BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Padi
Dalam bahasa latin, padi disebut dengan “Oryza sativa L”. Tanaman semak semusim ini merupakan tanaman yang berbatang basah, dengan tingi antara 50cm-1,5m. Batangnya tegak, lunak, beruas, berongga, kasar dan berwarna hijau. Padi mempunyai daun tunggal berbentuk pita yang panjangnya 15-30cm. Ujungnya runcing, tepinya rata, berpelepah, pertulangan sejajar, dan berwarna hijau. Bunganya majemuk berbentuk malai. Buahnya seperti buah batu (keras) dan terjurai pada tangkai. Setelah tua, warna hijau akan menjadi kuning. Bijinya keras, berbentuk bulat telur, ada yang berwarna putih atau merah. Butir-butir padi yang sudah lepas dari tangkainya disebut gabah, dan yang sudah dibuang kulit luarnya disebut beras. Bila beras dimasak, maka namanya menjadi nasi, yang merupakan bahan makanan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia (Deptan, 2008).
Menurut Yandianto (2003), kesuburan tanah merupakan syarat mutlak yang dibutuhkan tanaman padi. Tanah subur, artinya cukup mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Tingkat kesuburan tanah cenderung bersifat sementara. Artinya, pada suatu ketika kesuburan tanah dapat menurun bahkan hilang. Kesuburan tanah dapat berkurang antara lain disebabkan oleh:
1. Pengikisan air dan angin (erosi).
3. pengolahan tanah yang salah.
Akar pertama yang timbul dari radikula tidak lama hidupnya, dalam beberapa hari akar pertama itu akan mati dan fungsinya sebagai penyerap air untuk kebutuhan kecambah, diambil alih oleh akar-akar yang bermunculan pada buku-buku batang kecambah yang terbawah dari batang kecambah (Sugeng, 2001).
2.1.2. Metode SRI(System of Rice Intensification)
Upaya swadaya rakyat yang dikawal oleh semangat serta kiprah Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) selama tahun 2000-2010 untuk mengangkat kesejahteraan petani melalui perbaikan produktivitas pertanian padi dengan metodeSystem of Rice Intensification(SRI) mampu memanen banyak manfaat yang sangat berarti (Purwasasmita dan Sutaryat, 2012).
Pola pertanian padi SRI (System of Rice Intensification) merupakan perpaduan antara metode budidaya padi SRI yang pertamakali dikembangkan di Madagaskar, dengan metode budidaya padi organik dalam praktek pertanian organik. Metode ini akan meningkatkan fungsi tanah sebagai media tumbuh dan sumber nutrisi tanaman. Dengan sistem SRI daur ekologis akan berlangsung dengan baik karena memanfaatkan mikroorganisme tanah secara natural. Pada gilirannya keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan akan selalu terjaga. Di sisi lain, produk yang dihasilkan dari metode ini lebih sehat bagi konsumen karena terbebas dari paparan zat kimia berbahaya (Lubis, 2000).
Menurut Mutakin(2005), SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan
presentasi SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar. Hasil metode SRI sangat memuaskan, di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
SRI (System of Rice Intensification) mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ. Seorang pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemuannya, metode ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive yang disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris popular dengan namaSystem of Rice
Intensification yang disingkat SRI. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina
(ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian,
Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD),
Ranomafana NationalParkdi Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri
Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Berkelaar, 2008).
Menurut Berkelaar (2005), mulanya praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”. SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun telah dilakukan. Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah seoptimal mungkin disepanjang musim. Praktek ini seolah-olah mengurangi resiko kegagalan bibit mati. Masuk akal bahwa tanaman yang lebih matang seharusnya mampu bertahan lebih baik. Penanaman dalam bentuk rumpun akan menjamin beberapatanaman tetap hidup saat pindah tanam (transplanting) dan penanaman dalam air yang menggenang menjamin kecukupan air dan gulma sulit tumbuh.
Terlepas dari alasan tersebut, para petani yang menerapkan metode SRI belum menemukan resiko yang lebih besar daripada metode tradisional.
Menurut berkelaar (2008), ada 6 penemuan kunci penerapan SRI: 1. Bibit transplantasi lebih awal
Bibit padi transplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Benih harus disemai pada petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air. Saat transplantasi dari petak semaian, harus hati-hati serta menjaga tetap lembab. Bibit harus ditransplantasikan secepat mungkin setelah dipindahkan dari persemaian. Saat menanam benih di sawah, benamkan benih dalam posisi horizontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas. Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Transplantasi saat benih masih
muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif. Bulir padi dapat muncul pada malai.
2. Bibit ditanam satu per satu
Bibit ditanam satu per satu, tidak secara berumpun, yang terdiri dari dua atau tiga tanaman. Ini dimaksudkan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing selalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
3. Jarak tanam
Dibandingkan dengan baris yang sempit, bibit lebih baik ditanam dalam pola luasan yang cukup luas dari segala arah. Ada beberapa ukuran jarak tanam pada SRI, yaitu: 25 cm x 25 cm, 30 cm x 30 cm dan 35 cm x 35 cm.
Untuk membuat jarak tanam lebih tepat, petani dapat meletakkan tongkat-tongkat di pinggir sawah, lalu diantaranya diikatkan tali melintasi sawah. Tali diberi tanda interval yang sama, sehingga dapat menanam dalam pola segi empat. Dengan jarak tanam yang lebar ini, memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi.
4. Kondisi tanah
Secara tradisional penanamanpadi biasanya selalu digenangi air. Namun, sebenarnya air yang menggenang membuat sawah menjadi kekurangan oksigen bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Akar padi akan mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar saat tanaman mencapai masa berguna.
Dengan SRI, petani hanya memakai ½ dari kebutuhan air pada sistem tradisional yang biasa menggenangi tanaman padi. Tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Kondisi tidak tergenang yang dikombinasikan dengan pengairan mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.
Pada tanaman padi sawah yang tergenang air, diakar padi akan terbentuk kantong udara yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen. Namun, karena kantong udara ini mengambil 30-40% korteks akar, maka dapat berpotensi menghentikan penyaluran nutrisi dari akar ke seluruh bagian tanaman. Penggenangan dapat dilakukan sebelum pendangiran untuk mempermudah pendangiran. Selain itu penggenangan air paling baik dilakukan pada sore hari, sehingga air yang berada di permukaan mulai mengering keesokan harinya. Perlakuan ini membuat sawah mampu untuk menyerap udara dan tetap hangat sepanjang hari. Sebaliknya sawah yang digenangi air justru akan memantulkan kembali radiasi matahari matahari yang berguna, dan hanya sedikit menyerap panas yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Dengan SRI, kondisi tak tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan, sawah digenangi air 1-3 cm seperti yang diterapkan di praktek tradisioanal. Petak sawah diairi secara tuntas mulai 25 hari sebelum panen.
5. Pendangiran
Pendangiran adalah usaha menggemburkan tanah disekitar tanaman untuk memperbaiki struktur tanah yang berguna untuk perkembangan tanaman.
Pendangiran dapat dilakukan dengan tangan atau alat sederhana. Para petani di Madagaskar beruntung setelah menggunakan alat pendengarin yang dikembangkan oleh Internasional Rice ResearchInstitue sejak tahun 1960 an, yang mampu mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan hasil panen. Alat ini mempunyai roda putar bergerigi yang berfungsi untuk mengaduk tanah saat ditekan kebawah dan tidak merusak tanaman karena ada jarak diantara roda.
Pendangiran pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah transplantasi dan pendangiran ke dua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali pendangiran, namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil hingga satu atau 2 ton/ha. Hal ini disebabkan karena tidak hanya sekedar membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah dapat memperbaiki struktur dan meningkatkan aerasi tanah.
6. Asupan organik
Awalnnya SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980 an, petani disarankan untuk menggunakan kompos, dan ternyata hasilnya lebih bagus. Kompos dapat dibuat dari macam-macam sisa tanaman, seperti jerami, serasah tanaman dan dari bahan tanaman lainnya, dengan tambahan pupuk kandang bila ada. Daun pisang bias menambah unsur potassium, daun tanaman kacang-kacangan dapat menambah unsur N. Kompos menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan dapat memperbaiki struktur tanah.
2.1.3. Adopsi Petani terhadap Teknologi
Besarnya perhatian dan keyakinan Pemerintah Indonesia akan pentingnya sektor pertanian dapat dilihat dari kesungguhannya dalam membangun pertanian di negara ini. Segala sarana dan prasarana pertanian disediakan, demikian pula segala kemudahan bagi petani, termasuk berbagai bentuk subsidi. Guna mencapai peningkatan produksi, teknologi memang diperlukan, dan para petani perlu mengadopsi teknologi itu. Petani harus berubah dari penggunaan teknologi lama ke penggunaan teknologi baru yang lebih maju (Slamet, 2003).
Adopsi petani terhadap teknologi pertanian sangat ditentukan dengan kebutuhan akan teknologi tersebut dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial budaya. Oleh karena itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Menurut Yusdja, dkk (2004), petani sebagai subjek utama yang menentukan kinerja produktivitas usahatani yang dikelolanya. Secara naluri petani menginginkan usahataninya memberikan manfaat tertinggi dari sumber daya yang dikelolanya. Produktivitas sumberdaya usahatani tergantung pada teknologi yang diterapkan. Menurut Ginting (2002), dalam penerimaan inovasi (adopsi) terdapat lima (5) tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang bersedia menerapkan inovasi yang diperkenalkan kepadanya, yaitu sebagai berikut:
1. Sadar, adalah seseorang belajar tentang ide baru produk, atau praktek baru. Dia hanya mempunyai pengetahuan umum mengenai ide baru tersebut, tidak mengetahui kualitasnya dan pemanfaatannya secara khusus.
2. Tertarik, adalah seseorang tidak hanya mempunyai pengetahuan keberadaan ide baru itu, tapi ingin mendapatkan informasi lebih banyak dan lebih mendetail. 3. Penilaian, adalah seseorang menilai semua informasi yang diketahuinya dan
memutuskan apakah ide baru itu baik atau tidak untuknya.
4. Mencoba, adalah seseorang sekali dia putuskan bahwa dia menyukai ide tersebut, dia kan mengadakan percobaan. Hal ini mungkin terlaksana dalam kurun waktu yang lama dan dalam skala yang terbatas.
5. Adopsi atau menerapkan, adalah tahap seseorang meyakini akan kebenaran atau keunggulan juga mendorong penerapan orang lain, dan inovasi biasanya diadopsi dengan cepat karena:
1. Memiliki keuntungan relatif tinggi bagi petani. 2. Sesuai dengan nilai-nilai sosial adat setempat. 3. Tidak rumit.
4. Dapat dicoba dalam skala kecil. 5. Mudah diamati.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Teori Adopsi
Pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui tahapan sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan fisik maupun sosial), dan aktivitas/ kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh). Inti dari setiap upaya pembangunan yang disampaikan melalui kegiatan penyuluh, pada dasarnya ditujukan untuk tercapainya perubahan perilaku masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup yang mencakup banyak aspek, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, idiologi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Karena itu, pesan pembangunan yang disuluhkan haruslah mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat pembaharuan (Arip, 2009).
Adopsi adalah keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menerima motivasi dan menggunakannya dalam praktek usahataninya. Proses adopsi merupakan perubahan kelakuan yang terjadi dalam diri petani melalui penyuluhan biasanya berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena dalam penyuluhan hal-hal yang disampaikan sebelum dapat diterima dan diadopsi oleh petani, memerlukan keyakinan dalam diri petani bahwa hal-hal baru ini akan berguna. Bila dalam diri petani telah timbul keyakinan akan manfaat dari teknologi baru sehingga petani mau melaksanakannya (Slamet, 2003).
2.2.2. Teori Produksi
Produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasi berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output (Soekartawi, 2002).
Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan di antara tingkat produksi suatu barang dengan sejumlah faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi produk tersebut (Sukirno, 2003).
Analisis tentang biaya produksi akan meliputi biaya produksi total dan biaya produksi variabel (berubah-ubah). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperolah produksi yang tidak dapat diubah jumlahnya. Biaya variabel (biaya berubah-ubah) adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya. Sedangkan biaya rata-rata adalah biaya untuk memproduksi sejumlah produk tertentu dibagi dengan jumlah produk tersebut, baik itu biaya tetap ataupun biaya variabel. Biaya produksi adalah sebagai kompensasi yang diterima oleh para pemilik faktor-faktor produksi, atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi, baik secara tunai maupun tidak tunai (Moehar, 2002).
2.2.3. Pendapatan
Pendapatan adalah sumber utama dalam berbagai kegiatan yang dilakukan semua masyarakat. Semua kebutuhan akan barang maupun jasa dapat terpenuhi dengan adanya pendapatan baik dalam bentuk uang maupun barang. Daya beli ataupun konsumsi seseorang tergantung dari pendapatan yang dibelanjakan. Apabila pendapatan yang dibelanjakan berubah maka jumlah barang atau jasa yang diminta juga akan berubah (Rahim dan Diah, 2008).
Menurut Rahim dan Diah (2008), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan meliputi pendaptan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/penerimaan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi.
Menurut soekartawi (2002), biaya usahatani diklsifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun prodiksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besar biaya ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh.
2. Biaya tidak tetap (variabel cost) addalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh.
Biaya usahatani atau disebut dengan total biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap, dengan rumus sebagai berikut:
TC= FC + VC Keterangan:
TC = Total Biaya (Rp) FC = Biaya Tetap (Rp) VC = Biaya Variabel (Rp)
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = Y. PY Keterangan:
TR = Total Penerimaan (Rp)
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani PY = Harga (Rp)
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya sehingga dapat ditulis dengan rumus :
Pd = TR – TC Keterangan: Pd = Pendapatan usahatani (Rp) TR = Total penerimaan (Rp) TC = Total biaya (Rp). 2.3.Penelitian Terdahulu
Nasution (2012), dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terhadap Pendapatan Padi Sawah Studi Kasus Desa Pematang Setarak Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai” menyatakan bahwa variabel yang diamati adalah bagaimana
dampak penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terhadap pendapatan petani. Analisis data yang digunakan adalah uji beda rata-rata (Compare
Means) metode dependent sample t-testyaitu dua sampel yang berpasangan dengan
alat bantu SPSS 18. Penelitiannyamenyimpulkan bahwa tingkat adopsi teknologi pada petani adalah sangat berhasil dengan rata-rata skor 30,96. Kemudian terdapat dampak positif penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terhadap tingginya pendapatan petani.
Amril Hanapi Nasution (2015), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Dampak Adopsi Teknologi Budidaya Jagung terhadap Pendapatan Petani Studi Kasus Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok Pardamean Kabupaten Simalungun” menyatakan bahwa tingkat adopsi petani jagung terhadap teknologi budidaya jagung sesuai anjuran di daerah penelitian adalah tinggi. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah adopsi teknologi budidaya jagung serta adopsi teknologi budidaya jagung sesuai anjuran berdampak positif terhadap pendapatan petani.
Citranty Akriana (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Tingkat Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan Produktivitas Padi Sawah Lahan Irigasi Kasus Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang” menyatakan bahwa tingkat adopsi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada kegiatan pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian gulma, pengendalian hama penyakit, penggunaan irigasi, pemanenan dan pasca panen di daerah penelitian adalah sedang. Penelitian juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat adopsi teknologi dengan produktivitas padi sawah lahan irigasi di daerah penelitian.
Nuhfil Hanani AR (2013), Dalam penelitiannya berjudul “Tingkat Adopsi Sistem Usahatani Konservasi dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Pendapatan Petani Studi Kasus Desa Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu” menyatakan bahwa tingkat adopsi sistem usahatani konservasi di Desa Sumber Brantas dan Desa Tulungrejo masih relatif rendah. Adopsi sistem usahatani konservasi memiliki pengaruh nyata (pada taraf kepercayaan 95%) dan positif terhadap pendapatan usahatani sayuran dengan nilai koefisien regresi variabel sebesar Rp.4.473.000. Menunjukkan bahwa peningkatan 1 level tingkat adopsi akan menyebabkan peningkatan pendapatan petani sayur sebesar Rp.4.473.000.
2.4. Kerangka Pemikiran
Untuk meningkatkan produksi padi banyak dilakukan penelitian-penelitan dan salah satunya adalah penelitian mengenai teknik budidaya atau sistem penanaman. Dimana penelitan tersebut telah menemukan bentuk sistem penanaman padi yang mampu meningkatkan produksi sekaligus memperbaiki ekosistem tanaman. Metode yang dimaksudkan adalah System of Rice Intensification (SRI).
Dalam upaya menumbuhkan minat petani untuk mengadopsi metode SRI ini, pemerintah melalui penyuluh pertanian telah memberikan bantuan berupa input produksi dan maksimalisasi kegiatan penyuluhan pertaniankepada petani yang ingin menerapkan SRI pada usahatani padi sawah mereka.
Metode SRI yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui penyuluhan pertanian tentunya akan mengandung respon atau tanggapan yang berbeda-beda dari petani, respon yang dimaksudkan adalah kemauan petani dalam mengadopsi metode tersebut. Sebelum petani bersedia mengadopsi metode yang diperkenalkan kepadanya, ada tahapan yang harus dilalui yaitu: tahap sadar, minat, menilai, mencoba dan menerapkan. Selanjutnya, dalam mengadopsi metode System of Rice
Intensification(SRI), tentu tingkat adopsi petani tidak akan sama. Ada yang tinggi,
sedang dan ada pula yang rendah.
Pemanfaatan metode SRI dalam usahatani padi sawah akan mendorong petani meningkatkan produksi dan produktivitas padi mereka guna memperoleh keuntungan serta pendapatan yang maksimal sehingga akan diketahui dampaknya terhadap pendapatan petani apakah pendapatan petani menjadi meningkat atau menurun
Keterangan:
: Hubungan : Pengaruh
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Pendapatan Pendapatan
Sebelum
Rendah Sedang Tinggi
Adopsi Metode : 1. Persiapan benih 2. Penanaman 3. Pemeliharaan Tanaman 4. Pengolahan Tanah 5. Pemupukan
6. Pengendalian Hama Penyakit 7. Pemanenan
Adopsi Metode SRI
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan skema kerangka pemikiran maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Tingkat adopsi petani padi sawah terhadap metode SRI (System Rice
Intensification) di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang adalah tinggi.
2. Ada perbedaan pendapatan petani sebelum dan sesudah mengadopsi metode SRI (System Rice Intensification) di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang. 3. Penerapan metode SRI (System of Rice Intensification) berdampak positif
terhadap pendapatan petani padi sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang.
4. Adanya hubungan yang nyata antara tingkat adopsi metode SRI (System of Rice
Intensification) dengan pendapatan petani padi sawah di Kecamatan Beringin