• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TENTANG MUTU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN TENTANG MUTU"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN TENTANG MUTU

Oktoruddin Harun *), Ijun Rijwan Susanto**)

PENDAHULUAN

Pelayanan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Hal ini telah disadari sejak dahulu oleh berbagai industri yang selalu berusaha meningkatkan mutu produk untuk memenuhi kepuasan pelanggan mereka.

Memasuki abad ke-21 yang semakin maju, adalah sudah seharusnya, bahwa pendekatan mutu paripurna yang berorientasi pada kepuasan pelanggan menjadi strategi utama bagi organisasi/institusi di Indonesia, agar tetap eksis ditengah persaingan global yang semakin ketat.

Pada tahun 2003, kawasan Asia Tenggara telah menjadi kawasan perdagangan bebeas. Pada tahun 2010, Negara-negara maju di kawasan Asia Pasifik telah membuka pintu lebar-lebar bagi komoditi dan jasa yang kita hasilkan. Sebaliknya pada tahun 2020, kita harus membuka lebar pasaran kita untuk menerima komoditi dan jasa dari Negara maju.Hal ini berarti bahwa pada saat itu, kita harus mampu bersaing, khususnya dalam pelayanan dan produk, tidak hanya sesame teman dalam negeri, namun benar-benar harus mampu bersaing dengan Negara lain yang mungkin lebih maju atau bahkan sangat maju atau sangat professional.

Salah satu strategi yang paling tepat dalam mengantisipasi adanya persaingan terbuka adalah melalui pendekatan mutu paripurna ( Total Quality Management ) atau peningkatan mutu yang berkelanjutan ( Continous Quality Improvement ) dalam pelayanan yang berorientasi selain pada proses pelayanan yang bermutu, juga produk mutu layanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan ( Stakeholder )

Berkaitan tentang mutu ini penulis mencoba menyampaikan tinjauan tentang pengertian mutu, dimensi mutu, karakteristik mutu, upaya-upaya untuk pencapaian mutu dan pendekatan mutu paripurna. Semoga bermanfaat bagi para pembaca.

1.Pengertian mutu

Donabedian dalam McLaughlin (1990) menyatakan bahwa, tidak satupun definisi dapat memenuhi persyaratan dengan tepat tentang arti mutu, dan untuk mengatasi hal tersebut ada tiga pengertian yang diberikan yaitu :

1. Definisi absolutis, mutu adalah pertimbangan atas kemungkinan adanya keuntungan dan kerugian terhadap kesehatan sebagai dasar tata nilai praktisi kesehatan tanpa memperhatikan biaya;

(2)

2. Definisi individualistis, berfokus pada keuntungan dan kerugian dari harapan pasien dan konsekuensi lain yang tidak diharapkan; dan

3. Definisi social, mutu meliputi biaya pelayanan, kontinu dari keuntungan atau kerugian, serta distribusi pelayanan sebagai tata nilai ,asyarakat secara umum Davis (1994) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya, yaitu kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang digunakan Goetsch Davis ini menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi jua menyangkut kualitas manusia, kuantitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.

Menurut Gaspersz ( 2001 ) mendefinsikan kualitas sebagai totalitas dari akrakteristik suatu produk ( barang dan atau jasa ) yang menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau kesuaian terhadap persyaratan atau kebtuhan

Dale (2003), menyimpulkan beberapa hasil survey yang terfokus pada persepsi arti pentingnya mutu produk dan jasa, diantaranya persepsi public atas mutu produk dan jasa yang semakin luas, meningkatnya pandangan dan peran manajemen puncak, mutu tidak dapat dinegosiasikan ( quality is not negotiable ), mutu meliputi semua hal ( quality is

all-perpasive ), mutu meningkatkan produktivitas, mutu mempengaruhi kinerja yang

lebih baik pada pasar, mutu berarti meningkatkan kinerja bisnis, biaya non mutu yang tinggi, konsumen adalah raja, dan mutu adalah pandangan hidup ( way of life )

Mutu adalah suatu keputusan yang berhubungan dengan proses pelayanan, yang berdasarkan tingkat dimana pelayanan memberikan kontribusi terhadap nilai outcomes. Mutu adalah kecocokan penggunaan produk ( fitness for use ), untuk memenuhi kebuthan dan kepuasan pelanggan . Kecocokan dari penggunaan tersebut didasarkan atas 5 ciri utama, yaitu ( Juran, 1992 ) :

a. Teknologi ( kekuatan dan daya tahan ) b. Psikologis ( cita rasa atau status ) c. Waktu ( kehandalan )

d. Kontraktual ( adanya jaminan ) e. Etika ( sopan, santun, ramah )

Mutu ( Crosby, 1979 ) dapat juga didefinisikan sebagai kesusuaian terhadap permintaan persyaratan ( the conformance of requirement )

2.Dimensi mutu

Dimensi mutu menurut Kotler ( 2003 ) adalah :

(3)

b. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan ( feature )

c. Kehandalan ( reliability ) : probabilitas suatu produk tidak berfungsi atau gagal d. Kesesuain dengan spesifikasi ( conformance to specification )

e. Daya tahan ( durability )

f. Kemampuan melayani ( serviceability )

g. Estetik ( estethic ) : bagaimana suatu produk dipandang, dirasakan dan didengarkan

h. Ketepatan kualitas yang disepakati ( perceived quality )

3.Karakteristik mutu

Mutu yang dipersepsikan oleh pelanggan memiliki karakteristik tertentu, adapun karakteristik yang umumnya diinginkan pelanggan adalah karakteristik lebih cepat (

faster ), lebih murah ( cheaper ) dan lebih baik ( better ) dengan demikian berkaitan

dengan dimensi waktu, biaya dan dimensi kualitas.

Karakteristik lebih cepat ( faster ) sering dikaitkan dengan dimensi waktu yang menggambarkan kecepatan dan kemudahan atau kenyamanan untuk memperoleh produk. Karakteristik lebih murah ( cheaper ) sering dikaitkan dengan dimensi biaya yang meliputi harga atau ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh pelanggan. Karakteristik lebih baik ( better ) dikaitkan dengan dimensi mutu produk, ciri ini paling sulit digambarkan secara tepat ( Gaspersz, 2001)

Ciri-ciri mutu ( sebagai bentuk pelayanan pelanggn) ditandai dengan ( Slamet, 1994 ) 1. Ketapatan waktu pelayanan

2. Akurat pelayanan

3. Kesopanan dan keramahan ( unsur menyenangkan pelanggan ) 4. Bertanggung jawab atas segala keluhan (complain ) pelanggan 5. Kelengkapan pelayanan

6. Kemudahan mendapatkan pelayanan 7. Variasi layanan

8. Pelayanan pribadi 9. Kenyamanan

10. Keterlibatan atribut pendukung

4.Upaya-upaya untuk pencapaian mutu

Menurut Edward Deming ( Salis, 1993 ) terdapat prinsip yang harus dilakukan untuk mencapaimsuatu mutu dari produk/jasa yaitu :

1. Tumbuhkan terus menerus tekad yang kuat dan perlunya rencana jangka panjang berdasarkan visi ke depan dan inovasi baru untuk meraih mutu

2. Adopsi filosofi yang baru, termasuk didalamnya adalah cara-cara atau metode baru dalam bekerja

(4)

3. Hentikan ketergantungan pada pengawasan jika ingin meraih mutu. Setiap orang yang terlibat karena sudah bertekad menciptakan mutu hasil produk/jasanya, ada atau tidak pengawasan haruslah selalu menjaga mutu kinerja masing-masing 4. Hentikan hubungan kerja yang hanya atas dasar harga. Harga harus selalu terkait

dengan nilai kualitas produk atau jasa

5. Selamanya harus selalu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kualitas dan produktivitas dalam semua kegiatan

6. Lembagakan pelatihan sambil bekerja ( on the job training ), karena pelatihan adalah alat yang dahsyat untuk pengembangan kualitas kerja untuk semua tingkatan dalam unsure lembaga

7. Lembagakan kepemimpinan yang membantu setiap orang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik, misalnya : membina, memfasilitasi, membantu mengatasi kendala dll

8. Hilangkan sumber-sumber penghalang komunikasi antar bagian dan antar individu dalam lembaga.

9. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi agar mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien

10. Hilangkan slogan-slogan dan keharusan-keharusan kepada staf, hal seperti itu biasanya hanya akan menimbulkan hubungan yang tidak baik antara atasan dan bawahan, atau lebih jauh akan menjadi penyebab rendahnya mutu dan produktivitas pada system organisasi, bawahann hanya bekerja sekedar memenuhi kewajiban saja

11. Hilangkan kuota atau target-target kuantitatif belaka, bekerja dengan menekankan pada target kuantitaitf sering melupakan kualitas

12. Singkirkan penghalang yang merebut/merampas hak para pimpinan dan pelaksana untuk bangga dengan hasil kerjanya masing-masing

13. Lembagakan program pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan diri bagi semua orang dalam lembaga. Setiap orang harus sadar bahwa sebagai professional harus selalu meningkatkan kemampuan dirinya

14. LIbatkan semua irang dalam lembaga turut dalam proses tranformasi menuju peningkatan mutu. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha memperbaiki mutu produk.jasa yang diusahakan.

Pendapat lain tentang bagaimana mencapai mutu yaitu dari Philip Crosby ( Salis, 1993), bahwa terdapat 14 langlah, meliputi :

1. Komitmen pada pimpinan, inisiatif pencapaian mutu pada umumnya oleh pimpinan dan dikomunikasikan sebagai kebijakan secara jelas dan dimengerti oleh seluruh unsure pelaksana lembaga

2. Bentuk tim perbaikan mutu yang bertugas merumuskan dan mengendalikan program peningkatan mutu

3. Buatlah pengukuran mutu, dengan cara tentukan baseline data saat program peningkatan mutu dimulai, dan tentukan standar mutu yang diinginkan sebagai patokan. Dalam penentuan standar mutu libatkanlah pelanggan agar dapat diketahui harapan dan kebutuhan mereka

(5)

4. Menghitung biaya mutu. Setiap mutu dari suatu produk/jasa dihitung termasuk di dalamnya antara lain : kalau terjadi pengulangan pekerjaan, jika terjadi kecelakaan, inspeksi/supervise, dan tes/percobaan

5. Membangkitkan kesadaran akan mutu bagi setiap orang yang terlibat dalam proses produksi/jasa dalam lembaga

6. Melakukan tindakan perbaikan. Untuk ini perlu metodologi yang sistimatis agar tindakan yang dilakukan cocok dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, dan sebab itu perlu dibuat suatu seri tugas-tugas tim dalam agenda yang cermat. Selama pelaksanaan sebaiknya dilakukan pertemuan regular agar didapat feedback dari mereka

7. Lakukan perencanaan kerja tanpa cacat ( zero defect planning ) dari pimpinan sampai pada seluruh staf pelaksana

8. Adakan pelatihan pada tingkat pimpinan ( supervisor training ) untuk mengetahui

peranan masing-masing dalam proses pencapaian mutu, teristimewa bagi pimpinan tingkat menengah. Lebih lanjut juga bagi pimpinan tingkat bawah dan pelaksana

9. Adakan hari tanpa cacat, untuk menciptakan komitmen dan kesadaran tentang

pentingnya pengembangan staf

10. Goal Setting. Setiap tim/bagian merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan

tepat dan harus dapat diukur keberhasilannya

11. Berusaha menghilangkan penyebab kesalahan. Ini berarti sekaligus melakukan

usaha perbaikan . Salah satu dari usaha ini adalah adanya kesempatan staf mengkomunikasikan kepada atasannya mana diantara pekerjaannya yang sulit dilakukan

12. Harus ada pengakuan atas prestasi ( recognition ) bukan berupa uang, tapi

misalnya penghargaan atas sertifikat dan lainnya sejenis

13. Bentuk satu Komisi Mutu, yang secara professional akan merencanakan

usaha-usaha perbaikan mutu dan memonitor secara berkelanjutan

14. Lakukan berulangkali, karena mencapai mutu tak pernah akan berakhir

Menurut Slamet ( 1994 ), terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan suatu lembaga penghasil produk/jasa untuk bisa menghasilkan mutu, yaitu :

1. Menciptakan situasi “menang-menang” ( win-win solution ) dan bukan situasi “kalah menang “ diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga penghasil produk/jasa ( stake holder ). Dalam hal ini terutama antara pimpinan/pemilik lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga tersebut

2. Perlu ditumbuhkembangan unsure motivasi intrisik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu produk/jasa. Setiap orang harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatan nya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai kebutuhan dan harapan pengguna /pelanggan

3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan total quality management (TQM) bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus

(6)

4. Dalam menggerakaan segala kemampuan lembaga untuk mencapai mutu yang ditetapkan , harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsure-unsur pelaku proses mencapai hasil produksi/ jasa. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang menganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan produk/jasa yang bermutu sesuai yang diharapkan

5.Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management- TQM )

Menurut Salis ( 1993 ) Total Quality Management (TQM) adalah sebagai suatu filosofi dan suatu metodologi untuk membantu mengelola perubahan, dan inti dari TQM adalah perubahan dari perilakunya. Lebih lanjut Slamet ( 1994 ) menegaskan bahwa TQM adalah suatu prosedur dimana setiap orang berusaha keras secara terus menerus memperbaiki jalan sukses.

TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku, tetapi merupakan proses-proses dan prosedur-prosedur untuk memperbaiki kinerja. TQM juga menselaraskan usaha-usaha orang banyak sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan.

Tujuan utama TQM adalah meningkatkan mutu pekerjaan , memperbaiki produktivitas dan efisiensi.

TQM sebagai suatu prosedur untuk mencapai kesuksesan , dinilai berhasil manakala mutu dari suatu pekerjaan meningkat lebih baik kualitasnya dari sebelumnya, produktivitasnya tinggi yang ditunjukkan dengan hasil kerja berupa produk/ jasa lebih banyak jumlahnya dari sebelumnya, dan lebih efisien yang bisa diartikan lebih murah biaya produksinya atau input lebih kecil dari outputnya. Ada lima unsur utama dalam penerapan TQM, yaitu ( Slamet, 1994 ) :

1. Berfokus pada pelanggan

2. Perbaikan pada proses secara sistimatik 3. Pemikiran jangka panjang

4. Pengembangan sumber daya manusia 5. Komitmen pada mutu

6.Ciri-ciri Pokok Organisasi Dengan Pendekatan TQM

1. Struktur organisasi : disusun berdasar produk, tidak banyak eselon, kurang hirarkis, fleksibel

2. Pusat perhatian : kepada perbaikan terus menerus terhadap system dan proses organisasi

3. Karyawan memandang pimpinan/supervisor : sebagai pembimbing dan fasilitator, manajer sebagai pimpinan

4. Hubungan pimpinan/supervisor bahwahan : saling bergantung, saling percaya dan komitmen bersama

(7)

5. Pusat perhatian kayawan : tiap karyawan terarah pada upaya tim dan pola sikap mutu dan produktivitas

6. Program pendidikan dan pelatihan : sebagai asset dan investasi

7. Manajemen : menentukan produksi sesuai kebutuhan dan keinginan pelanggan.

7.Kesimpulan

1. Mutu harus selalu ditingkatkan agar kita dapat bersaing dalam era globalisasi 2. Dimensi mutu meliputi : kinerja, keistimewaan tambahan, kehandalan, kessuaian

dengan spesifikasi, daya tahan, kemampuan melayani, estetika dan ketepatan kualitas yang dipersepsikan

3. Karakteristik mutu meliputi : ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan keramahan, bertanggung jawab atas segala keluhan,kelengkapan pelayanan, kemudahan mendapatkan pelayanan, variasi pelayanan, pelayanan pribadi, kenyamanan, keterlibatan atribut pendukung

4. Perlu berbagai upaya yang harus dilakukan untuk mencapai suatu mutu pelayanan dan produk/jasa

5. Manajemen mutu terpadu sebagai suatu filosofi dan metodologi untuk membantu mengelola perubahan budaya dan perilaku dengan tujuan meningkatkan mutu pekerjaan, memperbaiki produktivitas dan efisiensi

*) Ketua Satuan Penjaminan Mutu STIKes Budi Luhur Cimahi **) Ketua STIKes Budi Luhur CImahi

Daftar Pustaka

Crosby, P.B, 1979. Quality is Free : The Art of Making Quality Certain. New York : Mc Graw Hill

Davis S and Goetch, D>L, 1994. Introduction on Total Quality : Quality, Productivity, Competitiveness. Englewood Cliff. New York Prentice Hall International, Inc

Dale H, Besterfield, 2003. Total Quality Management. Third Edition, New Jersey.Pearson Prentice Hall

Donabedian, 1990. The Quality of Care, How Can It Be Assed ? Quality Assurance in Hospital, Strategic for Assesment and Implementation. Rockvile Maryland : an Aspen Publisher

Gaspersz, Vincent. 2001. Total Quality Management in Education.Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama

Juran J. 1992, Juran on Quality. New York. Free Press

(8)

Salis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. Alih Bahasa : Riyadi, Ahmad Ali. Penerbit Ircisod

Slamet, Mergono. 1994. Manajemen Mutu Terpadu dan Perguruan Tinggi Bermutu. Proyek HEDS. Departemen Pendidikan Kebudayaan.

Wijono, Djoko.1997. Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan, Cetakan Pertama. Airlangga University Press

Wijono, Djoko. 1997. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan : Teori, Strategi dan Aplikasi. Vol. 2. Penerbit Airlangga University Press.

(9)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL TENTANG HIV/AIDS DI KOTA GARUT

TAHUN 2008

Syafrida Harahaf * ) Oktoruddin Harun **)

ABSTRAK

Dampak penyebaran HIV/AIDS di negara-negara berkembang sungguh menghawatirkan. Populasi angka kesakitan dan kematian penduduk produktif meningkat terus sehingga usia harapan hidup menurun. Selain berdampak langsung bagi kehidupan social, ekonomi suatu bangsa dan telah menimbulkan keprihatinan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Selain epidemik HIV/AIDS yang semakin merebak, maka krisis ekonomipun perlu diatasi secara lebih baik lagi, hal ini dikarenakan penyebaran HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dengan masalah kemiskinan, sebagai dampak krisis ekonomi yang berlarut-larut menyebabkan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) terus bertambah PSK merupakan kelompok rawan terjangkit virus HIV/AIDS, untuk itu mereka harus dibekali pengetahuan dan sikap yang baik tentang HIV/AIDS agar dapat bertanggung jawab melindungi diri mereka sendiri dari virus HIV/AIDS yang mematikan tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS di kota Garut tahun 2008, dengan variabel-variabel penelitian adalah umur, pendidikan, pendapatan, lama bekerja, akses informasi, pengaruh rekan kerja, anjuran medis dan sikap petugas kesehatan

Metode penelitian adalah metode survei dan merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan kros seksional. Populasi dalam penelitian ini adalah para PSK yang berada pada tempat penginapan, warung remang-remang dan yang beroperasi di jalan-jalan.. Tehnik pengambilan sampel dengan accidental sampling( responden yang diperoleh pada saat penelitian dilakukan ) sebanyak 35 orang.

Hasil penelitian menunjukkan dari variabel-variabel yang diteliti setelah dilakukan uji statistik chi square dan fisher exact pada α = 0,05 ternyata yang ada hubungan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS adalah variabel pendidikan dan pendapatan dan tidak ada variabel yang berhubungan dengan sikap PSK tentang HIV/AIDS.

(10)

PENDAHULUAN

Penyakit Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency Syndrome ( HIV/AIDS ) merupakann salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Virus HIV dan secara kilinis untuk pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1981 ( Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002 )

Berdasarkan laporan UN-AIDS tahun 2003, epidemik HIV/AIDS global sampai saat ini masih mengancam dan kasus-kasus baru meningkat pesat. Setiap hari diperkirakan 14.000 orang terinfeksi HIV, dan ini berarti terdapat penambahan 1 ( satu) kaasus baru HIV/AIDS setiap 6 detik diseluruh dunia. Hingga akhir tahun 2003 diperkirakan terdapat 40 juta orang dengan HIV/AIDS ( ODHA ) diseluruh dunia. Dan lebih dari 95 % ODHA tersebut berada di negara berkembang ( Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002 ) Di benyak negara epidemik AIDS masih dianggap “ rendah “ atau “ terkonsentrasi “. Terutama di dalam kelompok-kelompok yang mempunyai risiko tinggi, termasuk didalamnya kaum lelaki yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenisnya, kelompok menggunakan narkoba suntik dan mereka yang berada di dalam perdagangan seks. Sebuah epidemik dianggap “ terkonsentrasi “ ketika jumlah orang yang terinfeksi kurang dari 1 ( satu ) persen populasi umum dan lebih dari 5 ( lima) persen infeksi terjadi pada kelompok “ berisiko tinggi “..

Di Eropa Timur dan Asia Tengah, hampir semuanya melaporkan penularan HIV berhubungan dengan penyuntikan narkoba dan telah menyebar luas dikalangan anak-anak muda, terutama kaum pemudanya. Di beberapa bagian wilayah Amerika Latin dan Asia dan banyakm negara-negara maju, epidemik terkonsentrasi pada pria yang berhubungan seksual dengan sesama jenisnya, beberapa negara ini juga mempunyai konsentrasi epidemik hetero seksual dikalangan anak mudanya yang menjajakan seks dan pria-pria yang membeli seks dari mereka, Di beberapa negara Asia Tenggara seperti Nepal dan Vietnam, epidemik meledak dikalangan pemakai narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para pekerja seks dengan mayoritas usia dibawah 25 tahun. Di Cina, dimana sepertiga masyarakat dunia hidup, konsentrasi epidemik telah muncul dibeberapa Provinsi, dan HIV dengan cepat meluas masuk kedalam kelompok-kelompok baru ( UNICEF/UN-AIDS, 2002 ).

D Indonesia, kasus pertama ditemukan di Bali sekitar April Tahun 1987 pada seorang wisatawan Belanda. Erdwar Hop yang meninggal di RS. Sanglah Bali. Smentara itu, orang Indonesia yang pertama kali meninggal akibat AIDS terjadi pada Juni 1998, juga terjadi di Bali ( Syafruddin Anwar, 2006 ).

Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia juga sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Menurut catatan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI ( Ditjen PP & PL ), sampai dengan 30 Juni 2006 kasus HIV secara Kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 penderita AIDS dan 4.527 pengidap HIV. Adapun ratio kasus AIDS antara

(11)

pria dan wanita adalah 4,5 : 1. Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.

Kondisi diatas semakin memprihatinkan karena persentase tertinggi terdapat pada usia produktif ( 54,12 % ) yaitu kelompok usia 20-29 tahun dan sekitar 26,41% pada kelompok usia 30-39 tahun diikuti kelompok umur 40-49 tahun sekitar 8,42%. Disamping itu, telah terjadi pergeseran dalam cara penularannya yang semula hubungan seksual menjadi penyebab utama, kini kasus penularan terbanyak ( 50,5% ) melalui penggunaan jarum suntik oleh kelompok pengguna narkoba dengan jarum suntik (

Injecting Drugs Users- IDU ), sedangkan penularan melalui heteroseksual sebesar 38,7%

dan homoskesual 4,7% ( Syafruddin Amir, 2006 )

Ditjen PP & PL juga menyampaikan bahwa rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Maret 2006 adalah 3,15 per 100.000 penduduk ( Sensus, 2000) Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua ( 15,88 kali angka nasional ), Maluku ( 2,71 kali angka nasional, Kalimantan Barat ( 1,97 kali angka nasional ), Riau dan Kepulauan Riau ( 1,82 kali angka nasional ), Sulawesi Utara ( 1,62 kali angka nasional ) dan Bangka Belitung ( 1,55 kali angka nasional ). Sedangkan proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 23,8% ( Syafruddin Amir, 2006 )

Meskipun data diatas merupakan data resmi dari pemerintah, namun data sesungguhnya tidak ada yang tahu berapa persisnya, karena HIV/AIDS seperti fenomena gunung es, apa yang telihat hanyalah puncak yang menyembul di permukaan tanpa diketahui seberapa dalam dan berapa besar kasus yang sebenarnya terjadi. Saat ini diperkirakan jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia adalah 13.00 – 90.000 orang ( Syafruddin Amir, 2006 ) Tingkat penyebaran HIV dan AIDS sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun jumlah penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan pesat. Dari catatan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, penyebarannya terutama ditularkan melalui seks berisiko dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada pengguna narkoba suntik. Selain itu diperkirakan ada 13 juta orang berisiko terinfeksi HIV yang disebabkan perilaku berisiko, baik penggunaan penjaja seks, isteri pelanggan seks, serta pengguna narkoba suntik dan pasangan seksnya ( Syafruddin Amir, 2006 )

Secara global, perempuan lebih rentan tertular HIV dari pada laki-laki. Kerentanan kaum perempuan untuk tertular HIV pada umumnya karena kurangnya pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pengetahuan HIV . Selain itu secara biologis perempuan lebih berisiko untuk tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dibandingkan dengan laki-laki. Ironisnya, perempuan lebih sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya tidakmau menggunakan kondom. Berdasarkan data Depkes RI tahun 2002 disebutkan bahwa hanya 10% yang bersedia menggunakan kondom dari sekitar 10 juta pasangan seks ( Kampanye AIDS Sedunia, 2004 )

(12)

Adapun stigma masyarakat terhadap HIV/AIDS sendiri lebih cenderung menganggap HIV/AIDS hanya dialami oleh perempuan Pekerja Seks Komersial ( PSK ) menambah berat masalah sosial yang dialami odha perempuan, meskipun PSK merupakan kelompok rentan “ berisiko tinggi “ untuk tertular HIV/AIDS, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan yang tidak melakukan perilaku berisikopun bisa saja terinfeksi HIV dari pasangan tetapnya ( suami)

Pekerja Seks Komersial atau PSK, kata-kata itu sudah tidak asing lagi terdengar di masyarakat kita. Istilah PSK yang dianggap sebagai penghalusan bahasa ( eufimisme ) dari istilah pelacur atau “ lonte “, tanpa disadari seolah-olah menjadikan perbuatan itu legal karena disebut sebagai pekerja. Adapun sebagai pekerja, dikhawatirkan mereka akan menuntut legitimasi dan hak-haknya sebagai pekerja yang memberikan pelayanan kepada mereka yang membutuhkannya. Meskipun sampai dengan saat ini keberadaannya masih menjadi kontroversi, karena mereka dianggap tidak pantas atau “ dipandang hina “ oleh sebagian masyarakat kita untuk berbaur bersama komunitas masyarakat yang hidup normal lainnya. Padahal mau tidak mau, suka tidak suka kita tidak dapat menutup mata terhadap keberadaan mereka dan mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya ( Syafruddin Amir, 2006) Psndangan sinis yang datang dari masyarakat, membuat mereka menutup diri dari masyarakat yang hidup normal, sehingga pada akhirnya kebanyakan dari mereka berkumpul menjadi komunitas yang tinggal dalam suatu lokalisasi dan baru beraksi pada malam hari ditengah hingar bingarnya kehidupan dunia gemerlap malam untuk menjajakan cinta dan seks kepada konsumennya yang justru sebagian besar datang dari komunitas masyarakat yang mengaku berasal dari masyarakat yang hidup normal. Suatu fenomena kemunafikan atau mungkin juga merupakan degradasi moral atau gaya hidup ( LSM Mitra Perempuan )

Hal ini juga ditunjang dengan maraknya industri seks di Indonesia yang ikut mengantarkan peluang terbesar meningkatnya kasus HIV/AIDS dikalangan pekerja seks komersial . Di Provinsi Papua sampai dengan tanggal 8 September 2007 telah ditemukan 14 pekerja seks komersial yang positif HIV/AIDS ( Info papua.com, 2008 )

PSK dan HIV/AIDS merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan pekerjaannya, pelanggan yang ditemui selalu berbeda, datang dari mana saja dengan berbagai latar belakang fisik, sosial budaya, biologis dan lingkungan yang tidak diketahui asal usulnya,dengan satu tujuan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan seks para lelaki hidung belang. Fenomena himpitan ekonomi orang tua terpaksa membuat mereka menjalani pekerjaan di dunia pelacuran, karena merupakan cara pintas mendapatkan uang banyak, atau karena diperkosa, terjebak penjualan ( trafficking ) atau bahkan terjebak pergaulan bebas ( free-seks) dan berbagai macam motif lainnya kenapa mereka menjadi seperti itu ( LSM Mitra Perempuan Mandiri, 2006 ).

Ketika mereka telah terjebak didalamnya, akan sangat sulit bagi mereka untuk keluar dari situasi tersebut. Hal ini disebabkan karena ketiadaan bentuk pekerjaan alternatif atau

(13)

pengganti yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keteranpilan yang dimiliki atau yang dapat menandingi jumlah pendapatan mereka ketika bekerja sebagai PSK. Mereka akan terus menjadi objek seks “ sugar daddy “ ( laki-laki yang menawarkan kompesnasi uang tunai untuk melakukan hubungan seksual ) yang hampir tidak pernah menawarkan perlindungan terhadap HIV/AIDS ( UNICEF/ UNAIDS, 2002 )

Mereka sering bergonta-ganti pasangan, tergantung kepada siapa yang memakainya. Konsumennyapun berbagai macam kalangan dari tingkat ekonomi. Ada yang menjajakan birahinya di pinggir jalan, di rel-rel kereta api, panti pijat, warung remang-remang, salon-salon terselubung, dan di taman-taman kota yang siap sedia dibawa kemana pun sipemakai mengajaknya. Ada juga yang mejeng di mall-mall, di tempat-tempat kos, dilokalisasi bahkan ada yang gentayangan mencari mangsa di hotel-hotel melati dan berbintang ( Syafruddin Amir, 2006 )

Kehidupan yang dijalani oleh PSK tersebut bukan hanya milik kota-kota besar saja seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, tetapi juga sudah merambah ke kota-kota kecil lainnya termasuk Garut. Kenyataan kehidupan yang demikian sudah menjadi keseharian di kota Garut yang konon sangat relegius ini ( LSM Mitra Perempuan Mandiri, 2006 ) Berdasarkan laporan DInas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi ( DISNAKERSOSTRAN ) tahun 2006 terdapat 158 PSK yang beroperasi di kota Garut Meskipun upaya meminimalisir jumlah PSK dalam berbagai program rehabilitasi yang dilakukan oleh berbagai macam LSM, DISNAKERSOSTRAN bekerja sama dengan POLRES dan KESBANG ( SATPOL PP ) tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, paling tidak membekali mereka pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi penting untuk menekan bertambah tingginya kasus HIV/AIDS di kalangan kelompok “ risiko tinggi “ dengan tindakan preventif bagi mereka dalam melayani para pelanggannya. Karena bagaimanapun juga PSK adalah perempuan yang pada mereka terdapat hak-hak reproduksi sama seperti perempuan “ normal “ lainnya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik mnelakukan penelitian tentang fakto-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap pekerja seks komersial tetang HIV/AIDS di kota Garut

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deksriptif korelasi yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan umur PSK, pendidikan PSK, pendapatan PSK, lama bekerja PSK, akses informasi tentang HIV/AIDS, anjuran medis, pengaruh rekan kerja PSK dan sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan dan sikap PSK tentang HIV/AIDS di kota Garut . Waktu penelitian dilakukan dari tanggal 01 Juni sampai dengan tanggal 19 Juli 2008. Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional.

(14)

Populasi dalam penelitian ini adalah semua PSK yang berada di kota Garut, yang diperkirakan berjumlah sekitar 158 PSK..

Sampel yang digunakan adalah sebagian dari PSK yang ada di kota Garut. Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling yaitu pengambilan responden PSK yang kebetulan ada atau tersedia pada waktu penelitian, adapun jumlah sampel 35 orang PSK.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup.

HASIL PENELITIAN Hasil Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Tehnik dalam analisis ini adalah tabulasi silang dengan uji statistik Kai Kuadrat dengan derajat kemaknaan pada α = 0,05 dan uji Fisher Exact karena dari hasil penelitian pada tabel 2 X 2 yang mempunyai satu atau lebih sel mempunyai nilai harapan kurang dari 5

1.Hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 1

Hubungan Antara Umur Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Umur Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Muda 14 60,9 9 39,1 23 100 1.00 Tua 8 66,7 4 33,3 12 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada table diatas diperoleh sebanyak 14 orang ( 60,9 %) dari 23 responden termasuk dalam kategori umur muda memiliki pengetahuan tinggi dan 9 orang ( 39,1%) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori umur tua terdapat 8 orang ( 66,7%) dari 12 responden yang mmemiliki pengetahuan tinggi dan sisanya 4 orang lagi memiliki pengetahaun rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara umur responden dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

(15)

2.Hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 2

Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Pendidikan Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Tinggi 10 43,5 13 56,5 23 100 0,001 Rendah 12 100 0 0 12 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 10 orang ( 43,5% %) dari 23 responden termasuk dalam kategori pendidikan tinggi memiliki pengetahuan tinggi dan 13 orang ( 56,5 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori pendidikan rendah 12 orang ( 100 %) dari 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan tidak ada yang pengetahaun rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pendidikan responden dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P < 0,05 )

3.Hubungan antara pendapatan dengan pengetahuan PSK tentang HIV?AIDS

Tabel 3

Hubungan Antara Pendapatan Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Pendapatan Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Tinggi 11 91,7 1 8,3 12 100 0,013 Rendah 11 47,8 12 52,2 23 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara pendapatan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 11 orang ( 91,7 %) dari 12 responden termasuk dalam kategori pendidikan tinggi memiliki pengetahuan tinggi dan 1 orang ( 8,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori pendidikan rendah 11 orang (47,8 %) dari 23 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 13 orang (37,1%) yang pengetahaun rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata ada hubungan antara pendapatan responden dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P < 0,05 )

(16)

4.Hubungan antara lama kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 4

Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV / AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Lama Kerja Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Lama 2 66,7 1 33,3 3 100 1,00 Baru 20 62,5 12 37,5 32 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara lama kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 2 orang ( 66,7 %) dari 3 responden termasuk dalam kategori sudah lama bekerja memiliki pengetahuan tinggi dan 1 orang ( 33,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori baru bekerja 20 orang (62,5 %) dari 32 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 12 orang (37,5%) yang pengetahaun rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara lama kerja responden dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

5.Hubungan antara akses informasi dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 5

Hubungan Antara Akses Informasi Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Akses Informasi Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Pernah 13 61,9 8 38,1 21 100 1,00 Tidak Pernah 9 64,3 5 35,7 14 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara akses informasi dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 13 orang ( 61,9 %) dari 21 responden termasuk dalam kategori pernah mengakses informasi memiliki pengetahuan tinggi dan 8 orang ( 38,1 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori tidak pernah mengakses informasi 9 orang (64,3 %) dari 14 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 5 orang (35,7 %) yang pengetahuan rendah.

Hasil uji Kai Kuadrat pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara lama kerja responden dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

(17)

6.Hubungan antara anjuran medis dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 6

Hubungan Antara Anjuran Medis Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Anjuran Medis Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Pernah 8 80 2 20 10 100 0,259 Tidak Pernah 14 56 11 44 25 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara anjuran medis dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 8 orang ( 80 %) dari 10 responden termasuk dalam kategori pernah mendapat anjuran medis memiliki pengetahuan tinggi dan 2 orang ( 20 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori tidak pernah mendapat anjuran medis 14 orang (56 %) dari 25 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 11 orang (44 %) yang pengetahuan rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan anjuran medis dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

7.Hubungan pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 7

Hubungan Antara Pengaruh Rekan Kerja Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Pengaruh Rekan Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Positif 17 73,9 6 26,1 23 100 0,079 Negatif 5 41,7 7 58,3 12 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada tabel diatas diperoleh sebanyak 17 orang ( 73,9 %) dari 23 responden termasuk dalam kategori pernah mendapat pengaruh positif rekan kerja memiliki pengetahuan tinggi dan 6 orang ( 26,1 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori pernah mendapat pengaruh negatif 5 orang (41,7 %) dari 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 7 orang (58,3 %) yang pengetahuan rendah.

Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pengaruh rekan kerja dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

(18)

8.Hubungan sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Tabel 8

Hubungan Antara Sikap Petugas Kesehatan Dengan Pengetahuan PSK Tentang HIV /AIDS Di Kota Garut Tahun 2008

Sikap Petugas Pengetahuan n Nilai P Tinggi Rendah f % f % Ramah 10 66,7 5 33,3 15 100 0,960 Tidak Ramah 12 60 8 40 20 100 Total 22 62,9 13 37.1 35 100

Hasil analisis hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada Tabel diatas diperoleh sebanyak 10 orang ( 66,7 %) dari 15 responden termasuk dalam kategori yang menyatakan sikap petugas kesehatan ramah dalam memberikan pelayanan memiliki pengetahuan tinggi dan 5 orang ( 33,3 %) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori yang menyatakan petugas tidak ramah sebanyak 12 orang (60 %) dari 20 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan 8 orang (40 %) yang pengetahuan rendah.

Hasil uji Kai Kuadrat pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara sikap petugas kesehatan dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS ( P > 0,05 )

PEMBAHASAN

1.Hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS

Dari hasil penelitian didapat hasil hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS sebanyak 14 orang ( 60,9%) dari 23 responden yang termasuk dalam kategori umur muda meiliki pengetahuan tinggi, dan 9 orang ( 39,1% ) memiliki pengetahuan rendah. Sedangkan pada kategori umur tua terdapat 8 orang ( 66,7% ) dari 12 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan sisanya 4 responden memiliki pengetahuan rendah.

Hasil uji statistik didapat hasil tidak ada hubungan antara umur dengan pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS.

Berdasarkan teori, umur dapat mempengaruhi pengetahuan salah satunya diperoleh dari pengalaman seseorang. Seorang yang berumur lebih berpengalaman dan pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang ( Notoatmodjo, 2003 ). Selanjutnya dalam penelitian disebutkan bahwa sebanyak 270.000 PSK yang ada di Indonesia, sekitar 60% diantaranya berusia 24 tahun atau kurang dan hanya 30% saja yang memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS ( www.antaranews.co.id, 2007 )

(19)

Tetapi dalam penelitian ini, tidak ditemukan bahwa umur PSK yang lebih tua dapat mempengaruhi pengetahuannya tentang HIV/AIDS, Justru PSK dengan umur muda, pengetahuan dan pemahamannya tentang HIV/AIDS lebih baik. Selain itu dari 35 responden PSK yang diteliti, responden yang berumur tua hanya 2 orang lebih sedikit dibandingkan responden PSK yang berusia muda.

Ada beberapa faktor lain yang berkaitan dengan tingginya pengetahuan PSK tentang HIV/AIDS pada responden yang berusia muda. Diantaranya pendidikan serta akses informasi yang mereka dapatkan selain dari faktor umur. Makin berkembangnya dunia teknologi di era globalisasi seperti sekarang ini membuat siapapun dengan cepat memperoleh informasi tentang apa saja yang diperlukan. Tetapi tentunya hal ini tergantung dari kemauan individu tersebut untuk dapat mencari, membuka dan menerima informasi yang didapat apakah berguna atau tidak untuk kepentingan dirinya.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hal-hal yang berkaitan dengan kondisi fisik lingkungan kerja (Working Condition) menunjukkan bahwa 12 orang (85.71%) personel merasa kondisi fisik lingkungan kerja

Aplikasi ini menyajikan informasi persediaan barang yang kritis, barang yang paling laku terjual sesuai periode waktu yang diminta, omset toko, piutang (pinjaman) dari

AgriPower (slag) dengan takaran 500 dan 1000 kg per hektar yang diberikan pada saat tanam tidak efektif dalam mengurangi emisi CH 4 dan N 2 O selama pertumbuhan tanaman

Pemboran berarah adalah salah satu seni membelokan lubang sumur untuk kemudian diarahkan ke suatu sasaran tertentu di dalam formasi yang tidak terletak vertikal di bawah mulut

Analisis laporan arus kas dilakukan terhadap data yang terdapat pada neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas itu sendiri. Analisis ini juga berhubungan dengan

pendapatan Bakrieland juga dipengaruhi oleh stabilitas kondisi makro ekonomi. Ketika terjadi gejolak perekonomian seperti peningkatan suku bunga dan inflasi, atau terjadi fluktuasi

Sebelumnya beliau pernah menduduki berbagai posisi antara lain sebagai CEO PT Bakrie Capital Indonesia, Komisaris Bakrieland, Presiden Direktur Bank Tabungan Pensiunan

00730 AGUS DINDIN SYARIFUDIN SD NEGERI BABAKAN SURABAYA 02 00731 DIAN WIDIANINGSIH SD NEGERI BABAKAN SURABAYA 02 00732 SUWARSIH SD NEGERI BABAKAN SURABAYA 02 00733 DEDE MARYANI