D
D
I
I
P
P
R
R
O
O
V
V
I
I
N
N
S
S
I
I
J
J
A
A
W
W
A
A
T
T
I
I
M
M
U
U
R
R
:
:
S
S
U
U
A
A
T
T
U
U
A
A
N
N
A
A
L
L
I
I
S
S
I
I
S
S
K
K
E
E
B
B
I
I
J
J
A
A
K
K
A
A
N
N
T E S I S
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS
Diajukan oleh:
AGUS PUJI RAHARDJO
NPM. 0764020008
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
TESIS
P
PEENNGGAARRUUHHAALLIIHHFFUUNNGGSSIILLAAHHAANNSSAAWWAAHH
T
TEERRHHAADDAAPPPPRROODDUUKKSSIIPPAANNGGAANNUUTTAAMMAA D
DIIPPRROOVVIINNSSIIJJAAWWAATTIIMMUURR:: S
SUUAATTUUAANNAALLIISSIISSKKEEBBIIJJAAKKAANN
Yang dipersiapkan dan disusun oleh:
AGUS PUJI RAHARDJO
NPM. 0764020008
Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji pada tanggal 8 Januari 2009
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji Lain
(Dr. Ir.H. Zainal Abidin, MS.) 1. (DR. Ir. Setyo Parsudi, M.S.)
Pembimbing Pendamping 2. (DR.Ir. Eko Nurhadi, M.S.)
(Dr. Ir.H.Syarif Imam Hidayat,MM.) 3. (Ir. Sri Tjondro Winarno, M.M.)
Surabaya, Januari 2009
UPN ”Veteran” Jawa Timur Program Pancasarjana
Direktur,
ABSTRAK
Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali dapat mengancam
kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi
instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal
sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dikaji dampak alih
fungsi lahan sawah di Jawa Timur.
Tulisan ini bertujuan untuk mengamati variabel yang berpengaruh
dan yang dipengaruhi dengan terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah, dan
Untuk menyusun alternatif strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan alih fungsi lahan
sawah semakin sering terjadi. Semakin meluasnya alih fungsi lahan akan
memiliki dampak buruk terhadap ketersediaan pangan di Jawa Timur
khususnya padi, karena 90 persen padi ditanam di lahan sawah,
sedangkan lahan sawah sering mengalami alih fungsi menjadi
penggunaan lahan non pertanian.
Untuk mengendalikan alih fungsi lahan diperlukan strategi berupa
strategi peraturan kebijakan, dan strategi partisipasi mayarakat. Dengan
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
ridhoNYA yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
TERHADAP PRODUKSI PANGAN UTAMA DI PROVINSI JAWA
TIMUR: SUATU ANALISIS KEBIJAKAN.
Tujuan penulisan tesis ini untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna mencapai derajat S-2 pada Program Pascasarjana UPN ”Veteran”
Jawa Timur. Setelah penulis mengalami berbagai macam tantangan dan
cobaan dalam proses penulisan tesis ini, penulis mendapatkan banyak
nasehat dan dorongan semangat dari berbagai pihak yang mampu
memotivasi penulis untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang
setinggi–tingginya kepada Dr. Ir. Zainal Abidin, MS. selaku
Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Syarif Imam Hidayat, MM. selaku
Pembimbing Pendamping, Beliau sangat tegas dan penuh dengan
kesabaran serta perhatian dalam membimbing penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Rektor dan Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen dan staf
yang telah memberikan kesempatan mengikuti kuliah di Program
2. Rekan-rekan mahasiswa angkatan XV pada Program Pascasarjana
Studi Magister Manajemen Agribisnis UPN ” Veteran” Jawa Timur
yang selalu memberikan dukungan dan semangat serta masukan–
masukan yang bermanfaat.
”Tak ada gading yang tak retak”, penulis menyadari bahwa dalam
penulisan tesis ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan karena
terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, kesempurnaan itu
mutlak milik Allah SWT. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi perbaikan tesis ini sangat penulis harapkan.
Surabaya, Januari 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ...x
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Kegunaan Penelitian ... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Penelitian Terdahulu ... 8
2.2. Kajian Teori ... 18
2.2.1. Konsep Agribisnis... 18
2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian ... 26
2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi... 27
2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan... 30
2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya ... 32
2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan ... 34
2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi ... 38
3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 41
3.1. Kerangka Pemikiran ... 41
4. METODE PENELITIAN ... 45
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
4.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 45
4.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 46
4.4. Analisis Data ... 48
5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54
5.1. Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 54
5.2. Perkembangan Produksi Pangan utama di Jawa Timur ... 68
5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 77
5.4. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Perkembangan Produksi Pangan utama... 87
5.4.1. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Padi ... 87
5.4.2. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Perkembangan Produksi Jagung... 89
5.5. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur ... 92
5.5.1. Strategi Peraturan Kebijakan... 97
5.5.2. Strategi Partisipasi Mayarakat ... 100
6. KESIMPULAN DAN SARAN... 104
6.1. Kesimpulan ... 104
6.2. Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA... 108
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti
Terdahulu ... 16
2. Luas Lahan Sawah menurut Jenis Pengairan di Jawa
Timur, Tahun 2001-2006 ... 62
3. Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan
Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 63
4. Perkembangan Produksi Padi dan Jagung di Jawa Timur,
Tahun 1998-2006 ... 70
5. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Beras di Jawa
Timur, Tahun 1998-2006 ... 71
6. Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Jagung di Jawa
Timur, Tahun 1998-2006 ... 74
7. Hasil Analisis Regresi Linier Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah. ... 79
8. Jumlah Penduduk dan Persentase Pertumbuhannya di
Jawa Timur, Tahun 1998-2006... 82
9. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di
Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 83
10. Hasil Analisis Regresi, Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian ... 26
2. Kerangka Pemikiran ... 43
3. Luasan Alih Fungsi Lahan Sawah Periode 1997-2001 dan
Periode 2002-2006, di Jawa Timur... 55
4. Ranking Alih Fungsi Lahan di Jawa Timur, 1997-2006 ... 56
5. Trend Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa Timur,
1997-2006 ... 57
6. Persentase Lahan Sawah Menurut Tipe Irigasi, Yang
Mengalami Alih Fungsi menjadi Lahan Non Pertanian ... 60
7. Trend Lahan Sawah dan Lahan Pekarangan/Bangunan dan
Halaman di Jawa Timur, Tahun 2001-2006... 64
8. Produksi dan Konsumsi Beras di Jawa Timur, Tahun
1998-2006 ... 72
9. Produksi dan Konsumsi Jagung di Jawa Timur, Tahun
1998-2006 ... 75
10. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Usia 10 Tahun Keatas di Jawa
Timur, Tahun 2001-2006 ... 84
11. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
Produksi Padi, 1997-2006 ... 87
12. Fungsi Regresi Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
Produksi Jagung, 1997-2006... 91
13. Ketatalaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Bertumpu
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perundang-undangan dan Peraturan tentang Alih Fungsi
Lahan Sawah ... 112
2. Out Put Regresi Alih Fungsi Lahan dengan Independen
Variabel Jumlah Rumah Tangga, Pertumbuhan Ekonomi,
dan Jumlah Petani... 115
3. Out Put Regresi Produksi Padi dengan Independen
Variabel Alih Fungsi Lahan ... 117
4. Out Put Regresi Produksi Jagung dengan Independen
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi
salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan.
Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk
mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali dilakukan
adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian).
Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban
manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik yang
menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah
penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika
pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok
tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi
pemanfaatan.
Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke
pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih
fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk
Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan
yang komplek dikemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari
sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali
dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam
jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.
Lahan pertanian memiliki manfaat sosial dan manfaat ekonomi
maupun manfaat lingkungan. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian
terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek
budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling
esensial dalam keberlangsungan proses produksi. Sementara itu, secara
lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya relatif lebih selaras dengan
prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. (Bappenas, 2006).
Salah satu fenomena yang cukup sering terjadi dalam pemanfaatan
lahan adalah alih fungsi lahan. Fenomena tersebut muncul seiring makin
tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap
lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian sebagai
akibat dari bertambahnya penduduk dan kegiatan pembangunan.
Sumaryanto et al. (1994) menggarisbawahi bahwa sisi dampak negatif
(kerugian) utama akibat konversi lahan pertanian (sawah) adalah
hilangnya peluang atau kesempatan dalam memproduksi hasil pertanian
yang terkonversi. Lebih lanjut, kerugian tersebut juga berdampak pada
hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja, baik secara
langsung maupun tidak langsung ke depan (forward linkage) dan ke
Kebijakaan pembangunan pertanian yang ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan agribisnis dan
meningkatkan kesejahteraan petani mengharuskan produk pertanian yang
dihasilkan memenuhi syarat kualitas dan syarat kuantitas maupun
kontinuitasnya, sehingga produk tersebut memiliki daya saing dan mudah
diperoleh dengan harga yang terjangkau.
Ketahanan Pangan sangat erat keterkaitannya dengan persediaan
pangan. Produksi pangan selama ini didominasi oleh hasil dari tanaman
padi yang ditanam dilahan sawah dibandingkan dengan tanaman padi
yang ditanam di ladang. Data BPS menunjukkan bahwa 90 persen
komoditas padi ditanam di lahan sawah. Dengan demikian bila konversi
lahan banyak terjadi di lahan subur (sawah irigasi dan tadah hujan) yang
terus berlangsung, maka akan mengganggu pertumbuhan produksi
pangan. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri dan
bertambahnya perumahan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan
untuk keperluan tersebut.
Sejalan dengan uraian diatas, upaya meningkatkan produksi
pertanian tanaman pangan di Jawa Timur menjadi tidak mungkin karena
disamping bertambahnya permintaan produk pertanian akibat dari
pertambahan penduduk, tuntutan konsumen akan kualitas yang semakin
tinggi, juga semakin terbatasnya lahan subur untuk budidaya tanaman
bangunan industri maupun kawasan perumahan. Sedangkan sektor
pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai
sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan
dan peningkatan ketahanan pangan nasional (Irawan et al., 2003).
Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Timur berdasarkan Hasil Podes 2006, bahwa telah terjadii alih fungsi
lahan sawah selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan
sawah sebesar 5.665 Ha (31,86%), lahan untuk perumahan sebesar
8.567,7 Ha (48,16%), lahan untuk bangunan industri sebesar 1.204,2 Ha
(6,77%), lahan untuk bangunan perusahaan/perkantoran sebesar 693,1
Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain sebesar 1.651,3 Ha (9,29%).
Kondisi tersebut menjunjukkan bahwa luasan lahan sawah telah terjadi
penurunan, terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai salah satu unsur
produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan produksi
pangan.
Untuk selanjutnya, harus ada upaya untuk tetap meningkatkan
produksi pangan, meskipun alih fungsi lahan sawah di Jawa Timur sulit
dicegah, sehingga memerlukan upaya keras untuk pengendalian alih
fungsi lahan sawah di Jawa Timur. Pada situasi dimana produksi padi
mulai sulit ditingkatkan akibat meningkatnya kendala peluasan lahan
sawah dan stagnasi teknologi usahatani, alih fungsi lahan sawah akan
upaya pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan sawah memiliki
peranan yang semakin penting dalam rangka mendukung ketahanan
pangan di Jawa Timur. Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah juga
diperlukan untuk menghindari berbagai masalah sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang dapat timbul karena adanya kejadian tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan produksi pangan utama, jumlah
penduduk, tingkat konsumsi pangan utama, pergeseran struktur
tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan di Jawa Timur,
sebagai Faktor-faktor yang berhubungan dengan Alih Fungsi Lahan
Sawah, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah?
3. Bagaimana pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung) di Jawa
Timur?
4. Strategi yang perlu dilakukan dalam pengendalian Alih Fungsi Lahan
Sawah di Jawa Timur?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi pekembangan produksi pangan utama (padi
dan jagung), peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan
(sawah irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan
halaman). Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih
Fungsi Lahan Sawah, dan akan dicermati perkembangannya selama
10 tahun yaitu periode 1997-2006.
2. Untuk mengetahui pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
perkembangan produksi pangan utama di Jawa Timur.
3. Untuk menganalisis pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap
produksi pangan utama.
4. Untuk menyusun strategi pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
dalam rangka Ketahanan Pangan di Jawa Timur.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Sebagai kontribusi bagi pemerintah pusat atau daerah dalam
pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah untuk menghindari
terjadinya penurunan produksi pangan utama yang dapat
mengancam ketahanan pangan di Jawa Timur.
2. Bagi penulis sebagai sarana mengembangkan pola pikir dan
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan
Magister Manajemen Agribisnis (MMA) pada Program Pascasarjana
3. Sebagai bahan informasi dasar bagi penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan fungsi lahan pertanian.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Wilayah penelitian: Provinsi Jawa Timur
2. Data yang digunakan dalam penelitian kurun waktu tahun 1997-2006
3. Fokus penelitian:
a. Mengidentifikasi kondisi Alih Fungsi Lahan Sawah di Jawa
Timur.
b. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap perkembangan
produksi pangan utama di Jawa Timur
c. Pekembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), jumlah
penduduk, tingkat konsumsi pangan utama (padi dan jagung),
peralihan tenaga kerja pertanian dan penggunaan lahan (sawah
irigasi dan non irigasi serta pekarangan/bangunan dan halaman).
Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan dengan Alih Fungsi
Lahan Sawah. Kemudian diamati perkembangannya selama 10
tahun yaitu selama periode 1997-2006.
d. Analisis kebijakan untuk menyusun Strategi pengendalian Alih
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Priyono. A. (2000) dalam penelitian Studi Perubahan Penggunaan
Lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu parameter utama untuk
mendukung usaha peningkatan fungsi lahan adalah informasi perubahan
penggunaan lahan dan kondisinya (existing landuse). Lahan sawah telah
dikonversi ke penggunaan nonpertanian seperti perkotaan dan kawasan
industri. Selain itu, dalam kurun waktu 1969-2000 minimal 2% atau lebih
wilayah hutan juga telah mengalami alih fungsi menjadi tegalan dan
sebagian kecil perkebunan. Untuk menekan laju konversi lahan perlu
dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan,
ketersediaan jaringan irigasi permanen, aspek sosial ekonomi petani,
hukum, dan kemungkinan perluasan/pencetakan sawah di luar Jawa.
Selain itu harus disinkronkan dengan skenario perencanaan pertanian
jangka panjang di Pulau Jawa. Pendekatan secara holistic dan terintegrasi
dalam usaha menekan dan mengamankan alih fungsi lahan sawah
produktif di Jawa perlu dilakukan.
Kurnia. U. (2006) dengan judul penelitian Pengaruh Penggunaan
Lahan terhadap Debit dan Banjir di Bagian Hilir DAS Kaligarang.
Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan, khususnya lahan sawah
yang berada di sekitar perkotaan untuk penggunaan lain seperti
perumahan dan industri yang mengancam hilangnya produktivitas tanah
dan kelestarian lingkungan. Lahan sawah diyakini dapat mencegah atau
mempertahankan lingkungan dari kerusakan karena mampu menahan air,
berfungsi sebagai dam dan mengurangi erosi. Penelitian dilakukan di
bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah. banjir di bagian hilir DAS Kaligarang, Kabupaten Semarang,
Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan
penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman, perumahan dan
industri meningkatkan debit, sedimentasi dan banjir. Banjir semakin sering
terjadi dan debit sungai meningkat dengan meningkatnya luas sawah
yang berubah menjadi areal industri dan pemukiman.
Iqbal (2007) dalam penelitiannya tentang Fenomena dan Strategi
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Konversi Lahan
Sawah Di Provinsi Bali Dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa salah satu fenomena yang cukup marak
terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah konversi lahan. Fenomena ini
muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan
permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor
nonpertanian akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan.
Penelitian ini memaparkan fenomena dan strategi kebijakan pemerintah
sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun pemerintah
daerah telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang
aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi
terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan
masih lemah. Oleh karena itu, pendataan lahan yang terkoordinir dan
terpadu diiringi dengan kebijakan pengendalian konversi lahan yang
holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan.
Iqbal dan Sumaryanto (2007) dengan judul penelitian Strategi
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Bertumpu Pada Partisipasi
Masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alih Fungsi Lahan
Sawah yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan
pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian
sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih
fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan.
Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif
yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.
Widjanarko (2007) dalam Aspek Pertanahan dalam Pengendalian
Alih Fungsi Lahan, menujukkan bahwa arah kebijakan nasional dalam hal
pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah sering bertabrakan dengan
kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan
masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan
sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi
dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW), namun ternyata
masih banyak prilaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh
penerapan kebijakan tersebut. Banyak dijumpai kasus-kasus dimana para
pemilik lahan pertanian secara sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih
mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui mekanisme perijinan atau
pelanggaran RTRW yang ada. Misalnya kasus yang terjadi di Kabupaten
Bekasi dimana Bupati telah menetapkan ijin lokasi bagi pengalihan fungsi
lahan persawahan teknis seluas 11 ha di desa Karang Sambung, Kedung
Waringin menjadi pabrik penggilingan padi modern. Alih fungsi lahan
sawah irigasi teknis ini sempat ditentang oleh Komisi B Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi. Selain tidak dikonsultasikan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kebijakan alih fungsi ini bertentangan
dengan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Larangan Alih
Fungsi Lahan Sawah menjadi Industri atau Perumahan. Hal ini juga
bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Negara/Bappenas Nomor
5417/MK/10/1994.
Pranadji (2005) dalam penelitian yang berjudul Pemberdayaan
Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Dan Air Mencari
Strategi dan Kebijakan yang Sesuai untuk Pemantapan Ketahanan
Pangan 2006-2009. Hasil penelitian antara lain: (a) pemantapan
sumberdaya lahan dan air. Melalui pemberdayaan kelembagaan
masyarakat madani pada berbagai tingkat sosial, masalah pengelolaan
sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan ketahanan pangan masih
terbuka untuk diatasi dengan baik, (b) dalam rangka meningkatkan
pengelolaan sumberdaya lahan kering paling tidak tersedia lima pilihan
strategi pemberdayaan kelembagaan yang bisa dilakukan. Strategi yang
dimaksud adalah: strategi caritas, strategi produksi, strategi ekonomi,
strategi perbaikan ekosistem, dan strategi sosio-budaya, (c) lemahnya
pengelolaan sumberdaya lahan dan air menjadi salah satu penyebab
terjadinya krisis multi dimensi seperti yang kita alami hingga kini, (d)
perspektif jangka panjang perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan
air harus dilandaskan pada reformasi agraria. Tujuan akhir perbaikan
pengelolaan sumberdaya lahan kering dan air adalah memperbaiki tingkat
kehidupan masyarakat banyak di pedesaan khususnya, dan keseluruhan
masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Pemantapan ketahanan
pangan merupakan hal esensial, sebelum tujuan kesejahteraan
masyarakat lain dipenuhi. Oleh sebab itu, strategi pemberdayaan dalam
perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan dan air untuk pemantapan
ketahanan pangan baru bisa ditentukan pada arah yang tepat jika lebih
dahulu dilakukan perbaikan struktur keagrariaan yang bersifat
menyeluruh.
Swastika (2007) pada Penelitian Analisis Kebijakan Peningkatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras merupakan bahan pangan
pokok bagi 95 persen dari penduduk Indonesia. Sejak awal kemerdekaan
Indonesia telah berusaha keras untuk meningkatkan produksi padi.
Namun demikian, selama lebih dari tiga dekade Indonesia belum mampu
memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, sehingga masih tergantung
pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di
Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi berjalan stagnan. Untuk
periode selanjutnya, harus ada terobosan dalam meningkatkan produksi
padi, meskipun konversi lahan terus berlangsung. Studi ini mencoba
mengkaji kinerja pemanfaatan lahan sawah, kontribusi dan prospeknya
dalam peningkatan produksi padi nasional. Hasil studi menunjukkan
bahwa lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi. Pada tahun
2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84
juta ha, dengan rataan indeks pertanaman 1,61. Angka ini menunjukkan
masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui
peningkatan indeks pertanaman. Hasil analisis SWOT menunjukkan
bahwa peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis
sebagai kompensasi dari konversi lahan. Potensi lainnya ialah
peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul
disertai dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT).
Penerapan kebijakan ini harus didukung oleh pembangunan dan renovasi
infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan
Pranadji (2006) dalam penelitian yang berjudul Penguatan Modal
Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dalam Pengelolaan
Agroekosistem Lahan Kering (ALK). Hasil penelitian penelitian antara lain :
pertama, pada desa yang kerusakan ALK parah, sebagian besar
penduduknya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Kedua, dalam memperbaiki pengelolaan ALK, kedua proyek belum
memperhatikan tentang pentingnya penguatan modal sosial setempat.
Setelah proyek berakhir, hampir semua kegiatan perbaikan pengelolaan
ALK ikut berakhir. Desa yang memiliki modal sosial relatif baik cenderung
memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatasi kerusakan ALK. Ketiga,
ketimpangan kekuatan modal sosial antardukuh bisa dijadikan petunjuk
kemungkinan terjadinya gejala ketidakberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan ALK, dan sekaligus menjadi petunjuk tentang lemahnya
kelembagaan masyarakat madani dan penyelenggaraan pemerintahan
pedesaan setempat. Keempat, kerusakan tata nilai masyarakat pedesaan
merupakan faktor penting penyebab terjadinya ketidak-berdayaan
masyarakat dan kemerosotan pengelolaan ALK setempat. Upaya
perbaikan pengelolaan ALK tidak saja perlu disejajarkan dengan
pemberdayaan masyarakat, namun juga perlu diintegrasikan dengan
transformasi sosio-budaya dan perekonomian pedesaan. Model
pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam pengelolaan ALK yang dinilai
efektif adalah yang dilandaskan pada penguatan modal sosial setempat.
sosial, dan akan efektif jika dimulai dari penguatan kepemimpinan
masyarakat setempat, manajemen sosial, dan keorganisaian masyarakat
tingkat dukuh.
Maulana (2004) pada penelitian Peranan Luas Lahan, Intensitas
Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah
Di Indonesia 1980–2001. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai
sumber pertumbuhan pada tingkat nasional, indeks pertanaman memiliki
peranan penting dengan peningkatan laju pertumbuhan dari 0,05 persen
per tahun selama 1990-1994 menjadi 3,17 persen selama 1995-1998.
Sementara itu luas lahan dan produktivitas mengalami laju pertumbuhan
yang cenderung menurun, bahkan pada periode 1995-2001 telah
mengalami pertumbuhan negatif. Indeks TFP menunjukkan bahwa
fluktuasi penggunaan total faktor produksi tidak berpengaruh signifikan
terhadap laju pertumbuhan produksi. Hal ini mengindikasikan terjadinya
levelling off produktivitas. Oleh karena itu diperlukan strategi kebijakan
peningkatan produksi melalui pengembangan riset teknologi pertanian,
pengendalian konversi lahan ke nonpertanian dan pengembangan
infrastruktur.
Untuk menetapkan posisi penulisan pada hasil-hasil penelitian
terdahulu, maka secara ringkas dipetakan tentang nama penulis dan fokus
penelitian sebelumnya. Adapun hasil pemetaan oleh peneliti-peneliti
Tabel 1. Fokus Penelitian Yang Telah Dilakukan Oleh Peneliti Terdahulu NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN
DILAKUKAN
1 Adi Priyono,
Wahyunto,
Sunaryo, dan
Zainal Abidin
(2000)
Untuk menekan laju
konversi lahan perlu
dipertimbangkan beberapa parameter seperti: kondisi/ekosistem lahan, ketersediaan jaringan irigasi
permanen, aspek sosial
ekonomi petani, hukum,
dan kemungkinan
perluasan/pencetakan
sawah di luar Jawa
Hasil Penelitian sebelumnya
akan menjadi dasar
penyusunan strategi Alih
Fungsi Lahan Sawah
2 Undang Kurnia, Sudirman, Ishak Juarsah, dan Yoyo Soelaeman (2006) Perubahan penggunaan
lahan sawah menjadi
lahan pemukiman,
perumahan dan industri
meningkatkan debit,
sedimentasi dan banjir.
Banjir semakin sering
terjadi dan debit sungai
meningkat dengan
meningkatnya luas
sawah yang berubah
menjadi areal industri
dan pemukiman
Faktor penyebab alih fungsi
lahan sawah menjadi lahan
pekarangan/bangunan dan
halaman akan diukur
berdasarkan perubahan
penggunaan lahan yang
terjadi dan dalam penelitian
ini juga mengidentifikasi
dampaknya terhadap
produksi dan konsumsi
pangan utama, dan peralihan
Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN
DILAKUKAN
3 Iqbal (2007) Pendataan lahan yang
terkoordinir dan terpadu
diiringi dengan
kebijakan pengendalian
konversi lahan yang
holistik dan
komprehensif perlu
segera diwujudkan
Kondisi kenyataan tentang
pendataan lahan akan
menjadi pertimbangan dalam
penyusunan strategi
pengendalian Alih Fungsi
Lahan Sawah
4 Iqbal dan
Sumaryanto
(2007)
Strategi pengendalian
alih fungsi lahan
pertanian bertumpu
pada partisipasi
masyarakat dengan
melibatkan peran serta
aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian.
Hasil penelitian sebelumnya
akan menjadi dasar
pertimbangan pada
penyusunan strategi
pengendalian Alih Fungsi
Lahan Sawah
5 Bambang .W.
M. Pakpahan, Bambang Rahardjono, dan Putu Suweken (2007)
Nilai tanah sebagai
barang investasi lebih
diminati daripada
sebagai faktor produksi.
Nilai tanah sebagai barang
investasi dalam penelitian ini
merupakan faktor penyebab
terjadinya Alih Fungsi Lahan
Tabel 1. Lanjutan NO NAMA PENELITI (TAHUN) FOKUS PENELITIAN HUBUNGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN
DILAKUKAN 6 Swastika, Wargiono, Soejitno, dan Hasanuddin (2007) Peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi
dari konversi lahan.
Potensi lainnya ialah
peningkatan mutu
intensifikasi.
Hasil penelitian sebelumnya
menjadi bahan pertimbangan
dalam peningkatan produksi
yang dalam penelitian ini tidak
dibahas
Sebagian besar tulisan telah mencermati faktor penyebab terjadinya
alih fungsi lahan sawah dan strategi pengendalian, sedangkan dalam
tulisan ini selain mencermati faktor yang berpengaruh dan strategi
pengendalian juga akan dilihat dari sisi pengaruhnya terhadap ketahanan
pangan utama di Provinsi Jawa Timur.
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Konsep Agribisnis
Agribisnis terbentuk dari dua unsur kata yaitu ”agri” yang berasal dari
agriculture (pertanian) dan ”bisnis” dari kata business (usaha). Jadi
agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau
keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran
yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas, yaitu usaha yang
Konsep agribisnis adalah konsep yang utuh mulai dari proses suplai
input, produksi usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil. Sedangkan
dalam agribisnis itu sendiri dikenal konsep agribisnis sebagai sistem dan
agribisnis sebagai suatu usaha. Disamping itu dikenal azas-azas dalam
pengembangan agribisnis suatu komoditas tertentu. Beberapa azas yang
perlu diterapkan dalam pengembangan agribisnis, antara lain adalah :
terpusat (centralized), efisien (efficient), menyeluruh dan terpadu (holistic
and integrated), dan kelestarian lingkungan (sustainable ecosystem) (Hadi
et al. 1994).
Agribisnis pada dasarnya menekankan pada cara pandang yang
melepaskan diri dari sebuah “tradisi” konvensional yang selama ini dianut,
ketika berbicara tentang pertanian. Pertanian tidak semata-mata hanya
dipandang sebagai suatu kegiatan on farm saja, akan tetapi mencakup
berbagai subsistem dalam keseluruhan sistem, yang disebut agribisnis.
Agribisnis bukan sekedar untuk membuat kegiatan pertanian menjadi
berdaya saing saja, akan tetapi lebih penting dari itu adalah dapat
menciptakan petani untuk lebih produktif dan sejahtera. Dalam sistem
agribisnis ada salah satu subsistem yang bersama-sama subsistem yang
lainnya membentuk sistem agribisnis. Sistem agribisnis terdiri dari
subsistem input (agroindustri hulu), usahatani (pertanian), out put
(agroindustri hilir), pemasaran dan penunjang. Dengan demikian
Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan yang didalamnya terlibat aliran
penyebaran, penyimpanan, penjualan komoditi tersebut kepada
konsumen akhir. Secara garis besar agribisnis dapat dibagi menjadi sektor
masukan pertanian, sektor produksi pertanian dan sektor keluaran
pertanian (Masyhuri,1992).
Pengembangan agribisnis telah banyak diulas oleh para pakar
ekonomi dan pakar agribisnis pertanian, serta telah banyak kebijaksanaan
pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat laju perkembangan
agribisnis. Namun pada realisasinya usaha-usaha tersebut belum mampu
memenuhi sasaran yang diharapkan oleh masyarakat agribisnis
Indonesia. Agribisnis sebagai mega sektor terdiri atas 4 (empat)
sub-sektor, yaitu (1) sub sektor agribisnis hulu (up-stream agribisness),
merupakan kegiatan yang menghasilkan sarana produksi pertanian
primer, termasuk didalamnya agroindustri hulu seperti: industri
pembenihan/pembibitan, industri obat-obatan pertanian, industri pupuk,
industri alat-alat mesin pertanian; (2) sub-sektor (on farm agribusness)
atau usahatani, yang merupakan kegiatan dengan menggunakan sarana
produksi untuk menghasilkan komoditi pertanian primer; (3) sub-sektor
agribisnis hilir (down stream agribusness), merupakan kegiatan yang
mengolah komoditas pertanian primer produk akhir (finish product), dan
(4) sub-sektor jasa penunjang agrbisnis, merupakan kegiatan yang
menyediakan jasa-jasa penunjang dan dibutuhkan agribisnis, seperti:
tinggi, komunikasi dan kebijakan pemerintah, baik ditingkat makro,
regional maupun mikro (Saragih dan Murthi, 1989).
Agribisnis merupakan kesatuan sistem usaha di bidang pertanian
yang tersusun atas beberapa komponen yang merupakan jaringan
terpadu. Sistem agribisnis terdiri dari empat subsistem yang langsung
terkait dengan penanganan proses tehnik, fisik dan jasa yaitu Soedirman
(1994):
1. Subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi
dan pengembangan sumber daya pertanian, mencakup didalamnya
aspek-aspek perencanaan, mekanisme, tataniaga dan kebijakan
harga sejak dari memproduksi masukan (input) sampai pada petani,
aspek dari rangkaian tersebut bermuara pada tempat kualitas dan
tempat kuantitas.
2. Subsistem produksi pertanian atau usahatani merupakan suatu
kegiatan pemanfaatan beberapa sumber daya untuk memperoleh
keuntungan yang berkenaan dengan perencanaan lokasi, pola usaha
komoditas, teknologi, budidaya dan keluaran yang terkait dalam
permintaan.
3. Subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian atau agroindustri
merupakan salah cabang dari industri yang mempunyai kaitan erat
perencanaan di dalam proses peningkatan kualitas dalam pengertian
lebih luas.
4. Subsistem pemasaran hasil-hasil pertanian merupakan subsistem
tentang perencanaan pengembangan pasar, baik produksi pertanian
maupun agroindustri dalam lingkup domestik maupun luar negeri.
Dengan demikian masuk di dalamnya pemantauan terhadap
persoalan perubahan perilaku dan segala pasar yang semakin cepat
sehingga sangat sulit diantisipasi, pengembangannya. Strategi
perdagangan dengan peningkatan peranan market intellgence dalam
aspek-aspek pemasaran atau perdagangan internasional, terutama
berkaitan dengan sigmentasi pasar, perubahan selera konsumen
maupun kondisi produksi negara-negara lain.
Agribisnis menurut Downey dan Ericson (1989), dapat dibagi menjadi
tiga subsektor yang saling tergantung secara ekonomi, yaitu sektor
masukan (input), produksi (farm) dan sektor keluaran (out put). Sektor
masukan menyediakan perbekalan kepada para petani untuk dapat
memproduksi hasil tanaman termasuk di dalamnya adalah bibit, pupuk,
mesin atau teknologi pertanian, bahan pakan ternak, bahan kimia dan
banyak pembekalan yang lainnya.
Program pemerintah yang dituangkan dalam GBHN, ditunjang
dengan penerapan konsep agribisnis diharapkan dapat memberikan
mengimbangi pertumbuhan di sektor industri. Pembangunan agribisnis
perlu ditempatkan bukan hanya sebagai pendekatan baru pembangunan
pertanian, tetapi lebih dari itu pembangunan agribisnis perlu dijadikan
sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan ekonomi
Indonesia secara keseluruhan (agribusiness-led development). (Adi
Wijaya, 1996).
Dalam rangka membangunan perekonomian Indonesia melalui
pembangunan agribisnis ke depan dihadapkan pada dua tantangan besar
yang perlu terakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis.
Pertama, liberalisasi perdagangan internasional yang membuka
persaingan yang makin ketat, memerlukan peningkatan kemampuan
bersaing. Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya
menyangkut pengurangan peranan langsung pemerintah pusat dan
desentralisasi pembangunan, dan lain-lain menjadi hal yang sangat
penting diakomodasikan dalam pembangunan sistem agribisnis. Dalam
pembangunan nasional mendatang, pengembangan agribisnis dirasakan
penting karena (Sutawi 2002):
1. Prospek pasar dalam negeri cukup besar (kenaikan pendapatan dan
perkembangan penduduk).
2. Meningkatkan nilai tambah sektor pertanian agar produktivitas sektor
pertanian meningkat sehingga sektor pertanian tidak tertinggal
3. Sebagai “leading sector” memenuhi empat kriteria dalam
memecahkan masalah pembangunan ekonomi Indonesia secara
keseluruhan yaitu memanfaatkan bahan produksi setempat
(resourcebase), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan nilai
tambah, dan penerimaan devisa.
4. Pengembangan agribisnis di Indonesia didukung oleh agroklimat dan
kondisi lahan yang cukup subur, prasarana yang mendukung, dan
kemauan pemerintah untuk mendukung pengembangan sektor
pertanian.
Berbagai alternatif kebijakan pemerintah untuk menempuh agar
sektor agribisnis dapat dikembangkan dengan baik menurut PERHEPI
(1989) dalam Soekartawi (1994), yaitu antara lain :
1. Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan petani untuk berusaha
tani secara efisien.
2. Menyebarluaskan informasi pasar dan peluang pasar.
3. Menetapkan standarisasi untuk produksi pertanian secara tegas dan
dimengerti oleh semua pihak.
4. Mengembangkan kelembagaan berdasarkan keinginan petani dan
bukan berdasarkan keinginan yang dirasakan oleh birokrasi, dan
5. Konsolidasi kelembagaan pemasaran dan pengembangan
market-intellegent.
Sedangkan menurut Sutawi (2002), di dalam kebijakan yang dapat
1. Perlunya pemahaman tentang hukum dan peraturan yang
merupakan suatu kesepakatan dalam mengatur perdagangan
internasional.
2. Perlunya pengembangan produksi yang efisien dengan bertumpu
pada keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah.
3. Perlunya menentukan kebijakan pengembangan sumber daya
manusia yang tepat dan sesuai dengan tuntutan untuk meningkatkan
keunggulan kompetitif yang diinginkan.
4. Pengembangan agribisnis juga tidak terlepas dari pengembangan di
bidang kelembagaan yang akan menentukan pola pembinaan dan
pemanfaatan secara maksimal.
Dalam kontek pengembangan agribisnis Simatupang (1995)
mengemukakan bahwa struktur agribisnis yang bersifat dualistik
menyebabkan munculnya masalah tranmisi (pass trough problem), yang
mencakup empat aspek strategis:
1. Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris, penurunan harga
ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan
kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna;
2. Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen, ditahan dan bahkan
dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik
(oligopsonistik) atau monopolistik (oligopolistik) oleh agribisnis hilir;
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh agribisnis hilir
4. Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir
tidak disalurkan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan
untuk mengeksploitasi agribisnis hulu.
Kondisi di atas merupakan argumen, tentang sulitnya
mengikutsertakan pelaku agribisnis yang telah mapan dalam
kelembagaan petani.
2.2.2. Manfaat Lahan Pertanian
Lahan pertanian memberikan manfaat untuk ketahanan pangan,
sosial ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Hilangnya lahan pertanian
yang mengalami alih fungsi ke manfaat lahan non pertanian akan
memberikan dampak yang kurang baik bagi ketiga aspek tersebut.
Manfaat lahan pertanian telah diilustrasikan oleh Sogo Kenkyu (1998) dan
[image:36.595.107.507.481.708.2]Yoshida (1994) sebagaimana pada Gambar 1.
Gambar 1. Hirarki Manfaat Lahan Pertanian
Total Manfaat Lahan Pertanian
Use Values Non-Use Values
Direct Use Values Indirect Use Values
Unpriced Benefit Marketed Output
Menyediakan:
Bahan Pangan
Lapangan Kerja
Sarana Rekreasi
Cegah Urbanisasi.
Mencegah:
Pencemaran
Banjir
Sarana Rekreasi
Sanitasi yg buruk
Mempertahankan Biodiversity
Pendidikan Lingkungan
Padi, Palawija, Sayuran, Ternak, Ikan
Kayu, Daun, Jerami.
Manfaat Komunal Semakin Besar Manfaat Individual
Manfaat lahan pertainan secara langsung memberikan pengaruh
ekonomis bagi petani melalui produk pertanian yang dihasilkannya, dan
pengaruh langsung pada masalah sosial (Ketahanan Pangan, Lapangan
Kerja, Sarana Rekreasi, dan Urbanisasi). Pengaruh alih fungsi lahan
sawah terhadap ketahanan pangan, merupakan salah satu bentuk kajian
dari manfaat lahan pertanian secara langsung.
2.2.3. Lahan Pertanian sebagai Faktor Produksi
Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, mengingat
tanah hanya merupakan salah satu aspek dari lahan. Pengertian lahan
lebih kepada wujud paduan dari banyak unsur lingkungan fisik yang
mempengaruhi potensi penggunaannya. Oleh karena itu, secara teknis
lahan tidak hanya berkaitan dengan tanah semata tetapi juga mengacu
pada sifat lainnya seperti geologi bentuk lahan, iklim dan hidrologi, tutupan
tanaman dan fauna, termasuk serangga dan mikroorganisme
(Driessen,1989).
Pengembangan unsur dasar tanah sebagai media pertanaman
tergolong lambat, hal tersebut terkait dengan masalah degradasi tanah
sawah akibat pemupukan berlebih, sebagai contoh, sampai sekarang
masih tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Potensi tanah
non-sawah, terutama lahan kering, untuk pertanian padi sejauh ini juga
belum berkembang. Padahal, dalam pidato peletakan batu pertama
(waktu itu Presiden RI) sudah menegaskan visi pertanian kita yaitu
pertanian lahan kering skala besar, terutama di luar Jawa, untuk menjamin
ketahanan pangan nasional. Sampai sekarang, lebih dari empat dekade
setelah visi itu dicanangkan, Indonesia belum juga memiliki pertanian padi
lahan kering yang kuat. Sementara sumberdaya penelitian dihabiskan
untuk peningkatan mutu tanah sawah, pada saat bersamaan proses
konversi telah menghilangkan sawah-sawah terbaik dari tahun ke tahun.
Tanah sawah dalam luasan besar telah dialih-fungsikan menjadi kawasan
non-pertanian terutama kawasan industri, pemukiman, jalan raya, dan
perkantoran, dan juga menjadi kawasan pertanian non-sawah antara lain
tambak, perkebunan, dan palawija. Pertambahan areal sawah baru,
sementara itu, tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya fungsi-fungsi areal
sawah yang sudah hilang terkonversi (Pranadji Tri, 2005).
Dalam prespektif ekologi budaya, manusia melalui keunggulan
budayanya dilihat sebagai unsur yang merubah tampakan alami tanah.
Petani sawah Jawa, jika dipindahkan ke luar Jawa, selalu berusaha
mengembangkan sawah, walaupun di lokasi itu semula tidak ada sawah.
Hal seperti itu terjadi karena proses sosialisasi masyarakat petani sawah
Jawa sudah membekali setiap orang dengan sikap hidup, pengetahuan
dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya membekali mereka
dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang padi, niscaya
mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru. Tetapi budaya
berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif
yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli.
Budaya petani akan lebih berkembang jika berorientasi pada
pengembangan pengetahuan lokal, yaitu interaksi antara pengetahuan
asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam kerangka
komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya
akan memperkaya pengetahuan lokal (Pranadji Tri, 2005).
Survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk memetakan
potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu
tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri
tanah melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan
dosis pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak
dikembangkan pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami
budaya petani yang membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus
mempelajari benih-benih tanaman pangan khususnya padi yang
dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini penelitian tanah memang
harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani dan penelitian
benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan
tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini
Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan,
penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam
rangka mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan
(khususnya padi) lahan kering yang maju. Sementara penelitian lahan
basah khususnya sawah tetap dilakukan secara intensif untuk, pertama,
mendukung pemulihan kualitas tanah yang telah merosot akibat tindakan
pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan; kedua, meningkatkan
mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah utama secara
alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama akibat
konversi.
2.2.4. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan
Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah
dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, berupa
pengembangan areal tanam melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi dapat diterapkan diantaranya dengan meningkatkan indeks
pertanaman dan produktivitas lahan di lahan sawah maupun di lahan
kering. Sedangkan ekstensifikasi dapat dilakukan dengan cara
memanfaatkan lahan-lahan potensial yang saat ini belum dimanfaatkan
untuk usaha tani apapun (lahan tidur). Kedua usaha tersebut masih
memungkinkan di Indonesia dan produktivitas dapat ditingkatkan dengan
Peningkatan indeks pertanaman (IP) dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan pemanfaatan ketersediaan air baik yang bersumber dari
air irigasi maupun air hujan/air tanah. Salah satu upaya terobosan yang
diharapkan mampu meningkatkan produksi padi secara cepat yaitu
meningkatkan intensitas pertanaman menjadi 2-3 kali setahun atau IP
200-300, terutama pada sawah irigasi. Penerapan teknologi pemanfaatan
air pada lahan kering dapat mendukung usaha peningkatan IP tersebut.
Selain peningkatan produktivitas dan IP, perluasan areal tanam
(ekstensifikasi) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi
pangan. Ekstensifikasi tersebut lebih diarahkan pada lahan-lahan yang
belum dimanfaatkan. Lahan yang belum dimanfaatkan atau lahan tidur
tersebar cukup luas di Indonesia, terdapat sekitar 9 juta hektar lahan tidur,
berupa semak belukar dan alang-alang. Potensi lahan untuk perluasan
areal tanaman pangan masih cukup luas. Lahan kering yang belum
dimanfaatkan sekitar 8,65 juta ha terdapat di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi. Di antara lahan yang diterlantarkan tersebut pasti terdapat
lahan yang sesuai untuk pertanaman tanaman pangan. Soekartawi et al
(1993).
Teknologi budidaya untuk lahan marginal dan kurang subur baik di
lahan kering maupun pada agroekosistem lainnya seperti lahan pasang
surut sudah banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang
areal tanam khususnya di luar pulau Jawa memiliki peluang cukup tinggi.
Namun, pendekatan komoditas harus diimbangi dengan pendekatan
sumberdaya melalui diversifikasi usaha guna memperluas dan
memperkuat sumber pendapatan petani produsen.
2.2.5. Lahan Pertanian dan Permasalahannya
Lahan sawah merupakan andalan bagi Indonesia dalam
memproduksi tanaman pangan khususnya padi. Konversi lahan subur
untuk keperluan nonpertanian terutama di Jawa terus berlangsung, maka
luas areal untuk tanaman pangan akan terus berkurang. Oleh karena itu
perlu ada upaya lain untuk meningkatkan produksi sebagai kompensasi
dari berkurangnya lahan subur. Departemen Pertanian dapat
memanfaatkan beberapa peluang dalam meningkatkan produksi, antara
lain:
1. Peningkatan permintaan beras sejalan dengan pertumbuhan
penduduk;
2. Dukungan pemerintah dalam perluasan dan peningkatan produksi
padi; dan
3. Program rehabilitasi infrastruktur, terutama jaringan irigasi.
Kedua peluang terakhir tersebut merupakan bagian dari program
revitalisasi pertanian yang mulai dicanangkan pada tahun 2005. Di Jawa
pertanian dimulai pada tahun 2008, yaitu ”Menjadikan Jawa Timur sebagai
Pusat Pengembangan Agribisnis”.
Selain terdapat potensi dan peluang dalam peningkatan produksi
pangan, juga terdapat hambatan baik dari dalam sistem maupun dari luar
sistem. Secara internal, kelemahan biofisik yang ada dalam peningkatan
produksi pangan antara lain adalah:
1. Konversi lahan masih berlangsung,
2. Produktivitas pangan cenderung stagnan, dan
3. Sarana produksi yang makin terbatas.
Selain penurunan luas tanam karena alih fungsi lahan, upaya
peningkatan produksi pangan juga dihadapkan pada ancaman eksternal
berupa :
1. Cekaman lingkungan biotik dan abiotik,
2. Nilai jual sawah yang tinggi untuk nonpertanian, dan
3. Terjadi pergeseran dari usahatani pertanian tanaman pangan ke
usaha lain.
Serangan hama dan penyakit tanaman merupakan cekaman biotik
yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kegagalan
panen. Demikian juga dengan ancaman banjir atau kekeringan, bisa
menyebabkan gagal panen. Nilai jual lahan yang tinggi untuk
nonpertanian merupakan godaan bagi petani untuk menjual lahannya,
dinilai lebih menjanjikan, seperti usaha pembuatan batu bata atau genteng
di lahan sawah, atau usaha bisnis dan industri lainnya, menyebabkan
penggunaan lahan untuk tanaman pertanian makin sempit.
2.2.6. Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan
FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi
dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun
ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya,
sedemikian sehingga rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan
kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup
ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan.
Determinan dari ketahanan pangan dengan demikian adalah daya beli
atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya hidup (FAO,
1996).
Pengertian dan konsep tersebut di atas maka beberapa ahli sepakat
bahwa ketahanan pangan minimal mengandung tiga unsur pokok yaitu
”ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan“, dimana unsur distribusi
dan konsumsi merupakan penjabaran dari aksessibilitas masyarakat
terhadap pangan”. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu
negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik.
Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi
jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata,
ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan pangan
tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan.
Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat
komplek mulai dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk
memenuhi permintaan pangan yang meningkat karena pertumbuhan
penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat peningkatan
penduduk, aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman
bahan pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen
yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan kebugaran, aspek
tentang pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang dan waktu dan
juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu ketersediaan
bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau
oleh seluruh masyarakat.
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan
tuntutan lingkungan strategis baik domestik maupun internasional
mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional
termasuk pembangunan pertanian. Perubahan paradigma pembangunan
tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam
pemantapan ketahanan pangan.
Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi
1. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk
seluruh penduduk,
2. Distribusi pangan yang lancar dan merata,
3. Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi
seimbang, yang berdampak pada
4. Status gizi masyarakat.
Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya
menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat
makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu
akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga
miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan
meliputi aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering
ditekankan pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek
mikro tidak terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah
ketahanan pangan dan gizi.
Konsep ketahanan pangan, salah satunya dapat dicermati melalui
aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Kebanyakan
produk pangan merupakan hasil budi daya pertanian yang menggunakan
lahan (Tanaman Pangan). Sehingga untuk menjamin ketahanan pangan
yang prima dibutuhkan lahan yang subur yang cocok untuk pertanian,
khususnya pertanian tanaman pangan. Determinasi dari produksi pangan
penggunaan teknologi tepat guna pada budi daya pertanian, sedangkan
luas panen berkaitan dengan ketersediaan lahan subur untuk budi daya
pertanian.
Masalah yang terjadi pada produksi dan penyediaan pangan adalah
masalah konsumsi yang terus semakin meningkat dan kapasitas produksi
pangan yang mencapai tititk deminishing of return, yang disebabkan oleh
tingkat produktivitas yang mengalami kemandegan dan ancaman
terhadap degradasi lahan pertanian. Selain itu, banyaknya alih fungsi
lahan sawah juga menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan.
Alih fungsi lahan sawah dewasa ini terus terjadi dan luasannya juga
semakin bertambah. Minimnya insentif bagi petani menyebabkan laju
konversi lahan cukup tinggi. Setiap tahun lahan pertanian subur yang
berganti fungsi mencapai 145.000 ha (Deptan, 2007). Tingginya konversi
lahan pertanian ke non pertanian kini menjadi persoalan serius yang
dihadapi bangsa ini. Jika dibiarkan maka konversi lahan bukan hanya
mengganjal rencana pemerintah menaikan produksi padi, tapi juga bisa
menyebabkan bangsa ini masuk ke jurang krisis pangan. Petani memang
selama ini menjadi salah satu bagian dari perilaku konversi lahan sawah.
Baik dengan menjual lahannya kepada orang lain atau mewariskan
kepada anak-anaknya yang kemudian mengubah fungsi ke usaha non
pertanian. Namun demikian petani tidak sepenuhnya dapat disalahkan
faktor utama yang menyebabkan petani menjual lahannya. Untuk
mencegah Alih Fungsi Lahan Sawah, pemerintah baik Pusat, Provinsi
maupun Kabupaten wajib memberikan insentif kepada petani. Misalnya
dengan kemudahan fiskal dan pajak bumi dan bangunan. Sarana produksi
untuk pengusahaan tanah yang bersangkutan, pembangunan sarana dan
prasarana pertanian yang dapat menambah prodoktivltas tanah dan nilai
tukar produksi. Selain itu, kemudahan dan fasititas dalam penerbitan
sertiftkat bidang tanah yang bersangkutan, akses teknotogi dan pasar,
serta pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swsasta. "Bila
dipandang memungkinkan pemberian fasilitas pendidikan, kesehatan dan
asuransi pertanian kepada keluarga tani patut untuk dipertimbangkan“.
(Apriyantono, 2007).
Selain pemberian intensive pada petani, regulasi tentang lahan
pertanian juga harus segera dibuat dan ditegakkan. RUU Lahan Pertanian
Abadi, sebagaimana tertuang dalam Bab Pengendalian, sudah
memasukan insentif unluk petani. "Setidaknya ada 16 insentif dalam
pasal-pasal pengendalian dan pemberdayaan,” (Pasaribu, 2007).
2.2.7. Pertumbuhan Produksi dan Konsumsi
Pertumbuhan produksi pertanian jangka panjang, yang perlu
diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan
kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut. Dalam
secara horisontal yaitu dengan mengembangkan komoditas pertanian
melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor pertanian
dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan produktivitas
usahatani yang dikaitkan dengan agroindustri.
Produktivitas pertanian merupakan sumber bagi pertumbuhan di
sektor pertanian. Adapun peningkatan produksi pertanian dapat dicapai
dengan peningkatan teknologi pertanian. Dengan peningkatan teknologi
pertanian memungkinkan tercapainya peningkatan produksi dari faktor
produksi yang tetap. Dengan demikian pengembangan teknologi pertanian
merupakan suatu langkah yang strategis bagi peningkatan produktivitas
pertanian (Thirtle and Ruttan dalam Hermanto et al., 1992).
Kebijakan pengembangan produksi pangan sampai saat ini masih
berfokus pada intensifikasi. Program ekstensifikasi yang
diimplementasikan melalui pencetakan sawah baru kontribusinya terhadap
pengembangan produksi sangat kecil karena mahalnya biaya investasi
untuk pencetakan sawah baru.
Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan produktivitas adalah
inovasi teknologi. Saat ini banyak pendapat yang mengemukakan bahwa
inovasi teknologi pertanian di Indonesia berlangsung lamban, bahkan
tersumbat, sehingga aliran inovasi teknologi yang diciptakan oleh lembaga
teknologi dalam meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan yang
3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Dalam perspektif makro, fenomena konversi lahan terjadi akibat
transformasi struktural perekonomian dan demografis, khususnya di
negara-negara berkembang. Transformasi struktural perekonomian
berlangsung dari semula bertumpu pada pertanian bergeser ke arah
industri. Sementara itu, transformasi demografis terjadi akibat pesatnya
pertumbuhan penduduk perkotaan yang berakibat pada konversi
penggunaan lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian (Kustiawan,
1997).
Nasution dan Winoto (1996) mengemukakan bahwa proses konversi
lahan ditentukan oleh dua faktor. Kedua faktor tersebut masing-masing:
(1) sistem kelembagaan yang berkembang pada masyarakat; dan (2)
sistem nonkelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam
masyarakat, dimana sistem ini lebih kepada dampak pembangunan, atau
sebagai proses internal pada masyarakat dalam kaitannya dengan
pemanfaatan sumberdaya lahan.
Khusus untuk sawah, konversi lahan dapat terjadi secara langsung
dan tidak langsung. Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan
para pemilik lahan yang mengkonversikan lahan sawah mereka ke
penggunaan lain, misalnya untuk industri, perumahan, prasarana dan
sarana atau pertanian lahan kering. Konversi kategori ini didorong oleh
motif ekonomi, dimana penggunaan lahan setelah dikonversikan memiliki
nilai jual/sewa (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan
lahan untuk sawah. Sementara itu, konversi tidak langsung terkait dengan
makin menurunnya kualitas lahan sawah atau makin rendahnya peluang
dalam memperoleh pendapatan (income opportunity) dari lahan tersebut
akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak-petak sawah di pingiran
perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya. Dalam jangka waktu
tertentu, lahan sawah yang dimaksud akan berubah ke penggunaan
nonpertanian atau digunakan untuk pertanian lahan kering. Secara
agregat, pengendalian konversi lahan harus diterapkan melalui upaya
minimalisasi peluang, pengendalian situasi, dan menyiapkan perangkat
pendukungnya. Pengendalian mengandung makna melakukan suatu
tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, keluaran (output), dan hasil
(outcome) yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan (Pakpahan et.
al.,1993)
Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000
mengenai pembagian wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah
pusat dan daerah, maka peran pemerintah daerah semakin besar dalam
mengurus ketatalaksanaan administrasi pemerintahan wilayahnya. Peran
beberapa kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dalam pengendalian
konversi lahan pertanian.
Sehingga dengan dasar pemikiran tersebut maka upaya upaya
pengendalian pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi non
pertanian dapat terwujudnya sehinga upaya peningkatan produksi
tanaman pangan dapat berjalan selaras dan berkelanjutan. Dari kondisi
tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan
[image:53.595.132.536.338.678.2]pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
PEMANGKU KEPENTINGAN
(Stakeholders)
PARTISIPASI MASYARAKAT
STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN
PERKEMBANGAN INDUSTRI
PERTUMBUHAN PENDUDUK
PEMENUHAN KONSUMSI PANGAN
PERALIHAN KETENAGAKERJAAN PRODUKSI
PERTANIAN
ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
INSTRUMEN HUKUM
3.2. Hipotesis
1. Perkembangan produksi pangan utama dipengaruhi oleh Alih Fungsi
Lahan Sawah di Jawa Timur.
2. Perkembangan produksi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa
Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006
cenderung menurun.
3. Perkembangan konsumsi pangan utama (padi dan jagung), di Jawa
Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006
cenderung meningkat.
4. Perkembangan jumlah penduduk di Jawa Timur dalam kurun waktu
10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 cenderung meningkat.
5. Terjadi peralihan tenaga kerja pertanian di Jawa Timur dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 1997-2006 menjadi tenaga non
pertanian (industri, perdagangan dan lainnya)
6. Perkembangan luas penggunaan lahan untuk sawah di Jawa Timur
mempunyai kecenderungan menurun sedangkan perkembangan
luas penggunaan lahan untuk pekarangan/bangunan dan halaman di
Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun
1997-2006 mempunyai kecenderungan meningkat
7. Faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan antara lain : kelangkaan
4. METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dipilih secara purposive sampling yaitu di Provinsi
Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa wilayah Provinsi Jawa Timur
mempunyai lahan pertanian yang berpotensi untuk menurun akibat
perkembangan industri dan bertambahnya perumahan seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Penelitian akan dilaksanakan
pada bulan Agustus – Desember 2008.
4.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipergunakan
adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
berbagai instansi yang terkait dengan penelitian dan studi literatur,
misalnya laporan-laporan atau dokumen yang berasal dari Instansi
Pemerintah, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas
Pemukiman dan Prasanana Wilayah (Kimpraswil), BPS (Badan Pusat
Statistik), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) dan
Badan Ketahan Pangan.
Jenis data yang dikumpulkan antara lain data produksi tanaman
pangan utama (padi dan jagung), jumlah penduduk, tingkat konsumsi
masyarakat terhadap pangan utama (padi dan jagung), tenaga kerja