• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman identik dengan globalisasi, sebuah fenomena struktural saat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman identik dengan globalisasi, sebuah fenomena struktural saat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan jaman identik dengan globalisasi, sebuah fenomena struktural saat interdependensi antarbangsa dan antarnegara meningkat (Cornali & Tirocchi, 2012). Globalisasi adalah isu penting baik bagi negara maju maupun negara berkembang, dan seperti pisau yang memiliki dua sisi, globalisasi membawa efek positif dan negatif dari berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, globalisasi bersifat multidimensional karena dipercayai sebagai hasil integrasi dari aspek ekonomi, politik, teknologi (Kearney dalam Castagna, Colantonio, Furia, dan Mattoscio, 2010), human development, kompetisi global, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan.

Apabila ditinjau dari kacamata pendidikan, globalisasi membawa perkembangan teknologi dan elektronik yang pesat ke dalam ranah kegiatan belajar-mengajar sehingga baik tenaga pendidik maupun siswa kini mengarah kepada sistem pendidikan berbasis informasi. Globalisasi juga menjadi motor perubahan sistem sosial serta kultur internasional. Dengan adanya perubahan sistem pendidikan, siswa yang dianggap sebagai pemimpin masa depan dibentuk untuk menjadi global citizen atau insan cendekia dengan ranah pengetahuan dan kemampuan yang luas yang dapat mengaplikasikan keduanya di tengah masyarakat yang kompetitif dan berbasis informasi (Chinnamai, 2005).

Kaum pelajar, sesuai lansiran Fiske (2011), memandang globalisasi sebagai dimensi yang kental dengan diversity atau keberagaman. Globalisasi dianggap berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi pada tempat mereka bekerja kelak, dari lokal menjadi global. Pelajar semakin menginginkan lingkungan belajar yang

(2)

menyediakan kesempatan untuk membantunya mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan tersebut; tempat belajar yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan individu-individu dengan latar belakang dan nilai yang berbeda. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar di Amerika Serikat (Fiske, 2011) menaruh minat yang tinggi pada institusi pendidikan yang di dalamnya terdaftar banyak siswa internasional. Kaum pelajar juga memandang pengalaman studi di luar negeri sebagai pengalaman yang penting dalam menghadapi era globalisasi.

Berkenaan dengan penjelasan di atas, program pertukaran pelajar ke luar negeri atau student exchange program dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi (Behrnd & Porzelt, 2012). Hal ini terkait dengan efek dari kegiatan pertukaran pelajar di antaranya meningkatnya kompetensi interkultural, fleksibilitas, kemampuan pengambilan keputusan, inisiasi, dan kemampuan teamwork (Euler & Rami dalam Behrnd & Porzelt, 2012). Keterlibatan dalam program pertukaran pelajar memungkinkan individu untuk memiliki pengalaman dalam bekerja, berinteraksi, dan hidup berdampingan dengan individu-individu lain yang latar belakang budayanya berbeda sehingga lebih siap bersaing dalam iklim kerja global nantinya (Berhnd & Porzelt, 2012). Paige, Fry, Stallman, Jon, dan Josić (2010) menemukan dalam hasil studi mereka bahwa peserta program pertukaran pelajar menunjukkan global engagement yang ekstensif dan sebagian besar mengatribusikannya dengan pengalaman selama menjalani pertukaran di luar negeri. Meskipun demikian, program pertukaran pelajar bukan menjadi satu-satunya faktor penentu yang berpengaruh dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi tantangan globalisasi. Pendidikan yang mumpuni, misalnya, juga memiliki kontribusi terhadap aspek tersebut (Cinnamai, 2005).

(3)

Di Indonesia, terdapat beberapa jenis program pertukaran pelajar yang dinaungi oleh berbagai organisasi yang berbeda. Dari sekian banyak organisasi, AFS Bina Antarbudaya merupakan salah satunya. Bina Antarbudaya merupakan sebuah organisasi nonprofit berbasis kerelawanan yang bergerak di bidang kebudayaan dengan mengirimkan siswa-siswa terpilih ke berbagai negara asing dan telah beroperasi lebih dari 50 tahun. Program berlangsung selama kurang-lebih 11 bulan dan meliputi interaksi langsung dan hidup di tengah-tengah keluarga asing (host family), menuntut ilmu di sekolah setempat, serta partisipasi di dalam kegiatan komunitas di negara tersebut (Bina Antarbudaya, 2010).

Dampak dari program ini dipaparkan dalam sebuah hasil studi bertajuk AFS Long-Term Impact Study (Hansel, 2008) yang menyatakan bahwa para alumni program AFS dari Amerika Serikat memiliki kemampuan berbahasa asing serta memiliki sensitivitas kultural yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mengikuti program. Berbagai pengalaman yang berkaitan dengan tumbuhnya sensitivitas kultural banyak dialami oleh peserta program mulai dari tinggal bersama orang tua asuh sampai dengan mengikuti aktivitas yang diselenggarakan di daerah setempat. Bergaul dengan individu-individu yang berasal dari negara lain juga melibatkan proses belajar interkultural yang menghasilkan sensitivitas kultural (Hansel, 2008).

Selain itu, alumni program juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, melanjutkan studi di universitas-universitas luar negeri, dan bekerja di tempat dengan budaya yang berbeda (Hansel, 2008). Hal yang serupa juga didukung oleh hasil penelitian Paige, dkk. (2010) meskipun dari program yang berbeda; kegiatan pertukaran pelajar mempengaruhi keputusan peserta dalam menentukan pendidikan dan pekerjaan selanjutnya, di mana lebih banyak dari mereka yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan

(4)

dengan rata-rata nasional. Indikasi dari dampak program juga diperkuat oleh data demografi jenjang pendidikan returnee program AFS dari Yogyakarta yang sebagian besar merupakan lulusan S2 baik dari universitas dalam negeri maupun luar negeri (lihat lampiran E).

Berdasarkan paparan di atas, dampak dari program pertukaran pelajar yang beberapa diantaranya telah ditunjukkan oleh Long-Term Impact Study mengarah pada perubahan sikap terhadap differences atau perbedaan budaya (Hansel, 2008). Perubahan sikap terhadap perbedaan budaya yang mengarah pada tumbuhnya sensitivitas kultural (Hansel, 2008) dan kompetensi interkultural dapat membantu individu membentuk kepribadian sebagai global citizen sekaligus mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi global (Behrnd & Porzelt, 2012).

Namun demikian, tinjauan dari sisi ekonomi memiliki pandangan yang berbeda. Ditandai dengan meningkatnya aktivitas pertukaran dagang dan penanaman modal berskala internasional, globalisasi di bidang ekonomi menyebabkan persaingan antarnegara semakin ketat (Urata, 2002). Kebijakan free trade atau penyelenggaraan pasar dagang bebas merupakan satu dari bentuk-bentuk globalisasi ekonomi yang memungkinkan setiap negara untuk secara bebas menjual produk-produknya. Di wilayah Asia Pasifik khususnya, gema AFTA (ASEAN Free Trade Area) 2015 semakin banyak terdengar.

Di satu sisi, free trade memperluas kesempatan masing-masing negara untuk mengembangkan produk yang spesifik dan unggul di sektor-sektor tertentu (Pettinger, 2012). Namun demikian, di sisi lain ketidaksiapan negara yang bersangkutan justru bersifat merugikan. Pada tahun 2015, negara-negara yang terdaftar dalam persetujuan regional tersebut akan menghadapi iklim perdagangan yang lebih kompetitif akibat penghapusan tarif bea masuk (Tim Tarif Departemen Keuangan RI, 2014). Dengan

(5)

demikian, barang produksi dari berbagai negara ASEAN dapat dengan mudah masuk ke pasar dagang Indonesia. Apabila kualitas produk Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk negara lain, dikhawatirkan akan berdampak buruk pada sektor perekonomian Indonesia.

Daya saing produk Indonesia saat ini ternyata dinilai masih lebih rendah daripada produk-produk negara ASEAN yang lain, terutama produk berbasis teknologi (Anabarja, 2013). Hal ini tidak hanya berlaku pada produk secara material melainkan pada kualitas sumber daya manusianya pula. Dalam beberapa tahun ke depan, tenaga kerja dari negara-negara lain dapat bekerja di Indonesia dan sebaliknya, tenaga kerja Indonesia pun memiliki kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Persaingan tidak lagi terbatas pada kontekstual dalam negeri saja, tetapi juga masyarakat secara global. Padahal, data Human Development Index yang dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (2014) menempatkan Indonesia di kategori negara dengan Medium Human Development; meraih posisi nomor 108 secara stagnan sejak tahun 2010-2013.

Gambar 1.

Sumber: UNDP (2014)

(6)

Grafik pada gambar 1 di atas juga menunjukkan posisi Indonesia yang masih berada di bawah beberapa negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Menjadi insan berwawasan global tidak lantas serta-merta meninggalkan initial identity yang dimiliki sebelumnya. Jepang menjadi salah satu negara industrial paling maju di dunia yang tidak berlatar belakang Barat (Western) dengan tetap mempertahankan nilai-nilai mulia dari leluhur dan kebudayaan tradisionalnya (American Forum for Global Education, 2003). Berdasarkan hasil diskusi singkat dari beberapa sumber yang terkait dengan kegiatan pertukaran, masih terdapat sedikit individu yang mengalami pergeseran nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai kearifan universal setelah tinggal di luar negeri selama beberapa waktu yang termanifestasi dalam bentuk berubahnya pola hidup dan pola pikir yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur. Padahal, Hansel (2007) menyebutkan bahwa idealnya program pertukaran pelajar dapat menghasilkan individu yang berkepribadian arif dan kuat sembari mampu menyaring, menyeleksi, dan memiliki sifat toleransi terhadap hal-hal baru yang ia temui.

Selain itu, Riyono (2011) menjelaskan bahwa makna patriotisme di kalangan generasi muda Indonesia semakin menurun, menjadi hambar dan kehilangan meaning, padahal di lain sisi patriotisme merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menumbuhkan motivasi kebangsaan untuk maju. Meaning di dalam konteks ini berkaitan dengan konsep virtues dalam teori anchor yang dikemukakan oleh Riyono (2011), yaitu prinsip-prinsip kehidupan yang kekal yang merupakan keniscayaan tidak terbantahkan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam bentuk hukum-hukum di alam semesta yang sifatnya penting untuk dimiliki manusia. Virtues digambarkan sebagai

(7)

representasi sifat-sifat Tuhan, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai luhur atau values. Studi yang dilakukan Roccas (2005) memaparkan bahwa religiusitas mempunyai hubungan yang erat dengan values. Sarouglou, Delpierre, dan Dernelle (2004) juga menyebutkan individu dengan tingkat religiusitas tinggi lebih banyak berafiliasi dengan values yang mengutamakan kesejahteraan manusia dan mempromosikan kebaikan, dan tidak menyenangi values yang identik dengan hedonisme dan materialistik yang dipandang Ibnu Khaldun (dalam Riyono, 2011) sebagai salah satu penyebab jatuhnya suatu bangsa. Virtues juga merupakan refleksi dari pegangan hidup manusia yang paling ideal karena mengandung nilai-nilai luhur kehidupan, spiritualitas, nilai luhur keagamaan dan ketuhanan, dan kebijaksanaan, serta upaya pencarian perspektif yang lebih luas tentang aspek kehidupan.

Upaya ini sebenarnya sejalan dengan hasil yang dikemukakan Hansel (2008) dan Paige dkk. (2010) mengenai prevalensi tinggi para alumni kegiatan pertukaran pelajar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Kendati demikian, paparan permasalahan teoritik yang berkisar antara belum optimalnya sumber daya manusia Indonesia secara umum dalam menghadapi tantangan global adalah kenyataan yang ada di lapangan.

Penelitian-penelitian terdahulu lebih banyak menggarisbawahi dampak bernuansa aspek kultural dari kegiatan pertukaran pelajar, sedangkan kekuatan kepribadian merupakan dimensi yang tidak kalah esensial karena bersifat mendasar dan merupakan jangkar dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia. Paparan di atas meningkatkan pentingnya usaha lebih lanjut mengetahui manfaat kegiatan pertukaran pelajar di Indonesia terutama dari segi kekuatan kepribadiannya. Konsep anchor dipilih

(8)

karena dapat mengukur kekuatan kepribadian dibandingkan teori kepribadian lain yang lebih membahas tipe-tipe kepribadian.

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui perbedaan kekuatan kepribadian berdasarkan konsep Anchor antara returnee dan nonreturnee program pertukaran pelajar.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbandingan kekuatan kepribadian berdasarkan konsep Anchor antara returnee dan nonreturnee program pertukaran pelajar..

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menyumbangkan feedback bagi penyelenggara kegiatan pertukaran pelajar secara umum untuk meningkatkan nilai-nilai yang diharapkan dapat diperoleh dari kegiatan tersebut.

b. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau alternatif acuan bagi penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dari segi media pendidikan laboratorium pembelajaran biologi di SMA Negeri se- Kabupaten Pasman Barat telah memenuhi standar

Rencana Operasional Kegiatan (ROK) Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Magelang Jurusan Penyuluhan Pertanian Yogyakarta Tahun Anggaran 2018, disusun berdasarkan

Tenaga kerja yang dikatakan rendah apabila memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 1-4 orang dan 5-8 orang, Berdasarkan hasil penelitian pada Kecamatan Mojoanyar yang

Tatalaksana pada serangan ringan ini juga melalui beberapa tahapan, antara lain: cek respon setelah nebulasi (nebulsi 3x, respons buruk), berikan oksigen saat atau diluar

Iklan Baris Iklan Baris Serba Serbi PENGOBATAN PERLNGKPN MOBIL PRIVAT LES Rumah Dijual BODETABEK JAKARTA BARAT DI JUAL rmh LT 160M SHM di Citra Garden 2 Blok H1 No.. LONTAR

b.TOKO MODERN (minimarket, supermarket, departement store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan) dalam melaksanakan kegiatan operasional wajib menerapkan

Standar faktor eksternal dalam pembuangan sampah sangat baik bila dikumpulkan pada tempat sampah permanen lalu dibakar; saluran pembuangan air limbah sangat baik

Data diatas menunjukan pelepah kelapa sawit sangat baik untuk di guakan sebagai pupuk organik, dengan melakukan beberapa menejemen dan pemanfaatan mikroorganisme,