• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA, DARURAT KORUPSI ATAU INTOLERANSI? (MEMBACA KARIKATUR KARYA GM SUDARTA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDONESIA, DARURAT KORUPSI ATAU INTOLERANSI? (MEMBACA KARIKATUR KARYA GM SUDARTA)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

80 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

Institut Seni Indonesia Denpasar e-mail: iwayannuriarta@gmail.com

ABSTRACT

Reading on GM Sudarta‟s caricature, the readers are brought to see the current issues in this country. Indonesia today faces bad corruption and intolerance issues. Both of them are really dangerous. The corruption can cause a lot of losses for the country and intolerance can raise ethnic group clash and disunity. Looking at both crises, it means we are shown that people start to forget the value of their local wisdom which teaches us to think, speak, and do good (Tri Kaya Parisudha) so people have a good relationship between each other (Tri Hita Karana) and also taught us how to respect others (Tat Twam Asi). The corruption is started to grow in people minds. The diversity that has been bequeathed to us as a gift, used as a reason to put down other people. To build the honesty back to people and how to respect others in diversity, so people can live in harmony, they have to remember their local wisdom that has honorable value. Being a better person and always remember their local wisdom are one of the kinds that people must do. Keywords:Caricature of GM Sudarta, Intolerance, corruption, local wisdoms

ABSTRAK

Membaca karikatur GM Sudarta maka pembaca akan diajak untuk melihat persoalan bangsa yang sedang dihadapi. Indonesia sedang menghadapi ancaman korupsi dan intoleransi. Kedua ancaman tersebut sangat berbahaya, korupsi mengakibatkan kerugian Negara dan intoleransi dapat menimbulkan benturan antar suku dan perpecahan. Melihat kedua ancaman tersebut berarti kita sedang diajak melihat bahwa masyarakat mulai melupakan nilai luhur kearifan lokal yang mengajarkan untuk selalu berpikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (Tri Kaya Parisudha) sehingga terjaga hubungan yang harmonis dengan sesama (Tri Hita Karana) dan juga diajarkan sikap untuk saling menghargai (Tattwam Asi). Mental korupsi mulai mengakar. Kebhinekaan yang diwariskan sebagai sebuah kekayaan, kini telah berubah menjadi alasan untuk saling menjatuhkan. Untuk memperkuat diri betindak jujur serta mewujudkan kembali rasa saling menghargai sebuah perbedaan dan mewujudkan keharmonisan, maka sepatutnya masyarakat selalu mengingat kearifan lokal yang memiliki nilai luhur tersebut. Kembali berbenah diri, menggali kearifan lokal adalah salah satu hal yang harus segera dilakukan.

Kata Kunci: Karikatur GM Sudarta, Intoleransi, Korupsi, Kearifan Lokal I. PENDAHULUAN

Kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa dan menjadi ancaman berbahaya bangsa Indonesia. Kejahatan korupsi terjadi diberbagai lini. Di badan eksekutif banyak pegawai pemerintahan yang terjerat korupsi, di badan Legislatif juga menunjukan hal yang serupa. Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkena kasus korupsi yang kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian yang mengejutkan di awal tahun 2017 ini, seorang hakim konstitusi terkena kasus dugaan korupsi. Sebelumnya hal yang serupa juga terjadi pada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dengan terjeratnya Ketua MK Akhil Mochtar dalam kasus korupsi.

▸ Baca selengkapnya: apa hubungan upaya mengendalikan sad ripu dengan tri kaya parisudha

(2)

Seorang penegak hukum yang paling paham akan kejahatan korupsi pun terjerat kasus korupsi. Apakah ini karena persoalan gaji? Tentu tidak. Mantan ketua MK Mahfud MD pada acara Republik Sentilan Sentilun (program acara stasiun TV swasta) 25 Pebruari 2017 pukul 21.30 Wita menyebutkan gaji seorang hakim konstitusi sebulan bersih sebesar 100 juta rupiah, dan itu cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Mengutip Koran Kompas 16 Februari 2017 tercatat mereka para pelaku korupsi diantaranya adalah tersangka penggelapan pajak, R Rajamohanan Nair; tersangka kasus suap di Badan Keamanan Laut, Fahmi Darmawansyah dan M Adami Okta; tersangka proyek hambalang, Andi Malarangeng. Mereka adalah nama-nama yang terjerat kasus korupsi di Indonesia.

Selain korupsi, intoleransi juga adalah ancaman yang mulai muncul saat ini. Indonesia adalah Negara kepulauan dengan banyak suku bangsa dan juga adat-istiadatnya. Kebhinekaan yang dimiliki sering diserukan sebagai kekayaan bangsa yang harus terus dijaga. Namun tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang sering meneriakan kebhinekaan kemudian justru malah mencemari praktik kebhinekaan tersebut. Banyak masyarakat kita yang mengalami gagap aksiologi ketika kebhinekaan perlu dijadikan sebuah proses saling mengenali, memahami dan menghargai satu dengan yang lainnya.

Diakhir tahun 2016 lalu, kebhinekaan yang menjadi kekayaan yang patut dibanggakan mulai menemui tantangannya. Kebhinekaan yang semula hadir sebagai kekayaan kemudian muncul sebagai ancaman. Pada media massa baik cetak maupun elektronik kita bisa membaca ancaman tersebut ingin memecah belah kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Bentuk yang nyata adalah kontestasi identitas (agama dan ras) yang terjadi tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga menjalar pada wilayah lainnya. Di Yogyakarta, seorang camat yang beragama minoritas ditolak oleh kelompok masyarakat agama mayoritas (Bahruddin: 2017).

Memasuki tahun 2017, persoalan intoleransi dan korupsi menjadi perhatian banyak pihak karena dipandang sebagai ancaman yang bisa memecah belah dan juga menjauhkan tujuan bangsa Indonesia untuk mensejahterakan rakyat. Mental korupsi mulai mengakar. Keberagaman yang diwariskan sebagai sebuah kekayaan, kini telah berubah menjadi alasan untuk saling menjatuhkan. Perhatian tersebut salah satunya hadir dalam sebuah karikatur karya GM Sudarta.

Karikatur karya GM Sudarta adalah sebuah kartun-editorial, yaitu sebuah gambar yang memiliki ‗tugas‘ untuk menyampaikan opini sebuah media massa. Dalam menyampaikan sebuah opini atau kritik, gambar karikaturnya bisa menimbulkan perasaan emosi, senang, kesal, jengkel, marah, kecewa bahkan sampai tertawa geli dalam melihat berbagai persoalan yang dibahas. Pada gambar karikatur tanggal 31 Desember 2016, pembaca dapat menemukan kritik dibalik humor yang dihadirkan. Karikatur ini dimuat pada Koran Kompas. Pembahasan dalam artikel ini akan melihat bagaimana bahasa rupa karikatur GM Sudarta yang memotret persoalan intoleransi dan korupsi sebagai ancaman bangsa dan pesan apa yang ingin disampaikan.

(3)

82 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

merupakan seorang warga Negara dalam melihat perjalanan bangsa yang ia cintai.

Gambar 1. Karikatur karya GM Sudarta

Ada dua teks utama yang bisa dilihat dalam karikatur GM Sudarta yaitu teks visual dan teks verbal. Teks visual adalah gambar yang terdiri dari tiga tokoh. Ketiga tokoh tersebut digambarkan ada dalam satu panil berukuran 10,7 cm x 19,4 cm. Tokoh paling kiri dalam panil digambarkan tokoh dengan memanfaatkan blok hitam, sehingga secara keseluruhan tampak seperti siluet. Matanya besar, giginya diperlihatkan dan pada bagian tubuh berisi tulisan Intoleransi denngan jenis huruf digambarkan dengan limit yang seolah-oleh bergetar. Tangan kanan tokoh ini seperti membawa bom molotov. Jika dilihat dari susunan tokoh, tokoh yang paling kiri ini terlihat seperti berjalan pelan-pelan seolah-oleh sedang mengintai dua tokoh didepannya.

Tokoh yang dimunculkan ditengah-tengah adalah gambaran seorang anak kecil yang mengikuti tokoh yang paling kanan. Anak kecil ini memakai celana yang penuh tambalan. Anak kecil ini terlihat seperti ketakutan melihat tokoh yang paling kiri, hal tersebut dapat dilihat dari penggambaran alisnya yang dibuat jauh diatas matanya serta garis bibir mengarah ke bawah.

Tokoh ketiga atau yang berada paling kanan dalam panil adalah tokoh pemimpin Negara. GM Sudarta menjadikan tokoh ini adalah ikon dari presiden Indonesia Joko Widodo. Digambarkan memakai baju lengan panjang, celana panjang hitam dan memakai sepatu. Tampak langkahnya menginjak garis panil yang dekat dengan papan yang berisi angka 2017.

Dalam panil juga dapat dilihat ada teks verbal yaitu rangkaian huruf/angka yang menghasilkan deretan angka, kata maupun kalimat. Ada tiga teks verbal yang bisa dibaca. Pertama teks tersebut berada pada tokoh paling kiri yaitu tulisan Intoleransi. Kedua adalah tulisan yang berada diatas tokoh paling kanan yang

(4)

bertuliskan Musuh Kita Bukan Keberagaman…Tapi Korupsi. Dan teks yang ketiga adalah angka 2017.

Secara keseluruhan karikatur GM Sudarta ini telah membuat narasi yang bercerita tentang ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia diakhir tahun 2016 memasuki tahun 2017. Tokoh yang paling kanan adalah pemimpin bangsa Indonesia yaitu Presiden Joko Widodo. Presiden berjalan dengan mantap menjalankan roda pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden melihat bahwa korupsi adalah musuh yang harus diperangi karena telah merugikan Negara. Kemudian anak kecil yang mengikutinya bisa kita maknai sebagai rakyat yang dipimpin oleh Presiden. Rakyat mengikuti langkah kaki presiden, rakyat sangat mendukung presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun dalam perjalannannya, rakyat melihat kemudian bahwa ancaman bagi bangsa Indonesia tidak hanya korupsi tetapi ada bayang-bayang intoleransi juga mengintai yang dapat memecah belah persatuan. Intoleransi seperti sebuah bom molotov yang bisa meledak dan dapat menimbulkan perpecahan serta perang antar etnis. Maka rakyat juga merasa tidak nyaman akan adanya intoleransi ini.

Bangsa Indonesia sedang mengalami ujian berat sebagai bangsa yang majemuk dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Gufron dalam rubrik opini Koran Kompas mengatakan tak terhitung bagaimana tindakan pelangaran kemanusiaan dilakukan hanya karena pihak lain tidak sejalan keyakinananya. Di ruang media sosial yang penuh dengan absurditas, kebhinekaan hanya dijadikan jargon eksistensial secara sepihak yang digambarkan sebagai penegasan bahwa dirinya memang berbeda dari pihak lain. Dan sayangnya perbedaan ini sering dijadikan jarak ketika berhadapan dengan yang tidak seiman.

Pemerintah sesungguhnya sudah memberikan sanksi bagi pelaku korupsi dan intoleransi. Bagi pelaku korupsi diberikan sanki hukuman penjara dan juga pemiskinan. Para pelaku intoleransi yang dapat membahayakan kebhinekaan dengan munculnya konflik, kerusuhan atau benturan antar etnis bagi pihak-pihak tertentu juga diproses secara hukum. Sanksi yang dijatuhkan bagi para pelaku tersebut tentu bertujuan agar tindakan tersebut tidak dilakukan lagi oleh pelaku maupun oleh masyarakat lain.

Meski demikian, ada persoalan yang lebih mendasar yang bisa kita cermati. Meminjam pepatah lama:‖lebih baik mencegah daripada mengobati‖ menjadi penting untuk kita renungkan kembali. Berbagai upaya lain dalam usaha mencegah kasus korupsi dan benturan antar etnis sudah dilakukan. Namun jauh dari itu seyogianya kita dalam diri masing-masing harus sadar benar bahwa semua tindakan tersebut (korupsi dan intoleransi) sangat berbahaya untuk diri sendiri, orang lain dan bangsa ini secara lebih luas. Maka ―membaca‖ kembali nilai luhur kearifan lokal yang mengajarkan untuk selalu berpikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (Tri Kaya Parisudha) sehingga terjaga hubungan yang harmonis dengan sesama (Tri Hita Karana) dan juga diajarkan sikap untuk saling menghargai (Tattwam Asi), menjalankan kembali norma-norma, ajaran-ajaran tersebut adalah salah satu cara untuk menghadirkan wajah negeri ini menjadi lebih baik. Ajaran tersebut kiranya tidak dilihat darimana atau siapa pemilik ajarannya, tetapi ada yang lebih penting dari itu yaitu

(5)

84 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

ancaman bangsa dapat dijauhkan dan kesejahteraan serta kerukunan selalu hadir di negeri tercinta ini, Indonesia.

III. SIMPULAN

Karikatur GM Sudarta yang hadir sebagai sebuah refleksi dari perjalanan Bangsa Indonesia menunjukan ada dua hal penting yang harus diwaspadai yaitu tindak pidana Korupsi dan sikap intoleransi dalam kebhinekaan. Kedua hal tersebut adalah ancaman besar bagi Bangsa Indonesia dan tentu penyebab utama yang memungkinkan semua itu terjadi bila kita tidak menjalankan ajaran-ajaran luhur yang merupakan kearifan lokal yang telah lama kita warisi. Diri sendiri harus mampu membentengi diri untuk tidak melakukan tindakan korupsi serta mampu menghargai berbagai perbedaan yang ada sebagai sebuah kekayaan milik bersama. Maka untuk memperkuat diri betindak jujur serta mewujudkan kembali rasa saling menghargai sebuah perbedaan dan mewujudkan keharmonisan, sepatutnya diri sendiri/ masyarakat selalu mengingat dan menjalankan kearifan lokal (Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana, Tattwam Asi) yang memiliki nilai luhur. Kembali berbenah diri, menggali kearifan lokal adalah salah satu hal yang harus segera dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2012.Antara Tawa dan Bahaya, Kartun Dalam Politik Humor. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Dewi, N. P. S. R., & Sudarsana, I. K. (2017). Eksistensi Pura Teledu Nginyah Pada Era Posmodern Di Desa Gumbrih Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Jurnal Penelitian Agama Hindu, 1(2), 412-417.

Gufron, Fathorrahman. 2017. Merawat Marwah Kebinekaan. Jakarta:Koran Kompas.

Bahruddin. 2017. Merawat “Bhineka Tunggal Ika”. Jakarta: Koran Kompas.

Gambar

Gambar 1. Karikatur karya GM Sudarta

Referensi

Dokumen terkait

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

[r]

diterima, dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Memperhatikan ketentuan-ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan

Dengan itu, Ikhwanus Shafa hendak mengatakan bahwa kesempurnaan syariat selalu berada dalam proses menjadi yang terus menerus (on-going process), dan tidak

sumber risiko yang terdapat pada kegiatan produksi atau budidaya tanaman bunga potong krisan di Perusahaan Natalia Nursery, menganalisis besarnya risiko yang terjadi pada

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah