• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tomato infectious chlorosis virus

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus (Martelli et al. 2002). TICV merupakan spesies dari genus Crinivirus. Partikel TICV memiliki panjang rata-rata 645 nm, modal length 850 nm, dan partikel terpanjang 1600 nm (Duffus et al. 1996; Liu et al. 2000). Pengamatan Wisler et al. (1996) terhadap siapan hasil purifikasi dari tanaman tomat sakit menemukan partikel virus yang berbentuk seperti benang (threadlike) memanjang (filamentous), lentur (flexuous), berukuran panjang 850 sampai 900 nm dan lebar 12 nm. Closterovirus ini terdapat pada sitoplasma jaringan floem tanaman terinfeksi (Duffus et al. 1996).

Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

Infeksi TICV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat menjadi klorosis yaitu menguning di antara tulang daun (intervenal yellowing). Pada perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga

(2)

sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi (Duffus et al. 1996); Dalmon et al. 2008). TICV ditularkan dari satu tanaman ke tanaman lainnya oleh serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae). Penularan dapat terjadi secara cepat ke seluruh areal pertanaman karena serangga vektor bersifat aktif. TICV ditularkan oleh serangga vektor secara semipersisten (Duffus et al. 1994; Wintermantel 2004). TICV tidak dapat ditularkan secara mekanis tetapi dapat ditularkan dengan serangga vektor. Memiliki periode persistensi selama 4 hari dan periode makan akuisisi di atas 48 jam. TICV dapat ditularkan dengan waktu yang terbatas yaitu antara 1-9 hari. (Wisler et al. 1998a, 1998b).

Gambar 3 Serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae) yang mampu menularkan TICV pada tanaman tomat (Kurniawati 2011)

Antibodi Poliklonal

Antibodi merupakan molekul immunoglobulin yang dihasilkan oleh sel limfosit-B dari hewan yang berdarah panas sebagai tanggapan terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen). Antibodi banyak dimanfaatkan dalam kajian imunologi untuk mengidentifikasi suatu patogen. Ikatan antigen dengan antibodi sangat spesifik, suatu molekul antigen mempunyai kemampuan untuk bereaksi atau berikatan dengan molekul immunoglobulin tertentu (Haryadi 2006). Antibodi poliklonal merupakan suatu populasi antibodi yang bereaksi terhadap lebih dari satu epitop. Antibodi poliklonal diperoleh dari serum darah hewan yang telah diimunisasi dengan antigen yang mempunyai lebih dari satu epitop. Antibodi pertama kali diproduksi oleh hewan apabila diinjeksi antigen adalah IgM atau disebut juga tanggap imun primer. Konsentrasi IgM mencapai puncak pada 10

(3)

hari setelah imunisasi dan setelah itu konsentrasi IgM akan menurun. Setelah konsentrasi IgM menurun, IgG akan diproduksi dan mencapai puncak pada 14 hari setelah imunisasi. Apabila injeksi dilakukan lagi maka IgG akan diproduksi lebih dominan sebagai tanggap imun sekunder (Akin 2006).

Setiap hewan berdarah panas dapat dijadikan sebagai hewan percobaan untuk produksi antibodi poliklonal. Contohnya kelinci, ayam, burung puyuh, tikus, kambing, babi, dan mencit paling banyak digunakan untuk membuat antiserum. Di antara hewan tersebut, kelinci merupakan hewab yang paling banyak digunakan karena mudah memeliharanya, relatif lebih murah, mempunyai konsentrasi antibodi yang relatif tinggi, dan memerlukan sedikit antigen untuk imunisasi (Akin 2006).

Uji Serologi Virus Tumbuhan

Reaksi antara antibodi dan antigen terjadi pada reaksi pertahanan hewan apabila kemasukan antigen (patogen atau benda asing). Reaksi khas itu dapat juga terjadi secara in vitro apabila antibodi yang diproduksi hewan itu diisolasi dan direaksikan dengan antigen yang mengimbasnya. Sifat khas reaksi antibodi dan antigen dimanfaatkan sebagai alat identifikasi patogen dan diagnosis penyakit virus pada tanaman. Secara umum, reaksi serologi dapat digambarkan sebagai berikut: antibodi + antigen presipitasi (Akin 2006)

Selain untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit, uji serologi juga berguna dalam mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Ada beberapa metode yang digunakan dalam uji serologi antara lain Agarose gel precipitation test (AGPT), Dot blot immunobinding assay (DIBA), Tissue blot immunosorbent assay (TBIA), Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan immunoblotting atau western blotting (Harlow and Lane 1999). Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu metode DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989). Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Pengujian

(4)

presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi Wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV).

Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)

AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan antiserum yang telah mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan berdifusi ke sekitar sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik akan terbentuk kompleks antigen-antibodi yang banyak sehingga kompleks mengendap dan terjadi presipitasi yang membentuk garis putih. Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis presipitasi tidak akan terbentuk (Haryadi 2006)

Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi presipitasi. Pembentukan presipitasi terbentuk apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk yang disebut postzone effect, sedangkan antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan prozone effect (Haryadi 2006)

Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)

DIBA merupakan uji serologi menggunakan membran Nitropure nitrocellulose (NPN) yang sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus tanaman. Teknik ini menggunakan gerusan tanaman segar dan diblot pada kertas membran (Lin et al. 1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Dijkstra and De Jager 1998).

DIBA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan jumlah sampel yang ada. Sampel yang akan diblot digerus dengan buffer,

(5)

kemudian sap tersebut diblot menggunakan pipet mikrotiter pada kertas membran (Somowiyarjo 1997). Dalam pengerjaannya, teknik DIBA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus selain itu sampel yang sudah diblot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010).

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

ELISA telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini diperkenalkan. Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor. Menurut Dijkstra and De Jager (1998) beberapa keunggulan ELISA sebagai tes serologi untuk virus tumbuhan yaitu konsentrasi virus yang dideteksi dapat sangat rendah. Demikian juga antibodi yang digunakan bisa sangat sedikit. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi sampel virus dalam skala besar, dan hasil deteksi ELISA dapat diukur secara kuantitatif.

Umumnya ELISA dibedakan menjadi 2 jenis yaitu standard (direct) double antibody sandwich (DAS)-ELISA dan indirect ELISA (I-ELISA). Metode DAS-ELISA diperkenalkan pertama kali oleh Clark dan Adams pada tahun 1977 untuk deteksi virus tumbuhan dan uji ini pertama kali dilakukan pada pelat 96 sumur berbahan polystyrene. Tahapan DAS-ELISA yaitu sumuran pelat dicoating dengan menggunakan antibodi primer. Setelah plat dicuci, sampel virus (antigen) dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali dengan phosphate buffer saline tween (PBST), enzim konjugat (antibodi kedua) diisikan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali, substrat PNP (p-nitrophenyl phosphate) dimasukkan ke dalam sumuran untuk pewarnaan (Dijkstra and De Jager 1998). DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, tetapi untuk deteksi virus yang membutuhkan spesifikasi tinggi DAS-ELISA terkadang bermasalah dalam mendeteksi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan serologi antar virus lebih stabil. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi

(6)

virus dengan jumlah virus yang sangat kecil pada satu benih (individu) atau serangga vektor. Hal ini untuk membuktikan tingkat sensitivitas metode ELISA (Dijkstra and De Jager 1998).

Gambar

Gambar 2  Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan  lentur (flexuous) (Liu et al

Referensi

Dokumen terkait

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang

antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode kooperatif, metode ceramah dan pemberian tugas.. Artinya, pada taraf signifikansi 5% tidak terdapat

Dengan harapan adanya Sekolah Islam Terpadu ini akan mampu membentuk kepribadian anak yang baik. Lebih mementingkan perkembangan jiwa kebergamaan anak, dengan memberikan

Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Tingkat Kecamatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan dilaksanakan oleh Kecamatan secara berkala per empat bulan sekali dengan tujuan

Keselamatan Dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem manjemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, tanggung jawab, implementasi, prosedur, proses

Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua khususnya pada penyusun yang telah diberikan nikmat kesehatan serta