250 – 300 gram

Berat lahir : 5 - 6 gram Lama hidup : 2,5 – 3 tahun Temperatur tubuh : 35,9 – 37,5 oC

Kebutuhan air : 8 – 11 ml/100gBB Kebutuhan makan : 5 g/100gBB Frekuensi jantung : 330 – 480 per menit Frekuensi respirasi : 66 – 114 per menit Tidal volume : 0,6 – 1,25 ml Pubertas : 50 – 60 hari Dewasa : 160 – 180 hari Saat dikawinkan Jantan : 65 – 110 hari Betina : 65 – 110 hari Lama siklus birahi : 4 – 5 hari Lama bunting : 21 -23 hari Jumlah anak perkelahiran : 6 – 12 hari Umur sapih : 21 hari

(Kusumawati, 2004). 2.3.2 Sistem reproduksi pada hewan mamalia

1) Definisi

Sistem reproduksi pada mamalia hampir sama dengan manusia yang merupakan sistem yang menjalankan proses reproduksi yakni proses biologis, merupakan proses untuk memproduksi organisme baru yang bertujuan untuk mempertahankan diri, dan terdiri atas alat-alat reproduksi yang mendukung kegiatan reproduksi dan seksual pada hewan disamping alat-alat tubuh lainnya. Organ genital pada suatu mahluk hidup merupakan kelengkapan alat reproduksi yang berfungsi untuk berkembangbiak dan memperoleh keturunan.

(11)

Organ kelamin jantan dan organ kelamin betina berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Reproduksi pada tikus jantan diiringi oleh turunnya testis ke skrotum dan diikuti dengan mulainya spermatogenesis. Sekresi GnRH menghasilkan level sekresi testosteron yang meningkat selama pubertas. Luteinizing Hormone (LH) menstimulasi sel Leydig untuk meningkatkan produksi testosteron. Sistem reproduksi pada hewan terdiri atas organ reproduksi (penis, testis dan skrotum, epididimis), saluran reproduksi (vas deferens dan uretra), dan kelenjar seks aksesori (Syamsuharlin, 2011).

Pada mamalia jantan, organ reproduksi utama berupa sepasang testis yang terdapat di dalam skrotum. Saluran reproduksi pada mamalia jantan berfungsi sebagai jalur transportasi sperma (cairan seminal). Testis sebagai organ reproduksi utama memiliki fungsi ganda, yaitu selain untuk menghasilkan gamet (spermatozoa) juga mampu menghasilkan hormon seks pria terutama testosteron (Nuraini, 2014).

Gambar 2.1

(12)

2) Kelenjar prostat

a. Anatomi kelenjar prostat

Kelenjar prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di bawah buli-buli (kandung kemih), di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Kelenjar ini lebih dikenal daripada kelenjar vesikula seminalis. Prostat Terdiri dari dua bagian yaitu badan prostat dan prostat cryptik. Bagian badan prostat terdapat di belakang ampula dekat di atas uretra pars pelvis, sehingga disebut corpus prostat. Badan prostat berukuran lebar 2,5-4,0 cm dan tebal 1,0-1,5 cm. Bagian prostat yang cryptik disebut pars disseminata, yang mengelilingi uretra pars pelvis. Di bagian dorsal ukurannya mencapai tebal 1,0-1,5 cm, panjang 10-12 cm dan tertutup oleh otot uretra (Herliyani, 2009).

Kelenjar prostat berbentuk lonjong seperti biji kenari, beratnya kurang lebih 20 gram yang mengelilingi uretra, disusun oleh 30-50 kelenjar tubula alveolar/glandular bersama otot polos dan keseluruhan kelenjar dibungkus oleh kapsul yang terdiri atas jaringan ikat. Kelenjar prostat mempunyai rangkaian duktus pendek yang secara langsung disambungkan ke uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Otot polos tersebut digunakan untuk melengkapi tenaga yang dibutuhkan untuk ejakulasi.

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat berhubungan dengan kandung kemih, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal

(13)

berbatas pada ampulla recti (Sjamsuhidajat et al., 2010). Anatomi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2

Anatomi Kelenjar Prostat Tikus (Shen dan Robert, 1997 dalam Kinblom, 2003). Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas, biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas deferens dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafrgama tersebut, dan dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera serta prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Kinblom, 2003).

Kelenjar prostat mengandung banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos, disamping mengandung jaringan kelenjar. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena (Sjamsuhidajat et al,. 2010). Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesciralis inferior dan arteria rectalis media. Vena-vena bergabung

(14)

membentuk plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibroda dan sarung prostat, dan ditampung oleh vena iliaka interna (Moore et al., 2002). b. Histologi kelenjar prostat

Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromaskular (Kumar et al., 2007). Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromaskuler anterior dan zona periurethra. Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terjadi pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Junqueira, 2007).

Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis bersama dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas. Struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron seperti pada organ reproduksi lainnya (Janqueira dan Carneiro, 2007).

(15)

Histologi kelenjar prostat ditunjukan pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.3

Histologi Kelenjar Prostat Pada Tikus (Conti et al., 2005). c. Fisiologi kelenjar prostat

Kelenjar prostat mensekresikan cairan encer, seperti susu yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Sekresi kedua bagian ini melalui beberapa muara kecil masuk ke dalam uretra. Sekresinya juga banyak mengandung ion anorganik (Na, Cl, Ca, Mg) (Syamsuharlin, 2011). Selama pengisian, otot-otot kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairannya bersifat encer, yang dikeluarkan untuk menambah jumlah cairan seminal yang penting ketika ejakulasi. Sifat cairan prostat yang sedikat basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, sebagai akibatnya akan menghambat fertilisasi sperma.

Sekret vagina bersifat asam (pH 3,5 – 4) sehingga menyebabkan sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6-6,5,

(16)

cairan prostat yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton dan Hall, 2008).

2.3 Reseptor Androgen (AR/androgen receptor) Pada Tikus

Reseptor androgen juga dikenal sebagai nuclear receptor subfamily type dari nuclear receptor yang diaktivasi oleh ikatan dengan ligan dan menginduksi faktor transkripsi, yang juga termasuk reseptor untuk hormon steroid pada hewan mamalia seperti glucocorticoid receptor (GR), mineralcorticoid receptor (MR), progesterone receptor (PR), estrogen receptor (ER) dan androgen receptor (AR) (Marilia et al., 2009).

Analisis struktural dari cDNAs pada hAR (human androgen receptor) dan rAR (rat androgen receptor) mengindikasikan bahwa region dari amino terminal pada AR kaya akan oligo dan poli (amino acid), yang merupakan struktur dari beberapa gen homeotik. Reseptor androgen pada tikus mempunyai lengan atau untaian basa yang kaya akan glutamin, dan terdapat kesamaan sequence antara AR dan GR, PR dan MR dalam domain steroid-binding.

Pada proses hibridasi molekuler cDNA AR digunakan sebagai promotor yang nantinya akan membentuk mRNA AR dalam proses transkripsi. Translasi dari mRNA mengandung 94 dan 76 kDa protein dan bentuk yang lebih kecil pada ikatan DNA serta mempunyai afinitas yang tinggi terhadap androgen, mengindikasikan bahwa organ aksesori genital pria ataupun hewan jantan kaya akan mRNA AR, dan produksi mRNA AR pada organ target terjadi karena mekanisme autoregulasi oleh androgen (Chang et al., 2008).

(17)

Gambar 2.4

Analisis Struktur cDNA Dari AR pada Tikus (Chang et al., 2008).

Reseptor androgen bekerja secara bebas yang berinteraksi dan berikatan dengan DNA melalui protein sinyal transduksi di sitoplasma. Reseptor androgen dapat menyebabkan perubahan yang cepat pada fungsi sel yang bebas dari perubahan di gen transkripsi seperti perubahan pada ion transport (Arun et al., 2001).

Fungsi AR sebagai DNA-binding dari faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen, yang mana jika diberikan testosteron akan masuk ke dalam sel yang sebelumnya telah diubah menjadi DHT, kemudian berikatan dengan reseptornya membentuk kompleks androgen-AR. Setelah pengikatan dengan steroid atau ligannya, AR mengalami perubahan bentuk dan pengeluaran heat shock protein (HSP), sehingga AR menjadi aktif (Davison, 2006). Ikatan androgen dan reseptornya yang terjadi di dalam sel kemungkinan merupakan ikatan spesifik

(18)

pada sequence yang dekat dengan promotor dari gen target yang diaktivasi, dan akan menghasilkan modulasi dari inisiasi transkripsi (Arun et al., 2001).

Pada ketiadaan hormon, AR dihubungkan dengan seluler chaperons seperti HSP dan protein lainnya yang berlokasi di sitoplasma dari sel target. Pada saat tersedianya hormon maka hormon yang berdifusi ke dalam sel, akan berikatan dengan reseptor dan menghasilkan perubahan pada AR yang inaktif yaitu perubahan bentuk reseptor dan peristiwa pelepasan hubungan antara reseptor dan HSP, selanjutnya AR menjadi aktif. Kompleks androgen bersama reseptornya yang telah terbentuk tersebut kemudian mengalami dimerisasi, phosphorylation dan selanjutnya translokasi ke dalam nukleus dan berikatan pada sequence DNA target (hormone response element/HRE). Di dalam nukleus, interaksi AR dengan coactivators dan enzim dari kromatin menyebabkan munculnya faktor general transkripsi pada bentuk preinisiasi dan gen target transkripsi (Weigel dan Zhang, 2008), yang dapat ditunjukan pada gambar berikut ini:

Gambar 2.5

(19)

Reseptor hormon steroid coactivators (SRCs) menunjukan pertumbuhan protein pada interaksinya dengan reseptor pada ligan-spesifik dan menjalani aktivitas transkripsi (Khan et al., 2005). Coactivators memiliki aktivitas enzimatik, seperti histone acetyltransferase, histone methyltransferase, ubiquitin-conjugation dan ubiquitin-protein ligase (Nawaz et al., 2000 dalam Khan et al., 2005).

Fungsi coactivator’s in vivo dimanifestasi oleh aktivitas enzimatik yang berkumpul pada region dari gen target. Kemampuan dari peningkatan reseptor dimediasi oleh ekspresi gen, coactivators memainkan peran penting dalam meregulasi besarnya respon biologis dari hormon steroid. Level dari ekspresi coactivator merupakan faktor penentu dari aktivitas reseptor pada jaringan target dan berbagai macam respon hormon yang dapat dilihat diantara individu dalam populasi (Khan et al., 2005).

Reseptor androgen berinteraksi dengan protein lain di dalam nukleus, menghasilkan up atau down regulation dari gen spesifik transkripsi. Aktivasi atau up regulasi transkripsi menghasilkan peningkatan sintesis mRNA yang diaktifkan dan ditranslasi oleh ribosom, untuk memproduksi protein spesifik yang berguna untuk pertumbuhan sel (Davison, 2006), sehingga kecepatan pertambahan jumlah sel (efek non-genomic) juga dikaitkan dengan aktivasi AR oleh karena androgen (Haelens et al., 2007). Semua AR ikut serta dalam proses transkripsi yang mengkode modular protein dari 919 asam amino yang timbul pada permukaan molekul dengan berat 110 kD (Lubhan et al., 2000 dalam Marilia et al., 2009).

(20)

Perbedaan spesies termasuk pada manusia, tikus, hamster membuktikan bahwa region promotor dari gen AR khususnya pada manusia dan tikus mengalami kekurangan sequence yang khas seperti TATA dan CAAT, yang merupakan model urutan basa dari 5’ UTR tapi kaya dengan region GC yang penting untuk cis-acting element untuk AR gen transkripsi, dan diduga merupakan tempat yang aktif untuk mengikat faktor transkripsi dari gen sex limited protein (Slp) yang merupakan karakteristik suatu promotor (Wolf et al., 2003).

Perbedaan antara subfamilies dari tipe reseptor nuklear, ditunjukan pada perbedaan mekanisme dari kumpulan sel dan regulasi dari promotor spesifik pada ekspresi gen, termasuk reseptor heterodimerization, jarak variabel yaitu antara HRE dan HRE site (Zechel et al., 2004 dalam Ikonen et al., 2007). Mekanisme ini tidak digunakan oleh PR, GR, MR dan AR, hal tersebut dikarenakan bahwa variabelnya tinggi pada region N-terminal yang mampu merespon sel dan regulasi dari steroid spesifik pada gen target. Gagasan tersebut mendukung pernyataan bahwa induksi dari ekspresi Slp pada tikus dimediasi oleh region N-terminal dari AR (Pearce & Yamamoto, 2003 dalamIkonen et al., 2007).

Delesi N-terminal identik pada wild-type rAR dan struktur rAR yang aktif (AR domain 641–902) tanpa ligand-binding domain (LBD), yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi transkripsi yaitu delesi dari residu 149–295 yang dihilangkan dari aktivitas wild-type AR, merupakan aktivitas dari transaktivasi domain N-terminal dan dikontrol oleh hormon yang bertindak sebagai LBD. Keadaan tersebut memberi kesan bahwa terdapat interaksi yang kuat dari androgen-dependent antara region N-terminal dan LBD (Ikonen et al., 2007).

(21)

Ekspresi dan regulasi dari gen hAR dan rAR diobservasi pada sel lines hewan, dan dapat dipastikan bahwa ekspresi RNA AR diregulasi oleh adanya androgen (Keller et al., 2006). Ekspresi relatif mRNA AR pada beberapa jaringan dari tikus yang dianalisis menggunakan realtime PCR.

Tabel 2.3

Ekspresi Relatif mRNA AR Pada Beberapa Organ Tikus Jantan

Organ Ekspresi mRNA AR

Hipotalamus 42 Kelenjar adrenal 141 Epididimis 115 Kelenjar tiroid 68 Kelenjar pituitari 56 Kelenjar preputial 44

Otot levator ani 30

Ginjal 27 Kelenjar prostat 25 Vesikula seminalis 25 Testis 20 Liver 18 Otot bulbocavernosus 16 Hati 8 Kelenjar submaksilaris 17

(Young et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Data tersebut digunakan sebagai gambaran persentasi dari mRNA AR relatif pada level mRNA AR dari organ reproduksi tikus jantan termasuk pada prostat. Ekspresi AR berubah selama perkembangan fetal, perkembangan seks sekunder, penuaan dan keganasan. Regulasi dari level AR dapat terjadi kapanpun sepanjang gen AR mengalami proses transkripsi selanjutnya post-translasi. Faktor yang mempengaruhi termasuk androgen yang melibatkan modulasi dari AR protein dari ekspresi mRNA (Keller et al., 2006).

Pada perkembangan fetal tikus, mRNA AR tidak ditemukan pada urogenital pada 13,5 hari gestasi sedangkan pada 15,5 hari gestasi mRNA AR dan protein

(22)

dapat ditemukan (Takeda et al., 2001). Pada tikus neonatal, setelah 3 hari kastrasi tidak menghasilkan perubahan ekspresi AR pada prostat tikus (Husmann et al., 2001 dalam Keller et al., 2006). Temuan ini memberi kesan bahwa terjadi satu atau lebih perkembangan dari faktor regulasi yang mempengaruhi ekspresi. Peningkatan usia menimbulkan penurunan ekspresi AR pada tikus yang dikaitkan dengan ekspresi age dependent factor (ADF) yang diekspresikan pada semua jaringan.

Age Dependent Factor berikatan dengan fragmen rAR antara fragmen -310 sampai -330. Ikatan ADF pada promotor rAR secara in vitro menunjukan penurunan yang tergantung pada usia, ketika ADF berikatan pada tempatnya dikatakan telah terjadi mutasi sehingga menurunkan aktivitas promotor dari rAR. Beberapa faktor seperti androgen dilaporkan dapat memodifikasi ekspresi AR, yaitu terjadi penurunan ekspresi mRNA AR pada ventral prostat tikus, line kanker prostat (LNCap) dan line hepatoma sel (Shan et al., 2000 dalam Keller et al., 2006). Bagaimanapun temuan ini masih kontroversial karena up-regulation AR oleh karena androgen ditunjukan pada prostat tikus (Takeda et al., 2001), pada fibroblas genital, otot polos penis dan sel prekursor adiposa (Pergola et al., 2000 dalam Keller et al., 2006).

Menurut Mozokami et al. (2002), terjadi down-regulation dari mRNA AR oleh karena androgen pada line kanker prostat yang dikaitkan dengan peningkatan ekspresi AR protein, memberi kesan bahwa AR protein up-regulation oleh karena androgen dihasilkan dari sejak terjadinya stabilitas AR protein. Pemberian androgen menyebabkan beberapa hormon dan faktor pertumbuhan dapat

(23)

meregulasi ekspresi AR, seperti FSH meningkatkan level mRNA AR pada sel Sertoli. Growth Hormone, prolaktin dan ephitelial growth factor (EGF) meningkatkan mRNA AR pada sel prostatik (Mizokami et al., 2002 dalam Keller et al., 2006).

Ekspresi AR dapat dimodifikasi oleh karena variasi beberapa faktor yang muncul yang bekerja bersama androgen pada jaringan dan model sel spesifik. Meskipun androgen mengawali modulator dari perkembangan dan pemeliharaan pada struktur fenotif pria dan fungsi reproduksi, namun mekanisme molekuler yang mendasari regulasi AR secara in vivo dan mekanisme kerjanya kurang diketahui secara pasti terutama pada jaringan reproduksi (Wolf et al., 2003).

2.4 Messenger Ribonucleid Acid (mRNA)

Molekul RNA sitoplasmik yang berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein (memindahkan informasi genetik dari DNA ke perangkat pembentuk protein) disebut dengan RNA pembawa atau messenger RNA. Kelas RNA pembawa ini adalah yang paling heterogen dari segi jumlah, ukuran dan stabilitas. Mekanisme transkripsi maupun pascatranskripsi ikut berperan dalam kandungan mRNA yang sangat bervariasi (Heredia dan Jansen, 2003).

Pada proses ekspresi gen, mRNAs secara stabil diterjemahkan dari DNA dan akan ditranslasi oleh ribosom ke dalam protein. Jumlah keduanya dan tipe protein diekspresikan dalam sel yang penting untuk pertahanan hidup dan respon kapasitasnya oleh karena perubahan lingkungan. Regulasi transkripsi merupakan

(24)

mekanisme dasar yang mengontrol level ekspresi dari protein (Denake et al., 2013).

Lokasi mRNA tersebar luas saat mekanisme post-transcription untuk target sintesis protein pada tempat seluler spesifik, ini terkait pada generasi sel dengan muatan kutub yang berlawanan, terjadi pemisahan yang berbeda pada sel yang penting dan spesifikasi dari sel germinal. Aktin dan filamen mikrotubul memiliki fungsi penting selama lokalisasi RNA, khususnya selama transport dari mRNAs dan mempengaruhi targetnya. Pergerakan dan sistem filamen dihasilkan melalui perpindahan mRNA dan dari purifikasi lokalisasi dari ribonucleoprotein, serta ditemukan juga jalur dari sentrosom pada lokalisasi RNA (Kloc et al., 2002 dalam Heridia dan Jansen, 2003).

Pada sel mamalia termasuk sel manusia, molekul mRNA yang terdapat di sitoplasma bukan merupakan produk RNA yang disintesis langsung dari cetakan DNA, tetapi harus dibentuk oleh pemrosesan pre-mRNA sebelum masuk ke sitoplasma. Pada inti sel mamalia, produk langsung transkripsi gen (transkrip primer yaitu pre-mRNA) sangat heterogen dan bisa 10 hingga 50 kali lebih panjang daripada molekul mRNA matur. Molekul pre-mRNA diolah untuk membentuk molekul mRNA yang kemudian masuk ke dalam sitoplasma dan berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis protein. Messanger RNA memiliki usia hidup yang sangat beragam dalam sebuah sel. Molekul RNA yang disintesis dalam sel mamalia merupakan molekul prekursor yang masih harus menjalani pemrosesan agar menjadi RNA matur yang aktif (Murray et al., 2014).

(25)

Pada sel mamalia, kelimpahan mRNA bervariasi hingga kelipatan 104, yang mana keseluruhan dari anggota kelas ini berfungsi sebagai pembawa yang menyampaikan informasi dalam suatu gen ke perangkat pembentuk protein. Masing-masing mRNA berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk polimer asam amino dengan sekuens spesifik, sehingga membentuk molekul protein spesifik yaitu produk akhir suatu gen (Denake et al., 2013).

2.5 Reseptor Androgen Pada Kelenjar Prostat

Secara ultrastruktur, kelenjar aksesori terdiri dari sel epitelium dengan morfologi sel glandular yang mensekresikan protein. Pertumbuhan epitelium dipengaruhi oleh hormon androgen tertentu yakni DHT. Hormon tersebut diperoleh dari konversi testoteron dan androgen adrenal yang memasuki sel sekretorik epithelium glandular.

Dehidrotestosteron memilliki aktivitas 30 kali lebih kuat dari testosteron, ikatan DHT dengan AR akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor menuju nukleus yang akhirnya mempengaruhi transkripsi gen, yang menstimulasi pertumbuhan normal epitelium khususnya pada prostat, serta dapat memicu pertumbuhan sel yang abnormal seperti benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat berkembang menjadi kanker prostat, terutama jika sebelumnya terdapat riwayat dari kanker prostat (Fernandez et al., 2005). Oleh karena itu, androgen dapat mempengaruhi perkembangan dari kelenjar prostat melalui reseptor protein intraseluler yaitu reseptor androgen (Marker et al., 2003 dalam Khan et al., 2005).

(26)

Penyediaan androgen merupakan syarat untuk mendorong pertumbuhan kelenjar prostat dan untuk menjaga ukuran yang tetap stabil. Meskipun testosteron merupakan androgen yang lazim beredar dalam darah, DHT adalah androgen yang paling aktif terlibat dalam regulasi kelenjar prostat. Konversi testosteron menjadi metabolit aktifnya dicapai melalui aktivitas 5α-reduktase, yang terjadi dalam dua isozim, tipe I dan tipe II. Sementara jenis II didominasi oleh sel-sel prostat, tipe I oleh jaringan lain, seperti kulit dan hati. Kekurangan tipe II sangat menghambat pengembangan kelenjar prostat pada manusia dan yang lebih rendah pada tikus (Mahendroo et al., 2001).

Reseptor androgen bertindak sebagai faktor transkripsi dimana fungsinya untuk pengikatan DNA dan mengatur ekspresi gen. Ekspresi mRNA AR secara signifikan terdeteksi pada sel kanker payudara, liver, sel line prostat, terdapat banyak pada permukaan fibroblas genital, ventral prostat dan pada line kanker prostat, ekspresi dari mRNA AR tersebut diregulasi oleh adanya androgen (Culig, 2004).

Respon androgen terlibat dalam banyak kegiatan seluler yang berkisar dari proliferasi menuju ke kematian sel yang terprogram. Ekspresi AR telah terbukti terkait dengan proliferasi sel dan berkontribusi terhadap perkembangan kanker prostat. Hasil ini menunjukkan dengan jelas pentingnya tingkat ekspresi AR dalam mengatur tingkat pertumbuhan kelenjar prostat terutama pada penuaan (Shidaifat, 2009), dan lokasi AR diketahui paling banyak terletak pada sel basal dari epitelium ventral prostat tikus (Soeffing, 2005).

(27)

Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan menginduksi respon fisiologis pada beberapa variasi dari organisme eukariotik. Kerja hormon tersebut timbul jika berikatan dengan hormon steroid spesifik yang memiliki afinitas yang tinggi dengan reseptor protein pada sel-sel target, dan interaksi dari kompleks reseptor hormon steroid dengan elemen regulator pada gen spesifik (Yamamoto, 2005 dalam Chang et al., 2008).

Reseptor androgen ditemukan pada beberapa organ yang sensitif terhadap androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebaceus dan preputial, otot levator ani dan beberapa tumor yang sensitif terhadap androgen. Beberapa abnormalitas dari respon androgenik kemungkinan terjadi karena adanya mutasi dari gen AR (Bardin et al., 2003 dalam Chang et al., 2008). Reseptor androgen merupakan ligand-activated dari faktor transkripsi yang memediasi sinyal dari semua androgen. Ketika diaktivasi oleh androgen, AR akan berikatan pada respon elemen pada promotor gen target, termasuk protein penyandi yang terkait dengan proses mitosis, diferensiasi dan apoptosis pada prostat (Verrijdt et al., 2003).

Mekanisme aktivasi dari gen target oleh reseptor nuklear diidentifikasi oleh banyak protein coactivator, selanjutnya protein tersebut membentuk ikatan bersama agar dapat mengaktivasi reseptor ligand-dependent atau reseptor yang sebelumnya telah membentuk kompleks androgen-AR, dan juga meningkatkan kemampuan untuk mengaktivasi gen target (Bevan & Parker 1999 dalam Chang et

(28)

2.6 Hormon Testosteron 2.6.1 Pada manusia

Kata ”hormon” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti membangkitkan untuk beraktivitas. Sesuai dengan definisi klasiknya, hormon adalah suatu zat yang disintesis dari satu organ dan diangkut oleh sistem sirkulasi untuk bekerja di jaringan lain. Hormon juga dapat bekerja pada sel-sel disekitarnya (kerja parakrin) dan pada sel tempat hormon tersebut berasal (kerja autokrin) tanpa harus masuk ke sirkulasi sistemik.

Telah berkembang beragam hormon, masing-masing dengan mekanisme kerja dan biosintesis, penyimpanan, sekresi, pengangkutan serta metabolisme tersendiri untuk menghasilkan respon homeostasis (Guyton dan Hall, 2008). Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol dengan nama sistemik (memakai sistem IUPAC) yaitu: 17-hydroxy-10,13- dimethyl 1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17 dodecahydrocyclopenta [a] phenanthren-3-one (Braunstein, 2011).

Gambar 2.6

Struktur Kimia Hormon Testosteron (Braunstein, 2011).

Hormon disintesis pada organ-organ yang disusun untuk tujuan spesifik, misalnya tiroid menghasilkan hormon triodotironin, adrenal menghasilkan

(29)

hormon glikokortikoid dan mineralokotikoid serta hipofisis menghasilkan hormon TSH, FSH, LH, ACTH, GH dan Prolaktin. Sebagian organ disusun untuk melakukan dua atau beberapa fungsi yang berbeda tetapi tetap berkaitan erat, misalnya ovarium yang menghasilkan oosit matang dan hormon reproduktif estradiol dan progesteron. Testis menghasilkan spermatozoa matang dan testosteron (Nieschlag et al., 2010).

Regulasi hormonal diawali dengan proses pada poros hipotalamus-hipofise-gonad pada pria sebagai fungsi dari testiskuler dan efek dari androgen. Pada pria muda regulasi poros tersebut merupakan proses sirkulasi yang akan menghasilkan konsentrasi testosteron (Belanger et al., 2013). Generator pulsasi hipotalamus akan mensekresikan GnRH kira-kira setiap 90 menit. Gonadotropin releasing hormone yang disekresikan dalam sirkulasi portal hipotalamus-pituitari, kemudian menstimulasi sekresi dari kelenjar pituitari anterior seperti luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) ke dalam sirkulasi sistemik.

Luteinizing hormone mencapai testis dan menimbulkan keadaan tonik dan episodik pada sel Leydig yang berlokasi antara tubulus seminiferus untuk mensintesis dan mensekresikan testosteron, namun tetap di bawah kontrol dari LH (Borst dan Mulligan, 2007). Setelah sekresi oleh testis, sekitar 97% dari testosteron berikatan dengan plasma albumin atau yang lebih kuat berikatan dengan beta globulin yang dikenal sebagai SHBG, dan yang beredar dalam sirkulasi darah yaitu free testosterone atau bentuk yang tidak berikatan (Ullah et al., 2014). Bioavailable testosteron bekerja pada jaringan multi target dan dalam mekanisme regulasi pada poros Hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG).

(30)

Konsentrasi serum testosteron diperlihatkan pada ritme sirkadian dan ultradian. Ritme sirkadian menghasilkan konsentrasi serum testosteron yang puncaknya selama pagi hari, sedangkan ritme ultradian merupakan siklus konsentrasi serum testosteron yang berfluktuasi sekitar 90 menit. Ritme ultradian ini mewakili keseluruhan dari pola sekresi testosteron pada sekresi basal atau tonik.

Pada dewasa muda, berlangsung dua peristiwa yaitu yang pertama, stimulasi GnRH yang menstimulasi LH untuk menskresikan testosteron dan yang kedua yaitu free atau bioavailable testosteron menghambat poros HPG, yang ditunjukan pada penurunan GnRH dan LH/FSH dari hipotalamus dan pituitari anterior (Nieschlag et al., 2010). Komponen dari poros HPG mempertahankan konsentrasi serum total testosteron dalam keadaan normal dengan range antara 450–1,000 ng/dL, dan konsentrasi serum total testosteron untuk dewasa muda yang sehat sekitar 650 ng/dL (Borst dan Mulligan, 2007).

Testosteron penting untuk perkembangan dan pemeliharaan dari beberapa organ dan fungsi fisiologi pria. Hormon steroid memberikan efek seumur hidup terutama pada pria (Ullah et al., 2014). Perkembangan sel Leydig saat masa fetus terjadi pada minggu ke tujuh yang merupakan awal mula produksi testosteron. Testosteron berguna untuk diferensiasi dari traktus genitalis pada fetal seperti pada epididimis, vesikula seminalis, dan vas deferens. Genetalia eksternal pria mulai berkembang sekitar minggu ke delapan pada fetal. Testosteron mulai memberikan efek pada perkembangan dari karakteristik seks sekunder pada masa pubertas, selain itu testosteron juga berfungsi untuk memelihara komposisi tubuh

(31)

termasuk massa otot, massa tulang, spermatogenesis, libido, sensitivitas insulin, metabolisme glukosa dan lain-lain (Ullah et al., 2014).

Tabel 2.4

Kadar Hormon Normal Pada Laki-Laki Dewasa

Hormon Besar normal

Total testosteron 260-1000 ng/dl (9,0 – 34,7 nmol/L) Free testosterone 50 – 210 pg/ml (173 – 729 Pmol/L) Dehidrotestosteron 27 – 75 ng/dL (0,9 – 2,6 nmol/L) Androstenedion 50 – 250 ng/dL (1,7 – 8,5 nmol/L) Estradiol 10-50 pg/ml (3,67 – 18,35 Pmol/L)

(Braunstein et al., 2011). Nilai normal kadar testosteron total pada laki-laki bervariasi antara 241 sampai 827 ng/dl, bila terjadi penurunan kadar testosteron di bawah 500 ng/dl, sudah menimbulkan gejala defisiensi (Ryan, 2007). Serum testosteron pada pria hipogonadisme setiap individu dapat bervariasi antara 6,9 nmol/L dan 10,4 nmol/L (Goldenberg, 2011).

Testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh, disamping efeknya pada gametogenesis. Testosteron juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan rambut, metabolisme tulang, massa dan distribusi otot, membantu dalam regulasi pertumbuhan dan memelihara karakteristik seks sekunder dan fungsi organ reproduksi pria seperti penis, testis dan kelenjar aksesori (Nieschlag et al., 2008; Belanger et al., 2013). Pengaruh testosteron pada perkembangan sifat kelamin primer dan sekunder pada pria dewasa antara lain: 1) Perkembangan dan pembesaran alat kelamin laki-laki (penis) yang mulai

nampak jelas pada usia 10-11 tahun (pubertas).

2) Perkembangan dan pembentukan lekuk-lekuk kulit skrotum dan pigmentasi kulit skrotum.

(32)

3) Perkembangan dan pembesaran volume testis dan kelenjar-kelenjar seks aksesori.

Efek dan fungsi testosteron pada jaringan spesifik terutama ketika masa pubertas yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi laki-laki. Pengaruh dari sekresi testosteron yaitu terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula seksual aksesori dan pembesaran penis serta skrotum (Indrayanto, 2011).

Androgen penting khususnya untuk perkembangan, pertumbuhan dan fungsi prostatik. Diketahui efek testosteron bersifat jangka panjang dan menyebar ke dalam sepanjang prostat dengan konsentrasi yang tinggi. Jaringan prostat memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan DHT daripada testosteron. Dihydrotestosterone secara intrinsik dua kali potensial untuk menstimulasi pertumbuhan prostat. Dihydrotestosterone berikatan dengan AR pada sel prostatik dan berpengaruh pada leading gene untuk pertumbuhan prostat dan produksi PSA. Ukuran kelenjar prostat muncul sebagai benih sebelum pubertas, tapi kelenjar tersebut tumbuh dengan cepat dan distimulasi androgen pada saat dewasa (Wilczynski dan Agrawal, 2015).

2.6.2 Pada hewan mamalia

Kadar testosteron normal pada tikus jantan adalah 0,66 – 5,4 ng/ml (Hees dan Carnes, 2004). Penelitian oleh Justulin et al. (2006), pada tikus jantan usia 3 bulan didapat kadar testosteron pada kontrol sekitar 9 ng/ml dan pada tikus yang dikastrasi sekitar 0,05 ng/ml. Penelitian oleh Wang et al. (2005), tentang hubungan antara usia terhadap penurunan level testosteron dalam darah dan

(33)

produksi testosteron oleh sel Leydig pada tikus tua, didapatkan hasil pada tikus usia 3 bulan, 20 bulan dan 30 bulan memiliki konsentrasi testosteron dalam darah berturut-turut 1,8 ng/ml, 0,9 ng/ml dan 0,8 ng/ml dan produksi testosteron oleh sel Leydig berturut-turut 0,5 ng/ 10.000 cells, 0,3 ng/10.000 cells dan 0,1 ng/10.000 cells. Serum testosteron pada tikus jantan :

1) Pada tikus yang dikastrasi : <2 nmol/L 2) Pada tikus hipogonadisme tanpa kastrasi : 2-10,4 nmol/L 3) Eugonadal : 10,4-28 nmol/L

4) Supraphysiological : >28 nmol/L (Goldenberg, 2011). Fungsi biologis hormon testosteron pada mamalia adalah sebagai berikut:

1) Stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sekresi dari organ-organ genital aksesori jantan.

2) Perkembangan sifat karakteristik seksual sekunder jantan. 3) Turunnya testis.

4) Meningkatkan spermatogenesis bersama FSH.

5) Stimulasi proses anabolik dan sintesis dari sitoplasma protein. 6) Stimulasi pertumbuhan epifisa tulang rawan.

7) Perkembangan tingkah laku dan libido seksual jantan (Jones, 2008 dalam Arsani, 2011).

(34)

2.7 Pengobatan Late Onset Hypogonadism (LOH) Dengan Testosterone Replacement Therapy (TRT).

Testosterone replacement therapy pada LOH, ditujukan pada pria tua yang memiliki level serum testosteron lebih rendah dari normal. Diagnosis LOH berkaitan dengan level testosteron pada setiap individu. Pada setiap individu sirkulasi total testosteron dapat menurun dengan range di bawah normal meskipun bersifat asimptomatis (Kalra et al., 2010).

Pengaruh dari hormon testosteron sangat penting, yang berguna untuk menjalankan fungsi tubuh secara keseluruhan dan khususnya untuk pertumbuhan dari organ reproduksi pada pria itu sendiri baik sebelum pubertas, saat pubertas maupun setelah pubertas. Ketika memasuki usia dewasa bahkan lanjut usia hormon ini difokuskan untuk perkembangan organ reproduksi, namun ketika memasuki usia yang tergolong usia tua pada pria dapat terjadi keadaan hipogonadisme oleh karena defisiensi testosteron (Yassin et al., 2007).

Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang-orang yang benar-benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut. Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk hipogonadisme (Bebb, 2011). Data yang didapatkan pada pemberian TRT pada pria LOH di Korea menunjukan terjadinya peningkatan level testosteron, dan mempengaruhi simptom subyektif yang di ukur menggunakan kuisioner (Hwaii dan Kim, 2011).

(35)

Testosteron dan derivatnya dapat meregulasi pertumbuhan dan perkembangan dari seluruh organ reproduksi pria seperti penis, vesikula seminalis dan kelenjar prostat. Selama perkembangan, peningkatan produksi testosteron memainkan peran penting untuk maturasi dan pertumbuhan fisik dari organ tersebut beserta fungsinya (Kendeel et al., 2001).

Clinical trials menunjukan terapi testosteron pada hipogonad menyebabkan pertumbuhan prostat pada ukuran yang sesuai dengan ukuran normalnya, namun secara statistik menunjukan hasil yang tidak signifikan (Stanworth dan Jones, 2008). Pengobatan dengan testosteron pada keadaan hipogonadisme oleh karena kastrasi pada tikus coba, ditunjukan pada studi oleh Ono et al. (2004), dengan pemberian testosteron secara subkutan setelah 12 jam kastrasi menyebabkan perbaikan dari struktur kapiler pembuluh darah pada vesikula seminalis.

Penelitian yang dilakukan oleh Arsani (2011), menunjukan bahwa dengan pemberian testosteron injeksi Sustanon® 250 selama 21 hari dapat meningkatkan ketebalan otot polos corpus cavernosum pada penis tikus jantan yang diabetes melitus. Temuan tersebut memberi kesan bahwa pemberian terapi hormon seperti testosteron pada pria yang mengalami hipogonad, dapat memperbaiki kembali organ-organ reproduksi termasuk pada kelenjar reproduksi yang telah mengalami penurunan struktur maupun fungsinya, sehingga dapat mempertahankan fungsi reproduksi secara utuh.

Indikasi terapi testosteron pada pria yakni keadaan hipogonad yang menunjukan gejala klinis yang kompleks, seperti adanya gejala-gejala hipogonadisme dan penurunan level hormon testosteron. Ambang batas level

(36)

hormon testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung pada jenis gejala dan individu (Arver dan Lehtihet, 2008). Formulasi dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar, dan juga dapat menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu estradiol dan DHT.

Dahulu penurunan kadar testosteron terkait usia dianggap tidak bisa diobati, tetapi paradigma ini sekarang telah berubah. Saat ini terapi sulih hormon adalah yang paling direkomendasikan untuk penanganan andropause. Pemberian testosteron adalah pilihan paling baik saat ini, walaupun belum ada kesepakatan ambang standar untuk memulai pengobatan. Kadar testosteron 200 ng/dl yang diambil pada pagi hari dianggap rendah tetapi angka ini tidak dapat dikaitkan dengan usia, karena nilai 300 ng/dl mungkin normal untuk pria berusia 65 tahun, tapi tidak normal untuk usia 30 tahun (Indrayanto, 2011).

Level total testosteron dari eugonadal yang digunakan sebagai variabel spesifik pasien yaitu sekitar 300-1000 ng/dl (10.4–34.7 nmol), nilai ini digunakan sebagai acuan dalam penentuan keberhasilan pada TRT. Batas tertinggi untuk eugonadal sekitar 1000 ng/dl, jika pada hipogonad memiliki nilai di atas angka tersebut setelah pemberian terapi maka dapat menimbulkan risiko (Harman et al., 2001), sehingga pemberian TRT ini harus tetap dimonitoring.

Keuntungan terapi testosteron yaitu mempengaruhi komposisi tubuh, termasuk peningkatan massa otot dan penurunan lemak tubuh. Efek ini dapat terjadi secara cepat (timbul setelah 3 bulan terapi) dan juga jangka panjang (setelah 3 tahun). Pemberian TRT mempengaruhi fungsi seksual, yang mana

(37)

merupakan hallmark dari pemberian testosteron yaitu peningkatan dari sexual desire, motivasi dan penampilan (Coss et al, 2014). Pemberian testosteron sesuai resep dokter pertahunnya meningkat sekitar 300% di US antara tahun 2000 dan 2008 dan juga menjadi trend di negara-negara Eropa.

Berdasarkan data yang didapat bahwa keberhasilan dalam pemasaran preparat testosteron replacement berbanding lurus dengan keberhasilan dalam intervensi terapiutik pada pasien. Dalam pemberian terapi juga harus diperhatikan efek samping yang dapat ditimbulkan terutama pada penggunaan jangka panjang (Coss et al., 2014). Prinsip penatalaksanaan kadar testosteron adalah mempertahankan kadar testosteron tetap berada pada nilai normal, jika kadar testosteron cenderung turun, tanpa menunggu kadar testosteron tersebut berada di bawah nilai normal, terapi harus segera diberikan (Indrayanto, 2011).

2.7.1 Preparat testosterone replacement therapy

Pemberian TRT untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui beberapa sediaan preparat, antara lain: injeksi testosteron ester, testosteron transdermal (gel atau patch), testosteron oral dan testosteron implan. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011).

Testosteron mempunyai waktu paruh yang pendek tetapi dengan esterifikasi waktu paruhnya dapat diperpanjang setelah injeksi intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, undecanoat, decanoat (Arver dan Lehtihet, 2008). Salah satu jenis preparat

(38)

testosteron replacement yang ada adalah sustanon ‘250’ yang merupakan oil-based injectable esterized testosteron, yang terdiri dari testosteron propionat 30 mg, fenilpropionat 60 mg, testosteron isocaproat 60 mg, dan testosterone decanoat 100 mg (Roberts, 2010).

Beberapa jenis sediaan preparat pemberian testosteron yang direkomendasikan untuk TRT atau sulih testosteron adalah sebagai berikut : 1) Gel : 5 sampai 10 gram per hari.

2) Tablet : 80 mg testosteron undecanoate diminum dua kali sehari.

3) Injeksi 1000 mg testosterone undecanoate intramuskuler yang diberikan pada minggu ke- 0, 6, 18, 30 dan minggu ke- 42 dapat meningkatkan komponen kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya vitalitas, fungsi sosial dan peran fungsi fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke-30, hingga minggu ke-48 menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong, 2012).

Berikut adalah preparat testosteron yang ada di Indonesia: 1) Per oral

a. Testosteron undecanoat 400 mg. b. Meterolone tablet 25 mg.

2) Per intramuskuler injeksi

a. Kombinasi testosteron propionat 30 mg, testosteron phenypropionat 60 mg, testosteron decanoat 100 mg ampul (Sustanon).

(39)

b. Testosteron undecanoat 1000 mg ampul (Nebido). 3) Testosteron transdermal

Gel testosteron (tostrex 2% gel) (Indrayanto, 2011).

Hasil terapiutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda, untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin et al., 2006). Testosterone replacement therapy pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan evaluasi dan monitor yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi.

2.7.2 Efek samping testosterone replacement therapy

Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron berbeda pada setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen adalah:

1) Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual. 2) Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ:

a. Efek anabolik (keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya).

b. Efek pada hematopoesis dan formasi trombus. c. Retensi air dan garam.

d. Efek metabolik lainnya (termasuk pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang).

3) Efek virilisasi pada wanita.

4) Mempengaruhi sistem saraf pusat.

(40)

6) Simptom BPH memburuk atau peningkatan risiko kanker prostat. 7) Polycythemia.

8) Gynecomastia. 9) Hypercalcemia.

10) Emotional (Ullah et al., 2014). 11) Efek teratogenik.

Efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (Diabetes Melitus tipe 2) (Goodman, 2001).

2.7.3 Kontraindikasi testosterone replacement therapy 1) Memiliki riwayat kanker payudara atau kanker prostat. 2) Tampak nodul atau pengerasan pada prostat.

3) PSA 4 ng/ml atau 3 ng/ml pada pria dengan risiko tinggi untuk kanker prostat seperti di negara Afrika-Amerika.

4) Sering mengalami sleep apnea. 5) Gangguan atau masalah pada liver. 6) Erythrocytosis (hematocrit 50%).

7) International prostate symptom score di bawah 19. 8) Metastasis kanker prostat.

(41)

2.7.4 Monitoring pemberian testosterone replacement therapy

Pasien yang diterapi menggunakan testosteron replacement harus dimonitor untuk respon dari terapi dan efek samping yang dapat ditimbulkan. Pasien harus dievaluasi secara klinis dan diperiksa konsentrasi serum testosteronnya setiap 2-3 bulan setelah pemberian awal dan setelah dosis pemberian selesai. Target konsentrasi serum testosteron yang diharapkan setelah injeksi testosteron enanthate atau cypionate sekitar 400–700 ng/dl, yang merupakan nilai normal dari eugonadal (Endocrine Society Clinical Practice Guideline, 2010). Sebelum pemberian terapi harus tetap diperhatikan besarnya kebutuhan serta tanda dan gejala yang terkait dengan rendahnya testosteron pada setiap individu.

Nilai testosteron tertinggi (>1,000 ng/dl) dan terendah (sekitar 300 ng/dl) konsentrasi tersebut digunakan sebagai respon dari terapi. Beberapa ahli dari endocrine society clinical practice guideline, mengatakan bahwa terapi sering diberikan pada pria tua yang memiliki konsentrasi serum testosteron di bawah nilai normal dari pria yang sehat (300 ng/dl) (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Waktu pengukuran konsentrasi serum bervariasi, tergantung pada preparat yang digunakan. Testosteron injeksi bentuk ester direkomendasikan harus diperiksa konsentrasi serumnya pada pertengahan interval antara injeksi pertama dengan injeksi berikutnya, sedangkan evaluasi 3 sampai 12 jam setelah pemberian testosteron secara transdermal. Pemeriksaan yang dilakukan sebelum dan setelahnya pada pemberian buccal testosteron, pengukuran serum testosteron tidak kurang dari 1 minggu setelah pasien diterapi menggunakan gel, dan evaluasi

(42)

langsung ketika selesai penggunaan dosis interval untuk testosteron pellets, pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mendapat nilai normal dari serum testosteron.

Monitoring untuk efek samping dari TRT harus sudah diperiksa, seperti konsentrasi PSA, pemeriksaan digital rectal, dan hematocrit harus menjadi dasar dalam pemeriksaan pada 3 bulan, 6 bulan, selanjutnya setiap tahun setelah terapi. Kadar hematocrit yang berada di bawah 54%, maka terapi harus distop dulu sampai kembali ke level yang aman, tapi jika tetap harus diberikan maka dosis harus diturunkan dan dibandingkan dengan dosis awal. Pertimbangan terapi diskontinyu dilakukan jika pada pemeriksaan urologi, didapatkan ukuran PSA yang meningkat dalam interval 6 bulan atau peningkatan serum PSA 1,4 ng/ml dalam setahun (Bhasin et al., 2010; Ullah et al., 2014).

Ketika pemeriksaan digital rectal ditemukan masalah (tidak nomal) maka harus dilakukan biopsi untuk kanker prostat, selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan payudara, hal tersebut menjadi dasar dalam pemberian terapi selanjutnya. Pada pria dengan riwayat osteoporosis atau pernah trauma fraktur, densitas mineral tulang pada lumbar spine harus diukur setelah 1 atau 2 tahun pemberian terapi (Ullah et al., 2014).

Referensi

Dokumen terkait

Adapun spesifikasi main engine yang digunakan sebelum repowering adalah menggunakan MAN 2876 LE 402 422 KW @ 2100 RPM dengan kecepatan desain awal 22.5 Knots. Tabel

Rumah Tahanan Negara Klas IIB Tarutung berusaha untuk selalu bekerja semaksimal mungkin dengan sarana dan prasarana yang dimiliki saat ini, dengan cara melakukan

Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka pengenalan Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka

Dengan demikian, pada penelitian ini akan dikaji kadar AOPP tulang akibat diabetes melitus yang dihubungkan dengan durasi tertentu hiperglikemia dengan menggunakan

Evaporative cooling merupakan sistem pengkondisian udara yang menggunakan air untuk mendinginkan dan menambah kadar air atau kelembaban pada aliran udara, sehingga

Ledakan populasi Sexava nubila yang terjadi pada perkebunan kelapa sawit yang berumur sekitar 25 tahun di Papua Barat telah menim- bulkan kerusakan lebih dari

Aspek perkembangan bahasa anak dimulai sejak lahir dan penggunaan bahasa menjadi efektif ketika seorang anak perlu berinteraksi dengan orang lain. Pertambahan kosa kata seorang

Angka ini lebih besar dan i harga r tabel dengan n 39 baik untuk taraf kesalahan 1% maupun 5% (0,504 &gt; 0,408 &gt; 0,316), maka dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho