• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

D

D

I

I

P

P

R

R

O

O

V

V

I

I

N

N

S

S

I

I

J

J

A

A

W

W

A

A

T

T

I

I

M

M

U

U

R

R

:

:

S

S

U

U

A

A

T

T

U

U

A

A

N

N

A

A

L

L

I

I

S

S

I

I

S

S

K

K

E

E

B

B

I

I

J

J

A

A

K

K

A

A

N

N

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh:

AGUS PUJI RAHARDJO

NPM. 0764020008

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

TESIS

P

PEENNGGAARRUUHHAALLIIHHFFUUNNGGSSIILLAAHHAANNSSAAWWAAHH

T

TEERRHHAADDAAPPPPRROODDUUKKSSIIPPAANNGGAANNUUTTAAMMAA D

DIIPPRROOVVIINNSSIIJJAAWWAATTIIMMUURR:: S

SUUAATTUUAANNAALLIISSIISSKKEEBBIIJJAAKKAANN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

AGUS PUJI RAHARDJO

NPM. 0764020008

Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji pada tanggal 8 Januari 2009

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji Lain

(Dr. Ir.H. Zainal Abidin, MS.) 1. (DR. Ir. Setyo Parsudi, M.S.)

Pembimbing Pendamping 2. (DR.Ir. Eko Nurhadi, M.S.)

(Dr. Ir.H.Syarif Imam Hidayat,MM.) 3. (Ir. Sri Tjondro Winarno, M.M.)

Surabaya, Januari 2009

UPN ”Veteran” Jawa Timur Program Pancasarjana

Direktur,

(3)

ABSTRAK

Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali dapat mengancam

kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat

menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi

instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal

sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dikaji dampak alih

fungsi lahan sawah di Jawa Timur.

Tulisan ini bertujuan untuk mengamati variabel yang berpengaruh

dan yang dipengaruhi dengan terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah, dan

Untuk menyusun alternatif strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan

Sawah dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan alih fungsi lahan

sawah semakin sering terjadi. Semakin meluasnya alih fungsi lahan akan

memiliki dampak buruk terhadap ketersediaan pangan di Jawa Timur

khususnya padi, karena 90 persen padi ditanam di lahan sawah,

sedangkan lahan sawah sering mengalami alih fungsi menjadi

penggunaan lahan non pertanian.

Untuk mengendalikan alih fungsi lahan diperlukan strategi berupa

strategi peraturan kebijakan, dan strategi partisipasi mayarakat. Dengan

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan

ridhoNYA yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis yang berjudul PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA

TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN.

Tujuan penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna mencapai derajat S-2 pada Program Pascasarjana UPN ”Veteran”

Jawa Timur. Setelah penulis mengalami berbagai macam tantangan dan

cobaan dalam proses penulisan tesis ini, penulis mendapatkan banyak

nasehat dan dorongan semangat dari berbagai pihak yang mampu

memotivasi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang

setinggi–tingginya kepada Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. selaku

Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Syarif Imam Hidayat, MM. selaku

Pembimbing Pendamping, Beliau sangat tegas dan penuh dengan

kesabaran serta perhatian dalam membimbing penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor dan Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen dan staf

yang telah memberikan kesempatan mengikuti kuliah di Program

(5)

2. Rekan-rekan mahasiswa angkatan XV pada Program Pascasarjana

Studi Magister Manajemen Agribisnis UPN ” Veteran” Jawa Timur

yang selalu memberikan dukungan dan semangat serta masukan–

masukan yang bermanfaat.

”Tak ada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa dalam

penulisan tesis ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan karena

terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, kesempurnaan itu

mutlak milik Allah SWT. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat

konstruktif demi perbaikan tesis ini sangat penulis harapkan.

Surabaya, Januari 2009

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... iii 

KATA PENGANTAR ...iv 

DAFTAR ISI ...vi 

DAFTAR ISI ...vi 

DAFTAR TABEL ... viii 

DAFTAR GAMBAR ...ix 

DAFTAR LAMPIRAN ...x 

1.  PENDAHULUAN ... 1 

1.1.  Latar Belakang Masalah ... 1 

1.2.  Perumusan Masalah ... 5 

1.3.  Tujuan Penelitian ... 5 

1.4.  Kegunaan Penelitian ... 6 

1.5.  Ruang Lingkup Penelitian ... 7 

2.  TINJAUAN PUSTAKA ... 8 

2.1.  Penelitian Terdahulu ... 8 

2.2.  Kajian Teori ... 18 

2.2.1.  Konsep Agribisnis... 18 

2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian ... 26

2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi... 27

2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan... 30

2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya ... 32

2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan ... 34

2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi ... 38

3.  KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 41 

3.1.  Kerangka Pemikiran ... 41 

(7)

4.  METODE PENELITIAN ... 45 

4.1.  Tempat dan Waktu Penelitian ... 45 

4.2.  Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 45 

4.3.  Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 46 

4.4.  Analisis Data ... 48 

5.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54 

5.1.  Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 54 

5.2.  Perkembangan Produksi Pangan utama di Jawa Timur ... 68 

5.3.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 77 

5.4.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Perkembangan Produksi Pangan utama... 87 

5.4.1.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Padi ... 87 

5.4.2.  Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Jagung... 89 

5.5.  Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 92 

5.5.1. Strategi Peraturan Kebijakan... 97

5.5.2. Strategi Partisipasi Mayarakat ... 100

6.  KESIMPULAN DAN SARAN... 104 

6.1.  Kesimpulan ... 104 

6.2.  Saran ... 106 

DAFTAR PUSTAKA... 108 

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti

Terdahulu ... 16

2. Luas Lahan Sawah menurut Jenis Pengairan di Jawa

Timur, Tahun 2001-2006 ... 62

3. Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan

Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 63

4. Perkembangan Produksi Padi dan Jagung di Jawa Timur,

Tahun 1998-2006 ... 70

5. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Beras di Jawa

Timur, Tahun 1998-2006 ... 71

6. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Jagung di Jawa

Timur, Tahun 1998-2006 ... 74

7. Hasil Analisis Regresi Linier Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah. ... 79

8. Jumlah Penduduk dan Persentase Pertumbuhannya di

Jawa Timur, Tahun 1998-2006... 82

9. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di

Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 83

10. Hasil Analisis Regresi, Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian ... 26

2. Kerangka Pemikiran ... 43

3. Luasan Alih Fungsi Lahan Sawah Periode 1997-2001 dan

Periode 2002-2006, di Jawa Timur... 55

4. Ranking Alih Fungsi Lahan di Jawa Timur, 1997-2006 ... 56

5. Trend Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur,

1997-2006 ... 57

6. Persentase Lahan Sawah Menurut Tipe Irigasi, Yang

Mengalami Alih Fungsi menjadi Lahan Non Pertanian ... 60

7. Trend Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan

Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 64

8. Produksi dan Konsumsi Beras di Jawa Timur, Tahun

1998-2006 ... 72

9. Produksi dan Konsumsi Jagung di Jawa Timur, Tahun

1998-2006 ... 75

10. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di Jawa

Timur, Tahun 2001-2006 ... 84

11. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

Produksi Padi, 1997-2006 ... 87

12. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

Produksi Jagung, 1997-2006... 91

13. Ketatalaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Bertumpu

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perundang-undangan dan Peraturan tentang Alih Fungsi

Lahan Sawah ... 112

2. Out Put Regresi Alih Fungsi Lahan dengan Independen

Variabel Jumlah Rumah Tangga, Pertumbuhan Ekonomi,

dan Jumlah Petani... 115

3. Out Put Regresi Produksi Padi dengan Independen

Variabel Alih Fungsi Lahan ... 117

4. Out Put Regresi Produksi Jagung dengan Independen

(11)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi

salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan.

Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali dilakukan

adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian).

Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban

manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik yang

menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah

penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika

pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok

tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi

pemanfaatan.

Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke

pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih

fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk

Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan

yang komplek dikemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari

sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali

(12)

dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam

jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.

Lahan pertanian memiliki manfaat sosial dan manfaat ekonomi

maupun manfaat lingkungan. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian

terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek

budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling

esensial dalam keberlangsungan proses produksi. Sementara itu, secara

lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya relatif lebih selaras dengan

prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. (Bappenas, 2006).

Salah satu fenomena yang cukup sering terjadi dalam pemanfaatan

lahan adalah alih fungsi lahan. Fenomena tersebut muncul seiring makin

tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap

lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian sebagai

akibat dari bertambahnya penduduk dan kegiatan pembangunan.

Sumaryanto et al. (1994) menggarisbawahi bahwa sisi dampak negatif

(kerugian) utama akibat konversi lahan pertanian (sawah) adalah

hilangnya peluang atau kesempatan dalam memproduksi hasil pertanian

yang terkonversi. Lebih lanjut, kerugian tersebut juga berdampak pada

hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja, baik secara

langsung maupun tidak langsung ke depan (forward linkage) dan ke

(13)

Kebijakaan pembangunan pertanian yang ditujukan untuk

meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan agribisnis dan

meningkatkan kesejahteraan petani mengharuskan produk pertanian yang

dihasilkan memenuhi syarat kualitas dan syarat kuantitas maupun

kontinuitasnya, sehingga produk tersebut memiliki daya saing dan mudah

diperoleh dengan harga yang terjangkau.

Ketahanan Pangan sangat erat keterkaitannya dengan persediaan

pangan. Produksi pangan selama ini didominasi oleh hasil dari tanaman

padi yang ditanam dilahan sawah dibandingkan dengan tanaman padi

yang ditanam di ladang. Data BPS menunjukkan bahwa 90 persen

komoditas padi ditanam di lahan sawah. Dengan demikian bila konversi

lahan banyak terjadi di lahan subur (sawah irigasi dan tadah hujan) yang

terus berlangsung, maka akan mengganggu pertumbuhan produksi

pangan. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri dan

bertambahnya perumahan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan

untuk keperluan tersebut.

Sejalan dengan uraian diatas, upaya meningkatkan produksi

pertanian tanaman pangan di Jawa Timur menjadi tidak mungkin karena

disamping bertambahnya permintaan produk pertanian akibat dari

pertambahan penduduk, tuntutan konsumen akan kualitas yang semakin

tinggi, juga semakin terbatasnya lahan subur untuk budidaya tanaman

(14)

bangunan industri maupun kawasan perumahan. Sedangkan sektor

pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai

sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan

dan peningkatan ketahanan pangan nasional (Irawan et al., 2003).

Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Timur berdasarkan Hasil Podes 2006, bahwa telah terjadii alih fungsi

lahan sawah selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan

sawah sebesar 5.665 Ha (31,86%), lahan untuk perumahan sebesar

8.567,7 Ha (48,16%), lahan untuk bangunan industri sebesar 1.204,2 Ha

(6,77%), lahan untuk bangunan perusahaan/perkantoran sebesar 693,1

Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain sebesar 1.651,3 Ha (9,29%).

Kondisi tersebut menjunjukkan bahwa luasan lahan sawah telah terjadi

penurunan, terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai salah satu unsur

produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan produksi

pangan.

Untuk selanjutnya, harus ada upaya untuk tetap meningkatkan

produksi pangan, meskipun alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur sulit

dicegah, sehingga memerlukan upaya keras untuk pengendalian alih

fungsi lahan sawah di Jawa Timur. Pada situasi dimana produksi padi

mulai sulit ditingkatkan akibat meningkatnya kendala peluasan lahan

sawah dan stagnasi teknologi usahatani, alih fungsi lahan sawah akan

(15)

upaya pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan sawah memiliki

peranan yang semakin penting dalam rangka mendukung ketahanan

pangan di Jawa Timur. Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah juga

diperlukan untuk menghindari berbagai masalah sosial, ekonomi, dan

lingkungan yang dapat timbul karena adanya kejadian tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan produksi pangan utama, jumlah

penduduk, tingkat konsumsi pangan utama, pergeseran struktur

tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan di Jawa Timur,

sebagai Faktor-faktor yang berhubungan dengan Alih Fungsi Lahan

Sawah, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah?

3. Bagaimana pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung) di Jawa

Timur?

4. Strategi yang perlu dilakukan dalam pengendalian Alih Fungsi Lahan

Sawah di Jawa Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi pekembangan produksi pangan utama (padi

(16)

dan jagung), peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan

(sawah irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan

halaman). Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih

Fungsi Lahan Sawah, dan akan dicermati perkembangannya selama

10 tahun yaitu periode 1997-2006.

2. Untuk mengetahui pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

perkembangan produksi pangan utama di Jawa Timur.

3. Untuk menganalisis pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap

produksi pangan utama.

4. Untuk menyusun strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Sebagai kontribusi bagi pemerintah pusat atau daerah dalam

pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk menghindari

terjadinya penurunan produksi pangan utama yang dapat

mengancam ketahanan pangan di Jawa Timur.

2. Bagi penulis sebagai sarana mengembangkan pola pikir dan

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan

Magister Manajemen Agribisnis (MMA) pada Program Pascasarjana

(17)

3. Sebagai bahan informasi dasar bagi penelitian lanjutan yang

berkaitan dengan fungsi lahan pertanian.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Wilayah penelitian: Provinsi Jawa Timur

2. Data yang digunakan dalam penelitian kurun waktu tahun 1997-2006

3. Fokus penelitian:

a. Mengidentifikasi kondisi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa

Timur.

b. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap perkembangan

produksi pangan utama di Jawa Timur

c. Pekembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah

penduduk, tingkat konsumsi pangan utama (padi dan jagung),

peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan (sawah

irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan halaman).

Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih Fungsi

Lahan Sawah. Kemudian diamati perkembangannya selama 10

tahun yaitu selama periode 1997-2006.

d. Analisis kebijakan untuk menyusun Strategi pengendalian Alih

(18)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Priyono. A. (2000) dalam penelitian Studi Perubahan Penggunaan

Lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu parameter utama untuk

mendukung usaha peningkatan fungsi lahan adalah informasi perubahan

penggunaan lahan dan kondisinya (existing landuse). Lahan sawah telah

dikonversi ke penggunaan nonpertanian seperti perkotaan dan kawasan

industri. Selain itu, dalam kurun waktu 1969-2000 minimal 2% atau lebih

wilayah hutan juga telah mengalami alih fungsi menjadi tegalan dan

sebagian kecil perkebunan. Untuk menekan laju konversi lahan perlu

dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan,

ketersediaan jaringan irigasi permanen, aspek sosial ekonomi petani,

hukum, dan kemungkinan perluasan/pencetakan sawah di luar Jawa.

Selain itu harus disinkronkan dengan skenario perencanaan pertanian

jangka panjang di Pulau Jawa. Pendekatan secara holistic dan terintegrasi

dalam usaha menekan dan mengamankan alih fungsi lahan sawah

produktif di Jawa perlu dilakukan.

Kurnia. U. (2006) dengan judul penelitian Pengaruh Penggunaan

Lahan terhadap Debit dan Banjir di Bagian Hilir DAS Kaligarang.

Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan, khususnya lahan sawah

(19)

yang berada di sekitar perkotaan untuk penggunaan lain seperti

perumahan dan industri yang mengancam hilangnya produktivitas tanah

dan kelestarian lingkungan. Lahan sawah diyakini dapat mencegah atau

mempertahankan lingkungan dari kerusakan karena mampu menahan air,

berfungsi sebagai dam dan mengurangi erosi. Penelitian dilakukan di

bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa

Tengah. banjir di bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang,

Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan

penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman, perumahan dan

industri meningkatkan debit, sedimentasi dan banjir. Banjir semakin sering

terjadi dan debit sungai meningkat dengan meningkatnya luas sawah

yang berubah menjadi areal industri dan pemukiman.

Iqbal (2007) dalam penelitiannya tentang Fenomena dan Strategi

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Konversi Lahan

Sawah Di Provinsi Bali Dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa salah satu fenomena yang cukup marak

terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah konversi lahan. Fenomena ini

muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan

permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor

nonpertanian akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan.

Penelitian ini memaparkan fenomena dan strategi kebijakan pemerintah

(20)

sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun pemerintah

daerah telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang

aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi

terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan

masih lemah. Oleh karena itu, pendataan lahan yang terkoordinir dan

terpadu diiringi dengan kebijakan pengendalian konversi lahan yang

holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan.

Iqbal dan Sumaryanto (2007) dengan judul penelitian Strategi

Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Bertumpu Pada Partisipasi

Masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alih Fungsi Lahan

Sawah yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan

pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian

sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih

fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif

yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.

Widjanarko (2007) dalam Aspek Pertanahan dalam Pengendalian

Alih Fungsi Lahan, menujukkan bahwa arah kebijakan nasional dalam hal

pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah sering bertabrakan dengan

kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan

(21)

masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan

sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi

dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW), namun ternyata

masih banyak prilaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh

penerapan kebijakan tersebut. Banyak dijumpai kasus-kasus dimana para

pemilik lahan pertanian secara sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih

mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui mekanisme perijinan atau

pelanggaran RTRW yang ada. Misalnya kasus yang terjadi di Kabupaten

Bekasi dimana Bupati telah menetapkan ijin lokasi bagi pengalihan fungsi

lahan persawahan teknis seluas 11 ha di desa Karang Sambung, Kedung

Waringin menjadi pabrik penggilingan padi modern. Alih fungsi lahan

sawah irigasi teknis ini sempat ditentang oleh Komisi B Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi. Selain tidak dikonsultasikan dengan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kebijakan alih fungsi ini bertentangan

dengan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Larangan Alih

Fungsi Lahan Sawah menjadi Industri atau Perumahan. Hal ini juga

bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Negara/Bappenas Nomor

5417/MK/10/1994.

Pranadji (2005) dalam penelitian yang berjudul Pemberdayaan

Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Dan Air Mencari

Strategi dan Kebijakan yang Sesuai untuk Pemantapan Ketahanan

Pangan 2006-2009. Hasil penelitian antara lain: (a) pemantapan

(22)

sumberdaya lahan dan air. Melalui pemberdayaan kelembagaan

masyarakat madani pada berbagai tingkat sosial, masalah pengelolaan

sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan ketahanan pangan masih

terbuka untuk diatasi dengan baik, (b) dalam rangka meningkatkan

pengelolaan sumberdaya lahan kering paling tidak tersedia lima pilihan

strategi pemberdayaan kelembagaan yang bisa dilakukan. Strategi yang

dimaksud adalah: strategi caritas, strategi produksi, strategi ekonomi,

strategi perbaikan ekosistem, dan strategi sosio-budaya, (c) lemahnya

pengelolaan sumberdaya lahan dan air menjadi salah satu penyebab

terjadinya krisis multi dimensi seperti yang kita alami hingga kini, (d)

perspektif jangka panjang perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan

air harus dilandaskan pada reformasi agraria. Tujuan akhir perbaikan

pengelolaan sumberdaya lahan kering dan air adalah memperbaiki tingkat

kehidupan masyarakat banyak di pedesaan khususnya, dan keseluruhan

masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Pemantapan ketahanan

pangan merupakan hal esensial, sebelum tujuan kesejahteraan

masyarakat lain dipenuhi. Oleh sebab itu, strategi pemberdayaan dalam

perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan

ketahanan pangan baru bisa ditentukan pada arah yang tepat jika lebih

dahulu dilakukan perbaikan struktur keagrariaan yang bersifat

menyeluruh.

Swastika (2007) pada Penelitian Analisis Kebijakan Peningkatan

(23)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras merupakan bahan pangan

pokok bagi 95 persen dari penduduk Indonesia. Sejak awal kemerdekaan

Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan produksi padi.

Namun demikian, selama lebih dari tiga dekade Indonesia belum mampu

memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, sehingga masih tergantung

pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di

Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi berjalan stagnan. Untuk

periode selanjutnya, harus ada terobosan dalam meningkatkan produksi

padi, meskipun konversi lahan terus berlangsung. Studi ini mencoba

mengkaji kinerja pemanfaatan lahan sawah, kontribusi dan prospeknya

dalam peningkatan produksi padi nasional. Hasil studi menunjukkan

bahwa lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi. Pada tahun

2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84

juta ha, dengan rataan indeks pertanaman 1,61. Angka ini menunjukkan

masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui

peningkatan indeks pertanaman. Hasil analisis SWOT menunjukkan

bahwa peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis

sebagai kompensasi dari konversi lahan. Potensi lainnya ialah

peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul

disertai dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT).

Penerapan kebijakan ini harus didukung oleh pembangunan dan renovasi

infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan

(24)

Pranadji (2006) dalam penelitian yang berjudul Penguatan Modal

Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pengelolaan

Agroekosistem Lahan Kering (ALK). Hasil penelitian penelitian antara lain :

pertama, pada desa yang kerusakan ALK parah, sebagian besar

penduduknya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Kedua, dalam memperbaiki pengelolaan ALK, kedua proyek belum

memperhatikan tentang pentingnya penguatan modal sosial setempat.

Setelah proyek berakhir, hampir semua kegiatan perbaikan pengelolaan

ALK ikut berakhir. Desa yang memiliki modal sosial relatif baik cenderung

memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi kerusakan ALK. Ketiga,

ketimpangan kekuatan modal sosial antardukuh bisa dijadikan petunjuk

kemungkinan terjadinya gejala ketidakberdayaan masyarakat dalam

pengelolaan ALK, dan sekaligus menjadi petunjuk tentang lemahnya

kelembagaan masyarakat madani dan penyelenggaraan pemerintahan

pedesaan setempat. Keempat, kerusakan tata nilai masyarakat pedesaan

merupakan faktor penting penyebab terjadinya ketidak-berdayaan

masyarakat dan kemerosotan pengelolaan ALK setempat. Upaya

perbaikan pengelolaan ALK tidak saja perlu disejajarkan dengan

pemberdayaan masyarakat, namun juga perlu diintegrasikan dengan

transformasi sosio-budaya dan perekonomian pedesaan. Model

pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelolaan ALK yang dinilai

efektif adalah yang dilandaskan pada penguatan modal sosial setempat.

(25)

sosial, dan akan efektif jika dimulai dari penguatan kepemimpinan

masyarakat setempat, manajemen sosial, dan keorganisaian masyarakat

tingkat dukuh.

Maulana (2004) pada penelitian Peranan Luas Lahan, Intensitas

Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah

Di Indonesia 1980–2001. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai

sumber pertumbuhan pada tingkat nasional, indeks pertanaman memiliki

peranan penting dengan peningkatan laju pertumbuhan dari 0,05 persen

per tahun selama 1990-1994 menjadi 3,17 persen selama 1995-1998.

Sementara itu luas lahan dan produktivitas mengalami laju pertumbuhan

yang cenderung menurun, bahkan pada periode 1995-2001 telah

mengalami pertumbuhan negatif. Indeks TFP menunjukkan bahwa

fluktuasi penggunaan total faktor produksi tidak berpengaruh signifikan

terhadap laju pertumbuhan produksi. Hal ini mengindikasikan terjadinya

levelling off produktivitas. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan

peningkatan produksi melalui pengembangan riset teknologi pertanian,

pengendalian konversi lahan ke nonpertanian dan pengembangan

infrastruktur.

Untuk menetapkan posisi penulisan pada hasil-hasil penelitian

terdahulu, maka secara ringkas dipetakan tentang nama penulis dan fokus

penelitian sebelumnya. Adapun hasil pemetaan oleh peneliti-peneliti

(26)

Tabel 1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti Terdahulu NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN

1 Adi Priyono,

Wahyunto,

Sunaryo, dan

Zainal Abidin

(2000)

Untuk menekan laju

konversi lahan perlu

dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan, ketersediaan jaringan irigasi

permanen, aspek sosial

ekonomi petani, hukum,

dan kemungkinan

perluasan/pencetakan

sawah di luar Jawa

Hasil Penelitian sebelumnya

akan menjadi dasar

penyusunan strategi Alih

Fungsi Lahan Sawah

2 Undang Kurnia, Sudirman, Ishak Juarsah, dan Yoyo Soelaeman (2006) Perubahan penggunaan

lahan sawah menjadi

lahan pemukiman,

perumahan dan industri

meningkatkan debit,

sedimentasi dan banjir.

Banjir semakin sering

terjadi dan debit sungai

meningkat dengan

meningkatnya luas

sawah yang berubah

menjadi areal industri

dan pemukiman

Faktor penyebab alih fungsi

lahan sawah menjadi lahan

pekarangan/bangunan dan

halaman akan diukur

berdasarkan perubahan

penggunaan lahan yang

terjadi dan dalam penelitian

ini juga mengidentifikasi

dampaknya terhadap

produksi dan konsumsi

pangan utama, dan peralihan

(27)

Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN

3 Iqbal (2007) Pendataan lahan yang

terkoordinir dan terpadu

diiringi dengan

kebijakan pengendalian

konversi lahan yang

holistik dan

komprehensif perlu

segera diwujudkan

Kondisi kenyataan tentang

pendataan lahan akan

menjadi pertimbangan dalam

penyusunan strategi

pengendalian Alih Fungsi

Lahan Sawah

4 Iqbal dan

Sumaryanto

(2007)

Strategi pengendalian

alih fungsi lahan

pertanian bertumpu

pada partisipasi

masyarakat dengan

melibatkan peran serta

aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian.

Hasil penelitian sebelumnya

akan menjadi dasar

pertimbangan pada

penyusunan strategi

pengendalian Alih Fungsi

Lahan Sawah

5 Bambang .W.

M. Pakpahan, Bambang Rahardjono, dan Putu Suweken (2007)

Nilai tanah sebagai

barang investasi lebih

diminati daripada

sebagai faktor produksi.

Nilai tanah sebagai barang

investasi dalam penelitian ini

merupakan faktor penyebab

terjadinya Alih Fungsi Lahan

(28)

Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN

DILAKUKAN 6 Swastika, Wargiono, Soejitno, dan Hasanuddin (2007) Peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi

dari konversi lahan.

Potensi lainnya ialah

peningkatan mutu

intensifikasi.

Hasil penelitian sebelumnya

menjadi bahan pertimbangan

dalam peningkatan produksi

yang dalam penelitian ini tidak

dibahas

Sebagian besar tulisan telah mencermati faktor penyebab terjadinya

alih fungsi lahan sawah dan strategi pengendalian, sedangkan dalam

tulisan ini selain mencermati faktor yang berpengaruh dan strategi

pengendalian juga akan dilihat dari sisi pengaruhnya terhadap ketahanan

pangan utama di Provinsi Jawa Timur.

2.2. Kajian Teori

2.2.1. Konsep Agribisnis

Agribisnis terbentuk dari dua unsur kata yaitu ”agri” yang berasal dari

agriculture (pertanian) dan ”bisnis” dari kata business (usaha). Jadi

agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau

keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran

yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas, yaitu usaha yang

(29)

Konsep agribisnis adalah konsep yang utuh mulai dari proses suplai

input, produksi usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil. Sedangkan

dalam agribisnis itu sendiri dikenal konsep agribisnis sebagai sistem dan

agribisnis sebagai suatu usaha. Disamping itu dikenal azas-azas dalam

pengembangan agribisnis suatu komoditas tertentu. Beberapa azas yang

perlu diterapkan dalam pengembangan agribisnis, antara lain adalah :

terpusat (centralized), efisien (efficient), menyeluruh dan terpadu (holistic

and integrated), dan kelestarian lingkungan (sustainable ecosystem) (Hadi

et al. 1994).

Agribisnis pada dasarnya menekankan pada cara pandang yang

melepaskan diri dari sebuah “tradisi” konvensional yang selama ini dianut,

ketika berbicara tentang pertanian. Pertanian tidak semata-mata hanya

dipandang sebagai suatu kegiatan on farm saja, akan tetapi mencakup

berbagai subsistem dalam keseluruhan sistem, yang disebut agribisnis.

Agribisnis bukan sekedar untuk membuat kegiatan pertanian menjadi

berdaya saing saja, akan tetapi lebih penting dari itu adalah dapat

menciptakan petani untuk lebih produktif dan sejahtera. Dalam sistem

agribisnis ada salah satu subsistem yang bersama-sama subsistem yang

lainnya membentuk sistem agribisnis. Sistem agribisnis terdiri dari

subsistem input (agroindustri hulu), usahatani (pertanian), out put

(agroindustri hilir), pemasaran dan penunjang. Dengan demikian

Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan yang didalamnya terlibat aliran

(30)

penyebaran, penyimpanan, penjualan komoditi tersebut kepada

konsumen akhir. Secara garis besar agribisnis dapat dibagi menjadi sektor

masukan pertanian, sektor produksi pertanian dan sektor keluaran

pertanian (Masyhuri,1992).

Pengembangan agribisnis telah banyak diulas oleh para pakar

ekonomi dan pakar agribisnis pertanian, serta telah banyak kebijaksanaan

pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat laju perkembangan

agribisnis. Namun pada realisasinya usaha-usaha tersebut belum mampu

memenuhi sasaran yang diharapkan oleh masyarakat agribisnis

Indonesia. Agribisnis sebagai mega sektor terdiri atas 4 (empat)

sub-sektor, yaitu (1) sub sektor agribisnis hulu (up-stream agribisness),

merupakan kegiatan yang menghasilkan sarana produksi pertanian

primer, termasuk didalamnya agroindustri hulu seperti: industri

pembenihan/pembibitan, industri obat-obatan pertanian, industri pupuk,

industri alat-alat mesin pertanian; (2) sub-sektor (on farm agribusness)

atau usahatani, yang merupakan kegiatan dengan menggunakan sarana

produksi untuk menghasilkan komoditi pertanian primer; (3) sub-sektor

agribisnis hilir (down stream agribusness), merupakan kegiatan yang

mengolah komoditas pertanian primer produk akhir (finish product), dan

(4) sub-sektor jasa penunjang agrbisnis, merupakan kegiatan yang

menyediakan jasa-jasa penunjang dan dibutuhkan agribisnis, seperti:

(31)

tinggi, komunikasi dan kebijakan pemerintah, baik ditingkat makro,

regional maupun mikro (Saragih dan Murthi, 1989).

Agribisnis merupakan kesatuan sistem usaha di bidang pertanian

yang tersusun atas beberapa komponen yang merupakan jaringan

terpadu. Sistem agribisnis terdiri dari empat subsistem yang langsung

terkait dengan penanganan proses tehnik, fisik dan jasa yaitu Soedirman

(1994):

1. Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi

dan pengembangan sumber daya pertanian, mencakup didalamnya

aspek-aspek perencanaan, mekanisme, tataniaga dan kebijakan

harga sejak dari memproduksi masukan (input) sampai pada petani,

aspek dari rangkaian tersebut bermuara pada tempat kualitas dan

tempat kuantitas.

2. Subsistem produksi pertanian atau usahatani merupakan suatu

kegiatan pemanfaatan beberapa sumber daya untuk memperoleh

keuntungan yang berkenaan dengan perencanaan lokasi, pola usaha

komoditas, teknologi, budidaya dan keluaran yang terkait dalam

permintaan.

3. Subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian atau agroindustri

merupakan salah cabang dari industri yang mempunyai kaitan erat

(32)

perencanaan di dalam proses peningkatan kualitas dalam pengertian

lebih luas.

4. Subsistem pemasaran hasil-hasil pertanian merupakan subsistem

tentang perencanaan pengembangan pasar, baik produksi pertanian

maupun agroindustri dalam lingkup domestik maupun luar negeri.

Dengan demikian masuk di dalamnya pemantauan terhadap

persoalan perubahan perilaku dan segala pasar yang semakin cepat

sehingga sangat sulit diantisipasi, pengembangannya. Strategi

perdagangan dengan peningkatan peranan market intellgence dalam

aspek-aspek pemasaran atau perdagangan internasional, terutama

berkaitan dengan sigmentasi pasar, perubahan selera konsumen

maupun kondisi produksi negara-negara lain.

Agribisnis menurut Downey dan Ericson (1989), dapat dibagi menjadi

tiga subsektor yang saling tergantung secara ekonomi, yaitu sektor

masukan (input), produksi (farm) dan sektor keluaran (out put). Sektor

masukan menyediakan perbekalan kepada para petani untuk dapat

memproduksi hasil tanaman termasuk di dalamnya adalah bibit, pupuk,

mesin atau teknologi pertanian, bahan pakan ternak, bahan kimia dan

banyak pembekalan yang lainnya.

Program pemerintah yang dituangkan dalam GBHN, ditunjang

dengan penerapan konsep agribisnis diharapkan dapat memberikan

(33)

mengimbangi pertumbuhan di sektor industri. Pembangunan agribisnis

perlu ditempatkan bukan hanya sebagai pendekatan baru pembangunan

pertanian, tetapi lebih dari itu pembangunan agribisnis perlu dijadikan

sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan ekonomi

Indonesia secara keseluruhan (agribusiness-led development). (Adi

Wijaya, 1996).

Dalam rangka membangunan perekonomian Indonesia melalui

pembangunan agribisnis ke depan dihadapkan pada dua tantangan besar

yang perlu terakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis.

Pertama, liberalisasi perdagangan internasional yang membuka

persaingan yang makin ketat, memerlukan peningkatan kemampuan

bersaing. Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya

menyangkut pengurangan peranan langsung pemerintah pusat dan

desentralisasi pembangunan, dan lain-lain menjadi hal yang sangat

penting diakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis. Dalam

pembangunan nasional mendatang, pengembangan agribisnis dirasakan

penting karena (Sutawi 2002):

1. Prospek pasar dalam negeri cukup besar (kenaikan pendapatan dan

perkembangan penduduk).

2. Meningkatkan nilai tambah sektor pertanian agar produktivitas sektor

pertanian meningkat sehingga sektor pertanian tidak tertinggal

(34)

3. Sebagai “leading sector” memenuhi empat kriteria dalam

memecahkan masalah pembangunan ekonomi Indonesia secara

keseluruhan yaitu memanfaatkan bahan produksi setempat

(resourcebase), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan nilai

tambah, dan penerimaan devisa.

4. Pengembangan agribisnis di Indonesia didukung oleh agroklimat dan

kondisi lahan yang cukup subur, prasarana yang mendukung, dan

kemauan pemerintah untuk mendukung pengembangan sektor

pertanian.

Berbagai alternatif kebijakan pemerintah untuk menempuh agar

sektor agribisnis dapat dikembangkan dengan baik menurut PERHEPI

(1989) dalam Soekartawi (1994), yaitu antara lain :

1. Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan petani untuk berusaha

tani secara efisien.

2. Menyebarluaskan informasi pasar dan peluang pasar.

3. Menetapkan standarisasi untuk produksi pertanian secara tegas dan

dimengerti oleh semua pihak.

4. Mengembangkan kelembagaan berdasarkan keinginan petani dan

bukan berdasarkan keinginan yang dirasakan oleh birokrasi, dan

5. Konsolidasi kelembagaan pemasaran dan pengembangan

market-intellegent.

Sedangkan menurut Sutawi (2002), di dalam kebijakan yang dapat

(35)

1. Perlunya pemahaman tentang hukum dan peraturan yang

merupakan suatu kesepakatan dalam mengatur perdagangan

internasional.

2. Perlunya pengembangan produksi yang efisien dengan bertumpu

pada keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah.

3. Perlunya menentukan kebijakan pengembangan sumber daya

manusia yang tepat dan sesuai dengan tuntutan untuk meningkatkan

keunggulan kompetitif yang diinginkan.

4. Pengembangan agribisnis juga tidak terlepas dari pengembangan di

bidang kelembagaan yang akan menentukan pola pembinaan dan

pemanfaatan secara maksimal.

Dalam kontek pengembangan agribisnis Simatupang (1995)

mengemukakan bahwa struktur agribisnis yang bersifat dualistik

menyebabkan munculnya masalah tranmisi (pass trough problem), yang

mencakup empat aspek strategis:

1. Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris, penurunan harga

ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan

kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna;

2. Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen, ditahan dan bahkan

dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik

(oligopsonistik) atau monopolistik (oligopolistik) oleh agribisnis hilir;

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh agribisnis hilir

(36)

4. Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir

tidak disalurkan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan

untuk mengeksploitasi agribisnis hulu.

Kondisi di atas merupakan argumen, tentang sulitnya

mengikutsertakan pelaku agribisnis yang telah mapan dalam

kelembagaan petani.

2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian

Lahan pertanian memberikan manfaat untuk ketahanan pangan,

sosial ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Hilangnya lahan pertanian

yang mengalami alih fungsi ke manfaat lahan non pertanian akan

memberikan dampak yang kurang baik bagi ketiga aspek tersebut.

Manfaat lahan pertanian telah diilustrasikan oleh Sogo Kenkyu (1998) dan

[image:36.595.107.507.481.708.2]

Yoshida (1994) sebagaimana pada Gambar 1.

Gambar 1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian

Total Manfaat Lahan Pertanian

Use Values Non-Use Values

Direct Use Values Indirect Use Values

Unpriced Benefit Marketed Output

Menyediakan:

Bahan Pangan

Lapangan Kerja

Sarana Rekreasi

Cegah Urbanisasi.

Mencegah:

Pencemaran

Banjir

Sarana Rekreasi

Sanitasi yg buruk

Mempertahankan Biodiversity

Pendidikan Lingkungan

Padi, Palawija, Sayuran, Ternak, Ikan

Kayu, Daun, Jerami.

Manfaat Komunal Semakin Besar Manfaat Individual

(37)

Manfaat lahan pertainan secara langsung memberikan pengaruh

ekonomis bagi petani melalui produk pertanian yang dihasilkannya, dan

pengaruh langsung pada masalah sosial (Ketahanan Pangan, Lapangan

Kerja, Sarana Rekreasi, dan Urbanisasi). Pengaruh alih fungsi lahan

sawah terhadap ketahanan pangan, merupakan salah satu bentuk kajian

dari manfaat lahan pertanian secara langsung.

2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, mengingat

tanah hanya merupakan salah satu aspek dari lahan. Pengertian lahan

lebih kepada wujud paduan dari banyak unsur lingkungan fisik yang

mempengaruhi potensi penggunaannya. Oleh karena itu, secara teknis

lahan tidak hanya berkaitan dengan tanah semata tetapi juga mengacu

pada sifat lainnya seperti geologi bentuk lahan, iklim dan hidrologi, tutupan

tanaman dan fauna, termasuk serangga dan mikroorganisme

(Driessen,1989).

Pengembangan unsur dasar tanah sebagai media pertanaman

tergolong lambat, hal tersebut terkait dengan masalah degradasi tanah

sawah akibat pemupukan berlebih, sebagai contoh, sampai sekarang

masih tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Potensi tanah

non-sawah, terutama lahan kering, untuk pertanian padi sejauh ini juga

belum berkembang. Padahal, dalam pidato peletakan batu pertama

(38)

(waktu itu Presiden RI) sudah menegaskan visi pertanian kita yaitu

pertanian lahan kering skala besar, terutama di luar Jawa, untuk menjamin

ketahanan pangan nasional. Sampai sekarang, lebih dari empat dekade

setelah visi itu dicanangkan, Indonesia belum juga memiliki pertanian padi

lahan kering yang kuat. Sementara sumberdaya penelitian dihabiskan

untuk peningkatan mutu tanah sawah, pada saat bersamaan proses

konversi telah menghilangkan sawah-sawah terbaik dari tahun ke tahun.

Tanah sawah dalam luasan besar telah dialih-fungsikan menjadi kawasan

non-pertanian terutama kawasan industri, pemukiman, jalan raya, dan

perkantoran, dan juga menjadi kawasan pertanian non-sawah antara lain

tambak, perkebunan, dan palawija. Pertambahan areal sawah baru,

sementara itu, tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya fungsi-fungsi areal

sawah yang sudah hilang terkonversi (Pranadji Tri, 2005).

Dalam prespektif ekologi budaya, manusia melalui keunggulan

budayanya dilihat sebagai unsur yang merubah tampakan alami tanah.

Petani sawah Jawa, jika dipindahkan ke luar Jawa, selalu berusaha

mengembangkan sawah, walaupun di lokasi itu semula tidak ada sawah.

Hal seperti itu terjadi karena proses sosialisasi masyarakat petani sawah

Jawa sudah membekali setiap orang dengan sikap hidup, pengetahuan

dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya membekali mereka

dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang padi, niscaya

mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru. Tetapi budaya

(39)

berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif

yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli.

Budaya petani akan lebih berkembang jika berorientasi pada

pengembangan pengetahuan lokal, yaitu interaksi antara pengetahuan

asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific

knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam kerangka

komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya

akan memperkaya pengetahuan lokal (Pranadji Tri, 2005).

Survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk memetakan

potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu

tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri

tanah melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan

dosis pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak

dikembangkan pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami

budaya petani yang membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus

mempelajari benih-benih tanaman pangan khususnya padi yang

dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini penelitian tanah memang

harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani dan penelitian

benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan

tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini

(40)

Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan,

penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam

rangka mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan

(khususnya padi) lahan kering yang maju. Sementara penelitian lahan

basah khususnya sawah tetap dilakukan secara intensif untuk, pertama,

mendukung pemulihan kualitas tanah yang telah merosot akibat tindakan

pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan; kedua, meningkatkan

mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah utama secara

alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama akibat

konversi.

2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah

dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, berupa

pengembangan areal tanam melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi dapat diterapkan diantaranya dengan meningkatkan indeks

pertanaman dan produktivitas lahan di lahan sawah maupun di lahan

kering. Sedangkan ekstensifikasi dapat dilakukan dengan cara

memanfaatkan lahan-lahan potensial yang saat ini belum dimanfaatkan

untuk usaha tani apapun (lahan tidur). Kedua usaha tersebut masih

memungkinkan di Indonesia dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan

(41)

Peningkatan indeks pertanaman (IP) dapat dilakukan dengan

mengoptimalkan pemanfaatan ketersediaan air baik yang bersumber dari

air irigasi maupun air hujan/air tanah. Salah satu upaya terobosan yang

diharapkan mampu meningkatkan produksi padi secara cepat yaitu

meningkatkan intensitas pertanaman menjadi 2-3 kali setahun atau IP

200-300, terutama pada sawah irigasi. Penerapan teknologi pemanfaatan

air pada lahan kering dapat mendukung usaha peningkatan IP tersebut.

Selain peningkatan produktivitas dan IP, perluasan areal tanam

(ekstensifikasi) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi

pangan. Ekstensifikasi tersebut lebih diarahkan pada lahan-lahan yang

belum dimanfaatkan. Lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan tidur

tersebar cukup luas di Indonesia, terdapat sekitar 9 juta hektar lahan tidur,

berupa semak belukar dan alang-alang. Potensi lahan untuk perluasan

areal tanaman pangan masih cukup luas. Lahan kering yang belum

dimanfaatkan sekitar 8,65 juta ha terdapat di Sumatera, Kalimantan dan

Sulawesi. Di antara lahan yang diterlantarkan tersebut pasti terdapat

lahan yang sesuai untuk pertanaman tanaman pangan. Soekartawi et al

(1993).

Teknologi budidaya untuk lahan marginal dan kurang subur baik di

lahan kering maupun pada agroekosistem lainnya seperti lahan pasang

surut sudah banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang

(42)

areal tanam khususnya di luar pulau Jawa memiliki peluang cukup tinggi.

Namun, pendekatan komoditas harus diimbangi dengan pendekatan

sumberdaya melalui diversifikasi usaha guna memperluas dan

memperkuat sumber pendapatan petani produsen.

2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya

Lahan sawah merupakan andalan bagi Indonesia dalam

memproduksi tanaman pangan khususnya padi. Konversi lahan subur

untuk keperluan nonpertanian terutama di Jawa terus berlangsung, maka

luas areal untuk tanaman pangan akan terus berkurang. Oleh karena itu

perlu ada upaya lain untuk meningkatkan produksi sebagai kompensasi

dari berkurangnya lahan subur. Departemen Pertanian dapat

memanfaatkan beberapa peluang dalam meningkatkan produksi, antara

lain:

1. Peningkatan permintaan beras sejalan dengan pertumbuhan

penduduk;

2. Dukungan pemerintah dalam perluasan dan peningkatan produksi

padi; dan

3. Program rehabilitasi infrastruktur, terutama jaringan irigasi.

Kedua peluang terakhir tersebut merupakan bagian dari program

revitalisasi pertanian yang mulai dicanangkan pada tahun 2005. Di Jawa

(43)

pertanian dimulai pada tahun 2008, yaitu ”Menjadikan Jawa Timur sebagai

Pusat Pengembangan Agribisnis”.

Selain terdapat potensi dan peluang dalam peningkatan produksi

pangan, juga terdapat hambatan baik dari dalam sistem maupun dari luar

sistem. Secara internal, kelemahan biofisik yang ada dalam peningkatan

produksi pangan antara lain adalah:

1. Konversi lahan masih berlangsung,

2. Produktivitas pangan cenderung stagnan, dan

3. Sarana produksi yang makin terbatas.

Selain penurunan luas tanam karena alih fungsi lahan, upaya

peningkatan produksi pangan juga dihadapkan pada ancaman eksternal

berupa :

1. Cekaman lingkungan biotik dan abiotik,

2. Nilai jual sawah yang tinggi untuk nonpertanian, dan

3. Terjadi pergeseran dari usahatani pertanian tanaman pangan ke

usaha lain.

Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan cekaman biotik

yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kegagalan

panen. Demikian juga dengan ancaman banjir atau kekeringan, bisa

menyebabkan gagal panen. Nilai jual lahan yang tinggi untuk

nonpertanian merupakan godaan bagi petani untuk menjual lahannya,

(44)

dinilai lebih menjanjikan, seperti usaha pembuatan batu bata atau genteng

di lahan sawah, atau usaha bisnis dan industri lainnya, menyebabkan

penggunaan lahan untuk tanaman pertanian makin sempit.

2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan

FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi

dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun

ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya,

sedemikian sehingga rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan

kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup

ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan.

Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli

atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO,

1996).

Pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat

bahwa ketahanan pangan minimal mengandung tiga unsur pokok yaitu

”ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan“, dimana unsur distribusi

dan konsumsi merupakan penjabaran dari aksessibilitas masyarakat

terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu

negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.

Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi

jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata,

(45)

ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan pangan

tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan.

Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat

komplek mulai dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk

memenuhi permintaan pangan yang meningkat karena pertumbuhan

penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat peningkatan

penduduk, aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman

bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen

yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan kebugaran, aspek

tentang pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang dan waktu dan

juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu ketersediaan

bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau

oleh seluruh masyarakat.

Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan

tuntutan lingkungan strategis baik domestik maupun internasional

mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional

termasuk pembangunan pertanian. Perubahan paradigma pembangunan

tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam

pemantapan ketahanan pangan.

Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi

(46)

1. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk

seluruh penduduk,

2. Distribusi pangan yang lancar dan merata,

3. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi

seimbang, yang berdampak pada

4. Status gizi masyarakat.

Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya

menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat

makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu

akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi

anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga

miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan

meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering

ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek

mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah

ketahanan pangan dan gizi.

Konsep ketahanan pangan, salah satunya dapat dicermati melalui

aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Kebanyakan

produk pangan merupakan hasil budi daya pertanian yang menggunakan

lahan (Tanaman Pangan). Sehingga untuk menjamin ketahanan pangan

yang prima dibutuhkan lahan yang subur yang cocok untuk pertanian,

khususnya pertanian tanaman pangan. Determinasi dari produksi pangan

(47)

penggunaan teknologi tepat guna pada budi daya pertanian, sedangkan

luas panen berkaitan dengan ketersediaan lahan subur untuk budi daya

pertanian.

Masalah yang terjadi pada produksi dan penyediaan pangan adalah

masalah konsumsi yang terus semakin meningkat dan kapasitas produksi

pangan yang mencapai tititk deminishing of return, yang disebabkan oleh

tingkat produktivitas yang mengalami kemandegan dan ancaman

terhadap degradasi lahan pertanian. Selain itu, banyaknya alih fungsi

lahan sawah juga menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan.

Alih fungsi lahan sawah dewasa ini terus terjadi dan luasannya juga

semakin bertambah. Minimnya insentif bagi petani menyebabkan laju

konversi lahan cukup tinggi. Setiap tahun lahan pertanian subur yang

berganti fungsi mencapai 145.000 ha (Deptan, 2007). Tingginya konversi

lahan pertanian ke non pertanian kini menjadi persoalan serius yang

dihadapi bangsa ini. Jika dibiarkan maka konversi lahan bukan hanya

mengganjal rencana pemerintah menaikan produksi padi, tapi juga bisa

menyebabkan bangsa ini masuk ke jurang krisis pangan. Petani memang

selama ini menjadi salah satu bagian dari perilaku konversi lahan sawah.

Baik dengan menjual lahannya kepada orang lain atau mewariskan

kepada anak-anaknya yang kemudian mengubah fungsi ke usaha non

pertanian. Namun demikian petani tidak sepenuhnya dapat disalahkan

(48)

faktor utama yang menyebabkan petani menjual lahannya. Untuk

mencegah Alih Fungsi Lahan Sawah, pemerintah baik Pusat, Provinsi

maupun Kabupaten wajib memberikan insentif kepada petani. Misalnya

dengan kemudahan fiskal dan pajak bumi dan bangunan. Sarana produksi

untuk pengusahaan tanah yang bersangkutan, pembangunan sarana dan

prasarana pertanian yang dapat menambah prodoktivltas tanah dan nilai

tukar produksi. Selain itu, kemudahan dan fasititas dalam penerbitan

sertiftkat bidang tanah yang bersangkutan, akses teknotogi dan pasar,

serta pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swsasta. "Bila

dipandang memungkinkan pemberian fasilitas pendidikan, kesehatan dan

asuransi pertanian kepada keluarga tani patut untuk dipertimbangkan“.

(Apriyantono, 2007).

Selain pemberian intensive pada petani, regulasi tentang lahan

pertanian juga harus segera dibuat dan ditegakkan. RUU Lahan Pertanian

Abadi, sebagaimana tertuang dalam Bab Pengendalian, sudah

memasukan insentif unluk petani. "Setidaknya ada 16 insentif dalam

pasal-pasal pengendalian dan pemberdayaan,” (Pasaribu, 2007).

2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi

Pertumbuhan produksi pertanian jangka panjang, yang perlu

diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan

kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut. Dalam

(49)

secara horisontal yaitu dengan mengembangkan komoditas pertanian

melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor pertanian

dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan produktivitas

usahatani yang dikaitkan dengan agroindustri.

Produktivitas pertanian merupakan sumber bagi pertumbuhan di

sektor pertanian. Adapun peningkatan produksi pertanian dapat dicapai

dengan peningkatan teknologi pertanian. Dengan peningkatan teknologi

pertanian memungkinkan tercapainya peningkatan produksi dari faktor

produksi yang tetap. Dengan demikian pengembangan teknologi pertanian

merupakan suatu langkah yang strategis bagi peningkatan produktivitas

pertanian (Thirtle and Ruttan dalam Hermanto et al., 1992).

Kebijakan pengembangan produksi pangan sampai saat ini masih

berfokus pada intensifikasi. Program ekstensifikasi yang

diimplementasikan melalui pencetakan sawah baru kontribusinya terhadap

pengembangan produksi sangat kecil karena mahalnya biaya investasi

untuk pencetakan sawah baru.

Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan produktivitas adalah

inovasi teknologi. Saat ini banyak pendapat yang mengemukakan bahwa

inovasi teknologi pertanian di Indonesia berlangsung lamban, bahkan

tersumbat, sehingga aliran inovasi teknologi yang diciptakan oleh lembaga

(50)

teknologi dalam meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan yang

(51)

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam perspektif makro, fenomena konversi lahan terjadi akibat

transformasi struktural perekonomian dan demografis, khususnya di

negara-negara berkembang. Transformasi struktural perekonomian

berlangsung dari semula bertumpu pada pertanian bergeser ke arah

industri. Sementara itu, transformasi demografis terjadi akibat pesatnya

pertumbuhan penduduk perkotaan yang berakibat pada konversi

penggunaan lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian (Kustiawan,

1997).

Nasution dan Winoto (1996) mengemukakan bahwa proses konversi

lahan ditentukan oleh dua faktor. Kedua faktor tersebut masing-masing:

(1) sistem kelembagaan yang berkembang pada masyarakat; dan (2)

sistem nonkelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam

masyarakat, dimana sistem ini lebih kepada dampak pembangunan, atau

sebagai proses internal pada masyarakat dalam kaitannya dengan

pemanfaatan sumberdaya lahan.

Khusus untuk sawah, konversi lahan dapat terjadi secara langsung

dan tidak langsung. Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan

para pemilik lahan yang mengkonversikan lahan sawah mereka ke

penggunaan lain, misalnya untuk industri, perumahan, prasarana dan

(52)

sarana atau pertanian lahan kering. Konversi kategori ini didorong oleh

motif ekonomi, dimana penggunaan lahan setelah dikonversikan memiliki

nilai jual/sewa (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan

lahan untuk sawah. Sementara itu, konversi tidak langsung terkait dengan

makin menurunnya kualitas lahan sawah atau makin rendahnya peluang

dalam memperoleh pendapatan (income opportunity) dari lahan tersebut

akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak-petak sawah di pingiran

perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya. Dalam jangka waktu

tertentu, lahan sawah yang dimaksud akan berubah ke penggunaan

nonpertanian atau digunakan untuk pertanian lahan kering. Secara

agregat, pengendalian konversi lahan harus diterapkan melalui upaya

minimalisasi peluang, pengendalian situasi, dan menyiapkan perangkat

pendukungnya. Pengendalian mengandung makna melakukan suatu

tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, keluaran (output), dan hasil

(outcome) yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan (Pakpahan et.

al.,1993)

Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000

mengenai pembagian wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah

pusat dan daerah, maka peran pemerintah daerah semakin besar dalam

mengurus ketatalaksanaan administrasi pemerintahan wilayahnya. Peran

(53)

beberapa kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dalam pengendalian

konversi lahan pertanian.

Sehingga dengan dasar pemikiran tersebut maka upaya upaya

pengendalian pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi non

pertanian dapat terwujudnya sehinga upaya peningkatan produksi

tanaman pangan dapat berjalan selaras dan berkelanjutan. Dari kondisi

tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan

[image:53.595.132.536.338.678.2]

pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

PEMANGKU KEPENTINGAN

(Stakeholders)

PARTISIPASI MASYARAKAT

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN

PERKEMBANGAN INDUSTRI

PERTUMBUHAN PENDUDUK

PEMENUHAN KONSUMSI PANGAN

PERALIHAN KETENAGAKERJAAN PRODUKSI

PERTANIAN

ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

INSTRUMEN HUKUM

(54)

3.2. Hipotesis

1. Perkembangan produksi pangan utama dipengaruhi oleh Alih Fungsi

Lahan Sawah di Jawa Timur.

2. Perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa

Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006

cenderung menurun.

3. Perkembangan konsumsi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa

Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006

cenderung meningkat.

4. Perkembangan jumlah penduduk di Jawa Timur dalam kurun waktu

10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 cenderung meningkat.

5. Terjadi peralihan tenaga kerja pertanian di Jawa Timur dalam kurun

waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 menjadi tenaga non

pertanian (industri, perdagangan dan lainnya)

6. Perkembangan luas penggunaan lahan untuk sawah di Jawa Timur

mempunyai kecenderungan menurun sedangkan perkembangan

luas penggunaan lahan untuk pekarangan/bangunan dan halaman di

Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun

1997-2006 mempunyai kecenderungan meningkat

7. Faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan antara lain : kelangkaan

(55)

4. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dipilih secara purposive sampling yaitu di Provinsi

Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa wilayah Provinsi Jawa Timur

mempunyai lahan pertanian yang berpotensi untuk menurun akibat

perkembangan industri dan bertambahnya perumahan seiring dengan

pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Penelitian akan dilaksanakan

pada bulan Agustus – Desember 2008.

4.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipergunakan

adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari

berbagai instansi yang terkait dengan penelitian dan studi literatur,

misalnya laporan-laporan atau dokumen yang berasal dari Instansi

Pemerintah, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas

Pemukiman dan Prasanana Wilayah (Kimpraswil), BPS (Badan Pusat

Statistik), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) dan

Badan Ketahan Pangan.

Jenis data yang dikumpulkan antara lain data produksi tanaman

pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi

masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), tenaga kerja

Gambar

Tabel 1. Lanjutan
Tabel 1. Lanjutan
Gambar 1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat potensi tenaga kerja yang begitu besar di desa itu yaitu 746 jiwa atau 45,2% dari total angkatan kerja di desa itu yang tidak bisa terserap secara maksimal dalam

hal tersebut menunjukan bahwa ada pengaruh hasil belajar peserta didik yang proses pembelajarannya menggunakan media prezi pada materi sistem pencernaan manusia di

Hasil penelitian menujukan bahwa tidak semua dalam pemanfaatan sistem informasi manajemen memiliki peran terhadap pengambilan keputusan.Alasanya pertama penggunaan SIM

Temuan-temuan lain (Tabel 4) tidak bertentangan dengan teori yang telah mapan, seperti persepsi keadilan interaksional dosen secara langsung dan positif memengaru- hi komitmen

KAJIAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAMPENYULUHAN PERTANIAN MELALUI PROGRAM “PA’TANI” DI DESA RANCABANGO KECAMATAN PATOKBEUSI KABUPATEN SUBANG. Universitas Pendidikan Indonesia |

[r]

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

Harapan ke depannya bagi Puskesmas X Kabupaten Kediri adalah, puskesmas membuat sebuah kebijakan prosedural dalam bentuk SOP analisis risiko dan keselamatan pasien