• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Pertanian di Indonesia

Dengan adanya kekayaan hayati dan Sumber Daya Alam (SDA) merupakan anugrah yang harus dibangun dan dilestarikan bukan justru kepunahan dan kehancuran alam. Dengan kekayaan hayati dan SDA Indonesia ditakdirkan sebagai negara yang cocok dalam bidang pembangunan pertanian yang tidak dipunyai oleh negara lain. Hanya bagaimana mengatur strategi pembangunan pertanian sehingga negara Indonesia mampu menjadi negara maju dengan dukungan kekayaan SDAnya. Perjalanan permbangunan pertanian Indonesia mengalami pasang surut yang sangat dilematis. Indonesia sebagai negara agrais yang harusnya mengedepankan pertanian sebagai fundamental pembangunan yang berkelanjutan, agaknya patah di jalan dan pemerintah berpaling pada eksplorasi dan pembangunan teknologi tinggi industri kapal terbang, yang melupakan pentingnya pertanian karena dianggap hasil pertanian terhadap produk domestik domestik bruto (PDB) kecil, yang akhirnya mengalami keterpurukan seluruh sendi perekonomian di Indonesia setelah terjadi resesi ekonomi pada tahun 1997 (Sukino, 2013).

Perkembangan pertanian di Indonesia apabila ditelusuri dari waktu ke waktu mengalami berbagai pasang surut. Bidang pertanian sebagai sebagai dasar perekonomian kerakyatan yang pada awalnya sangat diandalkan dalam menopang sendi-sendi pembangunan bangsa, pada akhirnya mengalami berbagai gejolak permasalahan. Penyebabnya adalah berbagai kebijakan yang justru menciptakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi para petani. Kebijakan-kebijakan yang

(2)

ditempuh oleh pemerintah dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan pertanian malah bermuara pada permasalahan yang sangat kompleks. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya memberatkan para petani sebagai mayoritas pelaku di bidang pertanian. Upaya-upaya yang ditempuh dalam menyejahterakan kehidupan para petani dianggap belum berhasil. Karena dalam mengambil keputusan, pemerintah kurang berpihak pada kaum petani dan cenderung merugikan petani (Husodo, et al., 2004).

Meskipun sektor pertanian memberikan sumbangan besar dalam penciptaan kesempatan kerja dan jaminan pendapatan kepada masyarakat, namun ketidakseimbangan sistematik masih sering terjadi pada kelompok masyarakat tani yang sebagian besar berada di perdesaan. Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses faktor produksi serta potensi dan kesempatan yang beragam belum dapat mengurangi wajah kesenjangan antar sektor, antar daerah, dan antar golongan masyarakat pada sektor pertanian. Implikasi dari kondisi demikian membuat sebagian besar penduduk masih berada dalam kondisi tertinggal. Sehingga pembangunan pertanian seolah hanya menguntungkan pelaku kegiatan ekonomi pertanian yang lebih kuat. Hasil-hasil pembangunan pertanian tidak serta merta dapat merembes ke bawah sehingga tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani seperti yang diharapkan. Keadaan ini digambarkan oleh angka kemiskinan di perdesaan masih besar serta nilai tukar petani (NTP) yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi non-pertanian. Meskipun perkembangan NTP telah relatif membaik namun belum merata terjadi di seluruh wilayah penghasil pangan (Sumodoningrat, 2001).

(3)

2.2 Lahan Pertanian

Lahan mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi investor swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan (Yudhistira, 2013).

Menurut Hanafie (2010), penggunaan lahan/tanah dalam usahatani tanaman padi adalah berupa lahan sawah. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (gelengan), saluran untuk menahan/ menyalurkan air yang biasanya ditanami padi sawah. Lahan sawah dibedakan menjadi:

a. Lahan sawah irigasi (berpengairan), yaitu lahan sawah yang mendapatkan air dari sistem irigasi, baik bangunan penyadap dan jaringannya yang dikelola oleh instansi pemerintah seperti Dinas Pengairan maupun oleh masyarakat. b. Lahan sawah tanpa irigasi (tak berpengairan) yang meliputi sawah tadah hujan

(sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan), sawah pasang-surut (sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut), dan sawah lainnya (misalnya, lebak, polder, dan lahan rawa yang ditanami padi, dan lain-lain).

(4)

Semula fungsi utama lahan ialah untuk bercocok tanam padi, palawija, atau hortikultura. Kini dengan gencarnya industrialisasi, lahan-lahan produktif pertanian berubah menjadi pabrik-pabrik, jalan tol, permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya. Jika dalam setahun alih fungsi lahan terdata sekitar 4.000 hektar, dalam lima tahun ke depan lahan produktif yang beralih fungsi mencapai 20.000 hektar (Suwandi, 2002).

2.3 Alih Fungsi Lahan Pertanian

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.

Konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Hal ini mulai terjadi sejak dikeluarkannya paket-paket kebijakan yang mendorong investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di bidang nonpertanian sekitar pertengahan 1980-an. Keperluan lahan nonpertanian mengikuti trend peningkatan investasi tersebut. Keperluan lahan untuk bidang nonpertanian semakin meningkat pula seiring dengan booming pembangunan

(5)

perumahan pada awal tahun 1990-an. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas untuk mendorong pembangunan wilayah. Laju alih fungsi lahan dari yang semula digunakan untuk pertanian menjadi perumahan dan industri tidak dapat dihindari. Departemen Pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian terkait dengan keterbatasan lahan (Sudaryanto, 2002).

Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.

2.3.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari

(6)

alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal.

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

2. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan.

Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

(7)

Menurut Soekartawi 2005 faktor penyebab alih fungsi lahan pertanian adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan

2. Lokasi lahan pertanian yang strategis diminati untuk kegiatan non-pertanian 3. Fragmentasi lahan pertanian

4. Kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian

2.3.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion dan Winoto, 1996).

Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah. Alih fungsi dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk., 2006).

(8)

2.4 Landasan Teori 2.4.1 Forecasting

Peramalan merupakan suatu usaha untuk meramalkan keadaan di masa mendatang melalui pengujian keadaan masa lalu. Esensi peramalan adalah perkiraan peristiwa-peristiwa diwaktu yang akan datang dasar pola-pola diwaktu yang lalu, dan menggunakan kebijakan terhadap proyeksi-proyeksi dengan polapola diwaktu yang lalu (Prasetyo, 2009). Peramalan atau forecasting merupakan metode untuk memperkirakan suatu nilai di masa depan dengan menggunakan data masa lalu. Peramalan diartikan juga sebagai ilmu yang memperkirakan kejadian yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Peramalan bukanlah suatu dugaan, peramalan menggunakan perhitungan matematis sebagai bahan pertimbangan.

Tujuan dari peramalan adalah meramalkan nilai nilai atau keadaan yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Peramalan menggunakan metode deret waktu yang didasarkan nilai masa lalu dari suatu variable atau kesalahan peramalan dimasa lalu. Tujuan peramalan deret waktu ini adalah untuk menemukan pola dalam deret data historis dan digunakan untuk mengekstrapolasikan pola dalam deret data tersebut kedalam masa depan.

2.4.2 Teori Produksi

Menurut Rosyidi (2005) produksi tentu saja tidak akan dapat dilakukan kalau tiada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Semua unsur itu disebut faktor-faktor produksi (factors of production). Jadi semua unsur yang

(9)

menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Seperti yang baru saja disebutkan, faktor-faktor produksi itu terdiri atas :

1. Tanah

Hal yang dimaksud dengan istilah land atau tanah di sni bukanlah sekadar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula di dalamnya segala sumber daya alam (natural resource). Itulah sebabnya faktor produksi yang pertama ini sering kali pula disebut dengan sebutan natural resources disamping juga sering disebut land. Dengan demikian, istilah tanah atau land ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa menjadi faktor produksi dan berasal dan ataua tersedia di alam ini tanpa usaha manusia.

2. Tenaga Kerja

Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labour) bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan segala kegiatan fisik lainnya. Hal yang dimaksudkan di sini memanglah bukan sekedar tenaga kerja saja.

1. Modal

Barang-barang modal riil (real capital goods) adalah sebutan bagi modal, yang meliputi semua jenis barang yang di buat untuk menunjang kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa.

2. Kecakapan Tata Laksana

Ketiga faktor produksi yang telah disebutkan adalah faktor-faktor produksi yang dapat diraba (tangible), faktor produksi yang keempat ini merupakan faktor produksi yang sifatnya tidak dapat diraba (intangible). Lazimnya, kecakapan

(10)

(skill) merupakan sesuatu yang peranannya tidak sah lagi, tetapi sangat menentukan.

Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan diantara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut. Dalam analisis tersebut dimisalkan bahwa faktor-faktor produksi lainnya adalah tetap jumlahnya, yaitu modal dan tanah jumlahnya dianggap tidak mengalami perubahan. Juga teknologi dianggap tidak mengalami perubahan. Satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya adalah tenaga kerja (Sukirno, 2004).

2.4.3 Teori Konsumsi

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi beras adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Pendapatan

Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin tinggi pula daya belinya. Perubahan pendapatan akan mempengaruhi jumlah anggaran pengeluaran. Jika pendapatan menurun maka demikian pula tingkat pengeluaran akan menurun, sedangkan jika pendapatan meningkat maka demikian pula tingkat pengeluaran juga akan meningkat.

Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat konsumsi semakin tinggi. Karena tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Atau mungkin juga pola hidup makan konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang

(11)

baik. Contoh yang amat sederhana adalah jika pendapatan sang ayah masih sangat rendah, biasanya beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas rendah/menengah (Khoirina, 2011).

2. Jumlah Anggota Keluarga

Besar kecilnya jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika harus diberi makan dalam jumlah yang sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo, 2008). 3. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Dalam memilih menu makan yang mempunyai kandungan energi dan protein yang memadai serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat, diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat tinggi dalam menentukan keputusan konsumsi rumah tangga (Cahyaningsih, 2008).

4. Umur

Memahami umur konsumen adalah penting, karena konsumen yang berbeda umur akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Perbedaan umur juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek (Sumarwan, 2004).

(12)

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Petani Padi Sawah Melakukan Alih Fungsi Lahan Ke Komoditi Perkebunan di Daerah Irigasi Namusira-sira, Kabupaten Langkat” oleh Matondang (2011) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi petani padi sawah melakukan alih fungsi lahan adalah luas lahan dan kecukupan air irigasi, perbedaan penerimaan yang diperoleh petani padi sawah, kakao, dan sawit, perkembangan harga padi, kakao, dan sawit.

Prakarsa (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Sawah Di Kabupaten Deli Serdang” menunjukkan hasil bahwa alih fungsi padi sawah yang terjadi di daerah Deli Serdang banyak beralih fungsi menjadi tanaman hortikultura; laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang tertinggi pada tahun 2004; dampak yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang terdapat perbedaan yang nyata antara produksi padi sawah sebelum terjadinya alih fungsi lahan dengan produksi padi sawah setelah adanya alih fungsi lahan; proyeksi luas lahan padi sawah maupun produksi di Deli Serdang cenderung menurun dalam kurun lima tahun sejak tahun 2010; faktor-faktor penarik maupun pendorong yang menyebabkan alih fungsi lahan padi sawah terjadi di daerah Deli Serdang yaitu irigasi yang tersedia tidak baik dan tidak menyediakan pengairan yang cukup bagi daerah tersebut.

Berdasarkan penelitian Irsalina (2010) yang berjudul “Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah Di Kabupaten Langkat”, hasil penelitian menunjukkan bahwa proyeksi

(13)

luas lahan sawah dan produksi padi tahun 2017 adalah 42.969,09 ha dan 124.435,52 ton. Diproyeksikan sebesar 36.603,91 ha atau 46% luas lahan sawah yang dialihfungsikan dan diproyeksikan produksi beras akan berkurang sebesar 106.002,41 ton sejak tahun 2007. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan diproyeksikan menyebabkan defisit produksi beras sebesar 23.110,05 ton pada tahun 2007.

Penelitian Siregar (2011) yang berjudul “Analisis Konversi Lahan Pertanian Di Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan”, hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konversi lahan pertanian di Kecamatan Medan Tuntungan dari tahun 2006 ke tahun 2010 untuk lahan pertanian tegal/kebun adalah 30,69% (7,67% per tahun) dan lahan pertanian sawah 16,12% (4,03% per tahun). Faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi seluruh lahan pertaniannya antara lain: 1) kemampuan fisik petani berkurang, 2) ketertarikan pada penawaran harga, 3) pembagian warisan, 4) alih profesi, 5) terpengaruh lahan sekitar yang sudah berkonversi, 6) kebutuhan mendesak, dan 7) jarak lahan yang terlalu jauh dari rumah petani. Faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi sebagian lahan pertaniannya dan mempertahankan sebagian lainnya antara lain: 1) mata pencaharian dan 2) investasi. Dampak positif dari konversi lahan pertanian yang dirasakan oleh petani antara lain: 1) pertumbuhan kota, 2) penambahan pendapatan non pertanian dan 3) kelengkapan sarana dan prasarana. Dampak negatif dari konversi lahan pertanian yang dirasakan oleh petani antara lain: 1) hilangnya mata pencaharian, 2) berkurang produksi pertanian sehingga berkurangnya pendapatan pertanian dan 3) ekosistem tidak seimbang. Luas lahan pertanian tegal/kebun dan sawah pada tahun 2015 diproyeksikan semakin

(14)

menurun akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang semakin tinggi.

2.6 Kerangka Pemikiran

Lahan merupakan faktor terpenting dalam proses produksi pertanian. Kebutuhaan akan lahan yang semakin tinggi, menyebabkan alih fungsi lahan pertanian tidak dapat dielakkan. Ada banyak faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan terus terjadi. Sehingga jumlah luas lahan terus mengalami penurunan tiap tahunnya. Nilai ekonomi yang diberikan dari sektor pertanian masih kalah bila dibandingkan dengan sektor industri misalnya. Akibatnya, lahan yang sebelumnya merupakan lahan sawah dialihfungsikan menjadi lahan industri.

Selain itu, faktor lain yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan antara lain, irigasi kurang baik dan budidaya komoditi pengganti lebih mudah. Sedangkan faktor petani menjual lahan sawah adalah harga yang ditawarkan tinggi, kebutuhan mendesak, lokasi proyek, dan lahan yang dimiliki terlalu kecil.

Laju alih fungsi lahan yang semakin meningkat, di khawatirkan produksi tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi. Beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat, dan belum ada komoditi lain yang sepenuhnya dapat menggantikan.

Untuk mengetahui jumlah produksi beras dan konsumsi beras tahun 2015-2020 dilakukan forecasting dengan mengguakan data produksi padi dan jumlah penduduk Kabupaten Deli Serdang tahun 2002-2014. Dengan mengasumsikan bahwa tingkat rendemen padi sebesar 65% dianggap tetap dan jumlah konsumsi per kapita sebesar 131,64 kg/tahun dianggap tetap (tingkat rendemen padi

(15)

rata-rata dan konsumsi beras rata-rata-rata-rata di Kabupaten Deli Serdang berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Deli Serdang) maka akan diketahui jumlah produksi beras dan konsumsi beras tahun 2015-2020.

(16)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Luas Lahan Produksi Padi Kabupaten Deli

Serdang Luas Lahan Produksi Padi Kabupaten Deli

Serdang

Produksi Beras Tahun 2015-2020

Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Kabupaten Deli

Serdang

Faktor-Faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan: 1. Irigasi kurang baik 2. Teknik budidaya komoditi pengganti lebih mudah Analisis Forecastinf Produksi Padi Faktor-Faktor Penyebab Petani Menjual Lahan Sawah: 1. Harga yang

ditawarkan tinggi 2. Kebutuhan

mendesak 3. Lokasi proyek 4. Lahan yang dimiliki

terlalu kecil

Konsumsi Beras Tahun 2015-2020

(17)

2.7 Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Terjadi penurunan produksi beras yang disebabkan alih fungsi lahan sawah dan peningkatan jumlah konsumsi beras yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Luas Lahan Produksi

Referensi

Dokumen terkait

Solo sebagai kota heritage tersusun oleh elemen elemen pembentuk kota antara lain kawasan hunian khususnya kampung, kawasan karya (tempat kerja, industri,

This paper has shown new development in flight control system for multi-rotor helicopters. It is shown that a control allocation strategy based on the classical approach

The goal of CLOSE-SEARCH is to integrate in a helicopter-type unmanned aerial vehicle, a thermal imaging sensor and a multi-sensor navigation system (based on the use of a

Laporkan kepada pengawas ujian apabila terdapat lembar soal yang kurang jelas, rusak, atau tidak lengkap.. Mintalah kertas buram kepada pengawas ujian,

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

Harapan ke depannya bagi Puskesmas X Kabupaten Kediri adalah, puskesmas membuat sebuah kebijakan prosedural dalam bentuk SOP analisis risiko dan keselamatan pasien

Aplikasi situs pariwisata ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada wisatawan Nusantara dan Manca negara yang akan berwisata ke pulau Sumatera Utara agar dapat mencapai

KAJIAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAMPENYULUHAN PERTANIAN MELALUI PROGRAM “PA’TANI” DI DESA RANCABANGO KECAMATAN PATOKBEUSI KABUPATEN SUBANG. Universitas Pendidikan Indonesia |